Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN


TERMOREGULASI PADA PASIEN DENGAN THYPOID DI RUANG
TERATAI RUMAH SAKIT BALADHIKA HUSADA JEMBER

OLEH:

Ika Adelia Susanti, S.Kep.


NIM 142311101093

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan berikut disusun oleh:

Nama : Ika Adelia Susanti, S.Kep.


NIM : 142311101093
Judul : ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PEMENUHAN
KEBUTUHAN TERMOREGULASI PADA PASIEN DENGAN
THYPOID DI RUANG TERATAI RUMAH SAKIT
BALADHIKA HUSADA JEMBER

Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari :
Tanggal :

Jember, Maret 2018

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

( ) ( )
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi Gangguan Kebutuhan Termoregulasi
B. Epidemiologi
C. Etiologi
D. Tanda dan Gejala
E. Patofisiologi dan Clinical Pathway
F. Penatalaksanaan Medis
G. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan yang sering muncul (PES)
b. Perencanaan Nursing Care Plan
H. Penatalaksanaan berdasarkan evidence based practice in nursing
I. Daftar Pustaka
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Gangguan Kebutuhan Termoregulasi


Termoregulasi merupakan mekanisme makhluk hidup dalam
mempertahankan suhu tubuh internal untuk tetap dalam suhu normal tubuh. Pusat
pengaturan termoregulasi terletak pada hipotalamus anterior (Andriyani dkk.,
2015). Suhu adalah besaran yang menunjukkan panas atau dinginnya suatu benda
dan bersifat dinamis (Kukus, 2009). Suhu tubuh manusia bersifat fluktuasi
disebabkan jumlah aliran darah ke kulit serta panas yang hilang ke lingkungan
luar (Potter & Perry, 2005). Suhu tubuh diatur dalam mekanisme umpan balik
negatif (negative feedback) yang diperlukan oleh pusat pengaturan suhu di
hipotalamus (Giddens, 2009). Suhu normal tubuh manusia yaitu 36,5-37,5
(Graha, 2010). Sebagian besar panas dibentuk oleh organ dalam terutama hati,
jantung, dan otot rangka selama melakukan aktivitas.

Sumber: Giddens (2009)

B. Epidemiologi
Peningkatan suhu tubuh atau demam merupakan masalah yang sering
terjadi unit perawatan intensif dengan angka kejadian sebesar 23% sampai 75%.
Peningkatan suhu tubuh pada pasien disebabkan oleh infeksi atau non infeksi
(Kothari dan Karnad, 2005; Dzulfaijah dkk., 2017). CDC melaporkan bahwa
gangguan termoregulasi banyak terjadi pada bayi dan lansia. Angka kejadian
akibat gangguan termoregulasi meningkat pada usia lebih dari 75 tahun (Giddens,
2009). Typhoid, sepsis, cidera kepala, stroke merupakan jenis penyakit yang dapat
meningkatkan suhu tubuh secara drastis. Berdasarkan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) (2011) terdapat 16 juta kasus per tahun
dengan angka kematian sebesar 600 kasus akibat typhoid. Thypoid menjadi
penyebab nomor tiga pasien di rawat di rumah sakit dari sepuluh penyakit yang
ada sering terjadi pada pasien rawat inap (Kemenkes RI, 2013).

C. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi suhu tubuh (Potter &
Perry, 2005). Faktor-faktor tersebut terdiri dari:
1. Usia
Bayi dan balita lebih mudah mengalami perubahan suhu. Hal ini disebabkan
mekanisme pengaturan suhu pada tubuh bayi dan balita masih belum optimal.
Sistem regulasi tubuh akan stabil saat mencapai pubertas. Lansia memiliki
rentang suhu yang sempit dibandingkan dewasa awal.
2. Olahraga
Aktivitas otot melibatkan peningkatan suplai darah dan pemecahan
karbohidrat serta lemak sehingga dapat meningkatkan produksi panas. Hal ini
dapat meningkatkan suhu tubuh. Olahraga berat yang lama, seperti lari jaak
jauh, dapat meningatkan suhu tubuh untuk sementara sampai 41 ºC.
3. Kadar hormon
Secara umum, wanita mengalami fruktuasi suhu tubuh yang lebih besar
dibandingkan pria. Variasi hormonal selama siklus menstruasi menyebabkan
fruktuasi suhu tubuh. Kadar progesteron meningkatkan dan menurunkan
secara bertahap selama siklus menstruasi. Bila keadaan progesteron rendah,
suhu tubuh beberapa derajat di bawah kadar batas. Suhu tubuh yang rendah
berlangsung sampai terjadi ovulasi. Selama ovulasi jumlah progesteron yang
lebih besar memasuki sistem sirkulasi dan meningkatkan suhu tubuh sampai
kadar batas atau lebih tinggi. Variasi suhu ini dapat digunakan untuk
memperkirakan masa paling subur pada wanita untuk hamil. Perubahan suhu
juga terjadi pada wanita selama menopause (penghentian menstruasi). Wanita
yang sudah berhenti menstruasi dapat mengalami periode panas tubuh dan
berkeringat banyak, 30 detik-5 menit. Hal tersebut karena kontrol vasomotor
yang tidak stabil dalam melakukan vasodilatasi dan vasokontriksi.
4. Irama Sirkadian
Suhu tubuh berubah secara normal 0,5 ºC sampai ºC selama periode 24 jam.
Bagaimanapun, suhu merupakan irama stabil pada manusia. Suhu tubuh
paling rendah biasanya antara pukul 1:00 dan 4:00 dini hari. Sepanjang hari
suhu tubuh naik, sampai seitar pukul 18:00 dan kemudian turun seperti pada
dini hariSecara umum, irama suhu sirkadian tidak berubah sesuai usia.
Penelitian menunjukkan, puncak suhu tubuh adalah dini hari pada lansia.
5. Stres
Stres fisik maupun emosional meningkatkan suhu tubuh melalui stimulasi
hormonal dan saraf. Perubahan fisiologis ini meningkatkan metabolisme,
yang akan meningkatkan produksi panas.
6. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi suhu tubuh. Tanpa mekanisme kompensasi yang
tepat, suhu tubuh manusia akan berubah mengikuti suhu lingkungan.
7. Demam
Demam merupakan temperatur tubuh di atas suhu tubuh normal (>37,8 )
per oral atau 38,8 per rektal. Demam dapat disebabkan oleh gangguan di
dalam otak atau bahan-bahan toksik yang dapat mengganggu sistem otak.
Demam dapat disebabkan penyakit bakteri, tumor otak, keadaan lingkungan
yang dapat meningkatkan suhu tubuh (panas) (Kukus, 2009).
8. Menggigil
Pada dasarnya temperatur tubuh manusia lebih rendah dibandingkan
temperatur pada hipotalamus yang menyebabkan kenaikan temperatur tubuh.
Selama periode ini tubuh akan menggigil dan merasa kedinginan meskipun
suhu tubuh di atas temperatur normal. Hal ini dapat menyebabkan kulit
menjadi pucat dan dingin sehingga dapat membuat tubuh gemetar dan proses
ini berlangsung secara terus menerus (Kukus, 2009).
Berdasarkan Nield dan Kamat (2011) kondisi medis yang dialami
seseorang juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan termoregulasi
diantaranya yaitu:
1. Penyakit autoimun
2. Penyakit kronis
3. Cidera
4. Infeksi virus, bakteri, dan parasit
5. Malnutrisi.

