Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

DENGUE SHOCK SYNDROME

Oleh:
Kang Yee Lea, S.Ked 04084821820048
N.P Ayu Oka Shinta, S.Ked 04084821820030

Pembimbing:
dr. T. Mirda Zulaicha, M.Ked(Ped), Sp.A
dr. Dian Maya Sari, Sp.A

Narasumber:
Dr. dr. Yulia Iriani, Sp.A (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

DENGUE SHOCK SYNDROME

Oleh:

Kang Yee Lea, S.Ked 04084821820048


N.P Ayu Oka Shinta, S.Ked 04084821820030

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSMH periode 4 Februari 2019 – 15 April 2019.

Kayu Agung, April 2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Dengue Shock Syndrome”

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di. Pada kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. T. Mirda Zulaicha, M.Ked(Ped),
Sp.A, dr. Dian Maya Sari, Sp.A, Dr. dr Yulia Iriani, Sp.A(K) atas bimbingan
yang telah diberikan.

Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi


penulis pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, April 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii

KATA PENGANTAR...................................................................................... iii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 5

BAB II LAPORAN KASUS............................................................................ 6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 22

BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................ 38

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 48

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever (DHF) merupakan
penyakit demam akut akibat infeksi virus dengue disertai adanya bukti plasma leakage yang
bertendensi menimbulkan syok dan kematian.Virus dengue ditularkan melalui gigitan
nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus.1,13 Virus dengue termasuk kelompok
genus Flavivirus dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.
Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia terutama daerah tropis dan subtropis dengan
sekitar 2,5 milyar penduduk yang beresiko terkena penyakit ini.1
. Laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat di tahun 2015 pada bulan
Oktober ada 3.219 kasus DBD dengan kematian mencapai 32 jiwa, sementara November ada
2.921 kasus dengan 37 angka kematian, dan Desember 1.104 kasus dengan 31 kematian.
Dibandingkan dengan tahun 2014 pada Oktober tercatat 8.149 kasus dengan 81 kematian,
November 7.877 kasus dengan 66 kematian, dan Desember 7.856 kasus dengan 50 kematian.4
Manifestasi klinis pada pasien dengan DBD adalah demam tinggi, perdarahan
terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).
Selain itu terdapat kriteria laboratoris yaitu trombositopeni dan hemokonsentrasi (hematokrit
meningkat). DBD dapat dibedakan menjadi 4 derajat yaitu derajat I apabila demam dengan
uji bendung positif, derajat II yaitu apabila terdapat tanda derajat I disertai perdarahan
spontan di kulit atau perdarahan lain, derajat III apabila ditemui kegagalan sirkulasi, yaitu
nadi cepat dan lemah (syok) dengan perbedaan sistolik dan diastolik  20 mmHg, derajat IV
yaitu syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.5
Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita
Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue. Dengue Shock Syndrome
bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan masyarakat yang menyebar dengan luas
dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu permasalahan klinis, karena 30-50% penderita
demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan kematian terutama
bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.15
Berikut dilaporkan sebuah kasus dengue shock syndrome pada seorang anak perempuan
berumur 10 tahun yang dirawat di bagian Anak Rumah Sakit Umum Daerah Kayu Agung.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : An. K
Umur / Tanggal Lahir : 10 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. H
Nama Ibu : Ny. SH
Alamat : Kayu Agung
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : 20 Maret 2019

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamnesis diberikan oleh orang tua pasien)
Tanggal : 20 Maret 2019 pukul 23.00

Keluhan utama : Demam


Keluhan tambahan : Sakit perut
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit anak mengalami demam tinggi yang timbul
mendadak dan terus menerus, menurut ibu pasien demam cukup tinggi namun suhu
tidak diukur, tidak ada riwayat berpergian, keluhan tambahan penyerta demam seperti
mencret, muntah, sesak, kejang, penurunan kesadaran, mimisan dan gusi berdarah
disangkal. Sudah minum obat penurun panas namun demam timbul kembali. Anak
mengaku merasa sakit kepala, nyeri sendi, sakit perut dan tidak nafsu makan. Anak
masih beraktivitas seperti biasa. BAB dan BAK normal.
1 hari sebelum masuk rumah sakit anak masih demam, suhu tidak terukur. Pasien
masih nyeri sendi, sakit kepala, nyeri perut dan keluar bintik-bintik merah pada lengan
dan kaki, menurut ibu anak sudah mulai kurang aktif. BAB masih normal dan BAK
berkurang dengan frekuensi 1-2 kali dalam sehari, dibawa ke klinik Sp.A dan

6
ditemukan akral dingin, badan lemas, iritabel dan disarankan untuk dirawat ke Rumah
Sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat mengalami keluhan yang sama sebelumnya disangkal.
- Riwayat kontak dengan orang yang batuk lama atau minum obat 6 bulan disangkal.
- Riwayat timbul memar tanpa sebab disangkal.
- Riwayat perdarahan sukar berhenti disangkal.
- Riwayat minum obat sakit kepala dan penurun panas dalam jangka waktu lama
disangkal.
- Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Riwayat mengalami keluhan yang sama dengan pasien disangkal
- Riwayat demam berdarah disangkal
- Riwayat malaria disangkal
- Riwayat penyakit tipes disangkal
- Riwayat batuk lama dan mengonsumsi obat 6 bulan disangkal

Riwayat lingkungan
- Riwayat kejadian DBD di sekitar rumah tidak ada
- Riwayat kejadian DBD di lingkungan sekolah ada
- Saat ini sedang musim penghujan di daerah pasien tinggal, banyak genangan air disekitar
rumah

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa Kehamilan : Cukup bulan
Partus : Spontan, per vaginam
Tempat : Rumah
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 19 September 2008
BB : 3000 g
TB : 48 cm

