Anda di halaman 1dari 22

Referat

Terapi Oksigen

Muhammad Aldo Giansyah 04084821820012


Deo Rafael Asnawie 04084821820035

Pembimbing:

dr. Ferriansyah Gunawan, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

Terapi Oksigen

Oleh :

Muhammad Aldo Giansyah 04084821820012


Deo Rafael Asnawie 04084821820035

Telah diterima sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik periode 7 Oktober – 11
November 2019 di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya / RSUP H. Mohammad Hoesin.

Palembang , Oktober 2019

dr. Ferriansyah Gunawan, Sp.An


BAB I
PENDAHULUAN

Oksigen atau O2 diisolasi pertama kali oleh Joseph Priestley. Pada tahun
1794, Thomas Beddoes pertama kalinya menggunakan O2 sebagai obat. Dalam
penggunaan O2 sebagai obat, beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu indikasi,
pengaturan dosis, cara pemberian, dan efek sampingnya. Sejak ditetapkan suatu
konsep bahwa oksigen dapat digunakan sebagai terapi, efek hipoksia menjadi
lebih dimengerti dan pemberian oksigen pada pasien dengan penyakit paru
membawa dampak meningkatnya jumlah perawatan pasien.1,6
Dalam keadaan normal, sistem respirasi manusia menghirup 21% O2 di
udara atmosfer dengan tekanan-parsial 150 mmHg. Tekanan parsial I50 mmHg ini
sesampainya di alveoli akan berubah menjadi 103 mmHg. Ini diakibatkan
pengaruh tekanan uap air pada jalan nafas. Pada alveoli, O2 akan berdifusi ke
dalam aliran darah paru. O2 akan terikat dengan hemoglobin di dalam darah dan
kemudian akan di edarkan ke seluruh tubuh untuk keperluan metabolisme.1
Pemberian O2 scbagai obat atau terapi oksigen meliputi upaya-upaya
meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya
angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan. Pemberian
oksigen pada beberapa penelitian diantaranya dapat memperbaiki kor pulmonal,
meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik, mengurangi
hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.1,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Yang dimaksud dengan terapi oksigen adalah upaya-upaya meningkatkan
masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut
hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan.1 Terapi oksigen
adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi lebih dari fraksi oksigen di ruangan
(2021%). Pemberian terapi ini bertujuan untuk mengobati atau mencegah gejala
hipoksia serta mengurangi beban kerja jantung dan paru-paru.2 Hipoksia
didefinisikan sebagai keadaan kurangnya oksigen di tingkat jaringan, sedangkan
hipoksemia digambarkan sebagai tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) yang
berada di bawah normal.2
Dalam pemberiannya sebagai obat, O2 dikemas dalam tabung bertekanan
tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak mudah
terbakar namun menunjang proses kebakaran. Sebelum O2 dalam tabung
digunakan dalam terapi oksigen, mutlak diperlukan asesoris berupa regulator,
sistem perpipaan oksigen sentral, meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi
aerosol, dan pipa/kanul/kateter serta alat pemberinya.1

Secara klinis, istilah hipoksia diklasifikasikan dengan hipoksemia dan


normoksemi yang dibedakan berdasarkan tingkat PaO2:4
1. Hypoxaemic Hypoxia: penurunan asupan oksigen kedalam tubuh. Dapat
disebabkan karena:
- High altitude
- Hypoventilation
- Ventilation – perfusion (V/Q) abnormalities (e.g., COPD, asthma, interstitial
lung disease (ILD)
- Right to left (R to L) shunt
- Diffusion defects at alveolo-capillary gas exchange levels
2. Normoxaemic Hypoxia: kebutuhan oksigen pada jaringan yang tidak terpenuhi,
dengan penyimpanan oksigen yang cukup pada darah. Terdapat beberapa tipe:
- Circulatory hypoxia Saat terjadi penurunan aliran darah (e.g., cardiac failure,
shock, intravascular volume depletion)
3
- Histotoxic hypoxia Terjadi gangguan metabolisme seluler (e.g., tissue poisoning
by toxic agents, endotoxaemia and septic shock, thiamine deficiency)
- Anaemic hypoxia Terjadi karena kadar haemoglobin (Hb) yang rendah atau
afinitas Hb terhadap oksigen yang menurun (e.g., anaemia, haemorrhage, carbon
monoxide poisoning, methaemoglobinaemia, haemoglobinopathies)

