Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN

OKSIGENASI PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA


MEDIS TUBERKULOSIS PARU

DI SUSUN OLEH

RAHMAWATI MANSUR
KELAS B – NERS LANJUTAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS LANJUTAN
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP KEBUTUHAN OKSIGENASI


A. Pengertian
Kebutuhan fisiologis oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusiayang
digunakan untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh, untuk mempertahankan
hidupnya, dan untuk aktivitas berbagai organ atau sel. Apabila lebih dari 4
menit orang tidak mendapatkan oksigen maka akanberakibat pada kerusakan
otak yang tidak dapat diperbaiki dan biasanya pasienakan meninggal (Iryanto,
2013).
Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang
digunakan untuk kelangsungan metabolisme dalam sel tubuh mempertahankan
hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel. Dalam keadaan normal manusia
membutuhkan sekitar 300 cc oksigen setiap hari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc
tiap menit (Iryanto 2013).

B. Fungai Oksigenasi
1. Sebagai jalur untuk pertukaran udara dari luar ke paru-paru
2. Untuk pertukaran gas O2 dan CO2
3. Mempertahankan konsentrasi oksigen, CO2 dan ion hidrogen dalam cairan
tubuh
4. Membantu venous return darah ke atrium kanan selama fase inspirasi
5. Perlindungan terhadap infeksi: makrofag yang akan membunuh bakteri

C. Proses Oksigenasi
Tujuan pernapasan adalah untuk menghantarkan oksigen ke jaringan dan
mengeluarkan karbon dioksida. Fisiologi pernapasan meliputi tiga proses
berikut: (1) ventilasi atau pergerakan udara antara atmosfir atau alveoli.(2)
difusi oksigen dan karbon dioksida antara kapiler pulmonalis dan alveoli. (3)
transpor oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan menuju sel. (Hudak dan
Gallo dalam Subekti, et al. 2013).
1. Ventilasi
Ventilasi merupakan proses kompleks dengan banyak variabel, antara
lain perubahan tekanan dan integritas otot-otot yang bertanggung jawab
dalam pergerakan udara keluar masuk paru, dan resistensi jalan napas.
semua variabel ini disebut sebagai mekanisme ventilasi. Pergerakan udara
keluar masuk paru memerlukan otot-otot untuk mengembangkan dan
mengontarksikan rongga dada serta tekanan gas untuk memudahkan
pergerakan udara dari satu kompartemen lain.
Paru dapat mengembang dan berkontraksi dalam dua cara: (1) dengan
pergerakan diafragma keatas dan ke bawah untuk memperpanjang dan
memperpendek rongga dada. (2) dengan elevasi dan depresi tulang rusuk
untuk memperbesar dan memperkecil diameter rongga dada.
2. Difusi
Setelah udara segar memasuki alveoli langkah selanjutnya dalam
proses pernapasan adalah difusi. Oksigen dari alveoli kekapiler pulmonalis
dan difusi karbon dioksida dari kapiler pulmonalis kealveoli. Difusi, atau
pergerakan molekul, berlangsung dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke
daerah konsentrasi rendah. Hukum fick menjelaskan proses difusi gas
melewati membran kapiler alveolus.
3. Transpor oksigen
Oksigen diangkut di dalam darah melalui dua bentuk: terlarut dan
terikat pada hemoglobin. Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri
(PaO2) menggambarkan tingkat kelarutan oksigen di dalam plasma. Tidak
sampai 3% dari total oksigen yang diangkut dalam bentuk ini. 90%oksigen
diangkut dalam darah terikat hemoglobin dan di sebut oksihemoglobin.
setiap gram hemoglobin mengangkut hampir 1,34 mL oksigen pada saat
oksigen tersaturasi dengan sempurna. setelah berdifusi melintasi membran
kapiler alveolar, oksigen bergabung dengan hemoglobin di sel darah merah
dan membentuk ikatan yang reversibel. Oksihemoglobin diangkut dalam
darah arteri dan disediakn untuk kebutuhan metabolisme sel jaringan.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Oksigenasi
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015), ada beberapa faktor yang bisa
mempengaruhi kebutuhan oksigenasi diantaranya faktor fisiologis,
perkembangan, perilaku dan lingkungan.
1. Faktor fisiologis
a. Menurunnya kapasitas O2 seperti pada anemia
b. Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada obstruksi
saluran napas bagian atas.
c. Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun mengakibatkan transpor
O2 terganggu.
d. Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam, ibu hamil,
luka dan lain- lain.
e. Kondisi yang mempengaruhi pergerakkan dinding dada seperti pada
kehamilan, obesitas, muskuloskeletal yang abnormal, serta penyakit
kronis seperti Tuberkulosis (TB).
2. Faktor perkembangan
a. Bayi premature yang disebabkan kurangnya pembentukan surfaktan.
b. Bayi dan toddler adanya resiko infeksi saluran pernafasan akut.
c. Anak usia sekolah dan remaja : resiko infeksi saluran pernapasan dan
merokok.
d. Dewasa muda dan pertengahan : diet yang tidak sehat, kurangnya
aktivitas, dan stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru-
paru.
e. Dewasa tua adanya proses penuaan yang mengakibatkan kemungkinan
arteriosklerosis, elastisitas menurun, dan ekspasi paru menurun.
3. Faktor perilaku
a. Nutrisi : misalnya pada obesitas mengakibatkan penurunan ekspansi
paru, gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat oksigen
berkurang, diet yang tinggi lemak menimbulkan arteriosklerosis.
b. Latihan dapat mengangkat kebutuhan oksigen.
c. Merokok : nikotin yang ada dalam rokok menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer dan koroner.
d. Penyalahgunaan substansi (alkohol dan obat- obatan) menyebabkan
intake nutrisi Fe menurun mengakibatkan penurunan hemoglobin,
alkohol menyebabkan depresi pusat pernapasan.
e. Kecemasan menyebabkan metabolisme meningkat.
4. Faktor lingkungan
a. Tempat kerja (polusi)
b. Temperatur lingkungan
c. Ketinggian tempat dari permukaan laut

