Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

KANKER KOLON ASCENDENS DENGAN GAMBARAN


INFESTASI TRIKURIASIS DAN ASKARIASIS DENGAN
KOMPLIKASI MULTIPEL ABSES HEPAR

Disusun Oleh:

Dhany Febriantara, S. Ked


Hesti Andika Putri, S. Ked
Mugen Adi Suryo, S.Ked

Pembimbing :
dr. Deddy Satria Putra, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Kanker kolon ascendens dengan gambaran infestasi trikuriasis
dan askariasis dengan komplikasi multiapel bses hepar”.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

turut membantu hingga terselesaikannya laporan kasus ini. Ucapan terima kasih ini

penulis sampaikan kepada:

1. dr. H. Nuzelly Husnedi, MARS selaku Direktur RSUD Arifin Achmad Provinsi

Riau yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan

kegiatan kepaniteraan klinik di RSUD Arifin Achmad.

2. dr. Deddy Satriya Putra, Sp.A (K), selaku pembimbing yang telah memberikan

waktu, ilmu, pikiran, serta membimbing dengan penuh kesabaran dari awal

hingga selesainya penulisan laporan kasus ini.

3. dr. Nazardi Oyong, Sp.A, dr. Hotber Edwin Rolan Pasaribu, M.Si. Med. Sp. A

(K), dan dr. Dewi Shandi Laila, Mked Ped, Sp.A selaku penguji pada laporan

kasus ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalam laporan

kasus ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari semua pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini.Akhir kata, semoga laporan

kasus ini bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.

Pekanbaru, Febuari 2019

DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................

BAB II LAPORAN KASUS ......................................................................

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................

BAB IV PEMBAHASAN.............................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,

terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau rektum (bagian kecil

terakhir dari usus besar sebelum anus).1 Dari data Globocan 2012, insiden kanker

kolorektal di Indonesia adalah 12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan

mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker. 2 Risiko penyakit cenderung lebih sedikit

pada wanita dibandingkan pada pria. Banyak faktor lain yang dapat meningkatkan

risiko individu untuk terkena kanker kolorektal. Angka kematian kanker kolorektal

telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya

deteksi dini dan kemajuan pada penanganan kanker kolorektal. 1,3 Data RSUD Arifin

Achmad Provinsi Riau pada tahun 2018 adalah belum ditemukan kasus kanker

kolorektal pada anak.

Askariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan cacing Ascaris

lumbricoides. Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh

makhluk parasit.4 Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya

bersarang dalam usus halus. Adaoya cacing di dalam usus penderita akan

mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal. dalam usus,

mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu Serakan peristaltik dan


penyerapan makanan. Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu t€rsebar

diseluuh dunia, lebih banvak di ternukan di daerah beriklim panas dan lembab. 5 Di

beberapa daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari pendudulc Pada

umumnya lebih baayak diternukan pada anak-amk berusia 5 - l0 tahutr scbagai host

(penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi.6

Entamoeba histolytica merupakan amoeba usus dalam rongga tubuh.7 WHO

menyebutkan bahwa kurang lebih terdapat 500 juta orang di dunia terinfeksi dengan

protozoa Entamoeba histolytica pertahun, namun hanya 50 juta orang yang

menunjukkan gejala serta menyebabkan kurang lebih 100.000 kematian. 8 Insidensi

ameobiasis di Indonesia cukup tinggi, data tahun 2011 menyebutkan angka dengan

rentang 10-18%, jumlah ini merupakan kedua terbanyak setelah mala ria untuk

penyakit yang disebabkan oleh protozoa.9 enis protozoa yang paling sering

menyebabkan diare adalah Entamoeba histolytica10. Sedangkan cacing yang paling

sering menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiuria, dan

Ancylostoma duodenale.11

Abses hati ameba merupakan penyulit ekstraintestinal yang paling sering

terjadi. Aliran darah dari usus akan menuju ke hati, terutama lobus kanan atas. Oleh

sebab itu, bersama aliran darah maka organisme yang berada di submukosa usus

dapat sampai ke hati. Gejala dapat timbul secara perlahan atau mendadah rasa nyeri

di abdomen kanan atas, disertai demam 38-39oC.12,13 Jarang ditemukan kista dan

tropozoit E. histolytico pada tinja pasien dengan abses hati. Biasanya 60% dari

penderita tidak mempunyai gejala gastrointestinal ataupun gejala di disentri.14,15


Namun pada penelitian ini ditemukannya kasus yaitu kanker kolon ascendes disertai

askariasis, disentri ec entaemoba histolitica dengan komplikasi abses hepar di RSUD

Arifin Achmad Provinsi Riau Tahun 2019.

BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama / No. MR : An. MBD/01006918


Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun (03-04-2002)
Ayah / Ibu : Tn. Du / Ny. Tuti
Suku : Batak Toba
Alamat : Jl. Bubun Kepulauan Meranti (Cek KTP)
Tanggal masuk : 28 Januari 2019
Tanggal periksa : 30 Januari 2019
Tanggal pulang :

ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan utama: Muntah keluar cacing sejak 4 hari SMRS
Riwayat penyakit sekarang :
4 bulan SMRS, pasien sering merasakaan nyeri perut kanan bawah. Nyeri
bersifat tumpul, hilang timbul dan muncul terutama apabila pasien beraktivitas,
hilang sendiri dibawah 3 menit, dan tidak dipengaruhi setelah/sebelum makan. Nyeri
dirasakan ringan dan tidak mengganggu aktivitas. Pasien juga mengeluhkan badan
cepat lelah sehingga pasien berhenti bekerja. Keluhan mual (-), muntah (-), gangguan
BAK/BAK (-), demam naik turun (-), konstipasi (-). Pasien tidak pergi berobat dan
masih dapat beraktivitas.

2 minggu SMRS pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah . Nyeri hilang
timbul dan dirasakan seperti melilit, Nyeri bersifat menjalar hingga ke ari-ari. Nyeri
berlangsung kurang lebih 5 menit. Nyeri muncul saat beraktifitas dan berkurang jika
pasien berbaring dan melipat kedua paha hingga mendekati dada. Keluhan juga
disertai BAB cair (+) frekuensi 3-4x. BAB cair disertai adanya lendir bercampur
darah merah (+), cacing (-). Keluhan penurunan nafsu makan (+), BB turun (-), mual
(-), demam (-), muntah (-), dan gangguan BAK (-), Kemudian pasien pergi berobat ke
klinik Meranti dan diberikan obat nyeri, obat lambung, dan keluhan berkurang.

1 minggu SMRS pasien masih mengeluhkan BAB dengan frekuensi 4x sehari.


