Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN KASUS ACUTE LONG


OEDEMA RSUD WALUYO JATI

Oleh :
NABILA CAMELIA IZZA
(NIM. 14401.19.20014)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2022
A. ANATOMI & FISIOLOGI
Paru-paru manusia dibungkus oleh selaput tipis yang bernama pleura. Pleura terbagi
menjadi 2 macam yaitu: pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput
tipis yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang
menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat bagian rongga yang disebut
cavum pleura (Guyton, 2017).
Menurut Juarfianti (2015) sistem pernafasan manusia dapat dibagi ke dalam
sistem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah.
1. Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan
faring.
2. Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
alveolus paru.
Menurut Alsagaff (2015) sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua proses,
yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam
paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari 10 dalam paru ke atmosfer. Agar
proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot
pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua
yaitu :
1. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.
2. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus.

Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam keadaan
normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga
paru-paru dengan mudah bergeser dan bergerak pada dinding dada karena memiliki
struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara paruparu dan
dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2017). Fungsi utama dari
paru-paru adalah untuk proses terjadinya pertukaran gas antara darah dan atmosfer.
Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan pasokan oksigen yang
berguna bagi jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida yang merupakan sisa dari
proses metabolisme didalam tubuh. Kebutuhan
Oksigen dan karbon dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan
metabolisme seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar
pasokan kandungan oksigen dan karbon dioksida bisa normal (Jayanti, 2013).
Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem yang berbentuk
berupa pipa yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) dan bercabang di kedua
belah paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembunggelembung
paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan
karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300
juta alveoli di dalam paru-paru manusia dan bersifat elastic (Yunus, 2017).
Menurut Guyton (2017) untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat
dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu :
3. Ventilasi paru yang berfungsi untuk proses masuk dan keluarnya udara antara
alveoli dan atmosfer.
4. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.
5. Transport dari pasokan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan
tubuh ke dan dari sel.
6. Pengaturan ventilais pada sistem pernapasan.
Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Selama bernafas tenang,
tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada
permulaan, inspirasi menurun sampai -6mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang
lebih mengembang dan tertanam dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif
dan udara mengalir ke dalam paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada
kembali ke posisi ekspirasi dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada
seimbang. (Algasaff, 2015)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru-paru manusia adalah
sebagai berikut :
1. Usia
Kekuatan otot maksimal paru-paru pada usia 20-40 tahun dan dapat berkurang
sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan terjadi penurunan
elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan kapasitas paru.
2. Jenis kelamin
Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi sebesar 20-25% dari pada funsgi
ventilasi wanita, karena ukuran anatomi paru pada laki-laki lebih besar
dibandingkan wanita. Selain itu, aktivitas laki-laki lebih tinggi sehingga recoil
dan compliance paru sudah terlatih.
3. Tinggi badan
Seorang yang memiliki tubuh tinggi memiliki fungsi ventilasi lebih tinggi
daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Juarfianti, 2015).

Volume dan kapasitas paru


Menurut Evelyn (2019) volume paru terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada
setiap kali pernafasan normal. Nilai dari volume tidal sebesar ± 500 ml pada
rata-rata orang dewasa.
2. Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang diinspirasi
setelah volume tidal, dan biasanya mencapai maksimal ± 3000 ml.
3. Volume Cadangan Ekspirasi adalah jumlah udara yang masih dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal, pada
keadaan normal besarnya adalah ± 1100 ml.
4. Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru-
paru setelah ekspirasi kuat. Nilainya sebesar ± 1200 ml.
Menurut Yunus (2017) kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa
volume paru-paru dan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Kapasitas Inspirasi, sama dengan volume tidal + volume cadangan
inspirasi. Besarnya ± 3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang dapat
dihirup seseorang mulai pada tingkat ekspirasi normal dan
mengembangkan paru sampai jumlah maksimum.
2. Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan inspirasi +
volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang
tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal.
3. Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume tidal +
volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah
udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru, setelah terlebih dahulu
mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya
sebanyakbanyaknya.
4. Kapasitas Vital paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah
volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspiras
maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Hasil ini didapat
setelah seseorang menginspirasi dengan usaha maksimal dan
mengekspirasi secara kuat dan cepat.
5. Volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1) atau Forced Expiratory Volume
in One Second (FEV1) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan
dengan ekspirasi maksimum per satuan detik. Hasil ini didapat setelah
seseorang terlebih dahulu melakukakan pernafasan dalam dan inspirasi
maksimal yang kemudian diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya dan
semaksimal mungkin, dengan cara ini kapasitas vital seseorang tersebut
dapat dihembuskan dalam satu detik.
6. Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu.
Besarnya ± 5800ml, adalah volume maksimal dimana paru dikembangkan
sebesar mungkin dengan inspirasi paksa.Volume dan kapasitas seluruh
paru pada wanita ± 20 – 25% lebih kecil daripada pria, dan lebih besar
pada atlet dan orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh
kecil dan astenis.