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala dari seseorang yang mengalami gangguan termoregulasi
yaitu:
1. Suhu tinggi 37,8 per oral atau 38,8 (Hipertermi)
Dalam NANDA (2015) hipertermi dapat ditandai dengan kulit berwarna
kemerahan, kulit terasa hangat saat disentuh, kejang, koma, hipotensi,
gelisah, apnea, postur abnormal, stupor, takikardi, latergi, takipnea, dan
vasodilatasi.
2. Suhu tubuh <36,5 (Hipotermi)
Dalam NANDA (2015) menjelasakan bahwa hipotermi dapat ditandai dengan
bradikardi, sianosis pada kuku, hipertensi, hipoglikemi, hipoksia,
meningkatnya konsumsi oksigen, peningkatan laju metabolik, kulit dingin,
menggigil, takikardi, dan vasokonstriksi perifer.
3. Dehidrasi
4. Kehilangan nafsu makan

E. Patofisiologi dan Clinical Pathway


Pusat pengaturan suhu dalam tubuh manusia yaitu di hipotalamus.
Hipotalamus menerima rangsang suhu tubuh bagian dalam dari suhu darah yang
masuk ke dalam otak dan informasi suhu luar tubuh dari reseptor panas yang
berada di kulit. Tubuh akan berusaha mempertahankan suhu tubuh dalam 37
meskipun suhu lingkungan di luar tubuh banyak yang berubah. Panas dapat
dibuang melalui kulit dan saluran pernafasan serta melalui aliran darah. Kulit
dapat melepaskan panas dengan cara pemancaran (radiasi), konveksi, atau
penghantaran (konduksi) (Price dan McGloin, 2003; Kukus, 2009). Titik tetap
tubuh dipertahankan agar suhu tubuh inti konstan pada 36,5-37,5oC. Apabila
hipotalamus mendekati suhu tubuh yang terlalu panas, tubuh akan melakukan
mekanisme umpan balik. Mekanisme umpan balik ini terjadi bila suhu inti tubuh
telah melewati batas toleransi tubuh untuk mempertahankan suhu, yang disebut
titik tetap (set point) yakni pada suhu 370C (Giddens, 2009).
Peningkatan suhu tubuh disebabkan adanya gangguan pada set point pada
hipotalamus yang dapat disebabka oleh bakteri yang merangsang PMN untuk
menghasilkan piogen. Piogen merupakan substansi yang menyebabkan demam
dan berasal baik dari eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen adalah pirogen
yang berasal dari luar tubuh, terutama mikroba dan produk seperti toksin. Pirogen
endogen adalah mikroorganisme atau toksik. Pirogen endogen adalah polipeptida
yang dihasilkan oleh jenis sel penjamu terutama monosit, makrofag, pirogen
memasuki sirkulasi dan menyebabkan demam pada tingkat termoregulasi di
hipotalamus. Pirogen endogen terdiri dari interleukin 1, interleukin 6, dan TNF
(tumor necrosis factor) (Kothari dan Karnad, 2005; Sari dkk., 2013; Sari dkk.,
2013).
Hipertermi dapat menyebabkan permasalahan yang serius yaitu
peningkatan curah jantung, konsumsi oksigen, produksi dioksida, dan peningkatan
metabolisme basal (basal metabolic rate/BMR). Pada saat seseorang dalam
kondisi hipertermi maka akan terjadi peningkatan konsumsi oksigen sebesar 10%
per 1 yang dapat menyebabkan kematian. Peningkatan konsumsi oksigen dalam
tubuh dapat menyebabkan hipoksia sel. Hipoksia yang terjadi pada miokard dapat
menyebabkan angini (nyeri dada) dan hipoksia cerebral yang dapat menyebabkan
kecemasan. (Susanti, 2012). Peningkatan kecepatan dan pireksi atau demam akan
mengarah pada meningkatnya kehilangan cairan dan elektrolit. Cairan dan
elektrolit sangat dibutuhkan dalam metabolisme di otak untuk menjaga
keseimbangan termoregulasi di hipotalamus anterior. Apabila seseorang
kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi), maka elektrolit-elektrolit yang ada
pada pembuluh darah berkurang sehingga mempengaruhi fungsi hipotalamus
anterior dalam mempertahankan keseimbangan termoregulasi dan akhirnya
menyebabkan peningkatan suhu tubuh dan dapat menyebabkan kejang (Kothari
dan Karnad, 2005; Setiawati, 2009).
Hipotermia terjadi akibat kehilangan panas berlebihan, produksi panas
yang kurang serta disfungsi regulasi hipotalamus. Hipotermia dapat terjadi akibat
aksidental ataupun terapeutik. Hipotensi aksidental dapat terjadi akibat paparan
dari lingkungan sedangkan terapeutik dapat terjadi akibat proses tindakan atau
perawatan pada penyakit misalnya pembedahan yang teralalu lama (Giddens,
2009).
Clinical Pathway

