Anda di halaman 1dari 38

Laporan kasus

HIPERBILIRUBINEMIA
IKTERUS NEONATORUM

Oleh:

Pika Ranita Annisaa’ 04054821820136


Raden Nurizki 04054821820

Pembimbing:
dr. Ridhayani, Sp. A

BAGIAN / DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Hiperbilirubinemia dan Ikterus Neonatorum

Oleh :
Pika Ranita Annisaa’ 04054821820136
Raden Nurizki 04054821820

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Palembang, November 2019

dr. Ridhayani, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Hiperbilirubinemia dan Ikterus
Neonatorum”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik
di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Ridhayani, Sp.A selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Dalam hal ini masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga
laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, November 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 14
BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................. 32
LAMPIRAN ......................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Bilirubin merupakan produk utama pemecahan sel darah merah oleh
sistem retikuloendotelial. Peningkatan kadar bilirubin merupakan salah satu
masalah tersering pada bayi baru lahir dan pada umumnya merupakan suatu
keadaan transisi normal atau fisiologis yang lazim terjadi pada 60-70% bayi aterm
dan pada hampir semua bayi preterm. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada
bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah sebesar 5-7 mg/dl.1,2
Pada kebanyakan kasus, kadar bilirubin yang menyebabkan ikterus tidak
berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan, namun demikian pada beberapa
kasus hiperbilirubinemia tersebut dapat berhubungan dengan beberapa penyakit,
seperti : penyakit hemolitik, kelainan metabolik dan endokrin, kelainan hati,
infeksi. Ikterus dapat ditemukan selama minggu pertama kehidupan pada sekitar
60% bayi aterm dan 80% bayi premature.2,3
Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar
65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil
survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah
Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam
minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum
dari beberapa rumah sakit pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi
ikterus pada bayi baru lahir tahun 2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL
dan 29,3% untuk kadar bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan, RS
Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai kadar
bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8% mempunyai kadar bilitubin ≥13 mg/dL, RS Dr.
Kariadi Semarang dengan prevalensi ikterus neonatorum sebesar 13,7%, RS
Dr.Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002.4
Ikterus neonatorum dapat menimbulkan ensefalopati bilirubin (kernikterus)
yaitu manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf

5
6

pusat di ganglia basalis dan beberapa nuklei batang otak. Kernikterus dapat
menimbulkan kerusakan otak dengan gejala gangguan pendengaran,
keterbelakangan mental dan gangguan tingkah laku. Oleh sebab itu, penting bagi
tenaga kesehatan untuk dapat mendiagnosis ikterus neonatorum dan sesegera
mungkin mengatasinya.4,5
BAB II
LAPORAN KASUS

1. Identifikasi
Nama : By. J
Umur : 4 hari/12 November 2019
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan Lahir : 2900 gram
Panjang Badan Lahir : 47 cm
Agama : Islam
Alamat : Jln. Mataram Kertapati, Palembang
Suku Bangsa : Sumatera
No. Med Reg : 58.39.50
MRS : 13 November 2019

2. Anamnesis (15/9/2019)
Keluhan Utama : Bayi kuning
Keluhan Tambahan :-

3. Riwayat Perjalanan Penyakit


+ 2 hari yang lalu, lahir seorang bayi perempuan di rumah sakit ditolong
oleh SpOG, lahir spontan dari ibu G1P0A0 hamil 37 minggu, bayi lahir
langsung menangis dengan APGAR score 8/9, berat badan lahir 2900 gram,
panjang badan lahir 47 cm. Riwayat injeksi vitamin K (+), riwayat ibu demam
(-), riwayat pecah ketuban sebelum waktunya (-), riwayat ketuban hijau (-),
kental (-), berbau (-). Pasien dirawat gabung bersama ibunya setelah lahir.
+ 1 hari yang lalu, bayi demam (+), terus menerus, bayi tampak susah
menelan susu yang diberikan, sesak nafas (-), batuk (-), muntah (-), kejang (-),
BAB dan BAK normal. Pasien kemudian dirawat selama 6 hari di bagian
neonatus dikatakan klinis sepsis disertai kuning (+).

7
8

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sering keputihan selama masa kehamilan (-)
Riwayat ibu sakit hepatitis selama masa kehamilan (-)
Riwayat konsumsi obat antimalaria selama kehamilan (-)
Riwayat konsumsi jamu-jamuan selama kehamilan (-)
Riwayat transfusi selama kehamilan (-)
Riwayat ibu kontak dengan kucing selama kehamilan (-)
Riwayat ibu dengan penyakit diabetes (-)

Riwayat Sosial Ekonomi


Sosial ekonomi menengah

Riwayat Kehamilan
GPA : G1P0A0
HPHT : 15 April 2018
Periksa Hamil : tiap 1 bulan sekali di puskesmas
Kebiasaan ibu sebelum/selama kehamilan
Minum alkohol : tidak pernah
Merokok : tidak pernah
Makan obat-obatan tertentu : tidak pernah
Penyakit atau komplikasi kehamilan ini : tidak ada
Golongan darah ibu : AB rh (+)
Golongan darah ayah : A rh (+)
Golongan darah pasien : A rh (+)

