Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA PADA


PASIEN DENGAN TONSILITIS

Disusun Oleh

Febry Zufany Al Faridzi 22004101056

Penguji

dr. Fancy Brahma Adiputra, M. Gz.

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PUSKESMAS KROMENGAN KABUPATEN MALANG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran
sehingga dalam penyelesaian tugas kami ini. Saya mengucapkan terima kasih
kepada dosen penguji pada Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat yaitu dr.
Fancy Brahma Adiputra M. Gz. yang menyempatkan waktu untuk mengevaluasi
laporan kasus ini.

Tak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah ikut berpartisipasi dalam penulisan laporan kasus dengan judul Tonsilitis ini
sehingga dapat terselesaikan.

Saya menyadari dalam laporan kasus ini belum sempurna secara


keseluruhan oleh karena itu saya dengan tangan terbuka menerima masukan-
masukan yang membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan
pengembangan penyelesaian laporan kasus ini. Demikian pengantar saya, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua. Amin.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Malang, Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

1.4 Manfaat

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 Rekam Medis Pasien

2.1.1 Identitas Pasien

2.1.2 Anamnesis

2.1.3 Anamnesis Sistem

2.1.4 Pemeriksaan Fisik

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

2.1.6 Resume

2.1.7 Diagnosa Holistik

2.1.8 Penatalaksanaan Dokter Keluarga

2.1.9 Prognosis

2.2 Identifikasi Keluarga


2.2.1 Data Demografis Keluarga

2.2.2 Genogram Keluarga

2.2.3 Pola Interaksi Keluarga

2.2.4 Tahapan Keluarga

2.2.5 Identifikasi Fungsi Keluarga

2.2.6 Diagnosis Keluarga

2.3 Pengkajian Masalah Kesehatan

2.3.1 Identifikasi Potensi Masalah Kesehatan Keluarga dan Pemecahan


Permasalahannya

2.3.2 Mapping Penyelesaian Masalah Menggunakan Konsep Mandala Of Health

BAB III LAPORAN KEGIATAN EDUKASI KELUARGA

3.1 Deskripsi Kegiatan

3.2 Pelaksanaan Kegiatan

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil

4.2 Definisi Tonsilitis

4.3 Epidemiologi

4.4 Etiologi

4.5 Patofisiologi

4.6 Manifestasi Klinis

4.7 Penegakan Diagnosis

4.8 Penatalaksanaan

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
LEMBAR PERSETUJUAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila
faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band
dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas
ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne
droplets), tangan, dan kontak mulut (Paulsen, 2012; Richard, 2006; Ringgo, 2019).
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain
bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus,
dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah
bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik, 30% dari tonsilitis anak dan 10%
kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan (Nasr, 2016).

Phlegmon peritonsillar adalah komplikasi yang utama dari tonsilitis dan


2,4% dari keadaan tersebut. Sedangkan penyakit jantung menyumbang 33,33% dari
komplikasi. Regurgitasi mitral tadalah penyakit jantung paling umum dengan
persentase sebanyak 40%. Komplikasi lain termasuk selulitis serviks (13,33%),
abses parafaringeal (6,67%), dan sepsis (6,67%) (Haidara & Sibide, 2019).
Sedangkan pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis,
abses peritonsil, abses para faring, bronchitis, glomerulonephritis akut, miokarditis,
artritis, serta septicemia. Kelumpukhan otot palatum mole, otot mata, otot faring,
otot laring serta otot pernafasan juga dapat terjadi pada tonsillitis difteri
(Rusmarjono & Soepardi, 2016).
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaplikasikan pelayanan holistik dengan prinsip


pendekatan kedokteran keluarga pada kasus tonsilitis?
2. Bagaimanakah diagnosa klinis dari kasus tonsilitis?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengaplikasikan pelayanan holistik dengan prinsip pendekatan


kedokteran keluarga pada kasus tonsilitis.
2. Mengetahui diagnosa klinis dari kasus tonsilitis.

1.4 Manfaat

1. Mengetahui dan memahami pelaksanaan pelayanan holistik dengan prinsip


pendekatan kedokteran keluarga terhadap kasus tonsilitis.
2. Melatih mahasiswa dalam penerapan praktik kedokteran keluarga
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Rekam Medis Pasien

2.1.1 Identitas Pasien

Nama : An. H

Umur : 5 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Siswi

Pendidikan : TK-A

Agama : Islam

Alamat : Ngadirejo RT 22 / RW 3

Suku : Jawa

Tanggal periksa: 23 Januari 2022

2.1.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama

Batuk

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli umum puskesmas kromengan dengan keluhan utama


batuk. Batuk dirasakan sejak 4 hari yang lalu dan tidak ada dahak. Keluhan batuk
ini disertai dengan demam dan pilek. Demam dirasakan sehari saja (4 hari yang
lalu) dan tidak dicek suhunya berapa. Pilek masih terasa sampai saat ini, tetapi lebih
baik daripada sebelumnya. Lendir yang keluar dari hidung bening. Pasien merasa
yang masih mengganggu adalah batuk. Pasien merasa sakit saat menelan tetapi
masih bisa untuk makan. Pasien tidak merasa sesak. Pasien merasakan tidak enak
badan ini setelah berenang. Pasien berenang bersama teman-teman kira-kira 5 hari
yang lalu. Teman-teman pasien juga banyak yang sedang sakit demam, batuk, dan
pilek.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat penyakit serupa : Ibu pasien mengaku An. H sering mengalami sakit
seperti ini (demam, batuk, pilek). Kira-kira sejak usia 3 tahun An. H dalam setahun
kira-kira bisa 5 kali mengalami sakit seperti ini.

- Riwayat Kejang Demam : dimulai usia 8 bulan pasien pernah kejang demam
dan akhirnya pasien konsumsi obat-obatan untuk kejang.

- Riwayat sakit telinga : disangkal

- Riwayat sakit gigi : disangkal

- Riwayat sesak : disangkal

- Riwayat sakit jantung : disangkal

- Riwayat alergi obat : disangkal

- Riwayat alergi makanan : disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat penyakit serupa : kakak kedua pasien kira-kira 3 minggu yang lalu
juga merasakan demam, batuk, dan pilek.

- Riwayat kejang demam : disangkal

- Riwayat sakit jantung : disangkal

- Riwayat sakit telinga : disangkal

- Riwayat sakit gigi : disangkal


- Riwayat alergi : ayah pasien alergi dingin dan efeknya adalah sesak.
Kakak pertama pasien alergi udang dan efeknya adalah sesak.

e. Riwayat Kebiasaan

- Riwayat merokok : tidak ada yang merokok di rumah

- Riwayat minum alkohol : disangkal

- Riwayat olahraga : saat pelajaran penjaskes

- Aktivitas : pasien sering berenang, dalam 1 bulan kira-kira 2-3


kali. Setiap kali berenang telinga pasien sering kemasukan air.

f. Riwayat Sosial Ekonomi

Status ekonomi keluarga pasien termasuk golongan menengah ke bawah.


