Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang

melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronis ini

menyebabkann saluran pernafasan menjadi hiperresponsif, sehingga

memudahkan terjadinya bronkokontriksi, edema, dan hipersekresi kelenjar

kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan

dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas,

dada terasa berat, batuk batuk terutama pada malam hari atau dini

hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang

derajatnya bervariasi dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan

atau tanpa pengobatan (GINA (Global Initiatiative for Asthma) 2011).

Penyakit asma masih menunjukan prevalensi yang tinggi, berdasarkan

data dari World Health Organization (WHO, 2002) dan Global Initiatiative

for Asthma (GINA, 2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta

orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah penderita asma

mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat asma

merupakan penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan

berubahnya pola hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab

meningkatnya asma. Data dari berbagai negara menunjukan prevalensi asma

berkisar antara 1-18% (GINA, 2011).

Angka kejadian asma bervariasi diberbagai negara, tetapi terlihat

kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya,

1
meskipun belakangan ini obat obatan asma banyak dikembangkan.

Nasional Health Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan

bahwa setidaknya 7,5 juta orang penduduk negeri itu mengidap bronkitis

kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta

orang menderiita salah satu bentuk asma. Laporan organisasi kesehatan

dunia (WHO) dalam World Health Report 2000 menyebutkan, lima penyakit

paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia, masing

masing terdiri dari infeksi paru 7,2%, PPOK (Penyakit Paru Obstruksi

Kronis) 4,8 %, Tuberkulosis 3,0%, kanker paru/trakea/bronkus 2,1 %, dan

asma 0,3% (Infodatin, 2015).

Prevalensi penyakit asma di Indonesia berdasarkan hasil riset

kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 yaitu sebesar 3,5%, meningkat

menjadi 4,5% pada tahun 2013. RISKESDAS provinsi Sumatera Barat

mencatat angka kejadian asma pada tahun 2007 yaitu sebesar 3,6%,

sedangkan pada tahun 2013 yaitu sebesar 2,7%. (RISKESDAS, 2007-2013)

Peningkatan prevalensi penyakit asma di Sumatera Barat kembali terjadi

pada tahun 2015, dijelaskan oleh direktur sekaligus pemrakarsa Asthma-

COPD Center, Prof. dr. Hadiarto Manggunnegoro dalam seminar yang

bertajuk Asma Sukar Sembuh, di Hotel Aryaduta, Jakarta (4/11/2015) bahwa

penderita asma paling tinggi terjadi di provinsi Gorontalo, Nusa Tenggara

Barat, Sumatera Barat, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Papua. Itu

menjelaskan bahwa kembali terjadi peningkatan prevalensi penyakit asma di

Sumatera Barat tahun 2015 (Sindonews.com, 2015).

Prevalensi penyakit asma di Sumatera Barat pada tahun 2007 yaitu

3,6% dengan prevalensi tertinggi yaitu Kabupaten Pesisir Selatan 7,3%,

2
Agam 6,3%, Kepulauan Mentawai 5,4%, Padang Pariaman 5,1%, Lima

Puluh Kota 4,7%. Dan pada tahun 2013 prevelensi penyakit asma di

Sumatera Barat yaitu 2,7% dengan prevalensi tertinggi yaitu Kota Solok

5,1%, Lima Puluh Kota 4,5%, Pesisir Selatan 4,2% dan Bukittinggi 3,7%.

(RISKESDAS Provinsi Sumatera Barat, 2007-2013). Prevalensi penyakit

asma di Bukittinggi berdasarkan dari hasil RISKESDAS provinsi Sumatera

Barat pada tahun 2007 yaitu sebesar 3,1 % meningkat menjadi 3,7% pada

laporan RISKESDAS provinsi Sumatera Barat tahun 2013. Dan berdasarkan

data dari 7 Puskesmas yang ada di Bukittinggi menemukan bahwa pada

tahun 2016 jumlah kunjungan pasien asma di Puskesmas Tigo Baleh yaitu

sebanyak 376 kunjungan, Puskesmas Rasimah Ahmad yaitu 56 kunjungan,

Puskesmas Gulai Bancah 37 kunjungan, Guguak Panjang 29 kunjungan

Puskesmas Mandi Angin Plus 27 kunjungan, Puskesmas Mandi Angin 18

kunjungan dan Puskesmas Nilam Sari 17 kunjungan. Angka terbanyak

kunjungan penderita asma yaitu di Puskesmas Tigo Baleh yaitu sebanyak

376 kunjungan.

Asma merupakan penyakit yang dikenal luas dimasyarakat secara

umum, namun kurang dipahami hingga timbul anggapan dari sebagian

dokter dan masyarakat bahwa asma merupakan penyakit yang sederhana

serta mudah diobati, timbul kebiasaan dari dokter dan penderita untuk

mengatasi gejala asma hanya saat gejala sesak nafas dan mengi dengan

pemakaian obat-obatan bronkodilator saja, tetapi tidak dengan mengelola

asma secara lengkap sehingga bisa bersifat menetap dan penurunan

produktivitas serta penurunan kualitas hidup dan komplikasi lanjutan

(Dahlan, 2000). Pemantauan kualitas hidup sangat penting karena

3
menggambarkan perhatian dan pemahaman penderita terhadap penyakitnya

serta petunjuk kepatuhan dalam pengobatan. Penilaian kualitas hidup

penderita asma memberikan gambaran lengkap tentang status kesehatan

penderita asma (National Heart, Lung and Blood Institute, 2002).

Kualitas Hidup menurut WHO adalah sebagai persepsi individu dari

posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks sistem budaya dan nilai

dimana dalam hubungannya mereka hidup dengan tujuan mereka, harapan,

standar dan perhatian. Konsep ini terpengaruh luas dengan cara yang

kompleks, mulai dengan kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis,

keyakinan, hubungan sosial dan hubungan mereka dengan masalah yang

menonjol dari lingkungan mereka. Penderita asma dapat terganggu kualitas

hidupnya akibat keluhan-keluhan yang dirasakan. Asma adalah penyakit

kronik yang mempengaruhi fisik, emosi dan sosial. Faktor emosi dan

keterbatasan kehidupan sosial lebih mempengaruhi penderita dibanding

gejala yang tidak terkontrol, oleh karena itu tujuan utama penatalaksanaan

asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar

penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004).

Penatalaksanaan yang tepat diantaranya membuat fungsi paru

mendekati normal, mencegah kekambuhan penyakit hingga mencegah

kematian, pendidikan pada penderita dan keluarganya sehingga mengetahui

karakteristik asma yang diderita, mengontrol secara berkala untuk evaluasi

dan meningkatkan kebugaran dengan olah raga yang dianjurkan yaitu senam

asma (Infodatin, 2015).

4
Senam Asma Indonesia merupakan salah satu latihan fisik yang

dianjurkan bagi penderita asma. Tujuan Senam Asma Indonesia adalah

meningkatkan kemampuan otot yang berkaitan dengan mekanisme

pernapasan, meningkatkan kapasitas serta efisiensi dalam proses respirasi

Manfaat dari senam ini antara lain melatih cara bernafas yang benar,

melenturkan dan memperkuat otot pernapasan, melatih eskpektorasi yang

efektif, juga meningkatkan sirkulasi (M. Angela C.M., dkk, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh I Gede Widjanegara (2014)

menyatakan bahwa senam asma dapat mengurangi kekambuhan dan

meningkatkan saturasi oksigen pada penderita asma. Penelitian tentang

senam asma juga dilakukan oleh Budi Antoro (2015), hasil penilitian

menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara senam asma

dengan arus puncak ekspirasi (APE). Senam asma juga meningkatkan

kekuatan otot pernafasan dan fungsi paru pada penderita asma (Camalia S.

Sahat, 2008). Berdasarkan survey awal yang peneliti lakukan dengan

wawancara kepada pihak Puskesmas pada tanggal 10 Januari 2017, peneliti

tidak menemukan adanya kegiatan yang bertujuan untuk pencegahan

kekambuhan ataupun dalam meningkatkan kualitas hidup pada penderita

asma. Dengan adanya penlitian ini peneliti mengharapkan akan timbulnya

kegiatan seperti senam asma yang dapat memperbaiki dan meningkatkan

kualitas hidup seseorang yang menderita asma.

Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh

senam asma terhadap kualitas hidup penderita asma di wilayah kerja

Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi tahun 2017

5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, peneliti tertarik untuk mengetahui

Adakah Pengaruh Senam Asma Terhadap Kualitas Hidup Penderita Asma

di Wilayah Kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi pengaruh senam asma terhadap kualitas hidup

pada penderita asma di wilayah kerja Puskesmas Tigo Baleh

Bukittinggi
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik responden penderita asma di wilayah

kerja Puskesmas Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi


b. Mengidentifikasi distribusi kualitas hidup sebelum pemberian

senam asma pada penderita asma di wilayah kerja Puskesmas

Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi


c. Mengidentifikasi distribusi kualitas hidup sesudah pemberian

senam asma pada penderita asma di wilayah kerja Puskesmas

Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi


d. Mengidentifikasi perbandingan rata rata perubahan kualitas

hidup sebelum dan sesudah senam asma pada penderita asma di

wilayah kerja Puskesmas Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi.


e. Mengidentifikasi pengaruh senam asma terhadap kualitas hidup

pada penderita asma di wilayah kerja Puskesmas Puskesmas

Tigo Baleh Bukittinggi


D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian dapat dijadikan kontribusi terhadap pengembangan

asuhan keperawatan, khususnya dalam perawatan penderita dengan

gangguan sistem pernafasan. Penerapan ilmu khususnya mengenai

Asma.
2. Bagi Institusi Pendidikan

6
Sebagai masukan bagi institusi pendidikan dalam bidang ilmu

yang terkait dan menambah pengetahuan mahasiswa/i keperawatan,

dari data dan hasil penelitian yang dipeoleh dapat menjadi acuan

untuk peneliti selanjutnya yang terkait dengan Asma dan dapat

menjadi referensi, bahan bacaan dan dasar untuk peneliti selanjutnya.


3. Bagi Profesi Keperawatan
Dapat menjadi bahan masukan bagi perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan khususnya pada penderita asma tentang

pentingnya senam asma terhadap kualitas hidup dalam kualitas hidup.


4. Bagi Lahan Penelitian
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perawat dalam

usaha untuk meningkatkan kualitas hidup pada penderita asma dengan

melakukan senam asma. Selain itu senam ini juga dapat melatih

kemandirian dan partisipasi penderita dalam mencegah kekambuhan.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma
1. Definisi Asma

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang

melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronis ini

menyebabkann saluran pernafasan menjadi hiperresponsif, sehingga

memudahkan terjadinya bronkokontriksi, edema, dan hipersekresi

kelenjar kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di

saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik

berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk batuk terutama

pada malam hari atau dini hari/subuh. Gejala inni berhubungan

dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat

reversible secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan

(GINA (Global Initiatiative for Asthma) 2011).

Asma merupakan penyakit yang manifestasinya sangat

bervariasi. Sekelompok penderita mungkin bebas dari serangan dalam

jangka waktu lama dan hanya mengalami gejala jika mereka

berolahraga atau terpapar alergen atau terinfeksi virus pada saluran

pernafasannya. Penderita lain mungkin mengalami gejala yang terus-

menerus atau serangan akut yang sering, yang bahkan bisa berakibat

fatal. Pola gejalanya juga berbeda antar satu penderita dengan

penderita lainnya. Misalnya, seorang penderita mungkin mengalami

batuk hanya pada malam hari, sedangkan penderita lain mengalami

8
gejala dada sesak dan bersin-bersin baik siang maupun malam. Selain

itu, dalam satu penderita sendiri, pola, frekuensi, dan intensitas gejala

bisa bervariasi antar waktu ke waktu (Zullies Ikawati, 2016).

2. Etiologi Asma
Asma yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan

alergi. Kurang lebih 80% penderita asma memiliki riwayat alergi.

Asma yang muncul pada saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai

faktor, seperti : adanya sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap

aspirin atau obat-obat anti-inflamasi non steroid (AINS), atau

mendapatkan picuan di tempat kerja. Di tempat-tempat kerja tertentu

yang banyak terdapat agen-agen yang dapat terhirup seperti debu, bulu

binatang, dll, banyak dijumpai orang yang menderita asma yang

disebut accupational asthma, yaitu asma yang disebabkan karena

pekerjaan. Kelompok dengan resiko terbesar terhadap perkembangan

asma adalah anak-anak yang mengidap alergi dan memiliki keluarga

dengan riwayat asma (Zullies Ikawati, 2016).


Beberapa faktor risiko terjadinya asma dapat dibagi menjadi

dua, yaitu yang menyebabkan berkembangnya asma pada individu dan

yang memicu terjadinya gejala asma. Faktor yang pertama utamanya

berasal dari faktor penderita, yang meliputi unsur genetik, obesitas

dan jenis kelamin (Zullies Ikawati, 2016).


