Anda di halaman 1dari 62

URTIKARIA

Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1. DEFINISI
Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah erupsi kulit
yang menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna merah, bagian
tengah pucat, memucat bila ditekan, disertai rasa gatal, dapat berlangsung akut,
khronik atau berulang.
Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) = urtikaria
 lesi jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas, tidak gatal, sering
dengan rasa nyeri dan terbakar.
Urtikaria (U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kualitas hidup
penderita

2. ETIOLOGI
Mekanisme imun
Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, II &
III.

Mekanisme nonimun (antifilaktoid)


a. Angiodema herediter
b. Aspirin
c. Liberator histamin, yaitu zat yang dapat menyebabkan pelepasan
histamin seperti obattiate, obat pelemas otot, obat vasoaktif & makanan
(putih telur, tomat, lobster).

Fisik
a. Dermatografia (writing on the skin)
b. Urtikaria dingin
c. Urtikaria kolinergik
d. Urtikaria panas
e. Urtikaria solar
f. Urtikaria& angioedema tekanan
g. Angioedema getar

1
h. Urtikaria akuagenik

Miscellaneous
a. Urtikaria Papular
 Etiologi : gigitan serangga (nyamuk, lebah, dll)
 Pruritus bifasik : popular wheal
 Reaksi hipersensitivitas tipe I & IV
b. Urtikaria pigmentosa
c. Mastositosis sistemik
d. Infeksi disertai urtikaria
e. Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya
 Penyakit vaskuler kolagen
 Keganasan
 Ketidakseimbangan sistem endokrin
f. Faktor psikogenik
g. Urtikaria& angioedema idiopatik

3. PATOGENESIS
 Sel mediator  mediator2 (histamin) :
- Dilatasi pembuluh darah  eritema
- Peningkatan permeabilitas kapiler  edema (eksudasi cairan & sel) 
saraf perifer kulit  gatal
- Pembuluh darah subkutan
 Degramulasi sel mediator
 Degranulasi sel mast kutan / sub kutan
- Dilatasi kapiler  eritema
- peningkatan permeabilitas kapiler ekstravasasi cairan & sel (eosinofil)
 edema lokal, gatal
- Vaskuler subkutan angioedema (periorbita & perioral)
 Histologis : degranulasi sel mast kutan / subkutan  pelepasan
mediator2 (histamin, lekotrin) dilatasi pembuluh darah dermal /
subdermal dgn infiltasi sel-sel perivaskular terutama eosinofil
 Histamin  reseptor H pd organ sasaran (H1, H2, H3& H4)

2
4. BENTUK KLINIS
Urtikaria akut lebih sering pada bayi / anak
 Ukuran, jumlah bervariasi
 Papul udematous, datar, merah muda/terang, 2-5 mm  papul atau plak
batas tegas, datar  beberapa lesi berkonfluensi  plak dgn tepi polisiklik
 Gatal selalu ada
 Bayi :
- Gatal tidak terlalu berat
- Urtikaria purpurik (urtikaria hemorhagik) bayi & anak kecil  DD
vaskulitis
Angioedema:
 Udema subkutan & atau submukosa
 Ekstremitas, bibir, palpebra, genitalia, saluran cerna (abdomen) & faring
 5-10 % bayi & anak + urtikaria
 Menghilang < 2-3 hari, jarang disertai gatal
 A berulang tanpa U HAE atau AAE
 Lesi A + U
- Sementara dari waktu ke waktu
- Beberapa lesi menghilang, dapat timbul lesi baru khronik
- Bayi & anak lesi menghilang dalam beberapa hari
 Anafilaktik idiopatik
- U / A akut, luas, Wheezing, hipotensi, mual, muntah, tanda-tanda aritmia
jantung

5. KRITERIA DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Onset: berulang/lamanya (durasi), lokasi
Ditanya mengenai faktor pencetus
 Makanan, Obat-obatan, zat aditif, hobi
 Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis
 Faktor-faktor eksaserbasi serangan
Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain

3
PEMERIKSAAN FISIK
Gambaran yang khas, bentuk lesi  tipe urtikari linier (dermografisme), Urtika
kecil dikelilingi daerah eritem (urtikaria kolinergik), pada ekstremitas inferior
(urtikaria vaskulitis, papular urtikaria), terbatas pada daerah paparan (urtikaria
dingin/ solar)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Pemeriksaan dasar Tes berdasarkan kondisi tertentu:
Darah perifer lengkap Jika dicurigai vaskulitis :
Antinuclear antibody
LED Biopsi kulit
Urinalisis CH50
Fungsi hati Jika fungsi hati tidak normal:
Pemeriksaan serologis untuk hepatitis
virus
Fungsi tiroid dan
autoantibodi
Anti-FceR autoantibody
(bila ada)
Riwayat U. fisik  test yang sesuai
Kondisi Test
Urticaria kolinergik Latihan , mecholyl challenge
Dermografisme Menggosok atau menggaruk kulit
Solar urticaria Paparan ke sinar matahari terkontrol
Cold urticaria Ice challenge
HAE (hereditary angioneurotic edema) periksa kadar C4, C1 INH (antigenik &
fungsional)

4
6. DIAGNOSA BANDING
Urtikaria Anak : Angioedema:
Eritema multiforme Selulitis
Urtikaria pigmentosa Erisipelas
Gigitan serangga Dermatitis kontak
Eritema Anulare SLE
Infantile Acute Hemoragic edema Kasus bedah abdomen
Purpura Henoch Schonlein, Reaksi anafilaktik laring
pitriasis rosea

7. DIAGNOSIS KERJA
Urtikaria

8. TATALAKSANA
a. Edukasi
 Meyakinkan penderita/keluarga:
 U/A  remisi spontan ( hari, bulan, tahun)
 U /A tidak menyebabkan cacat
 U/A dapat dikontrol dengan satu atau kombinasi obat-obatan
b. Eliminasi  kenali dan hindari faktor pencetus dan faktor-faktor yang
mengeksaserbasi serangan
c. Adregenik
 Diberikan pada urtikaria/angioedema yang luas/meluas dengan cepat,
terdapat distres pernafasan
 adrenalin (1:1000) dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum
0,3 ml) dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat reseptor
histamine H1
d. Antihistamin:
 antihistamin H1generasi I:klorfeniramin maleat (ctm): 0,35 mg/kg/hari
boleh diberikan setiap 6-8jam
 antihistamin H1 generasi II:cetirizine 0,25 mg/kg/hari sekali sehari
 antihistamin H2 : untuk membantu aktivitas antihistamin H1, simetidin 5
mg/kg/kali 3x sehari

5
e. Tabir surya  urtikaria solar (panjang gelombang 285-320 nm)U. dingin 
hindari mandi/ berenang di air dingin
f. HAE : Hindari faktor eksaserbasi: panas, aktivitas, aspirin, alkohol
g. Kortikosteroid Untuk urtikaria/angioedema yamg berat dan diberikan bila
tidak memberikan respon yang baik dengan obat-obat diatas

9. KOMPLIKASI dan PROGNOSIS


Komplikasi
Angioedema merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi
obstruksi jalan nafas karena edema laring dan sekitarnya, atau anafilaksis yang
dapat mengancam jiwa.

Prognosis
Baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat

10. REFERENSI
1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal 224-34
2. Leung DYM, Dreskin SC. Urticaria (Hives) and Angioedema. Dalam:
Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18.
Philadelphia WB Saunders Co. 2008.
3. Leung DYM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

6
ALERGI MAKANAN
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1. DEFINISI
Adalah suatu kumpulan gejala yang melibatkan banyak organ dan sistem tubuh
yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, berupa reaksi
imunologik yang menyimpang yang merupakan kombinasi keempat tipe
hipersensitivitas menurut Gell dan Comb’s.

