Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus

Dengue Shock Syndrome

Penyaji:

Alzena Dwi Saltike 04084821618152


Virdhanitya Vialetha 04084821719209

Oponen:
Cyndi Mayury Siti Rokoyah R. Sakti
Eka Satyani Belina Diana Astria
M. Ikhsan Nurmansyah Siti Selly Aprida
Hana Andrina Bella Melinda
Dita Devita M. Hafizh Haekal
M. Fadhil Oktavian E Vivi Lutfiyani M
Abdul Aziz Siregar Aisyah Noer Maulidia
Dhiya Silfi Ramadini Cahaya Intan
Bima Ryanda Putra Septhia Imelda
Nurul Salmah Alia Dita Ratu Rizki Ana
Mia Esta Poetri Afda Jessica EC
Retrisia Rachmadina

Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Departemen Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2017
Halaman Pengesahan

Dengue Shock Syndrome

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Alzena Dwi Saltike 04084821618152


Virdhanitya Vialetha 04084821719209

Palembang, September 2017


Pembimbing

dr. Silvia Triratna, SpA(K)

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
presentasi kasus dengan topik Dengue Shock Syndrome sebagai salah satu
syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Silvia Triratna, SpA(K)
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga presentasi kasus ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.

Palembang, September 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN ......................................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................13
BAB IV. ANALISIS KASUS ...............................................................................49
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................53

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Sampai saat ini DBD telah ditemukan
di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar
biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968
menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Syok dapat berulang
dan/atau berkepanjangan karena resusitasi yang kurang adekuat, kebocoran plasma
(plasma leakage) berat, hipoksemia, dan asidosis metabolik atau perdarahan, yang
selanjutnya dapat menyebabkan disfungsi atau gagal organ.
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal
dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan
di Indonesia dan paling banyak berkaitan dengan kasus berat.
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua
jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-
tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Populasi
nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes aegypti juga
dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang tahun.
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), demam berdarah
dengue merupakan kompetensi 4A yang artinya lulusan dokter harus mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan
tuntas. Makalah ini membahas suatu laporan kasus pada pada anak dengan diagnosis
demam berdarah dengue. Melalui laporan kasus ini diharapkan pembaca dapat lebih
memahami penegakan diagnosis demam berdarah dengue dan dapat melakukan
penatalaksanaan demam berdarah dengue hingga tuntas.

1
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTIFIKASI
Nama : An. SN
Umur / Tanggal Lahir : 8 tahun / 18 November 2008
Jenis kelamin : peremupuan
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. HH
Nama Ibu : Ny. AT
Alamat : Jl. Bangau No. 163 Ilir Timur II Palembang
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
MRS : 18 September 2017 (14:00 WIB)

B. ANAMNESA
(Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, 19
September 2017 pukul 15.00 WIB)
Keluhan Utama : demam
Keluhan Tambahan : kaki dan tangan dingin dan nyeri perut

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami demam tinggi, suhu tidak
diukur, demam terus menerus disertai dengan mual, batuk tidak ada, pilek tidak ada, muntah
tidak ada, disertai nyeri kepala ada, nyeri otot dan sendi tidak ada, dan nyeri tenggorokan
tidak ada, gusi berdarah tidak ada, mimisan tidak ada. BAB dan BAK normal. Penderita
kemudian dibawa berobat ke bidan namun dikatakan hanya demam biasa lalu diberikan obat
penurun panas paracetamol dan antibiotik amoxcillin. Namun keluhan demam tidak
berkurang.
1 hari sebelum masuk rumah sakit penderita masih demam, penderita mengeluh sakit
kepala, nyeri perut, timbul bintik-bintik merah di tangan dan kaki dan dibawa ke praktek
dokter umum lalu disarankan untuk cek darah. Penderita dibawa untuk melakukan
pemeriksaan darah di Puskesmas Dempo dan didapatkan hasil darah Hb 17,1 mg/dL
Leukosit 4.400mg/ dL Ht 48,7 diff count 0/0/1/60/24/15 dan trombosit 77.000 mg/dL
2
dengan kesan leukopenia, hematokrit meningkat dan trombositopenia. Penderita dibawa ke
rumah sakit AK Ghani dan di rujuk ke RS Muhammad Hoesin Palembang. Penderita dibawa
ke IGD rumah sakit Muhammad Hoesin.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit demam dengan gejala yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat batuk-batuk lama disertai kesulitan penambahan berat badan disangkal
Riwayat bepergian ke daerah endemis disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga dan Lingkungan sekitar


- Riwayat demam tinggi pada keluarga dan lingkungan sekitar disangkal

Riwayat Kebiasaan dan Pola Hidup


- Bak mandi dirumah penderita dikuras 2 minggu sekali dan tidak menggunakan
penutup

Riwayat Lingkungan
Penderita tinggal bersama ayah, ibu dan saudara kandungnya di rumah kontrakan,
terdiri dari 3 kamar dan 1 WC menggunakan bak penampung air yang terletak
didalam rumah. Rumah penderita jauh dari pembuangan sampah umum. Sumber air
yang dipasang dari ledeng. Air untuk minum menggunakan air ledeng yang telah
dimasak. Daerah tempat tinggal penderita merupakan daerah yang ramai penduduk
dengan jarak yang berdekatan.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


GPA : P1A0
Masa kehamilan : 38 minggu
Partus : Spontan per vaginam
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 8 November 2008
Berat badan lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : Lupa
Keadaan saat lahir : Langsung menangis

3
Riwayat Makan
Penderita sehari-hari mengkonsumsi:
- Nasi biasa 3 kali sehari. Rata-rata penderita menghabiskan nasi sebanyak 2-3
centong nasi sebanyak 3 kali sehari.
- Sayur ada setiap hari. Bervariasi dari sayur kangkung, tauge, lodeh, katu dan
bayam. Sekali makan bisa mengambil 2-3 sendok sayur.
- Lauk yang dikonsumsi bervariasi mulai dari ikan (1/2 potong), ayam (1 potong),
telur (1 butir), tahu (sepotong), dan tempe (sepotong). Frekuensi 3 kali sehari.
- Konsumsi buah seperti buah pir, duku, pisang, pepaya, jeruk 2-3 x dalam
seminggu.
- Penderita minum air sebanyak 1 L dalam sehari
- Penderita sering jajan disekolah seperti bakso, tekwan dengan cabe yang banyak,
coklat, ciki-ciki, es teh
Riwayat:
ASI : Tidak diberikan
Susu Formula : 0 bulan 3 tahun
Nasi tim : 7 12 bulan
Nasi biasa : 1 tahun sampai sekarang
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan cukup.

Riwayat Perkembangan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 24 bulan
Kesan : Perkembangan fisik dalam batas normal

Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol :-
Ngompol :-
Sering mimpi : -
Aktivitas : Aktif
4
Membangkang: -
Ketakutan :-
Kesan : Riwayat perkembangan mental baik

Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR ULANGAN
Umur Umur Umur Umur
HB0 7 hari
BCG 1
bulan
DPT 1 2 DPT 2 3 DPT 3 4 -
bulan bulan bulan
HEPATIT 2 HEPATI 3 HEPATIT 4 -
IS B 1 bulan TIS B 2 bulan IS B 3 bulan
Hib 1 2 Hib 2 3 Hib 3 4 -
bulan bulan bulan
POLIO 1 1 POLIO 2 2 POLIO 3 3 -
bulan bulan bulan
CAMPA 8 POLIO 4 4 -
K bulan bulan

Kesan :Imunisasi dasar lengkap.