Faktor Resiko Gangguan Termoregulasi

Infeksi virus,bakteri, parasit Salmonella thyposa Bakteri masuk ke dalam mulut

Autoimun Hipotalamus
Pengeluaran endotoksin antigen
Cidera

Penyakit Kronis Produksi panas, Pengeluaran fagosit sel darah


penyimpanan panas, putih
Malnutrisi pengeluaran panas Produksi endogenous pyrogen (IL-1, IL-6, TNF, dan IFN)

Usia
Peningkatan produksi prostaglandin
Hormon Hipotermi

Merangsang hipotalamus mencapai set point


Irama Sirkandia

Stres Peningkatan Hipertermi Kenaikan suhu tubuh


kehilangan
Demam cairan Peningkatan Konsumsi Oksigen Hipoksia
Menggigil cerebral
Dehidrasi
Hipoksia Sel Ansietas
Lingkungan

Kekurangan
Nyeri Akut
Volume Cairan
F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis untuk termoreguasi antara lain (Purwanti dan
Ambarwati, 2008):
1. Pemberian obat antipiretik seperti parasetamol dan acetaminophen
2. Pemberian obat antiinfamasi
3. Terapi cairan intrevena untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh
4. Pemberian terapi oksigen sebagai kompensasi kebutuhan oksigen akibat
permasalahan termoregulasi
5. Pada kasus infeksi diberikan antibiotik.

G. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan yang sering muncul (PES)
1. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan kulit
teraba hangat, postur abnormal, koma, apnea, kejang, kulit memerah,
hipotensi, vasodilatasi, lethargi, takikardia, takipnea, irritable.
2. Hipotermi berhubungan dengan agen farmasi ditandai dengan kulit
teraba dingin, muka pucat, hipertensi, berkurangnya ventilasi,
meningkatnya laju metabolik, hipoksia, hipoglikemia, bradikardi,
bradipnea, kuku sianosis, menggigil, CRT lambat.
3. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit ditandai
dengan kuku sianosis, fluktuasi suhu tubuh, kejang, kulit dingin, pucat,
dan peningkatan frekuensi pernafasan.
4. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan konsumsi oksigen
ditandai dengan ekspresi wajah nyeri (meringis), skala nyeri, fokus
pada diri sendiri, dan perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme
regulasi ditandai dengan haus, kelemahan, kulit keringm membran
mukosa kering, peningkatan frekuensi nadi, peningkatan suhu tubuh,
penurunan tekanan darah, dan perubahan status mental.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai
dengan agitasi, gelisah, dan insomnia.
b. Perencanaan Nursing Care Plan
No. Masalah NOC NIC
Keperawatan
1. Hipertermia Thermoregulation: Fever Treatment:
(00007) 1. Penurunan suhu Mandiri
tubuh (36,50- 1. Monitor suhu tubuh dan
37,50C) tanda-tanda vital
2. Berkeringat saat 2. Monitor warna kulit dan
demam suhu
3. Perubahan warna 3. Monitor intake dan
kulit (tidak otput cairan
kemerahan) 4. Selimuti pasien dengan
4. Perubahan selimut tipis dan
frekuensi pakaian tipis
pernapasan (12- Promotif
20x/menit) 5. Anjurkan pasien minum
5. Perubahan banyak air (250 ml
frekuensi nadi setiap 2 jam)
radial (80- 6. Anjurkan pasien banyak
100x/menit) istirahat, bila perlu
6. Penurunan batasi aktivitas
gelisah (tenang) Edukasi
7. Melaporkan 7. Ajarkan cara melakukan
kenyamanan suhu kompres hangat pada
pasien saat pasien
demam tinggi
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian
obat (antipiretik,
antibiotik) atau cairan
IV
9. Kolaborasi pemeriksaan
laboratorium (darah
lengkap, urin)
2. Hipotermia Thermoregulation: Hypothermia Treatment:
(00006) 1. Kenaikan suhu Mandiri
tubuh (36,50- 1. Monitor suhu tubuh
37,50C) dan tanda-tanda vital
2. Menggigil saat 2. Monitor warna kulit
dingin dan suhu
3. Perubahan warna 3. Selimuti pasien dengan
kulit (tidak pucat, selimut tebal, penutup
tidak kebiruan) kepala, dan pakaian
4. Perubahan hangat
frekuensi
pernapasan (12- Promotif
20x/menit) 4. Anjurkan pasien
5. Perubahan mengonsumsi makanan
frekuensi nadi hangat, cairan
radial (80- berkarbohidrat tinggi
100x/menit) 5. Anjurkan pasien
6. Melaporkan meletakkan botol berisi
kenyamanan suhu air hangat pada
ektremitas
Edukatif:
6. Ajarkan pasien dan
keluarga memodifikasi
lingkungan dan faktor
lain yang menyebabkan
hipotermia
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian
cairan IV hangat,
warmed humid oxygen
3. Ketidakefektifan Thermoregulation: Temperature Regulation:
termoregulasi 1. Penurunan suhu Mandiri
(00008) tubuh (36,50- 1. Monitor suhu dan
0
37,5 C) tanda-tanda vital
2. Peningakatan setidaknya setiap 2 jam
suhu tubuh 2. Monitor warna kulit
(36,50-37,50C) dan suhu kulit
3. Berkeringat saat 3. Monitor tanda dan
demam gejala hipotermia dan
4. Menggigil saat hipertermia
dingin 4. Sediakan intake nutrisi
5. Perubahan warna dan cairan yang
kulit (tidak adekuat
kemerahan, tidak Edukatif
pucat, tidak 5. Menginformasikan
kebiruan) pasien tanda gejala
6. Perubahan hipotermia dan
frekuensi penaganan hipotermia
