Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kematian otak adalah suatu keadaan dimana terjadi kehilangan fungsi otak

secara menyeluruh dan bersifat permanen, termasuk fungsi batang otak.1

Dibeberapa negara, kematian otak dijadikan kriteria kematian somatis (kematian

klinis) meskipun sistem kardiovaskular dan pernapasan masih berfungsi karena

alat bantu medis. Meskipun Indonesia telah menentukan kriteria kematian secara

legal adalah kematian batang otak, tetapi kematian otak masih menjadi masalah

etik dan medikolegal.2 Pasien yang mengalami kematian otak akan mengubah

hubungan dokter dengan pasien karena menjadi perawatan yang tidak biasa

(extra-ordinary care).

Hubungan dokter dan pasien yang bersifat impersonal horizontal

contractual menjadi semi-paternalistik. Kaidah dasar moral beneficence dan non-

maleficence mengalami dilemma bila dihadapkan pada penentuan keputusan

dalam penanganan pasien dengan kematian otak terutama bila berhubungan

dengan transplantasi organ kadaver.3 Demikian juga dari sudut clinical ethicis,

penentuan diagnosis kematian otak menjadi isu etik yang dominan dalam

quadrant medical indications.4 Masalah etik dan medikolegal lain sehubungan

penanganan pasien dengan kematian otak meliputi kesia-siaan medis (medical

futility), personhood, euthanasia dan donor kadaver transplantasi organ.

1
1.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah:

1. Memahami dan mengetahui tentang aspek medikolegal pada kematian

otak.

2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran

khususnya di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.

3. Memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan Klinik Senior di Bagian

Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran

Universitas Riau Rumah Sakit Bhayangkara Pekanbaru.

1.3 Metode penelitian

Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu

pada beberapa literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kematian otak dan masalah medis

Kematian otak merupakan keadaan ketika otak secara menyeluruh,

termasuk batang otak (brain stem) mengalami kehilangan fungsi secara

permanen.1 Disfungsi otak secara menyeluruh dapat dikarenakan kerusakan

struktur otak besar atau karena menurunnya aliran darah ke otak sehingga

mengalami kekurangan oksigenasi. Pada keadaan ini semua refleks otak negatif

dan tidak ada pernafasan spontan karena pusat nafas dan pusat-pusat neurogenik

lainnya mengalami kerusakan pada batang otak.5

Penentuan kematian pada masing-masing negara berbeda-beda tergantung

dari pandangan hukum di Negara tersebut. Beberapa Negara menggunakan

kematian otak adalah kriteria kematian (brain death is death). Negara yang

pertama mengadopsi secara legal kematian otak sebagai definisi kematian adalah

Finlandia pada tahun 1971. Selanjutnya di beberapa negara bagian di Amerika

Serikat seperti Kansas menggunakan legal reasonning yang sama.

Di Indonesia, kriteria kematian sec]ara legal adalah kematian batang otak

(brain stem death is death). Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan pada pasal 117 menjelaskan secara rinci definisi kematian yaitu

“seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem

pernafasan terbukti telah terhenti secara permanen, atau apabila kematian batang

telah dapat dibuktikan”.2 Alasan-alasan medis (medical reasonning) yang

mendukung aspek hukum kematian adalah kematian batang otak antara lain:

3
1. Secara fisiologis, batang otak merupakan bagian otak yang paling resisten

terhadap kekurangan oksigen (hipoksia) sehingga bila terjadi kehilangan

fungsi batang otak, maka bagian otak yang lain yang lebih sensitif

terhadap hipoksia sudah mengalami kerusakan terlebih dahulu.

2. Secara anatomi, batang otak sebagai lokasi pusat vital tubuh. Kehilangan

fungsi batang otak mengindikasikan pusat vital tubuh termasuk pusat nafas

tidak berfungsi yang ditunjukkan kehilangan semua refleks dan kehilangan

nafas spontan.

Dalam perkembangannya, kajian etika dan medikolegal sangat diperlukan

terhadap kematian otak sebagai indikasi kematian karena berkembangnya

transplantasi organ yang memerlukan organ donor dengan kualitas yang baik.