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ayah penderita berusia 40 tahun,
pendidikan terakhir SMA, yang bekerja sebagai wiraswasta. Ibu penderita berusia 38 tahun
dengan pendidikan terakhir SMA dan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan per
bulan tidak menentu namun <5 juta rupiah per bulan
Kesan sosial ekonomi: menengah keatas.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 18 September 2017 pukul 14.30WIB
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis E4M3V4
Tekanan darah : 80 per palpasi mmHg
Nadi : 135 x/menit, reguler, isi dan tegangan: kurang
Pernapasan : 30 x/menit
Suhu : 37,7c
SpO2 : 98%
Berat Badan : 20 kg

5
Tinggi Badan : 125 cm
Status Gizi : BB/U : Persentil 5
TB/U : Persentil 50
IMT : 38/(1.45)2 = 18.07
Kesan : Status Gizi kurang

Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Cekung (-), edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-
), Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya (+/+) normal
Telinga : Meatus auditori eksterna (+), serumen (-), edema (-), hiperemis (-),
sekret (-), nyeri tarik aurikula (-), nyeri tekan tragus (-), nyeri tekan
mastoid (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-), bibir pecah-pecah (-), cheilitis (-
), lidah kotor (-)
Tenggorokan : Dinding faring hiperemis (-), T1-T2 hiperemis (-), detritus (-), crypta
melebar (-)
Leher : Pembesaran KGB (-),

Thorak
Paru-paru
Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi (-/-)
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Jantung
Inspeksi : Iktus kordistidak terlihat
Auskultasi : HR: 135 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-)
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal

6
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, massa (-), nyeri tekan (+) di regio
epigastrium
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Lipat paha : Pembesaran KGB (-)
Genitalia : Phymosis (-), eritema perianal (-), prolaps ani (-)
Ekstremitas : Akral dingin (+), sianosis (-), edema (-), CRT < 3 detik
Kulit : Rumple leed test (+)

Status Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Normal Normal Normal Normal
Klonus - -
Reflek fisiologis + normal + normal + normal + normal
Reflek patologis - - - -

Fungsi sensorik : belum dapat dinilai


Fungsi nervi craniales : dalam batas normal
GRM : (-)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah rutin 18 September 2017
Hb : 17,6 g/dl
Eritrosit` : 46,72 x106/L
Leukosit : 4,6 x103/L
Trombosit : 87 x103/L
Hematokrit : 53%
LED : 3mm/jam
Pemeriksaan Parasitologi
Malaria (DDR) : (-) negative

7
Pemeriksaan Imunologi
DENGUE BLOOD
IgG : (+) positif
IgM : (+) positif
Dengue NS I Ag : negatif

WIDAL
Tidak dilakukan

E. DAFTAR MASALAH
1. Demam
2. Muntah
3. Nyeri tekan epigastrium
4. Nyeri kepala
5. Nyeri sendi
6. Rumple leed test (+)

F. DIAGNOSIS BANDING
Dengue syok sidrome

DIAGNOSIS KERJA
Dengue syok sindrome

G. PENATALAKSANAAN
1. 02 nasal kanul 2 L/menit
2. Parasetamol (bila T > 38.5C)
3. Cairan IVFD (cairan rumatan, cairan rehidrasi sesuai derajat dehidrasi, atau cairan
resusitasi).
- Cairan RL IVFD 20cc/kgBB 400cc/jam dalam 15-30 menit dilanjutkan 10cc/kgBB
- Observasi vital sign
- Cek Hb, Ht, Trombosit secara berkala setiap 6 jam
- Hitung balance dan diuresis setiap jam

8
Edukasi
1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Monitor tanda kegawatan
4. Melaksanakan upaya pencegahan 3M plus (menguras, menutup dan mengubur)
5. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
6. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan untuk diberikan ke RT/RW tempat
tinggal pasien

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia at bonam
Quo ad functionam : dubia at bonam
Quo ad sanationam : dubia at bonam

I. RESUME
Pasien an. SN, perempuan, usia 8 tahun, datang dengan keluhan demam disertai kaki dan
tangan dingin serta myeri perut. 4 hari SMRS pasien mengalami demam tinggi, tidak diukur,
demam terus menerus disertai mual, muntah (-), batuk (-), pilek (-). Pasien juga mengeluh sakit
kepala (+), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), mimisan (-), gusi berdarah (-). Pasien kemudian berobat
ke bidan, dikatakan hanya demam biasa, lalu diberikan obat penurun panas Paracetamol dan
antibiotik Amoxicilin. Keluhan demam tidak berkurang.
1 hari SMRS, pasien masih demam (+), nyeri kepala (+), nyeri perut (+) disertai bintik-
bintik merah di tangan dan kaki. Pasien kemudian dibawa ke dokter umum dan disarankan untuk
cek darah. Pasien kemudian ke Puskesmas Dempo untuk pemeriksaan darah dan didapatkan
hasil Hb 17,1 mg/dl, leukosit 4.400 mg/dl, Ht 48,7, diff count 0/0/1/60/24/15 dan trombosit
77.000 mg/dl. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit AK Ghani dan dirujuk ke RS
Mohammad Hoesin Palembang. Penderita dibawa ke IGD Rumah Sakit Mohammad Hoesin

9
J. FOLLOW UP
Selasa, 18/09/2017 (pukul 11:30)
S : Demam (+), nyeri perut (+), kaki dan tangan masih terasa dingin (-),
mual (+)
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis,
TD : 100/60 mmHg, HR : 112x/menit (isi dan tegangan
cukup), RR :24x/menit, suhu 38,1 C
Mata : Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm, Konjungtiva
anemis (-), sklera ikterik (-)
Jantung : BJ I-II normal reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : lemas, datar, Bising usus (+) normal, hepar dan lien
tidak teraba, NT (+), NT epigastrium (+)
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <3 detik, petekie (+).
Hb 15,1, Trombosit 44.000 /L, g/dL, Ht 44 % Ht 24,5%,
Leukosit 4.200 /L
Kesan : Peningkatan Hb, Ht dan trombositopenia

A : Tersangka DBD grade III

P : IVFD RL gtt XX/menit


Paracetamol 250 mg 3x1 tab p.o
Cek Hb, Ht, Trombosit setiap 6 jam

Rabu, 18/09/2017 (14:30 WIB)


S : Demam (+), kaki dan tangan terasa dingin, nyeri perut, sesak napas
(+) mual muntah (+)
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 80/palpasi mmHg, HR : 135x/menit (isi dan tegangan
kurang), RR : 30x/menit, suhu 37,7 C
Kepala : Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm,
Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
NCH (-)
Jantung : BJ I-II reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar hepar dan lien
tidak teraba, NT epigastrium (+)
10
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT < 3 detik, Petekie (+).
Diuresis 0,6cc/kgBB/jam
Pemeriksaaan laboratorium pukul 00:50
Hb 15,1 g/dL, Eritrosit 5,69/L, Leukosit 7.300 /L, Trombosit
45.000 /L, Ht 44 % Ht 24,5%
Kesan : Peningkatan Hb, Ht, eritrosit dan trombositopenia

A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III)

P :
- IVFD RL 20cc/kgBB/jam 400cc/jam diberikan 1-2 jam
setelah anak stabil
- Paracetamol 250 mg 3x1 tab p.o
- Observasi vital sign/ jam
- Cek Hb, Ht, Trombosit
- Pantau balance dan diuresis/ jam

kamis, 18/09/2017 (21:00 WIB)


T : Demam (+), kaki tangan terasa hangat
P : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 100/80 mmHg, HR : 126x/menit (isi dan tegangan
cukup), RR : 24x/menit, suhu 38,1 C
Mata : Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm,
Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Jantung : BJ I-II reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar dan lien tidak
teraba, NT epigastrium (-)
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT > 3 detik, Petekie (-).
Diuresis 0,6cc/kgBB/jam
Pemeriksaaan laboratorium pukul 12:50
Leukosit 13.400 /L, Eritrosit 5.700 /L, Trombosit 44.000 /L,
Hb 15,8 g/dL, Ht 44 % Ht 24,4%
Kesan : Peningkatan Hb, Ht, eritrosit dan trombositopenia

A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) teratasi


11
P : IVFD RL 3cc/kgBB/jam 60cc/jam
Paracetamol 250 mg 3x1 tab p.o
Cek Hb, Ht, Leukosit, Trombosit

kamis, 19/09/2017 (03:00 WIB)


U : Demam (+), kaki tangan terasa hangat
Q : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 100/60 mmHg, HR : 126x/menit (isi dan tegangan
kuat), RR : 24x/menit, suhu 38,0 C
Mata : Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm,
Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Jantung : BJ I-II reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar dan lien tidak
teraba, NT epigastrium (-)
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT > 3 detik, Petekie (-).
Diuresis 0,6cc/kgBB/jam
Pemeriksaaan laboratorium pukul 12:50
Leukosit 13.400 /L, Eritrosit 5.700 /L, Trombosit 45.000 /L,
Hb 15,1 g/dL, Ht 44 % Ht 20,4%
Kesan : Peningkatan Hb, Ht, eritrosit dan trombositopenia

A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) post resusitasi

P : IVFD RL gtt XX/menit


Paracetamol 250 mg 3x1 tab p.o
Cek Hb, Ht, Leukosit, Trombosit

1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM SYOK DENGUE

3.1 Definisi
Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi
virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang
bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak
spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat
yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).

Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.
Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh
dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock
syndrome (DSS).

3.2 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4;
dengan serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak berkaitan
dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus
lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan imunitas seumur
hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain.

