Anda di halaman 1dari 26

terapi oksigen

TINJAUAN RASIONAL TERAPI OKSIGEN


Oksigen mempunyai peranan yang penting dalam proses metabolisme dalam tubuh.
Oksigen dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan akan
oksigen sangat dipengaruhi oleh fungsi dari sistem pernapasan seseorang, apabila fungsi tersebut
baik maka oksigen dan karbondioksida dapat bertukar secara normal, akan tetapi bila fungsi
tersebut mengalami gangguan, maka oksigen dan karbondioksida tidak dapat bertukar secara
normal dan mengalami gangguan. Pada saat seseorang mengalami gangguan dalam bernapas /
ganguan dalam pemenuhan oksigen, bantuan terapi oksigen sangat diperlukan. Dalam uraian ini
akan dibahas tentang apa itu terapi oksigen dan dalam keadaan apakah seseorang membutuhkan
terapi oksigen dan apa resiko dari pemberian terapi oksigen.
1.   DEFINISI TERAPI OKSIGEN
Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui saluran
pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan. (Standar Pelayanan Keperawatan di
ICU, Dep.Kes. RI, 2005)
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan oksigen di atmosfer. Konsentrasi oksigen dalam udara ruangan adalah
21%. Tujuan terapi oksigen adalah memberikan transport oksigen yang adekuat dalam darah
sambil menurunkan upaya bernafas dan mengurangi stres pada miokardium. (Brunner &
Suddarth,2001)
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen pada konsentrasi yang lebih timggi dari udara
bebas untuk mencegah terjadinya hipoksemia dan hipoksia yang akan mengakibatkan terjadinya
kematian sel. (Patria & Fairuz,2012)

3.   TUJUAN PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN


Tujuan pemberian terapi oksigen, yaitu :                                
a.       Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan untuk
memfasilitasi metabolisme aerob.
b.      Mempertahankan PaO2 > 60 mmhg atau SaO2 >90 % untuk mencegah dan mengatasi
hipoksemia / hipoksia serta mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Menurunkan
kerja nafas dan miokard. Menilai fungsi pertukaran gas. (Patria & Fairuz,2012)
4.   INDIKASI PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN
Oksigen dalam darah akan berikatan dengan hemoglobin dan akan diedarkan ke seluruh
tubuh. Apabila terjadi gangguan pada sistem respirasi, maupun pada hemoglobin, mengakibatkan
gangguan pada jaringan.
Hb + 4O2         Hb(O2)4
 

Reaksi hemoglobin dan oksigen


Kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia yaitu kondisi di mana berkurangnya
suplai oksigen ke jaringan di bawah level normal yang tentunya tidak dapat memenuhi
kebutuhan tubuh. Hipoksia merupakan salah satu masalah gawat darurat karena dapat merusak
organ vital. Selain itu dapat juga mengancam kehidupan. Salah satu cara mencegah hipoksia
dengan memberikan terapi oksigen. (William, dan Pageu, 2013) 
Kebutuhan akan terapi oksigen sangatlah berguna, tetapi pada sebagian lainnya cukup
berguna dan pada yang lainnya lagi hampir tidak berguna. Oleh karena itu, perlu mengetahui dan
mengerti berbagai jenis hipoksia. Klasifikasi deksriptif macam-macam penyebab hipoksia,
yaitu : (Guyton,2014)
a.    Oksigenasi darah di dalam paru yang tidak memadai karena keadaan ekstrinsik 
-    Kekurangan oksigen dalam atmosfer.
-    Hipoventilasi (gangguan neuromuskular).
b.   Penyakit paru
-    Hipoventilasi karena peningkatan tahanan saluran napas atau penurunan komplians paru.
-    Kelainan rasio ventilasi-perfusi alveolus (termasuk peningkatan ruang rugi fisiologis atau
pintasan fisiologis).
-    Berkurangnya difusi membran pernapasan.
c.    Pintasan vena ke arteri (pintasan jantung “kanan ke kiri”)
d.   Transpor oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan
-    Anemia atau hemoglobin abnormal.
-    Penurunan sirkulasi umum.
-    Penurunan sirkulasi lokal (perifer, serebral, pembuluh darah koroner).
-    Edema jaringan.
e.    Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai
-    Keracunan enzim oksidasi selular.
-    Penurunan kapasitas metabolik selular untuk meggunakan oksigen, karena toksisitas, defisiensi
vitamin atau faktor-faktor lain.
Pengaruh hipoksia pada tubuh, bila cukup berat, dapat menyebabkan kematian sel-sel
seluruh tubuh, tetapi pada derajat yang kurang berat terutama akan mengakibatkan penekanan
aktivitas mental, kadang-kadang memberat sampai koma, dan menurunkan kapasitas kerja otot. 
Keadaan lain yang menandakan kekurangan oksigen dalam tubuh yaitu sianosis. Sianosis
berarti kebiruan pada kulit, penyebabnya adalah hemoglobin yang tidak mengandung oksigen
jumlahnya berlebihan dalam pembuluh darah kuliy, terutama dalam kapiler. Sianosis terjadi pada
apabila darah arteri mengandung > 5 gram hemoglobin yang tidak mengandung oksigen dalam
setiap 100 ml darah. Pada pasien dengan anemia hampit tidak pernah mengalami sianosis karena
tidak terdapat cukup banyak hemoglobin untuk dioksigenasi sebanyak 5 gram dalam 100 ml
darah arteri. Tetapi, pada pasien dengan polisitemia vera (kelebihan sel darah merah),
hemoglobin yang jumlahnya banyak itu dapat dioksigenasi sehingga sering kali menyebabkan
sianosis bahkan dalam keadaan normal.
Suatu kondisi lain yang disebut dengan istilah dispnea, berarti penderitaan mental yang
diakibatkan oleh ketidakmampuan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan udara. Istilah lain yang
sering digunakan yaiu ‘lapar udara’. Faktor yang menyertai keadaan ini adalah :
-    Kelainan gas-gas pernapasan dalam cairan tubuh, terutama hiperkapnia dan hipoksia (dengan
porsi yang jauh lebih sedikit)
-    Jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapsan untuk menghasilkan ventilasi yang
memadai
-    Orang tersebut dalam keadaan pikiran
Keadaan ini akan menjadi lebih berat karena pembentukan karbondioksida yang berlebihan
dalam cairan tubuh, akan tetapi dalam suatu waktu kadar karbondioksida dan oksigen dalam
cairan tubuh berada dalam batas normal, namun dibutuhkan usaha bernapas yang kuat. Keadaan
inilah yang sering menimbulkan dispnea pada orang tersebut. Ada juga suatu keadaan yang mana
fungsi pernapasannya sudah kembali normal, akan tetapi masih mengalami dispnea karena
perasaannya yang masih abnormal, disebut dispnea neurogenik atau dispnea emosional. 
Faktor perkembangan yang terganggu juga merupakan suatu indikasi yang memerlukan
terapi oksigen. Misalnya pada bayi premature berisiko terkena penyakit membrane hialin karena
belum matur dalam menghasilkan surfaktan. Bayi dan toddler berisiko mengalami infeksi saluran
pernafasan akut. Pada dewasa, mudah terpapar faktor risiko kardiopulmoner. Sistem pernafasan
dan jantung mengalami perubahan fungsi pada usia tua / lansia.
 Perilaku atau gaya hidup.  Nutrisi mempengaruhi fungsi kardiopilmonar. Obesitas yang berat
menyebabkan penurunan ekspansi paru. Latihan fisik meningkatkan aktivitas fisik metabolisme
tubuh dan kebutuhan oksigen. Gaya hidup perokok dikaitkan dengan sejumlah penyakit termasuk
penyakit jantung, PPOK, dan kanker paru (Potter&Perry,2006).