Asma memiliki komponen herediter, di mana banyak gen

terlibat dalam perkembangan pathogenesis penyakit ini. Penelitian

mengenai unsur genetik yang terlibat pada pathogenesis asma

berfokus pada 4 area besar, yaitu: produksi IgE spesifik, ekspresi

hiperresponsivitas saluran nafas, pembentukan mediator inflamasi

9
seperti sitokin, chemokin, dan faktor pertumbuhan; serta penentuan

rasio respon imun limfosit Th1 dan Th2. Namun demikian, pencarian

gen spesifik yang terlibat dalam kerentanan individu terhadap alergi

atau asma sampai sekarang masih berjalan dan belum menghasilkan

penemuan yang konsisten (Zullies Ikawati, 2016).

Faktor lingkungan lebih berperan dalam memicu kekambuhan

asma. Beberapa diantaranya adalah alergen, infeksi, obat/bahan

sensitizer, asap rokok, dan polusi udara, baik di dalam maupun di luar

ruangan. Selain itu, ada faktor lain yang dapat meningkatkan

keparahan asma. Bebrapa diantaranya adalah rinitis yang tidak diobati

atau sinusitis, gangguan refluks gastroesofagal, sensitivitas terhadap

aspirin, pemaparan terhadap senyawa sulfit atau obat golongan beta

bloker, dan influenza, faktor mekanik, dan faktor psikis (Zullies

Ikawati, 2016).

3. Klasifikasi Asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit

dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat

penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan

jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat

pengobatan (Depkes RI, 2007).

Tabel 2.1

Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit

10
Derajat Gejala Fungsi Paru
Asma
Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
Malam hari < 2 kali per bulan VEP 1 (volume ekspirasi
Serangan singkat paksa dalam 1 detik) > 80%
Tidak ada gejala antar serangan nilai prediksi
Intensitas serangan bervariasi APE (arus puncak ekspirasi)
> 80% nilai terbaik V
Persisten Siang hari > 2 kali per minggu, Variabilitas APE 20 - 30%
Ringan tetapi < 1 kali per hari VEP 1 > 80% nilai prediksi
Malam hari > 2 kali per bulan APE > 80% nilai terbaik
Serangan dapat mempengaruhi
aktifitas
Persisten Siang hari ada gejala Variabilitas APE > 30%
Sedang Malam hari > 1 kali per minggu VEP 1 60-80% nilai
Serangan mempengaruhi aktifitas prediksi
Serangan > 2 kali per minggu APE 60-80% nilai terbaik
Serangan berlangsung berhari-hari
Sehari-hari menggunakan inhalasi
2-agonis short acting
Persisten Siang hari terus menerus ada Variabilitas APE > 30%
Berat gejala VEP 1 < 60% nilai prediksi
Setiap malam hari sering timbul APE < 60% nilai terbaik
gejala
Aktifitas fisik terbatas Sering
timbul serangan

Sumber : (http://lib.ui.ac.id, diperoleh 12 Januari 2017)

4. Patofisiologi Asma
Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan

penyakit yang diebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja,

sehingga terapi utama pada saat itu adalah suatu bronkodilator, seperti

beta agonis dan golongan metil ksantin saja. Namun, para ahli

11
mengemukakan konsep baru yang kemudian digunakan hingga kini,

yaitu bahwa asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran nafas,

yang ditandai dengan bronkokonstriksi, inflamasi, dan respon yang

berlebihan terhadap rangsangan (hyperresponsiveness). Selain itu juga

terdapat penghambatan terhadap aliran udara dan penuran kecepatan

aliran udara akibat penyempitan bronkus. Akibatnya terjadi

hiperinflasi distal, perubahan mekanis paru-paru, dan meningkatnya

kesulitan bernafas. Selain itu juga terjadi peningkatan sekresi mukus

yang berlebihan.
Secara klasik, asma di bagi dalam dua kategori berdasar faktor

pemicunya, yaitu asma ekstrinsik atau alergik dan asma intrinsik atau

idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan

karena menghirup alergen, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang

memiliki keluarga dengan riwayat penyakit alergi (baik eksim,

utikaria, atau hay fever). Asma intrinsik mengacu pada asma yang

disebabkan karena faktor-faktor di luar mekanisme imunitas, dan

umumnya dijumpai pada orang dewasa. Disebut juga asma non-

alergik, dimana penderita tidak memiliki riwayat alergi. Beberapa

faktor yang dapat memicu terjadinya asma antara lain : udara dingin,

obat-obatan, stress, dan olahraga. Khusus untuk asma yang dipicu oleh

olahraga dikenal dengan istilah exercise-induced asthma.


Seperti telah dikatakan di atas, asma adalah penyakit inflamasi

saluran nafas. Meskipun ada berbagai cara untuk menimbulkan suatu

respon inflamasi, baik pada asma ekstrinsik maupun intrinsik, tetapi

karakteristik inflamasi pada asma umumnya sama, yaitu terjadinya

12
infiltrasi eosinofil dan limfoit saat terjadi pengelupasan sel-sel

epitelial pada saluran nafas dan peningkatan permeabilitas mukosa.

Kejadian ini bahkan dapat dijumpai juga pada penderita asma yang

ringan. Pada penderita yang meinggal karena serangan asma, secara

histologis terlihat adanya sumbatan (plugs) yang terdiri dari mukus

glikoprotein dan eksudat protein plasma yang memperangkap debris

yang berisi sel-sel epitelial yang terkelupas dan sel-sel inflamasi.

Selain itu, terlihat adanya penebalan lapisan subepitelial saluran nafas.

Respons inflamasi ini terjadi hampir di sepanjang saluran nafas, dari

trakea ssampai ujung bronkiolus. Juga terjadi hiperplasia dari

kelenjar-kelenjar sel goblet yang menyebabkan hiperserkesi mukus

yang kemudian turut menyumbat saluran nafas.


Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-

sel inflamasi, mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-

sel inflamasi utama yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian

pada serangan asma antara lain adalah sel mast, limfosit dan eosinofil,

sedangkan mediator inflamasi utama yang telibat dalam asma adalah

histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil (eosinofil

chemotactic factor), dan bebrapa sitokin yaitu: interleukin (IL)-4, dan

IL-13.
Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari

meningkatnya responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya

rangsangan dari luar, yang disebut alergen. Rangsangan ini kemudian

akan memicu pelepasan berbagai senyawa endogen dari sel mast yang

merupakan mediator inflamasi, yaitu histamin, leukotrien, dan faktor

13
kemotaktik eosinofil. Histamin dan leukotrien merupakan

bronkokonstriktor yang poten,, sedangkan faktor kemotaktik eosinofil

bekerja menarik secara kimiawi sel-sel eosinofil menuju tempat

terjadinya paradangan yaitu di bronkus.

Sel sel inflamasi pada penyakit asma

Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma

terutama adalah sel mast, limfosit, eosinofil. Di bagian ini akan

dibicarakan satu-persatu peranan dari setiap sel tersebut.


a. Sel mast
Sel ini sudah lama dikaitkan dengan penyakit asma dan

alergi, karena ia dapat melepaskan berbagai mediator inflamasi,

baik yang sudah tersimpan atau baru disintesis, yang

bertanggung-jawab terhadap beberapa tanda asma dan alergi.

Berbagai mediator tersebut antara lain adalah histamin, yang

disintesis dan disimpan di dalam granul sel dan dilepaskan

secara cepat ketika sel teraktivasi, prostaglandin PGD2 dan

leukotrien LTC4, yang baru disintesis setelah ada aktivasi, dan

sitokin, yang disintesi sdalam waktu yang lebih lambat dan

berperan dalam reaksi fase lambat. Sel mast diaktivasi oleh

alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang telah

melekat pada reseptornya (FC receptor) di permukaan sel

mast. Adanya ikatan cross-linking antara alergen dengan IgE

tersebut memicu serangkaian peristiwa biokimia di dalam sel

yang kemudian menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast.

14
Degranulasi adalah peristiwa pecahnya sel mast yang

menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi.


Sel mast terdapat pada lapisan epitelial maupun sub

epitelial saluran nafas, dan karenanya dapat berespon terhadap

alergen yang terhirup. Terdapatnya peningkatan jumlah sel mast

pada cairan bronkoalveolar penderita asma mengindikasikan

bahwa sel ini terlibat dalam patofisiologi asma. Selain itu, pada

penderita asma juga dijumpai peningkatan kadar histamin dan

triptase pada cairan bronkoalveolarnya, yang diduga kuat

berasal dari sel mast yang terdegranulasi. Beberapa obat telah

dikembangkan untuk menstabilisasi sel mast agar tidak mudah

terdegranulasi. Peran sel mast pada reaksi alergi fase lambat

masih belum diketahui secara pasti. Namun, sel mast juga

mengandung faktor kemotaktik yang dapat menarik eosinofil dan

neutrofil ke saluran nafas.

b. Limfosit
Peranan limfosit dalam asma semakin banyak mendapat

dukungan fakta, antara lain dengan terdapatnya produk-produk

limfosit yaitu sitokin pada biopsi bronkial penderita asma. Selain

itu, sel-sel limfosit jugadijumpai pada cairan bronkoalveolar

penderita asma pada reaksi fase lambat. Limfosit sendiri terdiri

dari dua tipe yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T masih

terbagi lagi menjadi dua subtipe yaitu Th1 dan Th2 (Thelper 1

dan T helper 2). Sel Th2 memproduksi berbagai sitokin yang

15
berperan dalam reaksi inflamasi sehingga disebut sitokin

proinflamasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin-

sitokin ini nampaknya berfungsi dalam pertahanan tubuh

terhadap patogen ekstrasel. IL-4 dan IL-13 misalnya, dia

bekerja mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE,

yang nantinya akan menempel pada sel-sel inflamasi sehingga

terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi.


c. Eosinofil
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil

berkontribusi terhadap patofisiologi penyakit alergi pada saluran

nafas. Dijumpai adanya kaitan yang erat antara keparahan asma

dengan keberadaan eosinofil di saluran nafas yang terinflamasi,

sehingga inflamasi pada asma atau alergi sering disebut juga

inflamasieosinofilia. Eosinofil mengandungberbagai protein

granul seperti : major basic protein (MBP), eosinophil

peroxidase (EPO), dan eosinophil cationic protein (ECP), yang

dapat menyebabkan kerusakan epitelium saluran nafas,

menyebabkan hiperresponsivitas bronkus, sekresi mediator dari

sel mast dan basofil, serta secara langsung menyebabkan

kontraksi otot polos saluran nafas. Selain itu, beberapa produk

eosinofil seperti LTC4, PAF (platelet-activating faktor), dan

metabolit oksigen taksik dapat menambah keparahan asma


5. Manifestasi Klinis Asma

Asma dikarakteristikkan dengan penyebab yang bervariasi dan

tidak dapat diperkirakan. Gejala yang umum terjadi adalah wheezing

(mengi), sulit bernapas, dada sesak dan batuk, biasanya terjadi pada

16
malam hari dan menjelang pagi, yang merupakan tipe dari asma.

Serangan asma bisa terjadi hanya dalam beberapa menit sampai

beberapa jam. Pada saat tidak terjadi serangan, fungsi paru penderita

tampak normal (Lewis, et al. 2007).

Karakteristik manifestasi klinis dari asma adalah wheezing

(mengi), batuk, dyspnea, dan dada sesak setelah terpapar oleh faktor-

faktor presipitasi atau serangan tersebut. Mekanisme yang terjadi

adalah tahapan ekspirasi (mengeluarkan udara setelah bernafas)

menjadi memanjang. Secara normal rasio antara inspirasi dan

ekspirasi adalah satu berbanding dua (1:2), pada saat serangan asma

bisa memanjang menjadi 1:3 atau 1:4. Normalnya bronkiola

menyempit (kontriksi) pada saat ekspirasi sehingga berakibat pada

bronkospasme, edema dan adanya mukus pada bronkiola, jalan nafas

menjadi menyempit dari keadaan normal (Lewis, et al. 2007).

Wheezing merupakan tanda yang tidak dapat dipercaya untuk

mengukur tingkat keparahan serangan. Beberapa penderita dengan

serangan ringan, wheezing terdengar keras sedangkan penderita yang

mengalami serangan berat, tidak ada tanda wheezing. Penderita

dengan serangan asma yang berat tidak terdengar adanya wheezing

karena terjadi penurunan aliran udara. Bila wheezing terjadi, penderita

dapat memindahkan cukup udara untuk memproduksi suara.

Wheezing biasanya terjadi pada saat pertama ekhalasi. Pada

peningkatan gejala asma, penderita dapat mengalami wheezing selama

inspirasi dan ekspirasi (Lewis, et al. 2007).

17
Pada beberapa penderita dengan asma, batuk hanya merupakan

gejala dan sering disebut cough variant asthma. Bronkospasme tidak

dapat menjadi cukup parah yang menyebabkan gangguan aliran udara

tetapi tidak meningkatkan tonus bronkial dan menyebabkan iritasi

dengan menstimulasi reseptor batuk. Batuk yang terjadi bisa tidak

produktif. Sekresi yang dikeluarkan bisa kental, lengket, putih, mukus

seperti agar-agar sehingga sulit untuk dikeluarkan (Lewis, et al. 2007).