3.3 Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling
banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia,
dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian
berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di

13
Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara
6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga
2% tahun 1999. (1,2,3,4,5)

Gambar 1. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus
dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

14
Gambar 2. Infeksi Dengue di Indonesia

2.4 Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua
jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-
tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Populasi
nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes aegypti juga
dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu
gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk menimbulkan penyakit
dengue pada orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan
mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan
mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda nonspesifik. Selama
masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus Dengue dapat bersirkulasi
di peredaran darah perifer. Jika nyamuk A. aegypti lain menggigit pasien pada masa
viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada
orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-12 hari.

15
2.5 Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. (1,2,3)
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous
infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik)(1,2,3)
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga
plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun
hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. (1,2,3)

Gambar 3. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue

16
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus
dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah. (1,2)

Gambar 4. Patogenesis Syok pada DBD

17
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia
justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis
saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.(2,3)

Gambar 5. Patogenesis Perdarahan pada DBD

18
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.(2,3)
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi
imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1) Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit,
makrofag dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus
dengue.
2) Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fogosit mononukleus.
3) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus
yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah
jumlah sel yang terinfeksi.
4) Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-
mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut
berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen
dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta
tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri
dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:
Kriteria klinis :
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti
anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian , dan kepala,
berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.

19
2) Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet
*
positif , petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau
melena.

3) Hepatomegali
4) Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi 20 mmHg,
atau hipotensi disertai gelisah dan akral dingin.
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas
menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua
selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5
cm2 (1 inci).

Kriteria laboratoris :
1) Trombositopenia ( 100.000/l)
2) Hemokonsentrasi (kadar Ht 20% dari orang normal)

Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.

Sindrom Syok Dengue


Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Nadi cepat, lemah
- Hipotensi
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Perfusi perifer menurun
- Kulit dingin-lembab.

20
Penentuan Derajat Penyakit
Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis
perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakuan.

Gambar 6. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

21
Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel
berikut:
GEJALA &
DERAJAT TANDA LABORATORIUM
Demam 2-7
hari Leukopenia
Disertai > 2
tanda : sakit
DD kepala, Trombositopeni
nyeri retro-
orbital,
mialgia,
atralgia Kebocoran Plasma (-)

Gejala di atas
(+)
DBD I Disertai uji
bendung
positif

Gejala di atas Serologi


(+)
Disertai
DBD II perdarahan Dengue
spontan
Positif
Trombositopeni (<100.000/ul)
Gejala di atas Kebocoran Plasma (+):
DBD (+) - Peningkatan Ht > 20%
III Disertai tanda - Penurunan Ht > 20 % setelah
kegagalan pemberian cairan yang
DSS sirkulasi adekuat

Syok berat
disertai
dengan
tekanan darah
dan nadi yang
DBD tidak terukur
IV
DSS

22
Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam tinggi,
fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang
sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang
khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan
membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang bermanifestasi
sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia.
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik
pada penderita DSS menurut Wong:
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.

Pembagian renjatan menurut Munir dan Rampengan:


1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-
tanda syok disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg.
2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah
tekanan nadi menjadi <20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai
menurunnya tekanan sistolik menjadi <80mmHg, tetapi belum sampai
nol.
3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock) yaitu tekanan darah tidak
terukur/nol,tetapi belum ada sianosis/asidosis.
4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases) yaitu tekanan darah
tidak terukur lagi disertai sianosis dan asidosis.

Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium meliputi :
1. Isolasi virus
Dapat dilakukan dengan menanam spesimen pada :
Biakan jaringan nyamuk atau biakan jaringan mamalia

23
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen yang
ditunjukkan dengan immunoflouresen, atau adanya CPE (cytopathic
effect) pada biakan jaringan manusia.
Inokulasi/ penyuntikan pada nyamuk
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen dengue
pada kepala nyamuk yang dilihat dengan uji immunoflouresen.
2. Pemeriksaan Serologi
Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test)

Uji Pengikatan komplemen (Complement Fixation Test)

Uji Netralisasi (Neutralization Test)

Uji Mac.Elisa (IgM capture enzyme-linked immunosorbent


assay)

Uji IgG Elisa indirek

Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi dan USG, Kasus DBD, terdapat beberapa kerlainan
yang dapat dideteksi yaitu :
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali dan efusi perikard
4. Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati
5. Caran dalam rongga peritoneum

Diagnosis Banding
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi
bakteri maupun virus, seperti bronkopneumonia, demam tifoid, malaria,
dan sebagainya.
2. Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan morbili.
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan
leptospirosis.
4. Penyakit-penyakit darah seperti idiophatic thrombocytopenic purpurae,
leukemia pada stadium lanjut, dan anemia aplastik.
5. Syok endotoksin.
6. Demam Chikunguya.

24
2.7 Penatalaksanaan
1. Pada DSS segera beri infus kristaloid (Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-
20 ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen
2 lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak
terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi
dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa
elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat
tetap dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau
koloid (HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid
diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15
menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan
gula darah. Pada syok berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid
(HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil perbaikan peningkatan
tekanan nadi lebih cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar
hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan
cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap
dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabildan hematokrit
menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai
keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan
diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan
tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan
darah, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin
<1,020) dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai
keadaan umum baik.
Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun
tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila
tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan
cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-
8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan.

25
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui
kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin.
Apabila CVP normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.

Skema 3. Tatalaksana DBD Derajat III

26
Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)
1. Kristaloid
Larutan ringer laktat
(RL) Larutan ringer asetat
(RA) Larutan garam faali
(GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA
tidak boleh larutan yang mengandung dekstran)
1. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin

Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD


Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl
starch (HES).(2)
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian
dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan
menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-
8 jam, sedangkan efek volume 10/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua
larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara
menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII,
terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh
diberikan pada pasien dengan KID.(2)
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang
mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar
2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah. (2)
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7
adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan
isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10/o HES 200/0,5 menetap dalam

27
4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap
selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan
kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan
hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin
parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD
seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium
untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang tersedia selama 24
jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD.
Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang
diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta
mencatat jumlahnya.

Kriteria Memulangkan Pasien


Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

28
Syok pada Anak

Syok adalah syndrome gawat akut akibat ketidakcukupan perfusi dalam memenuhi
kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan metabolik (kebutuhan
oksigen) atau penurunan pasokan metabolik. Ketidakcukupan akan pasokan oksigen
mengakibatkan tubuh merespon dengan merubah metabolisme energi sel menjadi anaerobic,
akibatnya dapat terjadi asidosis laktat. Jika perfusi oksigen ke jaringan terus berkurang maka
respon system endokrin, pembuluh darah, inflamasi, metabolisme, seluler dan sistemik akan
muncul dan mengakibatkan pasien menjadi tidak stabil.

Patofisiologi

Metabolisme aerobic sel bisa menghasilkan 36 Adenosin Triphosphate, sedangkan pada


sel yang kekurangan oksigen (syok) sel akan merubah system metabolisme aerobic menjadi
anaerobic, yang mana hanya menghasilkan 2 ATP molekul tiap molekul glukosa dan hasil
pembentukan dan penimbunan asam laktat. Akhirnya metabolisme sel tidak cukup
menghasilkan energi homeostasis sel, sehingga mengakibatkan gangguan pertukaran ion
melalui membrane sel. Dimana terjadi akumulasi sodium didalam sel dengan pengeluaran
potassium dan penumpukan cytosolic calsium. Sel menjadi membengkak, membrane sel
hancur, dan terjadilah kematian sel. Kematian yang luas dari sel menghasilkan kegagalan pada
banyak organ, jika irreversible maka pasien meninggal. Kekacauan metabolic sel mungkin
terjadi dari kekurangan oksigen yang absolute (hipoksia syok) atau kombinasi hipoksia dan
kekurangan substrat khususnya glukosa, disebut sebagai iskemic syok.

Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami dengan benar
ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon kompensasi kardiovaskular pada
anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi yang progresif. Gejala dan tanda syok yang
dapat dengan mudah dilihat pada orang dewasa mungkin tidak akan terlihat pada anak,
mengakibatkan terlambatnya pengenalan dan mengabaikan keadaan syok yang parah.
Walaupun anak lebih besar persentase total cairan tubuhnya tapi untuk melindungi mereka dari
kolaps kardiovaskular, peningkatan sisa metabolik rata-rata, peningkatan insensible water loss,
dan penurunan renal concentrating ability biasanya membuat anak lebih mudah terjadi
hipoperfusi pada organ. Gejala dan tanda awal dari berkurangnya volume dapat tidak diketahui
pada anak-anak, tapi sejalan dengan perkembangan penyakit, penemuan gejala dan tanda
menjadi dapat ditemukan sama seperti orang dewasa.