Riwayat Persalinan
Presentasi : kepala
Cara persalinan : spontan
KPSW : tidak ada
Riwayat demam saat persalinan : tidak ada
Riwayat ketuban kental, hijau, bau : tidak ada
9

Kondisi Bayi Saat Lahir


Jenis Kelamin : Perempuan
Kelahiran : Tunggal
Kondisi saat lahir : Langsung menangis

4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Berat badan : 2900 gram
Panjang badan : 47 cm
Lingkar kepala : 32 cm
Aktivitas : sedang
Refleks hisap : sedang
Tangis : sedang
Anemis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : kramer IV
Dispnea : tidak ada
HR : 145 x/menit
Pernafasan : 51 x/menit
Suhu : 36.9 oC
SpO2 : 98%

Keadaan Spesifik
Kepala : normocephali
Lingkar kepala : 32 cm
Ubun- ubun besar : tegang, tidak menonjol
Mata : pupil bulat, isokor, reflex cahaya (+/+), mata cekung
(-), sclera ikterik (+/+), konjungtiva anemis (-/-)
Telinga : bentuk normal, mikrotia (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), secret (-)
10

Mulut : labioskisis (-), hipersalivasi (-)


Trauma lahir : (-)
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Thorax : bentuk simetris, retraksi (-)
Paru-paru : bunyi nafas vesikuler (+), rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : HR : 140x/menit, BJ I-II (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien tidak
teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”
Genitalia : tidak ada kelainan

Refleks Primitif
Oral :+
Moro :+
Tonic neck :+
Withdrawal :+
Plantar graps :+
Palmar graps :+

Pemeriksaan Penunjang Laboratorum


(15/11//2019)
Bilirubin Total : 15,1 mg/dL

5. Diagnosis Kerja
Neonatus : neonatus cukup bulan
Lahir : sesuai masa kehamilan
Ibu : G1P0A0 hamil 37 minggu JTH preskep lahir spontan
Anak : Klinis sepsis neonatorum + Hiperbilirubinemia +
Ikterus neonatorum
11

6. Penatalaksanaan
Kebutuhan cairan pada hari ke-2 = 100 x 2.9 kg = 290cc/24 jam
Indikasi fototerapi : kebutuhan cairan + 20% = 348cc/24jam
1. D10%+Ca glukonas 10% = 348cc/24jam
2. ASI/PASI 12 x 25 cc
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Perawatan tali pusat
5. Cek ulang DR, LED, CRP kuantitatif, TSH

7. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

8. Follow Up
Tanggal 16 November 2019
S : Kuning berkurang
O: KU = Tampak sakit sedang
Sens. Compos Mentis
Aktivitas: HR : 142 x/m Anemis (-) U : 3 hari
sedang RR : 48 x/mnt Ikterik (+) kramer R : 3 hari
Tangis: sedang Suhu : 36,8 oC IV BB : 3000 gram
R. Hisap: sedang Sianosis (-)
Dyspnea (-)

KS : Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-/-), sclera


ikterik (+/+)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I/II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, wheezing (-), rhonki (-)
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien tidak teraba
Extremitas: akral hangat, CRT <3’’
12

A: NCB SMK + Hiperbilirubinemia + Ikterus Neonatorum

P : Kebutuhan cairan 120 x 3 kg = 360 cc


Indikasi fototerapi : kebutuhan cairan + 20% = 360 x 1.2 = 432 cc/hari
 D10%1/5ns = 348cc/24jam
 ASI/PASI 12 x 25 cc
 Fototerapi

Tanggal 17 November 2019


S : Kuning tidak ada lagi

O: KU= Sens: CM

Aktifitas: aktif HR : 140x/m Anemi (-) U : 4 hari


Tangis: kuat RR : 47x/mnt Ikterik (-) R : 4 hari
R. Hisap: kuat Suhu : 36,9oC Sianosis (-) B : 3000 gram
Dyspnea (-)

KS : Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-/-), sclera


ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I/II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, wheezing (-), rhonki (-)
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien tidak teraba
Extremitas: akral hangat, CRT <3’’

A: NCB SMK + Hiperbilirubinemia + Ikterik Neonatorum perbaikan

P : Kebutuhan cairan 130 x 3 kg = 390 cc


Indikasi fototerapi : kebutuhan cairan + 20% = 390 x 1.2 = 468 cc/hari
 D10%1/5ns = 468cc/24jam
 ASI/PASI 12 x 60 cc
 Cek Bilirubin Total
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila
kadar bilirubin darah sebesar 5-7 mg/dl.1
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi
sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological
Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological
Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut
Normogram Bhutani. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total.1,6

2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar
65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil
survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah
Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam
minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum
dari beberapa rumah sakit pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi
ikterus pada bayi baru lahir tahun 2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL
dan 29,3% untuk kadar bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan, RS
Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai kadar
bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8% mempunyai kadar bilitubin ≥13 mg/dL, RS Dr.
Kariadi Semarang dengan prevalensi ikterus neonatorum sebesar 13,7%, RS
Dr.Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002.4
2.3. Klasifikasi