BAB dengan konsistensi cair, bewarna kekuningan, disertai keluar cacing sebanyak 2
buah bewarna kemerahan, dengan panjang kurang lebih 5 cm diameter 4 mm, lendir
(+), darah (-). Keluhan gatal-gatal pada anus terutama malam hari dirasakan sesekali,
nyeri perut (+), mual (-), muntah (-). Pasien kemudian pergi berobat ke dukun
kampung dan diberikan obat.

4 hari SMRS pasien mengeluhkan muntah. Muntah sebanyak 2 kali. Muntah


kedua berisikan cacing 1 ekor berwarna keputihan dengan panjang kurang lebih 4 cm
dan dengan diameter 4 mm. Muntah disertai mual, muntah tidak disertai makanan
maupun darah tetapi muntah disertai lendir bewarna putih. Nafsu makan menurun,
pasien mengaku terjadi penurunan berat badan dari 46 kg menjadi 35 kg dalam 2
minggu terkahir. Demam (-), nyeri perut (+) pada kanan bawah, hilang timbul, <5
menit, berkurang dengan istirahat, BAK tidak ada keluhan. Keluhan BAB cair telah
berkurang dengan lendir (-) dan darah (-). Keluhan batuk (-), sesak (-). Kemudian
pasien dibawa ke RSUD Meranti, dirawat selama 4 hari (23/01/2019 – 27/01/2019)
dan didiagnosis multiple abses hepar, disertai askariasis dan trichuriasis dan dirujuk
ke RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau (27/01/2019) dengan alasan tidak tersedianya
fasilitas lebih lanjut, obat yang diberikan yaitu ceftriaxone inj, metronidazole inj,
ketorolac inj, ranitidine inj, albendazole, dan urdafalk.

Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat cacingan (+) terakhir minum obat cacing sejak 2 tahun SMRS,
setelah minum, pasien mengatakan keluar cacing saat BAB
 Riwayat sakit kuning (-)
 Riwayat keganasan (-)
 Riwayat penyakit maag (-)

Riwayat penyakit keluarga :


 Riwayat keganasan (+) pada nenek kandung dengan kanker ovarium

Riwayat orang tua :


 Riwayat sakit kuning (-)
 Riwayat keganasan (-)

Riwayat kehamilan dan persalinan :


 ANC 5 x dengan dokter umum. Demam saat hamil (-), nyeri berkemih saat
hamil (-), keputihan saat hamil (-).
 Pasien anak ke 5 dari 6 bersaudara, orang tua pasien hamil 9 kali dengan anak
pertama, ketiga, dan keempat meninggal, pasien lahir cukup bulan 9 bulan
dengan persalinan normal, berat badan lahir 2.600 g ,dan dirumah oleh Bidan
kampung

Riwayat makan dan minum:


 ASI 0-6 bulan
 6-12 bulan nasi tim
 > 12 bulan makanan biasa
 Riwayat minum tuak/alkohol selama 2 tahun 1-2 botol setiap bulan
 Riwayat merokok selama 2 tahun dengan 2 batang perhari, (IB = 4/perokok
ringan)
 Riwayat lebih mengkonsumi makanan tinggi lemak dan sedikit sayuran
disangkal
 Riwayat rutin konsumsi makanan olahan ultra (ultra-processed food)
disangkal

Riwayat imunisasi :
 BCG 1 x
 Hep. B 4 x
 DPT 3x
 Campak 1 x
 Polio 4 x

Riwayat Pertumbuhan Fisik:


BBL : 2600 gram BBS : 35 kg

PBL : 46 cm TBS : 158 cm

Riwayat Perkembangan :
 Berjalan saat umur 1 tahun 2 bulan
 Bicara “ma pa” saat umur 1 tahun
 Makan sendiri saat umur 2 tahun
 Berteman saat umur 1 tahun
 Anak sudah tidak sekolah sejak kelas 2 SD dan bekerja
Riwayat perumahan, tempat tinggal dan kebiasaan:
 Pasien merupakan seorang kuli sagu

 Tinggal diperumahan padat penduduk, ventilasi cukup. Sumber air sumur,


jamban jauh dari sumur jaraknya 10 m.

 Pasien suka berenang di paret dari kecil.


PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Suhu : 37,3oC
Nadi : 75 denyut/menit
Nafas : 20 x/menit
Gizi
TB : 159 cm
BB : 39 kg
IMT : 15,47 kg (underweight)
Status gizi(BB/TB): 39 kg/48 kg x 100% = 81,25 % (Gizi kurang)

Rambut : Hitam, tebal, dan tidak mudah dicabut

Mata
Kelopak mata : Edema palpebra (-)
Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Bulat Isokor ( 2 mm/ 2 mm)
Reflek cahaya : (+/+)
Eksoftalmus/enoftalmus : (-)
Mata cekung : (-)
Gerakan bola mata : dalam batas normal
Kornea : Normal, jernih
Telinga : keluar cairan (-), massa (-), bentuk normal
Hidung : keluar cairan (-), bukti bekas perdarahan pada
mukosa hidung (-), massa (-), pernafasan cuping
hidung (-)
Mulut
Bibir : Tidak pucat, sianosis (-)
Selaput lendir : Basah
Palatum : Utuh
Lidah : Kotor(+), hiperemis (-), atropi papil lidah (-)
Gigi : Gigi belum tumbuh
KGB : Tidak ada pembesaran
Kaku kuduk : Tidak ada kaku kuduk
Dada :
Inspeksi :
o Statis: Bentuk dada normochest, simetris kiri dan kanan, diameter
transversal>anteroposterior, pulsasi ictus cordis tidak terlihat
o Dinamis: Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi
dinding dada (-).
Palpasi:
o Pulmo: nyeri tekan (-), tidak teraba massa, ekspansi dinding dada kiri
dan kanan sama, vocal fremitus sama kiri dan kanan. Ludwig sign (-)
o Cor: Ictus cordis teraba di Spatium Inter Kosta (SIK) V linea
midclavicularis sinistra.
Perkusi:
o Pulmo: sonor pada seluruh lapang paru, batas paru hati SIK VI
o Cor : Batas kanan jantung linea parasternalis dextra SIK V
Batas kiri jantung linea midclavicularis sinistra SIK V
Auskultasi:
o Pulmo : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
o Cor : Bunyi jantung SI dan SII reguler, HR: 75 dpm, S3/S4 gallop
(-), murmur (-)
Abdomen:

Inspeksi : perut tampak datar, venektasi (-).


Auskultasi : BU (+) 5 kali/menit.
Palpasi : Supel, nyeri tekan superfisial (-), nyeri palpasi dalam (+) pada
regio hipokondriac dextra, lumbal dextra, dan iliac dextra (+),
teraba massa pada regio lumbal dextra hepatomegali (+) (1/4
-1/4) permukaaan datar tepi tumpul, spleenomegali (-),
ballotement (-/-), nyeri tekan CVA (-/-)
Perkusi : Timpani (+), redup pada regio hipokondriac dextra (+),
shifting dullness (-), puddle sign (+).