E. Tipe Kekurangan Oksigen Dalam Tubuh


Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) Jika oksigen dalam tubuh berkurang,
maka ada beberapa istilah yang dipakai sebagai manifestasi kekurangan
oksigen tubuh, yaitu hipoksemia, hipoksia, dan gagal napas. Status oksigenasi
tubuh dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah
(AGD) dan oksimetri.
1. Hipoksemia
Merupakan keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen
dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri ( SaO2) dibawah normal
(normal PaO 85-100 mmHg, SaO2 95%). Pada neonatus PaO2 < 50 mmHg
atau SaO2 < 90%. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan ventilasi, perfusi,
difusi, pirau (shunt), atau berada pada tempat yang kurang oksigen. Pada
keadaan hipoksemia tubuh akan melakukan kompensasi dengan cara
meningkatkan pernapasan, meningkatkan stroke volume, vasodilatasi
pembuluh darah, dan peningkatan nadi. Tanda dan gejala hipoksemia
diantaranya sesak napas, frekuensi napas dapat mencapai 35 kali per menit,
nadi cepat dan dangkal serta sianosis.
2. Hipoksia
Merupakan keadaan kekurangan oksigen dijaringan atau tidak
adekuatnya pemenuhan kebutuhan oksigen seluler akibat defesiensi oksigen
yang di inspirasi atau meningkatnya penggunaan oksigen pada tingkat
seluler. Hipoksia dapat terjadi setelah 4-6 menit ventilasi berhenti spontan.
Penyebab lain hipoksia antara lain :
a. Menurunnya hemoglobin
b. Berkurangnya konsentrasi oksigen , misalnya jika kita berada dipuncak
gunung
c. Ketidakmampuan jaringan mengikat oksigen seperti pada keracunan
sianida
d. Menurunnya difusi oksigen dari alveoli kedalam arah seperti pada
pneumonia
e. Menurunya perfusi jaringan seperti pada syok
f. Kerusakan atau gangguan ventilasi
Tanda-tanda hipoksia diantaranya adalah kelelahan, kecemasan,
menurunnya kemampuan konsentrasi, nadi meningkat, pernapasan cepat
dan dalam, sianosi, sesak napas serta jari tabuh (clubbing finger).
3. Gagal Napas
Gagal napas merupakan keadaan dimana terjadi kegagalan tubuh
memenuhi kebutuhan oksigen karena pasien kehilangan kemampuan
ventilasi secara adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas
karbondioksida dan oksigen. Gagal napas ditandai oleh adanya peningkatan
CO2 dan penurunan O2 dalam darah secara signifikan. Gagal napas dapat
disebabkan oleh gangguan sistem saraf pusat yang mengontrol sistem
pernapasan, kelemahan neuromuskular, keracunan obat, gangguan
metabolisme, kelemahan otot pernapasan, dan obstruksi jalan napas.
4. Perubahan Pola Nafas
Pada keadaan normal, frekuensi pernapasan pada orang dewasa
sekitar 12-20 X per menit, dengan irama teratur serta inspirasi lebih panjang
dari ekspirasi. Pernapasan normal disebut eupnea. Perubahan pola napas
dapat berupa hal-hal sebagai berikut :
a. Dispnea, yaitu kesulitan bernapas, misalnya pada pasien dengan asma
b. Apnea, yaitu tidak bernapas, berhenti bernapas
c. Takipnea, yaitu pernapasan lebih cepat dari normal dengan frekuensi
lebih dari 24 kali per menit.
d. Bradipnea, yaitu pernapasan lebih lambat (kurang) dari normal, dengan
frekuensi kurang dari 16 kali per menit.
e. Kusmaul, yaitu perrnapasan dengan panjang ekspirasi dan inspirasi
sama, sehingga pernapasan menjadi lambat dan dalam, misalnya pada
pasien koma dengan penyakit diabetes melitus dan uremia.
f. Cheyne-stokes, merupakan pernapasan cepat dan dalam kemudian
berangsur-angsur dangkal dan diikuti dengan periode apnea yang
berulang secara teratur, misalnya pada keracunan obat bius, penyakit
jantung, dan penyakit ginjal.
g. Biot, adalah pernapasan dalam dan dangkal disertai masa apnea dengan
periode yang tidak teratur, misalnya pada meningitis.