7
Lingkar kepala : Ibu lupa

Riwayat Makanan
ASI : 0 bulan – 2 tahun
Susu botol : 6 bulan – 4 tahun
Bubur Nasi : 12 -24 bulan
Nasi Tim/lembek : 6 – 12 bulan
Nasi Biasa : 24 bulan – sekarang
Daging : 1-2x/minggu
Tempe : Dalam 1 minggu ± 3x
Tahu : Dalam 1 minggu ± 3x
Sayuran : Cukup
Buah : Cukup
Kesan : kualitatif dan kuantitatif cukup

Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR ULANGAN
Umur Umur Umur Umur
BCG 1 bln
DPT 1 2 bln DPT 2 4 bln DPT 3 6 bln
HEPATITIS 0 bln HEPATITIS 2 bln HEPATITIS 3 bln
B1 B2 B3
Hib 1 - Hib 2 - Hib 3 -
POLIO 1 0 bln POLIO 2 2 bln POLIO 3 4 bln
CAMPAK 9 bln POLIO 4 6 bln

KESAN : Imunisasi PPI diberikan sampai dengan usia 9 bulan dan booster tidak
diberikan. Imunisasi non PPI tidak diberikan.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik


Pertumbuhan

BB/U : P 50 – P 75 (normoweight)
TB/U : P 50 (normoheight)
BB/TB : 30/29 x 100% = 103,4%

8
Kesan : Status gizi baik

Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 8 bulan Berdiri : 11 bulan
Berbalik : 3 bulan Berjalan : 12 bulan
Tengkurap : 3 bulan Berbicara : 14 bulan
Merangkak : 7 bulan Kesan : Perkembangan baik
Duduk : 6 bulan

Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol : berhenti sejak usia 1 tahun
Ngompol : berhenti sejak usia 2 tahun
Sering Mimpi : tidak
Aktivitas : aktif
Membangkang : tidak
Ketakutan : tidak
Kesan : Perkembangan mental baik

III. Pemeriksaan Fisik (pada tanggal 20 Maret 2019 pukul 01.00 WIB)
a. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB : 30 kg
TB : 133 cm
Status gizi : Gizi baik
Suhu : 38,2 oC

Respirasi : 30x/menit

Tipe Pernapasan : torakoabdominal

Tekanan Darah : 90/70 mmHg

Nadi : 136x/ menit, reguler, isi dan tegangan kurang

Kulit : pucat (+), ikterik (-), ptekie (+) di tangan dan kaki, edema (-)

9
b. Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, alopesia
(-)
Mata : Palpebra superior tidak edema, mata tidak cekung,
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, air mata ada,
pupil bulat isokor diameter 3mm/3mm refleks cahaya +/+
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), sekret (-), hiperemis (-)
Telinga : Bentuk normal, CAE lapang, sekret (-)
Mulut : Sianosis (-), cheilitis (-), tidak kering
Gigi : Tidak ada karies
Lidah : Simetris, tidak ada atrofi papil, oral thrush (-), tremor (-)
Tenggorokan : Arcus faring simetris, hiperemis (-), post nasal drip (-),
tonsil T1-T1 tenang.
Leher : Lymphadenopathy (-), trakhea ditengah, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid.

THORAX
Paru
- Inspeksi : Pergerakan dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak terdapat retraksi
- Palpasi : Stem fremitus kanan-kiri dan depan-belakang sama kuat,
tidak ada krepitasi, tidak teraba benjolan

- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar di ICS VI


linea mid clavicularis dekstra

- Auskultasi : Suara pernapasan vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-),


wheezing (-/-)

Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

- Palpasi : iktus kordis tidak teraba

- Perkusi : redup, batas jantung

10
kanan atas : ICS II linea para sternalis dextra

kanan bawah : ICS IV linea para sternalis dextra

kiri atas : ICS II linea mid clavicularis sinistra

kiri bawah : ICS IV linea mid clavicularis sinistra

- Auskultasi : BJ I dan II (+)

suara tambahan: murmur (-) gallop (-)

ABDOMEN

- Inspeksi : Tampak datar


- Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba, defans muskular (-), turgor kulit
<2”, nyeri tekan (+) epigastrium
- Perkusi : shifting dullness (+)
- Auskultasi : Bising usus (+) 3-5 kali/menit, normal.

EKSTREMITAS
Ekstremitas : Akral dingin, CRT >3”, deformitas (-), edema (-)
Kulit : Ptechiae (+) di regio brachialis dan cruris dextra et sinistra, pucat (+)
Genitalia : Edema (-)

STATUS NEUROLOGIKUS
Lengan Lengan
Fungsi motorik Kaki kanan Kaki kiri
Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks
Tidak ada kelainan
fisiologis
Refleks
Tidak ada kelainan
patologis
Gejala rangsang Tidak ada kelainan

11
meningeal
Fungsi motorik Dalam batas normal
Nervi craniales Dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Hematologi RSUD Kayu Agung tanggal 20 Maret 2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 12.7 11.3-14.1 g/dL
Trombosit 20* 150-400 ribu/mm3
Hematokrit 35 35-45 %
Leukosit 5.4 3.2-10.0 ribu/mm3
Eritrosit 4.1 3.8-5.0 juta/mm3
Limfosit 36.7 15-45 %
Neutrofil 51.8 55-80 %
Gula Darah 108 60-100 mg/dL
Sewaktu
C-Reactive Negatif
Protein

V. DAFTAR MASALAH
1. Demam 6 hari terus-menerus
2. Tanda- tanda perdarahan (ptechiae)
3. Kaki dan tangan dingin
4. Keringat dingin
5. Nyeri sendi
6. Trombositopenia
7. Perbedaan sistol dan diastol  20 mmHg