B. DEFINISI
Acute lung oedema merupakan penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa
secara berlebihan dalam ruang interstitial dan alveolus pari-paru secara mendadak
karena ada tekanan hidrostatika kapiler meningkat dan penurunan tekanan koloid
osmotic serta kerusakan dinding kapiler, sehingga dapat menyebabkan kebocoran
kapiler ke ruang interstitial dan menjadi oedem alveolar (Satyawan dan Sukartini
2016).
Edem paru kardiogenik disebabkan oleh tekanan hidrosstatik kapiler paru yang
dapat terjadi akibat perfusi berlebihan baik dari infuse darah maupun produk darah
dan cairan lainnya, sedangkan edem paru non kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas kapiler paru antara lain pada pasca transplantasi paru dan
reekspansi edem paru, termasuk cidera iskemik-perfusi-dimediasi (rampengan
2014).
Edem paru timbul apabila cairan yang di filtrasi oleh dinding mikrovaskuler
lebih banyak dari yang bisa dikeluarkan. akumulasi cairan ini akan berakibat serius
pada fungsi paru oleh karena tidak mungkin terjadi pertukaran gas apabila alveoli
penuh terisi cairan. dalam keadaan normaldidalam paru terjadi keluar yang
continue dari cairan dan protein dalam pembulu darah ke jaringan interstitial dan
kembali ke system aliran darah melalui saluran limfe (nandrastuti dan soetomo
2010)

C. ETIOLOGI
Menurut karya ilmiah yang disusun oleh Huldani, 2014 menyebutkan bahwa
penyebab terjadinya ALO dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau system
kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang bertugas menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit
karena adanya penimbunana lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika
terbentuknya gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta
merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut
b. Kardiomiopati
Menurut beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya
kardiomiopati dapat disebabkan oleh terjadinya infeksi pada miokard
jantung (miokarditis), pemakaian dan penyalahgunaan alkohol dan efek
racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati
menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
berkontraksi secara baik yang menyebabkan suatu keadaan dimana
kebutuhan jantung memompa darah lebih berat karena berada pada keadaan
infeksi.
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis)
2. Edema paru non kardiogenik
Yaitu edema paru yang terjadi bukan disebabkan karena kelainan pada
jantung tetapi paru itu sendiri. Pada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan
oleh :
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
d. Acute respiratory distress syndrome (ards)

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi
(foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara
klinik sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai
dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat
terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi
ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-
kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi,
hipoksemia dan sesak nafas. Sering kali keadaan ini berlangsung dengan derajat
yang berbeda-beda.
1. stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi
gas CO2. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas
saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas
yang tertutup pada saat inspirasi.
2. stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor
intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal
oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi.
Sering terdapat takhipnea merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi
takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat.
3. stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan
nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-
hati. Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic
phosphodiesterase akan mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. (Kamila, 2013)