KONSEP MEDIS TUBERKULOSIS PARU


A. Pengertian
Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB adalah penyakit menular yang
sisebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang paru dan
organ lainnya (Permenkes RI 2016). Tuberkulosis adalah penyakit infeksius
terutama menyerang parenkim paru. TB paru adalah suatu penyakit yang
menular yang disebabkan oleh bacil Mycobacterium tuberculosis yang
merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah.
Sebagian besar bakteri M. tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru
melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal
sebagai focus primer (Wijaya & Putri, 2013). Mycobacterium tuberculosis
merupakan basil tahan asam berukuran 0,5-3 μm. Mycobacterium tuberculosis
ditularkan melalui droplet udara yang disebut sebagai droplet nuclei yang
dihasilkan oleh penderita TB paru ataupun TB laring pada saat batuk, bersin,
berbicara, ataupun menyanyi. Droplet ini akan tetap berada di udara selama
beberapa menit sampai jam setelah proses ekspektorasi (Amanda, 2018).
B. Etiologi
Penyakit Tubercolosa Paru adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium
tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain:
M.Tuberculosis, M.Africanum, M.Bovis, M.Leprae. Yang juga dikenal sebagai
bakteri tahan asam (BTA). Yang mempunyai sifat : basil berbentuk batang,
bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80°C), mudah
mati terkena sinar ultra violet (matahari) serta tahan hidup berbulan-bulan pada
suhu kamar dan ruangan yang lembab.
Kelompok bakteri Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan
pada saluran napas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other than
Tuberculosis) yang terkadang dapat mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB.
Secara umum sifat kuman TB adalah sebagai berikut: berbentuk batang
dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron, bersifat tahan asam dalam
pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen, memerlukan media husus untuk
biakan antara lain Lownstein Jensen dan ogawa, kuman nampak berbentuk
batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop, tahan
terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama
pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C, kuman sangat peka terhadap panas
sinar matahari dan ultraviolet, dalam dahak pada suhu 30°C -37°C akan mati
dalam wktu lebih kurang 1 minggu dan kuman dapat bersifat dormant
(“tidur”/tidak berkembang) (Kemenkes RI, 2014).
Agen infeksius utama, M. tuberculosis adalah batang aerobic tahan asam
yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar matahari.
M. bovis dan M. avium adalah kejadian yang jarang yang berkaitan dengan
terjadinya infeksi tuberkulosis (Wijaya & Putri, 2013).
M. tuberculosis termasuk famili Mycobacteriaceace yang mempunyai
berbagai genus, salah satunya adalah Mycobaterium dan salah satu speciesnya
adalah M. tuberculosis. Bakteri ini berbahaya bagi manusia dan mempunyai
dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Bakteri ini memerlukan waktu untuk
mitosis 12 – 24 jam. M. tuberculosis sangat rentan terhadap sinar matahari dan
sinar ultraviolet sehingga dalam beberapa menit akan mati.
Bakteri ini juga rentan terhadap panas – basah sehingga dalam waktu 2
menit yang berada dalam lingkungan basah sudah mati bila terkena air bersuhu
1000 C. Bakteri ini juga akan mati dalam beberapa menit bila terkena alkhohol
70% atau Lysol 5%. (Danusantoso, 2012).