Manifestasi klinis dari hipoksia tidak spesifik, tergantung dari lamanya


hipoksia. Untuk mengukur hipoksia, dapat digunakan alat oksimetri (pulse
oxymetry) dan analisis gas darah. Bila saturasi kurang dari 90% dapat diperkirakan
terjadi hipoksia. Gejala dan tanda-tanda yang dapat muncul pada hipoksia akut yaitu
sebagai berikut:7,10
Tabel 1. Gejala dan Tanda Hipoksia Akut
No Organ Gejala/Tanda
1 Respirasi sesak napas, takipnea, dispnea, sianosis
2 Kardiovaskular CO meningkat, palpitasi, takikardi, aritmia, hipotensi,
angina, vasodilatasi, syok
3 Sistem Saraf Pusat sakit kepala, bingung, disorientasi, euforia, delirium,
gelisah, koma
4 Neuromuskular lemah, tremor, hiperrefleks, inkoordinasi
5 Metabolik retensi cairan dan kalium, asidosis laktat.

2.2 lndikasi
Secara fisiologis, tubuh mengonsumsi oksigen sebanyak 115-165
ml/menit/meter persegi dari luas permukaan tubuh, sedangkan penyediaan oksigen
sebanyak 550-650 ml/menit/meter persegi permukaan tubuh. Sehingga masih
tersedianya cadangan oksigen sebanyak 435-485 ml di dalam darah, namun akan
segera habis di gunakan untuk metabolisme dalam waktu 3-4 menit apa bila
pasien tidak bernapas atau tidak diberikan oksigen.
Penyediaan dan konsumsi oksigen di upayakan oleh tubuh agar tetap
seimbang melalui sistem respirasi dan sistem sirkulasi. Jika terjadi gangguan
keseimbangan seperti penurunan penyediaan oksigen atau peningkatan konsumsi
oksigen akan terjadi “hutang” oksigen.

4
Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dewasa, anak-anak dan bayi
(usia di atas satu bulan) ketika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang dari 60
mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 90% saat pasien beristirahat
dan bernapas dengan udara ruangan. Pada neonatus, terapi oksigen (O2)
dianjurkan jika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang dari 50 mmHg atau nilai
saturasi oksigen (O2) kurang dari 88%. Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada
pasien dengan kecurigaan klinik hipoksia berdasarkan pada riwayat medis dan
pemeriksaan fisik.11 Indikasi klinis secara umum untuk pemberian terapi oksigen
adalah jika terjadi ketidak cukupan oksigenasi jaringan yang terjadi akibat:1,4,5
a. Gagal napas akibat sumbatan jalan napas, depresi pusat napas,
penyakit saraf otot, trauma thorax atau penyakit pada paru seperti
misalnya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
b. Kegagalan transportusi oksegen akibat syok (kardiogenik,
hipovolemik dan septik), infark otot jantung, anemia atau keracunan
karbon monoksida (CO).
c. Kegagalan ekstraksi oksigen oleh jaringan akibat keracunan sianida.
d. Peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada luka
bakar, trauma ganda, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang
demam, dan sebagainya.
e. Pasca anestesia terutama anestesia umum dengan gas gelak atau N2O.
Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah pasien
benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi oksigen (O2)
jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen therapy).
Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan harus
dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.12,13
2.2.1 Terapi Oksigen Jangka Pendek
Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma
bronkial, gangguan kardiovaskuler dan emboli paru. Pada keadaan tersebut,
oksigen (O2) harus segera diberikan dengan adekuat di mana pemberian
oksigen (O2) yang tidak adekuat akan dapat menimbulkan terjadinya
kecacatan tetap ataupun kematian. Pada kondisi ini, oksigen (O2) diberikan

5
dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) berkisar antara 60-100% dalam jangka
waktu yang pendek sampai kondisi klinik membaik dan terapi yang spesifik
diberikan.4 Adapun pedoman untuk pemberian terapi oksigen (O2)
berdasarkan rekomendasi oleh American College of Che-st Physicians, the
National Heart, Lung and Blood Institute.12,13
Tabel 2. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Pendek
No Rekomendasi
1 Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
2 Henti jantung dan henti napas
3 Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
4 Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik
5 (bikarbonat < 18 mmol/ L)
6 Distress pernapasan (frekuensi pernapasan > 24 kali/ menit)