5.   TERAPI OKSIGEN PADA BERBAGAI JENIS HIPOKSIA


Oksigen pada pasien dengan hipoksia dapat diberikan dengan beberapa cara, yaitu : 
-    meletakkan kepala pasien di dalam suatu “tenda” (tempat tertutup) berisi udara yang
mengadung oksigen
-    pasien bernapas dengan oksigen murni atau oksigem dengan konsentrasi tinggi dan sebuah
masker, atau
-    pemberian oksigen melalui selang intranasal. (Guyton,2014)
Terapi oksigen pada jenis hipoksia atmosferik dapat memperbaiki kekurangan kadar oksigen
dalam udara inspirasi secara sempurna dan oleh karena itu memberi hasil terapi 100% efektif.
Pada hipoksia hipoventilasi, seseorang yang bernapas dengan oksigen 100 %, setiap kali
bernapas dapat mengalirkan oksigen ke dalam alveoli lima kali lebih banyak daripada bila
bernapas dengan udara normal. 
Pada hipoksia disebabkan karena gangguan difusi membran alveolus, terjadi efek yang sama
seperti hipoksia hipoventilasi, karena terapi oksigen dapat meningkatkan PO2 dalam alveoli paru
dari nilai normal 100 mmHg sampai setinggi 600 mmHg. Hal ini meningkatkan gradient tekanan
oksigen untuk difusi oksigen dari alveoli ke darah dari nilai normal 60 mmHg hingga menjadi
560 mmHg, atau peningkatan yang lebih dari 800%. Manfaat terapi oksigen terhadap hipoksia
difusi, seperti pada gambar dibawah ini yang memperlihatkan bahwa darah paru pada pasien
dengan edema paru mengambil oksigen tiga sampai empat kali lebih cepat daripada tanpa terapi. 
Pada hipoksia karena anemia, kelainan transpor oksigen oleh hemoglobin, defisiensi
sirkulasi, atau pintasan fisiologis, maka terapi oksigen nilainya jauh lebih rendah, karena dalam
alveoli telah terdapat oksigen yang normal. Salah satu atau lebih mekanisme untuk mengangkut
oksigen dari paru ke jaringan menjadi berkurang. Walaupun demikian, sejumlah kecil oksigen
tambahan 7-30%, dapat diangkut dalam keadaan terlarut dalam darah apabila oksigen alveolus
ditingkatkan hingga mencapai maksimum, walaupun jumlah yang diangkut oleh hemoglobin
sangat berubah. Jumlah oksigen tambahan yang sedikit ini, menjadi penentu hidup dan mati
seseorang.
Pada jenis hipoksia akibat penggunaan oksigen jaringan yang tidak adekuat, abnormalitas
yang terjadi bukan pada pengambilan oksigen oleh paru ataupun transportnya ke jaringan,
melainkan karena sistem enzim, metabolik jaringan yang tidak mampu menggunakan oksigen
yang dikirimkan, karena itu masih diragukan apakah terapi oksigen bermanfaat untuk keadaan
ini. 
6.   METODE DAN TEKNIK PEMBERIAN OKSIGEN 
Berdasarkan durasi, pemberian oksigen dibedakan menjadi dua, yaitu : 
-    Terapi jangka pendek
Merupakan terapi oksigen dengan durasi 1-3 bulan pada pasien dalam kondisi klinis yang tidak
stabil, misalnya serangan asma akut, PPOK eksaserbasi, gagal jantung akut dan pneumotoraks.
Pedoman indikasi terapi oksigen berdasarkan rekomendasi dari American College of Chest
Physician dan National Heart Lung and Blood Institute :
 Henti napas dan jantung 
 Hipoksemia (PaO2 < 7,8 kPa, SaO2 <90%)
 Hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mmHg)
 Cardiac output  rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat <18 mmol/L)
 Distres pernapasan (frekuensi pernapasan >24/menit) 
-    Terapi jangka panjang tergantung dari penyakit yang diderita pasien. 
Merupakan pemberian oksigen yang lama pada kondisi klinis pasien yang stabil yang di
indikasikan pada beberapa penyakit tertentu. Pemberian oksigen jangka panjang dibedak menjadi
dua, yaitu :
 Pemberian oksigen secara terus-menerus
Diberikan pada pasien yang mengalami hipoksia saat istirahat (tidak dalam kondisi tidur).
Indikasi pemberiannya adalah
    PaO2 istirahat ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88 %.
    PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau SaO2 89% pada keadaan edema karena CHF, pulmonal karena
EKG dan eritrositemia (hematokrit >56%).
    PaO2 >59 mmHg atau SaO2 >89% dengan bukti terapi lain yang lebih konservatif gagal
memperbaiki kondisi pasien.
 Pemberian oksigen secara tidak terus menerus, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
    Short burst oxygen therapy (secara umum pada serangan dispneu), diberikan untuk
preoksigenasi sebelum olahraga, untuk pasien yang mengalami sesak napas setelah olahraga dan
sebagai terapi paliatif.
    Terapi oksigen ambulatori diberikan pada kondisi desaturasi yang disebabkan karena olahraga
atau pada pasien PPOK dalam terapi oksigen jangka panjang yang sering berpergian.
    Terapi oksigen malam diberikan pada kondisi desaturasi yang terjadi saat tidur. Terapi
diberikan dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) pada pasien obesitas, penyakit
neuromuskular atau dinding dada dan apneu tidur obstruktif (obstructive sleep apneu).
Analisa gas darah (AGD) merupakan modalitas utama dalam penentuan dan pemilihan teknik
pemberian oksigen. Namun dalam kondisi tidak terdapat fasilitas AGD, maka ketajaman dalam
mengenali tanda dan gejala hipoksemia dan hipoksia menjadi modal utama melalui pemeriksaan
fisik dan anamnesis. 
a)   Teknik pemberian oksigen (Muttaqin Arif,2008)
 Sumber oksigen
   Tangki oksigen bertekanan (Compressed oxygen cylinder)
Aliran oksigen yang keluar dari silinder adalah konstan, digunakan regulator untuk menghindari
aliran oksigen yang berlebihan dan mengatur kecepatan aliran oksigen (oksigen disimpan di
bawah tekanan dalam silinder).
Tipe tangki Volume Waktu habis dengan O2 2
(L) L/menit
D 450 3,5
E 650 5,0
G 5600 44,0
H, K 6900 58,0