29
Respon kompensasi kardiovaskular pada anak dengan keadaan penurunan ventrikular
preload, melemahkan kontraksi miokard, dan perubahan dalam pembuluh darah berbeda dari
yang terjadi pada dewasa. pada pasien anak, CO lebih tergantung pada heart rate daripada stroke
30
volume oleh karena kekurangan massa otot ventrikel. Takikardi adalah yang terpenting pada
anak untuk mempertahankan CO yang adekuat pada kondisi penurunan ventricular preload,
kelemahan kontraksi miokard, atau kelainan jantung congenital yang digolongkan oleh anatomi
left-to-right shunt. Stroke volume tergantung oleh pengisian ventrikel (preload), ejeksi ventrikel
(afterload), dan fungsi pompa intrinsik (myocardial contractility).

Tambahan pada CO, pengatur utama dari tekanan darah adalah SVR. Anak
memaksimalkan SVR untuk mempertahankan tekanan darah yang normal, pada keadaan
penurunan CO yang signifikan. Peningkatan SVR oleh karena vasokontriksi perifer yang
dipengaruhi system saraf simpatis dan angiotensin. Hasilnya, aliran darah diredistributsi dari
pembuluh nonessential seperti kulit, otot skelet, ginjal dan organ splanknik ke otak, jantung,
paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan dari pembuluh darah, endogen atau eksogen
melalui zat-zat vasoaktif, dapat menormalkan tekanan darah tanpa tergantung dari CO. Karena
itu, pada pasien anak, tekanan darah merupakan indicator yang jelek dari hemostatis
kardiovaskular. Evaluasi heart rate dan perfusi end-organ, termasuk capillary refill, kualitas
dari denyut perifer, kesadaran, urine output, dan status asam-basa, lebih bernilai daripada
tekanan darah dalam menentukan status sirkulasi anak.

Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya suplai oksigen
dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Akibat dari kekurangan oksigan
dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini tidak dapat mempertahankan produksi O2 aerobik
secara efisien.

Pada keadaan normal, metabolisme aerobik menghasilkan 6 molekul adenosine trifosfat


(ATP) tiap 1 molekul glukosa. Pada keadaan syok, pengiriman O2 terganggu, sehingga sel
hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP tiap 1 molekul glukosa, sehingga terjadi
penumpukan dan produksi asam laktat. Pada akhirnya metabolisme seluler tidak lagi bisa
menghasilkan energi yang cukup bagi komponen hemostasis seluluer, sehingga terjadi
kerusakan pompa ion membran dan terjadi penumpukan natrium intraseluler, pengeluaran
kalium dan penumpukan kalsium sitosol.

Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel. Kematian sel
yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila ireversibel, dapat terjadi kematian.

Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi absolut dari transpor oksigen
(syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi transport substrat, biasanya glukosa (syok
iskemik). Yang paling sering terjadi adalah kombinasi dari kedua hal diatas yaitu hipoksik dan
iskemik. Atas dasar hal tersebut diatas, maka sangatlah penting untuk memberikan oksigen pada
keadaan syok.
31
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen yang dibawa ke
jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang dipompa oleh jantung
permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri (CaO2), sehingga didapatkan
persamaan sebagai berikut:

DO2 = CO (L/menit) x CaCO2 (ml/mL/cc)

CaCO2 tergantung pada banyaknya O2 yang terkandung di Hb (Saturasi O2 = SaO2), sehingga


didapatkan persamaan:

CaO2 = Hb (g/100ml) x SaO2 x 1,34 ml O2/g

Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada CaCO2, baik
karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO2 maupun karena anemia yang
menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan kapasitas total pengiriman O2.
Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu jumlah darah yang dipompa tiap denyut
jantung (Stroke Volume = SV) dan laju jantung (Heart Rate = HR). Stroke volume dipengaruhi
oleh volume pengisian ventrikel akhir diastolik (ventricular preload), kontaktilitas otot jantung
dan afterload. Tiap variabel yang mempengaruhi cardiac output diatas, pada keadaan syok,
dapat mengalami gangguan atau kerusakan.

STADIUM

Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :

32
KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI

Tipe Syok Septik Kardiogenik Distributif Hipovolemik Obstruktif

Karakteristik Infeksi Kegagalan 1.Kelainan Menurunnya CO rendah;


organisme jantung dalam saraf: jumlah cairan sianosis;
melepaskan memompa Mengganggu menurunkan tekanan nadi
toksin yang darah untuk keseimbangan CO; asidosis rendah
mempengar memenuhi cairan metabolic
uhi kebutuhan sehingga membuat
distribusi tubuh memudahkan volume
darah, terjadinya intravaskuler
cardiac asidosis berkurang dan
output dan perfusi ke
2.Overdosis
lainnya jaringan
dosis obat
menurun;
yang
gangguan
mengganggu
keseimbangan
distribusi
elektrolit
cairan

Etiologi Bakteri Kardiomiopat Anafilaksis Enteritis Tension


Virus i
Toxin Perdarahan Pneumotorax
Jamur Kongenital
Reaksi Luka bakar Pericardial
Heart disease
Alergi Diabetes tamponade
Ischemic insipidus

33
Insult Defisiensi

Adrenal

TANDA DAN GEJALA

1. Sistem kardiovaskular
Gangguan sirkulasi perifer mengakibatkan pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya
pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Nadi
cepat dan halus.
Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya
mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.
Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
CVP rendah.

2. Sistem Respirasi

a. Pernapasan cepat dan dangkal.

3. Sistem saraf pusat

a. Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai
menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan
analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena
kesakitan.

4. Sistem Saluran Cerna

a. Bisa terjadi mual dan muntah.

5. Sistem Saluran kemih

a. Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam
(0,5-1 ml/kg/jam). Pada anak 1-2ml/kg/jam.

SYOK HIPOVOLEMIK

Ini adalah syok yang paling umum ditemui, terjadi karena kekurungan volume sirkulasi
yang disebabkan karena kehilangan darah dan juga cairan tubuh. Kehilangan darah dibagi
menjadi dua yaitu perdarahan yang tampak dan tidak tampak. Perdarahan yang tampak misal
perdarahan dari luka dan hematemesis, sedangkan perdarahan yang tak tampak misal
34
perdarahan pada saluran cerna seperti perdarahan tukak duodenum, cedera limpa, patah tulang.
Kehilangan cairan terjadi pada luka bakar yang luas dimana terjadi kehilangan cairan pada
permukaan kulit yang hangus atau terkumpul didalam kulit yang melepuh. Muntah hebat dan
diare juga mengakibatkan kehilangan banyak cairan intrvaskuler. Obstruksi ileus juga bisa
menyebabkan banyak kehingan cairan, juga pada sepsis berat dan peritonitis bisa menyebabkan
kehingan cairan.

TANDA DAN GEJALA

1. Anxietas, lemas, gangguan mental karena menurunya perfusi keotak

2. Hipotensi karena menurunya volume sirkulasi

3. Nadi cepat, lemah karena penurunan aliran darah

4. Kulit dingin dan lembab karena vasokontriksi dan stimulasi kelenjar keringat

5. Oligouria karena vasokonstriksi arteri renalis

6. Pernafasan cepat dan dalam karena stimulasi saraf simpatis dan asidosis

7. Hipotermi karena menurunya perfusi dan penguapan keringat

8. Haus dan mulut kering karena kekurangan cairan

9. Lemah dan lelah karena inadekuat oksigenasi

JENIS CAIRAN YANG HILANG

- Darah
- Plasma
- Cairan ekstrasel

PENYEBAB

1. perdarahan

2. luka bakar

3. cedera yang luas

4. dehidrasi
35
5. kehilangan cairan pada muntah, diare, ileus

PATOFISIOLOGI

Syok hipovolemik yaitu syok yang terjadi karena kekurangan sirkulasi didalam pembuluh
darah oleh berbagai sebab, berkurangnya sirkulasi ini mengakibatkan darah yang kembali ke
jantung melalui vena akan berkurang. Akibatnya darah yang masuk ke atrium kanan juga
menurun, sebagai kompensasi atas hal ini frekuansi jantung akan meningkat untuk
menyesuaikan agar perfusi sistemik dapat dipenuhi. Gejalanya akan tampak tekanan darah
sistolik menurun dan denyut nadi yang cepat.