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. DBD grade III
2. Demam tifoid
3. ITP

12
VII. DIAGNOSIS KERJA
Dengue Shock Syndrome (DBD Grade III)

VIII. PENATALAKSANAAN
Non farmakologis :
Tirah baring
Oksigenasi: O2 nasal kanul 2L/menit
Monitoring TTV, tanda-tanda perdarahan, tanda-tanda syok
Cek ulang Hb,Ht, trombosit setelah terapi
Balance diuresis tiap 6 jam
 Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada orang tua dan keluarga mengenai
kondisi pasien
 Anak memulai fase bebas demam (fase kritis)
 Pengobatan utama adalah cairan
 Minum air yang banyak
 Melaksanakan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M plus (menguras, menutup
dan mengubur barang-barang yang dapat menjadi sarang nyamuk).
Menganjurkan agar memakai lotion mencegah gigitan nyamuk
 Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
 Menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas maupun kuantitasnya

Farmakologis :
IVFD RL 30cc/jam
Paracetamol Syrup 3x1 cth (jika suhu >38.5’C)
Drip dobutamine 450 mg dalam D5% dengan kecepatan 1cc/jam

IX. RENCANA PEMERIKSAAN


1. Cek ulang hemoglobin, hematocrit dan tromobosit

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : bonam

13
25/03/2019
Tanggal S/ Keterangan
Dirawat hari ke-5
21/03/2019 Keluhan : demam (-), nyeri perut (-)
S/
Sakit harihari
Dirawat ke-10
ke-1 O/
Keluhan : Demam (-), makan dan minum baik, volume
Bebashari
Sakit demam
ke 6 hari ke-5 Pemeriksaan
dan Fisik
warna BAK Umum
baik, terdapat bintik merah pada tangan
dan kaki Umum:
Keadaan
XI.
O/
Sens: CM (E4M6VSatuan
5)
Jenis
Jenis Hasil
Hasil Rujukan
Rujukan Satuan
Pemeriksaan
Pemeriksaan Pemeriksaan
TTV: Fisik Umum

Hematologi Keadaan Umum:


TD: 100/70 mmHg
Hb
Hb 12.7
12.6
12.8
12.7 Sens:
HR: 90CM (E4M6V
x/menit,
11.3-14.1
11.3-14.1 )g/dL isi dan tegangan kuat
reguler,
5g/dL

Ht
Ht 36
38
39
39 TTV:
RR :28
37-41x/menit
35-41 %%
T : 37
TD:
o
C mmHg 3 3μL
90/60
Trombosit
Trombosit 22
26
46
20 150-400
150-400 1010/ / μL
SpO2130x/menit,
HR: : 98% reguler, isi dan tegangan cukup
FOLLOW UP
Diuresis:
RR 2.2 cc/kgBB
: 36x/menit
Pemeriksaan
T : 36.5oC Fisik Spesifik

SpOKepala
2: 98%
: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik

Input: 1720 cc (-), epistaksis (-)


Thoraks
Output: 1650 cc : simetris, retraksi (-)
Pulmo
Balance: 172,5 :vesikuler (+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)
Cor
D: 3.27 : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop

Pemeriksaan Fisik(-)Spesifik
Abdomen :: konjungtiva
Kepala datar, lemas,anemis
BU (+)
(-),normal, hepar
sklera ikterik
danepistaksis
(-), lien tidak (-),
teraba, turgor kulit <3”,

Thoraks nyeri tekan


: simetris, (-) (-)
retraksi
Jenis Hasil Rujukan Satuan
Ekstremitas
Pulmo Pemeriksaan
: akral hangat,
:vesikuler (+)CRT<3”,
normal,ptekie (-)
ronkhi (-),
Hematologi
wheezing (-)
Cor : BJ I dan II Hb
normal, murmur
12.7(-), gallop
11.3-14.1 g/dL
Pemeriksaan Penunjang
(-) Ht 37 37-41 %
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal,
Trombosit 92 hepar150-400 103/ μL
danperbaikkan
A : DBD grade III lien tidak teraba, turgor
sakit hari ke kulit <3”,
10 bebas
demam 5 hari shifting dullness(+), nyeri tekan (+)
+ Trombositopenia
pada epigastrium
Ekstremitas : akral hangat, CRT<3”, ptekie (+) pada
P: Non farmakologis :
regio brachialis et cruris dextra et
Tirah baring
sinistra
Monitoring TTV
Cek ulang
Diuresis: Hb,Ht, trombosit
3.0 cc/kgBB/jam

Pemeriksaan Penunjang
14
Farmakologis :
IVFD RL 20ml/jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Demam Berdarah Dengue dan Dengue Shock Syndrome (DSS)

15
1.1.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang masuk ke dalam tubuh yang
ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Aedes aegypti.9

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang


disebabkan oleh virus dengue yang ditandai dengan terjadinya kebocoran plasma di
pleura dan rongga abdomen yang tidak terjadi pada Demam Dengue (DD).
Kehilangan plasma yang signifikan pada DBD dapat mengakibatkan syok
hipovolemik.10 Syok pada penyakit DBD yang dikenal dengan Dengue Shock
Syndrome (DSS) merupakan syok hipovolemik yang dapat mengakibatkan gangguan
sirkulasi dan membuat penderita tidak sadar kerena hilangnya cairan plasma. 11 Dengue
Shock Syndrome (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD disertai
dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari
DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat
paling berat, yang berakibat fatal. (12,13,14)
Pada keadaan yang parah bisa terjadi
kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran
plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS).