   Oksigen cair
Oksigen berubah secara fisik dari gas menjadi cair pada temperatur yang rendah. Oksigen ini
akan dihangatkan dan berubah menjadi gas agar bisa digunakan oleh pasien, metode yang
digunakan rumah sakit untuk menyediakan oksigen secara besar, selain itu didesain khusus
seperti termos dan digunakan di beberapa negara sebagai konsep terapi oksigen dirumah.
   Konsentrator oksigen
Metode ini menggunakan penyalur konsentrator dengan operasi aliran listrik, dan akan
memisahkan oksigen dari komponen udara yang lain dan menyimpannya. Oksigen yang
diperoleh dapat langsung dialirkan melalui kanula nasal, keuntungannya adalah oksigen bisa
dialirkan kapan pun karena konsepnya yang menggunakan aliran udara dari sekitar, namun alat
ini jarang digunakan di Indonesia. 

 Teknik pemberian oksigen


Pemberian oksigen, berdasarkan aliran oksigen yang diberikan, dibedakan menjadi dua teknik
yaitu :
   Sistem aliran rendah (low flow oxygen device)
-    Untuk menambah konsentrasi udara ruangan.
-    Menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung tipe pernapasan.
-    Volume tidak pasien.
-    Ditujukan untuk pasien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernapas dengan pola
perapasan normal, misalnya pasien dengan volume tidal 500 mL dengan kecepatan pernapasan
16-20 x/menit. 

Alat yang digunakan :


-    Kateter nasal
-    Kanula nasal
-    Sungkup muka sederhana (simple mask)
-    Sungkup muka dengan kantong rebreathing  (rebreathing mask)
-    Sungkup muka dengan kantong nonrebreathing  (non-rebreathing mask/nrm)
   Sistem aliran tinggi (high flow oxygen device)
-    FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi tipe pernapasan.
-    Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tepat dan teratur.
-    Alat yang digunakan yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsipnya adalah gas yang dialirkan
dari tabung akan menuju sungkup kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O 2 sehingga
tekanan positif, akibatnya udara luar tidak masuk dan aliran udara yang diberikan lebih tepat.
Aliran udaranya 4-14 L/menit, FiO2 30-55%.
Berdasarkan konsentrasi oksigen yang diberikan, dibedakan menjadi dua, yaitu :
   Konsentrasi tinggi yaitu menggunakan FiO2 > 60% oksigen.
   Konsentrasi rendah yaitu menggunakan FiO2 ≤ 60%.

    Syarat Pemberian oksigen : 


   Konsentrasi O2 udara inspirasi dapat terkontrol.
   Tidak terjadi penumpukan CO2.
   Mempunyai tahanan jalan napas yang rendah.
   Efisien dan ekonomis.
   Nyaman untuk pasien.

BEBERAPA METODE / ALAT PEMBERIAN OKSIGEN


Sistem Kecepata FiO2 (% Keuntunga Kerugian Lain-lain
n aliran
pemberian
L/menit oksigen) n
oksigen

1.   Nasal Kanula 1 25 -    Simpel, -   Iritasi lokal dan - Alat


2 29 nyaman, kekeringan mukosa dibersihkan
3 33 murah, (bila kecepatan setiap hari.
4 37 pasien aliran>4L/menit) Evaluasi
5 41 dapat pada aliran tinggi, luak akibat
6 45 makan dan pasien tidak nyaman tekanan di
minum dan harus digunakan telinga dan
bersama sistem pipi.
-    Tidak ada humidifikasi/pelemba - Aliran >6
resiko ban. liter tidak
menghirup -   Tidak efektif untuk akan
CO2 kembal oksigen konsentrasi menambah
i  tiggi. FiO2
-   Oksigen yang
diberikan tidak
konsisten.
2.   Sungkup >5 35-50 -   Peningkata -    Harus ditutup ke -  Aliran
muka (5-15) n aliran ke wajah dengan kuat <5L/menit
sederhana 10L/menit dan ketat : panas dan menyebabk
bisa terasa mengikat  an
meningkatk -    Tidak praktis untuk peningkata
an jangka waktu lama n resistensi
konsentrasi terhadap
oksigen pernapasan.
50% - Kemungkin
-   lebih an
murah CO2terkum
dibanding pul dalam
masker masker dan
lain  pernapasan
ulang bisa
terjadi.
3.   sungkup muka 5-15 6-10 -    FiO2 yang Resiko atelektasis Aliran
dengan L/menit lebih tinggi dan toksisitas oksigen oksigen
kantong rebrea (sistem ini pada aliran (pemakaian yang harus terus
thing dapat yang lebih lama) diberikan
menyediaka rendah untuk
n fraksi -    Katup memastikan
oksigen 40- memberika kantung
70%) n ruang senantiasa
untuk terisi
CO2 keluar sepertiga
dari masker atau
separuh
pada saat
inspirasi.
4.   Non- 10 60-80 - Diutamakan Lebih mahal Kantong
rebreathing (tergantung untuk dibanding nasal kanul harus diisi
mask aliran pasien dan simple mask sebelum
oksigen dan rawat inap dipasang ke
tipe -  pasien
pernapasan) Konsentrasi
oksigen
10-12 95 tinggi tanpa
dibutuhkan
intubasi
-  Pasien
menghirup
udara yang
kaya
oksigen
dari
kantung
dan bukan
dari udara
yang
tersisa.
5.   Sungkup 4 24-28 Konsentrasi -    Resiko atelektasis dan toksisitas
muka venturi 6 31 oksigen oksigen (pemakaian lama) 
8 35-40 akhir dapat -    Harus dipasang dengan ketat
10 50 dimonitor -    Tidak dapat mengalirkan oksigen
dengan konsentrasi tinggi dengan fleksibel
lebih ketat  
dan lebih
tepat
6.   Head box 5 >7 -    Meningkatkan O2
6 -    Perlu kecepatan aliran tinggi untuk mencapai
7 konsentrasi O2 yang adekuat dan mencegah
penumpukan CO2
-    Aliran gas 2-3L/menit diperlukan untuk
mencegah rebreathing CO2

7.   Continue 2-10 -    Pemberian O2 dengan sistem tertutup memberikan tekanan


Positive airway dengan positif pada inspirasi dan ekspirasi
pressure(CPAP konsentra
) si 21-
100%

b)  PROSEDUR PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN 


ALAT DAN SARANA PERSIAPAN
 Tabung oksigen atau1.   Cek atau periksa adanya instruksi medis pada rekam medis
oksigen sentral tentang jumlah pemberian oksigen.
 Regulator/flowmeter 2.   Perawat mencuci tangan.
3.   Atur privasi klien dan pasang sampiran jika perlu.
 Humidifier 4.   Persiapkan peralatan dengan menyesuaikan jenis masker yang
 Masker-masker oksigen  akan dipakai dan ukuran sesuai dengan kondisi klien.
5.   Masukan flowmeter ke dalam outlet dinding untuk oksigen atau
atur tangki oksigen jika menggunakan tangki. 
6.   Hubungkan adapter ke botol humifier.
7.   Isi wadah humidifikasi dengan air desilat steril.
Prosedur
1.   Jelaskan secara rasional tentang prosedur yang akan dilakukan.
2.   Atur posisi klien secara semifowler/fowler dan yakinkan
ekspansi paru sudah maksimal.
3.   Pasang masker oksigen.
4.   Atur kecepatan sesuai kebutuhan klien.
5.   Pastikan posisi selang terjaga posisinya. Pastikan aliran oksigen
adekuat dengan memelihara selang tidak terlipat.
6.   Monitor tanda vital dan kondisi umum klien secara berkala.
7.   Observasi adanya perubahan pada klien.
8.   Berikan rasa aman pada klien yang mengalami ketakutan atau
kecemasan sampai klien terbiasa menggunakan masker oksigen. 
9.   Lepas masker oksigen dang anti dengan nasal kanul pada saat
klien makan.
Gambar : pemakaian selang oksigen (Asih & Effendy,2002)

7.   HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PEMBERIAN TERAPI


OKSIGEN 
a)   Sebelum terapi oksigen diberikan, hal yang harus diperhatikan adalah :
-  Pastikan bahwa usaha napas spontan.
-    Auskultasi paru untuk memastikan jalan napas bebas dari obstruksi. Jika terdapat obstruksi,
bebaskan terlebih dahulu.
-    Jangan hanya memberikan oksigen. Penyebab hipoksia harus dicari sebelum terjadi perbaikan
yang bermakna setelah pemberian terapi oksigen.
-    Kanula nasal merupakan sistem aliran rendah, pemebrian lebih dari 6L/menit tidak
meningkatkan FiO2 yang bermakna, tetapi mengakibatkan membran mukosa menjadi sangat
kering sehingga pasien merasa tidak nyaman. Gunakan sistem aliran tinggi jika pasien
mempunyai indikasi secara klinis atau dengan parameter lain.
-    Oksigen terapi memperbaiki oksigenasi bukan hiperkarbia. Jika pasien mengalami hipoventilasi
berada dalam kondisi dispneu atau menunjukkan perubahan statis mental yang tidak membaik
dengan pemberian oksigen, lakukan pemeriksaan AGD. (Patria & Fairuz. 2012)

b)   Saat terapi oksigen diberikan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :


-    Periksa selang plastik pada nasal kanula dan tali pada sungkup muka agar tidak terlalu ketat
(tekanan yang berlebihan pada kulit dapat mengakibatkan luka).
-    Perhatikan jika terjadi iritasi akibat pemakaian sungkup muka dan nasal kanul di sekitar daerah
wajah dan telinga. Jika terdapat iritasi, maka dapat diberikan kapas pada daerah tersebut,
pastikan kulit pada daerah tersebut selalu kering.
-    Pastikan pasien mendapat cairan yang cukup karena oksigen bersifat ‘mengeringkan’ jaringan.
Pasien sering merasakan mulutnya kering dan tidak nyaman.
-    Perhatikan tidak terjadi pengumpulan mucus pada nasal kanul.
-    Pastikan posisi pasien saat duduk atau tidur tidak menekuk selang oksigen sehingga
mengganggu aliran oksigen. (Patria & Fairuz. 2012)
c)   Perhatikan tanda dan gejala oksigen yang diberikan tidak adekuat :
-    Pasien merasa sukar bernapas.
-    Tampak lelah, irritable, gelisah.
-    Koordinasi otot berkurang, kapabilitas mental menjadi lambat.
-    Dispneu, sianosis atau pucat.
-    Perubahan pada pola pernapasan.
-    Pasien mengeluh seolah-olah hendak pingsan (gangguan fungsi kesadaran). (Patria & Fairuz.
2012)

8.   APLIKASI KLINIS TERAPI OKSIGEN


Aplikasi klinis terapi oksigen pada beberapa kasus yang sering dijumpai dalam situasi gawat
darurat berdasarkan algoritma yang merupakan hasil rekomendasi dari British Thoracic Society.
Beberapa kondisi klinis diklasifikasikan sebagai berikut : (Patria & Fairuz. 2012)
a)   Kondisi yang tidak membutuhkan suplemen oksigen pada pasien dewasa kecuali pasien
mengalami hipoksemia, tetapi pasien harus dimonitor ketat. Target saturasi 94-98% : jika
hipoksemia (SpO2 <94%), berikan aliran oksigen pada dosis inisial untuk mencapai target
saturasi 94-98%.
Kondisi pasien Dosis inisial Metode administrasi
Infark miokard dan
sindrom koroner akut :
-    Stroke  SpO2 < 85% Reservoir mask
-    Gangguan ritme jantung  15 liter/menit (nin-rebreath mask)
-    Nyeri dada non-traumatik
Kehamilan dan gawat
darurat obstetrik :
-    Perdarahan sewaktu SpO2 ≥ 85-93%
kehamilan Nasal kanul
-    Perdarahan vagina 2-6 liter/menit
-    Hipertensi saat kehamilan
Sindrom hiperventilasi
Nyeri abdomen
Kelainan metabolik dan SpO2 ≥ 85-93%
renal  Sungkup muka sederhana
Kondisi neurologik dan 5-10 liter/menit
muskular akut dan subakut
Pascakejang
Perdarahan
gastrointestinal
Gawat darurat glikemik

b)   Kondisi yang membutuhkan suplemen oksigen dosis rendah dan terkontrol untuk pasien dewasa
dengan PPOK dan kondisi yang lain yang membutuhkan terapi oksigen dosis rendah dan
terkontrol. Target saturasi : 88-92%, oksigen inisial diberikan hingga diperoleh SpO 2 yang
reliable, lalu aliran oksigen disesuaikan untuk mencapai target saturasi dalam rentang 88-92%.
Kondisi pasien Dosis inisial Metode administrasi
PPOK 4 liter/menit (jika RR > 28% sungkup venturi
30x/menit, menggunakan
sungkup venturi, aliran
oksigen diberikan 50%
lebih tinggi daripada aliran
oksigen yang dispesifikasi
untuk sungkup tersebut)
-    Penyakit kronik 4 liter/menit 28% sungkup venturi
-    Neuromuskular
-    Kelainan dinding dada
-    Morbid obesity
-    Bmi > 40 kg/m2)
Jika saturasi oksigen tetap 5-10 liter/menit Sungkup muka sederhana
berada di bawah 88%,
tukar ke sungkup muka
sederhana
Penyakit kritis dan faktor Pemberian oksigen sesuai kondisi klinis bagian (d) 
resiko lain untuk
hiperkapnia

c)   Kondisi penyakit serius yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat sedang (moderat) jika
pasien mengalami hipoksemia. Target saturasi : 94-98%, berikan oksigen dengan dosis inisial
hingga diperoleh SpO2 yang stabil, setelah itu diberikan aliran oksigen dengan target saturasi 94-
98%.
Kondisi pasien Dosis inisial Metode administrasi
Akut hipoksemia atau SpO2 <85% Reservoir mask (non-
sianosis sentral (kausa 10-15 liter/menit rebreath mask)
belum diidentifikasi)
-    Akut hipoksemia (kausa
belum diketahui)
-    Asma akut SpO2 ≥85-93% Nasal kanul
-    Gagal jantung akut 2-6 liter/menit
-    Pneumonia 
-    Sesak napas pasca-bedah
-    Efusi pleura SpO2 ≥85-93% Sungkup muka sederhana
-    Pneumotoraks 5-10 liter/menit
-    Anemia berat

d)  Kondisi yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat tinggi untuk pasien dewasa dengan
penyakit kritis (critical illness). Target saturasi : 94-98%, berikan oksigen dengan dosis inisial
sehingga tanda vital normal, setelah itu kurangi dosis oksigen dan target saturasi 94-98%
tercapai. 
Kondisi pasien Dosis inisial Metode administrasi
Henti jantung atau Dosis maksimal sehingga Sungkup katup kantung
resusitasi : tanda vital normal (bag valve mask)
-    Bantuan hidup dasar
-    Bantuan hidup lanjut
-    Obstruksi bahan asing
-    Henti jantung traumatik
-    Resusitasi maternal
Trauma mayor : 15 liter/menit Masker reservoir (non-
-    Trauma abdomen rebreath mask)
-    Luka bakar
-    Renjatan listrik
-    Trauma kepala
-    Trauma tungkai
-    Trauma leher/spinal
-    Trauma pelvis
-    Trauma thoraks
-    Trauma sewaktu hamil
Anafilaksis
Perdarahan pulmonan
mayor
Sepsis karena
meningococcal
Septisemia
Syok
Konvulsi aktif
Hypothermia