2.2.2 Terapi Oksigen Jangka Panjang


Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak
menggunakan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Terapi oksigen (O2) jangka
panjang pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) selama
empat sampai delapan minggu bisa menurunkan hematokrit, memerbaiki
toleransi latihan dan menurunkan tekanan vaskuler pulmoner.12,13 Pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kor pulmonal, terapi
oksigen (O2) jangka panjang dapat meningkatkan angka harapan hidup sekitar
enam sampai dengan tujuh tahun. Selain itu, angka kematian bisa diturunkan
dan dapat tercapai manfaat survival yang lebih besar pada pasien dengan
hipoksemia kronis apabila terapi oksigen (O2) diberikan lebih dari dua belas
jam dalam satu hari dan berkesinambungan.12
Oleh karena terdapat perbaikan pada kondisi pasien dengan pemberian
terapi oksigen (O2) jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk
pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88%), terapi oksigen (O2)
diberikan secara terus menerus selama dua puluh empat jam dalam satu hari.
Pasien dengan PaO2 56 sampai dengan 59 mmHg atau SaO2 89%, kor
pulmonal dan polisitemia juga memerlukan terapi oksigen (O2) jangka

6
panjang. Pada keadaan ini, awal pemberian terapi oksigen (O2) harus dengan
konsentrasi rendah (FiO2 24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap
berdasarkan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan tujuan mengoreksi
hipoksemia dan menghindari penurunan pH di bawah 7,26. Terapi oksigen
(O2) dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) yang sudah mengalami gagal napas tipe II akan
dapat mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernapas dan
meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Hal ini akan
menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang
berakibat fatal.12
Pasien yang menerima terapi oksigen (O2) jangka panjang harus
dievaluasi ulang dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap
atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen (O2). Sekitar
40% pasien yang mendapat terapi oksigen (O2) akan mengalami perbaikan
setelah satu bulan dan tidak perlu lagi meneruskan terapi oksigen (O2).
Adapun indikasi terapi oksigen (O2) jangka panjang yang telah
direkomendasi.12,13
Tabel 3. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang
Pemberian oksigen (O2) secara Pemberian oksigen (O2) secara
kontinyu: tidak kontinyu:
PaO2 istirahat < 55 mmHg atau SaO2 Selama latihan: PaO2 < 55 mmHg atau
< 88% SaO2 < 88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau SaO2 Selama tidur: PaO2 < 55 mmHg atau
89% pada salah satu keadaan: SaO2 < 88% dengan komplikasi
- Edema yang disebabkan karena seperti hipertensi pulmoner, somnolen
CHF dan aritmia
- P pulmonal pada pemeriksaan
EKG (gelombang P > 3 mm pada
lead II, III dan aVF)
Polisitemia (hematokrit > 56%)

7
2.3 Kontraindikasi
- Pasien dengan keterbatasan jalan napas berat dengan keluhan utama dispnea,
tetapi dengan PaO2 ≥ 60mmHg, dan tidak memiliki hipoksia kronik.
- Pasien yang meneruskan merokok karena dapat meningkatkan resiko
kebakaran.12

2.4 Tujuan
Seperti halnya terapi secara umum, terdapat tujuan dari pemberian oksigen/terapi
oksigen ini. Dimana tujuannya adalah:1,5
1. Mengoreksi hipoksemia
Pada keadaan gagal nafas akut, tujuan dari pemberian oksigen disini
adalah upaya penyelamatan nyawa. Pada kasus lain, terapi oksigen
bertujuan untuk membayar “hulang" oksigen jaringan.
2. Mencegah hipoksemia
Pemberian oksigen juga bisa bertujuan untuk pencegahan, dimana untuk
menyediakan oksigen dalam darah, seperti contohnya pada tindakan
bronkoskopi, atau pada kondisi yang menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat (infeksi berat, kejang, dll).
3. Mengobati keracunan karbon monooksid (CO)
Terapi oksigen dapat untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen (PO2)
dalam darah dan untuk mengurangi ikatan CO dengan hemoglobin.
4. Fasilitas Absorpsi dan rongga-rongga dalam tubuh.
Saat menggunakan obat anesthesia inhalasi pasca anesthesia, terapi
oksigen dapal digunakan untuk mempercepat proses eliminasi obat
tersebut.