Ayah pasien merupakan kuli bangunan di Malaysia, ibu guru ngaji, kakak kedua
bekerja sebagai pramusaji di Bali. Hubungan dengan keluarga baik. Hubungan
sosial dengan tetangga sekitar baik.

g. Riwayat Gizi

- Kualitas : Nasi, lauk pauk (tempe, tahu, ayam), tidak suka makan sayur dan
buah

- Kuantitas : ± 3 kali per hari

h. Riwayat Imunisasi, persalinan, dan Tumbuh Kembang

Saat hamil An. H, ibu merasa tidak ada keluha. An. H lahir prematur kira-
kira ketika usia kehamilan 8 bulan dengan berat lahir 2300 gram. Lahir secara sectio
cessaria di rumah sakit karena riwayat SC sebelumnya. Imunisasi dasar lengkap
sesuai usia pasien. Tumbuh kembang pasien sesuai dengan teman-teman seusianya.

i. Riwayat Pengobatan

Pasien pernah konsumsi obat-obatan untuk kejang (sirup asam valproat) saat
usia 8 bulan dan diminum selama 1 tahun. Untuk sakit saat ini, tidak ada obat-
obatan yang dikonsumsi karena langsung dibawa ke puskesmas.
2.1.3 Anamnesis Sistem

1. Kulit: warna kulit sawo matang, pucat (-), gatal (-), kulit kering (-)

2. Kepala: rambut hitam, sakit kepala (-)

3. Mata: pandangan mata berkunag-kunang (-), penglihatan kabur (-)

4. Hidung: tersumbat (-), mimisan (-), pilek (+)

5. Telinga: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-)

6. Mulut: sariawan (-), mulut kering (-), pembesaran Tonsil seperti amandel (+)

7. Gigi geligi: karies (-)

8. Tenggorokan: sakit menelan (+), susah untuk menelan (-), serak (-)

9. Pernafasan: sesak nafas (-), batuk kering (+), batuk berdahak (-)

10. Kadiovaskuler: nyeri dada (-), berdebar-debar (-)

11. Gastrointestinal: mual (-), muntah (-), diare (-), nyeri perut (-)

12. Genitourinaria: BAK lancar, warna dan jumlah dalam batas normal

13. Neurologik: kejang (-), lumpuh (-), kesemutan dan rasa tebal (-)

14. Ekstremitas

- Atas kanan : bengkak (-), nyeri (-), luka (-), kaku (-)

- Atas kiri : bengkak (-), nyeri (+), luka (-), kaku (-)

- Bawah kanan: bengkak (-), nyeri (-), luka (-), kaku (-)

- Bawah kiri : bengkak (-), nyeri (-), luka (-), kaku (-)
2.1.4 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

a. Tampak sakit ringan

b. Kesadaran : Komposmentis

c. GCS : 456

d. Kesan : Gizi Cukup

2. Tanda Vital

a. Tekanan darah : -

b. Nadi : 100 x/ menit

c. Pernafasan : 20 x/ menit

d. Suhu : 36,6℃

e. BB : 18 kg

f. TB : 107 cm

g. BMI : 15,72 (underweight)

Kurva CDC 2 sampai 20 tahun: Perempuan

BB/U : 18 kg → Normal

TB/U : 107 cm → Normal

3. Head to Toe

a. Kulit

Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), petechie (-).

b. Kepala

Bentuk normocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-), kelainan
mimik wajah / bells palsy (-), oedem (-), pucat (-)
c. Mata

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+)

d. Hidung

Nafas cuping hidung (-), sekret (+/+) bening, epistaksis (-).

e. Mulut

Bibir pucat (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-)

f. Telinga

Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).

g. Tenggorokan

Tonsil T3/T2 hiperemis, detritus (-/-), pseudomembrane (-/-), uvula ditengah, faring
hiperemis (-)

h. Leher

JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-).

i. Thoraks

Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-)

Cor

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis ICS V midclavicular line sinistra

Perkusi :

batas kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Sinistra

batas kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra

batas kiri bawah : ICS V Midclavicular Line Sinistra


batas kanan bawah: ICS IV Linea Para Sternalis Dextra

Auskultasi: Suara jantung I–II tunggal reguler, suara jantung tambahan (-)

Pulmo

Inspeksi : Simetris

Palpasi : Stem fremitus simetris kanan & kiri.

Perkusi : Sonor pada kedua paru di semua lapang paru.

Auskultasi: Vesikuler seluruh lapang paru, Suara tambahan (Ronchi (-/-),


Wheezing (-/-), stridor (-).

j. Abdomen

Inspeksi: flat, bekas luka (-), caput medusa (-)

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Palpasi: Soefl (+), nyeri tekan (-)

Perkusi: Timpani

k. Ektremitas

Deformitas (-), akral hangat (+), akral pucat (-), Crt < 2 detik

4. Status Lokalis (Tenggorok)

Bibir : kering (-), ulkus (-), stomatitis angularis (-), trismus (-), gerakan bibir dan
sudut mulut dBN
Gusi : hiperemia (-), ulkus (-), odem (-)
Lidah : stomatitis (-), atrofi (-), tumor/massa (-)
Palatum durum : hiperemia (-), ulkus (-)
Palatum mole : hiperemia (-), ulkus (-)
Uvula : bentuk : tepat ditengah
posisi : Selalu menunjuk ke bawah
massa : -
Arkus anterior : Hiperemi: +
Massa :-
Arkus posterior : Hiperemi: -
Massa :-
Tonsil :
Kanan T 3 Kiri T 2
Warna: Hiperemi
Detritus: -/-
Membran: -/-
Ulkus: -/-
Massa: -/-
Faring :
warna : merah muda
udem :-
granula :-
reflex muntah :+

Gambar 2.1 Rongga Mulut An. H

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan
2.1.6 Resume

Ny. D mengantarkan An. H datang ke poli umum puskesmas kromengan


dengan keluhan utama batuk. Batuk dirasakan sejak 4 hari yang lalu dan tidak ada
dahak. Keluhan batuk ini disertai dengan demam dan pilek. Demam dirasakan
sehari saja (4 hari yang lalu) dan tidak dicek suhunya berapa. Pilek masih terasa
sampai saat ini, tetapi lebih baik daripada sebelumnya. Lendir yang keluar dari
hidung bening. Pasien merasa sakit saat menelan tetapi masih bisa untuk makan.
Pasien tidak merasa sesak. Pasien merasakan tidak enak badan ini setelah berenang.
Pasien berenang bersama teman-teman kira-kira 5 hari yang lalu. Teman-teman
pasien juga banyak yang sedang sakit demam, batuk, dan pilek. 3 minggu yang lalu
kakak kedua merasakan demam, batuk, dan pilek. Pasien sering mengalami
(demam, batuk, pilek) sejak usia 3 tahun. Riwayat kejang demam saat usia 8 bulan
dengan riwayat pengobatan kejang selama 1 tahun. Riwayat lahir An. H prematur
dengan berat badan lahir 2300 gram. Riwayat alergi ayah dan kakak pertama yang
efeknya sesak. Pasien sering berrenang dalam 1 bulan kira-kira 2-3 kali. Pasien
tidak suka makan sayur dan buah. Saat kakak kedua sakit, An. H sering bermain
dengan kakaknya. Selain itu, teman-teman An. H ngaji di rumah An. H dan ada
yang sakit batuk-pilek juga.