Frekuensi gejala asma sangat bervariasi. Beberapa penderita

mungkin hanya memiliki batuk kering kronis dan yang lain

mengalami batuk yang produktif. Beberapa penderita memiliki batuk

yang tidak sering, serangan asma mendadak dan lainnya dapat

menderita gejala itu hampir secara terus menerus. Gejala asma dapat

terjadi secara spontan atau mungkin dipercepat atau diperberat dengan

banyak pemicu atau pencetus yang berbeda seperti yang telah

dijelaskan diatas. Frekuensi gejala asma mungkin semakin buruk di

malam hari, variasi sirkadian pada tonus bronkomotor dan reaktivitas

bronkus mencapai titik terendah antara jam 3-4 pagi, meningkatkan

gejala-gejala dari bronkokontriksi (Tierney, McPhee, Papadakis,

2002).

Penderita dengan asma mengalami kesulitan memindahkan

udara masuk dan keluar paru-paru, yang menciptakan perasaan lemas.

Walaupun demikian, selama serangan asma akut, penderita dengan

asma biasanya duduk tegak atau menggunakan otot-otot aksesori

untuk bernapas dalam upaya mendapatkan cukup udara. Semakin sulit

18
bernapas maka perasaan penderita semakin cemas. Pemeriksaan pada

penderita selama serangan akut biasanya menunjukkan tanda

hipoksemia yang ditandai gelisah, meningkatnya kecemasan, perilaku

yang tidak tepat, meningkatnya nadi dan tekanan darah. Perkusi pada

paru mengindikasikan hiperresonan dan auskultasi mengindikasikan

adanya wheezing pada saat inspirasi dan ekspirasi (Lewis, et al. 2007).

Beberapa penemuan pemeriksaan fisik meningkatkan

kemungkinan dugaan asma. Pembengkakan mukosa hidung,

meningkatnya sekresi hidung dan polip hidung seringkali terlihat pada

penderita dengan asma alergika. Eksema, dermatitis, atopi atau

manifestasi lainnya dari kelainan alergi kulit juga dapat terlihat. Bahu

yang membungkuk dan menggunakan otot pernapasan tambahan

mengarah pada meningkatnya kerja pernapasan (Tierney, et al. 2002).

Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk

berbicara karena sesaknya sangat hebat. Meskipun telah mengalami

serangan yang berat, biasanya penderita akan sembuh sempurna.

Manifestasi lain dari asma adalah kebingungan, letargi (keadaan

kesadaran yang menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi

dapat dibangunkan sebentar kemudian segera tertidur kembali) dan

sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan pertanda bahwa

persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera

dilakukan pengobatan. Kadang beberapa alveoli (kontong udara di

paru-paru) bisa pecah dan menyebabkan udara terkumpul di dalam

rongga pleura atau menyebabkan udara terkumpul di sekitar organ

19
dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang dirasakan oleh penderita

(Wijaya, 2010).

Sumber : (Hendri Budi, http://lib.ui.ac.id, diperoleh 12 Januari 2017)

6. Penatalaksanaan Asma
Menurut GINA 2015, tujuan jangka panjang dari terapi asma

adalah tercapainya kontrol gejala yang baik dan meminimalkan risiko

kekambuhan dimasa depan, keterbatasan aliran udara dan efek

samping pengobatan. Setiap penderita perlu menentukan sendiri

tujuan terapinya masing-masing terkait dengan kondisi asma dan

macam pengobatannya.
Penatalaksanaan asma yang efektif membutuhkan kerjasama

yang baik antara penderita (atau orang tua/pengasuhnya) dengan

tenaga kesehatan yang memberikan perawatan (dokter, apoteker,

perawat). Mengajarkan kemampuan komunikasi kepada tenaga

kesehatan dapat meningkatkan kepuasaan penderita, outcome

kesehatan yang lebih baik, dan mengurangi penggunaan obat yang

tidak diperlukan. Penderita perlu diedukasi mengenai dasar-dasar

pengetahuan tentang asma dan mengelolanya.


Penatalaksanaan asma adalah berbasis pada pengontrolan asma,

di mana terapi dapat disesuaikan dalam suatu siklus yang

berkesinambungan antara terapi dan respon penderita terhadap

pengobatan. Terapi disesuaikan juga berdasarkan tingkat

kontro/keparahan. Selain itu, untuk penderita secara individual,

keputusan terapi harus didasarkan pada karakteristik atau fenotip asma

penderita yang dapat memprediksi kemungkinan respon penderita

terhadap pengobatan.

20
a. Terapi Farmakologi
Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan

pengobatan yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah

kekambuhan. Berdasarkan penggunaannya, maka obat asma

terbagi dalam tiga golongan yaitu :


1) Obat pengontrol : digunakan secara rutin untuk terapi

pemeliharaan/pencegahan kekambuhan. Golongan obat ini

dapat mengurangi inflamasi saluran nafas, mengontrol

gejala dan mengurangi risiko kekambuhan dan penurunan

fungsi paru. Beberapa obat yang digunakan untuk terapi

pemeliharaan antara lain inhalasi steroid, 2

agonisaksipanjang, sodium kromoglikat atau kromolin,

nedokromil, modifier leukotrien, dan golongan metil

ksantin.
2) Obat pelega (reliever) : digunakan bila perlu untuk

meredakan gejala pada saat kekambuhan asma, termasuk

pada saat terjadi perburukan gejala asma. Golongan obat

ini direkomendasikan juga untuk mencegah

bronkokonstriksi akibat olahraga. Pengurangan kebutuhan

penggunaan obat pelega merupakan tujuan

penatalaksanaan asma dan menjadi ukuran keberhasilan

terapi asma, karena berarti penderita semakin jarang

kambuh. Obat yang sering digunakan untuk pelega adalah

suatu bronkodilator (2 agonis aksi cepat, antikolinergik,

metilksantin), dan kortikosteroid oral (sistemik).

21
3) Obat tambahan (add-on therapies) untuk penderita dengan

asma berat : digunakan jikapenderita mengalami gejala

yang menetap (persisten) dan/atau mengalami eksaserbasi

walapun sudah mendapatkan terapi pengontrol yang

optimal dengan dosis tinggi. Juga digunakan untuk

mengatasi faktor-faktor risiko yang bisa dimodifikasi.

b. Terapi Non Farmakologi

Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama, yaitu

edukasi pada penderita atau yang merawat mengenai berbagai

hal tentang asma, dan kontrol terhadap faktor-faktor pemicu

serangan. Berbagai pemicu serangan antara lain adalah debu,

polusi, merokok, olahraga, perubahan temperatur secara ekstrim,

dll, termasuk penyakit-penyakit yang sering mempengaruhi

kejadian asma, seperti rinitis, sinusitis, gastro esophagal refluks

disease (GERD), dan infeksi virus.

Untuk memastikan macam alergen pemicu serangan

paasien, maka direkomendasikan untuk mengetahui riwayat

kesehatan penderita serta uji kulit (skin test). Jika penyebab

serangan sudah diidentifikai, penderita perlu diedukasi

mengenai berbagai cara mencegah dan mengatasi diri dalam

serangan asma. Edukasi kepada penderita juga meliputi

pengetahuan tentang patogenesis asma, bagaimana mengenal

pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal keparahan

gejala, cara penggunaan obat yang tepat terutama teknik inhalasi

22
yang benar, dan bagaimana memonitor fungsi paru-parunya.

Selain itu juga dapat dilakukan fisioterapi napas (senam asma),

vibrasi dan atau perkusi taraks, dan batuk yang efisien (Zullies

Ekawati, 2016).

7. Pencegahan Asma
Penderita dengan asma kambuhan harus menjalani pemeriksaan

mengidentifikasi substansi yang mencetuskan terjadinya serangan.

Penyebab yang mungkin dapat saja bantal, kasur, pakaian jenis

tertentu, hewan peliharaan, deterjen, sabun, makanan tertentu, jamur,

dan serbuk sari. Jika serangan berkaitan dengan musim, maka serbuk

sari dapat menjadi dugaan kuat. Upaya harus dibuat untuk

menghindari agen penyebab kapan saja memungkinkan (Smeltzer,

2002).
Menurut (Hasting, 2005) selain itu penatalaksaan dalam

pencegahan serangan asma bronkial juga dapat dilakukan dengan :


a. Apabila klien alergi debu, kamar tidur harus dibersihkan

dari debu dengan penyedot debu dengan teratur. Tungau

debu di rumah dapat dikuarangi dengan melapisi karpet

dengan kantong plastik, dan ganti linen tempat tempat

tidur dengan sering.


b. Apabila klien sangat alergi terhadap binatang peliharaan

dan memiliki binatang peliharaan sebaiknya binatang

peliharaan tidak berada didalam rumah.


c. Penderita dilarang merokok.
d. Pastikan konsumsi obat-obatan secara teratur.

23
e. Dukung untuk menerapkan teknik pernafasan yang benar,

pernafasan diafragma.
f. Terapi dapat menggunakan inhaler.
B. Kualitas Hidup
1. Definisi Kualitas Hidup

Kualitas Hidup menurut WHO adalah sebagai persepsi individu

dari posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks sistem budaya dan

nilai dimana dalam hubungannya mereka hidup dengan tujuan

mereka, harapan, standar dan perhatian. Konsep ini terpengaruh luas

dengan cara yang kompleks, mulai dengan kesehatan fisik seseorang,

keadaan psikologis, keyakinan, hubungan sosial dan hubungan mereka

dengan masalah yang menonjol dari lingkungan mereka (Sumber:

http://www.who.int, diperoleh pada tanggal 15 Februari 2017).

Kualitas hidup menurut Wilkipedia Internasional adalah

kesejahteraan umum dari individu dan masyarakat, uraian masalah

negatif dan positif dari kehidupan. Ini mengamati kepuasan hidup,

termasuk segala sesuatu dari kesehatan fisik, keluarga, pendidikan,

pekerjaan, kekayaan, keyakinan agama, keuangan dan lingkungan.

Kualitas hidup memiliki berbagai konteks, termasuk bidang

internasional pembangunan, kesehatan, politik dan pekerjaan

(Sumber: http://en.wilkipedia.org, diperoleh pada tanggal 15 Februari

2017).

2. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup


Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh World Health

Organization Quetionnare Of Life (WHOQOL) (dalam Power, 2003),

24
persepsi individu mengenai kualitas hidupnya dipengaruhi oleh

konteks budaya dan sistem nilai dimana individu tinggal. Hal ini juga

25
sesuai degnan apa yang dikatakan Fadda dan Jiron (1999) bahwa

kualitas hidup bervariasi antara individu yang tinggal di kota/

wilayahsatu dengan yang lain bergantung pada konteks budaya,

sistem, dan berbagai kondisi yang berlaku pada wilayah tersebut.

Berbagai penelitian mengenai kualitas hidup menemukan beberapa

faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup. Berikut

beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup yaitu :


a. Gender atau Jenis Kelamin

Moons, dkk (2004) dalam (Noftri, 2009)mengatakan

bahwa gender adalah salah satu faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup. Bain, dkk (2003) dalam (Nofitri, 2009)

menemukan adanya perbedaan antara kualitas hidup antara laki-

laki dan perempuan, dimana kualitas hidup laki-laki cenderung

lebih baik daripada kualitas hidup perempuan. Bertentangan

dengan penemuan Bain, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009)

menemukan bahwa kualitas hidup perempuan cenderung lebih

tinggi daripada laki-laki. Ryff dan Singer (1998) dalam (Nofitri,

2009) mengatakan bahwa secara umum, kesejahteraan laki-laki

dan perempuan tidak jauh berbeda, namun perempuan lebih

banyak terkait dengan aspek hubungan yang bersifat positif

sedangkan kesejahteraan tinggi pada pria lebih terkait dengan

aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik.

b. Usia

Moons, dkk (2004) dan Dalkey (2002) dalam (Nofitri,

2009) mengatakan bahwa usia adalah salah satu faktor yang

26
mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan oleh

Wagner, Abbot, & Lett (2004) dalam (Nofitri, 2009)

menemukan adanya perbedaan yang terkait dengan usia dalam

aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1998) dalam

(Nofitri, 2009), individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan

yang lebih tinggi pada usia dewasa madya. Penelitian yang

dilakukan oleh Rugerri, dkk (2001) dalam (Nofitri, 2009)

menemukan adanya kontribusi dari faktor usia tua terhadap

kualitas hidup subjektif.

c. Pendidikan

Moons, dkk (2004) dan Baxter (1998) dalam (Nofitri,

2009) mengatakan bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup subjektif.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri,

2009) menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring

dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh

individu. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, dkk (2007)

dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya pengaruh positif dari

pendidikan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak

banyak.

d. Pekerjaan

Moons, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan

bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang

berstatus sebagai pelajar, penduduk yang bekerja, penduduk

27
yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan), dan

penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki disablity

tertentu). Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan

bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup baik

pada pria maupun wanita.

e. Status pernikahan

Moons, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan

bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang

tidak menikah, individu bercerai ataupun janda, dan individu

yang menikah atau kohabitasi. Penelitian empiris di Amerika

secara umum menunjukkan bahwa individu yang menikah

memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu

yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda akibat

pasangan meninggal Glenn dan Weaver (1981) dalam (Nofitri,

2009) .Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa baik

pada pria maupun wanita, individu dengan status menikah atau

kohabitasi memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi.

f. Penghasilan

Baxter, dkk (1998) dan Dalkey (2002) dalam (Nofitri,

2009) menemukan adanya pengaruh dari faktor demografi

berupa penghasilan dengan kualitas hidup yang dihayati secara

subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour,

Safa, dan Kermani (2007) dalam (Nofitri, 2009) juga

28
menemukan adanya kontribusi yang lumayan dari faktor

penghasilan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak

banyak.

g. Hubungan dengan orang lain

Baxter, dkk (1998) dalam (Nofitri, 2009) menemukan

adanya pengaruh dari faktor demografi berupa faktor jaringan

sosial dengan kualitas hidup yang dihayati secara subjektif.