2.4. Teknik dan Alat


Teknik dan alat yang dapat digunakan dalam terapi oksigen sangat
beragam, dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Tehnik dan alat yang akan digunakan hendaknya memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2)
2. Tidak menyebabkan akumulasi CO2
3. Tahanan terhadap pemafasan minimal
8
4. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen
5. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien

Berdasarkan kriteria tersebut, alat-alat yang digunakan digolongkan


menjadi:1,3
I. Sistem fixed performance
Fraksi oksigen pada alat ini tidak tergantung pada kondisi pasien.
Berdasarkan aliran gasnya dibagi menjadi:
a. Aliran tinggi (misalnya: sungkup venturi
b. Aliran rendah (misalnya: mesin anesthesia)
II. Sistem variable performance
Fraksi oksigen pada alat ini tergantung pada aliran oksigen, faktor alat, dan
kondisi pasien. Terdapat 3 jenis yaitu:
a. sistem no capacity (misalnya: nasal kanul, nasal kateter)
b. sistem small capacity (misalnya: nasal kanul atau nasal kateter
aliran tinggi, sungkup “semi~rigid”)
c. sistem large capacity (misalnya: pneumask, polymask)

Berdasarkan ada atau tidaknya hirupan kembali udara ekspirasi pasien


selama terapi oksigen, sistem pemberian gas dalam terapi oksigen dapat
diklasifikasikan menjadi:7-9
1. Sistem nonrebreathing
Pada sistem nonrebreathing, kontak antara udara inspirasi dan ekspirasi
sangat minimal. Udara ekspirasi langsung keluar ke atmosfer melalui
katup searah yang dipasang pada hubungan antara pengalir gas dengan
mulut atau hidung pasien. Untuk itu harus diberikan aliran gas yang cukup
agar volume semenit dan laju aliran puncak yang dibutuhkan terpenuhi
atau memasang kantong penampung udara inspirasi yang memungkinkan
penambahan sejumlah gas bila diperlukan. Katup searah yang dipasang
tersebut memberikan kesempatan masuknya udara atmosfir ke dalam alat
ini sehingga menambah julmah aliran gas untuk memenuhi kebutuhan gas,
terutama pada sistem aliran gas tinggi.
2. Sistem rebreathing

9
Pada sistem ini, udara ekspirasi yang ditampung pada kantong penampung
yang terletak pada pipa jalur ekspirasi, dihirup kembali setelah CO2 nya
diserap oleh penyerap CO2 selanjutnya dialirkan kembali ke pipa jalur
inspirasi.

Berdasarkan kecepatan aliran, cara pemberian oksigen dibagi menjadi:7-9


1. Sistem aliran oksigen tinggi
Pada sistem ini, alat yang digunakan yaitu sungkup venti atau venturi
yang mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada
perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu
memberikan aliran total gas yang tinggi dengan FiO2 yang tetap.
Keuntungan alat ini adalah FiO2 yang diberikan stabil dan mampu
mengendalikan suhu dan humidifikasi udara inspirasi, sedangkan
kelemahannya adalah alat ini mahal, mengganti seluruh alat apabila
ingin mengubah FiO2 dan tidak enak bagi pasien.
2. Sistem aliran oksigen rendah
Sebagian dari volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini
memberikan FiO2 21%-90%, teragantung dari aliran gas oksigen dan
tambahan asesoris seperti kantong penampung. Alat yang umum
gunakan dalam sistem ini adalah: nasal kanul, nasal kateter, dan
sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung. Alat ini
digunakan pada pasien dengan kondisi stabil, volume tidalnya berkisar
antara 300-700 ml (dewasa) dan pola nafasnya teratur.

