1. DEFINISI
Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah erupsi kulit
yang menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna merah, bagian
tengah pucat, memucat bila ditekan, disertai rasa gatal, dapat berlangsung akut,
khronik atau berulang.
Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) = urtikaria
lesi jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas, tidak gatal, sering
dengan rasa nyeri dan terbakar.
Urtikaria (U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kualitas hidup
penderita
2. ETIOLOGI
Mekanisme imun
Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, II &
III.
Fisik
a. Dermatografia (writing on the skin)
b. Urtikaria dingin
c. Urtikaria kolinergik
d. Urtikaria panas
e. Urtikaria solar
f. Urtikaria& angioedema tekanan
g. Angioedema getar
1
h. Urtikaria akuagenik
Miscellaneous
a. Urtikaria Papular
Etiologi : gigitan serangga (nyamuk, lebah, dll)
Pruritus bifasik : popular wheal
Reaksi hipersensitivitas tipe I & IV
b. Urtikaria pigmentosa
c. Mastositosis sistemik
d. Infeksi disertai urtikaria
e. Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya
Penyakit vaskuler kolagen
Keganasan
Ketidakseimbangan sistem endokrin
f. Faktor psikogenik
g. Urtikaria& angioedema idiopatik
3. PATOGENESIS
Sel mediator mediator2 (histamin) :
- Dilatasi pembuluh darah eritema
- Peningkatan permeabilitas kapiler edema (eksudasi cairan & sel)
saraf perifer kulit gatal
- Pembuluh darah subkutan
Degramulasi sel mediator
Degranulasi sel mast kutan / sub kutan
- Dilatasi kapiler eritema
- peningkatan permeabilitas kapiler ekstravasasi cairan & sel (eosinofil)
edema lokal, gatal
- Vaskuler subkutan angioedema (periorbita & perioral)
Histologis : degranulasi sel mast kutan / subkutan pelepasan
mediator2 (histamin, lekotrin) dilatasi pembuluh darah dermal /
subdermal dgn infiltasi sel-sel perivaskular terutama eosinofil
Histamin reseptor H pd organ sasaran (H1, H2, H3& H4)
2
4. BENTUK KLINIS
Urtikaria akut lebih sering pada bayi / anak
Ukuran, jumlah bervariasi
Papul udematous, datar, merah muda/terang, 2-5 mm papul atau plak
batas tegas, datar beberapa lesi berkonfluensi plak dgn tepi polisiklik
Gatal selalu ada
Bayi :
- Gatal tidak terlalu berat
- Urtikaria purpurik (urtikaria hemorhagik) bayi & anak kecil DD
vaskulitis
Angioedema:
Udema subkutan & atau submukosa
Ekstremitas, bibir, palpebra, genitalia, saluran cerna (abdomen) & faring
5-10 % bayi & anak + urtikaria
Menghilang < 2-3 hari, jarang disertai gatal
A berulang tanpa U HAE atau AAE
Lesi A + U
- Sementara dari waktu ke waktu
- Beberapa lesi menghilang, dapat timbul lesi baru khronik
- Bayi & anak lesi menghilang dalam beberapa hari
Anafilaktik idiopatik
- U / A akut, luas, Wheezing, hipotensi, mual, muntah, tanda-tanda aritmia
jantung
5. KRITERIA DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Onset: berulang/lamanya (durasi), lokasi
Ditanya mengenai faktor pencetus
Makanan, Obat-obatan, zat aditif, hobi
Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis
Faktor-faktor eksaserbasi serangan
Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain
3
PEMERIKSAAN FISIK
Gambaran yang khas, bentuk lesi tipe urtikari linier (dermografisme), Urtika
kecil dikelilingi daerah eritem (urtikaria kolinergik), pada ekstremitas inferior
(urtikaria vaskulitis, papular urtikaria), terbatas pada daerah paparan (urtikaria
dingin/ solar)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Pemeriksaan dasar Tes berdasarkan kondisi tertentu:
Darah perifer lengkap Jika dicurigai vaskulitis :
Antinuclear antibody
LED Biopsi kulit
Urinalisis CH50
Fungsi hati Jika fungsi hati tidak normal:
Pemeriksaan serologis untuk hepatitis
virus
Fungsi tiroid dan
autoantibodi
Anti-FceR autoantibody
(bila ada)
Riwayat U. fisik test yang sesuai
Kondisi Test
Urticaria kolinergik Latihan , mecholyl challenge
Dermografisme Menggosok atau menggaruk kulit
Solar urticaria Paparan ke sinar matahari terkontrol
Cold urticaria Ice challenge
HAE (hereditary angioneurotic edema) periksa kadar C4, C1 INH (antigenik &
fungsional)
4
6. DIAGNOSA BANDING
Urtikaria Anak : Angioedema:
Eritema multiforme Selulitis
Urtikaria pigmentosa Erisipelas
Gigitan serangga Dermatitis kontak
Eritema Anulare SLE
Infantile Acute Hemoragic edema Kasus bedah abdomen
Purpura Henoch Schonlein, Reaksi anafilaktik laring
pitriasis rosea
7. DIAGNOSIS KERJA
Urtikaria
8. TATALAKSANA
a. Edukasi
Meyakinkan penderita/keluarga:
U/A remisi spontan ( hari, bulan, tahun)
U /A tidak menyebabkan cacat
U/A dapat dikontrol dengan satu atau kombinasi obat-obatan
b. Eliminasi kenali dan hindari faktor pencetus dan faktor-faktor yang
mengeksaserbasi serangan
c. Adregenik
Diberikan pada urtikaria/angioedema yang luas/meluas dengan cepat,
terdapat distres pernafasan
adrenalin (1:1000) dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum
0,3 ml) dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat reseptor
histamine H1
d. Antihistamin:
antihistamin H1generasi I:klorfeniramin maleat (ctm): 0,35 mg/kg/hari
boleh diberikan setiap 6-8jam
antihistamin H1 generasi II:cetirizine 0,25 mg/kg/hari sekali sehari
antihistamin H2 : untuk membantu aktivitas antihistamin H1, simetidin 5
mg/kg/kali 3x sehari
5
e. Tabir surya urtikaria solar (panjang gelombang 285-320 nm)U. dingin
hindari mandi/ berenang di air dingin
f. HAE : Hindari faktor eksaserbasi: panas, aktivitas, aspirin, alkohol
g. Kortikosteroid Untuk urtikaria/angioedema yamg berat dan diberikan bila
tidak memberikan respon yang baik dengan obat-obat diatas
Prognosis
Baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat
10. REFERENSI
1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal 224-34
2. Leung DYM, Dreskin SC. Urticaria (Hives) and Angioedema. Dalam:
Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18.
Philadelphia WB Saunders Co. 2008.
3. Leung DYM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
6
ALERGI MAKANAN
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia
1. DEFINISI
Adalah suatu kumpulan gejala yang melibatkan banyak organ dan sistem tubuh
yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, berupa reaksi
imunologik yang menyimpang yang merupakan kombinasi keempat tipe
hipersensitivitas menurut Gell dan Comb’s.