Menurunya perfusi sistemik mengakibatkan organ mengalami iskemia, sehingga akan


merubah siklus metabolic dari aerobic menjadi anaerobic dimana siklus ini menghasilkan residu
asam laktat, asam amino dan asam fosfat di jaringan. Hal ini menimbulkan asidosis metabolic
yang menyebabkan pecahnya membrane lisosom sehingga menimbulkan kematian sel.
Hipoksia dan asidosis metabolic juga menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena pulmonalis,
hal ini menimbulkan peninggiian tahanan pulmonal yang mengganggu perfusi dan
pengembangan paru. Akibatnya dapat terjadi kolaps paru, kongesti pembuluh darah paru, edema
interstisial dan alveolar. Maka pada penderita dengan syok hipovolemik terlihat gangguan
pernafasan. Iskemia pada otak akan menimbulkan edema otak dengan segala akibatnya. Pada
ginjal, iskemia ini akan menyebabkan gagal ginjal.

Sebagai mekanisme kompensasi terhadap hipovolemia, cairan interstisial akan masuk


kedalam pembuluh darah sehingga hematokrit menurun. Karena cairan interstisial jumlahnya
berkurang akibat masuknya cairan tersebut kedalam ruang intraseluler, maka penambahan
cairan sangat mutlak diperlukan untuk memperbaiki gangguan metabolik dan hemodinamik ini.
Pada syok juga terjadi peninggian sekresi kortisol 5-10 kali lipat. Kortisol mempunyai efek
inotrofik positif pada jantung dan memperbaiki metabolism karbohidrat, lemak dan protein.
Sekresi renin dari sel-sel juksta glomerulus ginjal meningkat sehingga pelepasan angiotensin I
dan II juga meningkat. Angiotensin II ialah vasokonstriktor yang kuat dan merangsang
pelepasan kalium oleh ginjal.

Meningginya sekresi norepinefrin akan mengakibatkan vasokonstriksi, selain itu juga


mempunyai sedikit efek inotropik positif pada miokardium. Efineprin disekresikan hampir tiga
kali lipat daripada norepinefrin, terutama menyebabkan peninggian isi sekuncup dan denyut
jantung. Kerja kedua katekolamin ini dipotensiasi oleh aldosteron. Peninggian sekresi hormone

36
antidiuretik (ADH) dari hipofisis posterior mengakibatkan resorpsi air ditubulus distal
meningkat.

Syok Distributif

Syok distributif adalah syok yang terjadi karena kekurangan volume darah yang bersifat
relative, dalam artian jumlah darah didalam pembuluh darah cukup namun terjadi dilatasi
pembuluh darah sehingga seolah-olah volume darah didalam pembuluh darah berkurang. Syok
distributive ada 3 bentuk:

1. Syok septik: disebabkan karena infeksi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah.
Contoh infeksi karena bakteri gram negative seperti Escherichiacoli.

Tanda dan gejala shock septic:

Gejala sama dengan syok hipovolemik, namun untuk tahap syok septik diawali dengan:

a. Demam atau suhu yang rendah, disebabkan oleh infeksi bakteri

b. Vasodilatasi dan peningkatan cardiac output

2. Syok anafilaktik: disebabkan karena reaksi anfilaktik terhadap allergen, antigen, obat, benda
asing yang menyebabkan pelepasan histamine yang menyebabkan vasodilatasi. Juga
memudahkan terjadinya hipotensi dan peningkatan permeabilitas kapiler.

Tanda dan gejala syok anafilaktik :

a. erupsi kulit dan

b. edema local terutama pada muka

c. nadi cepat dan lemah

d. batu dan sesak nafas karena penyumbatan jalan nafas dan radang tenggorok

3. Syok neurogenik : ini adalah shock yang jarang terjadi. Disebabkan oleh trauma pada medulla
spinalis, terjadi kehilangan mendadak pada reflek otonom dan motorik dibawah lesi.

Tanpa adanya stimulasi simpatis, dinding pembuluh darah vasodilatasi yang tak
terkontrol, hasilnya penurunan resistensi pembuluh darah perifer sehingga menyebabkan
vasodilatasi dan hypotensi. Tanda dan gejala syok neurogenik sama dengan syok hipovolemik.

Syok Obstruktif
37
Terdapat penyumbatan yang menyebabkan aliran darah terganggu, pada beberapa kondisi
hal ini bisa menyebabkan timbulnya syok.

Contoh syok obstruktif

1. Cardiac tamponade : biasanya terjadi karena pericarditis yang menyebabkan penimbunan


cairan didalam rongga pericardium, cairan yang banyak menekan jantung sehingga venus return
menurun. Hal ini menyebabkan jantung tak mampu mensuplai darah sesuai kebutuhan tubuh.
Akibatnya tubuh bisa kekurangan oksigen, terutama pada organ sehingga bisa menimbulkan
shock.

2. Tension pneumotorax : peningkatan tekanan intratorak sehingga venous return terhambat,


cardic output pun berkurang syok

3. Emboli massive paru : mengurangi aliran darah dari paru ke jantung, cardiac output menurun
syok

4. stenosis aorta : sebabkan aliran darah keluar dari ventrikel terhambat perfusi berkurang
syok

5. Tanda dan gejala sama dengan shock hypovolemic tapi ditambah dengan peningkatan JVP
pulsus paradoksus karena tamponade jantung

Syok Kardiogenik

Syok tipe ini adalah syok yang terjadi karena kagagalan efektivitas fungsi pompa jantung.
Hal ini disebabkan karena kerusakan otot jantung, paling sering yaitu infark pada myocard.
Syok kardiogenik juga bisa disebabkan aritmia. Syok ini jarang terjadi pada anak-anak.

Tanda dan gejala syok kardiogenik sama dengan syok hipovolemik ditambah dengan:

1. Takikardi dengan nadi yang sangat lemah

2. Hepatomegali

3. Gallop

4. Murmur

5. Rasa berat di precordial

6. Kardiomegali

7. Hipertrofi jantung

38
8. Distensi V. Jugularis, dan peningkatan JVP

Tatalaksana Syok

Pengenalan awal akan syok membutuhkan pemahaman tentang kebiasaan anak yang
normal dan keadaan anak yang memang menderita shock. Pucat ringan, ekstremintas dingin,
mengantuk ringan atau acuh terhadap sekitar, takikardia yang taksesuai dan factor lain seperti
cemas, demam dan hal lain yang penting sering terabaikan. Oliguria adalah tanda yang penting,
anak dengan trauma berat atau sepsis membutuhkan pemasangan kateter untuk menghitung
secara cermat cairan yang keluar dan kebutuhancairan secara akurat. Nilai normal nadi dan
tekanan darah berbeda untuk tiap umur, terkadang nilai normal sering tak sesuai dengan
panduan ketika anak mengalami distress.

Pada tahap awal, syok memerlukan penanganan yang segera untuk mempertahankan
hidup, bagaimanapun penanganan shock tergantung seberapa cepat untuk bisa mendapat
pertolongan di rumah sakit.

Pertolongan awal syok:

1. Segera beri pertolongan, jika pasien masih sadar tempatkan dengan nyaman

2. Jika pasien sendiri, cari pertolongan, atau meminta seseorang mencari pertolongan dan
seseorang menjaga pasien

3. Pastikan jalan nafas dan pernafasan baik.

4. Lindungi pasien dengan jaket tapi jangan terlalu rapat agar tidak terjadi vasodilatasi

5. Jangan beri minum

6. Siapkan untuk cardiopulmonary resuscitation

7. Berikan banyak informasi ketika ambulan datang

Tatalaksana syok dimulai dengan tindakan umum untuk memulihkan perfusi jaringan dan
oksigenasi sel. Tindakan ini tidak tergantung pada penyebab syok. Diagnosa harus segera dibuat
sehingga dapat diberikan pertolongan sesuai dengan kausa.