Beberapa alat yang umum digunakan di klinik untuk terapi oksigen adalah:
1. Nasal Kanul
Termasuk dalam sistem “non rebreathing”, “no capacity”, dan aliran
rendah. Merupakan alat terapi oksigen (O2) dengan sistem arus rendah
yang digunakan secara luas. Nasal kanul terdiri dari sepasang tube
dengan panjang ± 2 cm yang dipasangkan pada lubang hidung pasien
dan tube dihubungkan secara langsung menuju oxygen flow meter. Alat
ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat sungkup muka, terutama
bagi pasien yang membutuhkan konsentrasi oksigen (O2) rendah oleh
karena tergolong sebagai alat yang sederhana, murah dan mudah dalam
10
pemakaiannya. Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke
nasofaring dengan aliran 1-6 liter/ menit dengan fraksi oksigen (O2)
(Fi-O2) antara 24-44%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Adapun keuntungan
dari nasal kanul yaitu pemberian oksigen (O2) yang stabil serta
pemasangannya mudah dan nyaman oleh karena pasien masih dapat
makan, minum, bergerak dan berbicara. Walaupun nasal kanul nyaman
digunakan tetapi pemasangan nasal kanul dapat menyebabkan
terjadinya iritasi pada mukosa hidung, mudah lepas, tidak dapat
memberikan konsentrasi oksigen (O2) lebih dari 44% dan tidak dapat
digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal.1,11,12 Nasal kanul
menghasilkan FiO2 sebagai berikut :
Kecepatan aliran FiO2

1 liter/menit 24%

2 liter/menit 28%

3 liter/menit 32%

4 liter/menit 36%

5 liter/menit 40%

6 liter/menit 44%

Gambar 1. Nasal Kanul


2. Kateter nasal
Nasal kateter mirip dengan nasal kanul di mana sama-sama memiliki sifat
yang sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya serta tersedia
dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia dan jenis kelamin pasien.
11
Untuk pasien anak-anak digunakan kateter nomor 8-10 F, untuk wanita
digunakan kateter nomor 10-12 F dan untuk pria digunakan kateter nomor
12-14 F. Fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang dihasilkan sama dengan nasal
kanul.1

Gambar 2. Nasal Kateter

3. Sungkup muku tanpa kantong penampung


Sungkup muka tanpa kantong penampung merupakan alat terapi
oksigen (O2) yang terbuat dari bahan plastik di mana penggunaannya
dilakukan dengan cara diikatkan pada wajah pasien dengan ikat kepala
elastis yang berfungsi untuk menutupi hidung dan mulut. Tubuh
sungkup berfungsi sebagai penampung untuk oksigen (O2) dan karbon
dioksida (CO2) hasil ekspirasi. Alat ini mampu menyediakan fraksi
oksigen (O2) (FiO2) sekitar 40-60% dengan aliran sekitar 5-10 liter/
menit. Pada penggunaan alat ini, direkomendasikan agar aliran oksigen
(O2) dapat tetap dipertahankan sekitar 5 liter/ menit atau lebih yang
bertujuan untuk mencegah karbon dioksida (CO2) yang telah
dikeluarkan dan tertahan pada sungkup untuk terhirup kembali.
Adapun keuntungan dari penggunaan sungkup muka tanpa kantong
penampung adalah alat ini mampu memberikan fraksi oksigen (O2)
(FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal kanul ataupun nasal kateter
dan sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup
berlubang besar sedangkan kerugian dari alat ini yaitu tidak dapat
memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2) kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan karbon dioksida (CO2) jika aliran oksigen
(O2) rendah dan oleh karena penggunaannya menutupi mulut, pasien
seringkali kesulitan untuk makan dan minum serta suara pasien akan
teredam. Sungkup muka tanpa kantong penampung paling cocok untuk
pasien yang membutuhkan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang lebih
12
tinggi daripada nasal kanul ataupun nasal kateter dalam jangka waktu
yang singkat, seperti terapi oksigen (O2) pada unit perawatan pasca
anestesi. Sungkup muka tanpa kantong penampung sebaiknya juga
tidak digunakan pada pasien yang tidak mampu untuk melindungi jalan
napas mereka dari resiko aspirasi.1,11. Sungkup muka tanpa kantong
penampung menghasilkan FiO2 sebagai berikut:
Kecepatan aliran FiO2