Status lokalis : Teraba massa berukuran 4x4cm pada abdomen kuadran kanan
bawah, keras, permukaan datar, tidak mobile, nyeri tekan (+),
pembesaran KGB (-), hasil massa (sekret/pus) (-)
Alat Kelamin: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas: Akral hangat, CRT<2 detik, pitting edema (-) tidak pucat, power (5)
Status Neurologis: Refleks fisiologis (+), refleks patologis (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH

Pemeriksaan Hasil Analisa


Pemeriksaan di RSUD Meranti (23/01/18)
Darah rutin
Hemoglobin 13,7 g/dL Normal
Hematokrit 36 % Rendah
Leukosit 9030 x 103 /mm3 Normal
Eritrosit 4,26 x 106 /mm3 Normal
Trombosit 264 x 103 /mm3 Normal
Differential count
Neutrofil Batang 0% Rendah
Neutrofil Segment 61 % Normal
Limfosit 20% Normal
Monosit 12 % Tinggi
Eosinofil 7% Tinggi
Basofil 0% Normal
Kimia Klinis
GDS 97 mg/dL Normal
SGOT 31 U/L Normal
SGPT 39 U/L Normal
Ureum 57 mg/dL Tinggi
Kreatinin 0,4 mg/dL Normal
Bil Ind 0,1 mg/dL Normal
Bil Direct 0,10 mg/dL Normal
Bil Total 0,2 mg/dL Normal
Hemostasis
PT 12,2 s Normal
INR 0,88 Normal
aPTT 30,4 s Normal
Elektrolit
Natrium 130 mmol Normal
Kalium 3,8 mmol Normal
Clorida 97,3 mmol Normal
Feses Rutin
Warna Kecoklatan Normal
Konsistensi Lunak Normal
Lendir Negatif Normal
Darah Negatif Normal
Leukosit Negatif Normal
Eritrosit Negatif Normal
Telur cacing Telur cacing askariasis (+),Abnormal
trichuris trichuira (+)
Imunologi
HIV Kualitatif Non-Reaktif Normal
Pemeriksaan di RSUD AA (28/01/18)
Darah rutin
Hemoglobin 12,6 g/dL Rendah
Hematokrit 38.4 % Rendah
Leukosit 11,1 x 103 /mm3 Tinggi
Eritrosit 4,87 x 106 /mm3 Normal
Trombosit 266 x 103 /mm3 Normal
MCV 78,9 fl Rendah
MCH 26,3 pg Rendah
MCHC 33,3 g/dl Normal
Differential count
Neutrofil 67,9 % Normal
Limfosit 17,3 % Rendah
Monosit 9% Tinggi
Eosinofil 5,2 % Tinggi
Basofil 0,6 % Normal
Kimia Klinis
Albumin 3,6 mg/dL Normal
SGOT 27 U/L Normal
SGPT 30 U/L Normal
Ureum 39 mg/dL Normal
Kreatinin 0,72 mg/dL Normal
Feses Rutin
Warna Kecoklatan Normal
Konsistensi Cair Abnormal
Lendir Positif +1 Abnormal
Darah Negatif Normal
Leukosit Negatif Normal
Eritrosit Negatif Normal
Telur cacing Negatif Normal
Amuba Negatif Normal
Kista Negatif Normal
Urinalisa
Warna Kuning Normal
Kejernihan Keruh Abnormal
Protein Negatif Normal
Glukosa Negatif Normal
Bilirubin Negatif Normal
pH 6,0 Normal
Darah Negatif Normal
Keton Negatif Normal
Nitrit Positif Abnormal
BJ 1,020 Normal

ULTRASONOGRAFI (USG) :
22/01/2019 (RSUD Meranti)
 Parasit intestinal (Ascariasis intestinal?) abdomen tengah terutama kanan
 Multiple abses hepar lobus kanan dan kiri.
 Sludge gallbladder, dd/migrasi ascariasis gallbladder
 USG spleen, pankreas, ginjal kanan/kiri saat ini tidak tampak kelainan
28/01/2019 (RSUD AA)
 Multiple cystic Hepar dengan ascites. Saran : CT Scan
FOTO BNO:
22/01/2019 (RSUD Meranti)
 Tidak tampak tanda-tanda ileus, tidak jelas gambaran ascariasis
HAL PENTING DARI ANAMNESIS
Nyeri pada perut kanan bawah sejak 4 bulan SMRS (unspecified abdominal pain)
Nyeri pada perut kanan bawah menjalar ke ari-ari disertai keluhan BAB cair yang
bercampur lendir dan darah, penurunan napsu makan (+) 2 minggu SMRS (suspect
mild amoebic dysentry)
BAB keluar cacing sebanyak 2 buah berwarna kemerahan, panjang kurang lebih 5 cm
diameter 4mm, lendir (+), darah (-), disertai keluhan gatal-gatal pada daerah anus
terutama malam hari (+) ( unspecified helminth infection)
Muntah mengeluarkan cacing 1 ekor, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan
2 minggu SMRS dan diagnosa menderita multiple abses hepar dengan askariasis dan
trichuriasis
Riwayat keluar BAB cacing setelah minum obat cacing 2 tahun SMRS (poor
hygiene)
Riwayat minum tuak/alkohol sejak 2 tahun SMRS
Riwayat merokok (+)
Mempunyai kebiasaan suka berenang di paret
HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN FISIK
IMT = 15,47 (underweight) dan status gizi = 81,25 % (gizi kurang)
Lidah kotor (+)
PF Abdomen:
Nyeri palpasi dalam (+) pada regio hipokondriac dextra, lumbal dextra, dan iliac
dextra (+)
Hepatomegaly (+) (1/4 – 1/4) permukaan datar dengan tepi tumpul
Perkusi redup pada regio hipokondriac dextra (+), dengan puddle sign (+)
Status lokalis : teraba massa berukuran 4x4 cm pada abdomen kuadran kanan bawah,
keras, permukaan datar, tidak mobile, nyeri tekan (+), tidak ditemukan pembesaran
KGB (-), dengan massa sekret/pus (-)
HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN: -
23/01/19

Eosinofil = 7% (tinggi)

SGOT/SGPT = 31/39 U/L (meningkat)


Feses rutin = telur cacing askariasis (+) dan trichuris trichuira (+)

27/01/2019

Hemoglobin = 12,6 g/dl (rendah)

Leukosit = 11.100 (tinggi)

MCV = 78,9 fl

MCH = 26,3 pg (anemia mikrositik hipokrom)

