Penyaji:
Oponen:
Cyndi Mayury Siti Rokoyah R. Sakti
Eka Satyani Belina Diana Astria
M. Ikhsan Nurmansyah Siti Selly Aprida
Hana Andrina Bella Melinda
Dita Devita M. Hafizh Haekal
M. Fadhil Oktavian E Vivi Lutfiyani M
Abdul Aziz Siregar Aisyah Noer Maulidia
Dhiya Silfi Ramadini Cahaya Intan
Bima Ryanda Putra Septhia Imelda
Nurul Salmah Alia Dita Ratu Rizki Ana
Mia Esta Poetri Afda Jessica EC
Retrisia Rachmadina
Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, SpA(K)
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
presentasi kasus dengan topik Dengue Shock Syndrome sebagai salah satu
syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Silvia Triratna, SpA(K)
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga presentasi kasus ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Sampai saat ini DBD telah ditemukan
di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar
biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968
menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Syok dapat berulang
dan/atau berkepanjangan karena resusitasi yang kurang adekuat, kebocoran plasma
(plasma leakage) berat, hipoksemia, dan asidosis metabolik atau perdarahan, yang
selanjutnya dapat menyebabkan disfungsi atau gagal organ.
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal
dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan
di Indonesia dan paling banyak berkaitan dengan kasus berat.
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua
jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-
tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Populasi
nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes aegypti juga
dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang tahun.
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), demam berdarah
dengue merupakan kompetensi 4A yang artinya lulusan dokter harus mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan
tuntas. Makalah ini membahas suatu laporan kasus pada pada anak dengan diagnosis
demam berdarah dengue. Melalui laporan kasus ini diharapkan pembaca dapat lebih
memahami penegakan diagnosis demam berdarah dengue dan dapat melakukan
penatalaksanaan demam berdarah dengue hingga tuntas.
1
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTIFIKASI
Nama : An. SN
Umur / Tanggal Lahir : 8 tahun / 18 November 2008
Jenis kelamin : peremupuan
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. HH
Nama Ibu : Ny. AT
Alamat : Jl. Bangau No. 163 Ilir Timur II Palembang
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
MRS : 18 September 2017 (14:00 WIB)
B. ANAMNESA
(Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, 19
September 2017 pukul 15.00 WIB)
Keluhan Utama : demam
Keluhan Tambahan : kaki dan tangan dingin dan nyeri perut
Riwayat Lingkungan
Penderita tinggal bersama ayah, ibu dan saudara kandungnya di rumah kontrakan,
terdiri dari 3 kamar dan 1 WC menggunakan bak penampung air yang terletak
didalam rumah. Rumah penderita jauh dari pembuangan sampah umum. Sumber air
yang dipasang dari ledeng. Air untuk minum menggunakan air ledeng yang telah
dimasak. Daerah tempat tinggal penderita merupakan daerah yang ramai penduduk
dengan jarak yang berdekatan.
3
Riwayat Makan
Penderita sehari-hari mengkonsumsi:
- Nasi biasa 3 kali sehari. Rata-rata penderita menghabiskan nasi sebanyak 2-3
centong nasi sebanyak 3 kali sehari.
- Sayur ada setiap hari. Bervariasi dari sayur kangkung, tauge, lodeh, katu dan
bayam. Sekali makan bisa mengambil 2-3 sendok sayur.
- Lauk yang dikonsumsi bervariasi mulai dari ikan (1/2 potong), ayam (1 potong),
telur (1 butir), tahu (sepotong), dan tempe (sepotong). Frekuensi 3 kali sehari.
- Konsumsi buah seperti buah pir, duku, pisang, pepaya, jeruk 2-3 x dalam
seminggu.
- Penderita minum air sebanyak 1 L dalam sehari
- Penderita sering jajan disekolah seperti bakso, tekwan dengan cabe yang banyak,
coklat, ciki-ciki, es teh
Riwayat:
ASI : Tidak diberikan
Susu Formula : 0 bulan 3 tahun
Nasi tim : 7 12 bulan
Nasi biasa : 1 tahun sampai sekarang
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan cukup.