Kahneman, Diener, & Schwarz (1999) dalam (Nofitri, 2009)

mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat

dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan

yang saling mendukung maupun melalui pernikahan, manusia

akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik baik secara fisik

maupun emosional. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani,

Asgharpour, Safa, dan Kermani (2007) dalam (Nofitri, 2009)

juga menemukan bahwa faktor hubungan dengan orang lain

memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menjelaskan

kualitas hidup subjektif.

h. Standard referensi

OConnor (1993) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan

bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh standard referensi

yang digunakan seseorang seperti harapan, aspirasi, perasaan

mengenai persamaan antara diri individu dengan orang lain. Hal

ini sesuai dengan definisi kualitas hidup yang dikemukakan oleh

WHOQOL (Power, 2003) dalam (Nofitri, 2009), bahwa kualitas

29
hidup akan dipengaruhi oleh harapan, tujuan, dan standard dari

masing-masing individu. Glatzer dan Mohr (1987) dalam

(Nofitri, 2009) menemukan bahwa di antara berbagai standard

referensi yang digunakan oleh individu, komparasi sosial

memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas hidup yang

dihayati secara subjektif. Jadi, individu membandingkan

kondisinya dengan kondisi orang lain dalam menghayati kualitas

hidupnya. Sumber: (http://repository.usu.ac.id, diperoleh pada

tanggal 20 Januari 2017)

3. Pengukuran Kualitas Hidup

Polonsky (2000) menyebutkan bahwa untuk mengetahui kualitas

hidup seseorang dapat diukur dengan mempertimbangkan 2 hal, yaitu

keseluruhan dari status fisik dan psikososial dari kondisi penyakit

yang meliputi 2 kategori tentang kelemahan yang dirasakan yaitu

bagaimana penderita merasakan kelemahan dari penyakit yang

dialami dan bagaimana penderita merasakan penyakitnya itu

mengganggu atau membebani kehidupan. Pengukuran kualitas hidup

sangat tergantung pada penelitinya, namun pada umumnya, kualitas

hidup diukur berdasarkan kepuasan klien terhadap domain kehidupan

meliputi fisik, fungsional, sosial, spiritual, psikologis, dan ekonomi.

(Djauzi & Karjadi, 2004) menyatakan bahwa untuk mengukur kualitas

hidup telah dikembangkan berbagai kuesioner. Kuesioner generik

yang mengukur fungsi fisik dan psikologis pada umumnya tanpa

memperhatikan penyakit yang diderita. Sedangkan kuesioner lain

30
dikaitkan dengan penyakit yang diderita (disease specific

questionnaire). Untuk mengukur kualitas hidup secara umum adalah

dengan menggunakan kuesioner WHOQOL (World Health

Organization Questionnaire of Life).

Sumber : (http://lib.ui.ac.id, diperoleh 12 Januari 2017)

a. WHO QOL
The World Health Organization Quality of Life

(WHOQOL) mulai berkembang sejak tahun 1991. Instrument ini

terdiri dari 26 item pertanyaan dan setiap item memiliki skore 1-

5 dan 5-1, yang terdiri dari empat domain. Dari 26 item

pertanyaan tersebut 2 pertanyaan merupakan pertanyaan secara

umum yang tidak diikutkan dalam perhitungan empat domain,

yaitu pertanyaan nomor 1 dan 2. Untuk domain kesehatan fisik

dengan 7 pertanyaan mengenai rasa nyeri, energi, istirahat tidur,

mobilisasi, aktivitas, pengobatan dan pekerjaan. Domain

psikologi dengan 6 pertanyaan mengenai perasaan positif dan

negatif, cara berfikir, harga diri, body image, spiritual. Domain

hubungan sosial dengan 3 pertanyaan mengenai hubungan

individu, dukungan sosial, aktivitas seksual. Domain lingkungan

dengan 8 pertanyaan yang meliputi keamanan fisik, lingkungan

rumah, sumber keuangan, fasilitas kesehatan, mudahnya

mendapat informasi kesehatan, rekreasi, transportasi.

Perhitungan untuk menentukan skor kualitas hidup merupakan

penjumlahan dari semua skor yang didapat setiap item

pertanyaan. Uji reliabilitas dengan alpha 0.05, r = 0.91.

31
b. SF-36 Health Survey
c. SF-36 adalah survey kesehatan yang singkat dengan

36 pertanyaan untuk mencapai beberapa tujuan. SF-36

digunakan sejak tahun 1970 oleh McDowell dan Newell dan

distandarkan pada tahun 1990. SF-36 terdiri dari 2 domain yaitu

domain fisik dan domain mental. Setiap domain terdiri dari 4

sub area, setiap sub area terdiri dari beberapa pertanyaan. Sub

area pada domain fisik terdiri dari physical function (10

pertanyaan tentang semua aktivitas fisik termasuk mandi dan

berpakaian), role physical (4 pertanyaan tentang pekerjaan atau

aktivitas sehari-hari), bodily pain (2 pertanyaan tantang rasa

sakit yang dirasakan) dan general health (5 pertanyaan tentang

kesehatan individu) sedangkan domain mental terdiri dari

mental health (5 pertanyaan tentang perasaan seperti depresi,

senang), role emotional (3 pertanyaan tentang masalah

pekerjaan yang berdampak pada status emosi), social function (3

pertanyaan tentang aktivitas sosial yang berkaitan dengan

masalah fisik dan emosi) dan vitality (4 pertanyaan tentang

vitalitas yang dirasakan oleh penderita). Uji reliabilitas untuk

skor fisik dan mental adalah 0.80 dan r = 0.40 atau lebih.
4. Kualitas Hidup Penderita Asma

d. Penyakit asma adalah masalah besar dalam kesehatan yang

mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Orang yang mengidap

asma seringkali tidak bisa menjalani hidup yang normal dan produktif

(Gizi.net, 2006). Dampak burukasma meliputi penurunan kualitas

32
hidup, produktivitas yang menurun, peningkatan biaya kesehatan,

risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian (Depkes, 2007).

Penyakit saluran pernafasan ini dapat mengganggu kualitas hidup

penderitanya karenamerupakan penyakit kronik yang mempengaruhi

fisik, emosi dan sosial. Faktor emosi dan keterbatasan kehidupan

sosial lebih mempengaruhi penderita dibanding gejala yang tidak

terkontrol (Mangunnegoro et al, 2004). Tujuan utama penatalaksanaan

asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar

penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari.
e. Perbaikan kualitas hidup dapat dicapai melalui perbaikan

fungsi paru, pengurangan gejala dan serangan. Penilaian kualitas

hidup memberikan gambaran lengkap status kesehatan penderita asma

(PDPI, 2004). Asma menimbulkan gangguan kualitas hidup akibat

gejala yang ditimbulkannya baik berupa sesak napas, batuk, maupun

mengi. Penderita jadi kurang tidur atau terganggu aktivitas sehari-

harinya. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan.

Meskipun jarang, asma bisa memicu kematian.

f. Penelitian di delapan negara Asia-Pasifik yang dilaporkan

dalam menunjukkan,asma mengganggu kualitas hidup, seperti gejala-

gejala batuk, termasuk batuk malam dalam sebulan terakhir pada 44-

51% dari 3.207 kasus yang diteliti, bahkan 28,3% penderita mengaku

terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam seminggu. Ada 43,6%

33
g. penderita yang mengaku dalam setahun terakhir menggunakan

fasilitas gawat darurat, perawatan inap, atau kunjungan darurat lain ke

dokter. Dampak asma terhadap kualitas hidup juga ditunjukkan dari

laporan tersebut, seperti keterbatasan dalam berekreasi atau olahraga

52,7%, aktivitas fisik 44,1%, pemilihan karier 37,9%, aktivitas sosial

38%, cara hidup 37,1%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen

dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh

36,5% anak dan 26,5% orang dewasa (Journal of Allergy and Clinical

Immunology, 2003 dalam Sundaru, 2008). Penelitian tentang kualitas

hidup penderita asma antara lain yang dilakukan oleh Lobo (2008)

yang meneliti 210 penderita asma yang teregistrasi di Family Health

Unit menyimpulkan bahwa selain gejala klinis dan status fungsional,

evaluasi terhadap status kesehatan harus melibatkan penilaian kualitas

hidup. Penelitian lainnya tentang kualitas hidup penderita asma

dilakukan oleh Mancuso, Peterson, Charlson, (2000), menyatakan

bahwa hampir separuh dari penderita asma yang diteliti mempunyai

gejala depresi. penderita asma dengan gejala depresi yang lebih

banyak kualitas hidupnya lebih buruk dibandingkan dengan penderita

asma dengan gejala depresi yang sedikit. Oleh karena itu, indikator

status psikologis harus dipertimbangkan apabila menilai kualitas

hidup dan dampak penyakit asma.


5. Pengukuran Kualitas Hidup Penderita Asma

h. Konsep pengukuran kualitas hidup yang berhubungan

dengan kesehatan biasanya merujuk paling sedikit pada salah satu dari

4 domain atau komponen penting yaitu sensasi somatik, fungsi fisik,

34
i. status emosi atau psiko sosial dan interaksi sosial. Kualitas hidup

pada penderita asma merupakan suatu ukuran yang penting erat

hubungannya dengan kondisi sesak penderita. Keadaan sesak akan

menyulitkan penderita melakukan aktivitas sehari-hari seperti

merawat diri, mobilitas, makan, berpakaian dan kegiatan rumah

tangga (Jones, et al, 1994).


j. Skala kualitas hidup harus mengikuti standar yang baku

yaitu dapat dipercaya, sah sederhana dan mudah digunakan. Kuesioner

kualitas hidup harus mempunyai sifat dapat menilai kesehatan secara

akurat, derajat kesehatan padapenderita yang berbeda, peka terhadap

perubahan klinis yang bermakna, relativ pendek dan sederhana, dapat

diulang, distandarisasi dan disahkan. (Agustina, 2005). SGRQ

dikembangkan untuk gangguan kesehatan yang disebabkan obstruksi

saluran nafas pada asma dan PPOK. Kuesioner ini terdiri dari tiga

kelompok yaitu gejala, aktivitas (aktivitas yang menyebabkan sesak

nafas) dan dampak (pengaruh sosial dan psikologis akibat

penyakitnya). SGRQ terdiri dari 50 pertanyaan yang terbagi dalam

tiga komponen yaitu (1) Gejala penyakit, berhubungan dengan gejala

sesak nafas, frekuensi dan beratnya gejala tersebut. (2) Aktivitas,

berhubungan dengan aktivitas yang menyebabkan sesak nafas atau

dihambat oleh sesak nafas. (3) Dampak, meliputi suatu rangkaian

aspek yang berhubungan dengan fungsi sosial dan gangguan

psikologis akibat penyakitnya (Molken, et al, 1995).


k. Penelitian tentang kualitas hidup penderita asma yang

menggunakan SGRQ sebagai instrumen dilakukan oleh Thomas

35
(2005) yang bertujuan untuk menilai kualitas hidup penderita asma

yang mendapatkan terapi fluticasone atau steroid inhalasi lainnya

seperti beclomethasone atau budesonide. Hasil Penelitian didapatkan

bahwa ada peningkatan yang bermakna skor SGRQ antara 60 dan 90

hari pada kedua kelompok. Kurniadi (2002) telah melakukan

penelitian yang bertujuan untuk menilai SGRQ sebagai alat ukur

untuk menilai hasil tindakan rehabilitasi medik pada penderita PPOK.

Hasil penelitian menyatakan bahwa komponen aktivitas dan dampak

(gangguan psikologis dan gangguan fungsi sosial) terbukti valid dalam

menilai kapasitas fungsional dan derajat obstruksi paru. SGRQ

merupakan instrument yang mempunyai konsistensi internal yang

tinggi. Sumber : (http://lib.ui.ac.id, diperoleh 12 Januari 2017)


l.
C. Senam Asma
1. Definisi Senam Asma
m. Senam Asma Indonesia merupakan salah satu latihan fisik

yang dianjurkan bagi penderita asma. Tujuan Senam Asma Indonesia

adalah meningkatkan kemampuan otot yang berkaitan dengan

mekanisme pernapasan, meningkatkan kapasitas serta efisiensi dalam

proses respirasi Manfaat dari senam ini antara lain melatih cara

bernafas yang benar, melenturkan dan memperkuat otot pernapasan,

melatih eskpektorasi yang efektif, juga meningkatkan sirkulasi. (M.

Angela C.M., dkk, 2011).