2. ETIOLOGI
Terdapat 3 faktor penyebab alergi makanan, yaitu:
Faktor genetik
Anak yang salah satu orang tuanya atopi, kemungkinan terjadinya alergi 17-
29%. Bila kedua orang tuanya atopi kemungkinan alergi 53-58%. Anak dengan
HLA-BB cenderung mendapat alergi.
Faktor Imaturitas usus
-Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen kedalam tubuh
-Secara kimiawi:asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan
denaturasi alergen
-Secara imunologik SIgA pada permukaan mukosa dan limposit pada lamina
propia dapat menangkal alergen masuk kedalam tubuh.
Pajanan alergen
-dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan
-pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi
-eleminasi telur, susu dan ikan pada ibu menyusui selama 3 bulan pertama
mengurangi sensitivitas selam 3 bulan berikutnya dan menurunkan dermatitis
atopik 6 bulan berikutnya.
-pajanan alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma kehidupan
setempat
-faktor pencetus bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya
gejala alergi, dapat berupa faktor fisik, faktor psikis atau beban latihan
7
3. PATOGENESIS
Makan→ pajanan alergen→gangguan integritas mukosa usus→absorpsi
molekul alergen (protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul
>18.000 dalton, tahan panas, tahan enzim proteolitik)→ pada orang yang
sensitif→reaksi alergi yang muncul dapat berupa saatu atau lebih reaksi.
Reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat
Reaksi lambat terdapat 4 kemungkinan, yaitu:
1. reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambaT
2. reaksi hipersensitivitas tipe II
3. reaksi hipersensitivitas tipe III
4. reaksi hipersensitivitas tipe IV
5.
4. BENTUK KLINIS
Bervariasi berdasarkan target organ:
Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring, sembab
tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung, mencret, perdarahan
usus, protein- losing enteropathy.
Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk kronik
berulang
Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atu dermatitis atopik
Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, berupa:
-anafilaksis yang diinduksi makanan
-anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan (food
dependentexercise inducedanaphylaxis gejala anafilaksis timbul setelah
makan suatu alergen dan kemudian diikuti latihan fisik.
5. KRITERIA DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Anamnesis tergantung pada daya ingat penderita/orang tua tentang gejala, dan
kemampuan pemeriksa untuk membedakan antara gangguan yang disebabkan
oleh hipersensitivitas terhadap makanan atau etiologi lain.Anamnesis riwayat
perjalanan penyakit meliputi:
Jenis makanan yang dicurigai dan jumlah makanan yang dikonsumsi.
8
Interval waktu antara mengasup makanan yang dicurigai dan munculnya
gejala.
Jenis gejala yang ditimbulkan setelah mengasupmakanan tersebut
Riwayat Atopi pada pasien & keluarganya.
PEMERIKSAAN FISIK
Kulit kering, urtikaria, dermatitis atopic
Allergic shinner’s, nasal crease, lidah khas geographic, pucat pada mukosa
hidung dan gangguan bernapas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis dapat didukung melalui pemeriksaan:
uji kulit dapat dilakukan uji gores (scratch test), uji suntik intra dermal (intra
dermal test), dan uji tusuk (prick test)
darah tepi: eosinofil >5% atau >500/ml, cenderung alergi. Jika leukosit <
5000/ml disertai neutropenia<30% sering ditemukan pada alergi makanan.
hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemui pada susu sapi
pemeriksaan IgE spesifik (RAST) hanya dikerjakan atas indikasi saja
6. DIAGNOSIS BANDING
a. Penyakit Infeksi pada organ yang sama
b. Penyakit alergi karena penyebab lain
7. DIAGNOSIS KERJA
Alergi Makanan
8. TATALAKSANA
Edukasi
9
- Hindari makanan penyebab alergi
- Pada alergi makanan tertentu seperti susu sapi dan telur boleh dicoba
kembali setelah eliminasi 6 bulan – 1 tahun, karena dapat terjadi grow
out dengan bertambahnya usia.
Pengobatan simptomatis ditujukan pada manifestasi klinisnya (urtikaria,
diare, rinitis, asma, angiodema, anafilaksis, dll)
- Urtikaria, pruritus, eritema dan rinitis diberikan antihistamin peroral,
dipakai hidroksizin dosis 1 mg/kgbb 2 kali sehari, atau dipenhidramin 1
mg/kgBB 4 kali sehari.
- Jika kelainannya cukup luas dan timbulnya cepat seperti angioedema ,
mula-mula diberikan HCI epinefrin (adrenalin) larutan 1:1000 dengan
dosis 0,01 cc/kgBB subkutan (max. 0,3 cc). Jika perlu diulang sampai 2
kali selang 15 menit, kemudian dilanjutkan antihistamin peroral.
- Jika terjadi sitopenia atau vaskulitis diberikan kortikosteroid, dosis 1-2
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Jika klinis telah membaik ditapering secara
sepat, biasanya 3 hari.
- Jika terjadi asma bronkial, diberikan bronkodilator (seperti teofilin,
salbutamol) SP asma bronkial.
- Anafilaksis :
Penatalaksanaan penderita anafilaksis : Penderita dibaringkan terlentang,
kepala dalam posisi ekstensi , jika perlu oksigen. Beri adrenalin 1:1000, dosis
0,01 cc/kgBB/kali IM
Jika terjadi obstruksi jalan nafas dipasang alat nafas buatan (Gudel) atau
trakeostomi. Tanda-tanda vital dimonitor terus (TD, Nadi, RR).
Jika tidak ada perbaikan tanda-tanda vital (TD masih rendah) pasang IVFD
dengan Ringer laktat atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%, dikocor
Bronkospasme dihilangkan dengan memberi aminofilin 3-4 mg/kgBB IV
(pelan-pelan, diencerkan dulu).
Untuk menekan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat diberi hodrokortison
7-10 mg/kgBB I.V, dilanjutkan 5 mg/kgBB (tiap 6 jam I.V).
Pengobatan selanjutnya ditujukan pada komplikasi yang terjadi jika perlu
dirawat di ICU.
10
9. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi
Failure to thrive
Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik
Prognosis
Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan
Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun, 50-80% organ
sasaran akan berpindah, manifestasi alergi berubah menjadi rinitis alergika
dan asma
Alergi makanan yang mulai timbul pada usia 3 tahun, prognosisnya lebih
baik 40% mengalami grow-out
Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun keatas cenderung untuk
menetap.
11
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia
1. Definisi
Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit reumatik
yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.
2. Etiologi
Penyebab pasti ARJ masih belum diketahui. Beberapa faktor etiologi berperan
dalam munculnya ARJ, antara lain faktor : infeksi, autoimun, trauma, stres dan
faktor imunogenetik.