14
15

Ikterus Fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin
serum, namun kurang dari 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya, dan ini
dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru
lahir antara lain kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke
3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu
pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12
mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.3
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor
lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum
yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang
sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak
bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir.3
Pada kebanyakan bayi, masalah ini ringan dan dapat membaik tanpa
pengobatan. Ikterus masih dianggap fisiologis jika:3
- Terjadi setelah 24 jam pertama
- Pada bayi baru lahir kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama
kehidupannya <2 mg/dL
- Pada bayi cukup bulan yang mendapatkan susu formula, kadar
bilirubinnya sebanyak 6-8 mg/dL
- Pada bayi cukup bulan yang mendapatkan ASI, kadar bilirubinnya
sebanyak 7-14 mg/dL
- Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubinnya sebesar 10-12 mg/dL
- Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hari
Ikterus Patologis
Disebut sebagai hiperbilirubinemia patologis apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus > presentil 95 sesuai standar Normogram Bhutani. Ikterus
juga dapat dicurigai patologis jika:3,7,8
-
Terjadi sebelum 24 jam kehidupan bayi
-
Peningkatan total bilirubin serum > 5 mg/dL/hari
-
Bilirubin total serum > 17 mg/dL pada bayi baru lahir yang mendapat ASI
16

-
Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan.
-
Disertai tanda-tanda penyakit lain seperti muntah, letargi, bayi malas
menyusu, penurunan berat badan, apneu, takipneu, dan suhu yang tidak
stabil.

Gambar 1. Normogram Bhutani3

2.4. Metabolisme Bilirubin


Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga kekuningan yang sebagian
besar merupakan bentuk akhir dari katabolisme heme melalui proses reaksi
oksidari-reduksi, dan sedikit dari heme bebas ataupun proses eritropoesis yang tidak
efektif. Dengan bantuan enzim heme oksigenase yang banyak di sel hati, heme
diubah menjadi biliverdin, karbon monoksida yang akan dieksresikan melalui paru,
dan zat besi yang akan digunakan untuk pembentukan hemoglobin lagi. Biliverdin
yang bersifatnya larut dalam air kemudian akan mengalami reduksi oleh enzim
17

biliverdin reduktase menjadi bilirubin. Bilirubin ini bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut, sehingga untuk
mengekresikannya diperlukan proses tranportasi dan eliminasi.3
Satu gram hemoglobin menghasilkan 34 mg bilirubin.Pada bayi baru lahir
tiap harinya dibentuk 8-10 mg/kgbb, lebih banyak dari orang dewasa yang hanya
menghasilkan 3-4 mg/kgbb/hari. Hal ini disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi
lebih pendek yaitu berkisar antara 70-90 hari, adanya peningkatan jumlah dari
degradasi heme, turn over sitokrom yang tinggi, serta besarnya reabsorbsi bilirubin
di usus.7
Transportasi Bilirubin
Bilirubin yang terbentuk pada sistem retikuloendotelial, akan dilepaskan ke
sirkulasi. Di sini, bilirubin akan berikatan dengan albumin. Ikatan ini merupakan
zat non-polar dan tidak larut dalam air, yang kemudian akan dibawa ke sel hati.
Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat
dan bersifat non toksik.1,9
Albumin mempunyai afinitas yang tinggi, sehingga obat-obatan yang bersifat
asam seperti penisilin dan sulfonamid akan mudah menempati perlekatan utama
antara albumin dan bilirubin. Obat golongan ini bersifat kompetitor. Sedangkan
obat-obatan lain yang dapat menurunkan afinitas albumin, dapat melepaskan ikatan
albumin-bilirubin, seperti digoksin, gentamisin, furosemide, dan lain-lain.1,3,7
Asupan Bilirubin/ Bilirubin Intake
Saat ikatan albumin-bilirubin mencapai membran plasma hepatosit, albumin
akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubinditranspor melalui
membran sel yang berikatan dengan ligandin (protein Y). Keseimbangan antara
jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, sirkulasi
enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan,pengambilan bilirubin oleh sel
hati dan konjugasi bilirubin, akan menentukan konsentrasi bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.3,9

Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bilirubin terkonjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diposphat
18

glukuronil transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi
bilirubin menjadi bilirubin monoglukoronida. Kemudian zat ini akan di
konjugasikan kembalimenjadi bentuk bilirubin diglukoronida dengan bantuan
enzim monoglukoronida. Enzim ini akan menyatukan dua molekul bilirubin
monoglukoronida untuk menghasilkan satu molekul bilirubin diglukoronida.9,10
Pada bayi baru lahir didapatkan defisiensi aktifitas enzim monoglukoronida.
Namun setelah 24 jam kehidupan, aktifitas enzim ini meningkat melebihi bilirubin
yang masuk ke hati, sehingga konsentrasi bilirubin serum akan turun. Kapasitas
kerja enzim ini akan sama dengan orang dewasa pada hari ke 4 kehidupan bayi.3
Eksresi Bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi akan dieksresikan melalui kandung empedu
sebelum di keluarkan ke saluran cerna. Saat mencapai usus halus, bilirubin
terkonjugasi akan diubah oleh bakteri usus menjadi bentuk urobilinogen. Sebagian
urobilinogen ini akan dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi
oleh enzim β-glukoronidase agar dapat diresorbsi dan kembali ke hati untuk
dikonjugasikan lagi, yang disebut sirkulasi enterohepatik. Sekitar 5% urobilinogen
akan dialirkan ke ginjal. Saat terpapar dengan udara di dalam urin, urobilinogen
akan teroksidasi menjadi urobilin, yang akan mewarnai urin. Sedangkan
urobilinogen yang tidak terserap di usus, akan dibuang melalui feses melalui reaksi
oksidasi menjadi sterkobilin, suatu produk yang tidak dapat direabsorbsi kembali
dan akan mewarnai feses.3,5
19