5-6 liter/menit 40%

6-7 liter/menit 50%

7-8 liter/menit 60%

Gambar 3. Sungkup Muka tanpa Kantong Penampung


4. Sungkup muka dengan kantong penampung
Termasuk kelompok aliran rendah, “large capacity" dan “non
rebreathing". Alat ini sama dengan alat di atas, hanya ditambah
kantong penampung oksigen pada muaranya untuk meningkatkan
konsentrasi oksigen udara inspirasi atau FiO2. Alat ini digunakan
apabila memerlukan FiO2 antara 60-90%. Terdapat dua jenis sungkup
muka dengan kantong penampung yang seringkali digunakan dalam
pemberian terapi oksigen (O2), yaitu sungkup muka partial rebreathing
dan sungkup muka nonrebreathing. Keduanya terbuat dari bahan
plastik namun perbedaan di antara kedua jenis sungkup muka tersebut
terkait dengan adanya katup pada tubuh sungkup dan di antara
sungkup dan kantong penampung.11 Sungkup muka partial rebreathing
tidak memiliki katup satu arah di antara sungkup dengan kantong
penampung sehingga udara ekspirasi dapat terhirup kembali saat fase

13
inspirasi sedangkan pada sungkup muka nonrebreathing, terdapat
katup satu arah antara sungkup dan kantong penampung sehingga
pasien hanya dapat menghirup udara yang terdapat pada kantong
penam-pung dan menghembuskannya melalui katup terpisah yang
terletak pada sisi tubuh sungkup.13 Sungkup muka dengan kantong
penampung dapat mengantarkan oksigen (O2) sebanyak 10-15 liter/
menit dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sebesar 80-85% pada
sungkup muka partial rebreathing bahkan hingga 100% pada sungkup
muka nonrebreathing.11,13 Kedua jenis sungkup muka ini sangat
dianjurkan penggunaannya pada pasien-pasien yang membutuhkan
terapi oksigen (O2) oleh karena infark miokard dan keracunan karbon
monoksida (CO).11 Sungkup muka dengan kantong penampung
menghasilkan FiO2 sebagai berikut:
Kecepatan aliran FiO2

6 liter/menit 60%

7 liter/menit 70%

8 liter/menit 80%

9 liter/menit 90%

10 liter/menit 99%

Gambar 4. Non-Rebreathing Mask Gambar 5. Partial Rebreathing Mask

14
5. Sungkup muka venturi
Alat ini relatif mahal dibandingkan dengan beberapa alat yang telah
disebutkan diatas. Kelebihan alat ini adalah mampu mernberikan FiO2
sesuai dengan yang di kehendaki, tidak tergantung dari aliran gas
oksigen yang diberikan. Alat ini sangat bermanfaat untuk dapat
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen (O2) rendah sekitar
24-35% dengan arus tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) dan gagal napas tipe II di mana dapat
mengurangi resiko terjadinya retensi karbon dioksida (CO2) sekaligus
juga memerbaiki hipoksemia. Alat ini juga lebih nyaman untuk
digunakan dan oleh karena adanya pendorongan oleh arus tinggi,
maka masalah rebreathing akan dapat teratasi. Sungkup venturi
menghasilkan FiO2 sebagai berikut:
Kecepatan aliran FiO2

3 liter/menit 24%

6 liter/menit 28%

9 liter/menit 40%

12 liter/menit 40%

15 liter/menit 50%

Gambar 6. Sungkup Muka Venturi

15
6. Sungkup muka tekanan positif
Alat ini terdiri dari sungkup muka, ukuran tekanan 0-4 cm HO, tali
pengikat kepala, katup searah, kantong dari karet elastic, pipa karet
diameter agak besar dan meter aliran untuk oksigen dalam sistem
perpipaan atau regulator untuk oksigen dalam silinder. Alat ini
digunakan untuk memberikan nafas buatan pada pasien depresi nafas.

7. Oksigen Transtrakeal
Alat ini digunakan pada pasien yang dilakukan trakeostomi.
Oksigen (O2) transtrakeal dapat mengalirkan oksigen (O2) secara
langsung melalui kateter di dalam trakea. Oksigen (O2) transtrakeal
dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk menggunakan terapi
oksigen (O2) secara kontinyu selama 24 jam dan seringkali berhasil
untuk mengatasi hipoksemia refrakter. Oksigen (O2) transtrakeal
dapat menghemat penggunaan oksigen (O2) sekitar 30- 60-%.
Keuntungan dari pemberian oksigen (O2) transtrakeal yaitu tidak
ada iritasi muka ataupun hidung dengan rata-rata oksigen (O2) yang
dapat diterima pasien mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan
alat ini yaitu biayanya yang tergolong tinggi dan resiko terjadinya
infeksi lokal. Selain itu, ada pula berbagai komplikasi lainnya yang
seringkali terjadi pada pemberian oksigen (O2) transtrakeal antara
lain emfisema subkutan, bronkospasme, batuk paroksismal dan
infeksi stoma.12