C. Patofisiologi
Setelah seseorang menghirup Mycobakterium Tuberkolosis, kemudiam
masuk melalui mukosiliar saluran pernafasan, akhirnya basil TBC sampai ke
alveoli (paru), kuman mengalami multiplikasi di dalam paru-paru disebut
dengan Focus Ghon, melalui kelenjar limfe basil mencapai kelenjar limfe hilus.
Focus Ghon dan limfe denopati hilus membentuk Kompleks Primer. Melalui
kompleks Primer inilah basil dapat menyebar melalui pembuluh darah sampai
keseluruh tubuh. Mycobakterium Tuberkolosis yang mencapai permukaan
alveoli biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga
basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung
dan tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada di ruang alveolus di bagian bawah lobus atau bagian atas
lobus bakteri Mycobakterium Tuberkolosis ini membangkitkan reaksi
peradangan. Lekosit polimorfonuklear tampak pada tempat tadi dan
memfagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari pertama maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia
akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa
menimbulkan kerusakan jaringan paru atau biasa dikatakan proses dapat
berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.
Bakteri juga menyebar melalui kelenjar limfe regional.
Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung 10 – 20 hari. Nekrosis bagian sentral
lesi memberikan gambaran yang relative padat seperti keju, lesi nekrosis ini
disebut nekrosiskaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan
jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari epilteloid dan fibroblast
menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa,
membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru – paru disebut focus ghon dan gabungan terserang
kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan komplek ghon. Komplek
ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang
mengalami pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang terjadi pada daerah
nekrosis adalah pencairan di mana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan
menimbulkan kavitas.
Perjalanan penyakit selanjutnya ditentukan oleh banyaknya basil TBC dan
kemampuan daya tahan tubuh seseorang, kebanyakan respon imun tubuh dapat
menghentikan multiplikasi kuman, namun sebaqgian kecil basil TBC menjadi
kuman Dorman. Kemudian kuman tersebut menyebar kejaringan sekitar,
penyebaran secara Bronchogen keparu-paru sebelahnya, penyebaran secara
hematogen dan limfogen ke organ lain seperti; tulang, ginjal, otak.
Terjadi setelah periode beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer,
reaktivasi kuman Dorman pada jaringan setelah mengalam multiplikasi terjadi
akibat daya tahan tubuh yang menurun/lemah. Reinfeksi dapat terjadi apabila ;
ada sumber infeksi, julmlah basil cukup, virulensi kuman tinggi dan daya tahan
tubuh menurun.

D. Klasifikasi TB Paru
Klasifikasi TBC berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
tahun 2014 adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi:
a. Tuberkulosis Paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru
atau trakeobrankial. TB milier diklasifiksikan sebagai TB paru karena
terdapat lesi diparu. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru
haus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ diluar
parenkim paru seperti pleura, abdomen, genitourinaria, kulit, sendi
dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakan secara
klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan
konfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
a. Pasien baru TB. Adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB. Adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥dari 28 hari). Pasien
ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir, yaitu:
1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena kambuh atau
reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up (klasifikasi ini sebelumnya disebut sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat/ default).
4) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil
akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.
Pengelompokan pasien berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.’
b. Poli resistan (TB MR) : resistant terhadap lebih dari 1 jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB XDR) : resistant terhadap Isoniazid (H) dan
rifampisin secara bersamaan.
d. Extensive drug resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin,dan Amikasin).
e. Resistan Rifampisin ( TB PR ) : resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain .
4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV.
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah
pasien TB dengan :
1) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART.
2) Hasil tes HIV positif pada saat didiagnosis TB. Apabila pada
pemeriksaan selanjutnya tes HIV menjadi positif, pasien harus
disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV
positif.
b. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa
ada bukti pendukung hasil tes HIV saat didiagnosa TB ditetapkan.
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
pasien, pasien hasrus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan
hasil tes terakhir (Kemenkes RI, 2014).

E. Gejala Dan Diagnosis TB Paru


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula
pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyilitas Pelayanan kesesehatan
dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek)
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah
satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini:
a. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
b. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
c. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.
d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
e. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
f. Pasien TB kambuh.
g. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
h. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
i. ODHA dengan gejala TB-HIV.

F. Resiko Penularan TB
Risiko penularan TB tergantung pada jumah basil dalam percikan,
virulensi dari hasil TB , terpajanya basil TB dengan sinar ultraviolet, terjadinya
aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat bernyanyi, tindakan
medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi, atau pada waktu
melakukan bronkoskopi. Anak-anak dengan TB primer biasanya tidak
menular. Seseorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan TB di dalam
sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna,
dahaknya akan tetap mengandung basil TB selama bertahun- tahun
(Chin,2009).
Diperkirakan pasien TB BTA positif yang belum terdiagnosis dan belum
diobati, dapat mengkontaminasi 10 hingga 20 orang tiap tahun (variasi
tergantung gaya hidup dan lingkungan dari si penderita dan orang yang
tertular). Semua orang yang berada diruangan yang sama dengan orang yang
batuk dan menghirup udara yang sama, berisiko menghirup kuman
tuberkulosis. Risikonya paling tinggi bagi mereka yang berada paling dekat
dengan orang yang batuk (Crofton, 2002).
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi
yang terinfeksi TB dan menjadi sakit TB. HIV mengakibatkan kerusakan yang
luas sistem daya tahan tubuh seluler, sehingga jika terjadi infeksi penyerta
(opportunistic), seperti tuberkulosis maka yang bersangkutan akan menjadi
sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi
HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Kemenkes,2014)

G. Diagnosis TBC Paru


Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Kemenkes RI, 2011).

H. Cara Penularan Tuberkulosis


a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal
tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung
dalam contoh uji < 5000 kuman per cc dahak sehingga sulit untuk dideteksi
melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif juga masih memiliki
kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA
positif adalah 65%. Pasien TB dengan BTA negatif hasil kultur positif
adalah 26 % sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
toraks positf adalah 17 %.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik) sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak ( Kemenkes RI, 2014).