SGOT/SGPT = 27/30 U/L

Feses rutin: konsistensi/lendir/telur cacing = cair/lendir+1/negatif

HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN PENUNJANG:

22/01/2019 (RSUD Meranti)


 Parasit intestinal (Ascariasis intestinal?) abdomen tengah terutama kanan
 Multiple abses hepar lobus kanan dan kiri.
 Sludge gallbladder, dd/migrasi ascariasis gallbladder
 USG spleen, pankreas, ginjal kanan/kiri saat ini tidak tampak kelainan
28/01/2019 (RSUD AA)
 Multiple cystic Hepar dengan ascites. Saran : CT Scan
DIAGNOSA KERJA : Askariasis + abses hepar dengan suspect massa
intraabdomen

DIAGNOSA GIZI : Gizi Kurang (BB/ TB/BB Ideal = 70-90%)


PEMERIKSAAN ANJURAN:
CT Scan Abdomen
Colonoskopi
Aspirasi abses hati
Kultur abses hati
Tumor marker colon (CEA/CA 19-9)
TERAPI

Medikamentosa :
 Inj Ceftriaxone 2 gram/24 jam IV
 Inj metronidazole 500 mg/8 jam IV
 Inj Ketrolocan 8mg/8 jam IV
 Inj Ranitidine 40mg/8 jam IV
 Albendazole/24 jam oral
Gizi (kebutuhan kalori): RDA x BB ideal
50 x 49 = 2450 kkal
Karbohidrat = 2450 x 70% : 4 = 420 gram
Protein = 2450 x 20% : 4 = 120 gram
Lemak = 2450 x 10% : 9 = 26,8 gram
PROGNOSIS:
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Bonam

FOLLOW UP:

28 Januari 2019 29 Januari 2019


S
O
A
P
Pemeriksaan Laboratorium
29 Januari 2019 30 Januari 2019
S
O
A
P
30 Januari 2019 31 Januari 2019
S
O
A
P
31 Januari 2019 1 Febuari 2019
S
O
A
P
1 Febuari 2019 2 Febuari 2019
S
O
A
P
2 Febuari 2019 3 Febuari 2019
S
O
A
P
3 Febuari 2019 4 Febuari 2019
S
O
A
P
4 Febuari 2019 5 Febuari 2019
S
O
A
P
5 Febuari 2019 6 Febuari 2019
S
O
A
P
6 Febuari 2019 7 Febuari 2019
S
O
A
P
7 Febuari 2019 8 Febuari 2019
S
O
A
P
8 Febuari 2019 9 Febuari 2019
S
O
A
P
Boleh Pulang ()
Kontrol Ulang
S
O
A
P
TIMELINE FESES PASIEN
TANGGAL WARNA BENTUK

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Helminthiasis

Helminthiasis/infeksi cacing dapat disebabkan oleh 3 jenis cacing yaitu:

nematoda (roundworms), trematoda (flatworms) dan cestoda (tapeworms).4

Ascariasis (Ascaris lumbricoides)


Etiologi

Ascariasis adalah infeksi cacing yang disebabkan oleh terinfeksinya host

dengan cacing gelang (roundworm) yaitu Ascaris lumbricoides. Cacing dewasa dari

A.lumbricoides menginhabitasi/tinggal pada lumen dari usus halus dan mempunyai

masa hidup 10-24 bulan. Kemampuan A.lumbricoides sangat tinggi, cacing betina

dapat memproduksi 200.000 telur setiap hari. Telur cacing ascaris berbentuk oval dan

mempunyai dinding yang menyelebungi ukuran panjang 45-70 µm dan lebar 35-50

µm. Setelah melewati feses, telur cacing menjadi embrio dan bersifat infektif dalam

5-10 hari dalam cuaca yang mendukung.1

Epidemiologi

Ascariasis paling banyak ditemukan pada daerah dengan iklim tropik dimana

keadaan lingkungan mendukung dalam maturasi telur cacing. Lebih kurang 1 milliar

orang di dunia diperkirakan terinfeksi. Faktor reisko berhubungan yang berperan

yaitu keadaan sosial ekonomi yang buruk, penggunaan feses manusia sebagai pupuk,

geophagia (memakan tanah). Transmisi umumnya terjadi secara hand to mouth,

namun dapat berhubungan secara foodborne dengan buah atau sayuran mentah.1

Pathogenesis
Telur cacing askaris menetes di usus halus setelah tertelan oleh manusia

(host). Larva menetas, mengpenetrasi dinding usus, dan kemudian dapat bermigrasi

ke paru-paru secara sirkulasi vena. Parasit ini kemudian menyebabkan askariasis

pulmonal dimana mereka masuk menuju alveolus dan bermigrasi lagi ke bronkus dan

trakea. Cacing askaris kemudian dapat tertelan dan kemudian kembali lagi ke usus,

dimana akhirnya cacing tersebut menjadi dewasa. Cacing betina kemudian mulai

bertelur dalam 8-10 minggu.1

Gambaran klinis

Gambaran klinis tergantung dari derajat dari infeksi dan organ yang terkena.

Umumnya derajat sakit bersifat tanpa tanda dan gejala hingga derajat sakit sedang.

Keadaan klinis yang paling sering ditemukan adalah penyakit paru dan obstruksi usus

atau traktus bilier. Ketika larva bermigrasi ke jaringan dapat menyebabkan gejala

alergi, demam, urtikaria, dan penyakit granulomatous. Manifestasi pada paru

menggambarkan Loeffler syndrome dan mempunyai gejala pernapasan seperti batuk

dan dyspnea, pulmonary infiltrates, dan eosinofilia pada darah. Cacing askaris

kadang-kadang dapat bermigrasi hingga duktus pankreatis dan bilier, dimana mereka

menyebabkan cholecystitis atau pankreatitis. Cacing yang bermigrasi ke jaringan usus

dapat menyebabkan peritonisi. Penelitian menunjukkan infeksi kornis dari askaris

dapat mengganggu pertumbuhan, kebugaran fisik, dan perkembangan kognitif.1

Diagnosis

Pemeriksaan mikroskopis pada pemeriksaan feses dapat digunakan sebagai

standar diagnosis karena jumlah telur yang banyak dihasilkan oleh cacing betina

dieksresikan.1
Pengobatan

Obat pilihan untuk akrasiasis pada saluran cerna yaitu albendazole (400 mg

oral dosis tunggal, untuk segala umur), mebendazole (100 mg oral selama 3 hari atau