Tujuan utama adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi terutama di otak, jantung dan
ginjal. Tanpa memandang etiologi syok, oksigenasi dan perfusi jaringan dapat diperbaiki
dengan memperhatikan 4 variabel ini:

1. ventilasi dan oksigenasi ( airway dan breathing )


39
A. memperbaiki jalan napas, ventilasi buatan dan oksigen 100%
B. akses vena dan pemberian cairan diberikan bersamaan dengan oksigen 100%.
2. curah jantung dan volume darah di sirkulasi ( cirkulasi ). resusitasi cairan dan pemberian
obat vasoaktif merupakan metode utama untuk meningkatankan curah jantung dan
mengembalikan. perfusi organ vital.
A. resusitasi cairan:
1) pada syok hipovolemik apapun penyebabnya, resusitasi cairan dimulai dengan cairan
kristaloid (rl atau garam fisiologis) sebanyak 20 ml/kg secepatnya. bila tidak terlihat
perbaikan (frekuensi jantung masih tinggi, perfusiperifer jelek, kesadaran belum
membaik) dan dicurigai masih terjadi hipovolemia diberikan lagi cairan yang sama
sebanyak 20 ml/kg dan pasien dievaluasi kembali. syok kardiogenik dan obstruksi
harus dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah resusitasi cairan. sebagian
besar pasien dengan syok hipovolemik akan menunjukkan perbaikan terhadap
pemberian cairan 40 ml/kg.
2) pada syok septik, resusitasi cairan berguna untuk mengembalikan volume
intravaskular. jenis cairan masih konroversial, cairan kristaloid dapat menyebabkan
edema paru akibat penurunan tekanan onkotik intravaskular dan memperberat
kebocoran kapiler. sedangkan cairan koloid, walaupun dapat mempertahankan
tekanan onkotik pada akhirnya dapat merembes ke ruang interstisial akibat hilangnya
integritas vaskular. resusitasi pada syok septik memerlukan kombinasi cairan
kristaloid dan koloid untuk mengembalikan perfusi yang adekuat.
3) pada syok distributif, pemberian cairan kristaloid yang cepat telah terbukti
menyelamatkan jiwa pasien.
4) pada syok endokrin gangguan yang terjadi diperbaiki. hipotiroid membutuhkan
levothyroxine, pada hyperthyroid produksi hormon thyroid dihambat oleh sitostatika
seperti methimazole (tapazole) atau ptu (propylthiouracil). insufisiensi adrenal
diobati dengan suplemen kortikosteroid.

OBAT VASOAKTIF
Ada beberapa obat yang dapat digunakan sebagai penunjang dalam penanganan syok bila
resusitasi cairan belum cukup untuk menstabilkan system kardiovaskular. Obat inotropik
meningkatan kontraktilitas miokard dan obat kronotropik meningkatkan frekuensi jantung.
Obat vasoaktif yang paling banyak digunakan adalah golongan amin simpatomimetik yaitu
golongan katekolamin, epinefrin, norepinefrin, dopamine endogen, dobutamin, dan isoproternol
sintetis. Obat ini bekerja merangsang adenilsiklase yang menyebabkan terjadinya sintetis AMP
siklik, aktifasi kinase protein, fosforilasi protein intrasel, dan peningkatan kalsium intrasel. Obat
40
tersebut bekerja memperbaiki tekanan darah dengan konsekuensi peningkatan resistensi
vaskuler dan penurunan aliran darah. Obat vasoaktif ini diberikan bila pemberian cairan
danoksigenasi alveolar telah maksimal.

Beberapa obat vasoaktif yang dapat diberikan berikut dosisnya dapat dilihat dalam tabel
dibawah ini.

Dosis dan efek klinis beberapa obat vasoaktif

Obat Dosis Efek klinis

Dobutamin 2-20 g/kg/menit Memperbaiki konraktilitas miokard

Berguna pada gagal jantung dengan syok

Dopamine 2-20 g/kg/menit Dosis rendah (4-5 g/kg/menit):


memperbaiki aliran darah ginjal

Dosis tinggi: efek

Memperbaiki kontraktilitas miokard bila


dosis ditingkatkan

Efinefrin 0,05-1 g/kg/menit Dosis rendah: efek

Dosis tinggi: efek

Berguna bila dikombinasi dengan


dopamine dosis rendah

Norefinefrin 0,05-1 g/kg/menit Efek sangat kuat

Hipotensi refrakter

Amrinon 0,75-4 mg/kg/kali Kombinasi dengan katekolamin

5-20 g/kg/menit Memperbaiki fungsi miokard

Milrinon 50-75 g/kg/kali Kombinasi dengan katekolamin

0,5-1 g/kg/kali Memperbaiki fungsi miokard

41
Kapasitas angkut oksigen

1. Sebagian besar anak dengan syok tidak memerlukan transfusi darah, tetapi kapasitas
angkut oksigen diruang intravaskular harus cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen
jaringan.
2. Transfusi darah dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian cairan
isotonik sebanyak 60ml/kg
3. Transfusi darah harus diberikan berdasarkan penilaian klinis an tidak berdasarkan kadar
hemoglobin
4. Pada anak dengan anemia kronis (anemia defisiensi) darah harus diberikan dengan hati-
hati. Pemberian tidak boleh melebihi 5-10ml/kg dalam 4 jam untuk mencegah gagal
jantung kongestif, kecuali bila proses kehilangan darah masih berlangsung.

Kelainan yang mendasari

1. Pasien dengan syok septik memerlukan antibiotik segera


2. Pasien dengan syok hipovolemik dievaluasi terhadap kehilangan cairan melalui saluran
cerna atau perdarahan.
3. Syok kardiogenik mungkin memerlukan terapi farmakologis untuk menurunkan
afterload atau intervensi bedah untuk mengatasi obstruksi
4. Syok anafilaktik memerlukan epinefrin, eliminasi penyebab dan antihistamin.

Terapi cairan

Jumlah air dalam tubuh berkaitan erat dengan jumlah elektrolit tubuh. konsentrasi natrium
darah merupakan indikator yang baik dari jumlah cairan dalam tubuh. Tubuh berusaha untuk
mempertahankan jumlah total cairan tubuh sehingga kadar natrium darah tetap stabil. Jika kadar
natrium terlalu tinggi, tubuh akan menahan air untuk melarutkan kelebihan natrium, sehingga
akan timbul rasa haus dan lebih sedikit mengeluarkan air kemih. Sedangkan jika kadar natrium
terlalu rendah, ginjal mengeluarkan lebih banyak air untuk mengembalikan kadar natrium
kembali ke normal.

Pemberian cairan

42
Cairan Kristaloid

Cairan kristaloid yang di gunakan biasanya NaCl 0,9% dan ringer laktat. Cairan kristaloid
akan menyebar cepat ke ekstraseluler. Menurut Dillon kehilangan 1cc darah harus di gantikan
3cc kristaloid. Akan tetapi menaiknya permeabilitas kapiler pada syok juga dapat menyebabkan
cairan kristaloid keluar dari pembuluh darah. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar
ini mempunyai maksud :

1. Larutan kristaloid dapat mengurangi gagal ginjal


2. Larutan kristaloid dapat mengurangi menurunnya fungsi paru secara progresif secara
cepat dari intravaskuler dan interstitial volume dari kristaloid 2-4 kali lebih tinggi dari
koloid yang di butuhkan untuk mempertahankan hemodinamik , namun cvp ( central
venous pressure ) menjadi berkurang dan cairan berkumpuldi interstitial
sehinggamenghambat oksigenasi jaringan, memperlambat penyembuhan luka,
mengurangi gerakan gastrointestinal dan daya obstruksi. Pada syok hipovolemik cairan
berkumpul, intra vascular, dan pemberian cairan kristaloid dapat mengatasi deficit cairan,
karena itu lebih banyak di gunakan kristaloid daripada koloid karena di perlukan cairan
terus menerus.

Cairan Na+ K+ Cl- Ca++ HCO3 Tekanan


(mEq/L) osmotik
(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
(mOsm/L)

Ringer 130 4 109 3 28* 273


Laktat

Ringer 130 4 109 3 28: 273


Asetat

NaCl 154 - 154 - - 308


0.9%

Cairan Koloid

Cairan koloid yang dapat di gunakan pada syok adalah hemasel, gelofusin, dekstran 70,
hespan, albumin 4,5% dan albumin 20%. Penggunaan cairan koloid yang lebih besar di
butuhkan untuk mempertahankan volume plasma untuk meningkatkan fungsi kardiovaskuler

43
dan oksigen konsumsi, begitu pula dengan cairan koloid dapat di kurangi pengumpulan cairan
interstitial dan cairan intravaskular.

Apabila permeabilitas cairan bertambah zat ini keluar dari intravascular dan menyebabkan
meningginya tekanan onkotik interstitialdan menyebabkan terjadinya udem. Di samping itu
koloid juga menghambat diuresis oleh karena itu masih menjadi pertanyaan penggunaan cairan
koloid karena bahayanya terutama bila permeabilitas kapiler bertambah. Dalam keadaan kritis
cairan koloid harus di berikan sebanyak kristaloid , yang dapat merupakan cairan :

1. Albumin

2. Dekstran

3. Hemasel

4. HAS ( Human Albumin Solution )

1. ALBUMIN
Albumin terdapat sebagai donor plasma. Albumin sama dengan osmotic koloid plasma
dengan masa tengah 10 15 hari. Dapat terjadi reaksi anafilaktoid walaupun jarang dan tidak
rutin di gunakan. Keadaan hipoalbuminemi dapat bersamaan dengan hipovolemi, edema, dan
ascites di berikan albumin 20%.