Riwayat Perkembangan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 24 bulan
Kesan : Perkembangan fisik dalam batas normal
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR ULANGAN
Umur Umur Umur Umur
HB0 7 hari
BCG 1
bulan
DPT 1 2 DPT 2 3 DPT 3 4 -
bulan bulan bulan
HEPATIT 2 HEPATI 3 HEPATIT 4 -
IS B 1 bulan TIS B 2 bulan IS B 3 bulan
Hib 1 2 Hib 2 3 Hib 3 4 -
bulan bulan bulan
POLIO 1 1 POLIO 2 2 POLIO 3 3 -
bulan bulan bulan
CAMPA 8 POLIO 4 4 -
K bulan bulan
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 18 September 2017 pukul 14.30WIB
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis E4M3V4
Tekanan darah : 80 per palpasi mmHg
Nadi : 135 x/menit, reguler, isi dan tegangan: kurang
Pernapasan : 30 x/menit
Suhu : 37,7c
SpO2 : 98%
Berat Badan : 20 kg
5
Tinggi Badan : 125 cm
Status Gizi : BB/U : Persentil 5
TB/U : Persentil 50
IMT : 38/(1.45)2 = 18.07
Kesan : Status Gizi kurang
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Cekung (-), edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-
), Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya (+/+) normal
Telinga : Meatus auditori eksterna (+), serumen (-), edema (-), hiperemis (-),
sekret (-), nyeri tarik aurikula (-), nyeri tekan tragus (-), nyeri tekan
mastoid (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-), bibir pecah-pecah (-), cheilitis (-
), lidah kotor (-)
Tenggorokan : Dinding faring hiperemis (-), T1-T2 hiperemis (-), detritus (-), crypta
melebar (-)
Leher : Pembesaran KGB (-),
Thorak
Paru-paru
Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi (-/-)
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Jantung
Inspeksi : Iktus kordistidak terlihat
Auskultasi : HR: 135 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-)
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
6
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, massa (-), nyeri tekan (+) di regio
epigastrium
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Lipat paha : Pembesaran KGB (-)
Genitalia : Phymosis (-), eritema perianal (-), prolaps ani (-)
Ekstremitas : Akral dingin (+), sianosis (-), edema (-), CRT < 3 detik
Kulit : Rumple leed test (+)
Status Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Normal Normal Normal Normal
Klonus - -
Reflek fisiologis + normal + normal + normal + normal
Reflek patologis - - - -
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah rutin 18 September 2017
Hb : 17,6 g/dl
Eritrosit` : 46,72 x106/L
Leukosit : 4,6 x103/L
Trombosit : 87 x103/L
Hematokrit : 53%
LED : 3mm/jam
Pemeriksaan Parasitologi
Malaria (DDR) : (-) negative
7
Pemeriksaan Imunologi
DENGUE BLOOD
IgG : (+) positif
IgM : (+) positif
Dengue NS I Ag : negatif
WIDAL
Tidak dilakukan
E. DAFTAR MASALAH
1. Demam
2. Muntah
3. Nyeri tekan epigastrium
4. Nyeri kepala
5. Nyeri sendi
6. Rumple leed test (+)
F. DIAGNOSIS BANDING
Dengue syok sidrome
DIAGNOSIS KERJA
Dengue syok sindrome
G. PENATALAKSANAAN
1. 02 nasal kanul 2 L/menit
2. Parasetamol (bila T > 38.5C)
3. Cairan IVFD (cairan rumatan, cairan rehidrasi sesuai derajat dehidrasi, atau cairan
resusitasi).
- Cairan RL IVFD 20cc/kgBB 400cc/jam dalam 15-30 menit dilanjutkan 10cc/kgBB
- Observasi vital sign
- Cek Hb, Ht, Trombosit secara berkala setiap 6 jam
- Hitung balance dan diuresis setiap jam
8
Edukasi
1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Monitor tanda kegawatan
4. Melaksanakan upaya pencegahan 3M plus (menguras, menutup dan mengubur)
5. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
6. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan untuk diberikan ke RT/RW tempat
tinggal pasien
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia at bonam
Quo ad functionam : dubia at bonam
Quo ad sanationam : dubia at bonam
I. RESUME
Pasien an. SN, perempuan, usia 8 tahun, datang dengan keluhan demam disertai kaki dan
tangan dingin serta myeri perut. 4 hari SMRS pasien mengalami demam tinggi, tidak diukur,
demam terus menerus disertai mual, muntah (-), batuk (-), pilek (-). Pasien juga mengeluh sakit
kepala (+), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), mimisan (-), gusi berdarah (-). Pasien kemudian berobat
ke bidan, dikatakan hanya demam biasa, lalu diberikan obat penurun panas Paracetamol dan
antibiotik Amoxicilin. Keluhan demam tidak berkurang.
1 hari SMRS, pasien masih demam (+), nyeri kepala (+), nyeri perut (+) disertai bintik-
bintik merah di tangan dan kaki. Pasien kemudian dibawa ke dokter umum dan disarankan untuk
cek darah. Pasien kemudian ke Puskesmas Dempo untuk pemeriksaan darah dan didapatkan
hasil Hb 17,1 mg/dl, leukosit 4.400 mg/dl, Ht 48,7, diff count 0/0/1/60/24/15 dan trombosit
77.000 mg/dl. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit AK Ghani dan dirujuk ke RS
Mohammad Hoesin Palembang. Penderita dibawa ke IGD Rumah Sakit Mohammad Hoesin
9
J. FOLLOW UP
Selasa, 18/09/2017 (pukul 11:30)
S : Demam (+), nyeri perut (+), kaki dan tangan masih terasa dingin (-),
mual (+)
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis,
TD : 100/60 mmHg, HR : 112x/menit (isi dan tegangan
cukup), RR :24x/menit, suhu 38,1 C
Mata : Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm, Konjungtiva
anemis (-), sklera ikterik (-)
Jantung : BJ I-II normal reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : lemas, datar, Bising usus (+) normal, hepar dan lien
tidak teraba, NT (+), NT epigastrium (+)
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <3 detik, petekie (+).
Hb 15,1, Trombosit 44.000 /L, g/dL, Ht 44 % Ht 24,5%,
Leukosit 4.200 /L
Kesan : Peningkatan Hb, Ht dan trombositopenia
P :
- IVFD RL 20cc/kgBB/jam 400cc/jam diberikan 1-2 jam
setelah anak stabil
- Paracetamol 250 mg 3x1 tab p.o
- Observasi vital sign/ jam
- Cek Hb, Ht, Trombosit
- Pantau balance dan diuresis/ jam
1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi
virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang
bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak
spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat
yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.
Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh
dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock
syndrome (DSS).
3.2 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4;
dengan serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak berkaitan
dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus
lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan imunitas seumur
hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain.
3.3 Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling
banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia,
dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian
berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di
13
Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara
6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga
2% tahun 1999. (1,2,3,4,5)
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus
dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
14
Gambar 2. Infeksi Dengue di Indonesia
2.4 Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua
jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-
tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Populasi
nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes aegypti juga
dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu
gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk menimbulkan penyakit
dengue pada orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan
mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan
mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda nonspesifik. Selama
masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus Dengue dapat bersirkulasi
di peredaran darah perifer. Jika nyamuk A. aegypti lain menggigit pasien pada masa
viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada
orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-12 hari.
15
2.5 Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. (1,2,3)
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous
infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik)(1,2,3)
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga
plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun
hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. (1,2,3)
16
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus
dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah. (1,2)
17
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia
justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis
saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.(2,3)
18
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.(2,3)
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi
imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1) Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit,
makrofag dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus
dengue.
2) Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fogosit mononukleus.
3) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus
yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah
jumlah sel yang terinfeksi.
4) Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-
mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut
berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen
dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta
tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.
2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri
dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:
Kriteria klinis :
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti
anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian , dan kepala,
berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
19
2) Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet
*
positif , petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau
melena.
3) Hepatomegali
4) Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi 20 mmHg,
atau hipotensi disertai gelisah dan akral dingin.
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas
menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua
selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5
cm2 (1 inci).
Kriteria laboratoris :
1) Trombositopenia ( 100.000/l)
2) Hemokonsentrasi (kadar Ht 20% dari orang normal)
Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.
20
Penentuan Derajat Penyakit
Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis
perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakuan.
21
Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel
berikut:
GEJALA &
DERAJAT TANDA LABORATORIUM
Demam 2-7
hari Leukopenia
Disertai > 2
tanda : sakit
DD kepala, Trombositopeni
nyeri retro-
orbital,
mialgia,
atralgia Kebocoran Plasma (-)
Gejala di atas
(+)
DBD I Disertai uji
bendung
positif
Syok berat
disertai
dengan
tekanan darah
dan nadi yang
DBD tidak terukur
IV
DSS
22
Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam tinggi,
fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang
sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang
khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan
membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang bermanifestasi
sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia.
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik
pada penderita DSS menurut Wong:
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.
Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium meliputi :
1. Isolasi virus
Dapat dilakukan dengan menanam spesimen pada :
Biakan jaringan nyamuk atau biakan jaringan mamalia
23
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen yang
ditunjukkan dengan immunoflouresen, atau adanya CPE (cytopathic
effect) pada biakan jaringan manusia.
Inokulasi/ penyuntikan pada nyamuk
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen dengue
pada kepala nyamuk yang dilihat dengan uji immunoflouresen.
2. Pemeriksaan Serologi
Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test)
Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi dan USG, Kasus DBD, terdapat beberapa kerlainan
yang dapat dideteksi yaitu :
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali dan efusi perikard
4. Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati
5. Caran dalam rongga peritoneum
Diagnosis Banding
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi
bakteri maupun virus, seperti bronkopneumonia, demam tifoid, malaria,
dan sebagainya.
2. Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan morbili.
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan
leptospirosis.
4. Penyakit-penyakit darah seperti idiophatic thrombocytopenic purpurae,
leukemia pada stadium lanjut, dan anemia aplastik.
5. Syok endotoksin.
6. Demam Chikunguya.
24
2.7 Penatalaksanaan
1. Pada DSS segera beri infus kristaloid (Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-
20 ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen
2 lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak
terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi
dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa
elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat
tetap dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau
koloid (HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid
diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15
menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan
gula darah. Pada syok berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid
(HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil perbaikan peningkatan
tekanan nadi lebih cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar
hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan
cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap
dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabildan hematokrit
menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai
keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan
diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan
tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan
darah, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin
<1,020) dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai
keadaan umum baik.
Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun
tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila
tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan
cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-
8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan.
25
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui
kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin.
Apabila CVP normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.
26
Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)
1. Kristaloid
Larutan ringer laktat
(RL) Larutan ringer asetat
(RA) Larutan garam faali
(GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA
tidak boleh larutan yang mengandung dekstran)
1. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin
27
4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap
selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan
kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan
hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin
parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.
28
Syok pada Anak
Syok adalah syndrome gawat akut akibat ketidakcukupan perfusi dalam memenuhi
kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan metabolik (kebutuhan
oksigen) atau penurunan pasokan metabolik. Ketidakcukupan akan pasokan oksigen
mengakibatkan tubuh merespon dengan merubah metabolisme energi sel menjadi anaerobic,
akibatnya dapat terjadi asidosis laktat. Jika perfusi oksigen ke jaringan terus berkurang maka
respon system endokrin, pembuluh darah, inflamasi, metabolisme, seluler dan sistemik akan
muncul dan mengakibatkan pasien menjadi tidak stabil.
Patofisiologi
Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami dengan benar
ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon kompensasi kardiovaskular pada
anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi yang progresif. Gejala dan tanda syok yang
dapat dengan mudah dilihat pada orang dewasa mungkin tidak akan terlihat pada anak,
mengakibatkan terlambatnya pengenalan dan mengabaikan keadaan syok yang parah.
Walaupun anak lebih besar persentase total cairan tubuhnya tapi untuk melindungi mereka dari
kolaps kardiovaskular, peningkatan sisa metabolik rata-rata, peningkatan insensible water loss,
dan penurunan renal concentrating ability biasanya membuat anak lebih mudah terjadi
hipoperfusi pada organ. Gejala dan tanda awal dari berkurangnya volume dapat tidak diketahui
pada anak-anak, tapi sejalan dengan perkembangan penyakit, penemuan gejala dan tanda
menjadi dapat ditemukan sama seperti orang dewasa.
29
Respon kompensasi kardiovaskular pada anak dengan keadaan penurunan ventrikular
preload, melemahkan kontraksi miokard, dan perubahan dalam pembuluh darah berbeda dari
yang terjadi pada dewasa. pada pasien anak, CO lebih tergantung pada heart rate daripada stroke
30
volume oleh karena kekurangan massa otot ventrikel. Takikardi adalah yang terpenting pada
anak untuk mempertahankan CO yang adekuat pada kondisi penurunan ventricular preload,
kelemahan kontraksi miokard, atau kelainan jantung congenital yang digolongkan oleh anatomi
left-to-right shunt. Stroke volume tergantung oleh pengisian ventrikel (preload), ejeksi ventrikel
(afterload), dan fungsi pompa intrinsik (myocardial contractility).
Tambahan pada CO, pengatur utama dari tekanan darah adalah SVR. Anak
memaksimalkan SVR untuk mempertahankan tekanan darah yang normal, pada keadaan
penurunan CO yang signifikan. Peningkatan SVR oleh karena vasokontriksi perifer yang
dipengaruhi system saraf simpatis dan angiotensin. Hasilnya, aliran darah diredistributsi dari
pembuluh nonessential seperti kulit, otot skelet, ginjal dan organ splanknik ke otak, jantung,
paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan dari pembuluh darah, endogen atau eksogen
melalui zat-zat vasoaktif, dapat menormalkan tekanan darah tanpa tergantung dari CO. Karena
itu, pada pasien anak, tekanan darah merupakan indicator yang jelek dari hemostatis
kardiovaskular. Evaluasi heart rate dan perfusi end-organ, termasuk capillary refill, kualitas
dari denyut perifer, kesadaran, urine output, dan status asam-basa, lebih bernilai daripada
tekanan darah dalam menentukan status sirkulasi anak.
Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya suplai oksigen
dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Akibat dari kekurangan oksigan
dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini tidak dapat mempertahankan produksi O2 aerobik
secara efisien.
Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel. Kematian sel
yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila ireversibel, dapat terjadi kematian.
Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi absolut dari transpor oksigen
(syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi transport substrat, biasanya glukosa (syok
iskemik). Yang paling sering terjadi adalah kombinasi dari kedua hal diatas yaitu hipoksik dan
iskemik. Atas dasar hal tersebut diatas, maka sangatlah penting untuk memberikan oksigen pada
keadaan syok.
31
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen yang dibawa ke
jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang dipompa oleh jantung
permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri (CaO2), sehingga didapatkan
persamaan sebagai berikut:
Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada CaCO2, baik
karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO2 maupun karena anemia yang
menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan kapasitas total pengiriman O2.
Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu jumlah darah yang dipompa tiap denyut
jantung (Stroke Volume = SV) dan laju jantung (Heart Rate = HR). Stroke volume dipengaruhi
oleh volume pengisian ventrikel akhir diastolik (ventricular preload), kontaktilitas otot jantung
dan afterload. Tiap variabel yang mempengaruhi cardiac output diatas, pada keadaan syok,
dapat mengalami gangguan atau kerusakan.
STADIUM
32
KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI
33
Insult Defisiensi
Adrenal
1. Sistem kardiovaskular
Gangguan sirkulasi perifer mengakibatkan pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya
pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Nadi
cepat dan halus.
Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya
mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.
Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
CVP rendah.
2. Sistem Respirasi
a. Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai
menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan
analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena
kesakitan.
a. Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam
(0,5-1 ml/kg/jam). Pada anak 1-2ml/kg/jam.
SYOK HIPOVOLEMIK
Ini adalah syok yang paling umum ditemui, terjadi karena kekurungan volume sirkulasi
yang disebabkan karena kehilangan darah dan juga cairan tubuh. Kehilangan darah dibagi
menjadi dua yaitu perdarahan yang tampak dan tidak tampak. Perdarahan yang tampak misal
perdarahan dari luka dan hematemesis, sedangkan perdarahan yang tak tampak misal
34
perdarahan pada saluran cerna seperti perdarahan tukak duodenum, cedera limpa, patah tulang.
Kehilangan cairan terjadi pada luka bakar yang luas dimana terjadi kehilangan cairan pada
permukaan kulit yang hangus atau terkumpul didalam kulit yang melepuh. Muntah hebat dan
diare juga mengakibatkan kehilangan banyak cairan intrvaskuler. Obstruksi ileus juga bisa
menyebabkan banyak kehingan cairan, juga pada sepsis berat dan peritonitis bisa menyebabkan
kehingan cairan.
4. Kulit dingin dan lembab karena vasokontriksi dan stimulasi kelenjar keringat
6. Pernafasan cepat dan dalam karena stimulasi saraf simpatis dan asidosis
- Darah
- Plasma
- Cairan ekstrasel
PENYEBAB
1. perdarahan
2. luka bakar
4. dehidrasi
35
5. kehilangan cairan pada muntah, diare, ileus
PATOFISIOLOGI
Syok hipovolemik yaitu syok yang terjadi karena kekurangan sirkulasi didalam pembuluh
darah oleh berbagai sebab, berkurangnya sirkulasi ini mengakibatkan darah yang kembali ke
jantung melalui vena akan berkurang. Akibatnya darah yang masuk ke atrium kanan juga
menurun, sebagai kompensasi atas hal ini frekuansi jantung akan meningkat untuk
menyesuaikan agar perfusi sistemik dapat dipenuhi. Gejalanya akan tampak tekanan darah
sistolik menurun dan denyut nadi yang cepat.
36
antidiuretik (ADH) dari hipofisis posterior mengakibatkan resorpsi air ditubulus distal
meningkat.
Syok Distributif
Syok distributif adalah syok yang terjadi karena kekurangan volume darah yang bersifat
relative, dalam artian jumlah darah didalam pembuluh darah cukup namun terjadi dilatasi
pembuluh darah sehingga seolah-olah volume darah didalam pembuluh darah berkurang. Syok
distributive ada 3 bentuk:
1. Syok septik: disebabkan karena infeksi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah.
Contoh infeksi karena bakteri gram negative seperti Escherichiacoli.
Gejala sama dengan syok hipovolemik, namun untuk tahap syok septik diawali dengan:
2. Syok anafilaktik: disebabkan karena reaksi anfilaktik terhadap allergen, antigen, obat, benda
asing yang menyebabkan pelepasan histamine yang menyebabkan vasodilatasi. Juga
memudahkan terjadinya hipotensi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
d. batu dan sesak nafas karena penyumbatan jalan nafas dan radang tenggorok
3. Syok neurogenik : ini adalah shock yang jarang terjadi. Disebabkan oleh trauma pada medulla
spinalis, terjadi kehilangan mendadak pada reflek otonom dan motorik dibawah lesi.
Tanpa adanya stimulasi simpatis, dinding pembuluh darah vasodilatasi yang tak
terkontrol, hasilnya penurunan resistensi pembuluh darah perifer sehingga menyebabkan
vasodilatasi dan hypotensi. Tanda dan gejala syok neurogenik sama dengan syok hipovolemik.
Syok Obstruktif
37
Terdapat penyumbatan yang menyebabkan aliran darah terganggu, pada beberapa kondisi
hal ini bisa menyebabkan timbulnya syok.
3. Emboli massive paru : mengurangi aliran darah dari paru ke jantung, cardiac output menurun
syok
4. stenosis aorta : sebabkan aliran darah keluar dari ventrikel terhambat perfusi berkurang
syok
5. Tanda dan gejala sama dengan shock hypovolemic tapi ditambah dengan peningkatan JVP
pulsus paradoksus karena tamponade jantung
Syok Kardiogenik
Syok tipe ini adalah syok yang terjadi karena kagagalan efektivitas fungsi pompa jantung.
Hal ini disebabkan karena kerusakan otot jantung, paling sering yaitu infark pada myocard.
Syok kardiogenik juga bisa disebabkan aritmia. Syok ini jarang terjadi pada anak-anak.
Tanda dan gejala syok kardiogenik sama dengan syok hipovolemik ditambah dengan:
2. Hepatomegali
3. Gallop
4. Murmur
6. Kardiomegali
7. Hipertrofi jantung
38
8. Distensi V. Jugularis, dan peningkatan JVP
Tatalaksana Syok
Pengenalan awal akan syok membutuhkan pemahaman tentang kebiasaan anak yang
normal dan keadaan anak yang memang menderita shock. Pucat ringan, ekstremintas dingin,
mengantuk ringan atau acuh terhadap sekitar, takikardia yang taksesuai dan factor lain seperti
cemas, demam dan hal lain yang penting sering terabaikan. Oliguria adalah tanda yang penting,
anak dengan trauma berat atau sepsis membutuhkan pemasangan kateter untuk menghitung
secara cermat cairan yang keluar dan kebutuhancairan secara akurat. Nilai normal nadi dan
tekanan darah berbeda untuk tiap umur, terkadang nilai normal sering tak sesuai dengan
panduan ketika anak mengalami distress.
Pada tahap awal, syok memerlukan penanganan yang segera untuk mempertahankan
hidup, bagaimanapun penanganan shock tergantung seberapa cepat untuk bisa mendapat
pertolongan di rumah sakit.
1. Segera beri pertolongan, jika pasien masih sadar tempatkan dengan nyaman
2. Jika pasien sendiri, cari pertolongan, atau meminta seseorang mencari pertolongan dan
seseorang menjaga pasien
4. Lindungi pasien dengan jaket tapi jangan terlalu rapat agar tidak terjadi vasodilatasi
Tatalaksana syok dimulai dengan tindakan umum untuk memulihkan perfusi jaringan dan
oksigenasi sel. Tindakan ini tidak tergantung pada penyebab syok. Diagnosa harus segera dibuat
sehingga dapat diberikan pertolongan sesuai dengan kausa.
Tujuan utama adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi terutama di otak, jantung dan
ginjal. Tanpa memandang etiologi syok, oksigenasi dan perfusi jaringan dapat diperbaiki
dengan memperhatikan 4 variabel ini:
OBAT VASOAKTIF
Ada beberapa obat yang dapat digunakan sebagai penunjang dalam penanganan syok bila
resusitasi cairan belum cukup untuk menstabilkan system kardiovaskular. Obat inotropik
meningkatan kontraktilitas miokard dan obat kronotropik meningkatkan frekuensi jantung.
Obat vasoaktif yang paling banyak digunakan adalah golongan amin simpatomimetik yaitu
golongan katekolamin, epinefrin, norepinefrin, dopamine endogen, dobutamin, dan isoproternol
sintetis. Obat ini bekerja merangsang adenilsiklase yang menyebabkan terjadinya sintetis AMP
siklik, aktifasi kinase protein, fosforilasi protein intrasel, dan peningkatan kalsium intrasel. Obat
40
tersebut bekerja memperbaiki tekanan darah dengan konsekuensi peningkatan resistensi
vaskuler dan penurunan aliran darah. Obat vasoaktif ini diberikan bila pemberian cairan
danoksigenasi alveolar telah maksimal.
Beberapa obat vasoaktif yang dapat diberikan berikut dosisnya dapat dilihat dalam tabel
dibawah ini.
Hipotensi refrakter
41
Kapasitas angkut oksigen
1. Sebagian besar anak dengan syok tidak memerlukan transfusi darah, tetapi kapasitas
angkut oksigen diruang intravaskular harus cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen
jaringan.
2. Transfusi darah dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian cairan
isotonik sebanyak 60ml/kg
3. Transfusi darah harus diberikan berdasarkan penilaian klinis an tidak berdasarkan kadar
hemoglobin
4. Pada anak dengan anemia kronis (anemia defisiensi) darah harus diberikan dengan hati-
hati. Pemberian tidak boleh melebihi 5-10ml/kg dalam 4 jam untuk mencegah gagal
jantung kongestif, kecuali bila proses kehilangan darah masih berlangsung.
Terapi cairan
Jumlah air dalam tubuh berkaitan erat dengan jumlah elektrolit tubuh. konsentrasi natrium
darah merupakan indikator yang baik dari jumlah cairan dalam tubuh. Tubuh berusaha untuk
mempertahankan jumlah total cairan tubuh sehingga kadar natrium darah tetap stabil. Jika kadar
natrium terlalu tinggi, tubuh akan menahan air untuk melarutkan kelebihan natrium, sehingga
akan timbul rasa haus dan lebih sedikit mengeluarkan air kemih. Sedangkan jika kadar natrium
terlalu rendah, ginjal mengeluarkan lebih banyak air untuk mengembalikan kadar natrium
kembali ke normal.
Pemberian cairan
42
Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid yang di gunakan biasanya NaCl 0,9% dan ringer laktat. Cairan kristaloid
akan menyebar cepat ke ekstraseluler. Menurut Dillon kehilangan 1cc darah harus di gantikan
3cc kristaloid. Akan tetapi menaiknya permeabilitas kapiler pada syok juga dapat menyebabkan
cairan kristaloid keluar dari pembuluh darah. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar
ini mempunyai maksud :
Cairan Koloid
Cairan koloid yang dapat di gunakan pada syok adalah hemasel, gelofusin, dekstran 70,
hespan, albumin 4,5% dan albumin 20%. Penggunaan cairan koloid yang lebih besar di
butuhkan untuk mempertahankan volume plasma untuk meningkatkan fungsi kardiovaskuler
43
dan oksigen konsumsi, begitu pula dengan cairan koloid dapat di kurangi pengumpulan cairan
interstitial dan cairan intravaskular.
Apabila permeabilitas cairan bertambah zat ini keluar dari intravascular dan menyebabkan
meningginya tekanan onkotik interstitialdan menyebabkan terjadinya udem. Di samping itu
koloid juga menghambat diuresis oleh karena itu masih menjadi pertanyaan penggunaan cairan
koloid karena bahayanya terutama bila permeabilitas kapiler bertambah. Dalam keadaan kritis
cairan koloid harus di berikan sebanyak kristaloid , yang dapat merupakan cairan :
1. Albumin
2. Dekstran
3. Hemasel
1. ALBUMIN
Albumin terdapat sebagai donor plasma. Albumin sama dengan osmotic koloid plasma
dengan masa tengah 10 15 hari. Dapat terjadi reaksi anafilaktoid walaupun jarang dan tidak
rutin di gunakan. Keadaan hipoalbuminemi dapat bersamaan dengan hipovolemi, edema, dan
ascites di berikan albumin 20%.
2. DEKSTRAN
Dekstran merupakan polimer polisakarida dalam dekstrosea 5% atau NaCl 0,9% dengan
berat molekul 40.000. dekstran dengan cepat di keluarkan oleh ginjaldan dapat membentuk
kompleks dengan fibrinogen sehingga menyebabkan koagulopati. Dua bentuk dekstran :
dekstran 40 dan dekstran 70. Dekstran 40 lebih sering di gunakan dan terdapat kemungkinan
alergi.
3. HEMASEL
Hemasel mengandung kalsium 10kali lebih banyak 6,3 mmol/l, dan kalium 5,1mmol/l.
pemberian dalam jumlah banyak tidak di anjurkan karena menyebabkan defek koagulasi dan
tidak mempengaruhi fungsi ginjal. Pemberian dalam jumlah besar dalam bentuk gelatin
kompleks dapat menyebabkan kebocoran pada kapiler dan menyebabkan edema paru
44
Kristaloid Koloid
Keunggulan 1. lebih mudah tersedia dan murah 1. ekspansi volume plasma tanpa
ekspansi interstitial
2. komposisi serupa dengan
2. ekspansi volume lebih besar
plasma (Ringer asetat / Ringer
3. durasi lebih lama
laktat )
4. oksigenasi jaringan lebih baik
3. bisa disimpan di suhu kamar
5.gradien oksigen leveolar
4. bebas dari reaksi anafilaktik
arterial lebih sedikit insiden
5. komplikasi minimal
6. edema paru dan / atau edema
1. DOPAMIN
45
Dopamin sering digunakan pada pasien dengan syok septik, baik hanya dopamin saja
maupun dikombinasi dengan obat inotropik lainnya. Dopamin berguna dalam fungsi
vasodilatornya untuk perfusi end-organ seperti pembuluh darah di ginjal maupun di intestinal
dengan dosis rendahnya (2-5 mcg/kg/min IV). Pada dosis intermediet (5-10 mcg/kg/min IV)
obat ini dapat meningkatkan kontraktilitas miokard bersama dengan efek obat agonis-beta1.
Pada dosis tinggi (10-20 mcg/kg/min IV), obat ini dapat meningkatkan vasokonstriksi perifer
dan meningkatkan tekanan darah sentral.
2. EPINEFRIN
Epinefrin menstimulasi kedua reseptor alfa dan beta, sehingga dapat meningkatkan
kontraktilitas miokard dan meningkatkan vasokonstriksi perifer. Dosis pemberian biasanya
diawali dengan 0.1 mcg/kg/min IV. Pada kasus berat, pasien dapat menerima 2-3 mcg/kg/min
IV atau lebih.
3. DOBUTAMIN
Dobutamin merupakan agen inotropik murni, dengan efek beta-1 agonis yang dapat
meningkatkan kontraktilitas jantung. Obat ini juga dapat memberikan efek beta-2 ringan, yaitu
vasodilatasi perifer yang akan mengurangi tahanan vaskuler sistemik dan afteload, juga dapat
meningkatkan perfusi jaringan. Karena itu, dobutamin merupakan obat yang cukup baik bagi
pasien dengan syok kardiogenik dengan tujuan untuk meningkatkan kontraktilitas otot jantung.
Dobutamin jarang menyebabkan disritmia ventrikular dibandingkan dengan epinefrin. Dosis
pemberian awal adalah 5 mcg/kg/menit IV dan dapat ditingkatkan perlahan-lahan hingga 20
mcg/kg.menit IV.
4. NOREPINEFRIN
Norepinefrin merupakan agonis alfa yang dapat memberikan efek vasokonstriksi perifer
dan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Efek utamanya adalah sebagai pressor agent untuk
meningkatkan tekanan darah di sekitar muka pada keadaan syok setelah diberikan terapi cairan.
Dopamine 2.5-20 + + +
46
mcg/kg/min
Norepinephrine 0.05-2 + ++ ++
mcg/kg/min
Epinephrine 0.05-2 ++ ++ +
mcg/kg/min
Phenylephrine 2-10 - ++ ++
mcg/kg/min
5. GLUKOSA
Bayi dan anak-anak memiliki simpanan glikogen yang terbatas yang dapat cepat
berkurang pada keadaan syok sehingga terjadi hipoglikemia. Karena glukosa merupakan
substrat yang penting, maka harus segera dilakukan pemeriksaan kadar glukosa pada pasien
syok. Apabila didapatkan kadar gula yang rendah maka berikan dextrosa IV. Dosis pemberian
dextrose adalah 0.5-1 gr/kg IV. Dextrosa sangat baik diberikan secara IV.
6. SODIUM BIKARBONAT
Penggunaan sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan syok masih kontroversial. Dalam
keadaan syok, terjadi asidosis yang akan mengganggu kontraktilitas miokardium dan fungsi
optimal dari katekolamin. Namun, pemberian bikarbonat akan memperburuk keadaan asidosis
intraselular karena sodum bikarbonat hanya mengkoreksi asidosis serum. Hal ini disebabkan
karena ion bikarbonat tidak dapat melewati membran sel semipermiabel. Sehingga, asidosis
dalam serum ditambah dengan bikarbonat akan menyebabkan produksi karbondioksida dan air,
seperti yang terdapat pada persamaan Henderson-Hasselbach. Apabila karbondioksida yang
meningkat tidak dikeluarkan melalui ventilasi, maka karbondioksida ini akan masuk ke dalam
sel dan terjadi reaksi Henderson-Hasselbach namun dalam arah yang sebaliknya dan
meningkatkan asidosis intraselular. Asidosis intraselular ini akan menyebabkan penurunan
kontraktilitas otot jantung (Cingolan, 1985; Pannier,1968). Selain itu, pemberian bikarbonat
akan menyebabkan hipernatremia dan hiperosmolalitas. Oleh karena itu, asidosis yang terjadi
pada keadaan syok dapt dikoreksi dengan meningkatkan perfusi dengan pemberian cairan
tambahan dan penggunaan obat-obatan kardiotropik dibarengi dengan ventilasi yang optimal.
47
Pada pasien dengan syok persisten dengan kehilangan bicarbonat yang terus menerus (misalnya
pada diare), pemberian bikarbonat secara hati-hati dapat diindikasikan.
Jumlah pemberian awal merupakan setengah dari hasil hitungan di atas dan dapat diulangi
sambil memantau perkembangan pasien. Atau, bikarbonat dapat juga diberikan 0.5-1
mEq/kg/dosis IV selama 1-2 menit. Penelitian pada pasien dengan cardiovascular arrest, gagal
untuk menunjukkan perbaikan setelah diberikan terapi bikarbonat.
7. KALSIUM
Kalsium merupakan mediator coupling reaksi eksitasi-kontraksi dalam sel, termasuk sel
jantung. Syok dapat menyebabkan perubahan dalam kadar ion kalsium serum. Pemberian
produk darah (yang mengandung sitrat) dapat mengikat kalsium bebas, sehingga dapat
menyebabkan penurunan kadar kalsium. Karena itu, pemberian kalsium berguna pada pasien
syok dengan hipkalsemia. Pemberian kalsium juga diindikasikan untuk pasien syok yang
disebabkan oleh aritmia akibat hiperkalemia, hipermagnesemia, atau toksisitas calcium channel
bloker. Kalsium dapat diberikan dalam bentuk kalsium glukonat atau kalsium klorida. Kalsium
klorida merupakan obat terpilih pada
kasus syok, karena kalsium klorida memiliki efek yang dapat lebih meninggikan dan
mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Dosis yang direkomendasikan adalah 10-
20mg/kg (0,1- 0,2 ml/kg kalsium klorida 10%) IV, dimasukan bersama cairan ifus dengan
kecepatan tetesan tidak lebih dari 100mg/menit IV.
48
BAB IV
ANALISIS KASUS
Dilaporkan, kasus an. SN/perempuan /8 tahun dengan diagnosis Dengue Syok Sindrom (DSS).
Pada saat di IGD, dilakukan Pedriatric Assessment Triangle (PAT) pada pasien dimana
didapatkan :
1. Appeareance
Tonus : Pasien bisa bergerak secara spontan
Interactiveness : Pasien gelisah, kurang memberikan
respons ke lingkungan sekitar
Consolability : Pasien tampak gelisah.
Look/Gaze : Kontak mata (-) dengan pemeriksa.
Speech/Cry : Menangis.
2. Work of Breathing
Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-).
Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-).
Retractions : SC (-), IC (-), SS (-), E (-).
Flaring : (-)
3. Circulation to Skin
Pallor : (+)
Mottling : (-)
Sianosis : (-)
Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, didapatkan gangguan pada tampilan umum di
mana tampak penurunan kesadaran, pasien gelisah, sesak napas, dan gangguan pada sirkulasi
dimana pasien tampak pucat. Setelah pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan pemeriksaan
survey primer seperti berikut :
1. Evaluasi tanda vital : TD 80/50, Nadi 135 x/menit dengan isi/tegangan
kurang, frekuensi napas 30 x/menit,
suhu tubuh 36,4 C.
2. Penilaian Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas, bunyi
napas abnormal seperti stridor (-)
3. Penilaian Breathing : Nafas spontan (+), adekuat, sesak (+), napas
49
cuping hidung (-), retraksi iga/Intrasternal (-),
dada simetris dan dinamis. Bunyi paru vesikuler
(+/+) normal, ronkhi basah halus (-/-), wheezing (-/-).
4. Penilaian Circulation : Nadi teraba lemah, teratur, kualitas kurang,
frekuensi 135 x/menit, perdarahan (-), akral
dingin (+), CRT < 2 detik.
5. Penilaian Disability : PCS (pediatric coma scales) 11 (E3M4V4).
6. Penilaian Exposure : Luka di ekstremitas (-).
Berdasarkan gejala klinisnya, anak ini telah mengalami syok fase kompensasi
yang membutuhkan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadi perburukan.
Tatalaksana syok awal:
O2 2L/menit via nasal kanul
IVFD RL 20 cc/kgBB 400 cc waktu secepatnya, kocor kemudian
evaluasi, lanjutkan dengan -> IVFD RL 10 cc/kgBB/ selama 2 jam -> 200
cc/jam -> evaluasi ulang tanda-tanda vital, kemudian resusitasi cairan
diturunkan bertahap sesuai kondisi
Observasi tanda vital dan diuresis/jam
Cek Hb, Ht, Trombosit, PT, apTT, SGOT, SGPT, CRP, ureum, kreatinin,
elektrolit
Berdasarkan gejala klinis dan laboratorium, pasien ini masuk kriteria Dengue
Syok Sindrom (DSS). Kemudian segera dilakukan resusitasi dan dirawat inap hingga
51
kondisi pasien stabil. Adapun komplikasi yang bisa terjadi pada pasien ini adalah
perdarahan massif, edema paru, kegagalan jantung dan ensefalopati dengue.
Prognosa pada pasien DSS tergantung dari beberapa faktor, berdasarkan
pemantauan yang dilakukan pada pasien ini, prognosisnya dubia ad bonam.
52
DAFTAR PUSTAKA
53
54
55