2.1.7 Diagnosa Holistik

1. Aspek Personal

• Keluhan utama:

Batuk disertai demam, pilek, dan sakit saat menelan

• Yang diharapkan pasien dan keluraga (Ibu):

Keluhan dapat membaik dan tidak menganggu aktifitas sehari-hari seperti


bersekolah.
• Yang dikhawatirkan pasien dan keluarga (Ibu):

Keluhan semakin memberat dan meluas sehingga mengganggu aktifitas


sehari-hari seperti bersekolah.

2. Aspek Klinis

• Diagnosa: Tonsilitis akut

• Diagnosis Banding:

- Faringitis

- Tonsilitis Difteri

3. Aspek Resiko Internal

• Biologi

Pasien berusia 5 tahun dimana usia ini merupakan kelompok usia anak
sekolah, riwayat kejang demam, riwayat lahir prematur dan berat badan lahir
rendah.

• Pengetahuan

Pengetahuan mengenai penyakit tonsilitis terkait penyebab, gejala, apa yang


harus dilakukan dirumah terkait tonsilitis, dan bahanya tonsilitis.

• Perilaku

Kebiasaan An. H sering berrenang dan tidak tahu teman-teman yang ikut
berenang sedang sakit atau tidak. An. H. tidak suka makan sayur dan buah. An. H.
suka bermain dengan kakak keduanya meskipun kakak kedua sedang sakit. An. H
bermain sepeda di dalam dan di luar rumah.

• Higenitas Peseorangan

Hyegine perseorangan memegang peranan penting dalam munculnya


penyakit tonsilitis. Higientias pasien masih kurang dalam pencegahan tonsilitis.

4. Aspek Resiko Eksternal


a. Psikososial internal keluarga (Fungsi Keluarga)

1. Fungsi Sosiallisasi

Ayah dan ibu pasien mengajari dan membimbing norma-norma tingkah laku
sesuai dengan tingkat perkembangan pasien.

2. Fungsi Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai kuli bangunan di Malaysia, ibu pasien berkerja
sebagai guru ngaji dengan gaji yang belum tetap. Kakak pertama pasien bekerja
sebagai pramusaji di Bali dengan gaji sekitar 1,5 juta.

3. Fungsi Biologis

Dalam kelurga ini terdiri dari 3 anak, anak pertama yang sudah tidak tinggal
satu rumah berumur 20 tahun, anak kedua berumur 13 tahun, dan anak ketiga yakni
pasien berumur 5 tahun, ibu pasien berumur 48 tahun, dan ayah pasien berumur 44
tahun. Kakak kedua pasien masih bermain dengan pasien meskipun sedang sakit.

4. Fungsi Pendidikan

Pasien di sekolahkan di PAUD TK PGRI 5.

b. Piskososial Eksternal Keluarga

1. Faktor Layanan Kesehatan

Jarak rumah pasien ke pelayanan kesehatan (Puskesmas Kromengan)


sekitar 5 Km. Keluarga pasien biasanya ke apotek terlebih dahulu sekitar 3 Km dari
rumah untuk beli obat ketika mempunyai suatu keluhan seperti demam.

2. Lingkungan

Pasien tinggal di rumah dengan tingkat kebersihan yang masih kurang baik.
Murid-murid mengaji di rumah pasien dan dari murid mengaji terkadang ada yang
sakit.

3. Kultur, Norma, Adat


Pasien dan sekeluarga beragama Islam dan berasal dari suku jawa. Kultur,
normal, maupun adat masih dalam batas normal yang mana tidak menyebabakan
munculnya keluhan paisen ataupun mengganggu proses pengobatan pasien.

5. Derajat Fungsional

Mampu melakukan pekerjaan seperti sebelum sakit, mulai dari sekolah dan
perawatan diri (Derajat 1).

2.1.8 Penatalaksanaan Dokter Keluarga

1. Tatalaksana Holistik

a. Aspek Personal

Memberikan edukasi dalam bentuk poster bahwa penyakit yang diderita


pasien dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Serta menjelaskan mengenai gejala
penyakit. Memberikan edukasi pasien bahwa keluhan tersering adalah demam,
nyeri menelan, dan batuk. Pasien mengenal penyakit ini dengan sebutan amandel,
amandel akan terlihat merah, membesar atau bengkak, dan nyeri. Memberikan
pengetahuan hal apa saja yang bisa dilakukan ketika masih dirumah dan komplikasi
yang bisa terjadi akibat amandel.

b. Aspek Klinis

• Amoxicillin dengan dosis 250 mg. Diminum 3 kali sehari setelah makan

• Deksametason dengan dosis 0,25 mg. Diminum 3 kali sehari setelah makan

• Noza dengan dosis ½ tablet. Diminum 3 kali sehari setelah makan

• Vitamin B komplek dengan dosis 1 tablet. Diminum 1 kali sehari setelah makan

c. Aspek Resiko Internal

• Memberikan edukasi terkait kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah
dengan tingkat imunitas. Serta menyarankan An. H untuk mejaga jarak dengan
teman dan kakak yang sedang sakit.
• Memberikan edukasi kepada ibu tentang tonsilitis berdasarkan materi yang ada
di poster tonsilitis.
• Memberikan informasi kepada An. H terkait pentingnya makan sayur dan buah-
buahan. Serta menyarankan untuk membuat kesepakatan antara ibu dan An. H,
bila An. H ingin renang harus makan makanan dengan gizi yang seimbang.
• Meskipun lantai rumah tidak berubin, bukan berarti memasukkan sepeda keluar
masuk tanpa dibersihkan. Jadi, sepeda sebaiknya ditaruh luar rumah.

d. Aspek Resiko Eksternal

• Mengajak kakak kedua untuk ikut serta menjaga kesehatan An. H dengan
menjaga jarak dengan An. H bila kakak sedang sakit.
• Memberikan edukasi kepada keluarga mengenai hal-hal yang dapat dihindari
sehingga keluarga dapat mendukung upaya pencegahan dan perawatan selama
dirumah pada penyakit tonsilitis.
• Berupaya maksimal dalam menciptakan kondisi rumah yang lebih bersih, rapi,
dan tidak berdebu.
• Berdiskusi terkait kegiatan mengaji di rumah utamanya ketika ada anggota
murid yang sakit untuk menjaga An. H tetap di dalam kamar.