E. PATOFISIOLOGI
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama
melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial sesuai dengan
selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas
membrane kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang
interstisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang
kemudian dikembalikan oleh siistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein
plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan
untuk filtrasi cairan keluar dari kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein.
Terdapat dua mekanisme terjadinya edem paru:
1. Membran kapiler alveoli
Edem paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan
normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke
ruangan interstisial
2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah
interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan
dari interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di
tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut
berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah
cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg
dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada
percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada
orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium
kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai
kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih
besar yang dapat mencegah terjadinya edem.
Edema Paru Kardiogenik
Edem paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi
cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan
pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceral yang menyebabkan efusi
pleura. Sejak permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edem yang
meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan
tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan
tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg)
menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka
cairan edem akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus.
Edem paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute
Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS ini didefinisikan sebagai munculnya gejala
dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung
yang tidak normal.
Secara patofisiologi edem paru kardiogenik ditandai dengan transudai cairan
dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan
tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru Seringkali keadaan ini berlangsung
dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan
pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat
memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari
gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan
aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang
tertutup.
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edem
interstisial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstisial yang longgar
dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan
mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan
petanda septum interlobuler. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi aka
mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang
semakin memburuk.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan hilus yang melebar dan densitas meningkat
disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstitial atau alveolar.
2. Laboratorium
a. Analisis gas darah (AGD) atau arterial blood gas (ABG) test adalah tes
untuk mengukur kadar oksigen, karbon dioksida, dan tingkat asam basa
(pH) di dalam darah. Sampel darah harus diperiksa dalam waktu 10 menit
setelah diambil untuk keakuratan hasil.
1) Indikasi Analisis Gas Darah
Analisis gas darah dilakukan untuk untuk mengetahui bila darah terlalu
asam (asidosis) atau basa (alkalosis), serta untuk mengetahui apakah
tekanan oksigen dalam darah terlalu rendah (hipoksemia) atau tekanan
karbon dioksida terlalu tinggi (hiperkarbia).
Kondisi-kondisi di atas dapat digunakan sebagai dasar diagnosis
penyakit yang berkaitan dengan sistem metabolisme tubuh atau sistem