1. Prosedur Gerakan Senam Asma
a. Pemanasan dan Peregangan
n. Pemanasan dan peregangan merupakan gerakan

awal dengan tujuan untuk mempersiapkan otot-otot, sendi-sendi,

jantung dan paru dalam keadaan siap untuk melakukan gerakan

36
lebih lanjut. Gerakan ini termasuk pre activity exercise yang

dimulai dari proksimal ke distal.

o. Prinsip pemanasan :

1) Gerakan bebas tanpa beban ataupun bantuan


2) Melibatkan seluruh tubuh
3) Dimulai dari proksimal ke distal
4) Lamanya tidak lebih dari 15 menit
5) Kecepatan gerakan tidak lebih dari ritme sekitar 120

beat/menit
b. Prosedur Gerakan Pemanasan adalah :
1) Sikap sempurna, kemudian menundukkan kepala (sebelum

melakukan senam berdoa terlebih dahulu). Berdiri tegak,

lalu kedua tangan lurus disamping badan, lalu lakukan

jalan ditempat dengan mengangkat kaki minimum 20 cm

dari lantai sambil melenggangkan tangan. Lakukan

gerakan tersebut sampai 3 x 8 hitungan.


2) Berdiri tegak, lalu lakukan gerakan lari di tempat sambil

mengayunkan lengan dengan posisi kedua siku menekuk.

Lakukan sampa 3x 8 hitungan.


3) Berdiri tegak, lalu lakukan kembali gerakan jalan ditempat

sampai 3 x 8 hitungan.
4) Letakkan kedua tangan di pinggang. Tundukkan kepala,

kemudian tegakkan kembali. Lakukan gerakan menunduk

dan menegakkan kepala ini bergantian sampai 3 x 8

hitungan.
5) Letakkan kedua tangan dipinggang. Palingkan muka ke

kanan, kembali lurus ke depan, kemudian palingkan ke

kiri dan kembali lurus ke depan. Lakukan gerakan tersebut

sampai 3 x 8 hitungan.

37
6) Letakkan kedua tangan di pinggang, miringkan kepala ke

kanan kemudian kembali tegak. Selanjutnya miringkan

kepala ke kiri dan kembali tegak. Lakukan gerakan

tersebut bergantian sampai 3 x 8 hitungan.


7) Letakkan tangan lurus disamping tubuh, kaki dibuka

selebar bahu. Ayunkan tangan kanan lurus keatas sehingga

telapak tangan menghadap kearah badan dan ayunkan

tangan kiri ke belakang dengan telapak menghadap ke

belakang. Lakukan hal tersebut pada hitungan 1 4, lalu

lakukan gerakan sebaliknya pada hitungan 5 8. Lakukan

gerakangerakan tersebut sampai 3 x 8 hitungan.


8) Letakkan kedua tangan di bahu, buka kaki selebar bahu.

Pada hitungan 1 4 putar bahu ke depan seperti putaran

roda. Lakukan gerakan sebaliknya pada hitungan 5 8.

Lakukan hal diatas bergantian sampai 3 x 8 hitungan.


9) Posisikan kedua tangan lurus disamping badan, buka kaki

selebar bahu. Tepukkan tangan diatas kepala, lalu kembali

ke posisi semula sambil menepuk paha samping luar.

Lakukan gerakan tersebut berulang sampai 3 x 8 hitungan.


10) Posisikan kedua tangan di pinggang, buka kaki selebar

bahu. Putar pinggul searah jarum pada hitungan 1 4.

Pada hitungan 5 8, putar pinggul berlawanan dengan

arah jarum jam. Lakukan gerakan tersebut bergantian

sampai 3 x 8 hitungan. Rapatkan kedua kaki, lalu letakkan

kedua tangan di pinggang. Hentakkan tungkai kaki kanan

dan kiri ke depan dengan posisi sendi pergelangan kaki 90

38
derajat secara bergantian. Selanjutnya, hentakkan tungkai

kaki kanan dan kiri kearah samping (secara bergantian).

Terakhir, hentakkan kearah belakang (secara bergantian).

Lakukan gerakan tersebut masing-masing 1 x 8 hitungan.

Lakukan kembali jalan di tempat sampai 2 x 8 hitungan.


11) Berdiri tegak dengan kedua tangan lurus disamping badan,

lalu angkat
12) kedua tangan keatas sambil menarik nafas sampai

hitungan 2. Pada hitungan 3 8, turunkan kedua tangan

sambil menghembuskan nafas.


p.
c. Prosedur Gerakan Peregangan :
1) Buka kaki selebar bahu. Luruskan tangan kanan ke depan,

sedangkan tangan kiri memegang siku tangan kanan, lalu

tarik siku tangan kanan ke arah tangan kiri sampai tangan

kanan menyentuh dada. Tahan gerakan ini sampai

hitungan ke 4. Pada hitungan 5 8 kembalikan ke sikap

awal secara perlahan-lahan. Selanjutnya lakukan gerakan

sebaliknya (posisi tangan kanan memegang siku tangan

kiri).
2) Buka kaki selebar bahu, lalu angkat tangan kanan keatas

sampai tangan rileks di belakang kepala, kemudian pegang

sikunya dengan tangan kiri. Tarik siku tangan kanan ke

belakang pada hitungan 1, lalu tahan mulai hitungan 2 4.

Kembalikan ke sikap awal secara perlahan-lahan, pada

hitungan 5 8. Selanjutnya lakukan gerakan sebaliknya

(posisi tangan kanan memegang siku tangan kiri).

39
3) Buka kaki selebar bahu, lalu jalin kedua tangan di

belakang badan. Pada hitungan ke 1, angkat kedua tangan

keatas sambil mengempiskan perut. Selanjutnya, tahan

gerakan tersebut sampai hitungan ke 4. Kembalikan secara

perlahan-lahan pada posisi awal mulai hitungan 5 8.


4) Buka kaki selebar bahu, lalu lipat kedua tangan di depan

dada sampai ujung jari kedua tangan beradu. Pada

hitungan 1, putar tubuh bagian atas ke kanan tetapi

panggul dan wajah tetap menghadap ke depan. Tahan

gerakan ini sampai hitungan ke 4. Kembalikan ke sikap

awal secara perlahan-lahan pada hitungan 5 8. Lakukan

gerakan seperti diatas untuk arah yang berlawanan.


5) Buka kaki agak lebar, kedua tangan lurus disammping

badan.Pada hitungan 1, dorong tangan kanan keatas

sambil memiringkan badan. Tekuk lutut kaki kiri dan

tangan kiri menumpu pada paha kiri.Tahan gerakan ini

sampai hitungan 4. Kembalikan ke sikap awal secara

perlahan-lahan pada hitungan 5 8.


6) Berdiri dengan kaki rapat, kedua lengan lurus disamping

badan. Pada hitungan 1, langkahkan kaki kanan ke depan

sampai tumit menempel pada lantai. Kedua tangan

bertumpu pada paha kanan, kemudian rendahkan badan

sambil tekuk lutut kiri dan sendi panggul kanan (badan

dan kepala tetap lurus). Tahan gerakan tersebutpada

hitungan 2 4. Pada hitungan 5 8, perlahan-lahan

kembalikan pada posisi sikap awal.

40
7) Kedua kaki rapat dan tangan lurus disamping badan. Pada

hitungan 1, tekuk lutut kanan ke belakang sampai

maksimal.Pegang pergelangan kaki kanan dengan tangan

kiri, lalu tarik ke belakang. Selanjutnya rentangkan tangan

kanan ke samping. Pada hitungan 2 4 tahan gerakan

tersebut. Secara perlahan-lahan kembalikan ke posisi awal

pada hitungan 5 8. Selanjutnya lakukan gerakan

sebalinya (tangan kanan memegang pergelangan kaki kiri).


8) Berdiri dengan kedua kaki rapat dan kedua tangan lurus

disamping tubuh. Pada hitungan 1, tarik tungkai kanan ke

depan sampai lutut kanan menekuk. Selanjunya,

rendahkan badan dengan kedua tangan bertumpu pada

paha kanan ( badan dan kepala tetap lurus). Tahan gerakan

ini sampai hitungan 4. Kembalikan ke sikap awal secara

perlahan-lahan pada hitungan 5 8, lalu lakukan gerakan

yang sama dengan arah berlawanan.


d. Latihan Inti A

q. Gerakan ini bertujuan untuk memperbaiki dan

mempertahankan fungsi alat pernafasan. Pada penderita

obstruktif paru, latihan ditujukan agar terjadi ventilasi alveolar,

untuk itu fungsi diafragma harus diperbaaiki/ditingkatkan,

diharapkan kerja otot pernafasan menjadi optimal dan kerja otot

nafas bantu menurun. Latihan inti A, bertujuan untuk melatih

cara bernafas yang efektif pada penderita asma. Dengan cara

41
menarik nafas dan mengeluarkan nafas. Proses pengeluaran

nafas lebih lama 2 hitungan.


r. Pada penyakit asma, penderita mengalami kesulitan

waktu ekspirasi, maka dipilih gerakan yang dapat

dikombinasikan dengan irama pernafasan yang baik, dengan

cara : Inspirasi melalui hidung, ekspirasi melalui mulut dan

berdesis, waktu ekspirasi harus lebih panjang dari waktu

inspirasi, mengikuti mekanisme pernafasan dada dan diafragma

yang dibantu oleh otot-otot perut.

1) Prinsip Gerakan A
a) Setiap gerakan di ikuti dengan inspirasi dan

ekspirasi yang dalam


b) Waktu inspirasi lebih pendek dari ekspirasi
c) Gerakan inspirasi dilakukan saat pengembangan

volume thoraks dan ekspirasi saat penciutan volume

thoraks
d) Kecepatan gerak dengan ritme sekitar 100 beat/

menit
2) Prosedur Gerakan Inti A adalah :
a) Buka kaki selebar bahu, lalu letakkan tangan di

pinggang, pada hitungan 1, tegakkan kepala dan

busungkan dada. Selanjutnya, tundukkan kepala

pada hitungan 2 4. Lakukan gerakan tersebut

bergantian sampai 2x8 hitungan.


b) Tangan masih dipinggang dan kaki dibuka selebar

bahu. Palingkan muka ke kanan pada hitungan 1,

lalu pada hitungan 2 arahkan kembali muka ke

depan dan tahan sampai hitungan 4. Pada hitungan 5

42
palingkan muka ke kiri, lalu pada hitungan 6 8

arhkan kembali ke depan. Lakukan gerakan tersebut

bergantian sampai 3 x 8 hitungan.


c) Buka kaki selebar bahu dan kedua tangan lurus

disamping tubuh. Pada hitungan 1, angkat bahu

kanan, lalu turunkan kembali pada hitungan 2 4.


d) Lakukan hal yang sama untuk bahu kiri. Lakukan

gerakan tersebut bergantian sampai 3 x 8 hitungan.

Rapatkan kedua kaki dan tangan lurus disamping

tubuh. Putar bahu kebelakang dengan siku sedikit

tertekuk pada hitungan 1 3, lalu hentakkan kedua

tangan ke belakang pada hitungan 4. Pada hitungan

5 7, putar kembali bahu ke depan, lalu pada

hitungan 8 hentakkan tangan ke depan. Lakukan

gerakan tersebut bergantian sampai 3 x 8 hitungan.


e) Buka kaki selebar bahu dan kedua tangan lurus

disamping tubuh. Pada hitungan 1, angkat kedua

tangan keatas sejajar telinga hingga membentuk

huruf V. Pada hitungan 2 4 kembalikan tangan

pada posisi semula. Lakukan gerakan tersebut

sampai 3 x 8 hitungan.
f) Buka kaki selebar bahu, lalu angkat kedua tangan

lurus ke depan setinggi bahu sehingga telapak

tangan menghadap ke depan. Tarik kedua tangan

kedua tangan ke belakang pada hitungan 1 sambil

menekuk lutut dan tangan di kepalkan. Pada

43
hitungan 2 4 kembali ke posisi semula dengan

posisi tangan seperti mendorong. Lakukan gerakan

diatas sampai 3 x 8 hitungan.


e. Latihan Inti B
s. Bertujuan untuk relaksasi/melepaskan beban otot-

otot pernafasan, mobilisasi sendi yang berkaitan dengan

perubahan volume thoraks, meningkatkan daya tahan tubuh dan

mengontrol pernafasan dengan irama yang ritmis, otot-otot akan

menjadi relaksasi, hal ini akan mempermudah pernafasan dan

ekspektorasi.
1) Prinsip Gerakan Inti B
a) Melibatkan otot agonis dan antagonis sehingga

terjadi kotraksi dan relaksasi.


b) Diselingi dengan pernafasan panjang diantara

gerakan tertentu untuk mengontrol pernafasan


c) Sebagian besar gerakan berpengaruh pada perubahan

volume thoraks, sedang yang lain untuk seluruh

tubuh
d) Kecepatan gerak dengan irama sekitar 130

beat/menit
2) Prosedur Gerakan Inti B :
a) Buka kaki selebar bahu, lalu letakkan kedua tangan

pada bahu. Luruskan tangan ke atas, lalu turunkan

kembali. Selanjutnya luruskan pula tangankanan ke

atas, lalu turunkan kembali. Selanjutnya, luruskan

pula tangan kiri ke atas dan turunkan kembali.

Lakukan gerakan ini bergantian sampai 4 x 8

hitungan.

44
b) Letakkan kedua tangan lurus disamping tubuh.

Lemparkan tangan kanan ke depan atas dan tangan

kiri ke belakang, lalu lakukan gerakan sebaliknya

sehingga tangan kiri diatas dan tangan kanan

mengayun ke belakang. Lakukan sampai 4 x 8

hitungan.
c) Buka kaki selebar bahu, lalu posisikan kedua tangan

yang sikunya menekuk 90 derajat di samping tubuh.