3. Patogenesis
Patogenesis ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis penyakit kompleks
imun dari penyakit autoimun: autoantigen (agregat IgG dan antigen sinovia)
pengaruh beberapa rangsangan (faktor imunogenetik, kalainan makanisme sel
T supresor, reaksi silang antigen dan berbagai penyebab lain seperti virus)
akan memproduksi autoantibodi
12
Tahap lanjut
Fase kronis, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan
respon imun selular karakteristik artritis rematoid kronik, adanya kerusakan
tulang rawan, ligamen, tendo dan kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan
oleh produk enzim dan pembentukan jaringan granulasi akibat aktivitas sistem
imun selular. Sel limfosit, makrofag dan sinovia dapat mengeluarkan berbagai
macam sitokin seperti kolagenase, prostaglandin serta plasminogen yang
akan mengaktifkan sistem kalikrein dan kinin-bradikinin. Produk-produk ini
akan menimbulkan reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan.
4. Bentuk Klinis
Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi, terbanyak pada
sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi lutut, pergelangan kaki
dan siku.
Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya mengenai
sendi besar) terutama didaerah tungkai.
Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak tunggal
atau ganda > 39 0 C selama 2 minggu atau lebih muncul artritis. Biasanya
disertai kelainan sistemik berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral
(hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).
6. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
1. Usia onset penyakit < 16 tahun
2. Gejala artritis (pembengkakan atau efusi, adanya 2 atau lebih: keterbatasan
gerak, nyeri, atau nyeri saat digerakkan dan perabaan hangat) pada satu
atau lebih sendi
3. Lama penyakit > 6 minggu
4. Jumlah sendi yang terkena:
13
Poliartritis: ≥5 sendi
Oligoartritis < 5 sendi
Sistemik: gejala artritis dengan adanya demam
5. Gejala lain : nafsu makan menurun, BB turun, bila penyakit berat terjadi
gangguan tidur di malam hari akibat nyeri
6. Nyeri sendi tidak berpindah, sendi jarang terlihat merah
7. Terdapat kekakuan sendi pada pagi hari
Pemeriksaan Fisik
Sendi yang terkena teraba hangat dan biasanya tidak terlihat eritem
Adanya paling sedikit 2 dari gejala inflamasi sendi:
gerakan sendi yang terbatas,
nyeri/sakit pada pergerakan dan
panas
Pembengkakan kelenjar getah bening
Radang pada mata
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium:
Darah perifer lengkap:
o Tergantung derajat peradangan sistemik atau persendian, bisa
ditemukan peningkatan leukosit, trombosit, LED dan penurunan Hb dan
MCV
CRP
Anti nuclear antibody (ANA): positif pada 40-85% anak ARJ oligoartritis dan
poliartritis tetapi biasa ditemukan positif pada tipe sistemik
Rheumatoid factor
Pemeriksaan radiologi: tidak rutin, dilakukan pada kasus dimana terjadi
pembengkakan sendi yang nyata
Peradangan jaringan ikat lunak, osteoporosis regional
14
7. Diagnosis Banding
- Demam rematik akut
- Lupus eritematosusu sistemik
- Keganasan
7. Diagnosis Kerja
Artritis Reumatoid Juvenil
8. Tatalaksana
Edukasi
Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ tipe
oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi hidroksi
klorokuin.
Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi
dilakukan fisio terapi di bagian URM.
Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas,
memperbaiki pergerakan sendi.
15
Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam
sesuai kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari untuk mengontrol
nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik (pemberian > 10 hari
memerlukan pengawasan yang ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama
karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.
16
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari) selama 3
bulan, kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3
bulan, sampai maksimum10 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi
selama 3 bulan. Dosis rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi bersama
makan, jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak ada keluhan
dosis diturunkan perlahan-lahan sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat
digunakan beberapa tahun.
Kortikosteroid : diberikan jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan
untuk pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler. Penyakit
sistemik yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal,
jika keadaan lebih berat dosis terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis
diturunkan pelan-pelan, kemudian stop.
Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan dipakai
metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons tidak adekuat setelah
8 minggu pemberian, dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama
pengobatan adekuat 6 bulan.
Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid dan
klorambusil.
Prognosis
70-90% sembuh tanpa kecacatan. 10% dapat terjadi cacat sampai dewasa.
Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.
17
Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis, atau disertai
uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid
dan faktor reumatoid positif.
Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan gagal
ginjal akibat amilodosis serta infeksi.
10. Referensi
Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati
N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke
2. Jakarta. 2008. Hal: 332-44.
Miller ML, Cassidy JT. . Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010.
18
SYOK ANAFILAKSIS
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia
1. Definisi
Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset
mendadak dan biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol, kemerahan,
gatal, angioedema, stridor, wheezing, nafas pendek, muntah, diare atau syok
yang mengancam kehidupan.
2. Etiologi
Makanan (merupakan penyebab tersering), Sengatan lebah atau
serangga,Obat-obatan,Karet lateks
Makanan yang sering menyebabkan anafilaksis:Kacang tanah, Ikan laut /
sea food, Kerang, Telur, Susu, Biji-bijian
Obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis atau anafilaktoid:
Antibiotik (khususnya penisilin), Obat anestesi intravena, Aspirin, NSAID,
Kontras media intravena, Analgetik opioid
3. Patogenesis
Individu terpapar kembali dengan antigen yang pernah kontak sebelumnya.
Antigen tersebut berikatan silang dengan molekul IgE spesifik yang
terikat pada sel mast dan basofial.
Sel mast dan basofil teraktifasi dan mengalami degranulasi
Kemudian melepaskan Mediator yang terkandung didalam granulanya
seperti histamin, faktor kemotaksis eosinofil (ECF), faktor kemotaksis
netrofil (NCF) dan triptase. Selain itu terbentuk mediator baru seperti
prostaglandin dan Leukotrin.