Organ yang ditransplantasikan setelah kematian klinis (kematian somatik) akan

mengalami kerusakan secara progresif menuju kematian seluler (kematian

molekuler), sehingga semakin awal penentuan kematian somatik akan semakin

mengurangi kerusakan progresif organ yang akan didonorkan. Dengan adanya

kriteria kematian otak, seseorang dapat dinyatakan sudah meninggal secara legal

meskipun jantung masih terasa berdenyut oleh bantuan alat bantu kehidupan.

Masalah medis yang timbul dari penentuan kematian otak meliputi,

pertama apakah kerusakan otak tersebut memungkinkan pasien untuk bertahan

hidup secara layak dengan bantuan alat pernafasan dan peralatan pendukung

lainnya, dan yang kedua sulitnya menentukan secara pasti bahwa lesi serebral

pada pasien dapat disimpukan telah bersifat permanen (irreversible).

4
2.2 Aspek etik kematian otak dilihat dari hubungan dokter dan pasien

Etika merupakan pemikiran kritis secara filosofis tentang nilai moral yang

dipelajari dalam hidup masyarakat. Etika lahir dan berkembang karena hubungan

antar individu sebagai mahluk sosial. Demikian juga etika kedokteran lahir

sebagai pedoman tatanan dalam hubungan antara dokter dengan pasien. Etika

kedokteran didefinisikan sebagai pedoman dan rambu-rambu sistematis bagi

perilaku etis seorang dokter secara khusus dalam hubungan profesional dan

hubungan kemanusiaan dengan pasien (hubungan dokter dengan pasien) agar

dokter tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moral, terkait dengan

kehidupan, kesehatan dan kematian pasien. Dari definisi ini jelas bahwa etika

kedokteran mengatur hubungan dokter dengan pasien dalam hubungan profesional

dan hubungan kemanusiaan.1

Hubungan dokter dengan pasien berubah sesuai dengan perkembangan

ilmu kedokteran dan kompleksitas masalah kesehatan. Pada awalnya hubungan

dokter dengan pasien bersifat interpersonal paternalistik dimana dokter

memegang peran paling utama, setiap keputusan medis ditentukan oleh dokter

(father knows best). Hubungan paternalistik ini menunjukkan hubungan dokter

dengan pasien sebagai hubungan pertolongan (Hulpverlenen).

Hubungan dokter dan pasien mulai berubah seiring dengan

berkembangnya hak otonomi (the rights to self determination) sejak tahun 1947

dan mulailah babak baru etika kedokteran kontemporer menggantikan norma etika

tradisional sebelumnya. Etika kedokteran kontemporer ditandai dengan hubungan

dokter dan pasien yang bersifat impersonal horizontal contractual yang

melibatkan pasien dalam bentuk informed consent. Otonomi pasien menjadi salah

5
satu hak asasi yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak Asasi Dunia (Universal

Declaration on Human Rights). Setiap tindakan medis harus diinformasikan

secara adekuat dan lengkap oleh dokter sampai dimengerti oleh pasien dan pasien

mengambil keputusan medis yang diinformasikan. Hubungan impersonal

horizontal contractual merupakan pembatas etik bagi dominasi profesi dokter dan

menumbuhkan rasa humanis profesi dengan menghormati hak pasien.

Pada pasien dengan kematian otak timbul dilema etik yang berhubungan

dengan hubungan dokter dengan pasien dan otonomi pasien. Kondisi dari pasien

mengharuskan dokter mengambil keputusan lebih dominan dan mempunyai hak

istimewa dalam mengambil keputusan medis. Hubungan dokter dengan pasien

dalam kondisi seperti ini kembali seperti hubungan paternalistik. Dokter sebagai

penentu utama tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien. Dalam

situasi seperti ini etika kedokteran sangat diperlukan dalam memberi pedoman

dan tuntunan bagi profesi dokter dalam kekuasaan medis berlebih. Pasien dengan

kematian otak memiliki analogi yang sama dengan pasien yang menggunakan hak

Waiver, yaitu hak dari pasien untuk melepas hak informasi terhadap dirinya

sepanjang diberikan penanganan medis yang sesuai.

Pasien dengan kematian otak masih memiliki keluarga yang dapat

mewakili pasien (proxy). Keluarga memiliki hak yang sama dalam menerima

informasi atau memutuskan tindakan medis terhadap pasien (proxy consent).

Keluarga harus selalu dilibatkan menggantikan pasien, sehingga hubungan dokter

dengan pasien menjadi semi-paternalistik.