Dorong kedua tangan lurus ke atas sampai

menyerong tubuh ke kanan, lalu tarik posisi tangan

ke posisi semula. Dorong kembali kedua tangan

sambil menyerongkan tubuh kekiri. Lalukan gerakan

tersebut masing-masing 1 x 8 hitungan.


d) Lakukan jalan di tempat sebanyak 2 x 8 hitungan,

kemudian lakukan kembali jalan di tempat sambil

menarik nafas sampai 3 x 8 hitungan Buka kaki

selebar bahu, letakkan kedua tangan lurus disamping

tubuh. Silangkan kedua tangan di depan tubuh,

hentakkan kaki kanan ke depan sampai tumitnya

menyentuh lantai sambil merendahkan badan.

Selanjutnya kembali ke posisi tegak sambil tangan di

rentangkan. Lakukan gerakan yang sama untuk kaki

kiri, Lakukan bergantian kanan dan kiri sampai 4 x 8

hitungan.
e) Rapatkan kedua kaki sambil menyilangkan tangan

kanan diatas tangan kiri di depan dada. Rentangkan

45
kedua tangan kesamping tubuh sambil melemparkan

tungkai kaki kanan ke samping, lalu kembali ke

posisi semula. Lakukan hal yang sama untuk kaki

kiri secara bergantian hingga 4 x 8 hitungan.


f) Rapatkan kedua kaki, lalu silangkan kedua tangan di

depan dada dengan


g) posisi tangan kanan diatas tangan kiri. Rentangkan

kedua tangan ke samping, seperti berenang dengan

gaya katak, lalu serongkan kaki kanan ke samping.

Kembalikan ke posisi semula dan lakukan gerakan

yang sama dengan arah yang berlawanan berganti-

ganti sampai 4 x 8 hitungan.


h) Selingi dengan jalan di tempat sampai 2 x 8

hitungan, kemudian lakukan kembali jalan di tempat

sambil menarik nafas sampai 3 x 8 hitungan.


i) Berdiri dengan kaki rapat, lalu angkat kedua tangan

keatas dengan siku menekuk 90 derajat.Gerakkan

kedua tangan tersebut ke depan dan angkat kaki

kanan sampai panggul menekuk membentuk sudut

90 derajat, lalu kembali ke posisi awal. Lakukan

pula gerakan yang sama untuk kaki kiri. Lakukan

secara bergantian sampai 4 x 8 hitungan. Buka

kedua kaki agak lebar, lalu rentangkan kedua tangan

lurus ke samping. Dorong tangan kiri kearah kanan,

sedangkan tangan kanan menyentuh lutut kiri yang

agak di tekuk.Lakukan pula gerakan yang sama

46
dengan arah berlawanan secara bergantian sampai 4

x 8 hitungan. Selingi dengan jalan di tempat sampai

2 x 8 hitungan, kemuadian lakukan kembali jalan di

tempat sambil menarik nafas sampai 3 x 8 hitungan.


f. Aerobik
t. Aerobik dilakukan supaya tubuh dapat

menghasilkan pembakaran 02 tinggi untuk meningkatkan

hembusan nafas. Disesuaikan dengan kondisi dan usia peserta

senam asma. Gerakan-gerakan aerobic harus memenuhi syarat

sebagai berikut:
1) Melibatkan banyak sendi dan otot-otot tubuh
2) Dilakukan secara terus menerus, jika diselingi istirahat

tidak boleh lebih dari 3 menit


3) Dapat meningkatkan denyut nadi sampai 70 % dari nadi

maksimal
4) Kecepatan gerak menggunakan irama 140 beat/menit
u. Prosedur Gerakan Aerobik Sebagai Berikut :
1) Sambil berlari ditempat luruskan kedua tangan ke depan,

lalu kembalikan ke pundak. Selanjutnya, ulurkan kedua

tangan ke samping dan kembalikan ke pundak. Lakukan

gerakan tersebut bergantian sampai 2 x 8 hitungan, setiap

hitungan jatuh pada kaki kanan.


2) Selingi dengan jalan di tempat sampai 2 x 8 hitungan,

kemudian lakukan kembali jalan di tempat sambil menarik

nafas sampai 3 x 8 hitungan.


3) Lakukan lari di tempat dengan posisi tubuh condong ke

depan sehingga salah satu kaki terlempar ke belakang dan

lutut kaki yang lain dalam posisi lurus. Pandangan mata ke

bawah dan kedua tangan bebas bergerak mengikuti irama

47
berlari. Lakukan gerakan yang sama untuk kaki yang lain

secara bergantian sampai 2 x 8 hitungan.


4) Lakukan lari di tempat dengan posisi tubuh condong ke

belakang sehingga salah satu kaki terlempar ke depan dan

lutut kaki yang lain dalam posisi lurus. Kedua tangan

bebas bergerak dan pandangan ke atas. Lakukan gerakan

ini sampai 2 x 8 hitungan.


5) Lakukan lari di tempat dengan posisi tubuh tegak sambil

melemparkan kedua kaki ke samping kanan dan kiri

bergantian. Kedua tangan bebas mengikuti Irma berlari.

Lakukan gerakan ini bergantian sampai 2 x 8 hitungan.


6) Lakukan lari tempat dengan posisi tubuh tegak sambil

melemparkan kaki kanan agak serong ke kiri dan kaki kiri

dilemparkan agak serong ke kanan. Lakukan gerakan ini

bergantian sampai 2 x 8 hitungan.


7) Berdiri dengan kedua kaki agak rapat, lalu letakkan kedua

tangan diata pundak. Jatuhkan kaki kanan satu langkah ke

samping dengan kedua tangan lurus ke samping setinggi

bahu, lalu gerakkan kaki kiri mengikuti langkah kaki

kanan sambil kedua tangan kembali ke pundak. Jatuhkan

kaki kiri satu langkah ke samping dengan kedua tangan

diangkat lurus ke samping, lalu gerakkan kaki kanan

mengikuti gerakan seperti kaki kiri sambil meletakkan

tangan kembali hingga ke posisi awal. Lakukan sampai 2 x

8 hitungan.
g. Pendinginan (cooling down)

48
v. Dalam gerakan ini, dilakukan gerakan-gerakan

lambat agar otot-ototkembali seperti keadaan semula yaitu

dengan menggerakkan tangan sambil menarik nafas pelan-pelan.

Tujuan utama senam asma adalah relaksasi otot - otot pernafasan

serta otot-otot yang lain. Ini dapat dicapai dengan peregangan

dan kontraksi maksimal di ikuti dengan relaksasi maksimal.

Selain itu, pendinginan untuk mengembalikan denyut nadi pada

frekuensi normal setelah mengalami kenaikan selama aerobic.

Ada 3 macam dalam pendinginan :


1) Peregangan yang meningkat, ditahan selama 6 - 8 detik
2) Isometrik kontraksi yang maksimal diikuti relaksasi
3) Ketenangan mental

w. Prosedur Gerakan Pendinginan sebagai berikut :

1) Berdiri tegak dengan kaki terbuka selebar bahu, lalu

jalan kedua tangan di belakang kepala. Tekan kepala ke

belakang pada hitungan 1, lalu tahan dengan kedua tangan

pada hitungan 2- 4. Pada hitungan 5 - 8, kembalikan

keposisi semula secara perlahan.


2) Buka kaki selebar bahu, lalu topang dagu dengan

tangan kanan, tangan kiri di letakkan disamping tubuh.

Dorong dagu kekiri dengan tangan kanan pada hitungan 1,

lalu tahan gerakan ini sampai hitungan 4. Pada hitungan 5-

8, kembalikan secara perlahan-lahan ke posisi semula.


3) Buka kaki selebar bahu, lalu luruskan tangan kanan

ke atas rileks di belakang kepala dan sikunya di pegang

oleh tangan kiri. Pada hitungan 1, tarik siku kanan ke

belakang dan tahan gerakan ini sampai hitungan 4. Pada

49
hitungan 5-8, kembalikan secara perlahan-lahan ke posisi

semula. Lakukan gerakan yang sama dengan arah

berlawanan.
4) Buka kaki selebar bahu, lalu lipat kedua tangan di

depan dada sampai jari - jarinya beradu. Pada hitungan 1,

putar tubuh ke kanan dengan panggul dan wajah tetap

menghadap ke depan, lalu tahan gerakan ini sampai

hitungan 4 pada hitungan 5-8, kembalikan secara

perlahan-lahan ke posisi semula. Lakukan gerakan yang

sama dengan arah yang berlawanan. Berdiri dengan kedua

kaki rapat, lalu letakkan kedua tangan lurus di samping.

Pada hitungan 1, langkahkan kaki kanan ke depan sampai

tumitnya menempel pada lantai. Rendahkan badan sambil

menekuk lutut kiri dan sendi panggul kanan, kedua tangan

bertumpu pada paha kanan. Tahan sampai hitungan 4

dengan posisi tubuh dan kepala tetap lurus. Pada hitungan

5-8, kembalikan secara perlahan-lahan ke posisi semula.

Lakukan gerakan yang sama dengan arah yang

berlawanan.
5) Buka kaki selebar bahu sambil merapatkan kedua

tangan diatas perut. Pada hitungan 1, tarik nafas sambil

mengembungkan otot perut. Selanjutnya hembuskan nafas

pada hitungan 2-4 sambil mengecilkan perut di bantu

dengan tekanan kedua tangan. Hitungan 5, tarik nafas

50
kembali sama seperti gerakan sebelumnya, lalu

hembuskan kembali. Lakukan 2 x 8 hitungan.


6) Buka kaki selebar bahu, lalu luruskan kedua tangan

ke depan setinggi bahu. Turunkan badan sambil menekuk

lutut sedikit pada hitungan 1, lalu tahan gerakan ini sampai

hitungan 4. Pada hitungan 5-8, kembalikan secara

perlahan-lahan ke posisi semula. Lakukan sampai 2 x 8

hitungan.
7) Buka kaki selebar bahu dengan kedua tangan

terbuka kesamping tubuh.Tarik nafas pada hitungan 1, lalu

tahan sampai hutungan 2-4. Pada hitungan 5, hembuskan

nafas keluar sambil menepuk paha bagian samping tarik

nafas kembali, lalu tahan seperti gerakan sebelumnya,

kemudian keluarkan nafas sambil menepuk dada bagian

samping. Terakhir, dorong kedua lengan ke depan sambil

menghembuskan nafas. Selanjutnya kembali ke posisi doa.


1. Efek Samping Senam Asma
x. Menurut Pratyahara (2011) dalam Elyani Nur (2012)

olahraga dan kegiatan yang berlebihan dapat memicu serangan asma.

Olahraga baik bagi penderita asma selama asmanya terkendali, selama

asma yang diderita terkontrol dan termanajemen dengan baik.

Umumnya penderita mampu melakukan berbagai macam kegiatan

fisik. Namun, karena aktifitas yang berlebihan pada penderita dapat

memacu serangan asma. Efek samping yang timbul dapat berupa

serangan asma bertambah berat atau timbulnya serangan

pneumotoraks. Oleh karena itu, beberapa hal harus diperhatikan

51
sebelum melakukan senam asma, yaitu tidak dalam serangan asma,

tidak dalam gagal jantung, kurang tidur, baru sembuh dari sakit dan

lannya (Proverawati, 2010).


y. Pratyahara dalam Elyani Nur (2012) terdapat syarat yang

harus dipenuhi sebelum melakukan senam asma yaitu penderita tidak

dalam serangan asma, sesak nafas dan batuk-batuk, tidak dalam

serangan jantung, tidak dalam keadaan flu atau kurang tidur serta baru

sembuh dari penyakit. Rangkaian senam asma pada prinsipnya untuk

melatih memperkuat otot-otot pernafasan agar penderita asma lebih

mudah melakukan pernafasan dan ekspektorasi. Penderita asma tidak

boleh melakukan olahraga sembarangan karena olahraga yang berat

dapat memicu serangan asma. Selain berenang dan senam asma,

olahraga yang direkomendasikan untuk penderita asma.

z.
D. Kerangka Teori

aa.Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang

melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronis ini

menyebabkann saluran pernafasan menjadi hiperresponsif, sehingga

memudahkan terjadinya bronkokontriksi, edema, dan hipersekresi kelenjar

kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan

dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas,

dada terasa berat, batuk batuk terutama pada malam hari atau dini

hari/subuh. Gejala inni berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang

derajatnya bervariasi dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan

atau tanpa pengobatan (GINA (Global Initiatiative for Asthma) 2011).

52
ab. Asma menimbulkan gangguan kualitas hidup akibat gejala

yang ditimbulkannya baik berupa sesak napas, batuk, maupun mengi.