Mediator histamin ini beraksi pada reseptor histamin pada organ
menyebabkan produksi mukus, pruritus, peningkatan permeabilitas
vaskuler, konstriksi otot polos dan lain-lain yang menyebabkan gejala
anafilaksis
19
4. Bentuk Klinis
Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus dimonitor
status respirasi dan kardiovaskuler
Kulit
Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis, pilor erecti
Reaksi lokal
Oral
Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan lidah, rasa seperti
logam di mulut
Saluran Nafas (organ syok utama)
Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia, disfonia, serak,
batuk kering, gatal pada saluran telinga luar
Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam, wheezing
Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin
Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan saluran nafas atas
Stridor bila saluran atas terkena
Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian terbanyak
Kardiovaskuler
Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi
Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh darah
Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume intravaskuler dan
hipotensi
Gastrointestinal
Mual, kolik, muntah, diare
5. Kriteria Diagnosis
1. Penyakit yang timbul mendadak (beberapa menit-jam) yang melibatkan kulit,
jaringan mukosa atau keduanya (misal: urtikaria generalisata gatal atau
flushing pembekakan bibir - lidah – uvula)
Atau
2. Dua atau lebih gejala yang terjadi setelah pajanan alergen atau pencetus
yang paling mungkin untuk pasien tersebut
Atau
20
3. Tekanan darah (TD) menurun setelah pajanan alergen yang diketahui
menyebabkan alergi pada pasien (menit- beberapa jam)
Anamnesis
Terdapat berbagai gejala yang timbul mendadak: gelisah, lemah, pucat,
sesak, pingsan, mual, muntah, nyeri perut, suara serak, sesak nafas, batuk
kering, pilek, hidung tersumbat, mengi, gatal pada mulut dan muka, timbul
bentol di kulit, pembengkakan pada mata
Penyebab anafilaksis yang dicurigai: makanan, obat-obatan, gigitan
serangga atau transfuse
Onset setelah paparan agen penyebab (onset yang disebabkan oleh agen
penyebab yang diinjeksikan lebih cepat daripada yang dicerna)
Penyakit penyerta (penyakit kardiovaskuler, asma dan penyakit saluran
nafas yang lain, rhinitis alergi, eksim, penyakit psikiatrik, mastocitosis)
Obat-obatan lain yang dikonsumsi (ACE inhibitor, beta bloker)
Pemeriksaan Fisik
Masalah yang mengancam jiwa:
a. Airway: edema saluran nafas, suara serak, stridor
b. Breathing: nafas cepat, wheezing, kelelahan, sianosis, SpO2<92%,
kebingungan
c. Circulation: pucat, dingin, tekanan darah turun, pingsan, mengantuk/coma,
takikardi atau nadi tidak teraba.
Adanya urtikaria dan angioedema.
Pemeriksaan Penunjang
- Darah rutin
- Urin rutin
- Analisis Gas Darah
6. Diagnosa Banding
Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema
Pada reaksi sitemik berat:
21
1. Syok Hipovolemik
2. Syok Septik
3. Syok Kardiogenik
4. Syok Neurogenik
5. Hipoglikemia
6. Ketoasidosis
7. Dehidrasi
7. Diagnosis Kerja
Syok Anafilaksis
8. Tatalaksana
Edukasi
- Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya
makanan, obat-obatan dan lain-lain.
- Jelaskan pada guru-teman, pengasuh, dan pada anak bahwa anak
tersebut menderita reaksi anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan
dan lain-lain.
- Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan tentang cara
pemakaiannya
Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien mengalami
henti jantung-paru, harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.
Adrenalin (epinefrin) 1: 1000 mg dosis 0,01 mg/kg intramuskuler maksimal
0,3 mg atau: >12 tahun: 5 mcg IM (0,5 mL); 6-12 tahun: 3 mcg IM (0,3 mL),
< 6 tahun: 150 mcg (0,15 mL)
Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas bagian atas
karena edema
Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang torniket proksimal dari
daerah suntikan atau tempat gig1tan tersebut
Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, sesak atau
penderita dengan mengi.
22
Difenhidramin: untuk mengurangi gejala gatal, kemerahan, angioedema,
urtikaria, gejala pada mata dan hidung, namun tidak dapat menggantikan
adrenalin karena tidak dapat mengurangi gejala obstruksi saluran nafas
atas, hipotensi dan syok dosis 1 mg/kg maksimum 50 mg.
Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak: kristaloid 20 ml/kg
secepatnya
Aminofilin
Vasopresor
Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada
penatalaksanaan akut reaksi anafilaksis, kortikosteroid berguna untuk
mencegah gejala berulang
Pengobatan suportif
Prognosis
Dubia
10. Referensi
- Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
- Sampson HA. Donald Y.M. Leung. Adverse Reactions to Drugs.
Chapter 151. Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
- Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
23
11. Algoritma
24
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia
1. Definisi
Purpura Henoch-Schonlein adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh
vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik
yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau artralgia, nyeri abdomen
atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.
2. Etiologi
Penyebab penyakit ini belum diketahui.
Faktor-faktor yang diduga berperanan: infeksi traktusrespiratorius bagian atas,
obat-obatan, makanan dan imunisasi.
3. Patofisiologi
Deposit kompleks imun yang mengandung IgA dan aktivasi komplemen dan
jalur alternatif mengakibatkan inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit,
ginjal, sendi, dan abdomen sehingga terjadi purpura dikulit, nefritis, artritis, dan
perdarahan gastrointeatinalis. Secara histologis tampak vaskulitis
leukositoklatik.
4. Bentuk Klinis
Manifestasi klinis yang khas adalah pada kulit, berupa : ruam
makuloeritematosa, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya trombositopenia,
terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100% kasus)
purpura lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-
kuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan
ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
25
Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus
dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)
5. Kriteria Diagnosis
Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong dan
ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau
perdarahan gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.
Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau
menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak
spesifik, jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat,
kadar komplemen normal, kadar IgA dalam darah limfosit yang
mengandung IgA mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung
darah. Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi
pada dinding pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri
komplikasi.
Anamnesis
Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas (terutama di
ekstremitas bawah)
Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi
Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya
Apakah ada BAK merah, nyeri kepala
Pemeriksaan Fisik
Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi purpura, tanpa
adanya trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian
bawah (pada 100% kasus) purpura lambat laun berubah menjadi ungu,
kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren.
Gejala ini dapat disertai :
Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan
ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
26
Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus
dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan purpura
yang disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia. LED dapat
meningkat.
2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA
dalam darah mungkin meningkat.
3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan
kreatinin klirens
4. Feses: ditemukan darah
Pencitraan:
Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos abdomen
6. Diagnosa Banding
Penyakit Kawasaki
Lupus eritematosus sistemik
Polyarteritis Nodosa
Urticarial vasculitis
ITP
7. Diagnosis Kerja
Purpura Henoch-Schonlein
8. Tatalaksana
Edukasi
Menjelaskan pada penderita/keluarga:
27
Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus
Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi
Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal penurunannya,
efek samping dan cara memakan obat
28
9. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
SSP : defiusit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu.
50% kasus dapat rekuren. Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.
10. Referensi
1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010
29
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia
1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai
satu atau lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah
dan jaringan ikat, bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.
2. Etiologi
Merupakan penyakit autoimun dengan berbagai faktor penyebab yang saling
berkaitan : faktor genetik, faktor endokrin, faktor obat dan faktor infeksi. Jika
salah satu faktor tidak ada, maka penyakit Lupus tidak akan muncul secara
klinis.
3. Patogenesis
Autoantibodi berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang
mengendap berupa depot dalam jaringan terjadi antivasi komplemen, terjadi
reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.
4. Bentuk Klinis
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim
adalah :
Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kukpu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapel
dengan squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai
cuping hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka,
periorbaita, frontal atau darah telinga luar.
- Lupus discoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).
30
- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota
gerak, kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas tangan,
tenosinovitis, artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Kalsifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial,
glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus,
glomerulonefritis membranosa.
Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat
berhubungan dengan kelainan organik serebral.
Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum,intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali.
Anemia: normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah
dapat disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan
hemostatis.
Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi arterial.
Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif.
Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
Kelainan sistem pencernaan : terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, prankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi
diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat
(anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik.
Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool
Spots), papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan
penglihatan unilateral dan keratitis.
5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Demam (onset, tipe demam, riwayat pengobatan sebelumnya)
Astenia
31
Kelainan kulit:
- Onset
- Jenis ruam: butterfly rash, lupus diskoid lesi vaskulitis kulit fotosensitif,
alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
Kelainan selaput mukosa : sariawan yang tidak nyeri
Kelainan sendi: nyeri/ pembengkakan sendi
Kelainan ginjal : edema, nyeri kepala, pandangan mata kabur, BAK merah
Manifestasi neuropsikiatrik : kejang, penurunan kesadaran, perubahan
kesadaran
Manifestasi hematologik: pucat, perdarahan
Kelainan kardiovaskuler : sesak nafas
Kelainan saluran nafas : sesak nafas, batuk darah
Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
Kelainan sistem pencernaan : nyeri perut, BAB hitam
Riwayat pengobatan sebelumnya (bila ada), jenis obat yang dimakan,
keteraturan makan obat,
Pemeriksaan Fisik
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim
adalah :
Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kupu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapular
dengan squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai
cuping hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka,
periorbita, frontal atau darah telinga luar.
- Lupus diskoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).
- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota
gerak, kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
32
Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas, tenosinovitis,
artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Klasifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial,
glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus,
glomerulonefritis membranosa.
Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat
berhubungan dengan kelainan organik serebral.
Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum, intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia:
normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat
disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan
hemostatis.
Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi.
Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif.
Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
Kelainan sistem pencernaan : terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, pankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi
diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat
(anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
Gangguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik.
Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool
Spots), papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan
penglihatan unilateral dan keratitis.
Pemeriksaan Penunjang
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
Analisis darah tepi lengkap
Sel LE
antibodi Antinuklear (ANA)
Anti ds DNA (anti DNA natif)
33
Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll bila ada)
Titer komplemen C3, C4 dan CH5
Titer IgM, IgG dan IgA
Krioglobulin
Masa pembekuan
Uji coombs
Elekroforesis protein
Kreatin dan ureum darah
Protein urine (total protein dalam 24 jam)
Biakan kuman, terutama dalam urine
Foto rontgen dada.
Kriteria Diagnosis
Dasar Diagnosis:
Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling bayak
dianut adalah menurut American Rheumatology Association (ACR). Diagnosis
LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4
kriteria positif menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu
butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari
1. Eritema malar (Butterfly rash)
2. Lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
5. Artritis
6. Nefritis: proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
7. Ensefalopati, konfulsi, psikosis
8. Pleuritisatauperikarditis
9. Gangguan hematologi: sitopenia
10. Imunoserlogipositif : antibodyantidouble stranded DNA (anti dsDNA),
antibody antinuclearSm, sel LE, serologisifilis (positif palsu)
11. AntibodiAntinuklearpositif (ANA).
6. Diagnosa Banding
34
Tergantung gejala klinis yang pertama muncul:
ARJ
Demam tifoid
AIHA
Demam rematik
7. Diagnosis Kerja
Lupus Eritematosus Sistemik
8. Tatalaksana
Edukasi
Edukasi kepada penderita dan keluarga agar mengerti penyakit.
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat
pemakaian imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.
2. Kortikosteroid
Steroid merupakan obat pilihan utama pada penderita LES dengan
keterlibatan organ mayor
35
Diberikan 2/3 dosis pagi, 1/3 dosis siang interval 8 jam
Untuk gejala konstitusional berat, demam berkepanjangan,
kelainan kulit, pleuritis, atau bersamaan dengan metil
prednisolon dosis tinggi
b. Prednison oral dosis tinggi (1-2 mg/kg/hari, max 68-80 mg/kg/hari
dibagi 3-4 dosis selama 4-8 minggu, dilanjutkan tappering off
selama 1-2 minggu)
Untuk lupus fulminan akut, lupus nefritis akut yang berat,
trombositopenia (<50.000/mm3) tanpa perdarahan dan
gangguan koagulasi, lupus eritematosus kutan berat sebagai
bagian terapi inisial lupus diskoid
c. Metilprednisolon pulse
Dosis 20-30 mg/kg/pulse (maksimal 1 gr) selama 3 hari berturut-
turut. Diulang setiap bulan selama 6 bulan.
Digunakan untuk LES anak sedang sampai berat, lupus nefritis
sedang berat (WHO kelas III-V), lupus serebral, penyakit akut
yang tidak terkontrol steroid dosis tinggi oral, rekurensi aktif
yang berat, anemia hemolitik berat, trombositopenia berat
(<50.000/mm3) dan mengancam kehidupan.
b. Hidroksiklorokuin
Untuk dominan kelainan kulit/mukosa dengan atau tanpa artritis
dan gejala konstitusional
36
Dosis 6-7 mg/kg/hari terbagi 1-2 dosis selama 2 bulan
dilanjutkan 5 mg/kg/hari (maksimal 300 mg/hari)
Efek toksik ke retina (reversibel) kontrol oftalmologi setiap 6
bulan
c. Azathioprin
Indikasi : zat penghemat steroid
Dosis anak : 1-3 mg/kg/hari
4. Imunosupresan
a. Siklofosfamid:
Oral 1-3 mg/kg/hari
Parenteral: awal 500-750 mg/m2LPT maksimum 1 g/m2/hari
Pilih dosis terendah untuk leukopenia , trombositopenia,
kreatinin >2 g/dl) maksimum 1 g/m2/hari.
Cara pemberian: bolus perinfus 150 ml larutan D5% dalam
NaCl 0,225% (D5 ¼ NS) selama 1 jam bersama hidrasi
2L/m2/hari perinfus selam 24 jam dimulai 12 jam sebelum
infus siklofosfamid.
Pemberian parenteral diulangi setiap bulan dengan
2
peningkatan 250 mg/m /bulan sesuai dengan toleransi
selama 6 bulan selanjutnya tiap 3 bulan sampai 36 bulan total
pengobatan.
Siklofosfamid biasanya digunakan bersamaan dengan
metilprednisolon pulse
b. Siklosporin A
Indikasi : LES anak berat yang tidak respon terhadap
imunosupresif lain
Dosis yang digunakan 2-4 mg/kg/hari.
c. Mycophenolate mofetil (MMF)
Untuk induksi dan pemeliharaan remisi, khususnya pada
penderita lupus nefritis
Dosis 600 mg/m2 peroral per 12 jam, tidak lebih dari 2 gram/hari.