500 mg dosis tunggal untuk segala umur), atau ivermectin (150-200 µg/kg dosis

tunggal). Piparazine citrate (75 mg/kg/hari selama 2 hari; maksimal: 3,5g/hari), dapat

menyebabkan paralisis neuromuskular pada parasit dan secara cepat mengeluarkan

cacing, adalah pilihan pengobatan untuk obstruksi usus atau bilier dan diberikan

dalam bentuk sirup melalu NGT. Pembedahan diperlukaan dimana terjadi obstruksi

berat. Tidak ditemukan adanya resistensi obat, namun pengobatan ulang diperlukan

dikarenakan sering ditemukan reinfeksi.1

Trichuris trichuira

Etiologi

Trikuriasis adalah infeksi cacing yang disebabkan oleh cacing cambuk

(trichuris trichiura), sebuah nematoda, atau cacing gelang, yang biasanya menghuni

cecum, dan kolon ascendens. Host utama dari trikuris adalah manusia yang terinfeksi

dengan termakan telur berbentuk gentong yang terembronisasi (embryonated). Larva

trikuris menetas di bagian atas usus halus dan mengpenetrasi vili usus, kemudian

pelan-pelan menuju cecum, dimana cacing tersebut menjadi dewasa. Cacing dewasa

daapat memproduksi 5000-20000 telur setiap harinya. Telur tersebut kemudian

dieksresikan dan dikeluarkan melalui feses, dan termbrionisasi dalam 2-4 minggu

dengan keadaan suhu dan tanah yang optimal. Cacing dewasa dapat hidup hingga 2

tahun.1
Epidemiologi

Trikurias merupakan salah satu penyebab helminthiasis terbanyak pada

manusia, dengan perkiraan 1 miliar orang di dunia terinfeksi. Daerah dimana

ditemukan malnutrisi protein dan anemia, prevalensi infeksi dari trikuris dapat

mencapat 95%. Transmisi terjadi dengan kontaminasi langsung dari tangan, dan

makanan (buah atau sayuran mentah yang dipupuki dengan feses manusia), atau

minuman. Transmisi dapat terjadi secara tidak langsung melalui lalat atau serangga

lainnya.1

Gambaran klinis

Trikuriasis umumnya tidak menunjukkan gejala klinis, beberapa pasien dapat

menunjukkan gejala nyeri perut kuadran kanan bawah atau nyeri halus pada daerah

periumbilikal. Seekor cacing dewasa dapat menghisap lebih kurang 0,005 ml darah

setiap hari. Trikuris dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa disentri kornis,

prolap anus, anemia, gangguan pertumbuhan, dan gangguan kognitif. Dalam beberapa

kasus tidak ditemukan adanya eosinofilia, meskipun beberapa cacing tertanam dalam

mukosa usus besar.1

Pengobatan
Obat pilihan yang efektif dan aman dari trikuriasis yaitu albendazole oral 400

mg selama 3 hari untuk segala umur . Albendazole dapat menurunkan jumlah telur

sebanyak 90-99% dan mempunyai angka kesembuhan 70-90%, meskipun jarang

dapat terjadi reinfeksi ataupun infeksi menetap apabila terdapat cacing yang masih

selamat setelah terapi. Pengobatan alternatif meliputi mebendazole (100 mg oral

selama 3 hari) dan Ivermectin (200 µg/kg oral selama 3 hari). Pemberian terapi

selama 1 hari memiliki angka penyembuhan yang rendah.1

Disentri

Abses hati
Abses hati piogenik jarang ditemukan pada anak-anak, dengan insidensi
10/100.000 dirawat. Abses hati piogenik dapat disebabkan oleh bakteri yang masuk
ke hati melalui sirkulasi porta pada kasus seperti omphalitis, pleblitis vena porta,
infeksi intraabdomen, atau abses sekunder akibat apendisitis atau penyakit radang
usus, ascending cholangitis akibat obstruksi bilier. Abses hepar juga dapat disebabkan
infeksi setelah dilakukan biopsi hepar perkutan. Faktor resiko lain meliputi
transplatasi hati, anak-anak dengan penyakit granulomatous, atau kanker.1
Abses hati piogenik paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
Streptococcus spp.; Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Salmonella, dan bakteri
anaerob; Entamoeba histolytica atau Toxocara canis–a umumnya dapat menyebabkan
abses pada negara berkembang atau pada daerah endemis.1
Temuan E. Histolytic dari pemeriksaan feses sangat memberikan gambaran
adanya infeksi yang mengarah kepada abses hati amoba. Pada kasus dengan multiple
microaabscesses sering dijumpai pada kasus infeksi sekunder dikarenakan
bakteremia, kandedemia, atau penyakit cat scratch. Abses kriptogenik sering
disebabkan oleh infeksi dari satu jenis mikroba yaitu S.auerus dimana umumnya
tidak terdapat penyakit penyerta dari organ hati atau saluran cerna.1
Gejala klinis bersifat nonspesifik seperti demam, mengigil, keringaat malam,
malaise, lelah, mual, nyeri perut yang tergang pada kuadran kanan atas, dan
hepatomegali, jaundice jarang dijumpai. Mendiagnosa abses hati tidak mudah dan
sering terjadi keterlambatan, kecurigaan mengarah kepada abses hati penting
terutama pada anak-anak yang memiliki faktor resiko tinggi. Serum aminotransferase
(AST) dan serum alkaline transferase (ALT) umumnya meningkat. Rasio sedimentasi
eritrosit umumnya tinggi, dan leukositosis sering dijumpai. Hasil kultur darah pada
pasien umumnya 50% positif pada pasien dengan abses hati. Hasil pemeriksaan foto
thorax dapat ditemukan elevasi dari hemidiafragma kanan dengan penurunan
mobilitas atau dapat dijumpai efusi pleura kanan. Pemeriksaan USG atau CT scan
dapat mengkonfirmasi diagnosis yang disesuaikan dengan temuan klinis. Abses hepar
soliter (70% kasus) pada lobus kanan hati (75% kasus) lebih sering dijumpai
dibandingkan abses multipel atau abses pada lobus kiri hati. Pada amebiasis dapat
dilakukaan pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay testing untuk
E.histolytica Gaal/GalNAc (galactose/N-acetyl-Dgalactosamine) lektin pada serum
dan dapat dijumpai temuan positif.1