I. Tes Diagnostik
Diagnosis medis adalah proses untuk menentukan penyakit atau kondisi
yang menjelaskan gejala dan tanda seseorang . Ini paling sering disebut sebagai
diagnosis dengan konteks medis yang tersirat. Informasi yang diperlukan untuk
diagnosis biasanya dikumpulkan dari riwayat dan pemeriksaan fisik orang yang
mencari perawatan medis. Seringkali, satu atau lebih prosedur diagnostik ,
seperti tes medis , juga dilakukan selama proses tersebut. Terkadang diagnosis
anumerta dianggap sebagai jenis diagnosis medis.
Dan tes diagnosis yang biasanya dilakukan pada Pasien TBC adalah :
1. Bakteriologis dengan specimen dahak, cairan pleura, cairan
serebrospinalis.
2. Dahak untuk menentukan BTA, specimen dahak SPS (sewaktu, Pagi,
sewaktu). Dinyatakan positip bila 2 dari 3 pemeriksaan tersebut ditemukan
BTA positip.
3. Foto thorax : Bila ditemukan 1 pemeriksaan BTA positip, maka perlu
dilakukan foto thorax atau SPS ulang, bila foto thorax dinyatakan positip
maka dinyatakan seseorang tersebut dinyatakan BTA positip, bila foto
thorax tidak mendukung maka dilakukan SPS ulang, bila hasilnya negatip
berarti bukan TB paru.
4. Uji Tuberkulin yaitu periksaan guna menunjukan reaksi imunitas seluler
yang timbul setelah 4 – 6 minggu pasien mengalami infeksi pertama
dengan basil BTA. Uji ini sering dengan menggunakan cara Mantoux
test.
Bahan yang dipakai adalah OT (old tuberculin), PPD (purified protein
derivate of tuberculin). Cara pemberian, Intra Cutan (IC), pada 1/3 atas
lengan bawah kiri, pembacaan hasil dilakukan setelah 6-8 jam
penyuntikan, hasil positip, bila diameter indurasi lebih dari 10 mm, negatip
bila kurang dari 5 mm, meragukan bila indurasi 5-10 mm.

J. Pengobatan
Pengobatan dengan istilah lain adalah Terapi atau pengobatan, adalah
remediasi masalah kesehatan, biasanya mengikuti diagnosis. Orang yang
melakukan terapi disebut sebagai terapis. Dalam bidang medis, kata terapi
sinonim dengan kata pengobatan. Di antara psikolog, kata ini mengacu kepada
psikoterapi. Terapi pencegahan atau terapi P rofilaksis adalah pengobatan yang
dimaksudkan untuk mencegah munculnya kondisi medis.
Pengobatan TBC bertujuan untuk; menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain, mencegah
terjadinya resistensi terhadap obat. Pengobatan membutuhkan waktu yang
lama 6-8 bulan untuk membunuh kuman Dorman.
3 Aktifitas Anti TBC yaitu:
1. Obat bacterisidal : Isoniasid (INH), rifampisin, pirasinamid
2. Obat dengan kemampuan sterilisasi : rifampisin, PZA
3. Obat dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH,
sedangkan etambutol dengan streptomisin kurang efektif.
Cara Pengobatan Terdiri dari 2 Fase :
1. Fase initial/fase intensif (2 bulan) : Fase ini membunuh kuman dengan
cepat, dalam waktu 2 minggu pasien infeksius menjadi tidak infeksi dan
gejala klinis membaik BTA positip akam menjadi negatip dalam waktu 2
bulan
2. Fase Lanjutan (4-6 bulan) : Fase ini membunuh kuman persisten dan
mencegah relaps. Pada pengobatan ini (fase I dan II) membutuhkan
pengawas minum obat (PMO)
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

K. Konseling dan Edukasi


1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
tuberkulosis.
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan (Kepmenkes RI, 2016).