pernapasan. Penyakit-penyakit tersebut antara lain:
a) Gagal napas
b) Asma
c) Penyakit paru obstruktif kronis
d) Pneumonia
e) Ketoasidosis diabetik
f) Gagal hati
g) Gagal jantung
h) Gagal ginjal
i) Trauma kepala atau leher yang memengaruhi pernapasan,
contohnya luka bakar
j) Infeksi berat atau sepsis
k) Gangguan tidur
l) Keracunan zat kimia atau overdosis obat
m) Selain untuk diagnosis, analisis gas darah juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi kondisi pasien yang menggunakan alat
bantu pernapasan.
2) kontraindikasi Analisis Gas Darah
Sampel darah untuk analisis gas darah berasal dari pembuluh darah
arteri yang terletak lebih dalam daripada pembuluh darah vena. Oleh
karena itu, teknik pengambilan darah akan berbeda dengan pengambilan
darah pada umumnya. Teknik ini juga mungkin terasa lebih tidak
nyaman.
Pengambilan sampel darah bisa dilakukan di beberapa lokasi yang
pembuluh darah arterinya paling mudah untuk diakses. Namun, ada
beberapa kondisi yang membuat pengambilan darah arteri tidak boleh
dilakukan pada sebuah lokasi, antara lain:
a) Terdapat gangguan aliran darah
b) Terdapat penyakit arteri perifer
c) Terdapat saluran abnormal (fistula) pada pembuluh arteri, baik
yang timbul karena penyakit atau sengaja dibuat atau dicangkok
untuk akses cuci darah (cimino)
d) Terdapat infeksi, luka bakar, atau bekas luka
e) pasien memiliki gangguan pembekuan darah atau sedang
mengonsumsi obat pengencer darah (antikoagulan)
f) obat-obatan, termasuk produk herbal, vitamin, dan suplemen
g) merokok atau menghirup asap rokok (pasif), mengalami demam,
dan bernapas cepat, misalnya karena cemas.
3) Sebelum dilakukan Analisis Gas Darah
dokter akan menentukan pembuluh arteri mana yang paling mudah dan
memenuhi syarat untuk diakses. Bila diperlukan, dokter bisa
menjalankan beberapa jenis tes untuk memastikan aliran darah arteri
lancar.
Jika pasien sedang mendapatkan oksigen tambahan, kadar oksigen yang
diterima harus konstan selama kurang lebih 20 menit sebelum pasien
menjalani tes analisis gas darah. Suplai oksigen tambahan juga bisa
dihentikan 20 menit sebelum pengambilan darah, jika kondisi pasien
memungkinkan.
4) Hasil Analisis Gas Darah
Hasil analisis gas darah tergantung dari sejumlah faktor, seperti usia,
jenis kelamin, dan riwayat kesehatan. Hasil tes ini umumnya meliputi
pengukuran terhadap beberapa hal berikut:
a) Asam basa (pH) darah
Asam basa atau pH darah diukur dengan melihat jumlah ion
hidrogen dalam darah. Jika pH darah di bawah normal, darah
dikatakan lebih asam, sementara jika pH di atas nilai normal,
darah dikatakan lebih basa.
b) Saturasi oksigen
Saturasi oksigen diukur dengan melihat jumlah oksigen yang
dibawa oleh hemoglobin di dalam sel darah merah.
c) Tekanan parsial oksigen
Tekanan parsial oksigen diukur berdasarkan tekanan oksigen yang
larut di dalam darah. Pengukuran ini menentukan seberapa baik
oksigen dapat mengalir dari paru ke dalam darah.
d) Tekanan parsial karbon dioksida
Tekanan parsial karbon dioksida diukur dengan melihat tekanan
karbon dioksida yang larut di dalam darah. Pengukuran ini
menentukan seberapa baik karbon dioksida dapat dikeluarkan dari
tubuh.
e) Bikarbonat
Bikarbonat adalah zat kimia penyeimbang yang mencegah pH
darah menjadi terlalu asam atau terlalu basa.
Berdasarkan pengukuran hal-hal di atas, hasil analisis gas darah terbagi
menjadi normal dan abnormal (tidak normal). Berikut penjelasannya:
a) Hasil normal
Hasil Jenis pemeriksaan Hasil normal
pH darah 7,38–7,42
Tingkat penyerapan oksigen (SaO2) 94–100%
Tekanan parsial oksigen (PaO2) 75–100 mmHg
Tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) 38–42 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 22–28 mEq/L
b) Hasil abnormal
Ph Bikarbonat PaCO2 Kondisi Penyebab
Darah umum
<7,4 Rendah Rendah Asidosis gagal ginjal,
metabolik syok, dan
ketoasidosis
diabetik
(KAD).
>7,4 Tinggi Tinggi Alkalosis muntah kronis,
metabolik kalium darah
rendah
(hipokalemia).
<7,4 Tinggi Tinggi Asidosis Penyakit paru,
termasuk
respiratorik
pneumonia
atau penyakit
paru obstruktif
kronis
(COPD)
>7,4 Rendah Rendah Alkalosis napas terlalu
respiratorik cepat, rasa
sakit, atau
kecemasan.

b. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.


c. Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis, enzim jantung
(CKCKMB, Troponin T) diperiksa.
3. EKG
Pemeriksaan EKG bias normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia
atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis
hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran
hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang
noniskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negative yang lebar
dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah
klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non
iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat
menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis
(Harriyanto dkk, 2013)
G. PENATALAKSANAAN
Dalam asuhan keperawatan yang disusun oleh karya husada, 2014 dan
Haryanto dkk, 2013 dalam menyusun asuhan kegawatdaruratan acut lung oedema
penatalaksanaannya sebagai berikut:
1. Medis
a. Pemberian oksigen tambahan
Oksigen diberikan dalam konsentrasi yang adekuat untuk menghilangkan
hipoksia dan dispnea.
b. Farmakoterapi
1) Diuretik
a) Furosemide (lasix)
Diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik cepat.
Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah
di pembuluh darah perifer yang pada gilirannya mengurangi jumlah
darah yang kembali kejantung, bahkan sebelum terjadi efek diuretic.
Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda
hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau
Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik.
Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
b) Bumetanide (Bumex) dan diuril (sebagai pengganti furosemide)
2) Digitalis
a) Digokain
Untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan curah ventrikel
kiri.Perbaikan kontraktilitas jantung akan meningkatkan curah
jantung, memperbaiki dieresis dan menurunkan tekanan diastole, jadi
tekanan kapiler paru dan transudasi atau perembesan cairan ke alveoli
akan berkurang.
b) Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6
mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa
diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
c) Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan
Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kg BB/menit bila tidak member
respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien
yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
3) Aminofilin
Bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme yang berarti
untuk merelaksasi bronco spasme.
Aminofilin diberikan secara IV secara terus menerus dengan dosis sesuai
berat badan.
c. Pemasangan Indelwing catheter
Kateter dipasang dalam beberapa menit karena setelah diuretic diberikan akan
terbentuk sejumlah besar urin.
d. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik
Jika terjadi gagal nafas meskipun penatalaksanaan telah optimal, perlu
diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik (PEEP=Tekanan
Ekspirasi Akhir Positif)
e. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
f. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan
ruptur dinding ventrikel.
g. Pemantauan hemodinamika invasive
Pemasangan kateter swan-ganz untuk pemantauan CVP, tekanan arteri
pulmonalis dan tekanan baji arteri pulmonalis, suhu, SvO2. Dapat
dipergunakan untuk menentukan curah jantung, untuk pengambilan contoh
darah vena dan arteria pulmonalis, dan untuk pemberian obat
h. Pemantauan hemodinamika
Suatu metode yang penting untuk mengevaluasi volume sekuncup dengan
penggunaan kateter arteri pulmonal multi-lumen. Kateter dipasang melalui