Gambar 1. Abses hati amoebik Gambar 2. Kandidiasis hepar


Pengobatan abses hepar memerlukan USG perkutaneus atau CT-guided needle
aspiration dan jarang diperlukan drainase bedah terbuka, terutama apabila ditemukan
abses multiple dan besar. Beberapa kasus dilakukan pemasangan drainase dan
diberiakan hingga dinding abses kolaps dan dapat juga dilakukan aspirasi tunggal
atau berulang. Harus dilakukan kultur aerob atau anaerob dari penyebab abses. Pada
abses hati amobik umumnya tidak diperlukan aspirasi.1
Terapi antibiotik harus dimulai dengan spektrum luas dan kemudian dapat
dipersempit sesuai dengan hasil kultur dari cairan pada abses. Regimen antibiotik
untuk terapi empiris meliputi golongan ampicilin/sulbactam, ticarcillin/asam
klavulanat, atau piperasilin/tazobactam dan direkomendasikan untuk dikombinasi
dengan sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Abses hati amoebik
ditatalaksana dengan pemberian metronidazol atau tinidazole ditembah dengan
paromomycin. Terapi antibiotik pada abses hati piogenik dilakukan dengan
pemberian secara akses intravena selama 2-3 minggu diikuti dengan pemberian terapi
oral dalam 4-6 minggu. Sejak tahun 1980, mortalitas penyakit abses hati telah
menurun secara signifikan dengan diagnosis dini dan terapi yang sesuai.1
Kanker colon
Definisi
Kanker kolon adalah keganasan yang berasal dari jaringan usu besar, terdiri
dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau rektum (bagian kecil terakhir
dari usus besar sebelum anus).2 Gejala dari kanker kolon berbeda tergantung bagian
yang terserang dan tipe dari tumor tersebut, namun dapat dijumpai nyeri pada setiap
tipe tumor.3
Sebagian besar kanker pada kolon dijumpai pada kolon sigmoid dan pada
jungsional rektosigmoid. Kanker berikut umumnya berukuran kecil, annular, dan
disertai ulserasi. Daerah lain yang sering dijumpai kanker kolon yaitu pada daerah
caecum, dimana tumor biasanya lebih tebal dan berpapil (papiliferous).3
Epidemiologi
Sebagian besar pasien berumur lebih dari 50 tahun dikarenakan terjadinya
perubahan aktivitas kolon pada umur > 50 tahun. Kanker kolon juga dapat dijumpai
pada dewaasa muda dan pada anak-anak, dikarenakan kolitis ulseratif dan familial
polyposis coli. 3
Gambaran klinis
Gambaran klinis dari kanker kolon tergantung dari lokasi dimana terjadinya
pertumbuhan sel abnormal.3
Kanker pada kolon bagian kiri
Pada kanker kolon bagian kiri, gejala nyeri biasanya dijumpai sebagai nyeri kolik
yang ringan pada perut bagian bawah, setelah beberapa minggu atau bulan, nyeri
dapat menjadi persisten dengan serangan kolik abdomen yang sering. Gejala yang
paling sering ditemui pada kanker kolon bagian kiri yaitu perubahan aktivitas kolon.
Mula-mula gejala berupa konstipasi, dalam jangka waktu lama setelah diikuti dengan
episode kolik abdomen, gejala dapat berubah menjadi diare atau ditemukannya gejala
BAB cair kemudian kembali lagi ke episode konstipasi. Gejala ini kemudian secara
bergantian terus terjadi dan merupakan gejala pada karsinomata pada kolon kiri.
Konstipasi terjadi akibat dari obstruksi usus, diare terjadi akibat liquefaction dari
feses diatas dari lokasi obstruksi, juga disebabkan adanya inflamasi pada mukosa
kolon dan peningkatan sekresi mukus yang mengganggu penyerapan air pada kolon.3
Penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan tidak selalu dijumpai pada
pasien, apabila dijumpai penurunan berat biasanya disebabkan oleh anoreksia. Dapat
dijumpai adanya benjolan pada abdomen. Pendarahan rektum bukan merupakan
gejala utama dari tumor pada kolon desendens dan sigmoid dikarenakan umumnya
hanya terjadi sedikit pendarahan pada tumor berikut dan kemudian bercampur dengan
feses. Ketika sel tumor berada pada jungsional rektosigmoid, dapat terjadi prolaps
hingga rektum dan menyebabkan tenesmu, namun gejala berikut lebih sering
dijumpai pada kanker rektum.3
Kanker pada daerah caecum
Kanker pada daerah caecum sering dikenal dengan ‘silent’ hingga tumor
bertambah ukuran sehingga menimbulkan gejala. Mayoritas pasien dengan kanker
pada caecum memiliki gejala awal berupa nyeri pada abdomen namun banyak dari
pasien berikut memiliki keluhan penyakit lain yang lebih dominan atau nyeri pada
abdomen tidak menyebabkan gangguan fungsional sehingga pasien umumnya tidak
pergi berobat atau terjadi misdiagnosa. Gejala nyeri tumpul sering ditemui pada fossa
iliaka kanan, namun ini merupakan gejala kronis dari penyakit (late symptom).
Apabila tumor berkembang dan menutup katup ileosekum, pasien dapat memiliki
gejala nyeri kolik dan obstruksi usus.3
Sering dijumpai adanya penurunan berat badan dan nafsu makan. Kanker
yang besar pada daerah caecum sering terjadi pendarahan dan dapat dijumpai anemia
pada pasien. Hal ini menyebabkan dapat ditemukan pallor, perasaan lemah dan sesak
namun kehilangan darah tidak cukup untuk memberi perubahan warna pada feses.
Perubahan aktivitas kolon lebih jarang dijumpai dan bukan merupakan gejala
utama dibandingkan dengan kanker pada bagian kolon kiri. Terkadang dapat dijumpai
konstipasi dan diare, namun gejala ini tidak terjadi secara bergantian.3

BAB IV
PEMBAHASAN

Ascariasis dan trichuirasis adalah infeksi cacing yang disebabkan oleh

terinfeksinya host dengan cacing gelang (roundworm) yaitu Ascaris lumbricoides dan

trichuris trichiura. Larva askaris menetas, mengpenetrasi dinding usus, dan kemudian

dapat bermigrasi ke paru-paru dan kemudian menyebabkan askariasis pulmonal,

dapat bermigrasi lagi ke bronkus, tertelan dan kemudian kembali lagi ke usus, dimana

akhirnya cacing tersebut menjadi dewasa). Larva trikuris menetas di bagian atas usus
halus dan mengpenetrasi vili usus, kemudian pelan-pelan menuju cecum, dimana

cacing tersebut menjadi dewasa.

Pada saat pasien datang ke RSUD Meranti, pasien datang dengan keluhan

muntah cacing. Hasil anamnesis pasien, diketahui bahwa pasien juga memiliki

riwayat nyeri perut kanan bawah kronis, disertai riwayat BAB cair bercampur lendir

dan berdarah, penurunan napsu makan, penurunan berat badan, serta riwayat BAB

mengeluarkan cacing. Berdasarkan hasil anamnesis yang didukung dengan

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didapatkan diagnosis berupa multiple

abses hepar dengan askariasis dan trichuriasis.