2. ETIOLOGI
Terdapat 3 faktor penyebab alergi makanan, yaitu:
 Faktor genetik
Anak yang salah satu orang tuanya atopi, kemungkinan terjadinya alergi 17-
29%. Bila kedua orang tuanya atopi kemungkinan alergi 53-58%. Anak dengan
HLA-BB cenderung mendapat alergi.
 Faktor Imaturitas usus
-Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen kedalam tubuh
-Secara kimiawi:asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan
denaturasi alergen
-Secara imunologik SIgA pada permukaan mukosa dan limposit pada lamina
propia dapat menangkal alergen masuk kedalam tubuh.
 Pajanan alergen
-dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan
-pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi
-eleminasi telur, susu dan ikan pada ibu menyusui selama 3 bulan pertama
mengurangi sensitivitas selam 3 bulan berikutnya dan menurunkan dermatitis
atopik 6 bulan berikutnya.
-pajanan alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma kehidupan
setempat
-faktor pencetus bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya
gejala alergi, dapat berupa faktor fisik, faktor psikis atau beban latihan

7
3. PATOGENESIS
Makan→ pajanan alergen→gangguan integritas mukosa usus→absorpsi
molekul alergen (protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul
>18.000 dalton, tahan panas, tahan enzim proteolitik)→ pada orang yang
sensitif→reaksi alergi yang muncul dapat berupa saatu atau lebih reaksi.
Reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat
Reaksi lambat terdapat 4 kemungkinan, yaitu:
1. reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambaT
2. reaksi hipersensitivitas tipe II
3. reaksi hipersensitivitas tipe III
4. reaksi hipersensitivitas tipe IV
5.

4. BENTUK KLINIS
Bervariasi berdasarkan target organ:
 Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring, sembab
tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung, mencret, perdarahan
usus, protein- losing enteropathy.
 Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk kronik
berulang
 Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atu dermatitis atopik
 Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, berupa:
-anafilaksis yang diinduksi makanan
-anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan (food
dependentexercise inducedanaphylaxis gejala anafilaksis timbul setelah
makan suatu alergen dan kemudian diikuti latihan fisik.

5. KRITERIA DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Anamnesis tergantung pada daya ingat penderita/orang tua tentang gejala, dan
kemampuan pemeriksa untuk membedakan antara gangguan yang disebabkan
oleh hipersensitivitas terhadap makanan atau etiologi lain.Anamnesis riwayat
perjalanan penyakit meliputi:
 Jenis makanan yang dicurigai dan jumlah makanan yang dikonsumsi.

8
 Interval waktu antara mengasup makanan yang dicurigai dan munculnya
gejala.
 Jenis gejala yang ditimbulkan setelah mengasupmakanan tersebut
 Riwayat Atopi pada pasien & keluarganya.

PEMERIKSAAN FISIK
 Kulit kering, urtikaria, dermatitis atopic
 Allergic shinner’s, nasal crease, lidah khas geographic, pucat pada mukosa
hidung dan gangguan bernapas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis dapat didukung melalui pemeriksaan:
 uji kulit dapat dilakukan uji gores (scratch test), uji suntik intra dermal (intra
dermal test), dan uji tusuk (prick test)
 darah tepi: eosinofil >5% atau >500/ml, cenderung alergi. Jika leukosit <
5000/ml disertai neutropenia<30% sering ditemukan pada alergi makanan.
 hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemui pada susu sapi
 pemeriksaan IgE spesifik (RAST) hanya dikerjakan atas indikasi saja

6. DIAGNOSIS BANDING
a. Penyakit Infeksi pada organ yang sama
b. Penyakit alergi karena penyebab lain

7. DIAGNOSIS KERJA
Alergi Makanan

8. TATALAKSANA
 Edukasi

9
- Hindari makanan penyebab alergi
- Pada alergi makanan tertentu seperti susu sapi dan telur boleh dicoba
kembali setelah eliminasi 6 bulan – 1 tahun, karena dapat terjadi grow
out dengan bertambahnya usia.
 Pengobatan simptomatis  ditujukan pada manifestasi klinisnya (urtikaria,
diare, rinitis, asma, angiodema, anafilaksis, dll)
- Urtikaria, pruritus, eritema dan rinitis diberikan antihistamin peroral,
dipakai hidroksizin dosis 1 mg/kgbb 2 kali sehari, atau dipenhidramin 1
mg/kgBB 4 kali sehari.
- Jika kelainannya cukup luas dan timbulnya cepat seperti angioedema ,
mula-mula diberikan HCI epinefrin (adrenalin) larutan 1:1000 dengan
dosis 0,01 cc/kgBB subkutan (max. 0,3 cc). Jika perlu diulang sampai 2
kali selang 15 menit, kemudian dilanjutkan antihistamin peroral.
- Jika terjadi sitopenia atau vaskulitis diberikan kortikosteroid, dosis 1-2
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Jika klinis telah membaik ditapering secara
sepat, biasanya 3 hari.
- Jika terjadi asma bronkial, diberikan bronkodilator (seperti teofilin,
salbutamol)  SP asma bronkial.
- Anafilaksis :
 Penatalaksanaan penderita anafilaksis : Penderita dibaringkan terlentang,
kepala dalam posisi ekstensi , jika perlu oksigen. Beri adrenalin 1:1000, dosis
0,01 cc/kgBB/kali IM
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas dipasang alat nafas buatan (Gudel) atau
trakeostomi. Tanda-tanda vital dimonitor terus (TD, Nadi, RR).
 Jika tidak ada perbaikan tanda-tanda vital (TD masih rendah) pasang IVFD
dengan Ringer laktat atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%, dikocor
 Bronkospasme dihilangkan dengan memberi aminofilin 3-4 mg/kgBB IV
(pelan-pelan, diencerkan dulu).
 Untuk menekan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat diberi hodrokortison
7-10 mg/kgBB I.V, dilanjutkan 5 mg/kgBB (tiap 6 jam I.V).
 Pengobatan selanjutnya ditujukan pada komplikasi yang terjadi  jika perlu
dirawat di ICU.

10
9. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi
 Failure to thrive
 Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik

Prognosis
 Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan
 Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun, 50-80% organ
sasaran akan berpindah, manifestasi alergi berubah menjadi rinitis alergika
dan asma
 Alergi makanan yang mulai timbul pada usia 3 tahun, prognosisnya lebih
baik 40% mengalami grow-out
 Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun keatas cenderung untuk
menetap.

11
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1. Definisi
Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit reumatik
yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.

2. Etiologi
Penyebab pasti ARJ masih belum diketahui. Beberapa faktor etiologi berperan
dalam munculnya ARJ, antara lain faktor : infeksi, autoimun, trauma, stres dan
faktor imunogenetik.

3. Patogenesis
Patogenesis ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis penyakit kompleks
imun dari penyakit autoimun: autoantigen (agregat IgG dan antigen sinovia) 
pengaruh beberapa rangsangan (faktor imunogenetik, kalainan makanisme sel
T supresor, reaksi silang antigen dan berbagai penyebab lain seperti virus)
akan memproduksi autoantibodi

 Kelainan tahap awal


Belum jelas, telah diidentifikasi kerusakan mikrovaskuler dan proliferasi sel
sinovia  edema sinovium dan proliferasi sel sinovia  mengisi rongga sendi,
tahap awal predominan sel PMN  didominasi sel limfosit, makrofag dan sel
plasma  produksi IgG, sedikit IgM (IgM anti IgG = Faktor reumatoid).

Reaksi autoantigen-antibodi  kompleks imun  aktivitas sistem komplemen


 terjadi pelepasan biologik aktif  terjadi reaksi inflamasi. Aktivitas sistem
imun selular  aktivitas mediator limfokin  reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi
 disertai proliferasi dan kerusakan jaringan sinovia.

12
 Tahap lanjut
Fase kronis, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan
respon imun selular  karakteristik artritis rematoid kronik, adanya kerusakan
tulang rawan, ligamen, tendo dan kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan
oleh produk enzim dan pembentukan jaringan granulasi akibat aktivitas sistem
imun selular. Sel limfosit, makrofag dan sinovia dapat mengeluarkan berbagai
macam sitokin seperti kolagenase, prostaglandin serta plasminogen yang
akan mengaktifkan sistem kalikrein dan kinin-bradikinin. Produk-produk ini
akan menimbulkan reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan.

4. Bentuk Klinis
 Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi, terbanyak pada
sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi lutut, pergelangan kaki
dan siku.
 Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya mengenai
sendi besar) terutama didaerah tungkai.
 Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak tunggal
atau ganda > 39 0 C selama 2 minggu atau lebih  muncul artritis. Biasanya
disertai kelainan sistemik berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral
(hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).

6. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
1. Usia onset penyakit < 16 tahun
2. Gejala artritis (pembengkakan atau efusi, adanya 2 atau lebih: keterbatasan
gerak, nyeri, atau nyeri saat digerakkan dan perabaan hangat) pada satu
atau lebih sendi
3. Lama penyakit > 6 minggu
4. Jumlah sendi yang terkena:

13
 Poliartritis: ≥5 sendi
 Oligoartritis < 5 sendi
 Sistemik: gejala artritis dengan adanya demam
5. Gejala lain : nafsu makan menurun, BB turun, bila penyakit berat terjadi
gangguan tidur di malam hari akibat nyeri
6. Nyeri sendi tidak berpindah, sendi jarang terlihat merah
7. Terdapat kekakuan sendi pada pagi hari

Pemeriksaan Fisik
 Sendi yang terkena teraba hangat dan biasanya tidak terlihat eritem
 Adanya paling sedikit 2 dari gejala inflamasi sendi:
gerakan sendi yang terbatas,
nyeri/sakit pada pergerakan dan
panas
 Pembengkakan kelenjar getah bening
 Radang pada mata

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium:
 Darah perifer lengkap:
o Tergantung derajat peradangan sistemik atau persendian, bisa
ditemukan peningkatan leukosit, trombosit, LED dan penurunan Hb dan
MCV
 CRP
 Anti nuclear antibody (ANA): positif pada 40-85% anak ARJ oligoartritis dan
poliartritis tetapi biasa ditemukan positif pada tipe sistemik
 Rheumatoid factor
Pemeriksaan radiologi: tidak rutin, dilakukan pada kasus dimana terjadi
pembengkakan sendi yang nyata
 Peradangan jaringan ikat lunak, osteoporosis regional

14
7. Diagnosis Banding
- Demam rematik akut
- Lupus eritematosusu sistemik
- Keganasan

7. Diagnosis Kerja
Artritis Reumatoid Juvenil

8. Tatalaksana
Edukasi
 Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ tipe
oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi hidroksi
klorokuin.
 Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi
dilakukan fisio terapi di bagian URM.
 Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas,
memperbaiki pergerakan sendi.

Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu untuk


mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan
dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial, bila perlu konsultasi
pada ahli bedah dan psikiatri.
Medikamentosa :
 Pilihan obat anti inflamasi non steroid (AINS)
1. Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral, dibagi3-4
dosis, diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun setelah gejala klinis
menghilang, atau:
2. Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.
3. AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak.
Pemberiannya hanya untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi
pada anak tertentu yang tidak responsif terhadap AAS atau sebagai
pengobatan inisial, misalnya :
 Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau antasid.

15
 Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam
sesuai kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari  untuk mengontrol
nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik (pemberian > 10 hari
memerlukan pengawasan yang ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama
karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.

 Pemberian disease-modifying antirheumatic agents (DMARDs) seperti


metotreksat, leflunomide, dan sulfasalazine. Dosis metotreksat oral adalah
10-20 mg/m2/minggu dan diberikan selama 6 bulan.Disertai pemberian Asam
Folat 1 mg/hari (diberikan 4 hari dalam seminggu kecuali 1 hari sebelum
pemberian metotreksat dan 1 hari sesudah pemberian metotreksat)
 Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs
(SAARDs)  hanya diberikan pada poliartristik progresif yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan AINS, contoh : Hidroksi klorokuin, garam
emas (gold salt), Penisilamin dan sulfa salazin.
- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS), dosis 6-7
mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis, jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perbaikan  obat dihentikan
- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap
pengobatan AAS/AINS lain setelah 6 bulan. Pengobatan dengan
AAS/AINS lain diteruskan selama pemakaian garam emas. Preparat yang
dipakai Gold sodium thiomalate dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal
5 mg IM dan kemudian dosis ditingkatkan sampai 0,75-1 mg/kgBB/minggu
(< 50mg). Jika remisi telah tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan
dosis yang sama dengan injeksi tiap-tiap 2 minggu selama 3 bulan,
kemudian setiap 3 minggu setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu,
diteruskan sampai beberapa tahun remisi. Preparat oral garam emas
dipakai Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2 mg/kgBB/hari (maksimal 9
mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari setiap 3 bulan sampai
mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama pengobatan dapat sampai
beberapa tahun remisi.

16
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari) selama 3
bulan, kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3
bulan, sampai maksimum10 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi
selama 3 bulan. Dosis rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi bersama
makan, jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak ada keluhan
dosis diturunkan perlahan-lahan sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat
digunakan beberapa tahun.
 Kortikosteroid : diberikan jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan
untuk pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler. Penyakit
sistemik yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal,
jika keadaan lebih berat dosis terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis
diturunkan pelan-pelan, kemudian stop.
 Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan dipakai
metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons tidak adekuat setelah
8 minggu pemberian, dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama
pengobatan adekuat 6 bulan.
 Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid dan
klorambusil.

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis
 Komplikasi akibat pengobatan steroid
 Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis sekunder
 Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti angkilosis, luksasi atau fraktur.

Prognosis
 70-90% sembuh tanpa kecacatan. 10% dapat terjadi cacat sampai dewasa.
 Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.

17
 Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis, atau disertai
uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid
dan faktor reumatoid positif.
 Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan gagal
ginjal akibat amilodosis serta infeksi.

10. Referensi
 Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati
N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke
2. Jakarta. 2008. Hal: 332-44.
 Miller ML, Cassidy JT. . Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
 Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010.

18
SYOK ANAFILAKSIS
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1. Definisi
Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset
mendadak dan biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol, kemerahan,
gatal, angioedema, stridor, wheezing, nafas pendek, muntah, diare atau syok
yang mengancam kehidupan.

2. Etiologi
 Makanan (merupakan penyebab tersering), Sengatan lebah atau
serangga,Obat-obatan,Karet lateks
 Makanan yang sering menyebabkan anafilaksis:Kacang tanah, Ikan laut /
sea food, Kerang, Telur, Susu, Biji-bijian
 Obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis atau anafilaktoid:
Antibiotik (khususnya penisilin), Obat anestesi intravena, Aspirin, NSAID,
Kontras media intravena, Analgetik opioid

3. Patogenesis
 Individu terpapar kembali dengan antigen yang pernah kontak sebelumnya.
Antigen tersebut berikatan silang dengan molekul IgE spesifik yang
terikat pada sel mast dan basofial.
 Sel mast dan basofil teraktifasi dan mengalami degranulasi
 Kemudian melepaskan Mediator yang terkandung didalam granulanya
seperti histamin, faktor kemotaksis eosinofil (ECF), faktor kemotaksis
netrofil (NCF) dan triptase. Selain itu terbentuk mediator baru seperti
prostaglandin dan Leukotrin.
 Mediator histamin ini beraksi pada reseptor histamin pada organ
menyebabkan produksi mukus, pruritus, peningkatan permeabilitas
vaskuler, konstriksi otot polos dan lain-lain yang menyebabkan gejala
anafilaksis

19
4. Bentuk Klinis
Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus dimonitor
status respirasi dan kardiovaskuler
Kulit
 Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis, pilor erecti
 Reaksi lokal
Oral
 Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan lidah, rasa seperti
logam di mulut
Saluran Nafas (organ syok utama)
 Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia, disfonia, serak,
batuk kering, gatal pada saluran telinga luar
 Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam, wheezing
 Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin
 Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan saluran nafas atas
 Stridor bila saluran atas terkena
Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian terbanyak
Kardiovaskuler
 Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi
 Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh darah
 Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume intravaskuler dan
hipotensi
Gastrointestinal
Mual, kolik, muntah, diare

5. Kriteria Diagnosis
1. Penyakit yang timbul mendadak (beberapa menit-jam) yang melibatkan kulit,
jaringan mukosa atau keduanya (misal: urtikaria generalisata gatal atau
flushing pembekakan bibir - lidah – uvula)
Atau
2. Dua atau lebih gejala yang terjadi setelah pajanan alergen atau pencetus
yang paling mungkin untuk pasien tersebut
Atau