2. Tatalaksana Komprehensif

a. Promotif

• Edukasi pasien mengenai penyakit tonsilitis

• Edukasi pasien mengenai PHBS

b. Preventif

• Memberikan edukasi terkait cara pencegahan tonsilitis

• Meningkatkan imunitas pasien melalui keluarga

c. Kuratif
Diagnosis An. H adalah Tonsilitis sehingga diberikan terapi farmakologi dan non
farmakologi.

• Farmakologi

- Amoxicillin dengan dosis 250 mg. Diminum 3 kali sehari setelah makan

- Deksametason dengan dosis 0,25 mg. Diminum 3 kali sehari setelah makan

- Noza dengan dosis ½ tablet. Diminum 3 kali sehari setelah makan

- Vitamin B komplek dengan dosis 1 tablet. Diminum 1 kali sehari setelah makan

• Non-farmakologi:

- Istirahat yang cukup

- Banyak minum air putih

- Mengkonsumsi makanan gizi seimbang

- Menjaga jarak dengan teman atau kakak yang sakit

- Membersihkan rumah dan membuka jendela saat siang agar tidak lembab

- Minum obat secara teratur

d. Rehabilitatif

Mengikuti aturan dokter dan kontrol rutin ketika obat habis dan keluhan
belum mereda.

3. Tatalaksana Berkesinambungan

Melakukan follow-up 7 hari terhadap pasien untuk menilai perkembangan


proses penyembuhan. Apabila masih terdapat keluhan pengobatan dapat diulang
baik secara farmakologi ataupun non farmakologi.

4. Tatalaksana Integratif

Dalam penanganan pasien diperlukan kerjasama yang baik antara dokter


umum dan keluarga.
2.1.9 Prognosis

Prognosis kondisi An. H tergantung dari aspek personal pasien, pencegahan,


pengobatan penyakit. Keluarga An. H termasuk keluarga yang peduli dengan
kesehatan sehingga prognosisnya adalah

Ad vitam : Bonam

Ad functionam: Bonam

Ad sanationam: Dubia ad bonam

2.2 Identifikasi Keluarga

2.2.1 Data Demografis Keluarga

Tabel 2.1 Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah
N Nama Status L/ Umur Pendidikan Pekerjaan Pasien Keterangan
o P Lapsus
2 Ny. D Menikah P 48 tahun MAN Guru Mengaji Tidak -
Belum
3 An. N P 13 tahun MI Siswi Tidak -
Menikah
Belum
4 An. H P 5 tahun TK Siswi Iya Tonsilitis
Menikah
Keterangan: Tabel diatas menampilkan daftar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah

2.2.2 Genogram Keluarga


Bentuk keluarga: Nuclear Family Adalah keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu,
dan anak yang tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh saksi-saksi legal dalam
suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.
Gambar 2.2 Genogram Keluarga An. H

2.2.3 Pola Interaksi Keluarga

Gambar 2.3 Interaksi Keluarga An. H


Keterangan: Berhubungan baik

Hubungan antara An. H dengan keluarganya cukup baik. Dalam keluarga ini jarang
terjadi konflik atau hubungan buruk antar anggota keluarga.
2.2.4 Tahapan Keluarga

Perkembangan keluarga adalah proses perubahan dari sistem keluarga yang


terjadi dari waktu ke waktu meliputi perubahan interaksi dan hubungan diantara
keluarga dari waktu ke waktu. Keluarga An. H termasuk dalam tahap keenam
(Launching Center Families) keluarga dengan adanya anak yang sudah
meninggalkan rumah. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini adalah:

a. Membantu anak untuk hidup mandiri


b. Menyesuaikan Kembali hubungan perkawinan
c. Membantu orangtua lansia yang sakit-sakitan

Masalah kesehatan yang mungkin terjadi pada keluarga ditahapan ini antara lain:

a. Penyakit menular, kecelakaan, dan penyakit tidak menular


b. Hubungan perkawinan
c. Kesehatan yang berkaitan dengan masalah pekerjaan

2.2.5 Identifikasi Fungsi Keluarga

A. Fungsi Biologis

An. H didiagnosa dengan Tonsilitis. Bukan penyakit herediter yang


menurun.

B. Fungsi Psikologis

Hubungan interaksi antar anggota keluarga baik. Jika pasien memiliki


keluhan, pasien dapat mengutarakan langsung ke anggota keluarganya. Keluarga
juga berespon baik terhadap permasalahan pasien dengan cara berusaha memberi
solusi sehingga masalah dapat terpecahkan bersama-sama dan mendukung untuk
mencapai kesembuhan.

C. Fungsi Sosio-ekonomi
• Baik pasien maupun anggota keluarganya memiliki hubungan yang baik dengan
tetangga, teman sekolah, maupun lingkungan sekitar. Mereka cukup dikenal baik
oleh masyarakat sekitar karena keramahan masing-masing.

• Pasien dan keluarganya dapat memenuhi kebutuhan sehari-sehari seperti pangan,


sandang, dan papan. Apabila memiliki masalah kesehatan/sakit, saat ini keluarga
pasien termasuk dalam kepesertaan BPJS.

D. Fungsi Fisiologis

Fungsi fisiologi keluarga dapat diukur dengan menggunakan APGAR score

Tabel 2.2 APGAR score Ny. D


Sering/ Kadang- Jarang/
Apgar Skor Ny. D Terhadap Keluarga
selalu kadang Tidak
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
keluarga saya bila saya menghadapi
masalah


Saya puas dengan cara keluarga saya
membahas dan membagi masalah dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
untuk melakukan kegiatan baru atau arah √
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
merespon emosi saya seperti kemarahan, √
perhatian dll


Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya
membagi waktu bersama-sama
Skor 10
Keterangan:
0 : jarang/tidak sama sekali
1 : kadang-kadang
2 : sering/selalu
Tabel 2.3 APGAR score An. N
Sering/ Kadang- Jarang/
Apgar Skor An. N Terhadap Keluarga
selalu kadang Tidak
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
keluarga saya bila saya menghadapi
masalah


Saya puas dengan cara keluarga saya
membahas dan membagi masalah dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
untuk melakukan kegiatan baru atau arah √
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
merespon emosi saya seperti kemarahan, √
perhatian dll


Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya
membagi waktu bersama-sama
Skor 10
Keterangan:
0 : jarang/tidak sama sekali
1 : kadang-kadang
2 : sering/selalu

Pola interaksi keluarga seharusnya ditinjau dari semua anggota keluarga inti
pada An. N. Namun karena kesulitan untuk mengumpulakan semua anggota
keluarga, maka data yang didapat menjadi kurang. Kategori penilaian (total skor):

• Kurang = < 5
• Cukup = 6 – 7
• Baik = 8 - 10

APGAR score keluarga An. H =10

Kesimpulan: Fungsi fisiologis keluarga An. H dalam kategori baik. Menandakan


bahwa komunikasi, pemecahan masalah bersama, dan rasa saling peduli antar
anggota keluarga An. H baik.