vena cava superior dan dikaitkan ke atrium kanan. Balon pada ujung kateter
lalu dikembangkan, sehingga kateter dapat mengikuti aliran darah melalui
katup trikuspidalis, ventrikel kanan, katup pulmonal, ke arteri pulmonalis
komunis dan kemudian ke arteri pulmonal kanan atau kiri, akhirnya berhenti
pada cabang kecil arteri pulmonal. Balon kemudian dikempiskan begitu
kateter telah mencapai arteri pulmonal, kemudian diplester dengan kuat.
Tekanan direkam dengan balon pada posisi baji pada dasar pembuluh darah
pulmonal. (tekanan baji kapiler rata-rata 14 dan 18 mmHg menunjukkan
fungsi ventrikel kiri yang optimal).
2. Keperawatan
Berikan dukungan psikologis
a. Menemani pasien
b. Berikan informasi yang sering, jelas tentang apa yang sedang dilakukan untuk
mengatasi kondisi dan apa makna respons terhadap pengobatan
c. Atur posisi pasien
Pasien diposisikan dalam posisi tegak, dengan tungkai dan kaki dibawah,
sebaiknya kaki menggantung disisi tempat tidur, untuk membantu arus balik
vena ke jantung. Posisi penderita didudukkan 60-90 untuk memperbaiki
ventilasi walaupun terdapat hipotensi (posisi 1/2 duduk)
d. Auskultasi paru
e. Observasi hemodinamik non invasive/ tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi,
frekuensi napas, tekanan vena jugularis)
f. Pembatasan asupan cairan pada klien.
g. Monitor intake dan output cairan tubuh klien

H. KOMPLIKASI
Dalam asuhan keperawatan yang disusun oleh karya husada, 2014
menyebutkan komplikasi dari ALO sebagai berikut:
1. ARDS (Accute Respiratory Distres Syndrome)
Karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat
mengembang dan udara tidak dapat masuk, akibatnya adalah hipoksia berat.
2. Gagal napas akut
Tidak berfungsinya penapasan dengan derajat dimana pertukaran gas tidak
adekuat untuk mempertahankan gas darah arteri (GDA).
3. Kematian
Kematian pada edema paru tidak dapat dihindari lagi. Pasien dapat mengalami
komplikasi jika tidak segera dilakukan tindakan yang tepat.
I. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar keperawatan yang diperlukan
untuk mengenal masalah klien agar dapat memberikan tindakan keperawatan.
Tahap pengkajian ini terdiri dari 4 komponen antara lain : pengumpulan data,
pengelompokan data, analisa data dan perumusan diagnosa keperawatan.
2. DATA SUBYEKTIF
Keluhan Utama
Keluhan utama diperoleh dengan menanyakan tentang gangguan yang
paling dirasakan klien hingga klien memerlukan pertolongan. Keluhan utama
pada klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler secara umum antara lain
sesak napas, batuk, nyeri dada, pingsan, berdebar – debar, cepat lelah dan
edema ekstremitas.
1. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekaranag
Pengkajian riwayat penyakit sekarang meliputi perjalanan penyakit
sejak timbul keluhan hingga klien meminta pertolongan. Misalnya sejak
kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan berapa kali keluhan tersebut
terjadi, bagaimana sifat dan berat keluhan, keadaan apa yang memperberat
atau meringankan keluhan, adakah usaha mengatasi keluhan ini sebelum
meminta pertolongan.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Hal yang dikaji adalah penyakit – penyakit yang pernah dialami
klien sebelumnya. Misalnya hipertensi, pericarditis, kardiomiopati,
pneumonia, PPOK danlain – lain.
c. Pengobatan Yang Lalu dan Riwayat Alergi
Adakah obat yang diminum oleh klien pada masa lalu yang masih
relevan dengan kondisinya saat ini. Obat – obat tersebut meliputi
kortikostreroid dan obat – obat antihipertensi. Catat adanya efek samping
yang terjadi dimasa lalu. Tanyakan jugaalergi klien terhadap obat dan
reaksi ibat yang timbul.