20
3. Tekanan darah (TD) menurun setelah pajanan alergen yang diketahui
menyebabkan alergi pada pasien (menit- beberapa jam)

Anamnesis
 Terdapat berbagai gejala yang timbul mendadak: gelisah, lemah, pucat,
sesak, pingsan, mual, muntah, nyeri perut, suara serak, sesak nafas, batuk
kering, pilek, hidung tersumbat, mengi, gatal pada mulut dan muka, timbul
bentol di kulit, pembengkakan pada mata
 Penyebab anafilaksis yang dicurigai: makanan, obat-obatan, gigitan
serangga atau transfuse
 Onset setelah paparan agen penyebab (onset yang disebabkan oleh agen
penyebab yang diinjeksikan lebih cepat daripada yang dicerna)
 Penyakit penyerta (penyakit kardiovaskuler, asma dan penyakit saluran
nafas yang lain, rhinitis alergi, eksim, penyakit psikiatrik, mastocitosis)
 Obat-obatan lain yang dikonsumsi (ACE inhibitor, beta bloker)

Pemeriksaan Fisik
 Masalah yang mengancam jiwa:
a. Airway: edema saluran nafas, suara serak, stridor
b. Breathing: nafas cepat, wheezing, kelelahan, sianosis, SpO2<92%,
kebingungan
c. Circulation: pucat, dingin, tekanan darah turun, pingsan, mengantuk/coma,
takikardi atau nadi tidak teraba.
 Adanya urtikaria dan angioedema.

Pemeriksaan Penunjang
- Darah rutin
- Urin rutin
- Analisis Gas Darah

6. Diagnosa Banding
Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema
Pada reaksi sitemik berat:

21
1. Syok Hipovolemik
2. Syok Septik
3. Syok Kardiogenik
4. Syok Neurogenik
5. Hipoglikemia
6. Ketoasidosis
7. Dehidrasi

7. Diagnosis Kerja
Syok Anafilaksis

8. Tatalaksana
 Edukasi
- Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya
makanan, obat-obatan dan lain-lain.
- Jelaskan pada guru-teman, pengasuh, dan pada anak bahwa anak
tersebut menderita reaksi anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan
dan lain-lain.
- Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan tentang cara
pemakaiannya
 Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien mengalami
henti jantung-paru, harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.
 Adrenalin (epinefrin) 1: 1000 mg dosis 0,01 mg/kg intramuskuler maksimal
0,3 mg atau: >12 tahun: 5 mcg IM (0,5 mL); 6-12 tahun: 3 mcg IM (0,3 mL),
< 6 tahun: 150 mcg (0,15 mL)
 Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas bagian atas
karena edema
 Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang torniket proksimal dari
daerah suntikan atau tempat gig1tan tersebut
 Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, sesak atau
penderita dengan mengi.

22
 Difenhidramin: untuk mengurangi gejala gatal, kemerahan, angioedema,
urtikaria, gejala pada mata dan hidung, namun tidak dapat menggantikan
adrenalin karena tidak dapat mengurangi gejala obstruksi saluran nafas
atas, hipotensi dan syok dosis 1 mg/kg maksimum 50 mg.
 Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak: kristaloid 20 ml/kg
secepatnya
 Aminofilin
 Vasopresor
 Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada
penatalaksanaan akut reaksi anafilaksis, kortikosteroid berguna untuk
mencegah gejala berulang
 Pengobatan suportif

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi

Prognosis
Dubia

10. Referensi
- Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
- Sampson HA. Donald Y.M. Leung. Adverse Reactions to Drugs.
Chapter 151. Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
- Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

23
11. Algoritma

24
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1. Definisi
Purpura Henoch-Schonlein adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh
vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik
yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau artralgia, nyeri abdomen
atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.

2. Etiologi
Penyebab penyakit ini belum diketahui.
Faktor-faktor yang diduga berperanan: infeksi traktusrespiratorius bagian atas,
obat-obatan, makanan dan imunisasi.

3. Patofisiologi
Deposit kompleks imun yang mengandung IgA dan aktivasi komplemen dan
jalur alternatif mengakibatkan inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit,
ginjal, sendi, dan abdomen sehingga terjadi purpura dikulit, nefritis, artritis, dan
perdarahan gastrointeatinalis. Secara histologis tampak vaskulitis
leukositoklatik.

4. Bentuk Klinis
Manifestasi klinis yang khas adalah pada kulit, berupa : ruam
makuloeritematosa, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya trombositopenia,
terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100% kasus)
 purpura lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-
kuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
 Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan
ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
 Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.

25
 Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus
dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
 Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

5. Kriteria Diagnosis
Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong dan
ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau
perdarahan gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.
Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau
menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak
spesifik, jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat,
kadar komplemen normal, kadar IgA dalam darah limfosit yang
mengandung IgA mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung
darah. Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi
pada dinding pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri
komplikasi.

Anamnesis
Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas (terutama di
ekstremitas bawah)
Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi
Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya
Apakah ada BAK merah, nyeri kepala

Pemeriksaan Fisik
Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi purpura, tanpa
adanya trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian
bawah (pada 100% kasus)  purpura lambat laun berubah menjadi ungu,
kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren.
Gejala ini dapat disertai :
 Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan
ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,

26
 Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
 Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus
dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan purpura
yang disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia. LED dapat
meningkat.
2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA
dalam darah mungkin meningkat.
3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan
kreatinin klirens
4. Feses: ditemukan darah
Pencitraan:
Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos abdomen

6. Diagnosa Banding
Penyakit Kawasaki
Lupus eritematosus sistemik
Polyarteritis Nodosa
Urticarial vasculitis
ITP

7. Diagnosis Kerja
Purpura Henoch-Schonlein

8. Tatalaksana
Edukasi
Menjelaskan pada penderita/keluarga:

27
 Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus
 Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi
 Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal penurunannya,
efek samping dan cara memakan obat

Suportif dan simptomatis


 Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti Paracetamol (dosis: 10-
15mg/kgbb/x) atau ibuprofen (5mg-10mg/kgbb/x).
 Artritis ringan dan demam: ibuprofen atau parasetamol
 Nyeri perut: makanan lunak
1. Kortikosteroid
 Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2 mg/kg/hari
 diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran
cerna, purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif
(sindroma nefrotik, kerusakan glomerulus), edema jaringan lunak yang
hebat, gangguan SSP, dan perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 10-30mg/kgbb/hari (IV) diberikan
dalam D5% 100cc dalam 2 jam, selama 3hari hari + siklofosfamid
100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 1-2 mg/kgBB/hari (oral) selang sehari,
siklosfosfamid 100-200 mg selama 30-75 hari
- Dilakukan tappering off
 Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis: kortikosteroid oral
jangka pendek dosis 1-2 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 5-7 hari
kemudian diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu.
2. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.
3. Jika akut abdomen  konsul bedah.
4. Monitoring:
 Tekanan darah
 Nyeri perut, perdarahan saluran cerna
 Purpura/lesi kulit baru yang timbul
 Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses

28
9. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
 Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
 Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
 SSP : defiusit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu.
50% kasus dapat rekuren. Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.

10. Referensi
1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010

29
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai
satu atau lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah
dan jaringan ikat, bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.

2. Etiologi
Merupakan penyakit autoimun dengan berbagai faktor penyebab yang saling
berkaitan : faktor genetik, faktor endokrin, faktor obat dan faktor infeksi. Jika
salah satu faktor tidak ada, maka penyakit Lupus tidak akan muncul secara
klinis.

3. Patogenesis
Autoantibodi berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang
mengendap berupa depot dalam jaringan  terjadi antivasi komplemen, terjadi
reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.

4. Bentuk Klinis
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim
adalah :
 Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
 Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kukpu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapel
dengan squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai
cuping hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka,
periorbaita, frontal atau darah telinga luar.
- Lupus discoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).

30
- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota
gerak, kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
 Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
 Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas tangan,
tenosinovitis, artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
 Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Kalsifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial,
glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus,
glomerulonefritis membranosa.
 Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat
berhubungan dengan kelainan organik serebral.
 Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum,intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali.
Anemia: normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah
dapat disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan
hemostatis.
 Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi arterial.
 Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif.
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan :  terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, prankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi
diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat
(anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
 Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik.
Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool
Spots), papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan
penglihatan unilateral dan keratitis.