9.   KAPAN MENINGKATKAN DAN MENURUNKAN DOSIS DARI TERAPI OKSIGEN 


a)   Meningkatkan dosis terapi oksigen, pada keadaan berikut : 
-    Apabila saturasi oksigen pasien lebih rendah dari yang diharapkan (target range), periksa
sistem pengaliran oksigen jika mungkin terdapat masalah.
-    Jika saturasi oksigen pasien rendah secara konsisten dari yang diharapkan, harus dievaluasi
ulang kondisi medis pasien dan terapi oksigen ditingkatkan sesuai hasil perhitungan. Langkah-
langkah menghitung dosis oksigen yang diberikan yaitu :
                          i.   Tentukan nilai PAO2 awal. 
                        ii.   Tentukan besarnya PaO2 yang diinginkan untuk mengoreksi keadaan
hipoksemia/hipoksia
                      iii.   dengan persamaan no (3) dapat ditentukan PAO2 yang baru untuk menentukan besarnya
FiO2 yang akan diberikan untuk mengoreksi hipoksemia/hipoksia yang terjadi.
                      iv.   Menentukan jenis teknik pemberian oksigen

Menentukan dosis oksigen : 


      PAO2   = ((P atmosfer- PH2O) x FiO2) – (PaCO2 x 1,25)
= ((760-47) x FiO2) – (PaCO2 x 1,25)
      PAO2   = (713 x FiO2) – (1,25 x PaCO2)
                   PaO2                           = PaO2 yang diinginkan
PAO2 didapat dari hitungan                 PAO2 baru
      Jika sudah mendapat PAO2 yang baru, selanjutnya hitung FiO2 baru dengan rumus :
FiO2 = 150 + AaDO2 x 100%
                        760
Ket :
AaDO2 = (PAO2 yang baru) – PaO2 hasil AGD
PAO2     = tekanan parsial oksigen di alveoli
PaO2     = didapatkan dari hasil AGD
PaCO2  = didapatkan dari hasil AGD
= fraksi oksigen pada pasien  saat diambil AGD, jika tidak menggunakan oksigen dianggap 21%
 

(Patria & Fairuz. 2012)

-    Pasien diobservasi 5 menit setelah terapi oksigen ditingkatkan dan jika saturasi tetap tidak
meningkat serta terdapat kondisi klinis setelah dievaluasi, AGD harus diulang.
-    Jika sasaran saturasi diantara 88-92%, AGD harus diulang 30-60 menit jika dilakukan
peningkatan terapi oksigen untuk memastikan agar CO2 tidak meningkat.

b)      Menurunkan dosis terapi oksigen, apabila :


-    Sasaran saturasi lebih tinggi dari kisaran resep (prescribed range).
-    Pasien stabil secara klinis dan saturasi oksigen sudah berada pada batas atas sasaran (upper
bodder of the target range) sekitar 4-8 jam.
-    Jika sasaran saturasi dipertahankan, metode pemberian dan aliran oksigen yang baru dapat
dilanjutkan. Pengulangan AGD tidak dibutuhkan.
-    Jika kondisi pasien stabil, langkah diatas dapat diulangi, sehingga akhirnya
dilakukan penyapihan. (Patria & Fairuz. 2012)

10.  PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN PADA NEONATUS


Pada neonatus pemberian terapi oksigen direkomendasikan pada beberapa keadaan, yaitu :
a)      Frekuensi respirasi > 60 x/menit atau sianosis atau terlalu tampak sakit untuk diberikan makan
(fasilitas pulse oximetry  tidak tersedia).
b)      SpO2 < 90% atau dapat disesuaikan pada kondisi tertentu, misalnya di ketinggian
(fasilitas pulse oximetry  tersedia).
(Berdasarkan studi di India, Papua Nugini dan WHO infant study)