E. Fungsi Patologis

Fungsi patologis keluarga dapat diukur dengan menggunakan SCREEM


score dengan rincian sebagai berikut:

a. Social
Skor 1 = bila interaksi dengan tetangga tidak berjalan baik dan bermasalah
Skor 0 = bila interaksi dengan tetangga berjalan dengan baik dan tidak ada
masalah
b. Culture
Skor 1 = bila tidak ada kepuasan terhadap budayanya, tata krama dan
sopan santun tidak terlalu diperhatikan
Skor 0 = bila ada kepuasan terhadap budayanya, masih memperhatikan
tata krama dan sopan santun
c. Religious
Skor 1 = bila tidak taat menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya
Skor 0 = bila taat menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya
d. Economy
Skor 1 = bila status ekonomi rendah, kepala keluarga dan atau anggota
keluarga tidak berpenghasilan
Skor 0 = bila status ekonomi sedang-lebih, kepala keluarga dan atau
anggota keluarga berpenghasilan
e. Education
Skor 1 = bila tingkat pendidikan anggota keluarga rendah
Skor 0 = bila tingkat pendidikan anggota keluarga cukup-tinggi
f. Medical
Skor 1= bila anggota keluarga tidak mendapatkan layanan kesehatan yang
memadai
Skor 0= bila anggota keluarga mendapatkan layanan kesehatan yang
memadai

Jika skor < 3 berarti fungsi patologis baik, dan jika ≥ 3 maka fungsi patologis
kurang. Berikut hasil dari SCREEM score keluarga An. H:

Tabel 2.3 SCREEM score keluarga An. N


Sumber Pathology Skor
Keluarga ini aktif berinteraksi sosial dengan
Social 0
lingkungan sekitarnya.
Keluarga ini berasal dari suku Jawa. Keluarga ini
Cultural memberikan respon yang baik terhadap budaya, 0
tata krama, dan perhatian terhadap sopan santun.
Keluarga ini menganut agama Islam, dan cukup
taat beribadah sesuai agama yang dianutnya. An.
Religius 0
N di berikan pendidikan agama yang baik di
sekolahnya
Ekonomi keluarga ini termasuk cukup,
Economy pendapatan dari pekerjaan ayah, ibu, dan kakak 0
kedua
Tingkat pendidikan pada keluarga ini rata-rata
Education 1
rendah
Pasien saat menjadi keanggotaan BPJS dan ketika
mengalami masalah kesehatan dalam keluarga
lansung menuju ke sarana kesehatan untuk
Medical 0
memeriksakan keluarga yang sakit. Hanya
terkadang mencoba membeli obat sendiri ke
apotek.
Keterangan: SCREEM score keluarga An. G =0 + 0 + 0 + 0 + 1 + 0 = 1. Kesimpulan,
fungsi patologis keluarga An. H dalam kategori baik.

F. Fungsi Hubungan Antar Manusia

Dapat dilihat pada subbab Pola Interaksi Keluarga.

G. Fungsi Keturunan

Dapat dilihat pada subbab Genogram Keluarga.

H. Fungsi Perilaku

1. Pengetahuan

Pasien dan keluarga memiliki pengetahuan yang masih kurang tentang


tonsilitis.

2. Sikap

Keluarga peduli terhadap penyakit pasien. Sehingga ketika keluhan dirasa


mengganggu, keluarga segera membawa An. H ke puskesmas.

3. Tindakan
Pasien dibawa menuju ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan terkait
keluhannya. Namun, kakak kedua dan An. H bermain bersama walau salah satunya
sakit.

I. Fungsi Non Perilaku

• Dipandang dari segi ekonomi, keluarga ini termasuk keluarga menengah ke


bawah
• Keluarga masuk kepesertaan BPJS, kalau ada keluhan sakit, kadang terlebih
dahulu beli obat di apotek terdekat atau langsung dibawa ke puskesmas
• Jarak antara rumah dengan pelayanan kesehatan puskesmas sekitar 5 Km dengan
estimasi waktu perjalanan menggunakan sepeda motor ± 15 menit dan ke apotek
sekitar 4 kilometer.
• Rumah yang dihuni keluarga ini kurang bersih. Kekurangan terletak pada
keseluruhan rumah tidak terpasang plafon dan dinding yang masih terlihat batu
bata.

Gambar 2.4 Faktor Perilaku dan Non Perilaku

J. Fungsi Indoor
Komponen Rumah
1. Ukuran Rumah
Ukuran rumah An. H adalah 6 m x 9 m = 54 m2, yang terdiri dari 1 lantai
dan memiliki 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang ruang tengah, 1 kamar mandi
bersama toilet, 1 dapur, dan gudang. Menurut Badan Standar Nasional Indonesia
(2004), standar rumah sehat adalah ketika tiap 1 orang dalam rumah memiliki ruang
gerak minimal 9 m2 Dengan demikian, luas rumah keluarga An. H tergolong
memenuhi standar karena berukuran 54 m2 dan diisi 3 orang anggota keluarga.

2. Langit-Langit
Langit-langit rumah tidak terpasang plafon sehingga tidak mencegah
pertebaran debu dari atap yang dapat mengganggu pernafasan atau mencemari
makanan apabila tidak ditutup sehingga dapat menimbulkan gangguan sistem
pencernaan.

3. Lantai
Lantai rumah terbuat dari semen yang ditutupi plastik. Berdasarkan
persyaratan rumah sehat dari Kemenkes, lantai rumah An. H sudah memenuhi
syarat rumah sehat yaitu tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak becek pada
musim hujan (kedap air), serta mudah dibersihkan.