5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Demam (onset, tipe demam, riwayat pengobatan sebelumnya)
 Astenia

31
 Kelainan kulit:
- Onset
- Jenis ruam: butterfly rash, lupus diskoid lesi vaskulitis kulit fotosensitif,
alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
 Kelainan selaput mukosa : sariawan yang tidak nyeri
 Kelainan sendi: nyeri/ pembengkakan sendi
 Kelainan ginjal : edema, nyeri kepala, pandangan mata kabur, BAK merah
 Manifestasi neuropsikiatrik : kejang, penurunan kesadaran, perubahan
kesadaran
 Manifestasi hematologik: pucat, perdarahan
 Kelainan kardiovaskuler : sesak nafas
 Kelainan saluran nafas : sesak nafas, batuk darah
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan : nyeri perut, BAB hitam
 Riwayat pengobatan sebelumnya (bila ada), jenis obat yang dimakan,
keteraturan makan obat,

Pemeriksaan Fisik
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim
adalah :
 Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
 Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kupu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapular
dengan squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai
cuping hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka,
periorbita, frontal atau darah telinga luar.
- Lupus diskoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).
- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota
gerak, kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.

32
 Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
 Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas, tenosinovitis,
artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
 Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Klasifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial,
glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus,
glomerulonefritis membranosa.
 Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat
berhubungan dengan kelainan organik serebral.
 Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum, intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia:
normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat
disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan
hemostatis.
 Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi.
 Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif.
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan :  terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, pankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi
diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat
(anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
 Gangguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik.
Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool
Spots), papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan
penglihatan unilateral dan keratitis.

Pemeriksaan Penunjang
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
 Analisis darah tepi lengkap
 Sel LE
 antibodi Antinuklear (ANA)
 Anti ds DNA (anti DNA natif)

33
 Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll bila ada)
 Titer komplemen C3, C4 dan CH5
 Titer IgM, IgG dan IgA
 Krioglobulin
 Masa pembekuan
 Uji coombs
 Elekroforesis protein
 Kreatin dan ureum darah
 Protein urine (total protein dalam 24 jam)
 Biakan kuman, terutama dalam urine
 Foto rontgen dada.

Kriteria Diagnosis
Dasar Diagnosis:
Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling bayak
dianut adalah menurut American Rheumatology Association (ACR). Diagnosis
LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4
kriteria positif menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu
butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari
1. Eritema malar (Butterfly rash)
2. Lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
5. Artritis
6. Nefritis: proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
7. Ensefalopati, konfulsi, psikosis
8. Pleuritisatauperikarditis
9. Gangguan hematologi: sitopenia
10. Imunoserlogipositif : antibodyantidouble stranded DNA (anti dsDNA),
antibody antinuclearSm, sel LE, serologisifilis (positif palsu)
11. AntibodiAntinuklearpositif (ANA).

6. Diagnosa Banding

34
Tergantung gejala klinis yang pertama muncul:
ARJ
Demam tifoid
AIHA
Demam rematik

7. Diagnosis Kerja
Lupus Eritematosus Sistemik

8. Tatalaksana
Edukasi
Edukasi kepada penderita dan keluarga agar mengerti penyakit.
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat
pemakaian imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.

A. Obat-obatan sistemik (pilihan obat-obatan dibawah tergantung indikasi dan


ketersedian obat):
1. Anti inflamasi non steroid
Indikasi: manifestasi ke kulit, sendi. Pilihan:
a. Salisilat:
 75-90 mg/kg/hari peroral terbagi 3-4 dosis
 Diberi bersamaan makanan
 Meningkatkan SGOT & SGPT
 Kontraindikasi: trombositopenia, gangguan hemostasis
b. Naproksen: 10-20 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis
c. Sodium tolmetin: 20-30 mg/kg/hari dibagi 3-4 kali/ hari,
dilanjutkan 15-30 mg/kg/hari dibagi 3-4 kali/hari
d. Natrium diklofenak 2-3 mg/kg/hari

2. Kortikosteroid
Steroid merupakan obat pilihan utama pada penderita LES dengan
keterlibatan organ mayor

a. Prednison oral dosis rendah (0,5 mg/kg/hari)

35
 Diberikan 2/3 dosis pagi, 1/3 dosis siang interval 8 jam
 Untuk gejala konstitusional berat, demam berkepanjangan,
kelainan kulit, pleuritis, atau bersamaan dengan metil
prednisolon dosis tinggi
b. Prednison oral dosis tinggi (1-2 mg/kg/hari, max 68-80 mg/kg/hari
dibagi 3-4 dosis selama 4-8 minggu, dilanjutkan tappering off
selama 1-2 minggu)
 Untuk lupus fulminan akut, lupus nefritis akut yang berat,
trombositopenia (<50.000/mm3) tanpa perdarahan dan
gangguan koagulasi, lupus eritematosus kutan berat sebagai
bagian terapi inisial lupus diskoid
c. Metilprednisolon pulse
 Dosis 20-30 mg/kg/pulse (maksimal 1 gr) selama 3 hari berturut-
turut. Diulang setiap bulan selama 6 bulan.
 Digunakan untuk LES anak sedang sampai berat, lupus nefritis
sedang berat (WHO kelas III-V), lupus serebral, penyakit akut
yang tidak terkontrol steroid dosis tinggi oral, rekurensi aktif
yang berat, anemia hemolitik berat, trombositopenia berat
(<50.000/mm3) dan mengancam kehidupan.

3. DMARDs (Disease Modifying Drugs)


a. Metotreksat
 DMARDs yang juga sitostatika.
 Dosis 10-20 mg/m2 peroral sekali seminggu diberikan bersama
asam folat 1 mg/hari.
 Diberikan pada trombositopenia (trombosit <50.000/mm3) jangka
panjang setelah tercapai inisial metilprednisolon dosis tinggi,
poliartritis berat bila dosis rumatan kortikosteroid> 10 mg/hari, LE
kutan berat.

b. Hidroksiklorokuin
 Untuk dominan kelainan kulit/mukosa dengan atau tanpa artritis
dan gejala konstitusional

36
 Dosis 6-7 mg/kg/hari terbagi 1-2 dosis selama 2 bulan
dilanjutkan 5 mg/kg/hari (maksimal 300 mg/hari)
 Efek toksik ke retina (reversibel)  kontrol oftalmologi setiap 6
bulan

c. Azathioprin
 Indikasi : zat penghemat steroid
 Dosis anak : 1-3 mg/kg/hari

4. Imunosupresan
a. Siklofosfamid:
 Oral 1-3 mg/kg/hari
 Parenteral: awal 500-750 mg/m2LPT maksimum 1 g/m2/hari
 Pilih dosis terendah untuk leukopenia , trombositopenia,
kreatinin >2 g/dl) maksimum 1 g/m2/hari.
 Cara pemberian: bolus perinfus 150 ml larutan D5% dalam
NaCl 0,225% (D5 ¼ NS) selama 1 jam bersama hidrasi
2L/m2/hari perinfus selam 24 jam dimulai 12 jam sebelum
infus siklofosfamid.
 Pemberian parenteral diulangi setiap bulan dengan
2
peningkatan 250 mg/m /bulan sesuai dengan toleransi
selama 6 bulan selanjutnya tiap 3 bulan sampai 36 bulan total
pengobatan.
 Siklofosfamid biasanya digunakan bersamaan dengan
metilprednisolon pulse
b. Siklosporin A
 Indikasi : LES anak berat yang tidak respon terhadap
imunosupresif lain
 Dosis yang digunakan 2-4 mg/kg/hari.
c. Mycophenolate mofetil (MMF)
 Untuk induksi dan pemeliharaan remisi, khususnya pada
penderita lupus nefritis
 Dosis 600 mg/m2 peroral per 12 jam, tidak lebih dari 2 gram/hari.

37
5. IVIG ( intravenous immunoglobulin)
 Indikasi : LES dengan defisiensi imun disertai infeksi berat, lupus
nefritis berat yang refrakter terhadap steroid dan imunosupresan
 Dosis : 2 gr/kgbb (dosis tinggi) boleh dibagi dalam beberapa dosis.

B. Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Diberikan:
 betametason 0,05% atau
 flusinosid 0,05% selama 2 minggu selanjutnya hidrokortison

C. Fisioterapi
Diindikasikan bila ada artritis.

D. Supportif
1. Diet: setiap pemberian kortikosteroid terutama jangka panjang harus
disertai suplemen Ca dan vitamin D

2. Dosis kalsium :
 <6 bulan: 360 mg/hari
 6-12 bulan: 540 mg/hari
 1-10 tahun: 800 mg/hari
 11-18 tahun: 1200 mg/hari
3. Dosis vitamin D aktif (hidroksikolkalsoferol)
 BB<30 kg: 20 mcg peroral 3 kali/minggu
 BB>30 kg: 50 mcg peroral 3 kali/minggu

E. Pencegahan
1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari
 Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi: jam
09.00/10.00-15.00/16.00
 Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata
hitam

38
 Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24
2. Osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi
 Diet tinggi Ca
 Vitamin D adekuat
 Olahraga

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
 Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat
defisiensiimun, juga berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan
imunosupresan.
 Penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping antara lain atrofi
kulit, gangguan hormon, gangguan proses tumbuh kembang, katarak,
hiperglikemia dan lain-lain.
 Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.

Prognosis
 Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa
10 tahun sebesar 80%.
 Penyebab kematian  akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia
autoimun  infeksi.

10. Referensi
 Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus Eritematosus Sistemik.
Dalam: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 345-72.
 Klein-Gitelman MS. Miller ML. Systemic lupus erithematosus. Chapter
157. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

39
 Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010
 Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,Harmoniati
ED, Yuliarti K (ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid II. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesi.
2011. Hal: 175-83.

40
SINDROM STEVENS-JOHNSON (SSJ), NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK
(NET), SSJ-NET OVERLAP
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1. Definisi
Merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan trias kelainan
pada: kulit mukosa orifisium serta mata yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas atau kompleks imun.

2. Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun
terhadap obat. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema
multiforme yang berat dan disebut eritema multiforme mayor. Beberapa faktor
yang sering disebut sebagai penyebab SSJ di antaranya dapat dilihat pada tabel
1.

Tabel 1. Faktor Penyebab timbulnya sindrom Stevens-Johnson


Infeksi
Virus : Herpes simplex, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
Jamur : Koksidioidomikosis, Histoplasma
Bakteri : Streptokokus, Staphylococcus, Haemolyticus,
Mycobacterium tuberculosis, Salmonela
Parasit : Malaria
Obat Salisilat, Sulfa, Penisilin, Etambutol, Tegretol, Tetrasiklin,
Digitalis, Kontraseptif
Makanan Coklat
Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

41
3. Patogenesis
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas wlaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Pada biopsi kulit beberapa kasus
dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin, serta kompleks imun beredar
dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi
akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.

4.Bentuk Klinis
Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan bagian dari
severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan berdasarkan luas
permukaan tubuh (body surface area/BSA) yang terkena:
1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)
2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap (10-30%
BSA)
3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30% BSA)

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi
kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit

42
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula secara simetris
berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering
timbul perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau
mata sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang
meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi,
ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat
terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia dan pelepasan kuku.
b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan
vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian
atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran berwarna
putih atau keabuan yang menimbulkan kesukaran menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis,
irdosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat
dapat terjadi erosi dan perforasi kornea.
Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan
umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah,
diare, melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali
sampai pada penurunan kesadaran dan kejang.
Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat
berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi dapat terjadi
seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis, bronkopneumonia, nefritis,
poliartritis atau septikemia.

5.Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Gejala prodromal: demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada,
muntah, pegal otot dan atralgia.

43
Timbul ruam (lesi makula eritem) yang secara cepat berkembang menjadi
lepuh (vesikel, bula) pada bagian tubuh yang disertai lesi mukosa dan mata
Identifikasi faktor penyebab: infeksi sebelumnya/riwayat makan makanan
tertentu, riwayat pemakaian obat-obatan, imunisasi, dll.
Jarak waktu paparan faktor penyebab dengan timbulnya gejala (gejala dapat
timbul 8 minggu, biasanya 4-30 hari setelah paparan)

Pemeriksaan Fisik
Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan bagian
dari severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan berdasarkan luas
permukaan tubuh (body surface area/BSA) yang terkena:
1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)
2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap (10-30%
BSA)
3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30% BSA)

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk,
koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu
akan timbul lesi kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula, berupa lesi
kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul
perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau
mata sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang
meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi
erosi, ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit
dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia.
b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%),
kemudian disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung
dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat

44
ditemukan vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna
merah. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk
pseudomembran berwarna putih atau keabuan yang menimbulkan
kesukaran menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis.
Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak
mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat terjadi erosi
dan perforasi kornea.

Kelainan klinis SSJ/NET biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan


keadaan umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan
pernapasan, muntah, diare, melena, pembesaran kelenjar getah bening dan
hepatosplenomegali sampai padapenurunan kesadaran dan
kejang.Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat
berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya dengan faktor
penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin
dilakukan diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan darah tepi (Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil
total, LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada
hitung jenis eosinofil meningkat.
2. Elektrolit (Na,K) untuk melihat adanya gangguan elektrolit akibat
kehilangan cairan transdermal
3. Albumin, protein total, fungsi ginjal
4. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.
5. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila diragukan
gambaran klinisnya dapat dilakukann biopsi dan pemeriksaan
histopatologik untuk membedakan. Pada pemeriksan histopatologik dapat
ditemukan gambaran nekrosis epidermis sebagian atau menyeluruh,

45
edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit
yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan
imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin.
Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan
biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

6. Diagnosa Banding
Staphylococcus scalded skin syndrome
Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula
numular di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis, tetapi
selaput lender jarang dikenai.

7. Diagnosis Kerja
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), SSJ-NET
Overlap

8. Tatalaksana
Edukasi
 Harus dicegah kontak ulang dengan faktor penyebab
 Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang penderita

Tatalaksana
 Identifikasi dan segera hentikan pemakaian obat/makanan/agen yang
dicurigai sebagai faktor penyebab
 Rawat diruang rawat khusus (isolasi dari penderita lain), bila ada kegawatan
rawat di PICU
 Terapi cairan (jenis dan jumlah) dan elektrolit disesuaikan dengan luas
permukaan tubuh yang terkena dan kelainan elektrolit yang ada
 Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal dan tidak ada
kontrainidkasi seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari terbagi dalam dua dosis,
atau netromisin 4-6 mg/kgBB/hari.
 N-asetil sistein 10-20mg/kgBB/hari

46
 Nutrisi: pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa
oral kembali normal.
 Topikal :
Kulit : kompres NaCl 0,9%
Mulut : kumur-kumur antiseptik
Mata : lubrikasi dengan air mata buatan
salep mata yang mengandung antibiotika
 Transfusi (bila perlu)
 Konsultasi dengan bagian lain sesuai keadaan penderita (Mata, THT)

9. Komplikasi dan Prognosis


Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis,
mielitis, bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau septikemia.
Pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
dengan pengobatan terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar
antara 5-15%. Prognosis lebih buruk bila terdapat purpura yang luas. Kematian
biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis.

10. Referensi
 Akin AAP, Takumansang DS. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam:Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal 307-11
 Cantani A. Allergic and pseudoallergic reactions to drugs. Dalam: Cantani A.
Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Springerlink.Berlin 2008. 1166-
70.
 Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis).In: Wolff K, Goldsmith KA, Katz
KI, Gilchrest KA, Paller AS, Leffell DJ editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Book Co.2008.
349-55

47
 Morelli JG. Vesicobullous disorder. Chapter 653. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
 Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

48
HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus)
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1. Definisi
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus HIV, yang menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem
imun tubuh. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun seluler sebagai akibat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).

2. Etiologi
HIV yaitu virus yang tergolong dalam keluarga retrovirus sub kelompok lenti virus.
Ada 2 tipe yaitu HIV1 & HIV 2, yang walaupun strukturnya berbeda tapi gejala klinis
yang ditimbulkannya sulit dibedakan. Antibodi yang terbentuk dari kedua virus ini
dapat bereaksi silang.