3. DATA OBYEKTIF ( menggunakan pendekatan B1 – B6)


Keadaan Umum
Keadaan umum klien : mengobservasi keadaan fisik tiap bagian tubuh dan
kesadaranklien.
Tanda – tanda Vital
a. Pernapasan (Breath)
Inspeksi :bentuk dada pasien normalchest, pergerakan dada simetris,
terdapat otot bantu napas
Palpasi : gerakan dinding toraks saat inspirasi dan ekspirasi, taktil
fremitus.
Perkusi : redup pada lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara napas ronchi
b. Kardiovaskuler (Blood)
Inspeksi :tidak ada sianosis, tidak terdapat oedema dan tampak ictus
cordis ( tampak ictus cordis pada ICS ke 5 midklavikula
sinistra )
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, CRT > 2 detik dan akral hangat
Perkusi : Batas jantung kanan atas: ICS II linea para sternalis dextra.
Batas jantung kanan bawah: ICS IV lineapara sternalis
sinistra dextra. Batas jantung kiri atas: ICS II linea para
sternalis sinistra. Batas jantung kiri bawah: ICS IV linea
medio clavicularis sinistra. Bunyi redup saat di perkusi
Auskultasi : irama regular, bunyi S1 dan S2 tunggal ( bunyi abnormal
jantung :gallop, murmur, snap dan klik)
c. Persyarafan (Brain) :
Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan GCS pasien 4,5,6 total
15, kemudian dilakukan pemeriksaan reflek didapatkan reflek fisiologis
pasien bisep, trisep, patella, achiles positif ( hasil normal), pada reflek
patologis ( babinsky, caddock, kernig ) didapatkan hasil negative.
Pada pemeriksaan kepala tidak ada benjolan, rambut berwarna
hitam, pada pemeriksaan dihidung, bentuk hidung simetris, septum
berada ditengah, tidak ada polip, pada pemeriksaan mata tampak anemis,
pupil isokor, reflek cahaya normal, konjungtiva berwarna merah muda
dan sclera putih.
1. Pada pemeriksaan nervus kranial 1 ( olfaktorius ) pada pasien
diberikan bau – bauan menggunakan minyak kayu putih, namun
sebelumnya mata pasien sudah ditutup terlebih dahulu dan pasien
mampu mencium dengan benar. Pasien daya ciumnya baik
2. Pada pemeriksaan nervus II ( optikus ) dilakukan dengan membaca
tulisan pada jarak 35 cm, didapatkan pasien mampu membacatulisan
tersebut dengan benar.
3. Pada pemeriksaan nervus III, IV, VI yaitu ( oculomorius, troklearis,
abdusen ) dilakukan dengan mengkaji gerakan ekstraokuler dengan
melihat pergerakan pupil saat diberikan senter, kedua pupil tampak
mengecil (isokor), saat disuruh mengikuti jari perawat nampak
pergerakan bola mata pasien mampu mengikuti jari perawat.
4. Pada nervus V ( trigerminus ) pasien mampu mengunyah, menutup
mulut dan menggerakkan rahang.
5. Pada nervus VII ( fasialis ) didapatkan pasien mampu mengangkat alis
secara baik, saat disuruh senyum tampak simetris.
6. Pada nervus VIII ( auskustikus ) yaitu mengkaji pendengaran pasien
didapatkan hasil baik pada telinga kanan dan kiri.
7. Pada nervus IX, X ( glosofaring dan vagus ) didapatkan pasien mampu
menelan dan terdapat reflek muntah.
8. Pada nervus XI ( aksesorius ) pasien mampu menengok kesatu sisi
melawan tangan pemeriksa. Mampu mengangkat bahu walaupun
diberikan tahan tangan pemeriksaan.
9. Pada nervus XII (hipoglosus) pasien mampu menjulurkan lidah dan
menarik lidah kembali
d. Perkemihan (Bladder) dan genetalia
Tidak ada distensi kandung kemih, saat MRS minum pasien
dibatasi ± 750 / 24 jam. SMRS untuk ± 1500 cc / 24 jam dari jam 8 urin
yang keluar 100 cc cairan yang masuk 50 cc
e. Pencernaan (Bowel)
Keadaan mulut bersih, membrane mukosa lembab, gigi lengkap,
tidak ada gigi palsu, SMRS pasien mengkonsumsi makanan
sembarangan, tapi saat diruangan(MRS) pasien mandapat dari RS, tidak
terdapat mual dan muntah,perut tidak buncit, peristaltic usus 15 x /
menit, tidak terdapat nyeri abdomen. Eliminasi alvI SMRS pasien BAB
2 kali sehari dengan frekuensi banyak dan konsistensi lunak, sedangkan
pada saat MRS pasien belum BAB.
f. Muskuluskeletal ( Bone)
Pada pasien tidak terjadi masalah pada sistem muskuluskeletal,
pasien mampu melakukan ROM bebas, kekuatan otot 555, tidak ada
kelainan pada tulang ataupun fraktur dan terpasang plug infuse ditangan
kanan.
Masalah keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d spasma jalan nafas
2. Penurunan curah jantung b.d perubahan afterload
3. Gangguan pertukaran gas b.d ketidak seimbangan ventilasi-perfusi
4. Risiko ketidakseimbangan cairan b.d obstruksi intsersitial
K. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
1. Bersihan jalan nafas Tujuan: Latihan Batuk Efektif
Setelah dilakukan intervensi selama 1x8 jam, maka Obsevasi
tidak efektif b.d spasma
Bersihan Jalan Napas Meningkat dengan criteria 1. Identifikasi kemampuan batuk
jalan nafas hasil : 2. Monitor adanya retensi sputum
Indikator SA ST 3. Monitor dada dan gejala infeksi saluran nafas
4. Monitor input dan output cairan
Batuk efektif meningkat 2 5
Terapi
Produksi sputum menurun 2 5 5. Atur posisi semi Fowler atau Fowler
6. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
Dispnea menurun 2 5
7. Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi
Frekuensi napas normal 2 5
8. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
Pola napas membaik 2 5 9. Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4
detik,
10. ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8
detik
11. Anjurkan mengulangi tarik nafas dalam hingga 3 kali
12. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
nafas dalam yang ke-3
Kolaborasi
13. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu.