Dengue Shock Syndrome (DSS) yaitu terjadinya kegagalan sirkulasi darah


karena plasma darah merembes keluar dari pembuluh darah yang mengakibatkan
darah semakin mengental yang ditandai dengan denyut nadi yang lemah dan cepat,
disertai hipotensi dengan tanda kulit yang teraba dingin dan lembab serta penderita
tampak gelisah hingga terjadinya syok/renjatan berat (denyut nadi menjadi tidak
teraba, dan tekanan darah tidak terukur). 15

DSS terjadi pada penderita DBD derajat III dan IV. Kelainan klinik yang
menunjukkan ancaman terjadinya syok adalah hipotermi, nyeri perut, muntah dan
penderita gelisah. Pada DBD derajat III terdapat tanda-tanda terjadinya syok (DSS),
yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, gelisah, sianosis sekitar mulut,
kulit teraba dingin dan lembab, terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki,
sedangkan pada DBD derajat IV pasien sedang mengalami syok, terjadi penurunan
kesadaran, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur. 16

Kebocoran plasma merupakan patogenesis utama menimbulkan syok dan


kematian. Kondisi penderita yang berlanjut menjadi syok akan memburuk secara

16
cepat setelah periode demam 2-7 hari. Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan
kondisi DBD yang berkembang menjadi lebih parah dan biasanya terjadi pada hari ke
3 hingga ke 7 pada saat suhu tubuh mulai menurun. DSS umumnya dapat
menyebabkan kematian dalam waktu 8-24 jam, apabila tidak ditangani dengan cepat
dan sebaliknya pasien dapat segera sembuh jika dilakukan terapi untuk
mengembalikan cairan tubuh.Masa penyembuhan penderita DSS dapat terjadi dalam
waktu singkat.Walaupun penderita mengalami syok yang berat, ketika mendapatkan
penanganan yang tepat maka penderita akan membaik dalam waktu 2-3 hari meskipun
asites dan efusi pleura masih ada. Prognosis yang baik ditunjukkan dengan jumlah
urine yang cukup dan kembalinya nafsu makan penderita.17

1.1.2 Epidemiologi
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sampai saat ini masih menjadi masalah dan
perhatian di dunia internasional. Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang
banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia
Tenggara, Amerika Tengah, Amerika, dan Karibia. Terhitung sejak tahun 1968
hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia
sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. 18,19 Demam berdarah
dengue di Asia Tenggara pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953. Pola
kecenderungan DBD dari tahun 1968– 2008 angka kasusnya semakin meningkat
tajam. Puncak kasus DBD yaitu pada tahun 1988, 1998, dan 2007, dan sepertinya
mendekati pola 10 tahunan.19,20

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu infeksi


arboviral yang diderita 2,5 juta masyarakat di dunia dan menjadi salah satu masalah
kesehatan yang belum terselesaikan. Setiap tahun diperkirakan terjadi infeksi pada 50
sampai 100 juta orang di dunia dengan angka rawat di rumah sakit sebanyak 500.000
kasus dengan spektrum klinis ringan sampai berat.21 Sekitar 50 juta infeksi dengue
diperkirakan terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya dan 0,5-1% kasus merupakan
infeksi berat. Asia menempati urutan pertama jumlah penderita DBD terbanyak setiap
tahunnya. WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara sejak tahun 1968 hingga tahun 2009. 22 Pada tahun 2015
terjadi peningkatan kasus DBD di Indonesia sebanyak 129.650 orang dibanding tahun
2014 yaitu sebanyak 100.347 orang. Kasus DBD tertinggi di Indonesia pada urutan

17
kedua di tahun 2015 terjadi di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 188,46 per 100.000
penduduk.23

Sindrom Syok Dengue (SSD) merupakan keadaan darurat medik dengan angka
kematian cukup tinggi, SSD berawal dari Demam Berdarah Dengue (DBD) yang
kemudian mengalami syok. DBD adalah infeksi arboviral yang disebarkan oleh
nyamuk Aedes aegypti. WHO memperkirakan bahwa 2,5 miliar orang secara global
berisiko terkena penyakit ini.24 Penyakit dengue dilaporkan telah menyebar ke lebih
dari 100 negara di dunia.1 Kasus dengue ditemukan sekitar 20 juta di seluruh dunia
setiap tahunnya, dan sekitar 500 ribu merupakan kasus berat yaitu demam berdarah
dengue/DBD dan sindrom syok dengue/SSD yang memerlukan perawatan. Case
fatality rate (CFR) penyakit dengue bila diobati bervariasi antara 1%-5% dan bila
tidak diobati 40%. Kebanyakan penderita DBD adalah anak anak.25

1.1.3 Etiologi
Penyebab DBD adalah virus dengue, memiliki 4 serotipe (dengue-1, dengue-2,
dengue-3, dan dengue-4), yang telah ditemukan di berbagai daerah di indonesia,
termasuk dalam grup B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Hasil penelitian di
Indonesia menunjukkan bahwa dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat
dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya kemudian dengue-2, dengue-1,
dan dan dengue-4.26

1.1.4 Manifestasi Klinis

Secara umum penderita dengue ditandai oleh demam yang mendadak tinggi dan terus-
menerus. Secara klinis dibagi menjadi tiga fase:

1. Fase febrile ditandai dengan demam yang mendadak tinggi, disertai nyeri kepala,
nyeri otot seluruh badan, nyeri sendi, kemerahan pada wajah (flushing), dan
eritema kulit. Gejala nonspesifik seperti anoreksia, nausea, dan muntah sering
ditemukan. Pada fase ini secara klinis sulit untuk membedakan kasus dengue berat
dengan yang tidak berat. Pada pemeriksaan laboratorium darah, penurunan jumlah

