Terapi Oksigen
Pembimbing:
REFERAT
Terapi Oksigen
Oleh :
Telah diterima sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik periode 7 Oktober – 11
November 2019 di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya / RSUP H. Mohammad Hoesin.
Oksigen atau O2 diisolasi pertama kali oleh Joseph Priestley. Pada tahun
1794, Thomas Beddoes pertama kalinya menggunakan O2 sebagai obat. Dalam
penggunaan O2 sebagai obat, beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu indikasi,
pengaturan dosis, cara pemberian, dan efek sampingnya. Sejak ditetapkan suatu
konsep bahwa oksigen dapat digunakan sebagai terapi, efek hipoksia menjadi
lebih dimengerti dan pemberian oksigen pada pasien dengan penyakit paru
membawa dampak meningkatnya jumlah perawatan pasien.1,6
Dalam keadaan normal, sistem respirasi manusia menghirup 21% O2 di
udara atmosfer dengan tekanan-parsial 150 mmHg. Tekanan parsial I50 mmHg ini
sesampainya di alveoli akan berubah menjadi 103 mmHg. Ini diakibatkan
pengaruh tekanan uap air pada jalan nafas. Pada alveoli, O2 akan berdifusi ke
dalam aliran darah paru. O2 akan terikat dengan hemoglobin di dalam darah dan
kemudian akan di edarkan ke seluruh tubuh untuk keperluan metabolisme.1
Pemberian O2 scbagai obat atau terapi oksigen meliputi upaya-upaya
meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya
angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan. Pemberian
oksigen pada beberapa penelitian diantaranya dapat memperbaiki kor pulmonal,
meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik, mengurangi
hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.1,6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Yang dimaksud dengan terapi oksigen adalah upaya-upaya meningkatkan
masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut
hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan.1 Terapi oksigen
adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi lebih dari fraksi oksigen di ruangan
(2021%). Pemberian terapi ini bertujuan untuk mengobati atau mencegah gejala
hipoksia serta mengurangi beban kerja jantung dan paru-paru.2 Hipoksia
didefinisikan sebagai keadaan kurangnya oksigen di tingkat jaringan, sedangkan
hipoksemia digambarkan sebagai tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) yang
berada di bawah normal.2
Dalam pemberiannya sebagai obat, O2 dikemas dalam tabung bertekanan
tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak mudah
terbakar namun menunjang proses kebakaran. Sebelum O2 dalam tabung
digunakan dalam terapi oksigen, mutlak diperlukan asesoris berupa regulator,
sistem perpipaan oksigen sentral, meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi
aerosol, dan pipa/kanul/kateter serta alat pemberinya.1
2.2 lndikasi
Secara fisiologis, tubuh mengonsumsi oksigen sebanyak 115-165
ml/menit/meter persegi dari luas permukaan tubuh, sedangkan penyediaan oksigen
sebanyak 550-650 ml/menit/meter persegi permukaan tubuh. Sehingga masih
tersedianya cadangan oksigen sebanyak 435-485 ml di dalam darah, namun akan
segera habis di gunakan untuk metabolisme dalam waktu 3-4 menit apa bila
pasien tidak bernapas atau tidak diberikan oksigen.
Penyediaan dan konsumsi oksigen di upayakan oleh tubuh agar tetap
seimbang melalui sistem respirasi dan sistem sirkulasi. Jika terjadi gangguan
keseimbangan seperti penurunan penyediaan oksigen atau peningkatan konsumsi
oksigen akan terjadi “hutang” oksigen.
4
Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dewasa, anak-anak dan bayi
(usia di atas satu bulan) ketika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang dari 60
mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 90% saat pasien beristirahat
dan bernapas dengan udara ruangan. Pada neonatus, terapi oksigen (O2)
dianjurkan jika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang dari 50 mmHg atau nilai
saturasi oksigen (O2) kurang dari 88%. Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada
pasien dengan kecurigaan klinik hipoksia berdasarkan pada riwayat medis dan
pemeriksaan fisik.11 Indikasi klinis secara umum untuk pemberian terapi oksigen
adalah jika terjadi ketidak cukupan oksigenasi jaringan yang terjadi akibat:1,4,5
a. Gagal napas akibat sumbatan jalan napas, depresi pusat napas,
penyakit saraf otot, trauma thorax atau penyakit pada paru seperti
misalnya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
b. Kegagalan transportusi oksegen akibat syok (kardiogenik,
hipovolemik dan septik), infark otot jantung, anemia atau keracunan
karbon monoksida (CO).
c. Kegagalan ekstraksi oksigen oleh jaringan akibat keracunan sianida.
d. Peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada luka
bakar, trauma ganda, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang
demam, dan sebagainya.
e. Pasca anestesia terutama anestesia umum dengan gas gelak atau N2O.
Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah pasien
benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi oksigen (O2)
jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen therapy).
Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan harus
dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.12,13
2.2.1 Terapi Oksigen Jangka Pendek
Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma
bronkial, gangguan kardiovaskuler dan emboli paru. Pada keadaan tersebut,
oksigen (O2) harus segera diberikan dengan adekuat di mana pemberian
oksigen (O2) yang tidak adekuat akan dapat menimbulkan terjadinya
kecacatan tetap ataupun kematian. Pada kondisi ini, oksigen (O2) diberikan
5
dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) berkisar antara 60-100% dalam jangka
waktu yang pendek sampai kondisi klinik membaik dan terapi yang spesifik
diberikan.4 Adapun pedoman untuk pemberian terapi oksigen (O2)
berdasarkan rekomendasi oleh American College of Che-st Physicians, the
National Heart, Lung and Blood Institute.12,13
Tabel 2. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Pendek
No Rekomendasi
1 Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
2 Henti jantung dan henti napas
3 Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
4 Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik
5 (bikarbonat < 18 mmol/ L)
6 Distress pernapasan (frekuensi pernapasan > 24 kali/ menit)
6
panjang. Pada keadaan ini, awal pemberian terapi oksigen (O2) harus dengan
konsentrasi rendah (FiO2 24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap
berdasarkan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan tujuan mengoreksi
hipoksemia dan menghindari penurunan pH di bawah 7,26. Terapi oksigen
(O2) dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) yang sudah mengalami gagal napas tipe II akan
dapat mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernapas dan
meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Hal ini akan
menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang
berakibat fatal.12
Pasien yang menerima terapi oksigen (O2) jangka panjang harus
dievaluasi ulang dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap
atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen (O2). Sekitar
40% pasien yang mendapat terapi oksigen (O2) akan mengalami perbaikan
setelah satu bulan dan tidak perlu lagi meneruskan terapi oksigen (O2).
Adapun indikasi terapi oksigen (O2) jangka panjang yang telah
direkomendasi.12,13
Tabel 3. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang
Pemberian oksigen (O2) secara Pemberian oksigen (O2) secara
kontinyu: tidak kontinyu:
PaO2 istirahat < 55 mmHg atau SaO2 Selama latihan: PaO2 < 55 mmHg atau
< 88% SaO2 < 88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau SaO2 Selama tidur: PaO2 < 55 mmHg atau
89% pada salah satu keadaan: SaO2 < 88% dengan komplikasi
- Edema yang disebabkan karena seperti hipertensi pulmoner, somnolen
CHF dan aritmia
- P pulmonal pada pemeriksaan
EKG (gelombang P > 3 mm pada
lead II, III dan aVF)
Polisitemia (hematokrit > 56%)
7
2.3 Kontraindikasi
- Pasien dengan keterbatasan jalan napas berat dengan keluhan utama dispnea,
tetapi dengan PaO2 ≥ 60mmHg, dan tidak memiliki hipoksia kronik.
- Pasien yang meneruskan merokok karena dapat meningkatkan resiko
kebakaran.12
2.4 Tujuan
Seperti halnya terapi secara umum, terdapat tujuan dari pemberian oksigen/terapi
oksigen ini. Dimana tujuannya adalah:1,5
1. Mengoreksi hipoksemia
Pada keadaan gagal nafas akut, tujuan dari pemberian oksigen disini
adalah upaya penyelamatan nyawa. Pada kasus lain, terapi oksigen
bertujuan untuk membayar “hulang" oksigen jaringan.
2. Mencegah hipoksemia
Pemberian oksigen juga bisa bertujuan untuk pencegahan, dimana untuk
menyediakan oksigen dalam darah, seperti contohnya pada tindakan
bronkoskopi, atau pada kondisi yang menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat (infeksi berat, kejang, dll).
3. Mengobati keracunan karbon monooksid (CO)
Terapi oksigen dapat untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen (PO2)
dalam darah dan untuk mengurangi ikatan CO dengan hemoglobin.