6
2.3 Kajian etik kematian otak dari sudut kaidah dasar moral

Etika sebagai pemikiran filosofis secara garis besarnya melakukan

pendekatan etik dari dua komponen yaitu pendekatan teori etika dan kaidah dasar

moral (kaidah dasar bioetika). Dalam pendekatan teori etika, etika dianalisa dari

teori Agent (virtue), deontologis dan teleologis. Teori Agent menitikberatkan nilai

keutamaan yang menjadi penjabaran nilai moral. Deontologis mengkaji etik dari

sudut tindakan sedangkan teleologis lebih memandang hasil atau akibat dari

tindakan sebagai ukuran etik. Pendekatan kaidah dasar moral, menganalisa etika

dari kaidah beneficence (berbuat baik), non-maleficence (tidak merugikan),

autonomi dan justice.6

Analisa filosofis pada pasien dengan kematian otak dari sudut pandang

teori etika adalah dokter untuk selalu menjunjung tinggi nilai keutamaan (virtue)

seperti sifat empati, welas asih (compession) dan jujur (probity) kepada keluarga

pasien. Dilema etik dalam konteks pasien dengan kematian otak adalah dilema

antara deontologis dan teleologis, apa yang harus dilakukan dokter dalam

mempertimbangkan akibat atau hasil (teleologis) dari tindakan medis yang

dilakukan (deontologis). Apakah tindakan dokter menghentikan pemberian alat

bantu pernafasan dan alat pendukung lainnya adalah etis untuk menjaga kualitas

organ yang akan didonorkan (teleologis).

Kaidah dasar moral yang dominan dianalisa pada penanganan pasien

dengan kematian otak adalah kaidah non-maleficence. Setiap keputusan dan

tindakan medis yang dibuat oleh dokter tidak boleh memperburuk keadaan pasien

(primum non nocere). Dokter tidak akan memperburuk keadaan pasien dengan

tindakan-tindakan medis yang tidak diperlukan dan tidak bermanfaat bagi pasien.

7
Dipandang dari kaidah dasar moral beneficence, dokter mengalami dilema

etik dari sudut pandang prinsip beneficence positif (positive beneficence

principles) maupun balancing of utillity. Berdasarkan prinsip beneficence positif,

seorang dokter harus berbuat baik dengan mencegah hal buruk pada pasien

(prevent evil or harm), menghilangkan hal buruk pada pasien (remove evil or

harm) dan meningkatkan sesuatu yang menguntungkan pasien (do or promote

good). Sehubungan pasien dengan kematian otak, prinsip beneficence positif

sangat terbatas bisa diterapkan hanya dokter dapat melakukan tindakan yang tidak

memperburuk keadaan pasien. Dilemma etik lebih terlihat kalau dipandang dari

sudut balancing of utillity, dimana dokter menghadapi dua pilihan antara

penghentian alat bantu medis dengan kualitas organ yang akan didonorkan oleh

pasien. Dari konsep balancing of utillity, dokter secara etis akan mengambil

tindakan yang lebih menguntungkan dengan mempertimbangkan kerugian secara

proporsional.

Kaidah dasar turunan pada kasus kematian otak salah satunya adalah

veracity (truth telling) yaitu perilaku dokter yang selalu jujur dalam

menyampaikan semua informasi medis kepada pasien. Pada kematian otak,

veracity dilakukan terutama kepada keluarga pasien yang harus selalu dilibatkan

dalam setiap mengambil keputusan medis.

2.4 Kajian etik kematian otak dari sudut Clinical Ethics

Clinical ethics adalah pendekatan terstuktur isu etik, sehingga seorang

dokter dapat membuat keputusan klinis dan sekaligus mengambil keputusan etik.

Isu etika dianalisa dari empat komponen pendekatan yaitu:4

8
a. Medical Indication merupakan penerapan kaidah dasar moral beneficence

dan non-maleficence.

b. Patient preferences menerapkan otonomi pasien.

c. Quality of life menerapkan kaidah dasar moral beneficence dan non-

maleficence.

d. Contextual features yang menerapkan justice dan kondisi lain yang

berhubungan dengan pasien.