pernapasan (12- 6. Mengajarkan pasien
20x/menit) cara mencegah
7. Perubahan hipotermia
frekuensi nadi 7. Mengajarkan pasien
radial (80- untuk mencegah heat
100x/menit) stroke
8. Penurunan Promotif
gelisah (tenang) 8. Anjurkan pasien
9. Melaporkan memakai pakaian yang
kenyamanan suhu hangat dan selimut
untuk menaikkan suhu
tubuh
Kolaboratif
9. Kolaborasi pemberian
antipiretik atau cairan
IV
4. Nyeri Akut Pengetahuan: Manajemen Nyeri
(00132) Manajemen Nyeri. 1. Lakukan pengkajian nyeri
1. Pasien mampu yang meliputi lokasi,
menyampaikan karakteristik, durasi,
faktor penyebab frekuensi, kualitas,
nyeri intensitas, atau beratnya
2. Nyeri terkontrol nyeri dan faktor pencetus
3. Pasien mampu nyeri.
menyampaikan 2. Jelaskan pada pasien terkait
tanda dan gejala nyeri yang diraskan
nyeri 3. Observasi tanda-tanda vital
4. Pasien mampu pasien
menyampaikan 4. Observasi adanya petunjuk
strategi untuk nonverbal mengenai
mengontrol nyeri. ketidaknyamanan
5. Pastikan perawatan
analgesik bagi pasien
diakukan dengan
pemantauan ketat
Terapi Relaksasi
1. Gambarkan rasionalisasi
dan manfaat relaksasi serta
jenis relaksasi yang tersedia
(misanya, music, bernapas
dengan ritme, dan relaksasi
otot progresif)
2. Ciptakan lingkungan yang
tenang dan tanpa distraksi
dengan lampu yang redup
dan suhu lingkungan yang
nyaman, jika
memungkinkan
3. Dorong pasien untuk
mengambi posisi yang
nyaman dengan pakaian
loggar dan mata tertutup
4. Minta pasien untuk rileks
dan merasakan sensasi yang
terjadi
5. Kekurangan Fluid Balance Fluid Balance
Volume Cairan 1. Tekanan darah 1. Timbang berat badan
(00027) normal (120/90 setiap hari
mmHg) 2. Pertahankan intake dan
2. Denyut nada output cairan
radial 80-100 3. Monitor status hidrasi
x/menit 4. Monitor tanda-tanda vital
3. Keseimbangan pasien
intake dan output 5. Berikan terapi IV
dalam 24 jam 6. Dukung pasien dan
4. Turgor kulit keluarga untuk membantu
5. Berat badan stabil memberikan makan
Hydration dengan baik
1. Turgor kulit
2. Membran mukosa
lembab
3. Intake cairan
adekuat
4. Output cairan
6. Ansietas Kontrol Kecemasan Pengurangan Kecemasan
(00146) Diri 1. Gunakan pendekatan yang
Status Neurologi tenang dan meyakinkan
1. Klien mampu 2. Jelaskan semua prosedut
mengidentifikasi dengan benar
dan 3. Dorong keluarga untuk
mengungkapkan mendampingi klien dengan
gejala cemas. cara yang tepat
2. Mengidentifikasi, 4. Dengarkan klien
mengungkapkan 5. Bantu klien
dan menunjukkan mengidentifikasi situasi
tehnik untuk yang menyebabkan
mengontol kecemasan
cemas.
3. Vital sign dalam
batas normal
(N=80-100x/m,
T=36,5-37,5 ,
TD=120/90 mm
Hg, RR=12-
20x/m)
4. Postur tubuh,
ekspresi wajah,
dan tingkat
aktivitas
menunjukkan
cemas berkurang.
H. Penatalaksanaan berdasarkan evidence based practice in nursing
Hipertermi merupakan salah satu gangguan termoregulasi yang sering
terjadi pada pasien. Penurunan suhu badan dapat dilakukan dengan cara
nonfarmakologi yaitu dengan pendinginan eksternal. Kompres merupakan
metode pendinginan eksternal atau pendingininan secara fisik yang terdiri dari
kompres hangat, dingin, alkohol, basah selimut, bungkus dingin, semprotan ke
daerah badan, dan pendinginan kipas (Purwanti dan Ambarwati, 2008; Sari, 2013;
Pratiwi dkk., 2015). Selain hal tersebut, tepid sponge juga dapat digunakan dalam
penurunan suhu tubuh pada pasien anak-anak, dewasa, dan lansia (Smith, 2016;
Thomas dkk., 2009).
Kompres tepid sponge merupakan sebuah teknik kompres hangat yang
menggunakan teknik kompres blok pada pembuluh darah supervicial dengan
teknik seka (Corrard, 2001). Metode ini sangat efektif untuk menurunkan suhu