3. Patogenesis
HIV  masuk sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel TCD4 dan
sel makrofag  terjadi penuruna jumlah dan gangguan fungsi sel TCD4 melalui
efek sitopatik langsung dan efek sitopatik tidak langsung.

Efek sitopatik langsung :


- Lisis & kematian sel TCD4 Yg terjadi karena proses replikasi virus dlm sel TCD4
- Penimbunan DNA virus yang teridak terintegrasi ke genom host
- Interaksi antara molekul Gp 120 HIV dan molekul CD4 intra sel
- Hambatan maturasi sel precursor TCD4 di dalam timus sehingga sel tersebut
berkembang menjadi matur, sehingga sel TCD4 perifer menurun

Efek sitopatik tidak langsung :


- Pembentukan sel sinsitia
- Apoptosis sel T reaktif
- Destruksi autoimun yang diinduksi HIV
- Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi sel
prekursor TCD4 sehingga jumlah sel TCD4 perifer berkurang

49
Cara penularan
Pada bayi dan anak, penularan HIV melalui ibu hanil yang mengidap HIV, dapat
juga terjadi intrapartum dan melalui ASI, transfusi darah yang mengandung HIV
atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV, jarums suntik
yang tercemar HIV dan hubungan seksual dengan pengidap HIV.

Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
- Bayi dari ibu dengan pasangan biseksual
- Bayi dari ibu dengan pasangan berganti-ganti
- Bayi dari ibu atau pasangannya penyalah guna obat intravena

- Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah berulang-ulang
- Bayi atau anak yang terpapar denagn alat suntik atau tusuk bekas yang tidak
steril

4. Bentuk klinis
Kalsifikasi klinis:
a. Klasifikasi CDC :
- kategori N : asimptomatik
- kategori A : simptomatik ringan
- kategori B : simptomatik sedang
- kategori C : simptomatik berat atau AIDS

b. Klasifikasi menurut WHO:


 1: asimptomatik
 2: ringan
 3: sedang
 4: berat

50
Klasifikasi Imunologis:

a. Berdasarkan CD4+
Imunodefisiensi CD4+ menurut umur
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln >5
(%) (%) (%) th(sel/mm3)
Tidak ada >35 >30 >25 >500
Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499
Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349
Berat <25 <20 <15 <200
atau<15%

b. Berdasarkan hitung limfosit total (TLC= total lymphocyte count)


Nilai TLC berdasarkan umur
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln ≥ 5 th
(sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3)
TLC <4000 <3000 <2500 <2000
CD4+ <1500 <750 <350 <200

5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Riwayat penyakit: demam berulang/ berkepanjangan, gagal tumbuh, diare
yang berkepanjangan, kandidiasis oral, pnemonia yang persisten, infeksi
bakteri berulang
 Faktor risiko orang tua untuk terinfeksi HIV: riwayat narkoba suntik, pasangan
penderita HIV, sering berganti pasangan, riwayat transfusi, riwayat pernah
mengalami operasi/tindakan, pekerjaan orang tua
 Riwayat kelahiran, ASI, riwayat pengobatan ibu, kondisi neonatal

Pemeriksaan Fisik
 Gejala awal tidak nyata, dapat hanya ditemukan limfadenopati,
hepatosplenomegali
 Gagal tumbuh

51
 Berat badan turun progresif
 Diare persisten
 Kandidiasis oral
 Otitis media kronik
 Pneumonia interstitial
 Pembengkakan parotis kronik
 Gejala infeksi oportunistik: tuberkulosis, herpes zooster generalisata,
pneumonia P. jiroveci (carinii) , pneumonia berat

Pemeriksaan Penunjang
 Penegakan diagnosis:
 usia <18 bulan:
- bila tersedia: PCR RNA (DNA)
- antibodi anti HIV dapat dilakukan untuk melihat apakah anak
terpapar HIV dari ibu diulang setelah anak berusia 18 bulan
 usia >18 bulan:
- antibodi HIV
- konfirmasi : westernblot atau PCR RNA/DNA (bila ada)
- pemeriksaan CD4+ untuk melihat status imunosupresi
 pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT, SGPT sesuai indikasi  untuk
melihat efek samping obat
 pemeriksaan infeksi oportunistik yang sering terjadi bersamaan dengan
infeksi HIV (TBC, hepatitis B dan C)
 pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan dll) dan konsultasi ke ahli terkait
disesuaikan dengan infeksi oportunistik.

Diagnosis presumptif (dicurigai) HIV pada anak < 18 bulan:


- Bila ada 1 kriteria berikut:
 Pneumonia P jirovecii, mengitis kriptokokus, kandidiasis esofagus.
 Toksoplasmosis
 Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar
ATAU

52
- Minimal 2 gejala berikut:
 Oral thrush
 Pneumonia berat
 Sepsis berat
 Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang
lanjut pada ibu
 CD4+ <20%
Dasar diagnosis
- anamnesis adanya faktor risiko tertular HIV
- gambaran klinis menunjukkan penurunan kekebalan
adanya antibodi IgG spesifik HIV

6. Diagnosa Banding
Imunodefisiensi primer

7. Diagnosis Kerja
HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus)

8. Tatalaksana
Penilaian:
a. Nilai status nutrisi, pertumbuhan dan kebutuhan intervensinya
b. Nilai status imunisasi dan berikan imunisasi yang sesuai
c. Nilai tanda dan gejala infeksi oportunistik (IO) dan pajanan TB. Bila dicurigai
terdapat IO, lakukan diagnosis dan pengobatan sebelum mulai ART
d. Lakukan penilaian stadium HIV
e. Identifikasi obat-obatan lain termasuk obat tradisional karena mungkin dapat
beinteraksi dengan obat ARV
f. Lakukan penilaian stadium imunologis, bila CD4+ tidak tersedia dapat
dipakai TLC
g. Nilai apakah anak memenuhi kriteria pemberian ART. Indikasi pemberian
ART (menurut WHO 2010)
usia Stadium klinis Imunologis /CD4+
<24 bulan Semua diterapi

53
>24 bulan Stadium 3 dan 4 Semua diterapi
(tangani dulu IO)
Stadium 1 dan 2 CD4+ <25%: terapi
h. Nilai situasi keluarga :
 Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediannya untuk
mematuhi pengobatan dan pemantauan pada anak terutama ART
 Nilai pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya
serta informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga
Indikasi rawat:
 Gizi buruk
 Infeksi berat/sepsis
 Pneumonia
 Diare kronis dengan dehidrasi

Rekomendasi ART
Regimen lini pertama yang direkomendasikan 2 Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI) ditambah 1 Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor:
a. Anak usia < 3 th:
 Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
 Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP)
b. Anak usia ≥ 3 th:
 Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau efavirenz
(EFV)
 Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP) atau efavirenz (EFV)
Nama obat Dosis
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
Zidovudine (AZT) Usia <4 minggu: 4 mg/kg/dosis 2 kali sehari
(tab 300 mg) Usia 4 minggu-13 tahun: 180-240 mg/m2/
dosis 2x sehari
Max 300 mg/dosis 2x sehari ATAU
6-7 mg/kgBB/ dosis tiap 12 jam = 160
mg/m2/dosis
Lamivudine (3TC) <30 hari: 2 mg/kg/dosis 2x/hari

54
(tab 150 mg) >30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis 2x hari
Max 150 mg/kg/dosis 2 x hari
Stavudine (d4T) BB <30 kg: 1 mg/kg/dosis 2x sehari
Cap: 15 mg, 20 mg, BB> 30 kg: 2 mg/kg/dosis 2x sehari
30 mg, 40 mg
Syr 200 cc: 1 mg/ml
Non Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
Nevirapin (NVP) 2 mgg I: 5 mg/kgBB sekali sehari (max 200
mg)
Tab 200 mg 2 mgg II: 5 mg/kgBB/ dosis (2x sehari)
Selanjutnya: 7 mg/kgBB/dosis (2x sehari)
untuk anak < 8 th
Untuk anak >8 th: =dewasa
Efavirenz (EFV) 10-15 kg: 200 mg 1x sehari
Cap: 50mg, 15-<20 kg: 250 mg 1x sehari
100 mg, 200 mg 20-<25 kg: 300 mg 1x sehari
600 mg 25-<32,5 kg: 350 mg 1x sehari
32,5-<40 kg: 400 mg 1x sehari
Profilaksis Pneumonia P. jirovecii: cotrimoxazole 5 mg/kgBB/hari sekali sehari;
terapi PneumoniaP. jirovecii 15 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 21 hari