4. Dinding
Dinding rumah bentuk tembok batu bata, tidak bocor, dinding bagian dalam
dan luar tidak dicat.

5. Ventilasi
Ventilasi di seluruh bagian rumah cukup sehingga sirkulasi udara dengan
mudah keluar-masuk.

6. Lubang asap dapur


Ruang dapur dilengkapi dengan sarana pembuangan asap

7. Pencahayaan
Pencahayaan termasuk cukup karena sinar matahari dapat masuk ke dalam
rumah melalui keseluruhan sisi rumah. Pencahayaan buatan sudah cukup karena
terdapat lampu di setiap ruangan yang cukup.

8. Sirkulasi udara
Sirkulasi udara cukup bagus karena setiap ruangan memiliki ventilasi udara.

9. Kepadatan penghuni
Rumah tersebut ditinggali oleh 3 orang. Kepadatan penghuni rumah dapat
dikatakan cukup.

Sarana Sanitasi
1. Sumber air bersih
Sumber air bersih yang digunakan keluarga An. H adalah dari sumber mata
air.

2. Jamban
Posisi jamban gabung dengan bangunan rumah utama (di dalam rumah)
dengan kondisi yang kurang bersih, lantai semen, dan dinding masih batu bata.
Sedangkan untuk posisi septic tank berada ± 4 m dari jamban dan septic tank berada
di luar bangunan rumah. Hal ini menurunkan resiko masalah kesehatan seperti
penularan penyakit ataupun mencemari lingkungan.

3. Pengelolaan sampah dan limbah


Sampah dikumpulkan di pembuangan bersama tetangga dengan jarak + 20
m. sampah yang terkumpul lalu dibakar. Berikut denah rumah keluarga An. H.

Gambar 2.5 denah rumah keluarga An. H


K. Fungsi Outdoor
• Jarak antara rumah dengan jalan raya dan tingkat kebisingan
Posisi rumah An. H jauh dengan jalan raya, yaitu sekitar 500 m, sehingga
keluarga An. H tidak sering mendengar dan merasakan kebisingan yang
ditimbulkan oleh kendaraan yang lewat. Hal ini tidak akan berdampak buruk ke
kesehatan telinga dan psikologis seperti stress akibat tingkat kebisingan tinggi.
• Jarak antara rumah dengan tempat pembuangan sampah umum
Jarak rumah dengan tempat pembuangan sampah umum sekitar 20 m. bau
sampah tidak tercium. Anak-anak tidak pernah bermain mendekati tempat
pembuangan sampah. Sehingga menjadikan keluarga An. H tidak mudah terkena
penyakit akibat vektor penyakit dari sampah, bau sampah, dan sampah itu
sendiri.
• Jarak antara rumah dengan sungai
Posisi rumah An. H jauh dengan sungai, yaitu sekitar 100 m. Hal ini memberikan
efek positif karena tidak mudah terkena pencemaran lingkungan di sekitar sungai
yang dapat menyebabkan diare.

2.2.6 Diagnosis Keluarga

a. Bentuk keluarga : Nuclear Family


b. Siklus keluarga : Tahap 6 yaitu keluarga ini sudah melepas anak pertama
untuk hidup terpisah.
c. Disfungsi keluarga : Tidak ditemukan
d. Faktor resiko internal:
Ibu adalah satu-satunya anggota keluarga yang mengatur kebersihan rumah
dan ditambah kesibukan ibu sebagai guru ngaji. Hal ini menyebabkan kegiatan
membersihkan dan merapikan rumah kadang alakadarnya. Selain itu, kakak kedua
dan An. H masih sering bermain bersama meskipun salah satunya sedang sakit.
e. Faktor resiko eksternal keluarga:
Keluarga pasien memiliki tingkat ekonomi menengah ke bawah dengan
rumah yang memiliki dinding, langit-langit, dan jamban kurang baik yang berisiko
terhadap kesehatan anggota keluarga.
2.3 Pengkajian Masalah Kesehatan

2.3.1 Identifikasi Potensi Masalah Kesehatan Keluarga dan Pemecahan


Permasalahannya

Secara umum potensi masalah keluarga yang mungkin terjadi adalah karena
prilaku anggota keluarga dan faktor lingkungan. Sehingga pemecahan
permasalahannya adalah dengan penatalaksanaan kedokteran keluarga yang
meliputi penatalaksanaan holistik, komprehensif, berkesinambungan, dan
integratif. Secara holistik dokter dapat menjembatani persepsi pasien bahwa
keluhan yang dialami oleh pasien sekarang bisa disebabkan karena berbagai macam
faktor seperti usia, prilaku, faktor lingkungan, dan beberapa faktor lain yang
kemungkinan dapat saling berkolaborasi mencetuskan keluhan tersebut. Oleh
karena itu pola hidup harus lebih diperhatikan lagi, seperti pola makan, prilaku,
serta lingkungan.
Selain itu juga dibutuhkan pelayanan komprehensif yang terdiri dari
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Penatalaksanaan promotifnya dengan
cara memberikan edukasi dan KIE mengenai permasalahan kesehatan yang
mungkin muncul dalam keluarga. Potensi permasalahan dan pemecahan
permasalahan pada keluarga ini antara lain:
1. Bermain bersama antar saudara meskipun salah satu sedang sakit
Solusi pemecahan masalah:
Menganjurkan ibu untuk selalu memantau anak. Ketika salah satu sakit,
makan segera dibawa ke puskesmas dan menjaga jarak antar anak ketika
salah satu sakit.
2. Jamban dengan dinding batu bata yang menyebabkan air akan terserap ke
batu bata yang akan membuat udara menjadi lembab.
Solusi pemecahan masalah:
Menyarankan menggunakan alat penyerap kelembapan yang sudah terjual
bebas di toko. Akan lebih baik lagi, jika menambal dinding batu bata agar
tahan air.
3. Resiko gangguan kesehatan seperti batuk karena tidak ada plafon dan
keadaan dinding dalam rumah yang berisiko banyak debu dan susah
dibersihkan.
Solusi pemecahan masalah:
Membersihkan ruangan atau tempat yang banyak debunya dan selalu pakai
masker saat membersihkan debu. Mengganti seprei dan sarung bantal 3 hari
sekali agar bebas dari debu.

2.3.2 Mapping Penyelesaian Masalah Menggunakan Konsep Mandala of


Health
BAB III

LAPORAN KEGIATAN EDUKASI KELUARGA

3.1 Deskripsi Kegiatan

Tujuan:

Edukasi diberikan pada keluarga pasien untuk meningkatkan pemahaman


tentang penyakit tonsilitis dan pengelolaan yang dapat dilakukan dalam pencegahan
terinfestasi kembali, perawatan dirumah serta pengobatan.

Sasaran:

An. H dan keluarga An. H.