37
5. IVIG ( intravenous immunoglobulin)
Indikasi : LES dengan defisiensi imun disertai infeksi berat, lupus
nefritis berat yang refrakter terhadap steroid dan imunosupresan
Dosis : 2 gr/kgbb (dosis tinggi) boleh dibagi dalam beberapa dosis.
B. Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Diberikan:
betametason 0,05% atau
flusinosid 0,05% selama 2 minggu selanjutnya hidrokortison
C. Fisioterapi
Diindikasikan bila ada artritis.
D. Supportif
1. Diet: setiap pemberian kortikosteroid terutama jangka panjang harus
disertai suplemen Ca dan vitamin D
2. Dosis kalsium :
<6 bulan: 360 mg/hari
6-12 bulan: 540 mg/hari
1-10 tahun: 800 mg/hari
11-18 tahun: 1200 mg/hari
3. Dosis vitamin D aktif (hidroksikolkalsoferol)
BB<30 kg: 20 mcg peroral 3 kali/minggu
BB>30 kg: 50 mcg peroral 3 kali/minggu
E. Pencegahan
1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari
Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi: jam
09.00/10.00-15.00/16.00
Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata
hitam
38
Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24
2. Osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi
Diet tinggi Ca
Vitamin D adekuat
Olahraga
Prognosis
Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa
10 tahun sebesar 80%.
Penyebab kematian akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia
autoimun infeksi.
10. Referensi
Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus Eritematosus Sistemik.
Dalam: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 345-72.
Klein-Gitelman MS. Miller ML. Systemic lupus erithematosus. Chapter
157. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
39
Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,Harmoniati
ED, Yuliarti K (ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid II. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesi.
2011. Hal: 175-83.
40
SINDROM STEVENS-JOHNSON (SSJ), NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK
(NET), SSJ-NET OVERLAP
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia
1. Definisi
Merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan trias kelainan
pada: kulit mukosa orifisium serta mata yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas atau kompleks imun.
2. Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun
terhadap obat. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema
multiforme yang berat dan disebut eritema multiforme mayor. Beberapa faktor
yang sering disebut sebagai penyebab SSJ di antaranya dapat dilihat pada tabel
1.
41
3. Patogenesis
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas wlaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Pada biopsi kulit beberapa kasus
dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin, serta kompleks imun beredar
dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi
akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.
4.Bentuk Klinis
Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan bagian dari
severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan berdasarkan luas
permukaan tubuh (body surface area/BSA) yang terkena:
1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)
2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap (10-30%
BSA)
3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30% BSA)
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi
kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
42
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula secara simetris
berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering
timbul perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau
mata sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang
meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi,
ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat
terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia dan pelepasan kuku.
b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan
vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian
atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran berwarna
putih atau keabuan yang menimbulkan kesukaran menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis,
irdosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat
dapat terjadi erosi dan perforasi kornea.
Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan
umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah,
diare, melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali
sampai pada penurunan kesadaran dan kejang.
Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat
berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi dapat terjadi
seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis, bronkopneumonia, nefritis,
poliartritis atau septikemia.
5.Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Gejala prodromal: demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada,
muntah, pegal otot dan atralgia.
43
Timbul ruam (lesi makula eritem) yang secara cepat berkembang menjadi
lepuh (vesikel, bula) pada bagian tubuh yang disertai lesi mukosa dan mata
Identifikasi faktor penyebab: infeksi sebelumnya/riwayat makan makanan
tertentu, riwayat pemakaian obat-obatan, imunisasi, dll.
Jarak waktu paparan faktor penyebab dengan timbulnya gejala (gejala dapat
timbul 8 minggu, biasanya 4-30 hari setelah paparan)
Pemeriksaan Fisik
Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan bagian
dari severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan berdasarkan luas
permukaan tubuh (body surface area/BSA) yang terkena:
1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)
2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap (10-30%
BSA)
3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30% BSA)
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk,
koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu
akan timbul lesi kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula, berupa lesi
kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul
perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau
mata sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang
meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi
erosi, ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit
dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia.
b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%),
kemudian disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung
dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat
44
ditemukan vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna
merah. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk
pseudomembran berwarna putih atau keabuan yang menimbulkan
kesukaran menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis.
Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak
mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat terjadi erosi
dan perforasi kornea.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya dengan faktor
penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin
dilakukan diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan darah tepi (Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil
total, LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada
hitung jenis eosinofil meningkat.
2. Elektrolit (Na,K) untuk melihat adanya gangguan elektrolit akibat
kehilangan cairan transdermal
3. Albumin, protein total, fungsi ginjal
4. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.
5. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila diragukan
gambaran klinisnya dapat dilakukann biopsi dan pemeriksaan
histopatologik untuk membedakan. Pada pemeriksan histopatologik dapat
ditemukan gambaran nekrosis epidermis sebagian atau menyeluruh,
45
edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit
yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan
imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin.
Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan
biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.
6. Diagnosa Banding
Staphylococcus scalded skin syndrome
Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula
numular di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis, tetapi
selaput lender jarang dikenai.
7. Diagnosis Kerja
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), SSJ-NET
Overlap
8. Tatalaksana
Edukasi
Harus dicegah kontak ulang dengan faktor penyebab
Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang penderita
Tatalaksana
Identifikasi dan segera hentikan pemakaian obat/makanan/agen yang
dicurigai sebagai faktor penyebab
Rawat diruang rawat khusus (isolasi dari penderita lain), bila ada kegawatan
rawat di PICU
Terapi cairan (jenis dan jumlah) dan elektrolit disesuaikan dengan luas
permukaan tubuh yang terkena dan kelainan elektrolit yang ada
Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal dan tidak ada
kontrainidkasi seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari terbagi dalam dua dosis,
atau netromisin 4-6 mg/kgBB/hari.
N-asetil sistein 10-20mg/kgBB/hari
46
Nutrisi: pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa
oral kembali normal.
Topikal :
Kulit : kompres NaCl 0,9%
Mulut : kumur-kumur antiseptik
Mata : lubrikasi dengan air mata buatan
salep mata yang mengandung antibiotika
Transfusi (bila perlu)
Konsultasi dengan bagian lain sesuai keadaan penderita (Mata, THT)
10. Referensi
Akin AAP, Takumansang DS. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam:Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal 307-11
Cantani A. Allergic and pseudoallergic reactions to drugs. Dalam: Cantani A.
Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Springerlink.Berlin 2008. 1166-
70.
Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis).In: Wolff K, Goldsmith KA, Katz
KI, Gilchrest KA, Paller AS, Leffell DJ editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Book Co.2008.
349-55
47
Morelli JG. Vesicobullous disorder. Chapter 653. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
48
HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus)
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia
1. Definisi
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus HIV, yang menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem
imun tubuh. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun seluler sebagai akibat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
2. Etiologi
HIV yaitu virus yang tergolong dalam keluarga retrovirus sub kelompok lenti virus.