18
leukosit (leukopenia) merupakan kelainan yang ditemukan paling awal. Jumlah
trombosit dan nilai hematokrit sering kali masih dalam batas normal. Fase ini
biasanya berlangsung selama 2–7 hari
2. Fase kritis yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai mengalami penurunan sampai
mendekati batas normal (defervescence).
Biasanya fase ini terjadi pada hari ke-3–7 (paling sering hari ke- 4–6) sejak dari mulai
sakit. Pada saat ini biasanya mulai terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang
ditandai penurunan nilai hematokrit disertai jumlah trombosit yang menurun secara
nyata. Fase ini biasanya berlangsung singkat selama 24–48 jam. Pada penderita
yang tidak mengalami peningkatan permeabilitas kapiler akan menunjukkan
perbaikan klinis menuju kesembuhan, sebaliknya bila terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler yang hebat, akan terjadi perembesan plasma (plasma
leakage), dan apabila tidak mendapat terapi cairan yang memadai, dapat
menyebabkan syok sampai kematian.

3. Fase pemulihan ditandai dengan perbaikan keadaan umum, nafsu makan pulih,
hemodinamik stabil, dan diuresis cukup. Keadaan ini akan berlangsung secara
berangsur dalam waktu 48–72 jam. Nilai hematokrit akan mengalami penurunan
sampai stabil dalam rentang normal disertai peningkatan jumlah trombosit secara
cepat menuju nilai normal.27

1.1.5 Klasifikasi DBD dan DSS

Derajat Penyakit Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap
derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi).

 Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


perdarahan ialah uji bendung.
 Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan
lain.
 Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.
 Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.28

19
1.1.6 Diagnosis

1.1.6.1 Anamnesis

-Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari

-Disertai lesu, tidak mau makan, dan muntah

-Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut

-Diare kadang-kadang dapat ditemukan

-Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan.1

1.1.6.2. Pemeriksaan fisis

 Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,
nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis,
nyeri di bawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih
mencolok pada DD daripada DBD.
 Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan
pada DBD.
 Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma,
hipovolemia dan syok.
 Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.
 Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini
suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi
ringan namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
 Perdarahan dapat berupa petekie, epistaksis, melena, ataupun hematuria.1
1.1.6.2.1 Tanda-tanda syok

- Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis


- Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba
- Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg

20
- Akral dingin, capillary refill menurun
- Diuresis menurun sampai anuria
- Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan terjadi komplikasi
berupa asidosis metabolik dan perdarahan hebat.1

1.1.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

- Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit & hitung jenis, hematokrit,


trombosit.
- Pada apusan darah perifer juga dapat dinilai limfosit plasma biru,
peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD
- Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase
konvalesens

- Infeksi primer, serum akut <1:20, serum konvalesens naik 4x atau lebih namun
tidak melebihi 1:1280
- Infeksi sekunder, serum akut < 1:20, konvalesens 1:2560; atau serum akut 1:20,
konvalesens naik 4x atau lebih
- Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive secondary
infection): serum akut 1:1280, serum konvalesens dapat lebih besar atau sama
Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis)

- Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-
ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan
plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.1
- Kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan, hemitoraks kanan lebih radio opak dibandingkan kiri, kubah diafragma
kanan lebih tinggi dari pada kanan, dan efusi pleura.
- USG: efusi pleura, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea dan
vesica urinaria.1

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri dari
kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:28

21
1. Klinis
Gejala klinis berikut harus ada, yaitu:

1) Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari.
2) Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
• uji bendung positif

• petekie, ekimosis, purpura

• perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi

• hematemesis dan atau melena

3) Pembesaran hati.
4) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan
nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit
lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak
gelisah.28

2. Laboratorium
1) Trombositopenia (100 000/µl atau kurang)
2) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan
manifestasi sebagai berikut:
• Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar

• Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan

• Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.28

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD.28

Dengue Shock Syndrome (Sindrom Syok Dengue/SSD)

Kriteria untuk DBD seperti di atas dengan tanda syok:

1. Takikardia, ekstremitas dingin, CRT memanjang, nadi lemah, letargis, gelisah


yang mungkin merupakan penurunan perfusi otak.

22
2. Tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan tekanan diastol meningkat, misal 100/80
mmHg.
3. Hipotensi menurut usia, didefinisikan dengan tekanan sistol <80 mmHg untuk
usia <5 tahun atau 80–90 mmHg untuk anak yang lebih besar dan dewasa.27

1.1.7 Tatalaksana

Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian, (1) Tersangka DBD, (2)
Demam Dengue (DD) (3) DBD derajat I dan II (4) DBD derajat III dan IV (DSS). 1

1.1.7.1 DBD tanpa syok (derajat I dan II)

Medikamentosa

- Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.


- Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
- Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran
cerna kortikosteroid tidak diberikan.
- Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.1

Suportif

- Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler


dan perdarahan.
- Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa peralihan dari
fase demam ke fase syok disebut time of fever differvesence dengan baik.
- Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus-menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2)
nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.1

1.1.7.2 DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)

- Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10-20
ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum teratasi

23
tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30 ml/kgbb/jam, maksimal
1500 ml/hari.
- Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume cairan
diturunkan menjadi 7ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3 ml apabila tanda vital dan
diuresis baik.
- Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
- Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.
- Oksigen 2-4 l/menit pada DBD syok.
- Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
- Indikasi pemberian darah:1

1.1.7.3 Terdapat perdarahan secara klinis

- Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun,
diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgbb
- Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil
- Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID) pada syok berat yang
menimbulkan perdarahan masif.
- Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai plasma segar
(berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah perdarahan lebih hebat.1

1.1.7.4 Penanganan kelebihan cairan

1) Kelebihan cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok.