Gambar 7. O2 Transtrakeal

16
2.5 Pedoman
Adapun pemberian terapi oksigen (O2) hendaknya mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut sehingga tetap berada dalam batas aman dan efektif, di antaranya:
a. Tentukan status oksigenasi pasien dengan pemeriksaan klinis, analisa gas
darah dan oksimetri.
b. Pilih sistem yang akan digunakan untuk memberikan terapi oksi-gen (O2).
c. Tentukan konsentrasi oksigen (O2) yang dikehendaki: rendah (di bawah 35%),
sedang (35 sampai dengan 60%) atau tinggi (di atas 60%).
d. Pantau keberhasilan terapi oksigen (O2) dengan pemeriksaan fisik pada sistem
respirasi dan kardiovaskuler.
e. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah secara periodik dengan selang waktu
minimal 30 menit.
f. Apabila dianggap perlu maka dapat dilakukan perubahan terhadap cara
pemberian terapi oksigen (O2).
g. Selalu perhatikan terjadinya efek samping dari terapi oksigen (O2) yang
diberikan.1

2.6 Efek Samping


Pemberian terapi oksigen ini dapat menimbulkan efek samping di sistem
pernafasan, susunan saraf pusat, dan juga mata (terutama pada bayi prematur).¹
Pada sistem respirasi:
a. Depresi nafas
Keadaan ini terjadi pada pasien yang menderita PPOM dengan hipoksia
dan hiperkarbia kronik. Oleh karena pada penderita PPOM kendali pusat
nafas bukan oleh kondisi hiperkarbi seperti pada keadaan normal, tetapi
oleh kondisi hipoksia, sehingga apabila kadar oksigen dalam darah
meningkat malah akan menimbulkan depresi nafas. Pada pasien PPOM,
terapi oksigen di anjurkan dilakukan dengan sistem aliran rendah dan
pemberiannya secara intermiten
b. Keracunan oksigen
Keracunan oksigen ini terjadi apabila pemberian oksigen dengan
konsentrasi tinggi (>6O%) dalam jangka waktu lama. Akan timbul
perubahan pada paru dalam bentuk: kongesti paru, penebalan membrane
alveoli, edema, konsolidasi dan atelektasi. Pada keadaan hipoksia berat,
17
pemberian terapi oksigen dengan FiO2 sampai 100% dalam waktu 6-12
jam untuk life saving seperti misalnya pada saat resusitasi masih di
anjurkan. Namun setelah keadaan kritis teratasi, FiO2 harus segera di
turunkan.
c. Nyeri substemal
Nyeri substernal dapat terjadi akibat iritasi pada trakea yang menimbulkan
trakeitis. Hal ini terjadi pada pemberian oksigen konsentrasi tinggi dan
keluhannya akan lebih hebat lagi apabila oksigen yang diberikan itu kering
(tanpa humidifikasi).
Pada susunan saraf pusat :
Pemberian terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat menimbulkan
keluhan parestesia dan nyeri pada sendi.
Pada mata :
Pada bayi baru lahir terutama pada bayi prematur, hiperoksia menyebabkan
kerusakan pada retina akibat proliferasi pumbuluh darah disertai perdarahan
dan fibrosis (retrolental firbroplasia).