11.  MONITORING DALAM PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN 


Dalam pemberian terapi oksigen, monitoring merupakan hal yang penting, agar terapi oksigen
yang diberikan bisa efisien, efektif dan optimal serta efek samping dapat seminimal mungkin.
Rekomendasi monitoring terapi oksigen, yaitu :
a)      Jika memungkinkan AGD harus dilakukan sebelum terapi oksigen diberikan.
b)      AGD atau oksimetri harus dilakukan dalam waktu dua jam setelah pemberian terapi oksigen
dan FiO2 diatur sesuai kebutuhan, respon yang adekuat adalah apabila PaO 2 > 7,8 kPa (7,8 kPa ≈
60mmHg) atau SaO2 > 90%. 
c)      Pasien hipoksemik yang beresiko aritmia atau gagal napas harus dimonitor  terus-menerus
dengan pulse oximetry.
d)     Pada pasien dengan resiko gagal napas tipe 2, AGD harus dilakukan lebih sering untuk menilai
PaO2 dan SaO2 harus dimonitor terus-menerus dengan pulse oximetry.
(N.T.Bateman.1998)
Kegunaan Dari Analisa Gas Darah (AGD) Dan Pulse Oximetry (Po)
a)      Analisa gas darah (AGD)
Analisa gas darah (AGD) arteri merupakan pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada sampel
darah arteri. AGD digunakan untuk mengukur kapabilitas paru untuk menyediakan oksigen
untuk mencukupi kebutuhan tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida, membantuk
mengevaluasi status metabolik dan respirasi pasien, selain untuk mengukur pH darah dan
integritas keseimbangan asam-basa pada tubuh. (Patria & Fairuz. 2012)
Pemeriksaan AGD memberikan tiga hasil utama, yaitu :
-    Status asam-basa
Intervensi yang cepat harus diberikan apabila hasilnya aseidemia (pH<7,20) dan alkalemia
(pH>7,6) karena akan terjadi efek simpang pada sistem kardiovaskular dan saraf pusat.
-    Status ventilasi
Jika terdapat kelainan pada status asam-basa, maka harus diperhatikan status ventilasi karena
status ventilasi mempengaruhi status asam-basa pasien. Harus dicari yang menjadi dasar
penyebab. PaCO2 merupakan indikator kecukupan dari ventilasi alveolar yang terkait dengan
produksi CO2. Peningkatan PaCO2akan merangsang peningkatan ventilasi untuk mengembalikan
PaCO2 ke nilai normal, jika fungsi respiratori masih baik. Tetapi, jika hiperkapnia dan asidosis
respiratori, maka kegagalan pada ventilasi sudah terjadi. Salah satu penyebabnya yaitu pada
penyakit paru obstruktif. 
-    Oksigenasi arteri
Apabila PaO2 dibawah normal, terjadi desaturasi proposional yang bermakna selama terjadi
penurunan pada PaO2 dan kadar oksigen arterial. Apabila pengiriman oksigen berkurang akibat
kadar oksigen arterial yang rendah atau keluaran jantung inadekuat, hipoksia kritis terjadi di
jaringan. Oleh karena itu, tujuan terapi adalah untuk memastikan nilai PaO2 berada dalam
rentang normal (60-80mmHg). 
b)      Pulse oximetry (PO)
Pulse oximetry (PO) sebagai alat monitoring oksigenasi yang tidak invasive, tidak memerlukan
petugas dengan kemampuan khusus, murah, dapat mengestimasi SaO2pada saat diukur (dalam
rentang 80-100%), dan menghindari ketidaknyamanan seperti pada AGD. Prinsip kerjanya
adalah mengukur konsentrasi zat terlarut berdasarkan absorbsi cahaya. PO menggunakan probe
dengan 2 sumber cahaya, yaitu cahaya merah (660nm) dan cahaya inframerah (900-940nm), juga
fotodetektor. Menggunakan kedua cahaya karena absorbsi dari oksihemoglobin dan hemoglobin
tereduksi sangat berbeda pada kedua panjang gelombang tersebut. 
Sebagian besar cahaya diserap secara konstan oleh jaringan ikat, kulit, tulang dan darah vena.
Sedangkan, darah arteri cukup terpengaruh dengan siklus jantung. Saat darah dipompa, cahaya
akan diserap akan meningkat. Dengan membandingkan rasio antara absorbs saat terdapat pulsasi
dan tidak pada kedua panjang gelombang tersebut, rasio oksihemoglobin dan hemoglobin
tereduksi dapat dihitung. Presentasi SaO2 adalah rasio antara oksihemoglobin dan jumlah
oksihemoglobin dan hemoglobin tereduksi. Kelemannya adalah karboksihemoglonin dan
methemoglobin tidak digunakan sebagai denominator. (Patria & Fairuz. 2012)
Aplikasi klinis dari pulse oximetry, yaitu :
-    Saat manajemen jalan napas pada kondisi gawat darurat :
 Menentukan kebutuhan manajemen jalan napas.
 Mengevaluasi kecukupan preoksigenasi sebelum dilakukan intubasi endotrakeal pada pasien.
 Monitor ventilator dan perubahan FiO2.
 Sebagai indikator awal disfungsi ventilator.
 Membantu dalam weaning terapi oksigen tetapi tidak pada ventilator mekanis.
-    Monitor oksigenasi
 Monitor pasien dengan disfungsi paru untuk keadaan hipoksia yang tidak disangka.
 Monitor saat prosedur tertentu seperti sedasi sistemik.
 Monitor oksigenasi di rumah sakit dan saat pasien dikirim ke rumah sakit lain,
-    Evaluasi asma akut pada anak-anak
-    vital sign kelima

Terdapat dua tipe probe pulse oximetry, yaitu : 


-    Wrap style  : lebih sesuai digunakan pada jari tangan (termasuk ibu jari), ibu jari kaki dan
hidung.
-    Clip style : lebih sesuai digunakan pada jari tangan (kecuali ibu jari) dan telinga. 
(Patria & Fairuz. 2012)
                                                                                         
12.  MENGHENTIKAN PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN
Prosedur menghentikan terapi oksigen disebut penyapihan (weaning), dapat dilakukan secara
bertahap dengan menurunkan konsentrasi oksigen selama periode waktu yang ditetapkan sambil
dievaluasi parameter klinis dan SpO2 atau dapat juga langsung dihentikan. Awalnya penghentian
oksigen dilakukan selama 30 menit dan dilanjutkan untuk waktu yang lama, jika tidak terdapat
deteriorasi, penghentian dapat dilakukan secara total. Tanda-tanda deteriorasi, yaitu peningkatan
RR (terutama >30x/menit), penurunan SpO2, peningkatan dosis oksigen dibutuhkan untuk
memastikan SpO2 berada pada target range, rasa mengantuk, nyeri kepala, muka kemerahan, dan
tremor. (Muttaqin Arif,2008)
Pada pasien dengan penyakit respirasi yang kronis akan membutuhkan oksigen dalam
konsentrasi yang rendah untuk jangka waktu yang lebih lama. Pemberian oksigen harus
dihentikan apabila oksigenasi arteri sudah adekuat dengan keadaan bernapas pada udara kamar
(PaO2 >60 mmHg, SaO2 >90%). Weaningdipertimbangkan apabila pasien sudah merasa nyaman,
penyakit dasar sudah terstabilisasai, tekana darah, nadi, frekuensi napas, warna kulit dan
oksimetri dalam batas normal, serta hasil AGD dalam batas normal. (Muttaqin Arif,2008)