Hal ini dapat terjadi karena:

a. kelebihan dan/atau pemberian cairan yang terlalu cepat


b. penggunaan jenis cairan yang hipotonik
c. pemberian cairan intravena yang terlalu lama
d. pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan kebocoran
yang hebat.
Tanda awal:

a. napas cepat

24
b. tarikan dinding dada ke dalam
c. efusi pleura yang luas
d. asites
e. edema peri-orbital atau jaringan lunak.28

1) Tanda-tanda lanjut kelebihan cairan yang berat -


a. edema paru
b. sianosis
c. syok ireversibel.
Tatalaksana penanganan kelebihan cairan berbeda tergantung pada keadaan apakah
klinis masih menunjukkan syok atau tidak:

a. anak yang masih syok dan menunjukkan tanda kelebihan cairan yang berat sangat
sulit untuk ditangani dan berada pada risiko kematian yang tinggi. Rujuk segera.
b. Jika syok sudah pulih namun anak masih sukar bernapas atau bernapas cepat dan
mengalami efusi luas, berikan obat minum atau furosemid intravena 1
mg/kgBB/dosis sekali atau dua kali sehari selama 24 jam dan terapi oksigen (lihat
halaman 302).
c. Jika syok sudah pulih dan anak stabil, hentikan pemberian cairan intravena dan jaga
anak agar tetap istirahat di tempat tidur selama 24–48 jam. Kelebihan cairan akan
diserap kembali dan hilang melalui diuresis.28

1.1.7.5 Pemantauan

1) Untuk anak dengan syok:


a. Petugas medik memeriksa tanda vital anak setiap jam (terutama tekanan nadi) hingga
pasien stabil, dan periksa nilai hematokrit setiap 6 jam.
b. Dokter harus mengkaji ulang pasien sedikitnya 6 jam.28

2) Untuk anak tanpa syok:


a. Petugas medis memeriksa tanda vital anak (suhu badan, denyut nadi dan tekanan
darah) minimal empat kali sehari dan nilai hematokrit minimal sekali sehari.

25
b. Catat dengan lengkap cairan masuk dan cairan keluar. Jika terdapat tanda berikut:
syok berulang, syok berkepanjangan, ensefalopati, perdarahan hebat, gagal hati akut,
gagal ginjal akut, edem paru dan gagal napas, segera rujuk.28

1.1.7.6 Kriteria untuk Pulang dari Perawatan

1) Bebas demam sekurangnya 24 jam tanpa pemberian antipiretik


2) Pada SSD min. 2–3 hr sesudah syok teratasi
3) Nafsu makan sudah pulih kembali
4) Secara klinis tampak perbaikan
5) Tidak terdapat tanda distres pernapasan akibat efusi pleura atau kelebihan cairan dan
tidak terdapat asites
6) Jumlah trombosit naik minimal mencapai 50.000/mm3.27

26
Gambar 1. Tatalaksana Kasus Tersangka DBD/Infeksi Virus Dengue 1

27
Gambar 2. Tatalaksana DBD (Rawat Inap) atau Demam Dengue 1

28
Gambar 3. Tatalaksana DBD Derajat I dan II 1

29
Gambar 4. DBD derajat III dan IV atau DSS 1

1.1.8 Komplikasi

Apabila syok tidak segera diatasi, maka penderita dapat mengalami komplikasi berupa
asidosis metabolik dan perdarahan hebat pada gastrointestinal dan organ lainnya. Jika
terjadi perdarahan intrakranial penderita dapat mengalami kejang hingga koma,
sehingga dapat menyebabkan penderita meninggal dunia. Syok yang dapat diatasi

30
dalam waktu 2-3 hari akan menunjukkan perbaikan berupa pengeluaran urin yang
cukup dan peningkatan nafsu makan.29

1.1.9 Prognosis

Prognosis kegawatan DBD tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat, segera dan
pemantauan syok secara ketat. Sekali DSS teratasi walaupun berat, penyembuhan
akan terjadi dalam 2-3 hari. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardia,
takipneu dan kesadaran, diuresis cukup dan nafsu makan timbul. Lama perjalanan
DBD berat adalah 7- 10 hari. Pada masa konvalesen DBD biasanya terdapat
bradikardia atau aritmia.30

31
BAB IV
ANALISIS KASUS

An. K, perempuan, 10 tahun datang dengan keluhan kaki dan tengan teraba dingin,
badan lemas dan berkeringat dingin, BAB hitam, serta demam tinggi mendadak terus
menerus sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Anak didiagnosis Dengue Shock Syndrome
(DBD Grade III). Pada saat di IGD, dilakukan Pediatric Assessment Triangle (PAT) pada
pasien, disimpulkan bahwa pasien mengalami syok karena didapatkan gangguan pada
tampilan umum yaitu pasien tampak lemas, masih memberi respon ke lingkungan sekitar
dengan rangsangan suara dan dari hasil pemeriksaan diapatkan kontak mata dengan
pemeriksa masih baik namun pandangan anak sesekali kosong sambil menatap ke depan atau
tidak fokus, serta gangguan pada sirkulasi dimana pasien tampak pucat. Setelah pemeriksaan
PAT secara umum, dilakukan pemeriksaan survey primer didapatkan TD 90/60 mmHg, nadi
138 x/menit dengan isi dan tegangan kurang, frekuensi napas 32x/menit, akral dingin, dan
dan CRT >3 detik. Berdasarkan gejala klinis yakni takikardi, volume nadi menurun, waktu
pengisian kapiler meningkat, kulit dingin dan pucat, takipneu, dan agitasi ringan, maka anak
ini telah mengalami syok fase kompensasi yang membutuhkan penatalaksanaan segera untuk
mencegah terjadi perburukan.