Pemantauan
 Pemantauan anak terinfeksi HIV yang belum terindikasi pemberian ARV
Item dasar Bulan Bulan Bulan Bulan Tiap
1 2 3 6 6
bln
Evaluasi klinis X X X X X X
BB&TB X X X X X X
Status nutrisi & X X X X X X
kebutuhannya
Kebutuhan CTX & X X X X X X
kepatuhan berobat
Konseling mencegah X X X

55
pemakaian narkoba,
penularan PMS &
kehamilan
Pencegahan IO dan X X X X X X
pengobatan
Laboratorium
Hb dan leukosit X X
SGPT X
CD4+% atau absolut X X

 Pemantauan anak terinfeksi HIV telah mendapat ARV


Item dasar Bulan Bulan Bulan Bulan Tiap 2- Bila
1 2 3 4 3 ada
bulan gejala
Evaluasi klinis X X X X X X X
BB &TB X X X X X X
Perhitungan X X X X X X
dosis ART
Obat lain X X X X X X
bersamaan
Kepatuhan X X X X X
minum obat
Laboratorium
Hb dan X X
leukosit
Kimia darah X
lengkap
Tes X X
kehamilan
pada remaja
CD4+% X X X

56
9. Edukasi
Pencegahan penularan HIV:
 Menghindari tingkah laku seksual yang menyimpang pada anak remaja
 Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV
 Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar
 Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi tertular
HIV tidak dijadikan donor.
Edukasi pada orang tua/ wali/ keluarga di rumah:
 Kegagalan pengobatan seringkali disebabkan karena ketidakpatuhan dalam
pemberian ARV sehingga penting sekali bagi orangtua untuk memastikan
ARV dimakan setiap hari sesuai jadwal
 Pentingnya datang kontrol untuk pemantauan gejala klinis
 Mencegah terjadinya infeksi (makan obat profilaksis secara teratur,
menghindari orang yang terkena infeksi)
 Pemberian nutrisi yang cukup
 Imunisasi

10. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
 Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial pneumonitis (LIP),
gangguan susunan saraf pusat, gangguan pertumbuhan dan endokrinologi,
gangguan gastrointestinal dan nutrisi, manifestasi hematologis dan
keganasan.
 Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus protozoa, jamur
dan infeksi pneumonitis karnii.
 IRIS (immune reconstitution inflammation syndrome) terjadi 2-12 minggu
setelah memulai ART akibat meningkatnya kemampuan respon imun/
pemulihan sistem imun.

Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak
diagnosis AIDS ditegakkan.

57
11. Referensi
 Matondang CS, Kurniati. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam: Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 378-414
 Yogev R, Chadwick EG . Acquired Immunodeficiency Syndrome
(Human Immunodeficiency Virus). Bab 273.Dalam: Behrman N, Kliegman
Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB
Saunders Co 2008.
 Suyoko EMD, Sari DY. Gambaran klinis dan diagnosis HIV pada bayi dan
anak. Dalam: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D.
HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Unit Pendidikan Kedokteran Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan FK UI. Jakarta 2009
 Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED, dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jilid 2.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
 Depkes RI. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi anti retroviral pada
anak di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.

58
DERMATOMIOSITIS JUVENIL
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia

1.Definisi
Penyakit autoimun sistemik berupa vaskulopati pembuluh darah kecil yang sering
melibatkan sistem otot dan kulit, meskipun dapat melibatkan organ lain seperti
sendi, saluran pencernaan, paru paru, jantung, dan organ internal lainnya.

2.Etiologi
 Genetik
 Imunitas humoral dan selular
 Stres Retikulum endoplasmik
 Imunitas bawaan

3.Patogenesis
JDM disebabkan angiopati autoimun. Serangan imun padaendotelium kapiler otot,
infiltrasi sel dendritik plasmasitoid dengan yang dihasilkaninterferon respon tipe I,
dan peningkatan regulasi major histocompatibility (MHC)ekspresi kelas I pada
permukaan myofibers merupakan penyebab patogenesis utama.Aspek patogen dari
JDM sebagian besar identik dengan dermatomiositis dewasa,kecuali peristiwa
patogenesis utama, termasuk vaskulopati, tipe I interferon respon,dan peningkatan
regulasi MHC kelas I, tampak lebih menonjol pada JDM. Kejadianapoptosis otot
juga belum terlihat pada miositis dewasa. Sedangkan polymyositis, sebagian besar
sel-CD8 + T dan myeloid sel- dendritik menyerang pada myofibersnonnecrotic,
dengan melepaskan perforin sitotoksik dan butiran granzim B yangmemediasi
kematian sel otot. Polymyositis tidak memberi respon interferon yangmenonjol
dalam otot atau serum, dan infiltrasi sel dendritik oleh myeloid nonplasmasitoid.

4.Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Eritema (rash) dan papula pada permukaan ekstensor alat gerak
 Kelamahan proksimal anggota gerak

59
 Gejala sistemik lainnya: demam, malaise,anoreksia,penurunan berat badan,
nyeri perut, iritabilitas
 Riwayat infeksi virus sebelumnya

Pemeriksaan fisik
Gambaran yang khas heliotrope rash dan Gottron”s papul di permukaan ekstensor
alat gerak
Kelamahan proksimal anggota gerak
Gejala sistemik lainnya: demam, malaise,anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
perut, iritabilitas

PemeriksaanPenunujang
 Darah Perifer Lengkap
 Transaminase (SGOT), kreatinin kinase (CPK), aldolase, dan laktat
dehidrogenase (LDH).
 Elektromiogram otot yang terkena
 Roengenogram dapat mengungkapkan adanya endapan kalsium pada jaringan
lunak

5.Diagnosis Banding
Artritis Reumatoid Juvenile
Morbus Hansen

6.Diagnosis Kerja
Dermatomiositis juvenille

7.Tatalaksana
Edukasi
1. Meyakinkan penderita/keluarga: untuk melakukan fisioterapi intensif dapat
membantudalam menjaga dan memulihkan kekuatan otot
2. Gunakan perlindungan dari sinar untuk kulit.

60
1. Terapi lini pertama *
 Prednisone 1-2 mg/kgBB/hari peroral
 Methylprednisolon intravena 10-30 mg/kg/pulse
 Metroteksat 0,4-1 mg/kgBB/minggu atau15 mg/m2
 Terapi adjuvant :
o Hidroksiklorokuin 3-6 mg/kgBB/hari peroral
o Terapi fisik
o Fotoproteksi
o Terapi topical untuk rash pada kulit
o Calsium dan vitamin D untuk perlindungan tulang
2. Terapi lini kedua
 Gammaglobulin intravena 1-2 gm/kg/bulan
 Ciklosporin 2,5- 7,5 mg/kg/hari b.i.d
 Azathioprin 3-5 mg/kgBB/hari
 Kombinasi obat obat di atas
3. Terapi lini ketiga
 Ciklospospamid 500-1250 mg/m2/bulan intravena pulse
 Micophenolate mofetil 30-40 mg/kg/hari p.o dibagi b.i.d
 Tacrolimus 0,1-0,25 mg/kgBB/hari p.o dibagi b.i.d
 Rituximab
 Antitumor nekrosis factor alpa agent
 Kombinasi terapi terapi diatas

*
) Terapi lini pertama merupakan obat yang sering digunakansebagai terapi
inisialpada dermatomiositis juvenile.Sedangkan terapi lini kedua dan ketiga sering
digunakan pada pasien dengan gejala klinis refrakter, gambaran klinis berat, atau
tidak dapat menerima efek samping obat.

8.Komplikasi dan Prognosis

9.Referensi
1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal 224-34

61
2. Martin N, Li L C.Juvenile Dermatomyositis : New Insight and New Treatment
strategies.

62

Anda mungkin juga menyukai