13.  RESIKO DARI TERAPI OKSIGEN


Terapi yang diberikan pastinya akan memiliki resiko tersendiri, sama halnya dengan terapi
oksigen, adanya resiko dalam pemberian terapi oksigen dibedakan menjadi tiga area, yaitu : 
a)   Disfungsi respirasi
- Terlalu tingginya PaO2
- CO2 penting dalam stimulasi bernapas. Pada kadar PaO2 200 mmHg, maka kemampuan bernapas
spontan akan hilang.
- Atelektasis (pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara,
bronkus maupun bronkiolus, atau akibat pernapasan yang sangat dangkal.
- Mekanisme terjadinya atelektasis diduga karena nitrogen berperan penting dalam
mempertahankan alveoli tetap mengembang. Pada kondisi terapi oksigen, khususnya O2100%
proporsi nitrogen menjadi jauh berkurang dibandingkan keseluruhan udara dalam alveoli yang
sebagian besar digantikan oleh oksigen yang digunakan dalam difusi gas. Akibatnya terjadi
kolaps alveoli. (Patria & Fairuz,2012)
b)   Kerusakan sitotoksik
- Sistem respirasi
Terjadi karena produksi radikal bebas sehingga mengakibatkan trakeobronkitis dan
ARDS yang dimanifestasi dengan edema pulmo dan kolaps paru fokal yang diikuti denga
fibrosis. Derajat toksisitasnya tergantung dari beberapa faktor yaitu toleransi terhadap
O2 (tergantung dari pertahanan antioksidan, usia, faktor nutrisi dan hormonal), kadar O 2 yang
diberikan dan durasi pemberian O2. Karena itu, tujuan pemberian terapi O2 merupakan
pemberian O2 dengan kadar seminimal mungkin namun diperoleh kadar yang adekuat dalam
jaringan. Selama resusitasi dan perawatan kegawatdaruratan 100% O 2 dapat diberikan secara
aman kepada hampir semua pasien tanpa takut akan adanya efek sitotoksik. (Patria & Fairuz.
2012)
Efek toksik yang dimediasi oleh reactive oxygen species (ROS) berpotensi mempunyai
resiko. ROS diproduksi secara berlebihan pada keadaan PO 2 yang tinggi di jaringan dalam
bentuk hidrogen peroksida dan superoksida yang akan menyebabkan stres oksidatif dan
kerusakan jaringan. Pada tingkat fisiologis, ROS berperan sebagai signaling molecules, tetapi
pada tingkat yang tinggi akan menyebabkan sitotoksik, yang disebabkan oleh neutrofil
sebagai host defence mechanism. ROS juga bertanggung jawab pada perkembangan displasi
bronkopulmonal pada bayi premature yang mendapat ventilasi hiperoksigenasi (ventilated
hyperoxygeneted premature infants) dan reperfusin injury pada pasca infark miokardium. 
- Sistem Saraf Pusat (SSP)
Terjadi apabila oksigen yang diberikan bertekanan kurang dari 2 atmosfer. Toksisitas
pada SSP terjadi pada penggunaan aplikasi terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen
therapy). Toksisitas pada SSP lebih dahulu dibanding dengan toksisitas pada paru apabila
oksigen diberikan pada tekanan melebihi 2,5 atmosfer dengan gejala konvulsi yang didahului
dengan penglihatan kabur atau muscular twitching. Gejala toksisitas oksigen pada SSP, antara
lain : mual muntah, dizziness, gangguan penglihatan (tunnel vision) da gangguan pendengaran
(tinnitus), iritabilitas, bingung, kesulitan bernapas, ansietas, inkoordinasi, serta konvulsi.
- Mata
Daya penglihatan akan terganggu dengan adanya peningkatan tekanan atmosfer. Gejalanya
meliputi fotofobia, ambliopia dan midriasis yang ditemukan setelah pasien bernapas dengan
oksigen murni selama 4,5 jam pada tekanan atmosfer normal.

c)      Bahaya fisik
Meliputi ledakan tangki, kebakaran, iritasi lokal dan pengeringan membran mukosa, Akan terjadi
penurunan mucociliary clearance sebesar 40% bila digunakan FiO2 75% selama lebih dari 9 jam
dan penurunan sebesar 50% bila digunakan selama lebih dari 30 jam. (Patria & Fairuz. 2012)

KESIMPULAN

Terapi oksigen dapat diartikan sebagai suatu terapi yang memasukkan O 2kedalam paru-
paru melalui saluran pernapasan dengan menggunakan alat khusus, yang bertujuan untuk
membantu menambah kekurangan O2 dan menghindari serta memperbaiki hipoksia,
meningkatkan tekanan alveolar. Terjadinya hipoksia dipengaruhi oleh beberapa sistem organ
yang saling terkait baik itu sistem respirasi, kardiovaskuler dan hematologi. Gangguan dari salag
satu atau lebih dari sistem tersebut akan mengakibatkan manifestasi klinis hipoksia bila tidak
ditangani dengan tepat. Suatu obat dalam terapi oksigen diberikan apabila terdapat indikasi,
dalam dosis tertentu dan harus dievaluasi pemberiannya. 
Kondisi hipoksemia dan hipoksia merupakan dasar dari diberikannya terapi oksigen,
karena itu harus diketahui dan diatasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi
tersebut. Sehingga menjadi sangat penting untuk mengatasi penyakit dasar yang mengakibatkan
hipoksemia dan hipoksia apabila parameter tidak menunjukkan perbaikan setelah diberikan
terapi oksigen. Semua faktor yang mempeengaruhi yaitu pH, temperatur, PaCO2, SaO2 harus
dievaluasi untuk mendapatkan hasil terapi yang optimal.
Metode dalam pemberian terapi oksigen disesuaikan dengan gejala klinis pasien, AGD,
dan pulse oximetry. Sedangkan, kapan dosis terapi oksigen harus mengalami proses peningkatan,
penurunan ataupun penyapihan harus berdasarkan pada gejala klinis ataupun hasil laboratorium.
Ada empat kunci yang harus dipahami dan diingat dalam pemberian terapi oksigen yaitu siapa
yang memerlukan, bagaimana cara pemberian dan bagaimana cara memonitor serta haruslah
diwaspadai akan terjadinya resiko toksisitas.

DAFTAR PUSTAKA
Asih dan effendi. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Guyton & Hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi XII. Saunders Elsevier.

Muttaqin Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan  dengan Gangguan Sistem


Pernapasan.Jakarta : Salemba medika.
 N.T.Bateman, R.M. Leach.  1998. ABC of oxygen, Acute Oxygen Therapy. BMJ.
Patria & Fairuz. 2012. Terapi Oksigen Aplikasi Klinis. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran ECG. 
Potter, P.A, Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Wikipedia. diakses pada tanggal 20 Juni 2015.https://id.wikipedia.org/wiki/Oksigen,

Anda mungkin juga menyukai