Terapi awal yang diberikan adalah pemberian O2 2L/menit via nasal kanul. Pemberian
oksigen harus selalu dilakukan pada semua pasien syok. Selain itu dilakukan pemasangan
infus cairan intravena berupa ringer laktat (RL) 600 cc dalam dua jalur intravena dalam
waktu secepatnya. Resusitasi awal cairan intravena pada keadaan syok adalah dengan larutan
kristaloid 20 ml/kg berat badan dalam 10-30 menit. Berat badan pasien adalah 30 kg. Pada
pasien kondisi membaik setelah dilakukan pemberian cairan awal sehingga jumlah cairan
yang diberikan dikurangi menjadi 300 ml dalam 1 jam (10 ml/kgBB/jam). Karena kondisi
tetap stabil dan membaik maka cairan terus diturunkan bertahap.

Setelah dilakukan tatalaksana awal, maka dilakukan secondary survey. Diagnosis DBD
pada pasien ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan demam tinggi mendadak yang berlangsung terus menerus selama
5 hari, badan lemas dan tidak nafsu makan, sakit sendi atau nyeri otot, ptechiae di regio
brachialis et cruris dextra et sinistra. Dari pemeriksaan fisik didapatkan shifting dullness (+)

32
yang menandakan ascites. Kedua hal tersebut dapat mendukung kriteria diagnosis terjadinya
plasma leakage. Dari pemeriksaan fisik juga didapatkan uji tourniquet positif serta pasien
dalam keadaan syok, yaitu dari keadaan umum pasien tambah lemas, pandangan sesekali
kosong, sedikit gelisah, dan pucat dengan TD 90/70 mmHg, nadi 133x/menit dengan isi dan
tegangan kurang, frekuensi napas 30x/menit, akral dingin, kulit lembab, CRT memanjang
(perfusi jelek). Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil
hemoglobin (12.7 g/dL) dan hematokrit (35%), didapatkan trombositopenia (20.000/uL).
Hemoglobin dan hematokrit yang meningkat menunjukkan adanya hemokonsentrasi.
Peningkatan kadar hematokrit juga merupakan bukti adanya kebocoran plasma. Tanda-tanda
kegagalan sirkulasi dan hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa pasien mengalami
DBD derajat III / Dengue Shock Syndrome.

Gejala dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin, serta nadi
menjadi cepat dan halus yang ditemukan pada pasien ini sesuai dengan literatur yang
mengatakan bahwa DSS timbul setelah demam berlangsung beberapa hari, biasanya pada saat
atau setelah demam menurun. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan
adanya hemokonsentrasi (peningkatan kadar hematokrit ≥20%) dan trombositopenia
(trombosit < 100.000/mm3). Adapun komplikasi yang bisa terjadi pada pasien ini adalah
perdarahan masif, edema paru, gagal jantung, dan ensefalopati dengue yang dapat dicegah
dengan tatalaksana yang cepat dan tepat.

Pada pasien ini, diberikan oksigen nasal sebanyak 2L/ menit. Saturasi oksigen pada
pasien harus dipertahankan > 92%, oleh karena itu untuk pemantauan diperlukan pemasangan
pulse oximetry untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah. Terapi medikamentosa
berupa pemberian parasetamol dapat diberikan pada pasien apabila suhu tubuh diatas 38,5 oC.
Setelah dirawat 3 hari di bangsal anak, pasien mengalami perbaikan. Tanda-tanda vital stabil,
nafsu makan membaik, hematokrit stabil, jumlah trombosit meningkat dan tidak dijumpai
adanya distress pernapasan.

Pada pasien ini terapi cairan yang diberikan adalah resusitasi dengan ringer laktat.
Ringer laktat adalah salah satu larutan kristaloid yang direkomendasikan WHO pada terapi
DBD. Pengobatan pada DSS bertujuan untuk mengkompensasi hilangnya cairan tubuh akibat
kebocoran plasma dan perdarahan agar tidak jatuh dalam keadaan syok yang lebih lanjut
yang dapat menyebabkan kerusakan organ. Cairan kristaloid isotonik efektif mengisi ruang
intersisial, mudah disediakan, tidak mahal, tidak menimbulkan reaksi alergik; namun hanya

33
seperempat bagian bolus tetap berada di ruang intravaskular, sehingga diperlukan volume
yang lebih besar 4-5 kali defisit dengan risiko terjadi edema jaringan terutama paru. Contoh
cairan kristaloid isotonik adalah garam fisiologik (NaCl 0.9%), ringer laktat dan ringer asetat.
Resusitasi cairan paling baik dilakukan pada tahap syok hipovolemik kompensasi, sehingga
dapat mencegah terjadinya syok dekompensasi dan ireversibel. Setiap selesai pemberian
bolus dilakukan penilaian keadaan anak. Pengobatan awal cairan intravena pada keadaan
syok adalah dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat badan dalam 30 menit. Pada pasien ini
berat badannya adalah 30 kg, sehingga jumlah cairan yang diberikan adalah 600 ml dalam
waktu secepatnya. Pada pasien kondisi membaik setelah dilakukan pemberian cairan awal
sehingga jumlah cairan yang diberikan dikurangi menjadi 300 ml dalam 1 jam (10
ml/kgBB/jam). Jika kondisi tetap stabil dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 210
ml/jam (7 ml/kgBB/jam) atau Jika dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan
diturunkan lagi menjadi 150 ml/jam (5 ml/kgBB/jam) dan dalam 48 jam setelah syok teratasi
pemberian terapi cairan dapat dihentikan. Pantau ketat bagaimana tanda-tanda vital, dan
diuresis pasien. Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi
lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan
kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit.
Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu
mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat
terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu
cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan.