2.7 Risiko Jangka Panjang


Terdapat tiga klasifikasi risiko penggunaan jangka panjang terapi oksigen
yaitu: fisik, fungsional, dan sitotoksik.³
a. Risiko fisik
Penggunaan jangka panjang dari terapi oksigen secara fisik dapat
mengakibatkan luka lecet pada hidung dan wajah yang timbul dari
pemakaian nasal kateter dan sungkup. Kulit kering dan pengelupasan kulit
dapat muncul dengan penggunaan gas yang kering tanpa proses
humidifikasi.
b. Risiko fungsional
Terapi oksigen dapat menyebabkan hipoventilasi pada pasien dengan
COPD. Dalarn prakteknya, terapi oksigen aliran rendah, memiliki risiko
yang kecil untuk menyebabkan hipoventilasi tersebut
c. Risiko kerusakan sitotoksik
Pemberian oksigen dapat menyebabkan kerusakan struktural pada paru-
paru. Perubahan proliferasi dan perubahan fibrosis akibat toksisitas
oksigen terbukti setelah dilakukannya otopsi pada pasien COPD yang
18
diterapi dengan oksigen jangka panjangv Namun perubahan ini tidak
menimbulkan pengaruh yang signifikan pada pexjalanan klinis atau
kelangsungan hidup pasien yang diterapi dengan oksigen. Sebagian besar
kerusakan yang texjadi diakibatkan oleh hasil hyperoksia dari pemberian
FiO2 tinggi pada kondisi akut.

19
BAB III
KESIMPULAN

Yang dimaksud dengan terapi oksigen adalah upaya-upaya


meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan
daya angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan.
Indikasi klinis secara umum untuk pemberian terapi oksigen adalah jika
terjadi ketidak cukupan oksigenasi jaringan yang terjadi akibat gagal napas
akibat sumbatan jalan napas, depresi pusat napas, penyakit saraf otot,
trauma thorax atau penyakit pada paru seperti misalnya ARDS, kegagalan
transportasi oksigen akibat syok (kardiogenik, hipovolemik dan septik),
infark otot jantung, anemia atau keracunan karbon monoksida (CO),
kegagalan ekstraksi oksigen oleh jaringan akibat kcracunan sianida,
peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada luka bakar,
trauma ganda, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam, dan
sebagainya. Secara umum, terapi oksigen bertujuan untuk mengoreksi
hipoksemia, mencegah hipoksemia, mengobati keracunan karbon
monooksid (CO), dan memfasilitasi absorpsi gas dari jaringan dan rongga-
rongga dalarn tubuh. Beberapa alat yang umum digunakan di klinik untuk
terapi oksigen adalah nasal kanul, kateter nasal, sungkup muka tanpa
kantong penampung, sungkup muka dengan kantong penampung, sungkup
muka venture, oem mix-o mask, sungkup muka tekanan positif, kollar
trakeostomi. Adapun risiko penggunaan jangka panjang terapi oksigen
yaitu risiko fisik, fungsional, dan sitotoksik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G., Senapathi T.G.A. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Edisi II. Jakarta: lndeks; 2017.
2. Rubin S. Gondodiputro AO, H. Uun Sumardi, editor. Panduan
Penatalaksanaan Kegawatdaruratan. Departemen IPD FKUP 2012.
3. Marino P.L. Oxygen Inhalation Therapy. Dalam: The ICU Book. Edisi ke
3.New York: Ovid; 2007. Amerika. Hal: 428-441.
4. Jindal S.K. Oxygen Therapy: Important Considerations. Indian J Chest Di
Allied Sci. 2008. Hal: 97-107.
5. College of Respiratory Therapists of Ontario. Oxygen Therapy Clinical Best
Practice Guideline. Toronto, Ontario. 2013. Hal: 5-44.
6. Uyainah A. Terapi Oksigen. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., et. al.
Buku Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam.Edisike-4.Ji1idlI1. 2006. Hal: 161-165.
7. O‘Driscoll B.R., Howard L.S., Davison A.G. Guideline for Emergency
Oxygen Use in Adult Patients. BMJ1. Vol. 63. 2008. Hal: 49-55.
8. Browne B., Crocker C. Guideline for Administration of Oxygen in Adults
2012. Nottingham University Hospitals. 2013. Hal: 15-20.
9. Martin D.S., Grocott M.P.W. Oxygen Therapy in Critical Illness. Dalam:
wwwmedscape.com/viewarticle/778505. Diakses tanggal 23 Oktober 2019.
10. N. AUZ. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, K. MS, Setiati S, editors. Terapi Oksigen. 4 ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universtas Indonesia; 2006.
11. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Edisi V. New York. McGraw-Hill Companies. 2013.
12. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. InternaPublishing. 2009.
13. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. New York.
McGraw-Hill Companies. 2008.

21

Anda mungkin juga menyukai