4. Fasilitas Absorpsi dan rongga-rongga dalam tubuh.
Saat menggunakan obat anesthesia inhalasi pasca anesthesia, terapi
oksigen dapal digunakan untuk mempercepat proses eliminasi obat
tersebut.
9
Pada sistem ini, udara ekspirasi yang ditampung pada kantong penampung
yang terletak pada pipa jalur ekspirasi, dihirup kembali setelah CO2 nya
diserap oleh penyerap CO2 selanjutnya dialirkan kembali ke pipa jalur
inspirasi.
Beberapa alat yang umum digunakan di klinik untuk terapi oksigen adalah:
1. Nasal Kanul
Termasuk dalam sistem “non rebreathing”, “no capacity”, dan aliran
rendah. Merupakan alat terapi oksigen (O2) dengan sistem arus rendah
yang digunakan secara luas. Nasal kanul terdiri dari sepasang tube
dengan panjang ± 2 cm yang dipasangkan pada lubang hidung pasien
dan tube dihubungkan secara langsung menuju oxygen flow meter. Alat
ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat sungkup muka, terutama
bagi pasien yang membutuhkan konsentrasi oksigen (O2) rendah oleh
karena tergolong sebagai alat yang sederhana, murah dan mudah dalam
10
pemakaiannya. Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke
nasofaring dengan aliran 1-6 liter/ menit dengan fraksi oksigen (O2)
(Fi-O2) antara 24-44%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Adapun keuntungan
dari nasal kanul yaitu pemberian oksigen (O2) yang stabil serta
pemasangannya mudah dan nyaman oleh karena pasien masih dapat
makan, minum, bergerak dan berbicara. Walaupun nasal kanul nyaman
digunakan tetapi pemasangan nasal kanul dapat menyebabkan
terjadinya iritasi pada mukosa hidung, mudah lepas, tidak dapat
memberikan konsentrasi oksigen (O2) lebih dari 44% dan tidak dapat
digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal.1,11,12 Nasal kanul
menghasilkan FiO2 sebagai berikut :
Kecepatan aliran FiO2
1 liter/menit 24%
2 liter/menit 28%
3 liter/menit 32%
4 liter/menit 36%
5 liter/menit 40%
6 liter/menit 44%
13
inspirasi sedangkan pada sungkup muka nonrebreathing, terdapat
katup satu arah antara sungkup dan kantong penampung sehingga
pasien hanya dapat menghirup udara yang terdapat pada kantong
penam-pung dan menghembuskannya melalui katup terpisah yang
terletak pada sisi tubuh sungkup.13 Sungkup muka dengan kantong
penampung dapat mengantarkan oksigen (O2) sebanyak 10-15 liter/
menit dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sebesar 80-85% pada
sungkup muka partial rebreathing bahkan hingga 100% pada sungkup
muka nonrebreathing.11,13 Kedua jenis sungkup muka ini sangat
dianjurkan penggunaannya pada pasien-pasien yang membutuhkan
terapi oksigen (O2) oleh karena infark miokard dan keracunan karbon
monoksida (CO).11 Sungkup muka dengan kantong penampung
menghasilkan FiO2 sebagai berikut:
Kecepatan aliran FiO2
6 liter/menit 60%
7 liter/menit 70%
8 liter/menit 80%
9 liter/menit 90%
10 liter/menit 99%
14
5. Sungkup muka venturi
Alat ini relatif mahal dibandingkan dengan beberapa alat yang telah
disebutkan diatas. Kelebihan alat ini adalah mampu mernberikan FiO2
sesuai dengan yang di kehendaki, tidak tergantung dari aliran gas
oksigen yang diberikan. Alat ini sangat bermanfaat untuk dapat
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen (O2) rendah sekitar
24-35% dengan arus tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) dan gagal napas tipe II di mana dapat
mengurangi resiko terjadinya retensi karbon dioksida (CO2) sekaligus
juga memerbaiki hipoksemia. Alat ini juga lebih nyaman untuk
digunakan dan oleh karena adanya pendorongan oleh arus tinggi,
maka masalah rebreathing akan dapat teratasi. Sungkup venturi
menghasilkan FiO2 sebagai berikut:
Kecepatan aliran FiO2
3 liter/menit 24%
6 liter/menit 28%
9 liter/menit 40%
12 liter/menit 40%
15 liter/menit 50%
15
6. Sungkup muka tekanan positif
Alat ini terdiri dari sungkup muka, ukuran tekanan 0-4 cm HO, tali
pengikat kepala, katup searah, kantong dari karet elastic, pipa karet
diameter agak besar dan meter aliran untuk oksigen dalam sistem
perpipaan atau regulator untuk oksigen dalam silinder. Alat ini
digunakan untuk memberikan nafas buatan pada pasien depresi nafas.