Pada kematian otak, komponen clinical ethics yang paling dominan untuk

dipertimbangkan yaitu penegakan diagnosis harus sesuai dengan indikasi medis

(medical indication). Penegakan diagnosis kematian otak harus secara akurat

karena akan diikuti oleh tindakan dan keputusan medis sesuai dengan indikasi

medis yang dibuat. Penegakan diagnosis kematian otak menjadi hal yang paling

penting dan paling mendasar dari segi etika medis, sehingga penegakan diagnosis

harus berdasarkan fakta medis dan mengikuti standar-standar kriteria kematian

otak yang sudah berlaku umum di dunia.5 Kriteria kematian otak dari Harvard

sebagai metode terstruktur untuk mendiagnosis kematian otak sudah disusun dan

selanjutnya Mohandes dan Chou mengusulkan kriteria Minnesota dapat

diaplikasikan dalam penegakan diagnosis kematian otak.

Dilihat dari patient preferences, pasien dengan kematian otak tidak

memiliki otonomi lagi, sehingga semua keputusan medis menjadi hak istimewa

dari dokter. Dokter harus mempertimbangkan hak otonomi tersebut diambil alih

oleh keluarga pasien, sehingga segala sesuatu keadaan pasien dan tindakan medis

yang akan dilakukan harus izin dari keluarga pasien. Komunikasi medis dengan

9
keluarga pasien merupakan keharusan tindakan etik profesi dokter dalam

menangani pasien.

Kualitas hidup pasien (quality of life) dari pasien dengan kematian otak

harus dipertimbangkan secara etika. Pengalaman klinis pada pasien dengan

kematian otak sudah menunjukkan disfungsi otak secara keseluruhan dan bersifat

permanen, sehingga tindakan medis apapun akan sia-sia pada pasien (medical

futillity) dan resusitasi jantung dan paru tidak akan bermanfaat (do not

resusciated). Secara clinical ethics yang bisa dilakukan oleh dokter adalah

memegang teguh kaidah dasar moral non-maleficence dengan tidak melakukan

tindakan medis yang tidak menambah penderitaan bagi pasien.

Komponen contextual features yang menjadi pertimbangan etik adalah

semua kondisi yang berhubungan dengan pasien termasuk budaya, keragaman dan

keadilan (justice). Komunikasi dengan keluarga memiliki andil yang besar dan

utama dalam mempertimbangkan kondisi ini.

2.5 Kematian otak dan kesia-siaan medis (medical futillity)

Medical futility terdiri dari dua komponen, yaitu kualitatif dan kuantitatif.

Secara kuantitatif hal ini dijelaskan pada tulisan Hippocrates, “Whenever the

illness is too strong for the available remedies, the physician surely must not

expect that it can be overcome by medicine to attempt futile treatment is to display

an ignorance that is allied to madness. (Hippocratic Corpus in Reiser, Dyck, and

Curran 1977)”. Dari tulisan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa jika suatu

penyakit tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan yang ada, seorang klinisi

hendaknya tidak perlu melakukan pengobatan lainnya yang bersifat sia-sia. Secara

kualitatif dijelaskan pula pada tulisan Republic oleh Plato pada tahun 1981, yaitu

10
“For those whose lives are always in a state of inner sickness Asclepius did not

attempt to prescribe a regime to make their life a prolonged misery. A life with

preoccupation with illness and neglect of work is not worth living.” Pada tulisan

tersebut digambarkan bahwa melakukan tindakan atau pengobatan yang kurang

bermanfaat pada seseorang yang sedang dalam kondisi kesakitan yang tidak bisa

ditangani lagi hanya akan menambah penderitaan pasien. Akan tetapi hingga saat

ini masih menjadi perdebatan di antara klinisi dalam membedakan mana tindakan

yang bernilai sia-sia, dan kapan waktu yang tepat untuk melanjutkan atau

menghentikan terapi pada pasien yang tidak memperoleh manfaat dari terapi

tersebut.