Prognosis pada pasien DSS tergantung dari beberapa faktor, berdasarkan pemantauan
yang dilakukan pada pasien ini, prognosisnya dubia ad bonam. Keluarga pasien harus
diberikan edukasi agar dapat dilakukan tindakan pencegahan terjadinya infeksi virus dengue
Edukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup,
menguras, mengubur barang-barang yang dapat menampung air; edukasi disekitar rumah
pasien dan kerja bakti di lingkungan sekolah untuk membersihkan selokan dan membuang
sampah untuk menghindari tempat-tempat penampungan air; menganjurkan agar pasien
memakai repellan, memakai baju panjang dan kaos kaki untuk mencegah gigitan nyamuk,
khususnya saat berada di lingkungan sekolah; pasien juga dapat memasang kelambu di rumah
untuk menghindari gigitan nyamuk. Dengan edukasi yang tepat, maka dapat dilakukan
tindakan pencegahan terjadinya infeksi virus dengue.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, Antonius H.dkk,editor. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak


Indonesia. IDAI.2009.
2. Isselbacher K, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Prinsip-
prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Jakarta: EGC; 2000.
3. Hartanto, Widya W. Terapi cairan dan elektrolit perioperatif. Bandung: Bagian
Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;
2007.
4. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. Edisi ke-5. Missouri:
Elsevier-mosby; 2005.
5. Worthley LI. Shock: A review of pathophysiology and management. Part I. Crit Care
Resusc. 2000;2(1):55-65.
6. Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FK UI : Jakarta.
7. Behrman RE .2000.Nelson Textbook Of Pediatrics 17th Edition, W.B. Saunders
Company : Philadeplhia.
8. Yamauchi, Hiroshi, and Hopper, James. Hypovolemic shock and hypotension as a
complication in the nephrotic syndrome. Annals of Internal Medicine. 1996;60:242-
254
9. WHO, 2009, Dengue Guildelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and
Control.
10. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia (WHO SEARO).
Comprehensive Guidelines for Prevention And Control Of Dengue and Dengue
Haemorrhagic Fever. New Delhi: WHO SEARO; 2011.
11. Harisnal. 2012. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Dengue Shock Syndrome Pada Pasien
Demam Berdarah Dengue di RSUD Ulin Dan RSUD Ansari Saleh Kota
Banjarmasin.Jakarta.
12. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
13. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI. 2005

35
14. Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. Edition
II. Geneva : World Health Organization. 2002. Available from
htttp://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication Accessed
December 1, 2009.
15. Kemenkes RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
16. Setiawati,Santun. 2011. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok
Sindrom (DSS) Pada Anak Dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di RSUP
Persahabatan Dan RSUD Budhi Asih. Jakarta.
17. Soedarto, 2012, Demam Berdarah Dengue.Jakarta : Sagung Seto.
18. Candra A. Demam berdarah dengue: epidemiologi, pathogenesis, dan faktor risiko
penularan. Aspirator. 2010;2:110-9.
19. Djati AP, Rahayujati B, Raharto S. Faktor risiko demam berdarah dengue di
kecamatan Wonosari kabupaten Gunung Kidul Provinsi DIY tahun 2010. Prosiding
seminar nasional kesehatan. Jurusan Kesehatan Masyarakat. FKIK
UNSOED; 2012.
20. Soedarmo SSP. Infeksi virus dengue. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro
SRS, Satari HI. penyunting. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Jakarta:
BP IDAI; 2010. h.155-81.
21. Whitehorn, J., Simmons, C.P. The Pathogenesis of Dengue. J Vaccine, 2011 ; 29 (42):
7221 -7228.
22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Topik
Utama Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiolog
Kemenkes RI; 2010.
23. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2015.
Jakarta: Kernenkes RI; 2016.
24. WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever. South-East Asia.
25. Hadinegoro S dan Satari HI (ed.). Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2000:32- 54.
26. Depkes RI, 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
lingkungan.

36
27. Garna H. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi 3. Bandung :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD, 2005.
28. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Jakarta: World Health
Organization; 2009
29. Soegijanto, Soegeng, 2002, Ilmu Penyakit Anak Diagnosa &Penatalaksanaan. Jakarta
: Salemba Medika.
30. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever. Edisi ke-2. Geneva: WHO, 1997.
31. Pudjiadi, Antonius. Pemeriksaan Anak pada Keadaan Gawat-Darurat. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
32. Pudjiadi, Latief, Budiwardhana. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta:Badan
Penerbit IDAI.2011.
33. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga Surabaya. Continuing Medical
Education. Current Update on Hypovolemic Shock, Available at.
http://old.pediatrik.com/pkb/20060220-rf7ui3-pkb.pdf
34. Arikan AA, Citak A. Pediatric shock. Signa Vitae. 2008;3:13-23
35. Mc Ciernan CA, Lieberman SA. Circulatory shock in children: an overview. Pediatr
in Rev. 2005;12:451-60.
36. Todd SR, Turner KL, Moore FA. Shock: general. Dalam: Gabrielli A, Layon AJ, Yu
M, editor. Civetta, Taylor, & Kirby’s Critical Care. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009. hal. 813-34.v
37. Strehlow M. Pediatric shock. Dalam: Amieva-wang NE, Shandro J, Sohoni A, Fassl
B, editor. A practical guide to pediatric emergency medicine. Edisi ke-1. United
Kingdom: Cambridge University Press; 2011. h.16-24.
38. Nadel S, Kissoon NT, Ranjit S. Recogition and initial management of shock. Dalam:
Nichols DG, editor. Rogers’ textbook of Pediatric Intensive Care. Edisi ke-4.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 372-83.
39. Medscape Reference, Shock in Pediatrics [Internet]. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1833578-overview
40. Pediatric Education on Prehospital Professional. Hypovolemic Shock in Children,
Available at https://www.peppsite.com/docs/26540_CH04_83.pdf

37
38

Anda mungkin juga menyukai