7. Oksigen Transtrakeal
Alat ini digunakan pada pasien yang dilakukan trakeostomi.
Oksigen (O2) transtrakeal dapat mengalirkan oksigen (O2) secara
langsung melalui kateter di dalam trakea. Oksigen (O2) transtrakeal
dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk menggunakan terapi
oksigen (O2) secara kontinyu selama 24 jam dan seringkali berhasil
untuk mengatasi hipoksemia refrakter. Oksigen (O2) transtrakeal
dapat menghemat penggunaan oksigen (O2) sekitar 30- 60-%.
Keuntungan dari pemberian oksigen (O2) transtrakeal yaitu tidak
ada iritasi muka ataupun hidung dengan rata-rata oksigen (O2) yang
dapat diterima pasien mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan
alat ini yaitu biayanya yang tergolong tinggi dan resiko terjadinya
infeksi lokal. Selain itu, ada pula berbagai komplikasi lainnya yang
seringkali terjadi pada pemberian oksigen (O2) transtrakeal antara
lain emfisema subkutan, bronkospasme, batuk paroksismal dan
infeksi stoma.12
Gambar 7. O2 Transtrakeal
16
2.5 Pedoman
Adapun pemberian terapi oksigen (O2) hendaknya mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut sehingga tetap berada dalam batas aman dan efektif, di antaranya:
a. Tentukan status oksigenasi pasien dengan pemeriksaan klinis, analisa gas
darah dan oksimetri.
b. Pilih sistem yang akan digunakan untuk memberikan terapi oksi-gen (O2).
c. Tentukan konsentrasi oksigen (O2) yang dikehendaki: rendah (di bawah 35%),
sedang (35 sampai dengan 60%) atau tinggi (di atas 60%).
d. Pantau keberhasilan terapi oksigen (O2) dengan pemeriksaan fisik pada sistem
respirasi dan kardiovaskuler.
e. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah secara periodik dengan selang waktu
minimal 30 menit.
f. Apabila dianggap perlu maka dapat dilakukan perubahan terhadap cara
pemberian terapi oksigen (O2).
g. Selalu perhatikan terjadinya efek samping dari terapi oksigen (O2) yang
diberikan.1
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G., Senapathi T.G.A. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Edisi II. Jakarta: lndeks; 2017.
2. Rubin S. Gondodiputro AO, H. Uun Sumardi, editor. Panduan
Penatalaksanaan Kegawatdaruratan. Departemen IPD FKUP 2012.
3. Marino P.L. Oxygen Inhalation Therapy. Dalam: The ICU Book. Edisi ke
3.New York: Ovid; 2007. Amerika. Hal: 428-441.
4. Jindal S.K. Oxygen Therapy: Important Considerations. Indian J Chest Di
Allied Sci. 2008. Hal: 97-107.
5. College of Respiratory Therapists of Ontario. Oxygen Therapy Clinical Best
Practice Guideline. Toronto, Ontario. 2013. Hal: 5-44.
6. Uyainah A. Terapi Oksigen. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., et. al.
Buku Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam.Edisike-4.Ji1idlI1. 2006. Hal: 161-165.
7. O‘Driscoll B.R., Howard L.S., Davison A.G. Guideline for Emergency
Oxygen Use in Adult Patients. BMJ1. Vol. 63. 2008. Hal: 49-55.
8. Browne B., Crocker C. Guideline for Administration of Oxygen in Adults
2012. Nottingham University Hospitals. 2013. Hal: 15-20.
9. Martin D.S., Grocott M.P.W. Oxygen Therapy in Critical Illness. Dalam:
wwwmedscape.com/viewarticle/778505. Diakses tanggal 23 Oktober 2019.
10. N. AUZ. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, K. MS, Setiati S, editors. Terapi Oksigen. 4 ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universtas Indonesia; 2006.
11. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Edisi V. New York. McGraw-Hill Companies. 2013.
12. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. InternaPublishing. 2009.
13. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. New York.
McGraw-Hill Companies. 2008.
21