Gambar 2. Metabolisme Pemecahan Hemoglobin dan Pembentukan Bilirubin5

2.5. Etiopatologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.
2.5.1 Produksi yang berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan
penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan, disebut ikterus
hemolitik.
- Hemolytic Disease of the Newborn (HDN)
HDN atau eritroblastosis fetalis merupakan suatu penyakit darah yang
terjadi apabila tipe darah ibu dan anak tidak kompatibel. Jika tipe darah bayi
masuk ke darah ibu sewaktu dalam kandungan atau sewaktu kelahiran, sistem
imun ibu akan melihat darah bayi sebagai suatu bahan dari luar dan akan
menghasilkan antibodi untuk menyerang dan menghapuskan sel darah merah
bayi.10 Keadaan ini akan mengakibatkan komplikasi dari ringan ke berat.
Sistem imun ibu menyimpan antibodi yang dihasilkannya tadi dan jika terjadi
inkompatibilitas lagi, hal yang sama akan terjadi kepada sel darah merah
bayinya. Oleh karena itu, HDN sering terjadi pada ibu yang mengandung
kedua kalinya atau kandungan setelah yang pertama, atau juga setelah
keguguran atau aborsi.Inkompatibilitas Rh lebih sering terjadi daripada ABO.
20

Tiga kali lebih rentan pada bayi Kaukasia dibandingkan bayi Afrika-
Amerika.9
Hemolytic Disease of the Newborn dipengaruhi oleh golongan darah ABO
dan Rhesus ibu, sehingga dibedakan atas:
a. Inkompatibilitas Rh
HDN dengan inkompatibilitas Rh adalah HDN yang selalu terjadi apabila
ibu dengan Rh-negatif mengandung anak Rh-positif karena berasal dari ayah
yang Rh-positif.Ibu dengan Rh-negatif dapat terpapar dengan antigen Rh
melalui transfusi fetomaternal.Pada paparan pertama, sebanyak 0.1 ml darah
Rh-positif sudah dapat memicu terbentuknya anti-Rh, yang sebagian besar
berupa IgG.Terjadinya sensitisasi ulang memicu terbentuknya lebih banyak
IgG. IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam
peredaran darah janin, sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated)
dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis.
Hemolisis yang terjadi pada inkompatibilitas Rh lebih berat terjadi pada
kehamilan berikutnya setelah terjadi sensitisasi.11
b. Inkompatibilitas ABO
HDN karena inkompatibilitas ABO tidak selalu terjadi. HDN ini terjadi
bila seorang ibu dan bayinya mempunyai tipe darah yang tidak sama.
Misalnya pada ibu dengan golongan darah O yang mendapat sensitisasi
maternal oleh antigen A atau B janin, akan memproduksi anti-A dan anti-B
berupa IgG. Antibodi itu dapat menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi
janin sehingga menimbulkan hemolisis.11
- Defisiensi G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehydrogenase)
Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada
manusia, yang terkait kromosom sex (x-linked). Kelainan dasar
biokimiadefisiensi G6PD disebabkan mutasi pada gen G6PD. Peranan enzim
G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta
menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalur
pentosa fosfat 13.Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus
menerus untuk mempertahankan bentuk, volume, kelenturan dan menjaga
keseimbangan potensial membran melalui regulasi pompa natrium-
21