KONSEP KEPERAWATAN
Menurut Wherdhani, (2015) dasar data pengkajian pasien tergantung pada
tahap penyakit dan derajat yang terkena. Pada pasien dengan tuberkulosis paru
pengkajian pasien meliputi:
1. Pengkajian
Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan TB paru
a. Data Pasien Penyakit TB paru dapat menyerang manusia mulai dari usia
anak sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara
lakilaki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada
pasien yang tinggal didaerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga
masuknya cahaya matahari kedalam rumah sangat minim. TB paru pada
anak dapat terjadi pada usia berapapun, namun usia paling umum adalah
antara 1-4 tahun. Anak-anak lebih sering mengalami TB diluar paru-paru
(extrapulmonary) dibanding TB paru dengan perbandingan 3:1. TB diluar
paru-paru adalah TB berat yang terutama ditemukan pada usia<3 tahun.
angka kejadian (prevalensi) TB paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah,
kemudian meningkat setelah usia remaja dimana TB paru menyerupai
kasus pada pasien dewasa (sering disertai lubang / kavitas pada paru-paru).
b. Riwayat Kesehatan keluhan yang sering muncul antara lain:
1) Demam: subfebris, (febris 40°C - 41°C) hilang timbul
2) Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus batuk ini terjadi
untuk membuang/mengeluarkan produksi radang yang dimulai dari
batuk kering sampai dengan atuk purulent (menghasilkan sputum).
3) Sesak nafas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru-paru.
4) Keringat malam.
5) Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
6) Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam.
7) Sianosis, sesak nafas, kolaps: merupakan gejala atelektasis. Bagian
dada pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung terdorong
ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi yang sakit nampak
bayangan hitam dan diagfragma menonjol keatas.
8) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya
penyakit ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan tetapi
merupakan penyakit infeksi menular.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
1) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh
2) Pernah berobat tetapi tidak sembuh
3) Pernah berobat tetapi tidak teratur
4) Riwayat kontak dengan penderita TB paru
5) Daya tahan tubuh yang menurun
6) Riwayat vaksinasi yang tidak teratur
7) Riwayat putus OAT.
d. Riwayat Kesehatan
Keluarga Biasanya pada keluarga pasien ditemukan ada yang menderita
TB paru. Biasanya ada keluarga yang menderita penyakit keturunan
seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung dan lainnya.
e. Riwayat Pengobatan Sebelumnya
1) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya
2) Jenis, warna, dan dosis obat yang diminum.
3) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan
penyakitnya
4) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.
f. Riwayat Sosial Ekonomi
1) Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu, dan tempat bekerja,
jumlah penghasilan.
2) Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikasi
dengan bebas, menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang
mampu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk
sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah
tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus
harapan.
g. Faktor Pendukung:
1) Riwayat lingkungan.
2) Pola hidup: nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola istirahat
dan tidur, kebersihan diri.
3) Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang
penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.
h. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: biasanya KU sedang atau buruk
TD : Normal ( kadang rendah karena kurang istirahat)
Nadi : Pada umumnya nadi pasien meningkat
Pernafasan : biasanya nafas pasien meningkat (normal : 16- 20x/i)
Suhu : Biasanya kenaikan suhu ringan pada malam hari. Suhu mungkin
tinggi atau tidak teratur. Seiring kali tidak ada demam
1) Kepala
Inspeksi : Biasanya wajah tampak pucat, wajah tampak meringis,
konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik, hidung tidak sianosis,
mukosa bibir kering, biasanya adanya pergeseran trakea.
2) Thorak
Inpeksi : Kadang terlihat retraksi interkosta dan tarikan dinding dada,
biasanya pasien kesulitan saat inspirasi
Palpasi : Fremitus paru yang terinfeksi biasanya lemah
Perkusi : Biasanya saatdiperkusi terdapat suara pekak
Auskultasi : Biasanya terdapat bronki
3) Abdomen
Inspeksi : biasanya tampak simetris
Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : biasanya terdapat suara tympani
Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar
4) Ekremitas atas Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak
pucat, tidak ada edema
5) Ekremitas bawah Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak
pucat, tidak ada edema
i. Pemeriksaan Diagnostik
1) Kultur sputum: Mikobakterium TB positif pada tahap akhir penyakit.
2) Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm
terjadi 48-72 jam).
3) Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas; pada tahap dini
tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidakjelas;
pada kavitas bayangan, berupa cincin; pada klasifikasi tampak
bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
4) Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atatu kerusakan paru
karena TB paru.
5) Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
6) Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital menurun.
j. Pola Kebiasaan Sehari-hari
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : Kelelahan umum dan kelemahan, nafas pendek karena kerja,
kesulitan tidur pada malam atau demam pada malam hari, menggigil
dan/atau berkeringat.
Tanda : Takikardi, takipnea/dispnea pada saat kerja , kelelahan
otot,nyeri, sesak (tahap lanjut).
2) Integritas Ego
Gejala : Adanya faktor stres lama, masalah keuangan, perasaan
tidakberdaya/putus asa.
Tanda : Menyangkal (khususnya pada tahap dini), ansietas,
ketakutan,mudah terangsang.
3) Makanan dan cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, tidak dapat mencerna,
penurunanberat badan.
Tanda : Turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik, kehilangan
otot/hilanglemak subkutan.
4) Nyeri dan Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah
5) Pernafasan
Gejala : Batuk, produktif atau tidak produktif , nafas pendek, riwayat
tuberkulosis/terpajan pada individu terinfeksi.
Tanda : Peningkatan frekuensi pernafasan Penyakit luas atau
fibrosisparenkim paru dan pleura). Pengembangan pernafasan tak
simetris (effusi pleural). Perkusi pekak dan penurunan fremitus
(cairan pleural atau penebalan pleural). Bunyi nafas menurun / tak ada
secara bilateral atau unilateral (effusi pleural/pneumotorak). Bunyi
nafas tubuler dan / atau bisikan pektoral di atas lesi luas. Krekel
tercatat diatas apek pru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek
(krekels pasttussic).
6) Keamanan
Gejala : Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker, tes
HIVpositif.
Tanda : Demam rendah atau sakit panas akut.
7) Interaksi Sosial
Gejala : Perasaan terisolasi/penolakan karena penyakit
menular,perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/perubahan
kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
8) Penyuluhan
Gejala : Riwayat keluarga TB , ketidakmampuan umum/status
kesehatanburuk, gagal untuk membaik/kambuhnya TB, tidak
berpartisipasi dalam terapi.
9) Rencana Pemulangan : Memerlukan bantuan dengan/gangguan
dalamterapi obat dan bantuan perawatan diri dan
pemeliharaan/perawatan rumah.