tubuh dan membantu mengurangi rasa sakit atau tidak nyaman (Suprapti, 2008;
Maling dkk., 2012). Penurunan suhu tubuh pada anak yang diberikan antipiretik
dan tepid sponge mengalami penurunan sehu 0,97 dalam waktu 60 menit.
Pemberian tepid sponge cukup diberikan satu kali dalam sehari yaitu pada sore
hari (15.00-16.00) selama 10 menit (Dewi, 2016).
I. Daftar Pustaka
Andriyani, R., A. Triana, dan W. Juliarti. 2015. Buku Ajar Biologi Reproduksi dan
Perkembangan. Ed. 1. Yogyakarta: Deepublish.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Corrard, F. 2001. Ways to reduse fever new luke warm water baths still indicated.
Arch Pediatric. Vol 9(3): 311-315.
Dewi, A. K. 2016. Perbedaan Penurunan Suhu Tubuh Antara Pemberian Kompres
Air Hangat Dengan Tepid Sponge Bath Pada Anak Demam. Jurnal
Keperawatan Muhammadiya. Vol 1 (1): 63-71.
Dzulfaijah, N. K., Mardiyono, Sarkum, dan D. Saha. 2017. Combination of Cold
Pack, Water Spray, and Fan Cooling on Body Temperature Reduction and
Level of Success To Reach Normal Temperature in Critically Ill Patients
with Hyperthermia. Belitung Nursing Journal. Vol 3(6): 757-764.
Gidden, Jean Foret. 2009. Concept for Nursing Practice 2nd Edition. Missouri:
Elsevier.
Graha, A. S. 2010. Adaptasi Suhu Tubuh terhadap Latihan dan Efek Cedera di
Cuaca Panas dan Dingin. Jurnal Olahraga Prestasi. Vol 6(2): 123-134.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Laporan Akhir Riset Fasilitas
Kesehatan tahun 2011. Jakarta: Dadan Litbangkes.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kothari, V. M. dan D. R. Karnad. 2005. New Onset Fever in The Intensive Care
Unit. Japi. Vol 53: 949-953.
Kukus, Y., W. Supit., dan F. Lintong. 2009. Suhu Tubuh: Homeostasis dan Efek
terhadap Kinerja Tubuh Manusia. Jurnal Biomedik. Vol 1 (2): 107-118.
Maling, B., S. Haryani, dan S. Arif. 2012. Pengaruh Kompres Tepid Sponge
Hangat Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Umur 1-10 tahun
dengan Hipertermi. Semarang: STIKES Telogorejo Semarang.
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey
Backwell.
Pratiwi, S. H., Ropi, H., & Sitorus, R. (2015). Perbedaan Efek Kompres Selimut
Basah dan Cold-pack terhadap Suhu Tubuh Pasien Cedera Kepala di
Neurosurgical Critical Care Unit. Jurnal Keperawatan Padjadjaran. Vol
3(3).
Price, T. dan S. McGloin. 2003. A Review of Cooling Patients with Severe
Cerebral Insult in ICU (Part 1). Nursing In Critical Care. Vol 8(1): 30-36.
Purwanti, S. dan N. W. Ambarwati. 2008. Pengaruh Kompres Hangat terhadap
Perubahan Suhu Tubuh pada Pasien Anak Hipertermia di Ruang Rawat Inap
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan.
Sari, E. K., I. S. Redjeki dan W. Rakhmawati. 2013. Perbandingan pengaruh
water spray dan fan cooling menggunakan air hangat dengan air suhu
ruangan terhadap penurunan suhu tubuh. Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol
1(2): 150-156.
Setiawati, T. 2009. Pengaruh Tepid Sponge. Jakarta: Universitas Indonesia.
Smith, N. 2016. Nursing Practice & Skill Fever: Managing Fever in Older Adults.
EBSCO Information Services.
Suprapti. 2008. Perbedaan Pengaruh Kompres Hangat dengan Kompres Diingin
terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien anak karena infeksi di BP
RSUP Djojonegoro Temanggung.
Susanti, N. 2012. Efektifitas Kompres Dingin Dan Hangat Pada Penataleksanaan
Demam. Sainstis.
Thomas, S., C. Vijaykumar, R. Naik, P. D. Moses, dan B. Antonisamy. 2009.
Comparative Effectiveness of Tepid Sponging and Antipyretic Drug Versus
Only Antipyretic Drug in the Management of Fever Among Children: A
Randomized Controlled Trial. Indian Pediatrics. Vol 45: 133-136.

Anda mungkin juga menyukai