Manajemen Jalan Nafas


Obsevasi
1. Monitor pola nafas
2. Monitor bunyi nafas tambahan
3. Monitor sputum
Terapi
4. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt
dan chinlift
5. (jaw-thrust jika dicurigai trauma servikal)
6. Posisikan semi-fowler atau fowler
7. Berikan minum hangat
8. Lakukan fisioterapi dada
9. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
10. Lakukan hiperoksigensi sebelum penghisapan
endotrakeal
11. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGlll
12. Berikan oksigen
Edukasi
13. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
14. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik jika perlu.

2. Penurunan curah Tujuan : Perawatan jantung


jantung b.d perubahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x Observasi:
afterload 3 jam dihaapkan penurunan curah jantung menurun 1. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah
dengan criteria hasil jantung
Indikator SA ST 2. (meliputi dispnea, kelehan , edema, ortopnea)
3. Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah
Kekuatan nadi perifer 2 5 jantung
Takikardi 2 5 4. (meliputi, hepatomegali, distensi vena jugularis,
Edema ronkhi basah, batuk, kulit pucat)
Oliguria 2 5 5. Monitor tekanan darah
Dispnea 2 5 6. Monitor intake output cairan
Ortopnea 7. Monitor saturasi oksigen
Batuk 2 5 8. Monitor keluhan nyeri dada
Tekakanan darah 2 5 9. Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan
sesudah aktivitas
Terapeutik:
10. Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki
kebawah atau posisi nyaman
11. Berikan diet jantung yang sesuai
12. Fasilitasi pesien dan keluarga untuk modifkasi gaya
hidup sehat
13. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres, jika
perlu
14. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen > 94%
Edukasi:
15. Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
16. Anjurkan beraktifitas fisik secara bertahap
17. Anjurkan berhenti merokok
18. Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan
output cairan harian
Kolaborasi:
19. Rujukan ke program rehabilitasi jantung
3. Gangguan pertukaran Tujuan: Pemantauan Respirasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x8
gas b.d ketidak Observasi:
jam, maka pertukaran gas meningkat dengan criteria
seimbangan ventilasi- hasil: 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
perfusi napas
Indikator SA ST
2. Monitor pola napas
Dipsnea menurun 2 5
2 5
3. Monitor kemampuan kemampuan batuk efektif
Bunyi napas tambahan menurun
4. Monitor adanya produksi sputum
Gelisah menurn
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
Pola napas membaik 2 5
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor AGD
Terauputik:
10. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
11. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi:
12. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
13. Informasikan hasil pemantuan, bila perlu

4. Risiko Tujuan : Manajemen Cairan


ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 Observasi :
cairan b.d obstruksi jam pasien dapat mengurangi risiko penurunan, 1. Monitor status hidrasi (mis. frekuensi nadi, kekuatan
intsersitial peningkatan atau percepatan perpindahan cairan dari nadi,
intravaskuler, interstisial atau intraselular dengan 2. akral, pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor
criteria hasil kulit,
Indikator SA ST 3. tekanan darah)
Asupan cairan meningkat 2 5 4. Monitor berat badan harian
Output urin meningkat 2 5 5. Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis
Membran mukosa lembap 2 5 6. Monitor hassil pemeriksaan laboratorium (mis.
Asupan makanan meningkat 2 5 hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urine, BUN)
Edema menurun 2 5 7. Monitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP,
Dehidrasi menurun 2 5 PAP, PCWP jika tersedia)

Tekanan darah membaik 2 5 Terapeutik :

Turgor kulit membaik 2 5 8. Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
9. Berika asupan cairan, sesuai kebutuhan
10. Berikan cairan intravena, jika perlu
Kolaborasi :
11. Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu

Kekuatan tubuh bagian atas 2 5


Kekuatan tubuh bagian bawah 2 5

Toleran dalam menaiki tenaga 2 5

Tekanan darah 2 5
Frekuensi nafas 2 5
DAFTAR PUSTAKA

Algasaff H & Mukti A. (2015). Anatomi dan Fisiologi paru. Edisi 4. Surabaya:
Airlangga University Press

Evelyn, A (2019) konsep acute lung oedema. Edisi 1. Surabaya: Airlangga University
Press
Huldani. (2014) Edem Paru Akut. Naskah Publikasi. Banjarmasin:Universitas Lambung
Mangkurat Fakultas Kedokteran. http://docplayer.info/ di unduh pada tanggal 2
Juli 2019
Kamila. S (2013) Laporan Profesi Ners Laporan Pendahuluan Acute Lung Oedema
(ALO). Naskah Publikasi. Malang: Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya
Perry, Potter. (2010). Fundamentas Keperawatan Buku ! edisi 7. Jakarta: Salemba
Medika.
Rampengan.S.H, (2014) Edema Paru Kardiogenik Akut. Naskah Publikasi. Manado:
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
https://ejournal.unsrat.ac.id/ di unduh pada tanggal 2 Juli 2019
Setiadi (2016). Konsep & Penelitian Dikumentasi Suhan Keperawatan Teori dan
Praktik. Yongyakarta: Graha Ilmu
Setyawan.S, (2016) Oksigenasi Dengan Bag And Mask 10 Lpm Memperbaiki Asidosis
Respiratorik. Naskah Publikasi. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. https://e-journal.unair.ac.id/ di unduh pada tanggal 4 Juli 2019
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi danIndikator Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi danTindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan KriteriaHasil Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai