Anda di halaman 1dari 49

Laporan Kasus

Demam Typhoid

Penyaji:

Restya Fitriani 04054821517030


Syeba Dinda Hasianna 04054821618103

Oponen:
Ima Desliana
Ratri Shintya Dewi
Norfaridzuan bin Abdul Nain
Wulan Meilani
Intan Fajrin Karimah
Mary Gisca Theressi

Pembimbing:
Dr. H. Suwandi Safitra, SpA

Departemen Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2016
Halaman Pengesahan

Demam Typhoid

Disusun oleh :
Restya Fitriani 04054821517030
Syeba Dinda Hasianna 04054821618103

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Periode 17 Oktober 2016 s.d 23 Desember 2016.

Palembang, Desember 2016


Pembimbing

Dr. H. Suwandi Safitra, SpA


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
presentasi kasus dengan topik “Demam Typhoid” sebagai salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Suwandi Safitra, SpA
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga presentasi kasus ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.

Palembang, Desember 2016

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II. LAPORAN KASUS .................................................................................. 3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 13
BAB IV. ANALISIS KASUS .............................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 6

4
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia,


Afrika, Amerika latin, Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit infeksi
yang ditularkan melalui makanan dan minuman ini, disebabkan oleh kuman S.
typhi. Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar
16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian.1
Di Indonesia insidensi demam tifoid tergolong masih tinggi. Demam tifoifd
diduga erat hubungannya dengan hygiene perorangan yang kurang baik , sanitasi
lingkungan yang jelek, serta fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian
besar masyarakat. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun.2
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak umumnya bersifat lebih ringan
dan lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Timbulnya gejala
klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Komplikasi demam tifoid
pada usus halus dapat berupa pendarahan usus, perforasi usus, dan peritonitis.
Sedangkan komplikasi demam tifoid diluar usus halus dapat berupa bronkitis,
kolesistisis, dan yang paling berat adalah typhoid ensefalopati.3,4
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), demam tifoid
merupakan kompetensi 4A yang artinya lulusan dokter harus mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri
dan tuntas. Makalah ini membahas suatu laporan kasus pada pada anak dengan
diagnosis demam tifoid. Melalui laporan kasus ini diharapkan pembaca dapat lebih
memahami penegakan diagnosis demam tifoid dan dapat melakukan
penatalaksanaan demam tifoid hingga tuntas.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama : An. MA
Umur / Tanggal Lahir : 12 tahun / 8 Juni 2004
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. AM
Nama Ibu : Ny. YH
Alamat : Jl. Tegalrejo RT 10 Tj. Enim
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
MRS : 28 November 2016

B. ANAMNESA
(Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan ayah kandung
penderita, 29 November 2016 pukul 07.00 WIB)
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : Muntah

Riwayat Perjalanan Penyakit


Tiga hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh demam,
demam naik turun dan meningkat terutama pada malam hari. Demam tidak
disertai menggigil, tidak berkeringat malam hari, dan tidak disertai kejang.
Mual tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan normal, nyeri ulu hati tidak
ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, keluar cairan dari telinga tidak ada, sakit
menelan tidak ada, sakit tenggorokan tidak ada, nyeri sendi tidak ada, pegal-
pegal tidak ada, ruam kemerahan tidak ada, mimisan tidak ada, gusi berdarah
tidak ada, dan bintik-bintik merah tidak ada. Penderita mengaku sulit BAB.
BAK seperti biasa. Penderita kemudian dibawa ke RSUD H.M. Rabain namun

2
dikatakan hanya demam biasa lalu diberikan obat penurun demam dan
disarankan untuk rawat jalan.
Sepuluh jam sebelum masuk rumah sakit, penderita masih demam,
demam naik turun dan meningkat terutama pada malam hari. Demam tidak
disertai menggigil, tidak berkeringat dan tidak disertai kejang. Mual ada,
muntah ada sebanyak dua kali setelah makan sebanyak ±1/2 gelas belimbing
berisi sisa makanan dan air, nafsu makan menurun, nyeri ulu hati ada, batuk
tidak ada, pilek tidak ada, sakit menelan tidak ada, sakit tenggorokan tidak ada,
nyeri sendi tidak ada, pegal-pegal tidak ada, ruam kemerahan pada kulit tidak
ada, mimisan tidak ada, gusi berdarah tidak ada, bintik-bintik merah tidak ada.
Penderita juga mengaku masih sulit BAB. BAK seperti biasa. Penderita lalu
dibawa ke IGD RSUD H.M. Rabain dan disarankan untuk rawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit demam dengan gejala yang sama sebelumnya
disangkal
 Riwayat batuk-batuk lama disertai kesulitan penambahan berat badan
disangkal
 Riwayat bepergian ke daerah endemis disangkal
 Riwayat mual dan nyeri ulu hati sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga dan Lingkungan sekitar


 Riwayat batuk lama dan minum obat selama 6 bulan dalam keluarga
disangkal

Riwayat Kebiasaan dan Pola Hidup


 Penderita sering jajan di pinggir jalan dan kantin sekolah dan jarang
mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan.
 Bak mandi dikuras teratur setiap satu kali dalam seminggu, bak
penampungan air tertutup.
Riwayat Lingkungan

3
Penderita tinggal bersama ayah, ibu, dan satu orang adik laki-laki di
rumah pribadi, terdiri atas tiga kamar dan dua WC menggunakan bak
penampungan air terletak didalam rumah. Rumah penderita jauh dari tempat
pembuangan sampah umum. Sumber air yang dipakai berasal dari ledeng. Air
untuk minum menggunakan air ledeng yang telah dimasak.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


GPA : P1A0
Masa kehamilan : ±38 minggu
Partus : Spontan per vaginam
Ditolong oleh : Dokter Sp.OG
Tanggal : 8 Juni 2004
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : Lupa
Keadaan saat lahir : Langsung menangis

Riwayat Makan
Penderita sehari-hari mengkonsumsi:
- Nasi biasa 3 kali sehari. Rata-rata penderita menghabiskan nasi
sebanyak 2-3 centong nasi sebanyak 3 kali sehari.
- Sayur ada setiap hari. Bervariasi dari sayur kangkung, tauge, lodeh,
katu dan bayam. Sekali makan bisa mengambil 2-3 sendok sayur.
- Lauk yang dikonsumsi bervariasi mulai dari ikan (1/2 potong), ayam
(1 potong), telur (1 butir), tahu (sepotong), dan tempe (sepotong).
Frekuensi 3 kali sehari.
- Konsumsi buah seperti buah pir, duku, pisang, pepaya, jeruk 2-3 x
dalam seminggu.
- Penderita minum air sebanyak ± 1 L dalam sehari
- Penderita sering jajan disekolah seperti bakso, tekwan dengan cabe
yang banyak, coklat, ciki-ciki, es teh
Riwayat:

4
ASI : 0 bulan − 6 bulan
Susu Formula : 0 bulan – 3 tahun
Nasi tim : 7 – 12 bulan
Nasi biasa : 1 tahun sampai sekarang
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan cukup.

Riwayat Perkembangan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 24 bulan
Kesan : Perkembangan fisik dalam batas normal

Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol :-
Ngompol :-
Sering mimpi : -
Aktivitas : Aktif
Membangkang: -
Ketakutan :-
Kesan : Riwayat perkembangan mental baik

Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR ULANGAN

Umur Umur Umur Umur

HB0 7 hari

BCG 1 bulan

5
DPT 1 2 bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan -

HEPATITIS 2 bulan HEPATITI 3 bulan HEPATITIS 4 bulan -


B1 SB2 B3

Hib 1 2 bulan Hib 2 3 bulan Hib 3 4 bulan -

POLIO 1 1 bulan POLIO 2 2 bulan POLIO 3 3 bulan -

CAMPAK 8 bulan POLIO 4 4 bulan -

Kesan :Imunisasi dasar lengkap.

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ayah penderita
berusia 40 tahun, pendidikan terakhir SMA, yang bekerja sebagai wiraswasta.
Ibu penderita berusia 38 tahun dengan pendidikan terakhir SMA dan sehari-hari
sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan per bulan tidak menentu namun >5 juta
rupiah per bulan
Kesan sosial ekonomi: menengah keatas.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 29 November 2016 pukul 07.00WIB
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 92 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 38,7°c
SpO2 : 98%
Berat Badan : 38 kg
Tinggi Badan : 145 cm
Status Gizi : BB/U : 38/40 x 100% = 95%
TB/U : 145/150 X 100% = 96%
IMT : 38/(1.45)2 = 18.07

6
Kesan : Status Gizi Baik

Keadaan Spesifik
 Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Cekung (-), edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), Pupil bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya
(+/+) normal
Telinga : Meatus auditori eksterna (+), serumen (-), edema (-),
hiperemis (-), sekret (-), nyeri tarik aurikula (-), nyeri tekan
tragus (-), nyeri tekan mastoid (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-), bibir pecah-pecah (-
), cheilitis (-), thypoid tongue (+)
Tenggorokan : Dinding faring hiperemis (-), T1-T2 hiperemis (-), detritus
(-), crypta melebar (-)
Leher : Pembesaran KGB (-),

 Thorak
Paru-paru
 Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi (-/-)
 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
 Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordistidak terlihat
 Auskultasi : HR: 120 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-)
 Palpasi : Thrill tidak teraba
 Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal
 Abdomen

7
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, massa (-), nyeri tekan
(+) di regio epigastrium
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
 Lipat paha : Pembesaran KGB (-)
 Genitalia : Phymosis (-), eritema perianal (-), prolaps ani (-)
 Ekstremitas : Akral hangat (-), sianosis (-), edema (-), CRT < 2 detik
 Kulit : Rumple leed test (-)

Status Neurologis
 Fungsi motorik

Pemeriksaan Tungkai Tungkai Kiri Lengan Lengan Kiri


Kanan Kanan

Gerakan Luas Luas Luas Luas

Kekuatan +5 +5 +5 +5

Tonus Normal Normal Normal Normal

Klonus - -

Reflek fisiologis + normal + normal + normal + normal

Reflek patologis - - - -

 Fungsi sensorik : belum dapat dinilai


 Fungsi nervi craniales : dalam batas normal
 GRM : (-)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah rutin 13 April 2015

8
Hb : 12,2 g/dl
Eritrosit` : 4,12 x106/µL
Leukosit : 5,55x103/µL
Trombosit : 136x103/µL
Hematokrit : 33,1%
LED : 3mm/jam
Pemeriksaan Parasitologi
Malaria (DDR) : (-) negatif
Pemeriksaan Imunologi
DENGUE BLOOD
IgG : (+) positif
IgM : (-) negatif
WIDAL
Salmonella typhi H : 1/320
Salmonella typhi O : 1/320
Salmonella paratyphi AH : 1/80
Salmonella paratyphi AO : 1/320
Salmonella paratyphi BH : 1/80
Salmonella paratyphi CH : 1/80
Salmonella paratyphi BO : 1/160
Salmonella paratyphi CO : 1/320

E. DAFTAR MASALAH
1. Demam
2. Muntah
3. Nyeri tekan epigastrium
4. Sulit BAB
5. Typhoid tounge (+)

F. DIAGNOSIS BANDING
Demam tifoid dd/ demam dengue

9
DIAGNOSIS KERJA
Demam tifoid

G. PENATALAKSANAAN
1. Supportif
o Tirah baring sampai 7 hari bebas demam, lalu mobilisasi secara bertahap
o Diet: bebas serat, tidak merangsang, tidak menimbulkan gas, mudah
dicerna, tidak dalam jumlah yang banyak.
o IVFD KAEN 3B gtt XX/menit
2. Simptomatik
o Paracetamol 3x500 mg po , bila suhu ≥ 38,5o C
o Inj. Lansoprazol 1x15 mg iv
o Antacid syr 3x1 cth po
3. Kausatif
o Inj. Ceftriaxon 1x2g iv
4. Edukasi
o Higiene perorangan dan lingkungan seperti tidak jajan di sembarang
tempat, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pengamanan
pembuangan limbah feses (tinja), pemberantasan lalat, penyediaan air
minum yang memenuhi syarat.