kalium.Fungsi enzim G6PD adalah menyediakan NADPH yang diperlukan


untukmembentuk kembali GSH, yang berfungsi menjaga keutuhan sel darah
merahsekaligus mencegah hemolitik.2
- Defisiensi Piruvat Kinase
Defisiensi piruvat kinase, walaupun jarang,merupakan defisiensi enzim
kedua yang tersering.Penyakit ini diwariskan sebagai sifat resesif autosom.
Enzim ini berfungsi melisis perubahan 2 fosfoenol piruvat menjadi piruvat
dan merupakan tahap akhir pembentukan energi pada jalur glikolitik. Efek
defisiensi enzim ini terlihat pada sel-sel darah merah tua yang tidak memiliki
kemampuan fosfoliperasi oksidatif metabolik yang merupakan sumber utama
pembentukan energi untuk sel darah merah non retikulosit, dimana tahap ini
berkaitan dengan pembentukan ATP. Sel-sel eritrosit dengan defisiensi
piruvat kinase lebih mudah dihancurkan dilimpa dan pasien mengalami
anemia hemolitik kronis yang ditandai dengan meningkatnya hemolisis dan
peningkatan bilirubin indirek.5
- Penyakit Hemolitik Karena Kelainan Eritrosit Kongenital
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang
menyerupai eritroblastosis fetalis akibat iso-imunisasi. Pada penyakit ini
coombs test biasanya negatif. Beberapa penyakit lain yang dapat disebut ialah
thalasemia, anemia sel sabit (sickle-cellanemia), dan sferositosis kongenital.
Pada pasien sferositosis terdapat peningkatan fragilitas eritrosit oleh karena
itu waktu daya tahan hidup eritrosit menurun. Pada pasien ini mengalami
ikterus ringan, jika waktu hemolisis cepat biasanya disertai meningkatnya
ikterus awitan yang cepat.5
- Adanya Darah Ekstravaskuler
Dapat berupa ptekie, hematoma, perdarahan pulmonal dan cerebral.
Darah yang dipecah oleh makrofag di luar sirkulasi akan meningkatkan
produksi bilirubin I. Biasanya jarang menunjukkan anemia yang berarti
maupun retikulosis. Tertelannya darah ibu selama proses kelahiran juga dapat
menyebabkan icterus neonatorum. Darah ini akan di katabolisme di dalam
mukosa intestinal sehingga menjadi sumber bilirubin tambahan.
22

- Polisitemia
Banyaknya jumlah darah merah akan meningkatkan jumlah produksi
bilirubin. Polisitemia biasanya diikuti dengan hiperviskositas yang akan
menambah beban karena akan mengganggu perfusi dari sinusoid-sinusoid
hepar. Polisitemia sering terjadi karena:9
a. Hipoksia Janin. Kekurangan oksigen pada janin merangsang
pembentukansel darah merah, sehingga meningkatkan produksi bilirubin.
b. Transfusi Maternal-Fetal. Dalam perdarhan transplasental ibu-janin,
darah bayi memiliki hemoglobin dewasa >30% atau konsentrasi IgA yang
tinggi untuk usianya. Hal ini menyebabkan peningkatan destruksi
eritrosit.
c. Transfusi Fetofetal. Terjadi pada bayi kembar. Kecurigaan akan adanya
transfusi fetofetal dipikirkan bila berat badan bayi berbeda secara
signifikan. Salah satu akan menderita anemia, dan yang lain akan
mengalami polisitemia.
- Peningkatan Sirkulasi Enterohepatik
Dapat terjadi pada obstruksi di saluran cerna atau penurunan peristaltik
usus. Hal ini akan meningkatkan reabsorbsi bilirubin dan menurunkan jumlah
bilirubin yang akan dikeluarkan melalui feses. Biasa terjadi pada pengeluaran
mekonium yang terlambat.9

2.5.2 Gangguan dalam Eksresi


Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor
fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat
di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna
gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga
terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti
kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar alkali fostafe dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam
empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang
diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di
23

bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar


dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total
aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik
(mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai
saluran empedu di luar hati). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan biokimia
yang sama.5,7

2.5.3 Gangguan Kombinasi Produksi dan Ekskresi


Infeksi Prenatal dan Perinatal
Dapat berupa toksoplasmosis, rubella, penyakit sitomegalovirus, herpes
simpleks, sifilis, dan hepatitis.Semua infeksi ini dapat ditularkan melalui plasenta,
dan sebagian diantaranya juga didapat saat persalinan. Infeksi prenatal dapat
meningkatkan kadar IgM darah dan menghambat pertumbuhan janin. Bayi dengan
infeksi tersebut dapat mengalami hepatosplenomegali, anemia hemolitik,
trombositopenia, dan trauma hepatoseluler. Semua hal tersebut akan meningkatkan
jumlah bilirubin.
Sepsis
Peningkatan bilirubin I pada sepsis terjadi karena proses inflamasi yang akan
merusak sel darah merah dan gangguan konjugasi oleh kerusakan hepar.
Peningkatan bilirubin II pada sepsis dihubungkan dengan kolestasis, yang dapat
terjadi karena sumbatan pada jalur pengeluaran bilirubin terkonjugasi oleh
inflamasi.9
Ikterus Pada Bayi dengan Ibu Diabetes
Dapat disebabkan oleh peningkatan sirkulasi enterohepatal, polisitemia,
masalah pada konjugasi bilirubin. Proses konjugasi melebihi kapasitas hepar untuk
mengeksresikan bilirubin terkonjugasi karena kecepatan produksi bilirubin yang
sangat tinggi.