Tindakan medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini

dipertimbangkan untuk tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat dibenarkan

apabila tindakan tersebut dihentikan. Pertimbangan ini sebenarnya bukan

pertimbangan baru, melainkan pertimbangan yang telah ada pada zaman

Hippocrates, yang dikenal sebagai anjuran “to refuse to threat those who are

overmastered by their disease, realizing that in such cases medicine is

powerless”. Namun demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah

tindakan sia-sia haruslah diambil dengan melalui pertimbangan yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Dalam menentukan jenis pemberian terapi apa yang tepat untuk pasien

memerlukan pertimbangan dari segi risk dan benefit. Istilah medical futility

digunakan apabila pasien tidak dapat menerima manfaat dari terapi yang

diberikan. Dalam dunia kedokteran, kepastian kesembuhan adalah hal yang tidak

bisa dijanjikan karena respon yang berbeda dari setiap pasien terhadap suatu

11
pengobatan. Selama ini terapi yang diberikan adalah berdasarkan evidence-based

medicine, namun hal ini juga tidak dapat menjanjikan kesembuhan.

Jika ditinjau dari aspek otonomi pasien, maka pasien berhak untuk

mendapat pengobatan berdasarkan keinginannya. Pada pasien dengan kematian

otak dan penggunaan ventilator, di mana keluarga meminta dokter untuk

melakukan tindakan apapun untuk mempertahankan kondisi pasien, sedangkan

pasien tidak dapat dimintai pendapatnya. Secara medis, penggunaan ventilator

pada pasien vegetative state tidak memberikan manfaat namun secara etik

berdasarkan prinsip otonomi, dokter perlu mempertimbangkan keinginan dari

keluarga. Jika penggunaan ventilator dilanjutkan, tindakan tersebut digolongkan

sebagai medical futility.

2.6 Kematian otak dan medical personhood

Beragamnya serta kompleksitasnya pendapat mengenai pengertian dari

personhood menyebabkan banyak kontroversi dalam dunia filosofi barat,

khususnya dari segi bioetik. Dalam pemahaman tradisional semua manusia adalah

orang tanpa melihat tingkat dari maturitas dan kelainan yang ada. Menurut Jhon

Locke, orang (person) adalah mahluk yang dapat berpikir secara cerdas, mampu

melakukan refleksi terhadap diri dan lingkungan. Hal yang sama juga

diungkapkan oleh Singer, ia berpendapat bahwa orang (person) adalah sesuatu

yang memiliki kewaspadaan diri, kontrol diri, memiliki pemikiran tentang masa

depan dan masa lalu, dan memiliki kapasitas untuk berinteraksi dengan yang lain.

Selain itu, singer juga menambahkan kesadaran diri dan rasionalitas adalah

karakterisitik yang sangat penting untuk mengatakan seseorang sebagai orang.

12
Pada kasus dimana seseorang mengalami kematian otak atau mengalami

vegetative state, seseorang mengalami kehilangan kemampuannya dalam

berinteraksi dengan lingkungan, kehilangan kesadaran dirinya dan juga

kehilangan rasionalitas terhadap dirinya. Hal ini menimbulkan keraguan bagi

seorang dokter untuk tetap melanjutkan perawatan atau menghentikan perawatan.

Pada kasus kematian otak atau pada kasus vegetative state, probabilitas seseorang

untuk dapat kembali pulih sangatlah kecil. Atas dasar tersebutlah dalam dunia

medis anjuran penanganan pasien dengan kasus mati otak dan vegetative state

adalah support hidup yang bersifat pasif. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah

sampai kapan orang dengan kasus tersebut harus ditangani.

Apabila dilihat dari segi medis kematian batang otak sudah dapat

dikatakan bahwa seseorang tersebut telah meninggal. Hal ini juga sesuai dengan

teori personhood yang diungkapkan oleh Jhonlocke seseorang yang telah

kehilangan karakteristiknya sebagai manusia sudah tidak dapat dikatakan sebagai

person melainkan orang tersebut tergolong sebagai human being atau sesuatu

yang hanya memenuhi badaniahnya saja. Atas dasar ini sangatlah mungkin dan

legal bagi seorang dokter untuk menghentikan pengobatan pada kasus pasien

seperti diatas. Menghentikan pengobatan yang dimaksud disini adalah termasuk

mencabut alat bantu hidup pada pasien tersebut

Namun dari sisi kontra mengatakan bahwa pencabutan alat bantu pasien

merupakan pelanggaran bioetik sebagai seorang dokter. Dokter dianggap tidak

memperlakukan pasiennya sebagai manusia secara utuh. Dokter dianggap tidak

mengamalkan prinsip bioetik yang ada terutama beneficence dan non-maleficence.