2. Diagnosa Keperawatan
Secara teoritis diagnosa keperawatan yang dapat muncul dengan klien TB Paru
adalah sebagai berikut:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi tertahan
b. Defisit nutrisi b.d faktor psikologis (keengganan untuk makan)
c. Nyeri akut b.d agen pencedera biologis
d. Hipetermi b.d proses penyakit
3. Intervensi Keperawatan
No Tanda & Gejala Dx Kep Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1. Gejala dan tanda mayor Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan LATIHAN BATUK EFEKTIF
DS: - tidak efektif b.d sekresi keperawatan selama 3x24 jam, Observasi :
DO: tertahan d.d batuk tidak maka bersihan jalan napas 1) Identifikasi kemampuan batuk.
• Batuk tidak efektif efektif, tidak mampu meningkat dengan kriteria hasil : 2) Monitor adanya retensi sputum.
• Tidak mampu batuk batuk, dan bunyi nafas 1) Batuk efektif meningkat 3) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas.
• Sputum berlebih ronchi 2) Produksi sputum menurun 4) Monitor input dan outpun cairan.
• Mengi, ronkhi kering 3) Ronkhi menurun Terapeutik :
Gejala dan tanda minor 1) Atur posisi semi-Fowler atau Fowler.
DS: 2) Pasang perlak dan bengkok dipangkuan pasien.

• Dispnea 3) Buang sekret pada tempat sputum.

• Ortopnea Edukasi :

DO: 1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif.

• Bunyi napas menurun 2) Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama

• Frekuensi napas 4 detik,ditahan selama 2 detik,kemudian keluarkan

berubah dari mulut dengan bibir dibulatkan selama 8 detik.


3) Anjurkan menulangi tarik nafas dalam hingga 3
kali.
4) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
nafas dalam yang ke-3
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu

MANAJEMEN JALAN NAFAS


Observasi :
1) Monitor pola nafas(frekuensi,kedalaman,usaha
nafas).
2) Monitor bunyi nafas tambahan(Ronchi).
3) Monitor sputum(jumlah,warna,aroma).
Terapeutik :
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt
dan chin-lift(jaw-thurst jika curiga trauma servikal).
2) Posisikan semi-Fowler atau Fowler.
3) Berikan minum hangat.
4) Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
5) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik.
6) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal.
7) Kelurakan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill.
8) Berikan oksigen jika perlu.
Edukasi :
1) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,jika tidak
kontradikasi.
2) Anjurkan teknik batuk efektif.
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran,mukolitik jika perlu.

PEMANTAUAN RESPIRASI
Observasi :
1) Monitor frekuensi,irama,kedalaman,dan upaya
nafas.
2) Monitor pola nafas(seperti
bradipnea,takipnea,hiperventilasi,kussmaul,Cheyne-
Stokes,Biot,atatsik).
3) Monitor kemampuan batuk efektif
4) Monitor adanya produksi sputum.
5) Monitor sumbatan jalan nafas
6) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7) Auskultasi bunyi nafas.
8) Monitor saturasi oksigen.
9) Monitor nilai AGD.
10) Monitor hasil x-ray toraks.
Terapeutik :
1) Atur interval respirasi sesuai kondisi pasien
2) Dokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi :
1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2) Informasikan hasil pemantauan jika perlu.
2. Gejala dan tanda mayor Defisit nutrisi b.d faktor Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN NUTRISI
DS: - psikologis (keengganan keperawatan selama 3x24 jam, Observasi :
DO: untuk makan) d.d nafsu maka status nutrisi membaik 1) Identifikasi status nutrisi
• Berat badan minimal makan turun dan BB dengan kriteria hasil : 2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
10% dibawah rentang turun 10 % BB ideal 1) Porsi makan yang 3) Identifikasi makanan yang disukai
ideal dihabiskan meningkat 4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
Gejala dan tanda minor 2) Berat badan membaik 5) Monitor asupan makanan
DS: 3) Indeks Massa Tubuh (IMT) 6) Monitor berat badan
• Cepat kenyang setelah membaik 7) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
makan 4) Nafsu makan membaik Terapeutik :
• Nafsu makan menurun 1) Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
• Ortopnea 2) Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida
DO: makanan)
• Bising usus hiperaktif 3) Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang

• Otot menelan lemah sesuai


4) Berikan makan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
5) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
6) Berikan suplemen makanan, jika perlu
7) Hentikan pemberian makan melalui selang
nasogatrik jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi :
1) Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2) Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan,
jika perlu
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu

PROMOSI BERAT BADAN


Observasi :
1) Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
2) Monitor adanya mual dan muntah
3) Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari-hari
4) Monitor berat badan
Terapeutik :
1) Berikan perawatan mulut sebelum pemberian
makanan, jika perlu
2) Sediakan makanan yang tepat sesuai dengan
kondisi pasien
3) Hidangkan makanan secara menarik
4) Berikan suplemen, jika perlu
5) Berikan pujian pada pasien ]/keluarga untuk
peningkatan yang dicapai
Edukasi :
1) Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun
tetap terjangkau
2) Jelaskan peningkatan asupan kalori yang
dibutuhkan
3. Gejala dan tanda mayor Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN NYERI
DS: pencedera biologis d.d keperawatan selama 3x24 jam, Observasi:
• Mengeluh nyeri nyeri dada dan sulit maka tingkat nyeri menurun 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
DO: tidur dengan kriteria hasil : kualitas, intensitas nyeri
• Tampak meringis 1) Keluhan nyeri menurun 2) Identifikasi skala nyeri
• Bersifat protektif 2) Meringis menurun 3) Identifikasi respon nyeri non verbal
• Gelisah 3) Gelisah menurun 4) Identifikasi factor yg memperberat dan
• Frekuensi nadi 4) Kesulitan tidur menurun memperingan nyeri
meningkat 5) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
Gejala dan tanda minor nyeri
DS: - 6) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
DO: 7) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
• Tekanan darah 8) Monitor keberhasilan terapi komplamenter yg
meningkat sudah diberikan
• Pola napas berubah 9) Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik:
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
2) Control lingkungan yg memperberat rasa nyeri
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi:
1) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri
3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi:
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

PEMBERIAN ANALGESIK
Observasi:
1) Identifikasi karakteristik nyeri
2) Identifikasi riwayat alergi obat
3) Identifikasi kesesuaian jenis analgesic dengan
tingkat keparahan nyeri
4) Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian
analgesic
5) Monitor efektifitas analgesic

Terapeutik:
1) Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk
mencapai analgesic optimal, jika perlu
2) Pertimbangan pengguna infuse kontinu, atau bolus
opioid untuk mempertahankan dalam serum
3) Tetapkan target efektifitas analgesic untuk
mengoptimalkan respon pasien
4) Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic
dan efek yg tidak diinginkan
Edukasi:
1) Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi:
1) Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic,
sesuai indikasi
4. Gejala dan tanda mayor Hipertermia b.d proses Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN HIPERTERMIA
DS: - penyakit (infeksi) d.d keperawatan selama 3x24 jam, Observasi
DO: suhu tubuh diatas nilai maka termoregulasi membaik 1) Identifikasi penyebab hipertermia (mis,dehidrasi
• Suhu tubuh diatas nilai normal dengan kriteria hasil : terpapar lingkungan panas,penggunanna inkubator
normal 1) Suhu tubuh membaik 2) Monitor suhu tubu
Gejala dan tanda minor 2) Kulit merah menurun 3) Monitor kadar elektrolit
DS: - 4) Monitor haluan urine
DO: 5) Monitor kompilkasi akibat hipertemia
• Kulit merah Terapeutik
• Takhipnea 1) Sediakan lingkungan yang dingin
2) Longgarkan atua lepaskan pakaian
3) Basahi dan kipasi permukaan tubuh
4) Berikan cairan oral
5) Ganti linen setiap hari atau sering jika mengalami
hiperhidrosis(keringat lebih)
6) Lakukan pendingianan eksternal(mis, selimut
hipotermia atau kompres dingin pada
dahi,leher,dada,abdomen,aksila)
7) Hindari pemberian antipiretk atau aspirin
8) Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
2) Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena,jika perlu
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi Keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh
perawat dan pasien. Perawat bertanggung jawab terhadap asuhan keperawatan
yang berfokus pada pasien dan berorientasi pada tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dimana tindakan dilakukan dan
diselesaikan, sebagaimana di gambarkan dalam rencana yang sudah dibuat di
atas.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak. Dalam melakukan evaluasi, perawat seharusnya memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi
keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang
ingin dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan
dalam kriteria hasil.
DAFTAR PUSTAKA

Firiani, D. (2020). Buku Ajar TBC, Askep dan Pengawasan Minum Obat dengan
Media Telepon. Tanggerang Selatan: STIkes Widya Dharma Husada
Tangerang

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1 Cetakan III. Jakarta: DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi 1 Cetakan III. Jakarta: DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: DPP
PPNI

Anda mungkin juga menyukai