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia at bonam
Quo ad functionam : dubia at bonam
Quo ad sanationam : dubia at bonam

I. FOLLOW UP

Tanggal Follow up Pengobatan

10
30/11/2016 S/  IVFD KAEN 3B gtt XX /m
demam (+) terutama malam hari,
sulit BAB (+), nyeri ulu hati (+),  Inj. Ceftriaxon 1x2 gram iv
mual (+), muntah (-), nafsu makan  Inj. Ondansetron 1x2amp iv
menurun(+)
 Inj. Lansoprazol 1x 15mg
O/ iv
Keadaan umum
Sensorium : compos mentis  Inj. Sanmol 3x4cc prn
o
Temperatur : 38,8 C
Pulse rate : 90 x/m
Respiratory rate : 28 x/m
Tekanan darah : 110/70 mmHg

Keadaan spesifik
Kepala : NCH (-), sklera ikterik (-
), konjungtiva anemis (-), faring
hiperemis (-), tonsil T1-T1
hiperemis (-), typhoid tounge (+)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh
(-) , Rh (-)
Cor : BJ 1 dan 2 normal,
murmur (-), galllop(-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan
lien tak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+), BU (+) normal
Extremitas : akral hangat (+), CRT
< 2”

A/
Demam typhoid

11
1/12/16 S/ demam (+), BAB 1x1 hari,  IVFD KAEN 3B gtt XX /m
konsistensi keras (+), mual (-),
muntah (-), nyeri ulu hati (+)  Inj. Ceftriaxon 1x2 gram iv
berkurang  Inj. Lansoprazol 1x 15mg

O/ iv
Keadaan umum  Inj. Sanmol 3x4cc prn
Sensorium : compos mentis
Temperatur : 37,7oC
Pulse rate : 92 x/m
Respiratory rate : 22 x/m
Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Keadaan spesifik
Kepala : NCH (-), sklera ikterik (-
), konjungtiva anemis (-), faring
hiperemis (-), tonsil T1-T1
hiperemis (-), typhoid tounge (+)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh
(-) , Rh (-)
Cor : BJ 1 dan 2 normal,
murmur (-), gallop(-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan
lien tak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+) berkurang, BU
(+) normal
Extremitas : akral hangat (+), CRT
< 2”

A/
Demam typhoid

12
2/12/2016 S/ demam (-), BAB normal Boleh pulang
Terapi pulang:
Keadaan umum
Sensorium : compos mentis  Cefixim 100mg 2x1 tab
Temperatur : 37,3moC
Pulse rate : 92 x/m po
Respiratory rate : 20 x/m  Paracetamol 500 mg,
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
3x1 tab po , bila suhu ≥
Keadaan spesifik 38,5o C
Kepala : NCH (-), sklera ikterik (-
), konjungtiva anemis (-), faring  Diet lunak
hiperemis (-), tonsil T1-T1  Bed rest
hiperemis (-)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh
(-) , Rh (-)
Cor : BJ 1 dan 2 normal,
murmur (-), gallop(-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan
lien tak teraba, BU (+) normal
Extremitas : akral hangat (+), CRT
< 2”

A/
Demam typhoid

J.

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid
fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) disebabkan oleh Salmonella typhi dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

II. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.3 Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-
25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur
penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.2
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam
jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar
tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam
air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.

14
Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah
dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui
rute oral fekal = jalurr oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental
dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah
dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada
saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari
laboratorium penelitian.1

III. Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri


Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.
Hirschfeldii).1
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

IV. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada
Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal

15
sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. 1,3
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di
lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal
berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan
obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. 1,3
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik
maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel
khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman
ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer
patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. 1,3
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan
gejala infeksi sistemik. 1,3
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam

16
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,3
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus. 1,3
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin
dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan
gangguan organ lainnya. 1,3
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,3

17
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

V. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa

18
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,3,4
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
▪ Demam satu minggu atau lebih.
▪ Gangguan saluran pencernaan
▪ Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu
badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi
makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, dapat disertai pembesaran
hati dan limpa, nyeri ulu hati, perut kembung mungkin disertai ganguan
kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta
dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal,
di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih
kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel
sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman
salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di
bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.

19
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi
lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan
bertahan selama 2 -3 hari.1,3,4
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12
tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam
darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah
sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan
keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%),
anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), konstipasi (43%) dan
diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%),
somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%),
hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan
penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%),
sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual
(42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium
(2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah
disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan
pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.5

VI. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam


tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit

20
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum
tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan
mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,3,5
2. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis


demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan
tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung
pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai
untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).5
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal

21
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip
uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda
ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi
yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi
dalam serum.6
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.6
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan
biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.6
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella
typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang

22
pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah
mendapatkan vaksin demam tifoid.6
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi
Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.6
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin
O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai
penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selangwaktu
paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat
selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.6
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:6
o Titer O yang tinggi (  160) menunjukkan adanya infeksi
akut.
o Titer H yang tinggi (  160) menunjukkan telah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
o Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada
carrier.

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.5

23
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa
tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.14 Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.5
Ada 4 interpretasi hasil :
➢ Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
➢ Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
➢ Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


➢ Immunodominan yang kuat
➢ Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen
yang sangat kuat terhadap sel B.
➢ Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
➢ Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat
dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor
yang lain.
➢ Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :


➢ Mendeteksi infeksi akut Salmonella

24
➢ Muncul pada hari ke 3 demam
➢ Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
➢ Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
➢ Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah
dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan
pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.5
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan
nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.1,5 Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.5
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA
lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini
dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur

25
untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan
akurat.5
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan
untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara
luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana
dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum
ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan
pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.5
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai


untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40%
pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi
pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas
65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada
deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi
urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu

26
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan
adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.5
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.3
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian
lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.1 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan
serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam
tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau
di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.5

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

27
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume
darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum
tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit

28
dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.4,5
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh
keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,
jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang
tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam
darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA
dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR
sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada
penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.
Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal
(35.6%).

29
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang
terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-
bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif
rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya
masih terbatas dalam laboratorium penelitian.5

VII. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2)
gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala
klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan
suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,
dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita
dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4
minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan
gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi

30
kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis.
Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang
pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah
tepi, serologis, dan bakteriologis.3,4

VIII. Diagnosis Banding


Demam tifoid merupakan keadaan infeksi yang lama dengan
manifestasi utama yaitu demam lebih dari 7 hari. Diagnosis banding yang
dapat di dapat jika ditemukan manifestasi berupa demam lama (lebih dari 7
hari) adalah penyakit paru kronis seperti TBC, malaria, dan infeksi saluran
kemih (ISK). Pada TBC, biasanya ditemukan gejala khas walaupun kadang
tidak spesifik pada anak seperti batuk yang lama (>3 minggu), adanya
penurunan berat badan yang signifikan (akibat penurunan nafsu makan),
timbul benjolan pada tulang belakang (spondilitis TB), dan adanya riwayat
kontak pada penderita TB. Untuk malaria, kita dapat melihat dari tipe
demamnya yang intermiten (panas tinggi, kemudian turun sampai batas
normal) walau kadang tidak spesifik untuk malaria akibat P. falsiparum dan
disertai menggigil, kadang disertai kuning, memiliki riwayat bepergian atau
tinggal di daerah endemis malaria, dan beberapa gejala lain yang tidak khas.
Untuk ISK, kadang bersifat asimptomatik, tapi gejala khas pada ISK adalah
adanya riwayat BAK yang sedikit-sedikit tapi sering, nyeri saat BAK, nyeri
suprapubik bahkan sampai ke pinggang, BAK disertai warna kemerahan, atau
rasa tidak lampias saat BAK.1

IX. Penatalaksanaan

IX.1. Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

31
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.4
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam
tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi
biasa.

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak
pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan
suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh
akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang
belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak,
dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/
kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan

32
suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka
pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7

IX.2. Medika Mentosa

a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini
adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin
untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek
mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,3,4
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.
Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau
kambuh, dan carier.
 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika
trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang

33
diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama
2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah
terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis
100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari)
selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari
dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-
kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

X. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :3
1. Komplikasi pada usus halus

34
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri
perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu
pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma
pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi
sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi
kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis

35
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran
klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun
keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran
EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST,
perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun
pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria
transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik
mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di
sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga
bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi
pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami
resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang
sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah
jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam
waktu yang lama.
XI. Pencegahan

36
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
 Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan
anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum
makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet.
Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
 Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah
endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka
seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya.
Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum
kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.
 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak
daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan
mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air
yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar
atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak
disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.
 Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu
ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan
sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh
kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang
disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di
jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