Ada 2 tipe yaitu HIV1 & HIV 2, yang walaupun strukturnya berbeda tapi gejala klinis
yang ditimbulkannya sulit dibedakan. Antibodi yang terbentuk dari kedua virus ini
dapat bereaksi silang.
3. Patogenesis
HIV masuk sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel TCD4 dan
sel makrofag terjadi penuruna jumlah dan gangguan fungsi sel TCD4 melalui
efek sitopatik langsung dan efek sitopatik tidak langsung.
49
Cara penularan
Pada bayi dan anak, penularan HIV melalui ibu hanil yang mengidap HIV, dapat
juga terjadi intrapartum dan melalui ASI, transfusi darah yang mengandung HIV
atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV, jarums suntik
yang tercemar HIV dan hubungan seksual dengan pengidap HIV.
Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
- Bayi dari ibu dengan pasangan biseksual
- Bayi dari ibu dengan pasangan berganti-ganti
- Bayi dari ibu atau pasangannya penyalah guna obat intravena
- Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah berulang-ulang
- Bayi atau anak yang terpapar denagn alat suntik atau tusuk bekas yang tidak
steril
4. Bentuk klinis
Kalsifikasi klinis:
a. Klasifikasi CDC :
- kategori N : asimptomatik
- kategori A : simptomatik ringan
- kategori B : simptomatik sedang
- kategori C : simptomatik berat atau AIDS
50
Klasifikasi Imunologis:
a. Berdasarkan CD4+
Imunodefisiensi CD4+ menurut umur
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln >5
(%) (%) (%) th(sel/mm3)
Tidak ada >35 >30 >25 >500
Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499
Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349
Berat <25 <20 <15 <200
atau<15%
5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Riwayat penyakit: demam berulang/ berkepanjangan, gagal tumbuh, diare
yang berkepanjangan, kandidiasis oral, pnemonia yang persisten, infeksi
bakteri berulang
Faktor risiko orang tua untuk terinfeksi HIV: riwayat narkoba suntik, pasangan
penderita HIV, sering berganti pasangan, riwayat transfusi, riwayat pernah
mengalami operasi/tindakan, pekerjaan orang tua
Riwayat kelahiran, ASI, riwayat pengobatan ibu, kondisi neonatal
Pemeriksaan Fisik
Gejala awal tidak nyata, dapat hanya ditemukan limfadenopati,
hepatosplenomegali
Gagal tumbuh
51
Berat badan turun progresif
Diare persisten
Kandidiasis oral
Otitis media kronik
Pneumonia interstitial
Pembengkakan parotis kronik
Gejala infeksi oportunistik: tuberkulosis, herpes zooster generalisata,
pneumonia P. jiroveci (carinii) , pneumonia berat
Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis:
usia <18 bulan:
- bila tersedia: PCR RNA (DNA)
- antibodi anti HIV dapat dilakukan untuk melihat apakah anak
terpapar HIV dari ibu diulang setelah anak berusia 18 bulan
usia >18 bulan:
- antibodi HIV
- konfirmasi : westernblot atau PCR RNA/DNA (bila ada)
- pemeriksaan CD4+ untuk melihat status imunosupresi
pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT, SGPT sesuai indikasi untuk
melihat efek samping obat
pemeriksaan infeksi oportunistik yang sering terjadi bersamaan dengan
infeksi HIV (TBC, hepatitis B dan C)
pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan dll) dan konsultasi ke ahli terkait
disesuaikan dengan infeksi oportunistik.
52
- Minimal 2 gejala berikut:
Oral thrush
Pneumonia berat
Sepsis berat
Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang
lanjut pada ibu
CD4+ <20%
Dasar diagnosis
- anamnesis adanya faktor risiko tertular HIV
- gambaran klinis menunjukkan penurunan kekebalan
adanya antibodi IgG spesifik HIV
6. Diagnosa Banding
Imunodefisiensi primer
7. Diagnosis Kerja
HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus)
8. Tatalaksana
Penilaian:
a. Nilai status nutrisi, pertumbuhan dan kebutuhan intervensinya
b. Nilai status imunisasi dan berikan imunisasi yang sesuai
c. Nilai tanda dan gejala infeksi oportunistik (IO) dan pajanan TB. Bila dicurigai
terdapat IO, lakukan diagnosis dan pengobatan sebelum mulai ART
d. Lakukan penilaian stadium HIV
e. Identifikasi obat-obatan lain termasuk obat tradisional karena mungkin dapat
beinteraksi dengan obat ARV
f. Lakukan penilaian stadium imunologis, bila CD4+ tidak tersedia dapat
dipakai TLC
g. Nilai apakah anak memenuhi kriteria pemberian ART. Indikasi pemberian
ART (menurut WHO 2010)
usia Stadium klinis Imunologis /CD4+
<24 bulan Semua diterapi
53
>24 bulan Stadium 3 dan 4 Semua diterapi
(tangani dulu IO)
Stadium 1 dan 2 CD4+ <25%: terapi
h. Nilai situasi keluarga :
Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediannya untuk
mematuhi pengobatan dan pemantauan pada anak terutama ART
Nilai pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya
serta informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga
Indikasi rawat:
Gizi buruk
Infeksi berat/sepsis
Pneumonia
Diare kronis dengan dehidrasi
Rekomendasi ART
Regimen lini pertama yang direkomendasikan 2 Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI) ditambah 1 Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor:
a. Anak usia < 3 th:
Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP)
b. Anak usia ≥ 3 th:
Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau efavirenz
(EFV)
Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP) atau efavirenz (EFV)
Nama obat Dosis
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
Zidovudine (AZT) Usia <4 minggu: 4 mg/kg/dosis 2 kali sehari
(tab 300 mg) Usia 4 minggu-13 tahun: 180-240 mg/m2/
dosis 2x sehari
Max 300 mg/dosis 2x sehari ATAU
6-7 mg/kgBB/ dosis tiap 12 jam = 160
mg/m2/dosis
Lamivudine (3TC) <30 hari: 2 mg/kg/dosis 2x/hari
54
(tab 150 mg) >30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis 2x hari
Max 150 mg/kg/dosis 2 x hari
Stavudine (d4T) BB <30 kg: 1 mg/kg/dosis 2x sehari
Cap: 15 mg, 20 mg, BB> 30 kg: 2 mg/kg/dosis 2x sehari
30 mg, 40 mg
Syr 200 cc: 1 mg/ml
Non Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
Nevirapin (NVP) 2 mgg I: 5 mg/kgBB sekali sehari (max 200
mg)
Tab 200 mg 2 mgg II: 5 mg/kgBB/ dosis (2x sehari)
Selanjutnya: 7 mg/kgBB/dosis (2x sehari)
untuk anak < 8 th
Untuk anak >8 th: =dewasa
Efavirenz (EFV) 10-15 kg: 200 mg 1x sehari
Cap: 50mg, 15-<20 kg: 250 mg 1x sehari
100 mg, 200 mg 20-<25 kg: 300 mg 1x sehari
600 mg 25-<32,5 kg: 350 mg 1x sehari
32,5-<40 kg: 400 mg 1x sehari
Profilaksis Pneumonia P. jirovecii: cotrimoxazole 5 mg/kgBB/hari sekali sehari;
terapi PneumoniaP. jirovecii 15 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 21 hari
Pemantauan
Pemantauan anak terinfeksi HIV yang belum terindikasi pemberian ARV
Item dasar Bulan Bulan Bulan Bulan Tiap
1 2 3 6 6
bln
Evaluasi klinis X X X X X X
BB&TB X X X X X X
Status nutrisi & X X X X X X
kebutuhannya
Kebutuhan CTX & X X X X X X
kepatuhan berobat
Konseling mencegah X X X
55
pemakaian narkoba,
penularan PMS &
kehamilan
Pencegahan IO dan X X X X X X
pengobatan
Laboratorium
Hb dan leukosit X X
SGPT X
CD4+% atau absolut X X
56
9. Edukasi
Pencegahan penularan HIV:
Menghindari tingkah laku seksual yang menyimpang pada anak remaja
Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV
Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar
Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi tertular
HIV tidak dijadikan donor.