Penderita jadi kurang tidur atau terganggu aktivitas sehari-harinya (Sundaru,

2008). Selanjutnya penyakit saluran pernafasan ini dapat mengganggu

kualitas hidup penderitanya karena merupakan penyakit kronik yang

mempengaruhi fisik, emosi dan sosial (Mangunnegoro, et al, 2004).


ac.Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal

tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Perbaikan kualitas

hidup dapat dicapai melalui perbaikan fungsi paru, pengurangan gejala dan

serangan (PDPI, 2004). Menurut Depkes RI (2007) terapi pada asma terdiri

dari terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi non farmakologi

bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan perlu

dilakukan latihan otot pernapasan yang dapat dilakukan secara bertahap

sesuai kemampuan penderita. Latihan otot yang dianjurkan untuk

meningkatkan kekuatan otot pada penderita asma adalah jalan kaki,

bersepeda aerobic dan senam.


ad.Tujuan senam adalah untuk meningkatkan kualitas hidup,

meningkatkan kapasitas maksimal latihan, mengurangi gajala selama latihan

dan mempertahankan massa otot. Senam yang teratur akan mengurangi

penumpukan asam laktat dalam darah sebagai efek metabolisme anaerob

dan mengurangi kebutuhan ventilasi selama senam. Dengan senam pun

dapat mengurangi gejala sesak napas dan kelelahan selama senam (Larson,

Covey, Corbridge, 2002). Kerangka teori penelitian ini dapat dilihat pada

skema 2.1.
ae.

53
af.

ag. Skema 2.1


ah. Kerangka Teori
ai.
aj. Faktor Pencetus : Antigen yang terikat Ig E
Allergen, Stress Cuaca dll pada permukaan sel mast atau
ak.
Spasme otot polos, basofil
al.sekresi Permeabilitas kapiler
klenjar bronkus meningkat
am. meningkat
an.
Penyempitan/obstruksi bronkus Mucus meningkat, Wheezing,
ao.
ap. sesak, batuk
aq.
Terganggunya kualitas
ar. hidup Kesulitan beraktivitas
(bio, psiko, sosio
as.spirit)
at.
au. Meningkatkan kekutan otot
Senam Asma paru, melancarkan dahak
av.
aw.
ax. hidup
Meningkatnya kualitas
Hambatan aktivitas fisik
ay.spirit)
(bio, psiko, sosio,
berkurang
az.

ba. Sumber : (http://lib.ui.ac.id, diperoleh 12 Januari 2017)

bb.
bc.
bd.
be.
bf.
bg.
bh.
bi.
bj.
bk.
bl. BAB III
bm. KERANGKA KONSEP
bn.

A. Kerangka Konsep
bo.Kerangka konsep adalah suatu formulasi atau simplikasi dari

kerangka teori atau teori teori yang mendukung penelitian tersebut. Oleh

sebab itu, kerangka konsep ini terdiri dari varabel variabel serta hubungan

54
variabel yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kerangka konsep akan

mengarahkan kita untuk menganalisis hasil penelitian (Notoatmojo, 2010).


bp.Variabel bebas (independen) adalah variabel yang apabila ia

berubah akan mengakibatkan perubahan pada varibel lain. Sedangkan

Variabel tergantung (dependen) adalah variabel yang berubah akibat

perubahan variabel independen (Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2011).

Variabel independen pada penelitian ini adalah senam asma sedangkan

variabel dependen pada penelitian ini adalah kualitas hidup. Berdasarkan

uraian di atas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :

bq. Skema 3.1


br. Kerangka Konsep
bs.
bt.

bu.
Variabel Variabel Dependen
bv.
Independen
bw. Kualitas Hidup
Senam Asma
bx.

B. Hipotesa Penelitian
by.Hipotesa adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul

(Hasdianah dkk, 2015). Hipotesa dalam penelitian ini :


bz. Ho : Senam asma tidak mempengaruhi kualitas hidup penderita

asma di wilayah kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi.


ca. Ha : Senam asma mempengaruhi kualitas hidup penderita asma

di wilayah kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi.

cb.
cc.
cd.
ce.
cf.
cg.
ch.
ci.

55
cj.
ck.
cl.
cm.
cn.
co.
cp.
cq.
cr.
cs.
ct.
cu.
cv.
cw.
cx.
cy.
cz.
da.
db.
dc.
dd.
de. BA B IV
df. METODOLOGI PENELITIAN
dg.

A. Jenis Penelitian
dh.Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan Design Quasy Experimental Pre-Post with Control

Group. Bentuk desain ini adalah salah satu bentuk rancangan penelitian

yang dipergunakan untuk mencari hubungan sebab-akibat. Dan merupakan

pengembangan dari true eksperimental yaitu desain yang mempunyai

kelompok kontrol dengan pengukuran sebelum dan sesudah intervensi pada

kedua kelompok tersebut. (Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2011).

di. Rancangan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :


dj. Skema 4.1
dk. Rancangan Penelitian
dl. P0
dm. O1 O2
dn. S P1
do. O3 O4
dp.
dq. Keterangan :

56
dr. S = Sampel (sudah ditentukan berdasarkan karakteristik

responden)
ds. P0 = Perlakuan yaitu senam asma 2 kali seminggu

Selama 5 minggu
dt. P1 =.Tanpa perlakuan
du. O1 = Pengukuran pertama kelompok intervensi
dv. O2 = Pengukuran kedua kelompok intervensi
dw. O3 = Pengukuran pertama kelompok kontrol
dx. O4 = Pengukuran Kedua Kelompok kontrol

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian

dy. Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di wilayah

kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi. Pemilihan tempat penelitian

ini berdasarkan data Riskesdas Sumatera Barat 2007 dan 2013 bahwa

penderita asma di kota Bukittinggi mengalami peningkatan. Dan

berdasarkan hasil survey awal, data kunjungan penderita asma yaitu

sebanyak 376 kunjungan selama tahun 2016. Angka ini lebih tinggi

dibandingkan dengan Puskesmas lain yang ada di Bukittinggi.

2. Waktu Penelitian
dz. Penelitian ini direncanakan akan dilakukan selama 6

minggu pada bulan Maret April 2017 di wilayah kerja Puskesmas

Tigo Baleh Bukittinggi.

ea.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
eb. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian atau wilayah

generalisasi yang terdiri dari subjek maupun objek yang mempunyai

kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan ditarik kesimpulan. Populasi tidak hanya orang, tetapi

semua benda yang memiliki sifat atau ciri yang bisa diteliti

57
(Hasdianah dkk, 2015). Populasi pada penelitian adalah seluruh

penderita asma yang berkunjung ke Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi

pada tahun 2017. Kunjungan penderita asma tahun 2016 sebanyak 376

kunjungan dengan rata-rata tiap bulannya 31 kunjungan.

58
2. Sampel
3. Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih

dengan cara tertentu sehingga dianggap jumlah dapat mewakili

populasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

purposive sampling yaitu penetapan sampel dengan cara memilih

sampel diantara populasi sesuai dengan kriteria inklusi, sehingga

sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah

dikenal sebelumnya (Sastroasmoro, S. & Ismael, S., 2011).


a. Kriteria Inklusi
4. Kriteria inklusi adalah karakteristik sample yang

dimasukkan atau yang layak untuk diteliti (Sastroasmoro, S. &

Ismael, S., 2011). Kriteria inklusi yang layak pada penelitian ini

adalah:
1) Penderita yang berkunjung ke Puskesmas Tigo Baleh

Bukittinggi
2) Bersedia menjadi responden
3) Penderita asma laki laki dan perempuan
4) Penderita berusia antara 45 64 tahun
5) Penderita asma dengan derajat intermiten, persisten

ringan, dan persisten sedang


6) Penderita asma yang tidak menkonsumsi obat pelega.
b. Kriteria Eksklusi
5. Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang

tidak dimasukkan atau tidak layak untuk diteliti (Sastroasmoro,

S. & Ismael, S., 2011). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini

adalah :

59
1) Penderita yang sedang dalam serangan asma
2) Penderita dengan komplikasi penyakit lain seperti jantung,

hipertensi dan stroke.


3) Penderita yang mengalami serangan asma apabila

melakukan olah raga.


4) Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh I

Gede Widjanegara (2014) didapatkan nilai standar deviasi () = 1.6,

selisih rata rata sebelum dan sesudah senam asma ( o- a) = 1.5

Maka besar sampel yang di perlukan adalah :


5) (Z1- +Z1-)
6) n =
7) (o- a)
8) Keterangan :
9) n = Jumlah sampel
10) Z1- = Nilai Z pada derajat kemaknaan 1.96 bila

: 5%
11) Z1- = Nilai Z pada kekuatan 1.28 bila : 10%
12) = Standar deviasi

13) (o- a) = Selisih rata-rata sebelum dan sesudah

senam asma

14) (1.6)2(1.96 + 1.28)2


15) n =
16) (1,5)2
17) n = 11.946 dibulatkan menjadi 12 orang
18) Dalam penelitian ini peneliti juga menerapkan sistem drop

out, artinya apabila ada sampel yang drop out (keluar) maka akan

diganti dengan yang sama sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi.

Adapun perkiraan proporsi drop out adalah 10% dari jumlah sampel,

sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 26 orang dengan

13 orang kelompok intervensi dan 13 orang kelompok kontrol.

60
D. Definisi Operasional
19) Definisi operasional adalah menjelaskan bagaimana suatu

variabel akan diukur serta alat ukur apa yang digunakan untuk

mengukurnya. Definisi ini mempunyai implikasi praktis dalam proses

pengumpulan data. Defenisi operasional mendiskripsikan variabel sehingga

bersifat spesifik (tidak berintegrasi ganda), terukur, menunjukkan sifat, atau

macam variabel sesuai dengan tingkat pengukurannya dan menunjukkan

kedudukan variabel dalam kerangka teoritis (Hasdianah dkk, 2015). Definisi

operasional penelitian ini adalah sebagai berikut :


20) Tabel 4.1 Definisi Operasional
21) Varia 22) Definisi Operasional 23) Al 24) Hasil 25) S
bel at Ukur Ukur kala
26) Inde 28) 30) 32) 34)
penden: 29) Senam Asma adalah 31) S 33) 35)
27) Sena latihan atau gerakan terstruktur OP
m Asma yang bertujuan untuk melatih
otot otot pernafasan
36) Depe 38) 40) 43) 47)
nden : 39) Kualitas hidup adalah 41) Ku 44) 1 : 48) O
37) Kuali suatu keadaan yang esioner Tidak baik rdinal
tas Hidup menggambarkan kondisi baik 42) (0-33%)
atau buruk fisik, sosial dan 45) 2:
emosi seseorang. Sedang
(34-67%)
46) 3:
Baik (67-
100%)

61
49) Conf 59) 66) 77) 87)
ounding 60) Persepsi responden 67) Ku 78) 1 : 88) N
50) Riwa terhadap adanya riwayat asma esioner Ada ominal
yat Asma dalam keluarga. 68) 79) 2: 89)
61) 69) Tidak ada 90)
51)
62) Lama hidup dalam tahun 70) 80) 91)
52) 71) Ku
berdasarkan tanggal, bulan, 81) 92) O
53) Umur esioner
kelahiran penderita. 82) 1: rdinal
54) 72)
63) (45-54 tahun) 93)
55) 64) 73)
83) 2: 94)
56) 65) Identitas seksual 74)
(55-64 tahun) 95)
57) responden 75) 96)
84)
58) Jenis 76) Ku 85) 1 : 97) N
Kelamin esioner Perempuan ominal
86) 2:
Laki-laki
E. Instrumen Penelitian
98) Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data yang dibutuhkannya (Hasdianah dkk,

2015). Pada penelitian ini instrumen yang digunakan berupa kuesioner yang

berisi pertanyaan tentang kualitas hidup. Instrument yang digunakan adalah

kuesioner St Georges Respiratory Questionnaire (SGRQ) yang sudah

standar dan baku untuk penderita asma. Pada Penelitian ini peneliti

memodifikasi pertanyaan yaitu menanyakan masalah fisik dan masalah

psikososial pada responden berdasarkan keluhan 2 bulan terakhir. Penilaian

kualitas hidup melalui 50 pertanyaan yang terbagi dalam dua komponen

yaitu :
1. Masalah fisik, yang terdiri dari gejala penyakit, meliputi gejala sesak

nafas, frekuensi dan beratnya gejala tersebut (8 pertanyaan), gangguan

aktivitas meliputi, berhubungan dengan aktivitas yang menyebabkan

sesak nafas atau dihambat oleh sesak nafas (16 pertanyaan).


2. Masalah psikososial, meliputi aspek yang berhubungan dengan

gangguan psikologis dan gangguan fungsi sosial akibat penyakitnya

62
(26 pertanyaan) kemudian Peneliti menentukan skor responden

menurut St Georges Respiratory Questionnaire (SGRQ)

99) SGRQ terdiri dari 2 bagian. Bagian 1 untuk menanyakan

gejala penyakit yang terdiri dari 8 pertanyaan yang bertujuan untuk menilai

persepsi responden tentang keluhan dan gejala penyakit yang dialami 2

bulan terakhir. Bagian 2 untuk menanyakan aktivitas, dampak psikologis

dan sosial yang dialami responden. Penilaian aktivitas terdapat pada sub

bagian 2.2 (7 pertanyaan) dan 2.6 (9 pertanyaan) sedangkan penilaian

dampak psikologis dan sosial yang dialami responden terdapat pada sub

bagian 2.1(2 pertanyaan), 2.3 (6 pertanyaan), 2.4 (8 pertanyaan), 2.5 (4

pertanyaan), 2.7 (5 pertanyaan) dan 2.8 (1 pertanyaan).

100) Perhitungan total skor responden merupakan total

penjumlahan dari 50 pertanyaan dimana masing masing alternatif

jawaban responden pada SGRQ sudah mempunyai bobot nilai masing-

masing. Selanjutnya skor kualitas hidup responden diperoleh dengan cara

membagi total skor responden dengan skor maksimal yang terdapat pada

SGRQ.