Diagnosis dari multiple abses hepar berdasarkan keluhan pasien yaitu adanya

riwayat disentri, peningkatan SGOT/SGPT mendekati borderline, dan ditemukannya

gambaran lesi hipodens > 1 pada USG hepar. Pada pemeriksaan feses rutin pasien di

RSUD Meranti, menunjukkan adanya telur cacing askaris dan trichuriasis. Saat

pasien datang dengan keluhan muntah cacing, diagnosis klinis yang dapat diberikan

yaitu helminthiasis. Pada pemeriksaan laboratorium rutin ditemukan adanya

eosinofilia. Temuan adanya telur cacing askaris dan trichuriasis merupakan gold

standart untuk dapat menegakkan diagnosis kerja spesifik untuk infeksi helmintik

askariasis dan trichuriasis.

Cacing A. Lumbricoides dan T.trichuira umumnya menempati usus halus,

caecum, dan kolon ascendens. Cacing askaris kadang-kadang dapat bermigrasi hingga

duktus pankreatis dan bilier, dimana mereka menyebabkan cholecystitis atau

pankreatitis. Berdasarkan hasil anamnesis pasien, cacing yang dimuntahkan

berukuran 4 cm dan berdiameter 4 mm sehingga dapat disimpulkan bahwa cacing


yang dimuntahkan merupakan larva yang sedang berkembang ke stadium dewasa.

Perpindahan a. Lumbricoides menuju esofagus adalah kejadian yang langka. Larva a.

Lumbricoides umumnya akan tertelan dalam proses migrasi menuju ke usus halus

dimana akan berkembang ke stadium dewasa.1,5

Larva cacing a. Lumbricoides yang melakukan kontak terhadap lingkungan

asam umumnya segera melakukan migrasi menuju area anus. Pada kasus ini, pasien

mengeluhkan nyeri perut 2 minggu SMRS dan diberikan obat lambung. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Srikandi, profil pemilihan obat terapi untuk pasien

dengan keluhan dispepsia yaitu 29,96% antasida, 35,27% proton pump inhibitor,

ranitidin 5,14%.6 Obat-obatan seperti antasida memiliki mekanisme kerja dengan

meningkatkan ph asam lambung sedangkan PPI menghambat pompa proton sel

parietal yang akan meningkatkan ph asam lambung.x Sebuah kasus yang serupa oleh

Kobayashi di Jepang, menyatakan bahwa peningkatan dari pH lambung >6

menyebabkan a. Lumbriocoides dapat bertahan lebih lama dalam suasana lambung

dan memudahkan untuk migrasi dari lambung menuju esofagus dan mulut.7

Pada hasil gambaran USG pasien di RSUD Meranti juga ditemukan adanya,

gambaran abses hati multipel dan sludge pada kantong empedu. Ketika terjadi kontak

antara cacing a. Lumbricoides dan asam lambung, cacing a. Lumbricoides akan

merubah arah migrasi menuju anus. Terkadang cacing a. Lumbriocoides akan masuk

menuju traktus bilier untuk menghindari asam lambung dan kemudian akan

mengobstruksi dukstus bilier dan kemudian dapat menuju hati. Hepatobilliary dan

pankreatik ascariasis (HPA) sering terjadi pada negara berkembang dan merupakan

etilogi dari 36,7% penyakit bilier, 23% pankreatitis akut, 14,5% abses hepar, dan
12,5% batu saluran empedu.8 Abses hati yang disebabkan oleh askariasis cukup sering

ditemukan, sebuah laporan kasus oleh George, memberikan gambaran kasus yang

sama yaitu multiple abses hepar pada pemeriksaan biopsi.9

Terapi yang diberikan pada kasus ini yaitu ceftriaxone, metronidazole,

ketorolac, ranitine, dan albendazole. Pengobatan untuk askariasis dan trikuriasis yaitu

albendazole 400 mg, obat diberikan selama 3 hari. Albendazole dapat menurunkan

jumlah telur sebanyak 90-99% dan mempunyai angka kesembuhan 70-90%.

Meskipun jarang, dapat terjadi reinfeksi ataupun infeksi menetap apabila terdapat

cacing yang masih selamat setelah terapi sehingga albendazole diberikan selama 3

hari pada kasus trikuriasis. Albendazole dapat membunuh parasit mulai dari bentuk

telur, larva hingga cacing dewasa. Terapi antibiotik diberikan dengan spektrum luas,

meliputi ceftriaxone dan metronidazol sebagai tatalaksana awal terhadap abses hepar.1

Ketika pasien sampai di RSUD AA, pasien dengan keluhan mual dan muntah

sudah berkurang namun keluhan nyeri perut masih ditemukan. Pada pemeriksaan

laboratorium, telah tidak ditemukan lagi telur cacing ataupun amuba. Hal ini

membuat diagnosis lebih mengarah kepada hepatobilliary hepatic ascariasis. Pasien

kemudian dilakukan pemeriksaan USG hepar ulang dan ditemukan adanya multiple

cystic hepar, dan direncanakan untuk melakukan CT Scan untuk lebih

mengidentifikasi gambaran kista/abses pada hepar. Pada 90% kasus, diagnosis untuk

abses hepar dilakukan dengan pencitraan radiologis.10 Metode diagnostik yang paling

sering digunakan yaitu ultrasonografi (USG) konvensional dan CT Scan. Kedua

metode ini mempunyai sensitivitas 96-100% untuk mendeteksi abses hepar.11

Meskipun memiliki sensitivitas yang tinggi, penelitian oleh Lin et al menemukan


bahwa pemeriksaan dengan USG dapat memberikan hasil yang equivocal (ambigu),

pada 25% dan dapat memberikan hasil false negatif pada 14% kasus.12

Gambar. Hasil CT-Scan menunjukkan abses hepar multiple

Nyeri yang timbul pada pasien datang dicurigai disebabkan adanya inflamasi

pada hepar. Ketika dilakukan pemeriksaan, pada pemeriksaan fisik abdomen pada

pasien didapatkaan adanya massa pada abdomen kuadran kanan bawah dan teraba

nyeri pada penekanan. Atas indikasi teraba massa dan tujuan diagnostik, pada hari

rawatan ke 7 pasien dilakukan pemeriksaan kolonskopi. Pada pemeriksaan


kolonoskopi tidak ditemukan cacing, namun ditemukan adanya tumor pada kolon

ascendens, biopsi dilakukan untuk mendapatkan gambaran tumor pada kolon.

Pada anamnesis pasien, pasien sebelumnya sering mengeluhkan nyeri perut

ringan sejak 4 bulan SMRS. Pasien tidak pergi berobat dikarenakan keluhan

dirasakan tidak berat, namun pasien mengaku sering merasa cepat lelah. Kanker pada

daerah caecum sering dikenal dengan ‘silent’ hingga tumor bertambah ukuran

sehingga menimbulkan gejala. Mayoritas pasien dengan kanker pada caecum

memiliki gejala awal berupa nyeri pada abdomen namun banyak dari pasien berikut

memiliki keluhan penyakit lain yang lebih dominan atau nyeri pada abdomen tidak

menyebabkan gangguan fungsional sehingga pasien umumnya tidak pergi berobat

atau terjadi misdiagnosa.3

Kanker colon umumnya terjadi pada pasien >50 tahun dikarenakan adanya

inflamasi berulang dan perubahan aktivitas usus pada individu usia lanjut. 3 Kasus

kanker kolorektal sendiri merupakan kasus yang sangat jarang ditemukan pada anak-

anak dengan angka kejadian 1 dari 10 juta individu <20 tahun. 13 10-30% dari kasus

kanker kolorektal memiliki faktor predisposisi, seperti familial adenomatous

polyposis (FAP), ulcerative colitis, Crohn disease, dan Peutz-Jegher syndrome.

Microsatelite instability (MSI) merupakan mutasi genetik yang terpenting dalam

terbentuknya kanker kolorektal pada aanak-anak dan disebabkan oleh gangguan

sistem ketidakcocokan perbaikan DNA (DNA mismatch repair system). Gangguan

MSI sering menyebabkan timbulnya kanker kolorektal pada usia muda (Lynch

syndrome) yang dikenal juga dengan hereditary nonpolyposis colorectal cancer

syndrome (HNPCC)14
Pada pasien ini, tumor kolon ditemukan pada daerah kolon ascendens, dimana

tempat hidup utama dari cacing T. Trichuira.1 Pasien juga memiliki riwayat BAB

mengeluarkan cacing 2 tahun yang lalu, dan kebiasan sanitasi yang buruk (poor

sanitation) sehingga dapat disimpulkn bahwa pasien berikut mempunyai resiko yang

tinggi terjadinya trichuriasis yang kronis. Sebuah penelitian in vivo pada tikus yang

terinfestasi cacing trichuris yang dilakukan oleh Sadewa menyatakan trikuriasis dapat

meningkatn pembentukan kanker kolorektal. Mekanisme dari neoplasma yang

disebabkan oleh trikuris masih belum jelas namun, mungkin dapat disebabkan

infestasi kronis dari cacing trichuris dapat menginduksi aktivasi dari sel T regulator.15

Sebuah laporan kasus oleh Bahon, menemukan adanya neoplasma pada kolon

ascendens yang disertai adanya infestasi dari trikuris yang berat. Infeksi T. Trikuira

yang berat sering berhubungan dengan dengan gejala kolitis yang dikenaal dengan

trichuris dysentery syndrome (TDS). Trikuriasis berhubungan dengan ditemukannya

tumor granulomatosa pada kolon.16

Pasien juga memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol pada umur muda. Suatu

studi oleh Wang menyebutkan pengkonsumsi alkohol memiliki 13% peningkatan

reisko terjadinya kanker kolorektal. 17 Kejadian kanker kolorektal sangat berhubungan

dengan lingkungan dan gaya hidup. Konsumsi alkohol dan metabolisme terhadap

alkohol dapat menyebabkan konsekuensi molekular multipel yang memicu timbulnya

karsinogenesis.18

Terapi pada kasus ini difokuskan pada abses hepar dan tatalaksana kanker

kolorektal. Sebuah laporan kasus oleh Rabelo, terapi pilihan pada kasus abses hati

yang disebabkan askariasis intrahepatik dimulai dengan pemberian obat


antihelmintik. Apabila abses telah terbentuk, dapat dilakukan drainase dan reseksi

dari segmen hati yang terinfeksi.19 Tatalaksana untuk kanker kolorektal meliputi

pembedahan, terapi radiasi, dan terapi menggunakan obat-obatan

(kemoterapi/immunoterapi).20

Prognosis pada pasien dan kualitas hidup (quality of life) pada anak-anak

dengan kanker kolorektal tergantung dari gambaran keganasan dari kanker kolorektal

tersebut. Umumnya pada anak-anak yang terdiagnosa dengan kanker kolorektal

memiliki prognosis yang buruk. Hal ini disebabkan pada orang dewasa

adenokarsinoma musinus terjadi pada 5% kasus kanker kolorektal. Pada anak-anak

lebih dari 50% pasien didiagnosa dengan kanker kolorektal tipe adenokarsinoma yang

memiliki prognosis yang buruk. Apabila pasien didiagnosa dengan kanker kolorektal

yang dapat disembuhkan, maka reseksi total adalah tatalaksana yang tepat. Tumor

pada sisi kiri kolon dilakukan subtotal kolektomi, dan tumor pada sisi kanan

memerlukan hemikolektomi memanjang (extended hemicolectomy).21

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson textbook ed 20
2. Kemenkes kolorektal cancer
3. An introduction to the symptomps and signs of surgical dissease
4. Nelson essential 7th
5. foundation of parasitology ed 9th
6. jurnal palu profil obat
7. yuya kobayashi, ascaris lumbri, discharge from mouth
x. cari dapus untuk mekanisme kerja ppi
8. khuuro,ascariasis, 1997
9. multiple hepatic abscess due to a.l george
10. Lardière-Deguelte S, Ragot E, Armoun K, Piardi T, Dokmak S, Bruno O, et al. Hepatic
abscess: diagnosis and management. J Visc Surg. 2015;152:231–243. doi:
10.1016/j.jviscsurg.2015.01.013.
11. theraphy of liver abscess
12. Diagnosis of pyogenic liver abscess by abdominal ultrasonography in the emergency
department.
Lin AC, Yeh DY, Hsu YH, Wu CC, Chang H, Jang TN, Huang CH
Emerg Med J. 2009 Apr; 26(4):273-5.

13. Sporadic adenocarcinoma of the colon in children: case series and review of the
literature.
Blumer SL, Anupindi SA, Adamson PC, Lin H, Price AP, Markowitz RI, Kramer SS
J Pediatr Hematol Oncol. 2012 May; 34(4):e137-41.

14. CARE—Pediatric Colon Adenocarcinoma


A Case Report and Literature Review Comparing Differences
in Clinical Features Between Children and Adult Patients

15.
Trichuriasis Can Induce the Development of Intestinal Neoplasia

16. Colonic obstruction and perforation related to heavy Trichuris trichiura infestation

17. A pooled analysis of alcohol intake and


colorectal cance
18. Colorectal Cancer and Alcohol Consumption—
Populations to Molecules
19. Intrahepatic ascariasis leading to liver abscess
20. https://www.cancer.net/cancer-types/colorectal-cancer/types-treatment
21. Two case reports: Colorectal adenocarcinoma in children

DD : polykistic liver dissease


Pyogenic liver abscess
Echinococcus infection
Askaris suum, dimana riwayat makan babi mentah, pig parasit, dan larvaa si cacing ini
tinggalnya di hati selama 48 jam

Anda mungkin juga menyukai