2. DEKSTRAN
Dekstran merupakan polimer polisakarida dalam dekstrosea 5% atau NaCl 0,9% dengan
berat molekul 40.000. dekstran dengan cepat di keluarkan oleh ginjaldan dapat membentuk
kompleks dengan fibrinogen sehingga menyebabkan koagulopati. Dua bentuk dekstran :
dekstran 40 dan dekstran 70. Dekstran 40 lebih sering di gunakan dan terdapat kemungkinan
alergi.

3. HEMASEL
Hemasel mengandung kalsium 10kali lebih banyak 6,3 mmol/l, dan kalium 5,1mmol/l.
pemberian dalam jumlah banyak tidak di anjurkan karena menyebabkan defek koagulasi dan
tidak mempengaruhi fungsi ginjal. Pemberian dalam jumlah besar dalam bentuk gelatin
kompleks dapat menyebabkan kebocoran pada kapiler dan menyebabkan edema paru

4. HAS ( HUMAN ALBUMIN SOLUTION )


HAS di bebaskan melalui ginjal melalui hidrolisis dengan amylase.HAS juga tersimpan
dalam RES.

44
Kristaloid Koloid

Keunggulan 1. lebih mudah tersedia dan murah 1. ekspansi volume plasma tanpa
ekspansi interstitial
2. komposisi serupa dengan
2. ekspansi volume lebih besar
plasma (Ringer asetat / Ringer
3. durasi lebih lama
laktat )
4. oksigenasi jaringan lebih baik
3. bisa disimpan di suhu kamar
5.gradien oksigen leveolar
4. bebas dari reaksi anafilaktik
arterial lebih sedikit insiden
5. komplikasi minimal
6. edema paru dan / atau edema

sistemik lebih rendah

Kekurangan 1. edema bisa mengurangi 1. anafilaksis

ekspansibilitas dinding dada 2. koagulopati

2. oksigenasi jaringan terganggu 3. albumin bisa memperberat


depresi miokard pada pasien syok
karena bertambahnya jarak
(mungkin dengan mengikat
kapiler dan sel
kalsium, mengurangi kadar ion
3. memerlukan volume 4 kali lebih
kalsium)
banyak

3.12 Terapi Farmakologi

Obat-obatan inotropik dapat meningkatkan kontraktilitas miokard dan memiliki berbagai


macam efek pada resisten vaskular perifer. Obat-obatan inotropik antara lain adalah
vasokonstriktor (misalnya, epinefrin, norepinefrin), vasodilator (misalnya, dobutamine,
milrinon). Indikasi penggunaan obat-obatan ini adalah apabila pasien memerlukan perbaikan
fungsi kontraksi atau pada pasien dengan syok yang tidak terkompensasi yang tidak respon
hanya dengan terapi cairan.

1. DOPAMIN

45
Dopamin sering digunakan pada pasien dengan syok septik, baik hanya dopamin saja
maupun dikombinasi dengan obat inotropik lainnya. Dopamin berguna dalam fungsi
vasodilatornya untuk perfusi end-organ seperti pembuluh darah di ginjal maupun di intestinal
dengan dosis rendahnya (2-5 mcg/kg/min IV). Pada dosis intermediet (5-10 mcg/kg/min IV)
obat ini dapat meningkatkan kontraktilitas miokard bersama dengan efek obat agonis-beta1.
Pada dosis tinggi (10-20 mcg/kg/min IV), obat ini dapat meningkatkan vasokonstriksi perifer
dan meningkatkan tekanan darah sentral.

2. EPINEFRIN
Epinefrin menstimulasi kedua reseptor alfa dan beta, sehingga dapat meningkatkan
kontraktilitas miokard dan meningkatkan vasokonstriksi perifer. Dosis pemberian biasanya
diawali dengan 0.1 mcg/kg/min IV. Pada kasus berat, pasien dapat menerima 2-3 mcg/kg/min
IV atau lebih.

3. DOBUTAMIN
Dobutamin merupakan agen inotropik murni, dengan efek beta-1 agonis yang dapat
meningkatkan kontraktilitas jantung. Obat ini juga dapat memberikan efek beta-2 ringan, yaitu
vasodilatasi perifer yang akan mengurangi tahanan vaskuler sistemik dan afteload, juga dapat
meningkatkan perfusi jaringan. Karena itu, dobutamin merupakan obat yang cukup baik bagi
pasien dengan syok kardiogenik dengan tujuan untuk meningkatkan kontraktilitas otot jantung.
Dobutamin jarang menyebabkan disritmia ventrikular dibandingkan dengan epinefrin. Dosis
pemberian awal adalah 5 mcg/kg/menit IV dan dapat ditingkatkan perlahan-lahan hingga 20
mcg/kg.menit IV.

4. NOREPINEFRIN
Norepinefrin merupakan agonis alfa yang dapat memberikan efek vasokonstriksi perifer
dan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Efek utamanya adalah sebagai pressor agent untuk
meningkatkan tekanan darah di sekitar muka pada keadaan syok setelah diberikan terapi cairan.

Beberapa ahli menyarankan untuk mengkombinasi norepinefrin dengan dobutamin untuk


mendapatkan efek vasokonstriksi melalui reseptor alfa dan mendapatkan efek peningkatan
kontraktilitas otot jantung. Penggunaan norepinefrin diawali dengan dosis 0.1 mcg/kg/menit IV.

Table 3. Vasoactive Drugs in Sepsis and Usual Hemodynamic Responses

Drug Dose Cardiac Blood Systemic Vascular


Output Pressure Resistance

Dopamine 2.5-20 + + +

46
mcg/kg/min

Norepinephrine 0.05-2 + ++ ++
mcg/kg/min

Epinephrine 0.05-2 ++ ++ +
mcg/kg/min

Phenylephrine 2-10 - ++ ++
mcg/kg/min

Dobutamine 2.5-10 + +/- -


mcg/kg/min

5. GLUKOSA
Bayi dan anak-anak memiliki simpanan glikogen yang terbatas yang dapat cepat
berkurang pada keadaan syok sehingga terjadi hipoglikemia. Karena glukosa merupakan
substrat yang penting, maka harus segera dilakukan pemeriksaan kadar glukosa pada pasien
syok. Apabila didapatkan kadar gula yang rendah maka berikan dextrosa IV. Dosis pemberian
dextrose adalah 0.5-1 gr/kg IV. Dextrosa sangat baik diberikan secara IV.

6. SODIUM BIKARBONAT
Penggunaan sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan syok masih kontroversial. Dalam
keadaan syok, terjadi asidosis yang akan mengganggu kontraktilitas miokardium dan fungsi
optimal dari katekolamin. Namun, pemberian bikarbonat akan memperburuk keadaan asidosis
intraselular karena sodum bikarbonat hanya mengkoreksi asidosis serum. Hal ini disebabkan
karena ion bikarbonat tidak dapat melewati membran sel semipermiabel. Sehingga, asidosis
dalam serum ditambah dengan bikarbonat akan menyebabkan produksi karbondioksida dan air,
seperti yang terdapat pada persamaan Henderson-Hasselbach. Apabila karbondioksida yang
meningkat tidak dikeluarkan melalui ventilasi, maka karbondioksida ini akan masuk ke dalam
sel dan terjadi reaksi Henderson-Hasselbach namun dalam arah yang sebaliknya dan
meningkatkan asidosis intraselular. Asidosis intraselular ini akan menyebabkan penurunan
kontraktilitas otot jantung (Cingolan, 1985; Pannier,1968). Selain itu, pemberian bikarbonat
akan menyebabkan hipernatremia dan hiperosmolalitas. Oleh karena itu, asidosis yang terjadi
pada keadaan syok dapt dikoreksi dengan meningkatkan perfusi dengan pemberian cairan
tambahan dan penggunaan obat-obatan kardiotropik dibarengi dengan ventilasi yang optimal.

47
Pada pasien dengan syok persisten dengan kehilangan bicarbonat yang terus menerus (misalnya
pada diare), pemberian bikarbonat secara hati-hati dapat diindikasikan.