13
Apabila dilihat dari aspek lain, melanjutkan penggunaan alat bantu hidup

pada seseorang yang memiliki probabilitas hidup yang sangat kecil akan

memberikan kesan bahwa dokter tidak mampu untuk menentukan prioritas dari

pasien yang lebih membutuhkan pengobatan. Hal ini jelas akan lebih bermanfaat

apabila alat bantu hidup diberikan kepada pasien yang memiliki peluang hidup

yang lebih tinggi mengingat keterbatasan alat bantu hidup yang ada pada instalasi

kesehatan.

2.7 Aspek mediko-legal euthanasia dan transfer organ

Pada pasien dengan kematian otak, terdapat dua isu mediko-legal yang

penting yaitu euthanasia dan tranplantasi organ. Pertanyaan medis yang masih

kontroversial tentang penghentian alat bantuan hidup pada pasien yang mengalami

kematian otak adalah euthanasia atau tidak.3 Pada dasarnya euthanasia masih

dianggap sebagai pembunuhan dan dapat dikenai sanksi pidana. Adapun hukum

yang terkait dengan euthanasia yaitu pasal 344 KUHP “Barang siapa

menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-

sungguh dari orang lain itu sendiri dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya dua belas tahun”.

Ketentuan hukum diatas, bila dilakukan atas permohonan pasien atau

keluarganya dianggap sebagai euthanasia aktif, sedangkan bila dilakukan tanpa

permintaan pasien atau keluarganya tergolong kedalam euthanasia pasif.

Euthanasia aktif maupun pasif adalah tindakan yang tidak legal dan melawan

hukum.

Tranplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan

sebagian tubuh atau organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis

14
yang tidak dapat berfungsi lagi.7 Secara legal, tranplantasi hanya boleh dilakukan

untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh untuk tujuan komersial. Hal ini diatur

dalam pasal 33 ayat 2 UU no 23 tahun 1992.8

Pengaturan hukum tentang tranplantasi organ diatur secara lebih rinci

dalam UU no 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan PP No 18 Tahun 1981

tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan

jaringan tubuh manusia.2,9

15
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Kematian otak merupakan keadaan ketika otak secara menyeluruh,

termasuk batang otak (brain stem) mengalami kehilangan fungsi secara permanen.

Di Indonesia, kriteria kematian secara legal adalah kematian batang otak yang

diatur dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pada pasal

117 menjelaskan secara rinci definisi kematian yaitu “seseorang dinyatakan mati

apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah

terhenti secara permanen, atau apabila kematian batang telah dapat dibuktikan”.

Kematian otak berdasarkan isu etika dapat dianalisa dari empat komponen

pendekatan yaitu medical indication, patient preferences, quality of life dan

contextual features.

3.2 Saran

Berdasarkan teori diatas dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Perlunya pengetahuan mengenai ilmu aspek medikolegal terhadap

kematian otak yang melibatkan multidisiplin ilmu untuk mencapai hasil

yang maksimal.

2. Perlunya penulisan ilmiah lebih lanjut untuk mengetahui aspek-aspek yang

berperan terhadap medikolegal kematian otak.

16
Daftar Pustaka

1. Lazar NM, Shemie S, Webster GC, Dickens BM. Bioethics for clinicians:

Brain death. CMAJ. 2001;164(6):833-836.

2. Departemen Kesehatan RI. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta Kementeri Kesehat RI. 2009.

3. Arnet WF. Criteria for Determining Death in Vital Organ Transplants - A

Medico-Legal Dilemma. Miss Law Rev. 1973;38(2):220-233.

4. Schumann JH, Alfandre D. Clinical Ethical Decision Making: The Four

Topics Approach. Semin Med Pract. 2008;11:36-42.

5. Natori Y. Legal Determination of Brain Death. JMAJ. 2011;54(6):363-

367.

6. Nair-collins M. Clinical and ethical perspectives on brain death.

Medicolegal Bioeth. 2015;5:69-80.

7. Simbolon MV. Transplantasi Organ Tubuh Terpidana Mati. Lex Soc.

2013;1(1):138-147.

8. Presiden Republik Indonesia. Undang Undang No 23 Tahun 1992

Tentang: Kesehatan.

9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis

dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh

Manusia.

17

Anda mungkin juga menyukai