2.6. Diagnosis
24

Anamnesis
Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus,
tergantung pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika
kadar serum bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke
ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.5
Hal – hal penting yang menunjang diagnosis meliputi:12
1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat
timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan etiologinya.
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
3. Usia gestasi
4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi
5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau
transfusi tukar pada bayi sebelumnya
6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)
7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu,
intoleransi susu, dan ketidakstabilan temperatur.
9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek
10. Gejala-gejala kernikterus

Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Ikterus biasanya terlihat menyebar secara sefalokaudal,
dimulai dari wajah dan menyebar ke perut dan kemudian ke kaki seiring
peningkatan kadar bilirubin serum. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu
sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak
terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya
gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan
terapi sinar.13
25

Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit
dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.13

Gambar 3. Pemeriksaan ikterus pada kulit bayi. (A) tidak ikterik (B) ikterik3

Tabel 1. Kriteria Kramer1


Perkiraan
Derajat
Daerah Ikterus Kadar
Ikterus
Bilirubin

I Kepala dan leher 5,0 mg/dL

II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 5-10 mg/dL

Sampai badan bawah (di bawah


10-13
III umbilikus) hingga tungkai atas (di atas
mg/dL
lutut)
13-17
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut
mg/dL

V Sampai telapak tangan dan kaki >17 mg/dL


26

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan bilirubin serum (bilirubin total, direk, dan indirek) harus
dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus, terutama pada bayi yang tampak
sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera
mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
bilirubin serum. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu
diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.1,7
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain:12
1. Golongan darah
2. Coombs test
3. Darah lengkap dan hapusan darah. Pemeriksaan hapusan darah diperlukan
untuk membedakan kelainan hemolitik.
4. Hitung retikulosit. Jumlah retikulosit yang > 6% setelah tiga hari kehidupan
bayi, biasanya menandakan proses hemolitik yang abnormal.
5. Skrining G6PD
27

Gambar 4. Alur diagnosis ikterus neonatorum berdasarkan hasil laboratorium.3


2.7. Penatalaksanaan
Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat
ditatalaksana melalui rawat jalan dengan nasehat untuk kembali jika ikterus
berlangsung lebih dari 7 hari pada bayi cukup bulan, atau 14 hari pada kurang bulan.
Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI
ekslusif lebih sering minimal setiap 2 jam. Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan
ASI melalui pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok. Letakkan bayi ditempat
yang cukup mendapat sinar matahari pagi selama 30 menit selama 3-4 hari dan jaga
agar bayi tetap hangat.
Setiap Ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca kelahiran adalah patologis dan
membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut; minimal kadar bilirubin serum
total, serta pemeriksaan ke arah adanya penyakit hemolisis oleh karena itu
selanjutnya harus dirujuk. Selain itu pada bayi dengan ikterus Kremer III atau lebih
perlu dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap setelah keadan bayi stabil.
28

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk


mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung.1
Prinsipnya dalam penanganan ikterus ada 3 cara untuk mencegah dan
mengobati, yaitu:1,13
1. Mempercepat metabolisme dan pengeluran bilirubin
2. Mengubah bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik agar dapat dikeluarkan
melalui ginjal dan usus, misalnya dengan terapi sinar (fototerapi)
3. Mengeluarkan bilirubin dari peredaran darah, yaitu dengan tranfusi tukar darah

Fototerapi
Fototerapi pada ikterus neonatorum adalah pemberian sinar berspektrum biru
berintensitas tinggi (420-470 nm) pada bayi. Sinar ini diketahui efektif mengurangi
ikterik secara klinis dan menurunkan kadar bilirubin indirek dalam serum. Bilirubin
di dalam kulit akan menyerap energi cahayanya, menyebabkan serangkaian reaksi
fotokimia. Produk utama yang dihasilkan dari fototerapi adalah adanya reaksi foto-
isomerisasi yang reversibel yang mengubah bilirubin indirek yang bersifat toksik
menjadi bilirubin indirek yang non toksik yang dapat diekskresikan melalui
kandung empedu tanpa melalui konyugasi. Produk fototerapi lainnya adalah
lumirubin, sebuah isomer struktural yang dihasilkan dari bilirubin yang dapat
dieksresi melalui ginjal. Terapi penyinaran ini menggunakan tabung fluorensens
“biru spesial”, yang diletakkan 15-20 cm dari bayi dan kain fiberoptik fototerapi
diletakkan di punggung bayi untuk meningkatkan area kulit bayi yang terkena.3
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam
penggunaan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
 Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
 Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi
bayi.
29

 Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang
terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
 Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
 Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
 Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
 Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.

Gambar 5. Indikasi fototerapi pada neonatus berdasarkan kadar bilirubin serum3

Transfusi Tukar
Transfusi tukar dilakukan jika fototerapi intensif gagal mengurangi kadar
bilirubin dan jika ditakutkan akan menyebabkan komplikasi kernikterus. Transfusi
dilakukan dengan teknik aseptik. Indikasi transfus tukar:3
1. Diberikan kepada semua kasus ikterus dengan kadar bilirubin indirek > 20
mg/dL
30

2. Pada bayi prematur tranfusi tukar darah dapat diberikan walaupun kadar
albumin kurang dari 3,5 gram per 100 ml.
3. Pada kenaikan yang cepat bilirubin indirek serum bayi pada hari pertama (0,3–
1 mg/dL/jam). Hal ini terutama terdapat pada inkompatibilitas golongan darah.
4. Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda dekompensasi jantung.
5. Bayi penderita ikterus dan kadar hemoglobin darah tali pusat kurang dari 14
mg/dL dan Coombs test langsung positif.

Gambar 6. Indikasi Transfusi Tukar berdasarkan kadar bilirubin serum3

Metalloporfirin
Metalloporfirin sn-mesoporfirin (SnMP) adalah obat yang dapat diberikan
pada hiperbilirubinemia neonatus. Mekanisme kerjanya adalah sebagai inhibitor
enzimatik kompetitif dari enzim heme-oksigenase yang merubah protein-heme
menjadi biliverdin.
Selain itu juga pada kondisi lain:
a. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme
bilirubin(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
31

(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).


Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia.
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin
jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam
ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi
1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
b. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini.
c. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena
(500- 1000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk
mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun.
Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori immunoglobulin
menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan demikian
dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibodi.

2.8. Komplikasi
Jika bayi kuning patologis tidak mendapatkan pengobatan, maka dapat terjadi
penyakit kernikterus. Kernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul
sebagai akibatpenimbunan bilirubin tak terkonjugasi dalam sel-sel otak.
Kernikterus dapat menimbulkan kerusakan otak dengan gejala gangguan
pendengaran, keterbelakangan mental dan gangguan tingkah laku.1,5
Pada neonatus cukup bulan dengan kadar bilirubin yang melebihi 20 mg/dL
sering keadaan berkembang menjadi kernikterus. Pada bayi prematur batasnya ialah
18 mg/dL, kecuali bila kadar albumin serum lebih dari 3 g/dL. Pada neonatus yang
menderita asidosis dan hipoglikemia, kernikterus dapat terjadi walaupun kadar
bilirubin < 16 mg/dL. Pencegahan kernikterus ialah dengan melakukan transfusi
tukar darah bila kadar bilirubin I mencapai 20 mg/dL.1,5

2.9. Prognosis
32

Prognosis tergantung pada penyebab utama ikterik. Biasanya baik jika


ditangani secara tepat dan cepat. Namun jika komplikasi telah terjadi, prognosis
memburuk.5
BAB IV
ANALISA KASUS

Bayi laki-laki lahir di rumah sakit ditolong oleh SpOG, lahir secara sectio
caesaria atas indikasi riwayat sectio caesaria 2x dari ibu G3P2A0 hamil 36 minggu,
bayi lahir langsung menangis dengan APGAR score 8/9, berat badan lahir 2900
gram, panjang badan lahir 49 cm. Pasien datang dibawa orang tuanya dengan
keluhan kuning sejak + 2 hari yang lalu tanpa gejala lain yaitu, demam (-), ruam
dan bintik ditubuh bayi (-) lebam (-) kejang (-), muntah (-), perut membesar (-),
BAB dan BAK normal, riwayat penyakit pada ibu atau penyulit selama kehamilan
dan persalinan disangkal. Pada pasien ini, manifestasi kuning mulai terlihat sejak
bayi dirawat pertama kali dan kemudian datang kembali saat berusia 12 hari.
Anamnesis dilakukan untuk menyingkirkan differential diagnosis lain seperti
akibat inkomptabilitas golongan darah, infeksi TORCH, atau gangguan pada
sirkulasi enterohepatik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
dengan aktifitas yang sedang, refleks hisap sedang dan tangisan yang sedang tidak
ada distres pernapasan. Pada bayi tampak kuning meliputi mata dan seluruh tubuh
bayi (Kramer V) tanpa disertai keluhan yang lain, sehingga dapat ditegakkan
diagnosis ikterik neonatorum. Pada bayi, sering muncul ikterik pada minggu-
mingggu pertama kelahiran, sebab sel darah merah bayi memiliki waktu hidup yang
lebih singkat dibanding dewasa. Konsentrasi RBC di sirkulasi juga lebih tinggi
dibanding dewasa, sehigga kadar bilirubin akan menjadi lebih tinggi kemudian.
Metabolisme, sirkulasi dan ekskresi bilirubin juga lebih lambat dibanding dewasa.
Oleh karena itulah kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir tinggi ditambah lagi
siklus enterohepatik yang meningkat. Namun, pada kasus ini ikterus yang terjadi
tidak lagi dipikirkan sebagai ikterus yang fisiologis, sebab nilai bilirubin indirek
yang didapatkan pada usia bayi sekarang sudah sangat tinggi yaitu 17.9 mg/dl yang
melebihi persentil 95 pada normogram Bhutani, sehingga dapat ditegakkan
diagnosis hiperbilirubinemia (kadar bilirubin >5-7 mg/dL). Dengan kadar bilirubin
yang sangat tinggi, kita harus waspada terhadap komplikasi berupa kernikterus