Pemberian bikarbonat dapat dihitung sebagai berikut :

HCO3- (mEq) = Defisit basa x berat badan pasien (kg) x 0,3

Jumlah pemberian awal merupakan setengah dari hasil hitungan di atas dan dapat diulangi
sambil memantau perkembangan pasien. Atau, bikarbonat dapat juga diberikan 0.5-1
mEq/kg/dosis IV selama 1-2 menit. Penelitian pada pasien dengan cardiovascular arrest, gagal
untuk menunjukkan perbaikan setelah diberikan terapi bikarbonat.

7. KALSIUM
Kalsium merupakan mediator coupling reaksi eksitasi-kontraksi dalam sel, termasuk sel
jantung. Syok dapat menyebabkan perubahan dalam kadar ion kalsium serum. Pemberian
produk darah (yang mengandung sitrat) dapat mengikat kalsium bebas, sehingga dapat
menyebabkan penurunan kadar kalsium. Karena itu, pemberian kalsium berguna pada pasien
syok dengan hipkalsemia. Pemberian kalsium juga diindikasikan untuk pasien syok yang
disebabkan oleh aritmia akibat hiperkalemia, hipermagnesemia, atau toksisitas calcium channel
bloker. Kalsium dapat diberikan dalam bentuk kalsium glukonat atau kalsium klorida. Kalsium
klorida merupakan obat terpilih pada

kasus syok, karena kalsium klorida memiliki efek yang dapat lebih meninggikan dan
mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Dosis yang direkomendasikan adalah 10-
20mg/kg (0,1- 0,2 ml/kg kalsium klorida 10%) IV, dimasukan bersama cairan ifus dengan
kecepatan tetesan tidak lebih dari 100mg/menit IV.

48
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dilaporkan, kasus an. SN/perempuan /8 tahun dengan diagnosis Dengue Syok Sindrom (DSS).
Pada saat di IGD, dilakukan Pedriatric Assessment Triangle (PAT) pada pasien dimana
didapatkan :
1. Appeareance
Tonus : Pasien bisa bergerak secara spontan
Interactiveness : Pasien gelisah, kurang memberikan
respons ke lingkungan sekitar
Consolability : Pasien tampak gelisah.
Look/Gaze : Kontak mata (-) dengan pemeriksa.
Speech/Cry : Menangis.
2. Work of Breathing
Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-).
Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-).
Retractions : SC (-), IC (-), SS (-), E (-).
Flaring : (-)
3. Circulation to Skin
Pallor : (+)
Mottling : (-)
Sianosis : (-)

Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, didapatkan gangguan pada tampilan umum di
mana tampak penurunan kesadaran, pasien gelisah, sesak napas, dan gangguan pada sirkulasi
dimana pasien tampak pucat. Setelah pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan pemeriksaan
survey primer seperti berikut :
1. Evaluasi tanda vital : TD 80/50, Nadi 135 x/menit dengan isi/tegangan
kurang, frekuensi napas 30 x/menit,
suhu tubuh 36,4 C.
2. Penilaian Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas, bunyi
napas abnormal seperti stridor (-)
3. Penilaian Breathing : Nafas spontan (+), adekuat, sesak (+), napas

49
cuping hidung (-), retraksi iga/Intrasternal (-),
dada simetris dan dinamis. Bunyi paru vesikuler
(+/+) normal, ronkhi basah halus (-/-), wheezing (-/-).
4. Penilaian Circulation : Nadi teraba lemah, teratur, kualitas kurang,
frekuensi 135 x/menit, perdarahan (-), akral
dingin (+), CRT < 2 detik.
5. Penilaian Disability : PCS (pediatric coma scales) 11 (E3M4V4).
6. Penilaian Exposure : Luka di ekstremitas (-).

Dari survey primer, didapatkan situasi di mana pasien mengalami syok.


Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :
Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan Darah 25% 25-40% > 40%
Frekuensi Jantung Takikardia + Takikardia ++ Takikardia/Bradikardi
Volume Nadi Normal/Menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian Kapiler Normal/Meningkat Meningkat + Meningkat ++
Kulit Dingin, pucat Dingin, mottled Pucat mati
RR Takipnue + Takipnue ++ Sighing respiration
Tingkat Kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya pada
rasa sakit atau tidak
responsive

Berdasarkan gejala klinisnya, anak ini telah mengalami syok fase kompensasi
yang membutuhkan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadi perburukan.
Tatalaksana syok awal:
O2 2L/menit via nasal kanul
IVFD RL 20 cc/kgBB 400 cc waktu secepatnya, kocor kemudian
evaluasi, lanjutkan dengan -> IVFD RL 10 cc/kgBB/ selama 2 jam -> 200
cc/jam -> evaluasi ulang tanda-tanda vital, kemudian resusitasi cairan
diturunkan bertahap sesuai kondisi
Observasi tanda vital dan diuresis/jam
Cek Hb, Ht, Trombosit, PT, apTT, SGOT, SGPT, CRP, ureum, kreatinin,
elektrolit

Setelah dilakukan tatalaksana awal, maka dilakukan secondary survey di mana


didapatkan: dari anamnesis, diketahui bahwa sejak empat hari SMRS pasien mengalami
50
demam yang mendadak tinggi, terus menerus, suhu diukur 38,8oC, batuk (+), pilek (+), nyeri
kepala (+), sesak napas (-), mual(-), muntah(-),mimisan (-),gusi berdarah (-), mimisan (-),
bintik kemerahan di kulit (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian pasien dibawa
berobat ke bidan dan diberi obat analgetik dan antibiotik, batuk dan pilek sembuh, namun
demam tinggi masih ada. Demam dirasakan terus menerus. Pasien masih mau makan dan
minum.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit penderita masih demam, penderita mengeluh sakit
kepala, nyeri perut, timbul bintik-bintik merah di tangan dan kaki dan dibawa ke praktek
dokter umum lalu disarankan untuk cek darah. Penderita dibawa untuk melakukan
pemeriksaan darah di Puskesmas Dempo dan didapatkan hasil darah Hb 17,1 mg/dL
Leukosit 4.400mg/ dL Ht 48,7 diff count 0/0/1/60/24/15 dan trombosit 77.000 mg/dL
dengan kesan leukopenia, hematokrit meningkat dan trombositopenia. Penderita dibawa ke
rumah sakit AK Ghani dan di rujuk ke RS Muhammad Hoesin Palembang. Penderita dibawa
ke IGD rumah sakit Muhammad Hoesin dengan keadaan tampak gelisah, akral dingin, nadi
halus dan sulit dirasakan.

Berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada anak tersebut, mengindikasikan


bahwa anak tersebut mengalami syok akibat demam berdarah dengue atau Dengue Syok
Sindrom (DSS) berdasarkan kriteria WHO, yaitu:
1. Demam akut terus menerus selama 2-7 hari pada pasien selama 6 hari
2. Adanya minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji torniquet positif, ekimosis,
purpura, petechie, perdarahan pada mukosa, hematemesis, melena) pada pasien
ditemukan petechie pada tangan
3. Pembesaran hati pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan hepar yang membesar
4. Syok, yang ditandai oleh nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi ( 20 mmHg), penurunan tekanan darah hingga tidak terukur, akral
dingin, kulit lembab, CRT > 2 detik, dan pasien tampak gelisah pada pasien
ditemukan keadaan umum gelisah, lethargi, nadi cepat (135 x/menit) dan lemah,
serta akral dingin.
5. Kriteria laboratorium :
Trombositopenia (< 100.000/mm3) pada pasien Trombosit 77.000/mm3
Hemokonsentrasi (> 20%) pada pasien Ht pertama adalah 48,7%

Berdasarkan gejala klinis dan laboratorium, pasien ini masuk kriteria Dengue
Syok Sindrom (DSS). Kemudian segera dilakukan resusitasi dan dirawat inap hingga

51
kondisi pasien stabil. Adapun komplikasi yang bisa terjadi pada pasien ini adalah
perdarahan massif, edema paru, kegagalan jantung dan ensefalopati dengue.
Prognosa pada pasien DSS tergantung dari beberapa faktor, berdasarkan
pemantauan yang dilakukan pada pasien ini, prognosisnya dubia ad bonam.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
2. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI. 2005
3. Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
Edition II. Geneva : World Health Organization. 2002. Available from
htttp://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication
Accessed December 1, 2009.
4. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of
Vector Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009
5. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, editor. Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
6. Anonymous. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue haemorrhagic fever
in small hospital. World Health Organization Regional Office for South East Asia.
New Delhi: WHO; 1999

53
54
55

Anda mungkin juga menyukai