101) Peneliti memilih menggunakan instrument ini, karena

SGRQ dikembangkan untuk penilaian kualitas hidup pada penderita

gangguan kesehatan yang disebabkan obstruksi saluran nafas pada asma dan

PPOK.

102) Sumber : (http://lib.ui.ac.idf. diperoleh 12 Januari 2017).

103)
F. Etika Penelitian

63
104) Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku

untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti,

pihak yang diteliti (subjek penelitian) dan masyarakat yang akan

memperoleh dampak hasil penelitian tersebut. Etika penelitian juga

mencakup perilaku peneliti atau perlakuan peniliti terhadap suu yang

dihasilkan oleh peneliti bagi masyarakat (Notoatmojo, 2010). Etika pada

penelitian ini yaitu sebelum melakukan penelitian, peneliti mengurus surat

pengantar dari STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi, kemudian diteruskan ke

Kesbangpol, dari Kesbangpol surat diteruskan kepada Kepala Puskesmas

Tigo Baleh Bukittinggi. Setelah mendapatkan izin dari pihak Puskesmas,

peneliti meminta izin kepada dokter yang bersangkutan untuk memberikan

intervensi peneletian berupa senam asma. Etika pada penelitian ini adalah

dengan mengutamakan hal hal sebagai berikut :


1. Informed concent
105)Merupakan hak untuk mendapatkan penjelasan lengkap

tentang penelitian (Hamid, A.Y.S., 2008). Informed concent pada

penelitian ini adalah dengan menjelaskan penelitian sampai responden

mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya,

setelah penjelasan selesai, jika responden bersedia maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak bersedia

bersedia maka peneliti harus menghormati hak penderita.


2. Anominity (tanpa nama)
106)Merupakan hak untuk mengharapkan bahwa setiap data

yang dikumpulkan selama masa penelitian akan disimpan dan dijaga

kerahasiaanya, yang baik melalui tidak menggunakan identitas

(Hamid, A.Y.S., 2008). Anominity pada penelitian ini adalah menjaga

64
kerahasiaan penelitian dengan cara tidak mencantumkan nama

responden pada lembaran tersebut melainkan hanya diberi kode atau

inisial.
3. Confidentiality (kerahasiaan)

107)Merupakan hak untuk mengharapkan bahwa setiap data

yang dikumpulkan selama masa penelitian akan disimpan dan dijaga

kerahasiaanya. Yaitu menjaga kerahasiaan hasil penelitian, baik

informasi maupun masalah masalahnya (Hamid, A.Y.S., 2008).

65
108) Confidentiality pada penelitian ini adalah menjaga

kerahasiaan informasi responden, dan hanya digunakan untuk tujuan

penelitian dan menjadi tanggung jawab peneliti.

109)
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Data yang dikumpulkan
110) Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu berupa lembar

kuesioner yang telah di isi oleh responden dengan karakteristik

responden seperti : riwayat keluarga yang menderita asma, usia

responden, jenis kelamin dan data kuesioner kualitas hidup. Senam

asma dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu selama 6 minggu.

Penilaian melalui kuesioner kualitas hidup dilakukan pretest dan

postest pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.


2. Langkah Langkah Pengumpulan Data
a. Prosedur Administratif
1) Peneliti mengajukan surat permintaan izin penelitian dari

STIKes YARSI Sumbar Bukittinggi


2) Setelah surat izin penelitian dikeluarkan surat tersebut

disampaikan kepada Kesbangpol kemudian diteruskan ke

Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi


3) Surat persetujuan penelitian yang telah dikeluarkan

digunakan peneliti untuk melakukan penelitian.


b. Prosedur Teknis
1) Sebelum melaksanakan pengumpulan data, penulis

menentukan responden sesuai kriteria yang ditetapkan.

66
2) Meminta persetujuan responden untuk berpartisipasi

dalam penelitian setelah diberikan penjelasan dan

kesempatan untuk bertanya.


3) Meminta responden yang bersedia ikut serta dalam

penelitian untuk menandatangani lembar persetujuan

menjadi subyek penelitian.


4) Meminta responden yang bersedia ikut serta dalam

penelitian untuk mengisi kuesioner yang diberikan.


5) Meminta responden yang telah mengisi kuesioner untuk

mengembalikan kepada penulis.

111) Langkah langkah pengumpulan data mulai dari prosedur

administratif sampai prosedur teknis dapat dilihat pada Skema 4.2.

112) Skema 4.2


113) Langkah langkah pengumpulan data
114)
1 2 3 4
115)

116)
8 7 6 5
117)

118) 9a 10a 11a 12a

119)
9b 10b 11b 12b
120)

121) Keterangan :

1. Peneliti mengajukan surat permintaan izin penelitian dari

STIKes YARSI Sumbar Bukittinggi


2. Setelah surat izin penelitian dikeluarkan surat tersebut

disampaikan kepada Kesbangpol


3. Kemudian diteruskan ke Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi
4. Meminta izin Puskesmas dan dokter yang bersaangkutan

67
5. Setelah mendapatkan izin, kemudian menentukan responden

yang termasuk karakteristik


6. Menjelaskan dan memberikan kesempatan bertanya tentang

penelitian
7. Meminta persetujuan untuk menjadi responden dengan

menandatangani surat persetujuan


8. Menentukan kelompok kontrol dan intervensi
9. Meminta responden untuk mengisi kuesioner sebelum intervensi

(pretest). 9a kelompok intervensi dan 9b kelompok kontrol


10. Meminta responden untuk mengumpulkan lembar kuesioner

yang telah diisi. 10a kelompok intervensi dan 10b kelompok

kontrol
11. Meminta responden mengisi kuesioner sesudah intervensi

(postest). 11a kelompok intervensi dan 11b kelompok kontrol.


12. Meminta responden untuk mengumpulkan lembar kuesioner

yang telah diisi. 12a kelompok intervensi dan 12b kelompok

kontrol

122)

123)

124)

68
H. Teknik Pengolahan Data
I. Pengolahan data merupakan salah satu langkah yang penting dalam

suatu penelitian. Teknik pengolahan data pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Editing (Pemeriksaan Data)
J. Editing adalah pengecekan dan perbaikan isian formulir

dan kuisioner (Notoatmojo, 2010). Editing pada peneelitian ini adalah

dengan memastikan apakah semua pertanyaan sudah terjawab,

kejelasan tulisan, kejelasan makna jawaban, kesesuaian jawaban,

relevansi dan keragaman satuan.


2. Coding (Mengkode Data)
K. Coding adalah Mengubah data berbentuk kalimat atau

huruf menjadi angka atau bilangan (Notoatmojo, 2010). Coding pada

peneelitian ini adalah dengan memilah milah data yang akan

dimasukan dengan cara mengubah kebentuk angka atau bilangan.


3. Entri (Memasukkan Data)
L. Entri adalah memasukan data penelitian untuk dianalisa

(Notoatmojo, 2010). Entri pada peneelitian ini adalah dengan

memasukkan data hasil penelitian yang telah melalui proses coding

untuk dianalisa atau diolah. Pengelolaan data dilakukan dengan

bantuan program komputer.


4. Cleaning (Pembersihan Data)

M. Cleaning adalah pembersihan data yang dilakukan untuk

melihat kesalahan yang mungkin terjadi (Notoatmojo, 2010). Editing

pada peneelitian ini adalah dengan melakukan pembersihan agar

seluruh data terbebas dari kesalahan sebelum di analisa.

69
I. Analisa Data
1. Analisa Univariat
N. Analisa ini menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik

masing-masing variabel yang S. & Ismael, S., 2011). Tujuannya

adalah untuk mendapatkan nilai mean, median dan standar deviasi

sampel untuk menentukan pengaruh senam asma terhadap kualitas

hidup pada penderita asma.


2. Analisa Bivariat
O. Analisa bivariat merupakan analisa yang dilakukan untuk

mengetahui hubungan atau pengaruh antara dua variabel yaitu variabel

dependen dan variabel independen Sastroasmoro, S. & Ismael, S.,

2011). Data dianalisa untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang

signifikan antara variabel independen dan variabel dependen.

Perhitungan bivariat pada penelitian ini menggunakan uji statitistik

paired sampel T-test yaitu untuk mengetahui perbedaan pengaruh

senam asma terhadap kualitas hidup sebelum (pre) dan sesudah (post)

senam asma pada kelompok intervensi maupun kontrol, dengan

kepercayaan 95% atau nilai p = 0,05. Untuk melihat hasil kemaknaan

perhitungan statistik digunakan batasan kemaknaan = 0,05

sehingga jika nilai p 0,05, maka hasil uji statistik bermakna

artinya Ha diterima, sedangkan jika nilai p > 0,05 maka secara

statistik disebut tidak bermakna artinya H0 diterima. Pengolahan data

dibantu dengan sistem komputerisasi. Pengolahan data menggunakan

rumus sebagai berikut :

70
x1 x 2
t=

s1 s2 s s2
P.
( )( )
2 2

+ 2r 1
n1 n2 n1 n2

Q. Keterangan :

x 1
R. = Rata rata sampel sebelum perlakuan

x 2
S. = Rata rata sampel sesudah perlakuan

s 1=Simpang baku sebelum perlakuan


T.

s 2=Simpang baku sesudah perlakuan


U.

n1=
V. Jumlah sampel sebelum perlakuan

n2=
W. Jumlah sampel sesudah perlakuan

X. r=Korelasi antara sampel sebelumdiberikan perlakuandengan

Y. setelah diberikan perlakuan

Z. Sumber: http://www.jam-statistic.id, diperoleh pada tanggal 20

Februari 2017

AA.
AB.
AC.
AD.
AE.
AF.
AG.
AH.
AI.
AJ.
AK.
AL.

71
AM.
AN.
AO.
AP.
AQ.
AR. DAFTAR PUSTAKA
AS.
AT.
AU. Abidin, A. C. M. N., & Ekarini, E. (2011). Mengenal, Mencegah, dan
Mengatasi Asma pada Anak Plus Panduan Senam Asma. Jakarta: Puspa
Swara.
AV.
AW. Budi, H. (2008, Oktober). Hubungan Kualitas Senam Asma Dengan
Kualitas Hidup Pasien Asma di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
AX. http://lib.ui.ac.id,
AY.
AZ. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup. (2011). Repository
Universitas Sumatera Utara.
BA. http://repository.usu.ac.id
BB.
BC. Hamid, A. Y. S. (2008). Buku Ajar Riset Keperawatan: Konsep, Etika, &
Instrumentasi. Jakarta: EGC.
BD.
BE. Handayani, L., Riswati., Lestari, D., Aimanah, I. U., & Ipa, M. (2013).
Penyakit Tidak Menular: Asma. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Sumatera Barat Tahun 2013.
BF.
BG. Hasdianah., Siyoto, S., Indasah., & Wardani, R. (2015). Dasar-dasar
Riset Keperawatan. Yogyakarta: Nudmed.
BH.
BI. Ikawati, Z. (2016, Juni). Penatalaksanaan Terapi Sistem Pernafasan.
Yogyakarta: Bursa Ilmu.
BJ.

72
BK. Jones, P. W. (2008, Desember 11). St Georges Respiratory Questionnaire
For COPD Patients (SGRQ-C). Division of Cardiac and Vascular
Science St Georges: University Of London
BL. https://meetinstrumentenzorg.blob.core.windows.net
BM.
BN. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
BO.
BP.Paired Sampel T-test. (2014,
Maret). Jam Statistic.
BQ. http://www.jam-statistic.id
BR.
BS. Penyakit Tidak Menular: Asma. (2009). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Sumatera Barat Tahun 2007.
BT.
BU. Quality Of Life. (2017, Februari 15). World Health Organization.
http://www.who.int
BV.
BW. Quality Of Life. (2017, Februari 15). Wilkipedia.
BX. http://en.wilkipedia.org
BY.
BZ. Rafikasari, D. (2015, November 5). Dampak Polusi Penderita Asma di
Indonesia Meningkat. Sindonews.
CA. https://lifestyle.sindonews.com
CB.
CC. Sahat, C. S. (2008). Pengaruh Senam Asma Terhadap Peningkatan
Kekuatan Otot Pernapasan dan Fungsi Paru Pasien Asma di
Perkumpulan Senam Asma di RSU Tangggerang. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
CD. http://lib.ui.ac.id
CE.
CF. Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2011). Dasar-dasar Metodologi
Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.
CG.

73
CH. Styarahardja, F. (2010). St Georges Respiratory Questionnaire For
COPD Patients (SGRQ). Fakultas Kedokteran UK Maranatha Rumah
Sakit Immanuel: Bandung.
CI. http://repository.maranatha.edu
CJ.
CK. Widjanegara, I. G. (2014). Senam Asma Mengurangi Kekambuhan Dan
Meningkatkan Saturasi Oksigen Pada Penderita Asma Di Poliklinik
Paru Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya. Fisiologi Olahraga
Universitas Udayana Denpasar. Denpasar
CL. http://www.pps.unud.ac.id
CM. You Can Control Your Asthma. (2015). Infodatin: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan
CN. http://www.depkes.go.id
CO.
CP.
CQ.
CR.

74

Anda mungkin juga menyukai