Bentuk Pelaksanaan:

• Tahap Persiapan

Menyiapkan materi yaitu tentang penyakit Tonsilitis meliputi apakah itu


tonsilitis, gejala umumnya, bahanya, perawatan yang bisa dilakukan dirumah, serta
segera membaha anak ke fasilitas kesehatan.

• Tahap Pelaksanaan

Penyampaian materi edukasi disampaikan langsung secara lisan kepada Ny.


D, An. N, dan An. H.

• Tahap Evaluasi

Saat pemberian materi penyuluhan maupun saat berdiskusi, Ny. D, An. N,


dan An. H terlihat antusias dan aktif menanyakan beberapa hal yang berhubungan
dengan materi penyuluhan, karena Ny. D ingin mengetahui apa yang harus
dilakukan ketika muncul gejala-gejala yang sudah disebutkan di poster. Serta
memberi informasi pada Ny. D jika salah satu terapi adalah pembedahan yang
tentunya mempertimbangkan indikasi yang sesuai.
3.2 Pelaksanaan Kegiatan

Tempat : Rumah Ny. D

Tanggal : 29 Januari 2023

Waktu : Pukul 09.00-10.00 WIB

Bentuk Kegiatan: Penyuluhan tentang penyakit tonsilitis

Gambar 3.1 Edukasi dan pemaparan Poster Tonsilitis


BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil

Tonsil adalah massa berupa bagian dari jaringan limfoid yang secara
kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer (Gambar 4.1). Cincin Waldeyer
membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil nasofaring (adenoid), tonsil
tuba, tonsil palatina (fausial), tonsil lingualis serta rangkaian jaringan limfoid lateral
yang terletak pada plicae salpingophrayngeae (Gambar 4.2) (Paulsen, 2012).

Gambar 4.1 Waldeyer ring.

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal
sebagai fosa supratonsilar.
Tube tonsil

Gambar 4.2 Anatomi tonsil.

Tonsil terletak di lateral orofaring (Paulsen, 2012). Dibatasi oleh:


- Lateral : M. konstriktor faring superior

- Anterior : M. palatoglosus

- Posterior : M. palatofaringeus

- Superior : palatum mole

- Inferior : tonsil lingual


Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat
dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat
retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan
pusat germinal (Richard, 2006).
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding
otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu
nervus glosofaringeal (Paulsen, 2012).
Tonsil mendapat vaskularisasi cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan
arteri palatina asenden, arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina
desenden, arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal dan arteri
faringeal asenden (Gambar 4.3). Berikut arteri yang memvaskularisasi tonsil
(Bailey, 2006).:
1) Arteri tonsilaris → berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.
2) Arteri palatina asenden → memberikan cabangnya melalui m.konstriktor
posterior menuju tonsil.
3) Arteri faringela asenden → memberikan cabangnya ke tonsil melalui luar m.
konstriktor superior.
4) Arteri lingualis dorsal → naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke
tonsil, plika anterior dan plika posterior.
5) Arteri palatina desenden → memvaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas
dan membentuk anastomosis dengan a.palatina asenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus
dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah
dan pleksus faringeal.

Gambar 4.3 Vaskularisasi tonsil


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus
torasikus (Gambar 4.4). Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Bailey, 2006).

Gambar 4.4 Sistem limfatik

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit


B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B
berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen
komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel
limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel
retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal
pada folikel ilmfoid (Paulsen, 2012).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proiferasi limfosit yang sudah disentilisasi. Tonsil mempunyai dua
fungsi utama yaitu:
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif.
2. Sebagai organ utama produksi antibody dan sensitisasi sel limfodit T dengan
antigen spesifik.
4.2 Definisi Tonsilitis

Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina atau faucial yang


merupakan bagian dari Waldeyer ring yang terdiri atas tonsil faringeal (adenoid),
tonsil palatina (fausial), tonsil lingual (pangkal lidah) dan tonsil tuba eustachius
(Gerlach’s tonsil). Tonsilitis kronik merupakan peradangan kronik pada tonsil yang
biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari
tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk
waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan (Nasr, 2016).

4.3 Epidemiologi Tonsilitis

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis


merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia
15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang
asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun,
dan 0,6% usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia,
usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni
sebesar 50%. Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita
Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun
(Haidara, 2019).

4.4 Etiologi Tonsilitis

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian
nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut
masuk bersama makanan. (Alasmari, 2017). Etiologi penyakit ini dapat disebabkan
oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen
pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil (Anderson, 2021):

1. Virus: Rhinovirus, Influenza A, Adenovirus, virus Herpes Simpleks, virus


Epstein Barr (EBV), Metapneumovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV)
dan Parainfluenza
2. Bakteri: Sebagian besar kasus tonsilitis bakteri disebabkan oleh bakteri
Streptococcus pyogenes beta-hemolitik kelompok A. Beberapa bakteri
penyebab tonsilitis, antara lain Group A Streptococci, Non-Group A
Streptococci, Neisseria gonorrhoea, Mycoplasma pneumonia, Chlamydia
pneumonia dan Corynebacterium diphtheria.
3. Jamur: Candida sp
4. Parasit: Treponema pallidum

Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:

1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan


2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

4.5 Patofisiologi Tonsilitis

Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana


kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan
suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat
keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh
detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak
disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis (Rusmarjono, 2007).

4.6 Manifestasi Klinis Tonsilitis

Berikut manifestasi klinis tonsilitis (Rusmarjono 2007):

1. Nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap.


2. Obstruksi saluran cerna dan saluran napas.
3. Terkadang disertai demam.

4.7 Penegakan Diagnosis Tonsilitis

a. Anamnesis

Pasien mengeluh berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada
yang mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, iritasi pada
tenggorokan dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering
disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala lain dapat ditemukan seperti
demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan adanya pembesaran
kelanjar limfa submandibular (Rusmarjono, 2007).

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak


rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada tonsillitis kronik
juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal (Gambar 4.5). Pada
umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan
kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (Hammouda, 2009):
- Pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent.
- Tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam
dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan
diatasnya tampak eksudat yang purulent.

Gambar 4.5 Tonsilitis kronik.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi (Hammouda,
2009):

- T0: Tonsil masuk di dalam fossa


- T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
- T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
- T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
- T4: >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

c. Pemeriksaan Penunjang

• Mikrobiologi
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Bakteri
penyebab tonsilitis tersering adalah Grup A streptococcus B hemolitikus. Daerah
tenggorokan banyak mengandung flora normal. Permukaan tonsil mengalami
kontaminasi dengan flora normal di saluran nafas atas. Patogen yang didapatkan
dari daerah ini bisa jadi bukan merupakan bakteri yang menginfeksi tonsil.
Pemeriksaan kultur dari permukaan tonsil saja tidak selalu menunjukkan bakteri
patogen yang sebenarnya, sehingga pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan
dengan swab jaringan inti tonsil. Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat
memberikan gambaran penyebab tonsilitis yang lebih akurat. Pemeriksaan
kultur dari inti tonsil ini dilakukan sesaat setelah tonsilektomi atau dengan
aspirasi jarum halus dengan pasien diberikan narkose lokal terlebih dahulu
(Bailey, 2006).