37
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
 Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir)
dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama
sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari.
 Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata
bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan
atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil
tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
 Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan
cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk
dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap
populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita

38
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak
kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun.
Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.
 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui
suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri
kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di
kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek
samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas
5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang
berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin
diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap
3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil,
menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

XII. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,


keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1

39
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko
menjadi karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier
kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

BAB IV
ANALISIS KASUS

40
Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun dibawa ke RSUD H.M Rabain
Tanjung Enim dengan keluhan utama demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam naik turun dan meningkat terutama pada malam hari. Demam tidak
disertai menggigil, tidak berkeringat malam hari, dan tidak disertai kejang. Dari
anamnesis didapatkan keluhan tambahan berupa mual, muntah, nyeri ulu hati, nafsu
makan menurun, dan sulit BAB. Beberapa penyakit yang terkait dengan keluhan
utama demam pada anak antara lain adalah demam dengue, infeksi saluran nafas,
infeksi saluran kemih, morbili, varisela, otitis media, demam tifoid, meningitis,
malaria, dan tuberkulosis, hepatitis, keganasan.
Dari anamnesis pasien ini tidak didapatkan batuk, pilek, nyeri tenggorokan,
nyeri menelan sehingga diagnosis infeksi saluran nafas dapat disingkirkan. Dari
anamnesis juga didapatkan BAK normal sehingga diagnosis ISK dapat
disingkirkan. Dari anamnesis dengan pasien ini demam tidak disertai menggigil dan
berkeringat pada malam hari, tidak ada riwayat batuk lama dan kontak dengan
orang dengan riwayat batuk lama, sehingga diagnosis TB dapat disingkirkan. Dari
anamnesis pada pasien ini tipe demam juga bukan merupakan demam intermitten
dan tidak ada riwayat bepergian ke daerah endemis sehingga diagnosis malaria
dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini tidak didapatkan sklera ikterik dan
hepatomegali sehingga diagnosis hepatitis juga dapat disingkirkan. Pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik pasien ini juga tidak ditemukan adanya cairan keluar dari
telinga sehingga diagnosis otitis media dapat disingkirkan. Dari pemeriksaan fisik
juga tidak ditemukan adanya GRM sehingga diagnosis meningitis dapat
disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya pembesaran KGB
dan massa, sehingga diagnosis keganasan dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan
fisik pada pasien ini juga tidak ditemukan mata merah dan berair serta ruam
kemerahan sehingga diagnosis morbili dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik
pasien ini didapatkan rumple leed test (-) sehingga diagnosis demam dengue dapat
disingkirkan.

41
Dari anamnesis pasien ini, tipe demam pada pasien ini lebih mengarah pada
demam tifoid, yaitu demam naik turun yang meningkat terutama pada malam hari
dan tidak pernah mencapai suhu normal, dengan gejala gastrointestinal berupa
mual, muntah dan nyeri perut, dan sulit BAB. Dari anamnesis juga didapatkan
bahwa pasien suka jajan sembarangan yang mengarahkan diagnosis kerja ke
demam tifoid. Dari pemeriksaan fisik didapatkan lidah kotor serta nyeri tekan
abdomen yang sesuai dengan manifestasi klinis demam tifoid. Untuk lebih
menunjang diagnosis kerja dan menyingkirkan diagnosis banding pada pasien ini
maka dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaab darah rutin,
pemeriksaan malaria (DDR), IgG dan IgM dengue, serta widal test. Dari hasil
pemeriksaan penunjang didapatkan sedikit penurunan Hb, eritrosit, Ht, dan
trombosit. Hasil pemeriksaan darah rutin ini mendukung diagnosis kerja demam
tifoid karena pemeriksaan laboratorium pada demam tifoid sering disertai anemia
dari yang ringan sampai sedang dan trombositopenia.1 Dari pemeriksaan penunjang
juga didaparkan pemeriksaan malaria (DDR) negatif yang artinya pasien ini tidak
menderita malaria. Pemeriksaan IgG dengue didapatkan positif, dan pemeriksaan
IgM dengue didapatkan negatif yang dapat diduga pernah terjadi infeksi dengue
sebelumnya pada pasien ini. Pemeriksaan widal test didapatkan titer O aglutinin
sebesar 1/320, bila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 sekali periksa atau pada
titer terjadi kenaikan 4 kali (dalam satu minggu), maka diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan ( positif )1. Oleh karena itu, berdasarkan kesesuaian antara dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, yang diperkuat oleh pemeriksaan
laboratorium, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien ini adalah demam
typhoid.
Demam tifoid merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella
typhii dengan penularan secara feco-oral. Pada riwayat kebiasaan dan pola hidup
didapatkan bahwa pasien ini sering jajan di pinggir jalan dan di kantin sekolah,
pasien juga jarang mencuci tangan dengan air yang mengalir dan sabun sebelum
dan sesudah makan, sehingga mempermudah transmisi S.typhii ke dalam tubuh.
Salmonella typhii masuk ke tubuh melalui bahan makanan atau minuman
yang tercemar kuman S. Typhii yang secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki

42
lalat). Saat kuman masuk ke saluran pencernaan, sebagian kuman mati oleh asam
lambung. Semakin banyak kuman yang masuk, sistem imun akan berespon dengan
mengingkatkan asam lambung sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung itu
sendiri. Oleh karena itu, pasien ini merasakan mual dan nyeri ulu hati.
Sebagian kuman dapat lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag yang terdapat di lamina propria
dan selanjutnya dibawa ke plague payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ
tersebut kuman ini dapat menimbulkan peradangan sehingga dapat menimbulkan
hepatomegali pada sebagian kasus demam typhoid.
Gejala demam pada pasien ini disebabkan karena Salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen endogen (IL1) oleh
leukosit pada jaringan yang meradang. Adanya IL1 ini akan menginduksi
pembentukan prostaglandin E2 dari asam arakidonat yang selanjutnya menaikkan
‘set up’ panas tubuh yang berada di hipotalamus. Kenaikan ‘set up’ menyebabkan
kenaikan aktifitas metabolisme sel sebagai raspon tubuh untuk dapat mencapai suhu
hipotalamus.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penatalaksanaan supportif,
simptomatik, kausatif, dan edukatif. Karena invasi kuman pada plaque payeri ileum
distal yang dapat menimbulkan perforasi, maka penatalaksanaan supportif pada
pasien ini meliputi tirah baring dan diet yang dapat meringankan kerja usus. IVFD
diperlukan karena pasien lemas dan anoreksia sehingga tidak dapat makan per oral.
Selain itu, IVFD juga diperlukan untuk memasukan obat injeksi secara berulang
sehingga tidak menyakiti pasien. Pada pasien ini diberikan IVFD KAEN 3B gtt XX.
Terapi simptomatik meliputi antipiretik (bila suhu diatas 38,5o C), pada pasien ini
diberikan paracetamol 3x500mg tab po di hari pertama, hari selanjutnya kemudian
diberikan paracetamol injeksi, terapi simptomatik untuk mengatasi nyeri ulu hati

43
dan mual muntah diberikan injeksi lansoprazole 1x15mg iv dan antacyd syr 3x1 cth
po.. Terapi kausatif meliputi antibiotik. Antibiotik yang dapat diberikan berupa
kloramfenikol, kotrimoksasol, ampisilin, dan sefalosporin generasi ketiga.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol
dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Pada pasien ini
diberikan sefalosporin generasi ketiga berupa ceftriaxon 1x2 gram iv. Edukasi juga
sangat diperlukan pada kasus ini agar pasien tidak terjangkit penyakit yang sama
dan keluarga pasien juga dapat terhindar dari demam tifoid. Edukasi meliputi
Higiene perorangan dan lingkungan seperti tidak jajan di sembarang tempat,
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pengamanan pembuangan limbah
feses (tinja), pemberantasan lalat, penyediaan air minum yang memenuhi syarat.

DAFTAR PUSTAKA

44
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.

2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :


Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.

3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa


Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.

4. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam


Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta
: 2003. h. 2-20.

5. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada


anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.

6. Hoffman SL.1991. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter’s


Textbook of Pediatrics, edition7. Philadelphia : WB Saunders, 344-58.

7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan


demam pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr.
H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JH
SVol05No01_08_2012.pdf. 1 Desember 2016.

45

Anda mungkin juga menyukai