Edukasi pada orang tua/ wali/ keluarga di rumah:
Kegagalan pengobatan seringkali disebabkan karena ketidakpatuhan dalam
pemberian ARV sehingga penting sekali bagi orangtua untuk memastikan
ARV dimakan setiap hari sesuai jadwal
Pentingnya datang kontrol untuk pemantauan gejala klinis
Mencegah terjadinya infeksi (makan obat profilaksis secara teratur,
menghindari orang yang terkena infeksi)
Pemberian nutrisi yang cukup
Imunisasi
Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak
diagnosis AIDS ditegakkan.
57
11. Referensi
Matondang CS, Kurniati. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam: Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 378-414
Yogev R, Chadwick EG . Acquired Immunodeficiency Syndrome
(Human Immunodeficiency Virus). Bab 273.Dalam: Behrman N, Kliegman
Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB
Saunders Co 2008.
Suyoko EMD, Sari DY. Gambaran klinis dan diagnosis HIV pada bayi dan
anak. Dalam: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D.
HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Unit Pendidikan Kedokteran Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan FK UI. Jakarta 2009
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED, dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jilid 2.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
Depkes RI. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi anti retroviral pada
anak di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
58
DERMATOMIOSITIS JUVENIL
Yusmala Helmi, R.A Myrna Alia
1.Definisi
Penyakit autoimun sistemik berupa vaskulopati pembuluh darah kecil yang sering
melibatkan sistem otot dan kulit, meskipun dapat melibatkan organ lain seperti
sendi, saluran pencernaan, paru paru, jantung, dan organ internal lainnya.
2.Etiologi
Genetik
Imunitas humoral dan selular
Stres Retikulum endoplasmik
Imunitas bawaan
3.Patogenesis
JDM disebabkan angiopati autoimun. Serangan imun padaendotelium kapiler otot,
infiltrasi sel dendritik plasmasitoid dengan yang dihasilkaninterferon respon tipe I,
dan peningkatan regulasi major histocompatibility (MHC)ekspresi kelas I pada
permukaan myofibers merupakan penyebab patogenesis utama.Aspek patogen dari
JDM sebagian besar identik dengan dermatomiositis dewasa,kecuali peristiwa
patogenesis utama, termasuk vaskulopati, tipe I interferon respon,dan peningkatan
regulasi MHC kelas I, tampak lebih menonjol pada JDM. Kejadianapoptosis otot
juga belum terlihat pada miositis dewasa. Sedangkan polymyositis, sebagian besar
sel-CD8 + T dan myeloid sel- dendritik menyerang pada myofibersnonnecrotic,
dengan melepaskan perforin sitotoksik dan butiran granzim B yangmemediasi
kematian sel otot. Polymyositis tidak memberi respon interferon yangmenonjol
dalam otot atau serum, dan infiltrasi sel dendritik oleh myeloid nonplasmasitoid.
4.Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Eritema (rash) dan papula pada permukaan ekstensor alat gerak
Kelamahan proksimal anggota gerak
59
Gejala sistemik lainnya: demam, malaise,anoreksia,penurunan berat badan,
nyeri perut, iritabilitas
Riwayat infeksi virus sebelumnya
Pemeriksaan fisik
Gambaran yang khas heliotrope rash dan Gottron”s papul di permukaan ekstensor
alat gerak
Kelamahan proksimal anggota gerak
Gejala sistemik lainnya: demam, malaise,anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
perut, iritabilitas
PemeriksaanPenunujang
Darah Perifer Lengkap
Transaminase (SGOT), kreatinin kinase (CPK), aldolase, dan laktat
dehidrogenase (LDH).
Elektromiogram otot yang terkena
Roengenogram dapat mengungkapkan adanya endapan kalsium pada jaringan
lunak
5.Diagnosis Banding
Artritis Reumatoid Juvenile
Morbus Hansen
6.Diagnosis Kerja
Dermatomiositis juvenille
7.Tatalaksana
Edukasi
1. Meyakinkan penderita/keluarga: untuk melakukan fisioterapi intensif dapat
membantudalam menjaga dan memulihkan kekuatan otot
2. Gunakan perlindungan dari sinar untuk kulit.
60
1. Terapi lini pertama *
Prednisone 1-2 mg/kgBB/hari peroral
Methylprednisolon intravena 10-30 mg/kg/pulse
Metroteksat 0,4-1 mg/kgBB/minggu atau15 mg/m2
Terapi adjuvant :
o Hidroksiklorokuin 3-6 mg/kgBB/hari peroral
o Terapi fisik
o Fotoproteksi
o Terapi topical untuk rash pada kulit
o Calsium dan vitamin D untuk perlindungan tulang
2. Terapi lini kedua
Gammaglobulin intravena 1-2 gm/kg/bulan
Ciklosporin 2,5- 7,5 mg/kg/hari b.i.d
Azathioprin 3-5 mg/kgBB/hari
Kombinasi obat obat di atas
3. Terapi lini ketiga
Ciklospospamid 500-1250 mg/m2/bulan intravena pulse
Micophenolate mofetil 30-40 mg/kg/hari p.o dibagi b.i.d
Tacrolimus 0,1-0,25 mg/kgBB/hari p.o dibagi b.i.d
Rituximab
Antitumor nekrosis factor alpa agent
Kombinasi terapi terapi diatas
*
) Terapi lini pertama merupakan obat yang sering digunakansebagai terapi
inisialpada dermatomiositis juvenile.Sedangkan terapi lini kedua dan ketiga sering
digunakan pada pasien dengan gejala klinis refrakter, gambaran klinis berat, atau
tidak dapat menerima efek samping obat.
9.Referensi
1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal 224-34
61
2. Martin N, Li L C.Juvenile Dermatomyositis : New Insight and New Treatment
strategies.
62