33
34

(ensefalopati bilirubin). Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda perburukan


yang mengarah ke kernikterus.
Pada kasus ini, ikterus yang terjadi dipikirkan sebagai ikterus patologis,
tetapi etiologi pada kasus ini belum bisa ditegakkan. Penyebab lainnya seperti
inkompatibilitas golongan darah, rhesus dapat disingkirkan dari pemeriksaan
laboratorium. Untuk mencari etiologi lain masih diperlukan pemeriksaan penunjang
tambahan seperti darah rutin, darah tepi, retikulosit, CRP, LED, enzim G6PD, dan
screening TORCH untuk menyingkirkan penyebabnya. Kompetensi dokter umum
adalah mampu mengenali ikterik fisiologis dan patologis kemudian merujuk pasien.
Kebutuhan cairan bayi dihitung dan diapatkan kebutuhan cairan sebanyak
551 cc / 24 jam pada usia 13 hari, tetapi karena pada bayi ini merupakan indikasi
dilakukan fototerapi, kebutuhan cairan dinaikan 20% sehingga menjadi 661 cc / 24
jam. Kebutuhan cairan diberikan dengan pemberian ASI mula-mula 12 x 55 cc,
kemudian dinaikkan 5 cc setiap harinya sampai batas maksimal 60 cc/kali.
Kemudian kebutuhan cairan dinaikkan lagi sesuai dengan usia bayi pada follow-up
hari berikutnya. Fototerapi pada bayi dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
terjadinya kernicterus, patokan yang pasti perlu tidaknya fototerapi adalah
berdasarkan kurva AAP, pada pasien ini berdasarkan kurva patokan, dipakai garis
ke-2, sudah perlu dilakukan tindakan fototerapi. Fototerapi dapat dihentikan sampai
kadar bilirubin total 2-3 mg/dl dibawah garis pedoman atau kadar serum bilirubin
normal (manifestasi ikterik tidak terlihat lagi).
Pada bayi sebaiknya perlu dilakukan pemeriksaan nilai bilirubin serial setiap
24 jam untuk evaluasi keberhasilan terapi, tetapi pada pasien ini dengan
memanfaatkan Transcutaneous bilirubinometer (TcB), tidak perlu dilakukan
pengambilan darah dan pemeriksaan serum bilirubin setiap harinya, pemeriksaan
bilirubin total dilakukan kembali pada saat klinis pasien membaik dan ikterik tidak
terlihat lagi, serta TcB menunjukkan rentang perbaikan kadar serum bilirubin. Bayi
dipulangkan bila secara klinis dan hasil laboratorium dari bilirubin telah membaik,
serta tidak terdapat tanda bahaya atau tanda infeksi berat. Prognosis pada pasien ini
bonam selama komplikasi berupa kernikterus tidak terjadi. Pasien dianjurkan untuk
kontrol kembali ke rumah sakit setelah 3-5 hari atau terdapat tanda-tanda
perburukan klinis pasien.
35

LAMPIRAN
36

Tabel 2. Konsentrasi Serum Bilirubin Indirect dan Hubungannya terhadap


Progresivitas Ikterus pada Kulit

Sumber : Kramer, L. I. (1969). Advancement of Dermal Icterus in the Jaundiced


Newborn. Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, 118(3), 454.

Tabel 3. Assesmen Visual Ikterus Neonatorum (Kramer’s Rule)

Sumber : Ministry of Health Malaysia. Clinical Practice Guidelines, Management


of Neonatal Jaundice. 2014.

Tabel 4. Perbandingan Peningkatan Kadar Bilirubin dengan Progresivitas


Chepalocaudal Ikterus pada Kulit terhadap Kramer

Sumber : Rai, Seema, et al. Association of Dermal Icterus with Serum Bilirubin in
Newborns Weighing <2000 Grams. International Journal of Scientific Study. Oct
2015. 3 (7): 65-69
Tabel 5. Panduan Pewarnaan Kulit terhadap Kadar Bilirubin (Modifikasi dari
Artikel Original Kramer)

Sumber : Mishra, Satish, et al. 2007 Jaundice in the Newborns. AIIMS-NICU


protocols. Departement of Pediatrics, All India Institute of Medical Sciences.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim, M. Sholeh, Dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta: Balai
R Q3 Penerbit IDAI. 2010;147-169.
2. Wibowo, Satrio. 2010. Perbandingan Kadar Bilirubin Neonatus Dengan Dan
Tanpa Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase pada Infeksi Dan
Tidak Infeksi. Tesis pada Program Pendidikan Dokter Spesialis–I Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Diponegoro Semarang.
3. Ambalavanan N, Carlo WA. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn;
in Kliegman, et al (Ed): Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
Elsevier Inc.; 2011. Chapter 96.3;603-8
4. David C. Dugdale. Medline plus. 2013; (Diakses di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htmpada tanggal 13
September 2019).
5. Hasan R, Alatas H. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 11. Jakarta:
Bagian IKA FKUI. 2007.
6. Mansjoer, A. (2008). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius.
7. Asil A. Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus; dalam A.H. Markum
(Ed): Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2002;313-317.
8. Garna H, Nataprawira HMD. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan
anak. Edisi ke-3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad. 2005;
Ikterus Neonatorum;102-8.
9. Crawford, James R. Hati Dan Saluran Empedu; dalam Robbins: Buku Ajar
Patologi, volume 2. Jakarta: Penerbit Buku EGC. 2007;665-670.
10. Suradi, Nurina, et al. The Association Of Neonatal Jaundice And Breast-
Feeding. Paediatrica Indonesiana. 2001;41:69-75.
11. Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC.
2007;906-907.
12. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F.Phototherapy For Neonatal Jaundice.
New England Journal of Medicine;2008p.358:920-8.
38

13. Sulaiman, Ali. Pendekatan Klinis Pada Pasien Ikterus dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. 2007. H. 420-423.

Anda mungkin juga menyukai