Gambar 4.6 Rasio perbandingan tonsil dengan orofaring.

Gambar 4.7 (a) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (b) Grade-II tonsils.
(c) GradeIIItonsils. (d) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”).
• Histopatologi
Berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi
yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan
infitrasi limfosit yang difus (Lalwani, 2007).

4.8 Penatalaksanaan Tonsilitis

1. Farmakologi

Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat
isap, pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau
oral. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat
pada penderita tonsilitis kronis yaitu antibiotik golongan penisilin merupakan
antibiotik pilihan pada sebagian besar kasus karena efektif dan harganya lebih
murah. Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan makrolida
lebih banyak (Hassan, 2007).

2. Non-farmakologi

Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil


(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal (Hassan,
2007).

• Indikasi umum: Jika tonsil menjadi sumber infeksi dimana resiko terhadap
tubuh lebih besar dari pada resiko operasi.
• Indikasi absolut:
a) Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu)
yang terkait dengan cor pulmonal.
b) Curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral).
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang memerlukan
tonsilektomi Quincy).
d) perdarahan tonsil yang persisten dan rekuren.
• Indikasi Relatif:
a) Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3 episode atau lebih infeksi
tonsil per tahun).
b) Abses peritonsilar.
c) Tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis,
atau adenitis cervical.
d) Sulit menelan.
e) Tonsillolithiasis.
f) Gangguan pada orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian
atas sempit).
g) Carrier streptococcus tidak berespon terhadap terapi).
h) Otitis media recuren atau kronik.
• Kontraindikasi tonsilektomi:
a) Infeksi akut saluran nafas, resiko pada anestesi, kardiovaskular,
respirasi.
b) Penyakit-penyakit darah terutama hemofilia, trombositopenia.
c) Anemia, diobati dulu sampai Hb > 10 gr%.
d) DM, diregulasi dulu.
e) TBC aktif.
f) Kelainan jantung/ginjal.
g) Epidemic poliomyelitis.
h) Umur <3 tahun karena bila sirkulasi meningkat dapat terjadi
perdarahan.
i) Pada keadaan menstruasi dianggap beresiko perdarahan yang lebih
besar, dan bila dipandang dari sudut pasien lebih menyenangkan bila
operasi dilakukan di luar periode menstruasi.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pasien An. H usia 5 tahun datang ke Puskesmas Kromengan dengan dengan


keluhan batuk hari ke empat. Keluhan batuk tanpa dahak disertai demam, pilek, dan
sakit saat menelan. Keluhan demam hanya hari pertama saja. Pada pemeriksaan
status lokalis didapatkan pembesaran tonsil T3/T2, hiperemis, tidak didapatkan
detritus, tidak didapatkan pseudomembran. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, An. H didiagnosis Tonsilitis

Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina atau faucial yang


merupakan bagian dari Waldeyer ring yang terdiri atas tonsil faringeal (adenoid),
tonsil palatina (fausial), tonsil lingual (pangkal lidah) dan tonsil tuba eustachius
(Gerlach’s tonsil). Gejala yang paling sering ditimbulkan adalah nyeri tenggorokan,
sulit menelan, demam, dan nafas berbau. Diagnosis Tonsilitis ditegakkan
berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Melihat dari segala aspek yang
dimiliki pasien, maka penyakit ini ditindaklanjuti dengan pendekatan kedokteran
keluarga yang bersifat holistik, komprehensif, berkesinambungan, dan integratif.

5.2 Saran

Melakukan pendekatan berbasis kedokteran keluarga guna meningkatkan


PHBS penderita dan keluarga penderita tonsilitis. Edukasi dapat dilakukan melalui
diskusi interaktif terhadap pasien dan anggota keluarga lainnya dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan sesuai tingkat pemahaman pasien,
sehingga terbentuk persepsi yang selaras.
DAFTAR PUSTAKA

Alasmari NS, Bamashmous R, Alshuwaykan R, Alahmari M, Almubarak R. 2017.


Causes and Treatment of Tonsillitis. Egypt J Hosp Med. 2017; 69 (8): 2975-
2980.

Anderson J, Paterek E. 2021. Tonsillitis. In: StatPearls. Treasure Island (FL):


StatPearls.2021.

Bailey BJ, Johnson JT, Newland SD. 2006. Tonsilitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Head&Neck Surgery-Ortolaryngology, 4th edition.
2006.

Haidara AW, Sidibé Y, Samaké D, Coulibaly A, Touré MK, Coulibaly BB, et al.
2019. Tonsillitis and Their Complications: Epidemiological, Clinical and
Therapeutic Profiles. Int J Otolaryngol Head &amp; Neck Surg.
2019;08(03):98–105.

Hammouda & Mostafa. 2009. Chronic Tonsilitis Bacteriology in Egyption Children


Including Antimicrobial Susceptibility. Department of ENT, Departmen of
Medical Microbiology, Faculty of Medicine. Cairo University and
Department of Pediatrics. Research Institute of Ophtalmology, Egypt,
Australian Journal of Basic and Applied Sciences.

Hassan R, Alatas H. 2007. Penyakit Tenggorokan.. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.

Lalwani AK. 2007. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In:


Current Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

Nasr WF, Sorour SS, Mobasher MK, Abd El Aziz HR. 2016. Chronic tonsillitis: A
recent histopathological study. Otorhinolaryngol Clin. 2016;8(1):1–5.

Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. 2000. Tonsil dan Adenoid.
Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4 10.
Paulsen F, Waschke J. 2012. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Jilid 3: Kepala,
Leher, dan Neuroanatomi. 23rd ed. Jakarta: Elsevier. 2012.

Richard SS. 2006. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi
6. Jakarta. 2006.

Ringgo, A. S., 2019. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko Terjadinya


Tonsilitis Konik Pada Anak Sekolah Dasar di Bandar Lampung. Malahayati
Nursing Journal.

Rusmarjono, Kartoesoediro S. 2007. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI
Jakarta: 2007.

Haidara, A. W. & Sibide, Y., 2019. Tonsillitis and Their Complications:


Epidemiological, Clinical, and Therapeutic Profiles. International Journal of
Otolaryngology and Head & Neck Surgery.

Rusmarjono & Soepardi, E. A., 2016. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
In: A. A. Soepardi & N. Iskandar, eds. Telinga Hidung Tenggorokan &
Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai