Anda di halaman 1dari 79

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

HEMATEMESIS MELENA E.C. GASTRITIS EROSIVA

Disusun oleh:
Raehana Zulkifli
2018-84-054

Pembimbing
dr. Denny Jolanda, Sp.PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas kasih dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus
dengan judul Hematemesis Melena e.c. Gastritis Erosiva Penulisan laporan kasus
ini merupakan salah satu syarat kelulusan pada kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Penyakit Dalam di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Denny Jolanda, Sp.PD,
FINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua.

Ambon, Juni 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER ...........................................................................................................1
KATA PENGANTAR .....................................................................................2
DAFTAR ISI ...................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 4
BAB II LAPORAN KASUS ........................................................................... 6
1. Identitas ........................................................................................6
2. Anamnesis ....................................................................................6
3. Pemeriksaan Fisik ........................................................................7
4. Pemeriksaan Penunjang .............................................................10
5. Assesment ..................................................................................13
6. Tatalaksana.................................................................................13
7. Follow up ...................................................................................14
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 18
BAB IV DISKUSI .......................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................77
LAMPIRAN ...................................................................................................79

3
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah kehilangan darah dari saluran
cerna atas, di mana saja, mulai dari esophagus sampai duodenum (dengan batas
anatomik di ligamentum Treitz) dengan manifestasi klinis berupa hematemesis,
melena, hematoskezia atau kombinasi.1,2
Suatu studi endoskopik pada pasien-pasien dengan keluhan dispepsia,
yang dilakukan pada beberapa kota besar di Indonesia, menunjukkan ulkus
peptikum, yakni ulkus gaster dan duodenum, masuk dalam 5 besar penyebab
dispepsia. Kejadian perdarahan SCBA menunjukkan adanya variasi geografis
yang besar mulai dari 48-160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih
tinggi pada pria dan usia lanjut. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena berbagai
penyebab, mulai dari perbedaan definisi perdarahan SCBA, karakteristik populasi,
prevalensi obat-obatan penyebab ulkus dan Helicobacter pylori.1
Walaupun dengan tatalaksana optimal menggunakan endoskopi terapeutik
dan terapi penekan asam lambung, mortalitas keseluruhan perdarahan SCBA tetap
stabil dalam dekade terkini, yakni berkisar antara 6-14%. Namun demikian
sebagian besar kematian bukan disebabkan secara langsung oleh kehilangan
darah, namun lebih oleh karena intoleransi terhadap kehilangan darah, syok,
aspirasi dan prosedur terapeutik. Mortalitas oleh karena perdarahan SCBA
dikaitkan dengan usia lanjut dan adanya komorbiditas berat. Risiko mortalitas
juga meningkat dengan perdarahan berulang, yang merupakan parameter luaran
mayor.1
Perdarahan ulkus peptikum (PUP) merupakan penyebab tersering
perdarahan SCBA, berkisar antara 31% sampai 67% dari semua kasus, diikuti
oleh gastritis erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan
Mallory-Weiss. Pada subgrup pasien dengan PUP, perdarahan oleh karena ulkus
duodenum sedikit lebih banyak dibandingkan ulkus gaster.1,2
Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan distribusi, data lama didapatkan

4
bahwa ± 70% penyebab dari perdarahan SCBA adalah karena varises esofagus
yang pecah. Namun demikian, diperkirakan, oleh karena semakin meningkatnya
pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi pasien usia
lanjut, maka proporsi perdarahan oleh karena ulkus peptikum meningkat.1
Data dari salah satu RS di Indonesia (RS Sanglah, Bali) didapatkan bahwa
penyebab perdarahan saluran cerna terbanyak yaitu ulkus peptikum, diikuti
gastritis erosif. Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan pada 4.154 pasien
yang menjalani endoskopi selama tahun 2001-2005 di Pusat Endoskopi Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, sebanyak 807 (20,15%) orang mengalami
perdarahan SCBA. Studi ini juga menunjukkan penyebab tersering dari
perdarahan SCBA adalah pecahnya varises esofagus (280 kasus, 33,4%) diikuti
dengan perdarahan ulkus peptikum (225 kasus, 26,9%), dan gastritis erosiva (219
kasus, 26,2%).1

5
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. LH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 25 April 1964
Umur : 54 Tahun
Pekerjaan : Kuli bangunan
Agama : Islam
Alamat : Stain, Batu Merah
No. RM : 14-67-18
Tanggal MRS : 17 Mei 2019
B. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis
a. Keluhan Utama :
Muntah darah
b. Keluhan Tambahan :
Nyeri ulu hati, pusing, keringat dingin, dan lemas.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan muntah darah berwarna merah segar sejak ±
5 jam SMRS. Muntah dialami sebanyak 3 kali. Muntah yang dialami
masing-masing sebanyak ± 1 aqua gelas. Sebelumnya pasien mengaku
sudah mengalami muntah yang sama sebanyak 2 kali yang dialami sejak 1
hari sebelumnya. Sebelum muntah pertama kali pasien mengaku memakan
mangga muda dengan sambal untuk berbuka puasa. Kurang lebih satu jam
setelah memakan mangga pasien mengalami muntah darah tersebut.
Keluhan diawali dengan nyeri ulu hati, pusing dan keringat dingin. Nyeri
dirasakan seperti perih dan panas. Nyeri ulu hati tidak disertai dengan
mual. Keesokan harinya pada pagi hari pasien mengeluhkan lemas dan

6
kembali muntah sebanyak 3 kali lalu pergi ke puskemas dan disarankan
untuk langsung ke RS. Pada bulan Februari lalu, pasien juga mengalami
keluhan yang sama setelah memakan buah mangga muda dalam keadaan
perut yang kosong dan sempat di rawat di RS Bhayangkara selama 1
minggu. Selain itu, pasien mengaku sering mual setelah makan jika pasien
terlambat makan. Buang air besar dan buang air kecil normal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat Sakit Serupa : Mengalami keluhan serupa pada tanggal 21
Februari 2019 (3 bulan yang lalu). Keluhan juga dialami setelah pasien
memakan mangga muda dan sambal dalam keadaan perut kosong.
Kemudian pasien dirawat selama 1 minggu di RS Bhayangkara.
- Riwayat diabetes melitus : tidak ada
- Riwayat hipertensi : tidak ada
- Riwayat maag : Pasien mengaku sering mengalami nyeri
ulu hati sejak ± umur 20 tahun.
- Riwayat penyakit kuning : tidak ada
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Maag : disangkal
f. Riwayat Kebiasaan : Makan makanan yang asam dan pedas, makan tidak
tepat pada waktunya dan dalam porsi yang besar sekaligus, dulu pasien
sering mengkonsumsi alkohol tetapi sekarang sudah berhenti (kurang lebih
20 tahun yang lalu)
g. Riwayat Pengobatan : Pasien mengaku sering meminum antalgin untuk
menghilangkan pegal dan nyeri otot, pasien dapat meminum sebanyak 2-3
tablet dalam sehari sejak ± 20 tahun yang lalu. Riwayat pengobatan
sebelumnya di RS Bhayangkara (pasien lupa telah mendapatkan obat apa
saja). Riwayat transfusi PRC sebanyak 3 kantong di RS Bhayangkara.

7
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Mei 2019
a. Keadaan umum : Sakit Sedang
Status Gizi : Cukup (BB 70 kg, TB 163 cm, IMT 27 kg/m2)
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
b. Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 90/60 mmHg
- Nadi : 77 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernapasan : 22 x/menit
- Suhu : 36 o C melalui axilla
c. Kepala
- Bentuk Kepala : Normocephali
- Simetris Wajah : Simetris
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
d. Mata
- Bola mata : Eksoftalmus/endoftalmus (-/-)
- Gerakan : Bisa ke segala arah, strabismus (-/-)
- Kelopak mata : Ptosis (-/-), edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (+/+), ikterus (-/-)
- Kornea : Injeksi siliaris (-/-), sikatrik kornea (-/-)
- Pupil : Isokor (3 mm/3 mm), reflex cahaya langsung
(+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+)
e. Telinga
- Aurikula : Tofus (-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-),
nyeri tekan tragus (-/-)
- Pendengaran : Kesan normal
- Proc. mastoideus : Nyeri tekan (-/-)
f. Hidung
- Cavum Nasi : Sekret (-/-), darah (-/-), krusta (-/-)

8
g. Mulut
- Bibir : Mukosa bibir tampak pucat, sianosis (-), stomatitis
(-), perdarahan (-)
- Tonsil : T1/T1 tenang
- Gigi : Intak
- Faring : hiperemis (-)
- Gusi : Perdarahan (-)
- Lidah : Pucat (-), atrofi papil lidah (-), kandidiasis oral (-)
h. Leher
- Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
- DVS : JVP = 5-2 cm H2O
- Pembuluh darah : Pulsasi arteri carotis (+)
- Kaku kuduk : Negatif
i. Dada
- Inspeksi : Simetris kiri = kanan, pembengkakan abnormal (-)
- Bentuk : Normochest
- Pembuluh darah : Venektasi (-), spider naevi (-)
- Buah dada : Simetris kiri = kanan
- Sela iga : Pelebaran (-), retraksi (-)
- Atrofi M. Pectoralis Mayor (-)
j. Paru
- Inspeksi : Simetris kiri = kanan, pembengkakan abnormal (-)
- Palpasi : Fremitus raba simetris kiri = kanan, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor, batas paru hepar di linea midclavicula
dextra ICS V dengan peranjakan paru-hati 2 cm di bawahnya, batas
paru belakang kanan vertebra torakalis X, batas paru belakang kiri
vertebra torakalis XI
- Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler, bunyi tambahan ronki (-/-),
Wheezing (-/-)
k. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

9
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea mid clavicula
sinistra
- Perkusi : Redup, batas kanan jantung di ICS III-IV linea
parasternalis dextra, pinggang jantung di ICS III sinistra (2-3 cm dari
mid sternum), batas kiri jantung di ICS V linea mid clavicularis
sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I, II regular murni, murmur (-),
gallop (-)
l. Perut
- Inspeksi : Datar, striae (-), caput medusae (-)
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), hepatosplenomegali
(-), ballotement ginjal (-/-), tidak teraba masa tumor
- Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-), liver span 4 cm
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
m. Alat Kelamin :
Tidak dilakukan pemeriksaan.
n. Anus dan Rektum :
Rectal Toucher: tonus sfingter (+) normal, mukosa permukaan licin, massa
(-), feses (+) berwarna hitam, hemoroid (-).
o. Punggung :
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Nyeri ketok CVA (-/-)
p. Ekstremitas :
Ekstremitas Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Edema (-) (-) (-) (-)

Sianosis (-) (-) (-) (-)

Pucat (-) (-) (-) (-)

Ikterik (-) (-) (-) (-)

Capillary refill time < 2 detik < 2 detik < 2 detik < 2 detik

10
Eritema palmaris (-) (-) (-) (-)

Clubbing finger (-) (-) (-) (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Kimia (Tanggal 17 Mei 2019)
Kimia klinik Hasil Nilai Rujukan

GDS 104 mg/dL <140 mg/dL

Ureum 38 mg/dL 10-50 mg/dL

Kreatinin 0,8 mg/dL 0,7-1,2 mg/dL

SGOT 22 u/L < 33 u/L

SGPT 17 u/L < 50 u/L

b. Darah Rutin (Tanggal 17 Mei 2019)


Hematologi Hasil Nilai Rujukan

Eritrotsit 2,57 x 106/mm3 3,5-5,5 x 106/mm3

Hemoglobin 4,8 g/dL 14,0-18,0 g/dL

Hematokrit 16 % 40-52 %

MCV 62 um3 80-100 um3

MCH 18,7 pg 27-32 pg

MCHC 30,1 g/dL 32-36 g/dL

Trombosit 146 x 103/mm3 150-400 x 103/mm3

Leukosit 2,8 x 103/mm3 5,0-10,0 x 103/mm3

g. Pemeriksaan penunjang lain


EKG (17 Mei 2019) Dalam batas normal

USG Abdomen (23 Mei 2019) Gambaran liver mengecil dengan


echopattern meningkat
Tampak lesi slight hyperechoic yang
kasar pada RLL (Right Lobe Liver)
Tidak tampak dilatasi sistem vascular dan

11
bilier
Terdapat kista pada pole bawah ginjal
sinistra dengan diameter 4,6 cm
Kesimpulan:
Sirosis hepatis
Kista ginjal sinistra pada pole bawah

Gambar 1. Hasil EKG.

Gambar 2. Hasil USG

12
E. DIAGNOSIS
Hematemesis melena e.c. Gastritis erosiva
Anemia mikrositik hipokromik
F. DIAGNOSIS BANDING
Hematemesis melena e.c. DD/ Ruptur varises esofagus DD/ Ulkus peptikum
G. RENCANA PENGOBATAN
- IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
- Inj. Omeprazole 2x40 mg vial/IV
- Inj. Ondancentron 2x4mg amp/IV
- Inj. Transamin 3x500mg amp/IV
- Transfusi PRC 1 kolf/hari, total 4 kolf
H. RENCANA PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan Apusan Darah Tepi
- Pemeriksaan Anti virus, albumin
- USG
I. FOLLOW UP

Tanggal Follow-Up Planning

18/05/2019 S : Muntah darah (-), nyeri ulu - Diet bubur saring


hati (-), pusing (-), keringat
(Hari ke-2) dingin (-), lemas (+), mual (+), - IVFD NaCl 0,9% 20
BAB konsistensi lembek tetes/menit
berwarna hitam dan berbau - Inj. Cefotaxime 3x1 gr
sebanyak 1 kali tanpa disertai vial/IV
lendir.
- Inj. Omeprazole 2x40 mg
amp/IV
O: TD 100/60 mmHg - Inj. Transamin 3x1 gr
amp/IV
S 37,0 ºC
- Sucralfat syr 4x1 C
N 91x/menit
- Periksa apusan darah tepi
RR 24x/menit (ADT)

- Periksa HbsAg, anti

13
SpO2 99% HCV, anti HIV, dan
albumin
Mata: CA +/+, SI -/-
- Transfusi PRC 4 kolf
A : Hematemesis melena e.c
gastritis erosiva. dd/ruptur R : Pemeriksaan Apusan
varises esofagus dd/ulkus Darah Tepi (ADT), serologi
peptikum, anemia mikrositik HbsAg, Anti HCV, Anti
hipokromik HIV, dan albumin, USG

19/05/2019 S : Lemas (+), mual (+), muntah - Diet bubur lunak


darah (-), nyeri ulu hati (-),
(Hari ke-3) pusing (-), keringat dingin (-), - IVFD NaCl 0,9% 20
BAB encer berwarna hitam dan tetes/menit
berbau (-) - Inj. Cefotaxime 3x1 gr
vial/IV

O: TD 100/60 mmHg - Inj. Omeprazole 2x40 mg


amp/IV
S 37,0 ºC - Sucralfat syr 4x1 C

N 87x/menit - Periksa apusan darah tepi


(ADT)
RR 20x/menit
- Transfusi PRC 4 kolf (1
SpO2 99% kolf/hari)

Mata: CA +/+, SI -/-

A : Hematemesis melena e.c


gastritis erosiva. dd/ruptur
varises esofagus dd/ulkus
peptikum, anemia mikrositik
hipokromik

20/05/2019 S : Susah tidur, lemas (+), mual - Diet bubur lunak


(-).
(Hari ke-4) - IVFD NaCl 0,9% 20
tetes/menit

O: TD 90/60 mmHg - Inj. Cefotaxime 3x1 gr


vial/IV

14
S 37,1 ºC - Inj. Omeprazole 2x40 mg
amp/IV
N 77x/menit
- Sucralfat syr 4x1 C
RR 20x/menit
- Sprinolactone tab 1x100
mg
SpO2 96%
- Propanolol tab 1x10 mg
Mata: CA +/+, SI -/-
- Transfusi PRC 4 kolf (1
ADT: Pansitopenia disertai kolf/hari) (premedikasi:
tanda-tanda defisiensi Fe furosemide 1x20mg
(Saran: Tes profil Fe) amp/IV)
Albumin: 2,7 mg/dL - Transfusi PRC 1 kolf
(kantong pertama)
HbsAg: reaktif

A : Hematemesis melena e.c


gastritis erosiva. dd/ruptur
varises esofagus dd/ulkus
peptikum, anemia mikrositik
hipokromik, infeksi hepatitis
B, hipoalbuminemia

21/05/2019 S : Lemas (+), pusing (+) - Diet lunak 1700 Kkal

(Hari ke-5) - IVFD NaCl 0,9% : D5%


14 tetes/menit
O: TD 100/60 mmHg
- Inj. Cefotaxime 3x1 gr
S 36,9 ºC vial/IV

N 80x/menit - Inj. Omeprazole 2x40 mg


amp/IV
RR 18x/menit
- Sucralfat syr 4x1 C
SpO2 99% - Sprinolactone tab 1x100
mg
Mata: CA +/+, SI -/-
- Propanolol tab 1x10 mg
A : Hematemesis melena e.c
gastritis erosiva. dd/ruptur - Transfusi PRC 4 kolf (1
varises esofagus dd/ulkus kolf/hari) (premedikasi:

15
peptikum, anemia mikrositik furosemide 1x20mg
hipokromik, infeksi hepatitis B, amp/IV)
hipoalbuminemia

22/05/2019 S : Lemas (+), pusing (-), tidak - Diet lunak 1700 Kkal
bisa BAB sejak 4 hari yang lalu
(Hari ke-6) - IVFD NaCl 0,9% : D5%
14 tetes/menit

O: TD 110/80 mmHg - Inj. Cefotaxime 3x1 gr


vial/IV
S 36,5 ºC
- Inj. Omeprazole 2x40 mg
N 86x/menit amp/IV

- Sucralfat syr 4x1 C


RR 20x/menit
- Sprinolactone tab 1x100
SpO2 98% mg

Mata: CA +/+, SI -/- - Propanolol tab 1x10 mg

A : Hematemesis melena e.c - Dulcolax 2x2 tab


gastritis erosiva. dd/ruptur
- Dulcolax supp 1
varises esofagus dd/ulkus
peptikum, anemia mikrositik - Transfusi PRC 4 kolf (1
hipokromik, infeksi hepatitis B, kolf/hari) (premedikasi:
hipoalbuminemia furosemide 1x20mg
amp/IV)

- Transfusi PRC 1 kolf


(kantong kedua)

23/05/2019 S : Lemas (-) - Diet lunak 1700 Kkal

(Hari ke-7) - IVFD NaCl 0,9% : D5%


14 tetes/menit
O: TD 120/70 mmHg
- Inj. Cefotaxime 3x1 gr
S 36,7ºC vial/IV

N 91x/menit - Inj. Omeprazole 2x40 mg


amp/IV

16
RR 20x/menit - Sucralfat syr 3x1 C

SpO2 99% - Sprinolactone tab 1x100


mg
Mata: CA +/+
- Propanolol tab 1x10 mg
USG: Kesan sirosis hepatis
- Transfusi PRC 4 kolf (1
dan kista ginjal
kolf/hari) (premedikasi:
A : Hematemesis melena e.c furosemide 1x20mg
gastritis erosiva. dd/ruptur amp/IV)
varises esofagus dd/ulkus
- Transfusi PRC 1 kolf
peptikum. Sirosis hepatis
(kantong ketiga)  tidak
kompensata e.c. infeksi virus
habis karena pasien
hepatitis B. Kista ginjal. Anemia
demam dengan suhu 40ºC
mikrositik hipokromik
(tanggal 24/5/19 jam
00.35)

- Drip paracetamol 1x1 gr


vial (ekstra)

- Paracetamol tab 3x500


mg/PO

24/05/2019 S : Demam menggigil setelah - Diet lunak 1700 Kkal


transfusi PRC 1 kolf
(Hari ke-8) - IVFD NaCl 0,9% : D5%
14 tetes/menit

O: TD 110/80 mmHg - Inj. Cefotaxime 3x1 gr


vial/IV
S 40ºC
- Inj. Omeprazole 2x40 mg
N 83x/menit amp/IV

- Drip Paracetamol 1x1 gr


RR 21x/menit
vial (jika suhu >38ºC)
SpO2 97% - Sucralfat syr 3x1 C

Mata: CA +/+ - Sprinolactone tab 1x100


mg
A : Hematemesis melena e.c
gastritis erosiva. dd/ruptur - Propanolol tab 1x10 mg

17
varises esofagus dd/ulkus - Paracetamol tab 3x500
peptikum. Sirosis hepatis mg/PO
kompensata e.c. infeksi virus
hepatitis B. Kista ginjal. Anemia - Transfusi PRC 4 kolf (1
mikrositik hipokromik. Febris. kolf/hari) (premedikasi:
furosemide 1x20mg
amp/IV)

R: Periksa darah rutin, DDR

25/05/2019 S : Demam (-), lemas (-) - Diet lunak 1700 Kkal

(Hari ke-9) - IVFD NaCl 0,9% : D5%


14 tetes/menit
O: TD 110/70 mmHg
- Cefotaxime 3x1 gr
S 36,2 ºC vial/IV

N 79x/menit - Omeprazole 2x40 mg


amp/IV
RR 22x/menit
- Drip paracetamol 1x1 gr
vial (jika suhu >38ºC)
SpO2 97%
- Sucralfat syr 3x1 C
Mata: CA +/+
- Sprinolactone tab
Hb: 6,0 gr/ dL 1x100mg
DDR: Malaria (-) - Propanolol tab 1x10 mg
A : Hematemesis melena e.c - Transfusi PRC 4 kolf (1
gastritis erosiva. dd/ruptur kolf/hari) (premedikasi:
varises esofagus dd/ulkus furosemide 1x20mg
peptikum. Sirosis hepatis amp/IV)
kompensata e.c. infeksi virus
hepatitis B. Kista ginjal. Anemia - Transfusi PRC 1 kolf
perbaikan. (kantong keempat)

26/05/2019 S : Tidak ada keluhan - IVFD NaCl 0,9% 20


tetes/menit
(Hari ke-10)
- Cefotaxime 3x1 gr
O: TD 130/80 mmHg vial/IV

18
S 36,7 ºC - Omeprazole 2x40 mg
amp/IV
N 79x/menit
- Sucralfat syr 3x1 C
RR 19x/menit
- Sprinolactone tab
1x100mg
SpO2 98%
- Propanolol tab 1x10mg
Mata: CA -/-
R: Periksa darah rutin
A : Hematemesis melena e.c
gastritis erosiva. dd/ruptur
varises esofagus dd/ulkus
peptikum. Sirosis hepatis
kompensata e.c. infeksi virus
hepatitis B. Kista ginjal. Anemia
perbaikan

27/05/2019 S : Tidak ada keluhan - IVFD aff

(Hari ke-11) - Boleh pulang

O: TD 120/80 mmHg

S 36,5 ºC

N 79x/menit

RR 19x/menit

SpO2 98%

Hb: 8,9 gr/dL

A : Hematemesis melena e.c


gastritis erosiva. dd/ruptur
varises esofagus dd/ulkus
peptikum. Sirosis hepatis
kompensata e.c. infeksi virus
hepatitis B. Anemia perbaikan

PASIEN PULANG

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (PSCBA)

A. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan darah
dari saluran cerna atas, di mana saja, mulai dari esophagus sampai duodenum
(dengan batas anatomik di ligamentum Treitz) dengan manifestasi klinis berupa
hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi.1
Perdarahan pada saluran cerna dapat muncul dalam 5 bentuk. Yang
pertama adalah hematemesis, yaitu muntah darah segar berwarna merah atau
berwarna gelap seperti kopi. Sedangkan melena yaitu feses berwarna hitam,
seperti tar, dan berbau busuk. Hematokezia yaitu darah segar berwarna merah atau
merah gelap dari rektum. Hematemesis dan melena merupakan perdarahan yang
terjadi diatas ligamentum Treitz. Melena biasanya terjadi ketika terjadi perdarahan
minimal sebanyak 50 mL yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Sedangkan
hematokezia mengindikasikan adanya perdarahan dibawah ligamentum Treits,
tetapi dapat pula terjadi akibat PSCBA yang cepat dengan volume > 1000 mL.
Perdarahan yang tidak tampak tetapi positif terdapat darah pada pemeriksaan feses
dengan atau tanpa defisiensi besi. Yang terakhir yaitu pasien akan datang dengan
keluhan gejala perdarahan atau anemia seperti kepala pusing, pingsan, angina, dan
dispneu.2
Perdarahan saluran cerna berat didefinisikan sebagai adanya perdarahan
saluran cerna (hematemesis, melena, hematokezia, atau bilasan nasogatrik positif)
disertai dengan adanya syok atau hipotensi ortostatik, penurunan HB minimal 2
gr/dL, atau jika pasien tersebut membutuhkan minimal 2 unit PRC.2
Sekitar 80% pasien dengan perdarahan saluran cerna dapat hilang dengan
sendirinya bahkan tanpa terapi yang spesifik. Sedangkan 20% sisanya yaitu pasien
yang tetap mengalami perdarahan ataupun perdarahan berulang, dengan angka
kematian sebanyak 30-40%.

20
B. Penilaian faktor risiko perdarahan berulang dan kematian

Sistem skoring telah dibuat untuk mengidentifikasi pasien dengan PSCBA


non-varises yang berpotensi tinggi mengalami perdarahan berulang bahkan
sampai kematian. Skoring yang paling sering digunakan adalah Blatchford score
dan Clinical Rockall score. Clinical Rockall score terdiri tiga faktor klinis dan dua
faktor endoskopi. Sistem skoring yang sekarang sering digunakan adalah Clinical
Rockall score.1,3

Tabel 1. Sistem skor Rockall.21

21
Gambar 1. Stigmata endoskopi pada ulkus yang baru saja mengalami perdarahan.
(a) Arteri yang menyembur (b) PD yang terlihat tanpa perdarahan (c) Sumbatan
(d) perdarahan tanpa stigmata (e) bercak pigmen yang rata (f) ulkus dengan dasar
yang bersih.
(Sumber: Yamada’s textbook of gastroenterology. 5th ed.)3

C. Etiologi

Berikut ini merupakan tabel yang menyebutkan penyebab PSCBA di


United Kingdom dan Eropa dengan mortality rate 5-10%. Kebanyakan pasien
meninggal bukan karena penyebab penyakitnya melainkan karena dekompensasi
dari penyebab penyakit yang mendasarinya. Perdarahan berulang terjadi karena
beberapa faktor yaitu peningkatan usia, factor komordibitas, dan ketidakstabilan
hemodinamik (seperti takikardi atau hipotensi).2

22
Tabel 2. Penyebab PSCBA21

Gambar 2. Algoritma pada pasien dengan perdarahan SCBA.


(Sumber: Diagnosis and management of upper gastrointestinal bleeding)21

23
D. Diagnosis
1. Anamnesis

Hal penting yang harus ditanyakan terkait dengan faktor yang mendukung
diagnosis dari sumber perdarahan. Perdarahan ulkus peptikum harus dicurgai pada
pasien yang memiliki riwayat ulkus atau mengkonsumsi aspirin atau OAINS
secara rutin. Pasien dengan hepatitis kronik atau alkoholik dapat mengalami
perdarahan saluran cerna akibat komplikasi dari hipertensi porta. Pasien yang
mengkonsumsi alkohol berlebihan, atau dengan penggunaan NGT kronik, atau
dengan riwayat GERD memiliki risiko terjadinya esophagitis erosiva. Pasien yang
menjalani terapi radiasi pada abdomen atau pelvis dapat mengalami enteritis atau
proctocolitis radiasi. Nyeri perut, penurunan berat badan, dan perubahan
kemampuan defekasi merupakan gejala yang tidak spesifik namun dapat menjadi
tanda adanya Inflammatory Bowel Disease (IBD), colitis iskemik, atau
malignansi. Nyeri dada dan sinkop merupakan komplikasi kardiovaskular yang
paling mungkin terjadi akibat kehilangan darah yang signifikan.1,3

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan harus berfokus pada tanda vital, dengan memperhatikan


tanda-tanda hipovolemia seperti hipotensi, takikardi, dan ortostatik. Pada
pemeriksaan abdomen harus diperhatikan adanya jaringan parut atau scar,
permukaan, dan adanya masa. Perhatikan tanda dari penyakit hati kronis seperti
spider angioma, eritema palmaris, ginekomastia, asites, splenomegali, dan caput
medusa. Pada kulit, bibir, dan mukosa buccal harus diperhatikan adanya
telangiektasis, yang dapat menunjukkan adanya hereditary hemorrhagic
telangiectasia (HHT). Lesi purpura dapat dilihat pada vaskulitis. Akantosis
nigrikans dapat menunjukkan adanya malignansi, khusunya kanker gaster. Harus
dilakukan pemeriksaan feses untuk mengidentifikasi melena yang berwarna merah
segar atau merah gelap.3
Pemasangan NGT atau OGT dapat digunakan untuk menilai warna
perdarahan baik itu merah segar, berwarna gelap, atau cairan tanpa darah.

24
Pemasangan NGT pada perdarahan yang tidak nampak tidak dianjurkan karena
justru dapat menimbulkan trauma akibat pemasangan NGT sehingga dapat
mengakibatkan positif palsu. Sementara pada pasien dengan perdarahan yang
langsung terlihat, dapat dilakukan pemasangan NGT dengan tujuan membantu
membersihkan saluran cerna sehingga visualisasi endoskopi lebih baik dan untuk
meminimalisir risiko aspirasi.3

3. Pemeriksaan Laboratorium

Darah harus diperiksa baik hematologi, darah kimia, fungsi hati, dan
koagulasi serta untuk persiapan transfusi. Nilai hemoglobin yang didapatkan
segera setelah perdarahan tidak menggambarkan kehilangan darah yang akurat
karena dibutuhkan waktu minimal 8 jam untuk terjadi keseimbangan antara sel
darah merah pada ruang vascular dan cairan ekstravaskular. Nilai Mean
Corpuscular Volume (MCV) merupakan indikator penting untuk menentukan
kehilangan darah yang kronis, dimana MCV < 80 fL mengindikasikan perdarahan
saluran pencernaan kronis dan defisiensi besi, yang dapat dikonfirmasi dengan
ditemukannya ferritin dan saturasi transferrin yang rendah. Sedangkan nilai MCV
yang tinggi > 100 fL dapat terjadi karena penyakit hati kronis atau defisiensi
vitamin B12. Trombositopenia juga dapat menyebabkan keparahan perdarahan
dan mengindikasikan adanya penyakit hati kronis atau gangguan hematologi.3
Nilai blood urea nitrogen (BUN) dan serum kreatinin yang meningkat
dapat mengindikasikan adanya CKD, yang dapat menyebabkan anemia kronis
karena penurunan produksi eritropoeitin. Pada pasien PSCBA, nilai BUN
biasanya meningkat lebih besar dibandingkan serum kreatinin karena adanya
peningkatan absorpsi intestinal dari urea setelah penghancuran protein darah oleh
bakteri usus.3
Prothrombin time (PT) dan international normalized ratio (INR) dapat
memperlihatkan apakah pasien memiliki gangguan jalur koagulasi ekstrinsik.
Nilainya dapat meningkat pada penyakit hati kronik atatu penggunaan
antikoagulan, yang paling sering warfarin. Pemeriksaan biokimia hati dapat
mengindikasikan adanya penyakit hati akut atau kronis, nilai serum albumin yang

25
rendah dicurigai adanya penyakit hati kronik, malnutrisi, atau kehilangan protein
lewat usus atau ginjal.3

4. Penanganan Awal di Rumah Sakit


a. Resusitasi

Resusitasi cairan harus segera dilakukan bersamaan dengan penanganan


awal dan dilanjutkan selama rawat inap. Normal saline harus segera diberikan
secepat mungkin untuk menjaga tekanan sitolik > 100 mmHg dan nadi <
100x/menit. Pasien harus dilakukan transfusi PRC, platelet, fresh frozen plasma
sesuai kebutuhan pasien untuk mempertahankan hemoglobin > 8gr/dL, trombosit
> 50.000/mm3, dan INR < 1,5. Sasaran hemoglobin dapat bervariasi bergantung
pada usia dan komordibitas pasien, dan sasaran INR dapat bervariasi bergantung
pada koagulopati disebabkan oleh faktor intrinsik atau drug-induced. Setelah itu,
pasien harus disarankan untuk dilakukan pemeriksaan endoskopi. Pada RS yang
memiliki kapasitas untuk melakukan transplantasi hati, dapat dilakukan pada
pasien yang diketahui memiliki penyakit hati yang berat dan memiliki indikasi
untuk dilakukannya transplantasi hati.2,3
Tanda vital pasien harus dimonitor berkala. Hemoglobin harus diperiksa
setiap 4-8 jam sampai pasien stabil. Intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan
pada pasien dengan hematemesis aktif atau perubahan status mental untuk
mencegah pneumonia aspirasi. Pasien berusia > 60 tahun yang disertai dengan
keluhan nyeri dada atau memiliki riwayat penyakit jantung harus dievaluasi
adanya infark miokard dengan EKG dan pengukuran troponin secara berkala. X-
ray thorax harus dipertimbangkan untuk melihat adanya pneumoperitoneum
sebelum dilakukan endoskopi.3

b. Terapi Medikamentosa Awal

Pemberian Proton Pump Inhibitor (PPI) berguna untuk menurunkan


tingkat perdarahan berulang pada pasien dengan penyakit ulkus peptikum.
Memulai PPI di UGD sebelum endoskopi dilakukan pada pasien dengan
perdarahan saluran cerna berat. Beberapa penelitian dan metaanalisis

26
menyebutkan bahwa pemberian dosis tinggi PPI sebelum endoskopi
meningkatkan resolusi endoskopi pada ulkus dan menurunkan terapi endoskopi
tetapi tidak meningkatkan outcomes klinis termasuk kebutuhan transfusi, tingkat
perdarahan berulang, kebutuhan operasi, atau tingkat kematian. Pemberian PPI
pada waktu awal mungkin tidak dibutuhkan pada pasien yang memiliki
perdarahan ringan yang dapat hilang sendiri dan tidak diindikasikan pada pasien
pada pasien dengan peradarahan saluran cerna bawah. Pada pasien yang sangat
dicurigai perdarahan varises, pemberian oktreotida secara IV harus segera
diberikan (bolus melalui infus). Oktreotida dapat menurunkan risiko perdarahan
berulang dengan tingkat yang berhubungan dengan terapi endoskopi.3

c. Modalitas Diagnostik

 Endoskopi

Endoskopi bagian atas dalam waktu 24 jam pertama sangat


direkomendasikan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna atas karena dapat
memberikan informasi untuk mendiagnosis secara pasti dan dapat memberikan
terapi endoskopi.
Endoskopi gastrointestinal dapat mengidentifikasi lokasi perdarahan dan
terapeutik hemostatis pada sebagian besar pasien dengan perdarahan saluran
cerna. Idealnya, pasien harus stabil secara hemodinamik. Insufisiensi pernapasan,
penurunan status mental, atau hematemesis yang sedang berlangsung
mengindikasikan pemasangan intubasi endotrakeal sebelum endoskopi darurat
untuk melindungi jalan napas.3
Pasien dengan perdarahan aktif (seperti volume darah yang besar pada
bilasan lambung atau hematemesis atau hematokezia yang sedang berlangsung)
harus dilakukan endoskopi emergensi segera setelah dilakukan penanganan
resusitasi. Pasien yang dicurigai memiliki sirosis atau fistula aortaenterika atau
dengan perdarahan berulang saat di RS harus dilakukan endoskopi emergensi,
biasanya dalam waktu 6 jam setelah pendaftaran atau perdarahan berulang
tersebut. Pasien yang stabil secara hemodinamik tanpa adanya bukti perdarahan

27
yang sedang berlangsung dapat dilakukan endoskopi dalam waktu 12 jam
setelahnya, dan biasanya dilakukan pada unit endoskopi bukan di UGD. Pada
pasien dengan perdarahan yang masif dan hipotensi refrakter, endoskopi dapat
dilakukan di kamar operasi dengan tindakan operasi segera jika dibutuhkan.3
3.1.1 Penyakit Ulkus Peptikum (PUP)
A. Definisi
PUP paling sering terjadi pada ulkus duodenum dan ulkus gaster, tetapi
dapat juga terjadi pada esophagus, antrum pilorum, duodenum, jejunum, dan
diverticulum Meckel. PUP terjadi ketika faktor “agresif” (asam lambung, pepsin)
terlalu berlebihan melapisi faktor “perlindungan” pada mukosa (mucus gaster,
bikarbonat, mikrosirkulasi, prostaglandin) dan dari efek H. pylori.2,3
Ulkus peptikum merupakan defek yang terlokalisasi pada mukosa
gastrointestinal setidaknya sedalam mukosa muskularis, paling sering ditemukan
di duodenum dan gaster, dimana aktivitas dari asam peptikum berperan utama
sebagai penyebab PUP. Arteri terletak dibawah mukosa muskularis, sehingga lesi
superfisial jarang menyebabkan komplikasi. Dahulu, ulkus dikaitkan dengan
adanya stress dan hyperacidity, tetapi teori ini berubah setelah ditemukannya H.
pylori. Sekarang agen penyebab tersering PUP adalah infeksi H. pylori dan
penggunaan OAINS termasuk aspirin.3
Melalui endoskopi, ulkus dapat diidentifikais sebagai kerusakan mukosa
yang dalam. Kriteria yang paling sering digunakan yaitu kriteria arbitrary yang
menyebutkan dikatakan suatu ulkus jika diameter ≥ 5 mm sedangkan lesi dengan
ukuran < 5 mm disebut erosi.3
B. Lokasi Ulkus
PUP paling sering terjadi pada mukosa gastroduodenal dan dibagi menjadi
ulkus gaster dan ulkus duodenum dan dapat terjadi di lebih dari satu lokasi. Ulkus
dapat terjadi pafa lokasi lain termasuk gastroesofageal junction, anastomosis GI,
dan mukosa gastrik ektopik. Ulkus duodenum paling sering terjadi pada duodenal
bulb (bagian dari duodenum yang berdekatan dengan gaster atau setelah pylorus).
Jika ulkus terjadi lebih distal dari duodenum, maka dapat dicurigai penyebab lain
selain H. pylori dan penggunaan OAINS, seperti gastrinoma. Sementara ulkus

28
gaster dapat terjadi pada seluruh lokasi gaster, tetapi paling sering terjadi pada
zona transisi antara antrum dan mukosa corpus, biasanya pada kurvatura minor
gaster.3
C. Etiologi Dan Faktor Risiko
Penyebab utama PUP adalah infeksi H. pylori atau karena penggunaan
OAINS, termasuk aspirin. Meskipun terdapat banyak etiologi lain, kedua etiologi
tersebut merupakan yang tersering.3
H.pylori telah diidentifikasi menjadi agen etiologi mayor dari PUP sejak
tahun 1982 oleh Warren and Marshall. H. pylori menjadi penyebab dari ulkus
duodenum sebanyak sekitar 90% dan ulkus gaster sebanyak 80%.3
Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) dan aspirin dosis
rendah digunakan secara luas dikalangan masyarakat. Obat ini menginhibisi
sintesis agen proteksi yaitu prostaglandin pada gastroduodenal yang penting untuk
perlindungan mukosa GI. Pada beberapa negara berkembang, penggunaan obat ini
menjadi penyebab utama dari ulkus gaster.3
Secara teoritis, terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas
disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana
faktor agresif meningkat atau faktor defensifnya menurun. Beberapa penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas adalah kelainan di esophagus, kelainan di
lambung ataupun di duodenum. Salah satu kelainan di esophagus contohnya
varises esofagus yang merupakan penyebab terbanyak di Indonesia, disebabkan
oleh penyakit sirosis hati. Sedangkan salah satu kelainan di lambung contohnya
gastritis erosiva ataupun ulkus peptikum. Keduanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan dari faktor agresif dan faktor defensif. Faktor agresif dibagi
menjadi 2 yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Pada lambung normal,
terdapat dua mekanisme yang bekerja dan mempengaruhi kondisi lambung yaitu
faktor pertahanan lambung dan faktor perusak lambung. Faktor perusak lambung
meliputi faktor perusak eksogen.1 Beberapa faktor eksogennya yaitu obat – obatan
NSAIDs, alkohol dan infeksi Helicobacter Pylori.1,3 Faktor pertahanan lambung
berfungsi untuk melawan atau mengimbangi kerja dari faktor tersebut diatas.
Faktor pertahanan pada lambung meliputi lapisan pre – epitel, epitel dan post

29
epitel. Apabila terjadi ketidakseimbangan kedua faktor diatas, baik faktor
pertahanan yang melemah ataupun faktor perusak yang semakin kuat, dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel – sel lambung.3
H.pylori adalah organisme yang menghasilkan urea, berbentuk spiral, yang
mengkolonisasi mukosa antrum gaster pada hingga 100% orang yang mengalami
ulkus duodenal dan 80% pada orang yang mengalami uklus gaster. Selain itu
dapat juga ditemukan pada individu normal dengan peningkatan prevalensi seiring
dengan bertambahnya usia dan pada orang-orang dengan status sosioekonomi
yang rendah. H. pylori selalu berhubungan dengan bukti histologis dari gastritis
kronik aktif, yang dalam beberapa tahun dapat berkembang menjadi gastritis
atrofik dan kanker gaster. Penyebab tersering lainnya yaitu pemakaian Obat Anti
Inflamasi Non Steroid (OAINS), gastrinoma atau sindrom Ellison Zollinger
(prevalensi <1%). Faktor risiko lain yaitu merokok, hiperkalsemia, mastositosis,
kelompok golongan darah O (antigen dapat berikatan dengan H.pylori), dan faktor
risiko lain yang belum terbukti yaitu stress, kopi, dan alkohol.3
D. Pertahanan Normal Proteksi Mukosa
Terdapat beberapa lapisan pertahanan mukosa (gambar 3). Proteksi awal
yaitu mukus gaster dan bikarbonat yang diproduksi oleh sel epitel. Mukus dan
bikarbonat menciptakan lingkungan basa, sehingga terbentuk gradiasi pH dari 1
sampai 2 pada lumen gaster sampai 6 sampai 8 pada permukaan mukosa.3
Sel epitel sendiri bersifat hidrofobik. Produksi dari faktor trefoil (produk
sekretori yang dihasilkan oleh sel yang memproduksi mukus; faktor trefoil
berperan penting dalam mengontrol integritas permukaan mukosa oral dan
meningkatkan penyembuhan dari mukosa gastrointestinal melalui proses yang
disebut dengan restitusi. Faktor trefoil (TFF) meliputi peptide gaster (TFF1),
peptide spasmolitik (TFF2), dan faktor trefoil intestinal (TFF3, yaitu protein ini))
dan faktor pertumbuhan membantu mengontrol pertahanan ini dan restitusi epitel,
sehingga terjadi pergerakan sel untuk mengisi celah yang diikuti dengan
munculnya kerusakan mukosa. Celah yang lebih besar dapat diisi secara perlahan
dengan adanya proliferasi sel. Akhirnya, aliran darah lokal menjadi hal yang
penting dalam mengeleminasi difusi asam dan mendukung perbaikan;

30
angiogenesis meningkatkan penyembuhan tepi dari ulkus. Mekanisme pertahanan
mukosa ini dimediasi oleh adanya prostaglandin dan nitrit oksida, sehingga
mekanisme yang mendasari penyebab ulkus akibat OAINS adalah inhibisi
prostaglandin. Sedangkan ulkus yang disebabkan oleh infeksi H.pylori
berhubungan langsung dengan inflamasi mukosa, yang secara langsung
mengganggu pertahanan host. Ulkus akibat stress terjadi karena adanya gangguan
pertahanan mukosa, termasuk penurunan aliran darah pada mukosa.3

E. Patogenesis infeksi H. pylori yang menyebabkan PUP

Gambar 3. Kaskade pertahanan mukosa dan mekanisme perbaikan.


(Sumber: Yamada’s textbook of gastroenterology. 5th ed)3

31
Efek kerusakan pada sel epitel akibat faktor eksogen dan endogen
diperkuat dengan adanya aktivitas asam peptikum. Jika ketiga mekanisme
pertahanan gagal, terjadi injury pada sel epitel, yang dapat diperbaiki dengan
replikasi sel. Jika mekanisme perbaikan ini gagal, luka akut terbentuk.
Pembentukkan ulkus terjadi ketika pertahanan normal dan mekanisme perbaikan
ini gagal.2,3

H. pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral sehingga


memiliki kemampuan untuk penetrasi melewati mukus gaster menuju mukosa
gaster. H. pylori hanya dapat hidup pada mukosa tipe gaster. Selain itu, H. pylori
beradaptasi dengan baik pada tempat yang berlekuk, dan melawan mekanisme
protektif dari asam lambung. Salah satunya yaitu enzim urease yang dihasilkan H.
pylori dapat menghidrolisis urea sehingga menghasilkan bikarbonat yang dapat
menjaga periplasma H. pylori tersebut tetap dalam keadaan basa ketika tiba-tiba
terpapar asam. Enzim ini merupakan dasar penting dari pemeriksaan untuk
mendeteksi H. pylori yaitu pemeriksaan biopsi urease dan urea breath test.3

F. Patogenesis PUP Akibat Penggunaan OAINS Atau Aspirin


Meskipun mekanisme utama yang mendasari terjadinya PUP akibat
penggunaan OAINS adalah inhibisi prostaglandin dan pada aspirin melalui
inhibisi angiogenesis, terdapat beberapa mekanisme lain yaitu melalui inhibisi
siklooksigenase.3

 Inhibisi Siklooksigenase

Mekanisme ulserogenik paling penting dari OAINS/aspirin untuk merusak


pertahanan mukosa adalah dengan menginhibisi enzim siklooksigenase (COX)
yang juga terlibat dalam sintesis prostaglandin. COX akan mengkonversi asam
arakidonat menjadi precursor prostaglandin dan muncul dalam dua bentuk yaitu
COX-1 dan COX-2.3
COX-1 diekspresikan pada beberapa tempat termasuk lambung, ginjal,
endotel, dan platelet. Pada lambung COX-1 merupakan penggerak pertahanan

32
utama mukosa. Karena adanya inhibisi oleh OAINS/aspirin sehingga obat-obatan
tersebut menginduksi terjadinya ulserasi.3
COX-2 diekspresikan paling banyak pada sel yang mengalami inflamasi,
fibroblast, dan sinovium. COX-2 terkait dalam pembentukan inflamasi dan nyeri;
sehingga inhibisi COX-2 oleh OAINS merupakan mekanisme utama yang
mendasari efek antiinflamasi dan pereda nyeri. Obat-obatan yang bekerja melalui
inhibisi spesifik pada COX-2 menjadi obat pilihan penghilang nyeri tanpa efek
samping GI. 3

 Perbedaan Risiko Pada Pengguna OAINS/Apirin

Risiko terjadinya ulserasi akibat penggunaan OAINS/aspirin berbeda-


beda, bergantung pada lamanya inhibisi COX-1, dosis obat, durasi kerja obat, ko-
preskripsi dengan obat lain seperti steroid, umur pasien, ataupun adanya riwayat
ulserasi sebelumnya.3

Gambar 4. Odds ratio PUP karena penggunaan OAINS berdasarkan jenis dan
dosis obat.

(Sumber: Yamada’s textbook of gastroenterology. 5th ed.)3

33
3.1.1.1 Ulkus Duodenum

Hipersekresi ringan dari asam lambung terjadi akibat peningkatan


pelepasan gastrin yang kemungkinan terjadi karena stimulasi sel G antrum oleh
sitokin pro inflamasi dan karena berkurangnya produksi somatostatin oleh sel D
yang keduanya terjadi akibat infeksi H. pylori. Penyebab kedua karena respon
asam terhadap gastrin yang berlebihan karena peningkatan jumlah sel parietal
sebagai hasil dari stimulasi gastrin. Abnormalitas ini dengan cepat kembali normal
diikuti dengan eradikasi H. pylori. H. pylori juga dapat terjadi akibat peningkatan
pepsinogen. Pertahanan mukosa duodenum menjadi melemah karena efek toksin
dari infeksi H. pylori. Faktor risiko lain meliputi penggunaan glukokortikoid,
OAINS, adanya gagal ginjal kronik, tranplantasi ginjal, sirosis, dan penyakit paru
kronis.3

Gambar 5. Mekanisme infeksi gaster akibat H. pylori yang menyebabkan ulkus


duodenum.

(Sumber: Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed)2

Inflamasi pada antrum gaster menyebabkan penurunan produksi


somatostatin dari sel D dan meningkatkan produksi gastrin dari sel G yang

34
menyebabkan pelepasan asam dari corpus gaster yang sehat. Peningkatan jumlah
asam pada duodenum memicu pembentukan metaplasia gaster yang dapat
terinfeksi oleh H. pylori. Hal ini akan menyebabkan inflamasi pada lokasi tersebut
dan dapat terjadi kerusakan atau ulserasi sehingga terjadi ulkus duodenum. Jika H.
pylori berkolonisasi dan menyebabkan inflamasi pada seluruh gaster, produksi
asam biasanya akan menurun dari corpus gaster yang inflamasi dan rusak tersebut.
Pasien ini tidak akan berkembang menjadi ulkus duodenum melainkan rentan
untuk berkembang menjadi ulkus gaster dan adenokarsinoma gaster.3

Mekanisme infeksi gaster akibat H. pylori sudah dipahami dengan baik.


Ulkus duodenum terjadi pada pasien dengan kolonisasi H. pylori, gastritis , dan
produksi asam dari korpus gaster. Inflamasi pada antrum gaster akan menekan
produksi somatostatin oleh sel D dimana fungsi somatostatin sebagai feedback
negative pada gastrin, sehingga terjadi hipergatrinemia. Gastrin merupakan faktor
pertumbuhan yang meningkatkan ukuran sel parietal dan secara tidak langsung
akan diikuti oleh peningkatan sekresi asam dari corpus gaster yang sehat dan yang
telah mengalami inflamasi. Gastrin juga berperan sebagai enterocromatofin-like
cells pada corpus gaster untuk menstimulasi produksi histamin. Baik gastrin dan
histamin akan menstimulasi sel parietal untuk memproduksi asam. Peningkatan
jumlah asam pada gaster berkontribusi dalam pembentukan metaplasia gaster pada
duodenum, hal ini kemungkinan terjadi sebagai respon proteksi dari duodenum.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa H. pylori hanya dapat hidup pada mukosa
tipe gaster, tetapi karena adanya metaplasia pada duodenum sehingga H. pylori
dapat berkolonisasi pada duodenum dan menyebabkan inflamasi, kerusakan,
hingga ulserasi. Peningkatan jumlah asam pada duodenum juga berkontribusi
secara langsung dalam pembentukan ulserasi, sebagai buktinya bahwa H. pylori
yang menginduksi terjadinya ulkus dapat disembuhkan dengan pemberian
penekan asam. Tetapi bagaimanapun juga, terapi eradikasi H. pylori dibutuhkan
untuk mencegah berulangnya inflamasi setelah terapi penekan asam dihentikan.3

35
3.1.1.2 Ulkus Gaster
H.pylori masih menjadi penyebab terbesar ulkus gaster diseluruh dunia,
tetapi pada beberapa negara berkembang, penyebab yang lebih sering dikaitkan
dengan penggunaan berlebihan dari OAINS termasuk aspirin dosis rendah. Ulkus
gaster akibat infeksi H. pylori dapat ditemukan baik pada antrum dan corpus, yang
disebut dengan pangastritis. Pasien ini dapat mengalami fase hipergastrinemia
melalui mekanisme yang sama pada pasien dengan ulkus peptikum akibat infeksi
H. pylori. Maka dari itu, pathogenesis dari ulkus gaster yang disebabkan oleh
infeksi H. pylori masih kurang dipahami.2,3
G. Manifestasi klinis
Ulserasi tanpa komplikasi dapat muncul dalam berbagai gejala, yang biasa
disebut dengan dispepsia. Dispepsia sulit untuk di definiskan. Menurut konsensus
The International Rome III, dispepsia adalah sebuah gejala atau kumpulan gejala
seperti begah setelah makan, mudah kenyang, nyeri atau rasa terbakar pada
epigastrium, bersendawa, mual, muntah, dan anoreksia sehingga terjadi penurunan
berat badan. Selain itu, pasien juga dapat datang dengan keluhan komplikasi akut
atau kronik berupa perdarahan, perforasi, dan obstruksi gaster.2
Hanya 5-10% pasien pada negara berkembang yang datang dengan
keluhan dispepsia yang akan berkembang menjadi ulkus peptikum. Pada
penelitian lain disebutkan, pemeriksaan endoskopi pada 1/3 pasien dengan
dispepsia memiliki saluran GI yang normal.2
Diagnosis PUP tidak bisa hanya berdasarkan riwayat keluhan pasien.
Prevalensi gejala dispepsia sangat mirip antara pasien dengan atau tanpa ulkus.
Pemeriksaan fisik juga tidak spesifik. Tanda yang paling khas pada sindrom
dispepsia adalah “pointing sign”, yaitu ketika pasien ditanyakan lokasi nyeri akan
mneunjuk daerah epigastrium. 2
1. Gejala Klasik Ulkus Duodenum
Gejala klasik ulkus duodenum yaitu nyeri epigastrium atau rasa tidak
nyaman ketika perut dalam keadaan kosong, biasanya 2-3 jam setelah makan dan
mereda ketika setelah makan kembali. Nyeri tersebut dapat membangunkan
pasien saat tidur malam hari tetapi hilang saat pagi hari; pola ini berkaitan dengan

36
irama sirkadian yaitu stimulai dan sekresi maksimal asam lambung terjadi antara
pukul 11 malam sampai pukul 2 dini hari. Nyeri setelah makan terjadi ketika asam
lambung mulai disekresi untuk memulai proses pengosongan makanan dari
saluran cerna atas. Rasa ketidaknyamanan terlokalisir pada hipokondrium kanan
atas kiri tetapi paling sering pada epigastrium sampai ke punggung. Deksripsi
kualitatif biasanya berupa rasa ketidaknyamanan, terbakar, menggigit, atau seperti
nyeri saat lapar. Ketidaknyamanan ini biasanya dapat mereda dengan makanan
atau dengan konsumsi agen antisekresi dan antasida. Gejala ini biasanya bertahan
1-3 bulan.2,3
2. Gejala Klasik Ulkus Gaster
Gejala klasik pada ulkus gaster yaitu nyeri epigastrium sesaat setelah
makan (biasanya dalam waktu 30 menit setelah makan). Jika letak ulkusnya dekat
pylorus maka akan terjadi kesulitan pengosongan gaster sehingga terjadi gejala
refluks, muntah, dan cepat kenyang. 2,3
3. Gejala Klinis PUP Dengan Komplikasi
Tanda kardinal PUP dengan komplikasi akut berupa PSCBA (perdarahan),
nyeri hebat (perforasi), dan muntah (obstruksi gaster). Sedangkan komplikasi
kronik berupa anemia defisiensi besi dan obstruksi kronik gaster karena
pembentukan jaringan parut.3
H. Tatalaksana
Penanganan PUP melalui 2 cara, yang pertama tatalaksana ulserasi dan
yang kedua yaitu identifikasi dan terapi penyebab spesifik baik karena H. pylori
ataupun penggunaan OAINS/aspirin.3
1. Tatalaksana Awal
Evaluasi dini dan resusitasi yang sesuai merupakan hal penting untuk
dilakukan pada pasien PSCBA, terutama yang datang dengan keluhan
hematemesis, hematoskezia masif, melena atau anemia progresif. Tatalaksana
awal disarankan untuk dilakukan dengan pendekatan multidisipliner, dengan
melibatkan spesialis penyakit dalam/gastroenterologist, radiologist intervensional,
dan ahli bedah/bedah digestif.3
Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi untuk

37
kejadian pendarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor Rockall.
Pasien-pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan risiko
kematian, sebaiknya dirawat di unit rawat intensif.3
Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang
diduga masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT
bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai perdarahan sehingga
tidak diperlukan pada semua pasien dengan perdarahan.3
Lavage nasogastrik atau orogastrik dapat dilakukan pada pasien dengan
perdarahan saluran cerna atas dalam keadaan tertentu. Penggunaan air es tidak
direkomendasikan sebagai bilas lambung.1
Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan
suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat
dibutuhkan. Batasan transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan tanda
vital pasien, namun biasanya ditetapkan pada hemoglobin ≤ 7.0 g/dL kecuali bila
perdarahan masih terus berlangsung atau masif serta adanya penyakit jantung
koroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan takikardi) dan pada usia lanjut.1
Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah 8 mg/dL
dan jika akan dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar hemoglobin minimal
adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam keadaan hemodinamik stabil.
Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan untuk pasien dengan PUP.
Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan agregasi trombosit dan
koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada bekuan yang telah
terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi asam lambung
intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada jangka panjang,
terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa.1
Suatu studi yang baru-baru ini, menunjukkan bahwa pemberian PPI pre-
endoskopik secara signifikan menurunkan angka stigmata risiko tinggi pada
endoskopi awal (37% vs. 46%, OR 0.67; 95% CI 0.54-0.84). Namun demikian
tidak menunjukkan efek terhadap perdarahan ulang, mortalitas dan pembedahan.
Bila endoskopi akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lanjut.1

38
2. Waktu endoskopi
Endoskopi telah menjadi alat untuk diagnosis dan tatalaksana PSCBA
yang utama. Tindakan ini memungkinkan untuk dilakukan identifikasi sumber
pendarahan dan terapi pada saat yang sama. Waktu optimal endoskopi masih
dalam perdebatan. Endoskopi darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostasis
dini, namun dapat menyebabkan terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen
pada pasien yang belum stabil. Sebagai tambahan, jumlah darah dan bekuan yang
banyak dapat mengganggu terapi target untuk focus pendarahan, yang dapat
menyebabkan dibutuhkannya prosedur endoskopik ulangan.1
Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan endoskopi dini
dalam waktu 24 jam setelah pasien dirawat, oleh karena tindakan ini secara
signifikan menurunkan lama rawat inap dan memperbaiki luaran klinis.
Endoskopi sangat dini (<12 jam) sampai saat ini belum menunjukkan keuntungan
tambahan dalam hal menurunkan risiko pendarahan ulangan, pembedahan dan
mortalitas bila dibandingkan dengan waktu 24 jam. Namun demikian, endoskopi
darurat harus dipertimbangkan pada pasien dengan pendarahan berat. Pada pasien
dengan gambaran klinis risiko lebih tinggi (misalnya: takikardi, hipotensi, muntah
darah, atau darah segar pada NGT) endoskopi dalam 12 jam kemungkinan dapat
meningkatkan luaran klinis.1
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dan tanpa faktor komorbid serius,
dilakukan endoskopi terlebih dahulu sebelum pasien dipulangkan.1
3. Terapi endoskopik untuk PUP
Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan pendarahan aktif dan
mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik, termasuk injeksi, ablasi dan
mekanik telah dikembangkan dalam beberapa dekade terkini. Pemilihan tindakan
dapat disesuaikan dengan penampakan fokus perdarahan dan risiko terkait untuk
kejadian pendarahan persisten dan rekuren (gambar 6). Pada PUP, pasien dengan
perdarahan aktif atau pembuluh darah visibel tanpa perdarahan pada area ulkus
mempunyai risiko perdarahan ulang tertinggi, sehingga membutuhkan terapi
hemostatik endoskopik segera. Pasien dengan stigmata risiko rendah (ulkus dasar
bersih atau bintik pigmentasi pada area ulkus) tidak membutuhkan terapi

39
endoskopik.1

Gambar 6. Pilihan tatalaksana endoskopik dan PPI intravena untuk pasien


dengan PSCBA terkait dengan ulkus peptikum (*jika fasilitas terapi endoskopi
optimal)
(Sumber: Konsensus Nasional Perdarahan Saluran Cerna atas non varises di
Indonesia)1

Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberi diet lunak dan dipulangkan
setelah endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, hemoglobin cukup dan
stabil, tidak ada masalah kesehatan lain. Pada pasien dengan perdarahan ulkus
yang aktif, terapi hemostasis sebaiknya dalam bentuk kombinasi (epinefrin
ditambah modalitas lain seperti penempatan klim hemostatik, termokoagulasi, dan
elektrokoagulasi) .Injeksi epinefrin tidak dianjurkan diberikan sebagai terapi
tunggal. Injeksi Penggunaan klip direkomendasikan karena dapat menurunkan
kejadian perdarahan ulang.1
Pasien dengan stigmata secara endoskopi risiko tinggi (perdarahan aktif,
pembuluh darah yang terlihat, bekuan – bekuan (klasifikasi Forrest) umumnya

40
dirawat inap selama 3 hari bila tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi
lain untuk rawat inap. Pasien boleh diberi diet cair segera setelah endoskopi
kemudian diganti secara bertahap.1
Pasien dengan perdarahan ulang biasanya dapat ditangani dengan terapi
endoskopik. Namun demikian, pembedahan darurat atau embolisasi angiografik
mungkin diperlukan pada saat-saat tertentu, seperti:1
 Perdarahan memancar (spurting) yang tidak dapat dihentikan dengan
endoskopi,
 Titik pendarahan tidak dapat dilihat oleh karena pendarahan aktif yang
masif, dan
 Perdarahan ulang yang muncul setelah endoskopi terapeutik kedua
4. Tatalaksana pasca endoskopik
a. Terapi antisekretorik
Farmakoterapi memainkan peran utama kedua untuk tatalaksana PSCBA
akibat ulkus peptikum. Terapi PPI lebih superior dibandingkan antagonis reseptor
histamin-2. PPI dapat diberikan oral atau intravena bergantung kepada stigmata
perdarahan (Kriteria Forrest). Data-data yang ada mendukung rekomendasi
pemberian terapi PPI intravena kontinu dosis tinggi pada pasien PUP dengan
stigmata risiko tinggi. Pasien-pasien dengan PUP juga harus dipulangkan dengan
PPI oral dosis tunggal harian, untuk menurunkan risiko perdarahan ulang. Lama
dan dosis PPI bergantung kepada etiologi dan pemakaian obat lainnya. Pada
pasien dengan ulkus idiopatik (non H.pylori, non NSAID), dapat
direkomendasikan terapi anti ulkus jangka panjang (contohnya: PPI harian). Pada
pasien dengan perdarahan ulkus karena aspirin dosis rendah, harus dikaji ulang
urgensi pemberian aspirin tersebut.1

41
Tabel 5. Antisekresi dan antiulserasi pada penatalaksanaan PUP.1,3
Nama generik Merek obat Dosis total perhari Interval dosis Kehamilan

Proton Pump Inhibitors (PPIs)


Menginhibisi sekresi asam lambung dengan cara berikatan dan menginhibisi pompa H +K-ATPase pada
sel parietal di oermukaan membrane lumen
ESO: sakit kepala, diare, konstipasi, ketidaknyamanan perut, mual, gatal
Potensial: aman pada penggunaan jangka panjang.
Esomeprazole Nacium 20-40 mg Satu kali/hari sebelum B/C
Lansoprazole Prevacid 15-30 mg* sarapan (2 kali/hari B
Omeprazole Prilosec, Zegerid 20-40 mg* ketika digunakan C
Pantoprazole Protonix 20-40 mg sebagai bagian terapi B
Rabeprazole Aciphex 20 mg H. pylori) B
Antagonis resptor H2 (H2RAs)
Menginhibisi sekresi asam dengan cara menginhibisi reseptor H2 histamin pada sel parietal
ESO: minor side effects, major side effects jarang
Potensial: tachypylaxis
Cimetidine Tagament 400, 800, 1600 mg* 2 kali/hari (4 kali/hari B
Famotidine Pepcid 20 – 40 mg* untuk cimetidine) B
Nizatidine Axid 150-300 mg* B
Ranitidine Taladine, Zantac 150-300 mg* B
Analog prostaglandin
Menginhibisi sekresi asam dengan menurunkan sinyal sekunder dari resptor H2 histamin
ESO: diare, ketidaknyamanan abdomen, keram perut, abortifacient (subtansi yang memicu aborsi)
Misoprostol Cytotec 800 mcgram (1) X
Sucralfat
Proteksi mukosa dengan cara melapisi lokasi ulkus
ESO: kemungkinan toksisitas aluminium
Sucralfat Carafate 2-4 g (2) 2-4 kali/hari B
Garam bismuth
Efek antibacterial terhadap H. pylori dan membantu penyembuhan ulkus
ESO: BAB hitam, kemungkinan intoksikasi bismuth dan toksisitas system saraf (penggunaan dosis tinggi
dan jangka panjang)
BSS Pepto-Bismol, Helidac 2096 mg 4 kali/hari Belum ada
CBS Pylera (3) 1680 mg (3)
TPDCB De-Noltab (4) 480 mg (4)

b. Terapi Eradikasi H.pylori


Pemeriksaan H.pylori disarankan untuk semua pasien dengan PUP.
Pemeriksaan ini kemudian dilanjutkan dengan terapi eradikasi untuk semua pasien
dengan hasil positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi dan terapi ulang pada
gagal eradikasi. Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat
keberhasilan sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai

42
dengan efek samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap
antibiotik. Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui
endoskopi, ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu
mencapai 80-85%. Setelah H. pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak
diperlukan kecuali pasien menggunakan NSAIDs atau antitrombotik.1
Tes diagnostik H.pylori mempunyai nilai prediktif negatif rendah pada
keadaan PSCBA akut. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kesulitan teknik
dalam melakukan biopsi representatif atau ketidakakuratan pemeriksaan pada
lingkungan basa yang disebabkan darah. Hasil biopsi negatif yang diperoleh pada
keadaan akut harus diinterpretasi secara hati-hati dan bila perlu dilakukan tes
ulang pada pemantauan kembali.1

43
3.1.2 Gastritis Erosiva
A. Definisi
Gastritis erosiva didefinisikan sebagai adanya kerusakan mukosa dan tidak
sampai ke mukosa muskularis secara endoskopik. Durasi erosi dapat terjadi dalam
jangka pendek, kronik, ataupun berulang. Gastritis erosiva dapat dijumpai dalam
keadaan asimptomatis sebanyak 3-12% dan simptomatis sebanyak 4-49%.22
Penyebab dari gastritis erosiva antara lain infeksi H. Pylori, penggunaan
OAINS jangka panjang, hiperasiditas, konsumsi alkohol dan merokok jangka
panjang. 22
Erosi dapat ditemukan pada mukosa gaster yang secaca histologi dapat
terlihat inflamasi atau noninflamasi. Gejala klinis yang penting dari gastritis
erosiva adalah dapat terjadinya perdarahan yang terjadi sekitar 23% kasus. Selain
itu, kasus gastritis erosiva digolongkan tidak berbahaya. 22
Penemuan endoskopi biasanya berupa erosi dengan dasar berwarna putih
ataupun hitam disertai dengan adanya perdarahan yang baru saja terjadi, lesi datar
atau sedikit mencekung dan biasanya dikelilingi oleh eritema dengan ukuran
diameter < 3-5 mm. 22
Mikroerosi hanya terjadi pada bagian epitel yang hanya dapat dilihat
secara mikroskopis. Terdapat 3 derajat, derajat 1 yaitu hilangnya satu sel; derajat
2 yaitu adanya kehilangan beberapa sel, sedangkan derajat 3 yaitu erosinya dapat
terlihat langsung secara endoskopi dan bukan termasuk mikroerosi. 22
Perbedaan erosi dengan ulserasi yaitu pada kedalaman kerusakan
mukosanya. Secara definisi, kedalaman ulkus mencapai mukosa muskularis
sedangkan erosi tidak. Sedangkan secara endoskopi, erosi tidak mengganggu
pasase peristaltis sedangkan ulkus mengganggu, selain itu saat erosi diangkat
dengan forsep biopsi, jika erosi dapat diangkat menandakan itu merupakan ulkus
sedangkan erosi menpel dengan dasar gaster. 22
B. Klasifikasi
Gastritis erosiva diklasifikasikan berdasarkan tingkat kronisitasnya.
Tetapi, tidak terdapat definisi pasti yang membedakan antara gastrtitis erosiva
akut dan kronis. Gastritis erosiva dibagi menjadi 3 kategori, erosi komplit, erosi

44
inkomplit, dan gastritis erosiva hemoragik. Erosi inkomplit yaitu ditemukan
adanya erosi yang datar tanpa adanya reaksi inflamasi disekitarnya. 22

Tabel 6. Klasifikasi Gatritis Erosiva berdasarkan Tingkat Kronisitasnya. 22

B. Etiologi
Erosi dapat terbentuk sebagai akibat nekrosis sel epitel atau lepasnya epitel
sehingga mengakibatkan hilangnya sel epitel yang melebihi kapasitar regenerasi
sel epitel. Yang kedua, hilangnya sel epitel akan memicu faktor luminal seperti
peningkatan pelepasan asam lambung yang akan memulai penghancuran stuktur
subepitel. Hilangnya integritas mukosa dpat menginduksi faktor-faktor kimia,
penyakit, dan faktor mrkanis atau fisik. Tabel 4 menunjukkan kemungkinan faktor
etiologi.

45
Tabel 7. Kemungkinan etiologi gastritis erosiva 22

C. Gejala
Pada beberapa publikasi menyebutkan bahwa gejala gastritis berhubungan
dengan sindrom dispepsia. 22
D. Risiko ulserasi
Pada sebuah penelitian yang dilakukan dengan follow up selama 6 tahun
pada 105 pasien dengan gastritis erosiva, didapatkan sebanyak 4% atau 4 orang
berkembang menjadi ulkus gaster. Selain itu, penggunaan OAINS jangka panjang
juga menjadi faktor yang menyebabkan perkembangan gastritis erosiva menjadi
ulkus peptikum. 22

3.1.3 Hepatitis B
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama di
dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan bahwa
sepertiga populasi dunia pernah terpajan virus ini dan 350-400 juta diantaranya
merupakan pengidap hepatitis B. Prevalensi yang lebih tinggi didapatkan di
negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, angka pengidap hepatitis
B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi
pengidap di luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa. Secara genotip,
virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan merupakan virus dengan genotip B
(66%), diikuti oleh C (26%), D (7%) dan A (0.8%).18
Sirosis dan Karsinoma Hepatoselular (HCC) adalah dua keluaran klinis

46
hepatitis B kronik yang tidak diterapi dengan tepat. Insidens kumulatif 5 tahun
sirosis pada pasien dengan hepatitis B yang tidak diterapi menunjukkan angka 8-
20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang menjadi sirosis dekompensata
dalam 5 tahun berikutnya. Sementara insidensi kumulatif HCC pada pasien
dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis mencapai 21% pada
pemantauan 6 tahun.7

A. Virus Hepatitis B (HBV)


Virus hepatitis B termasuk dalam virus dengan jenis DNA dengan ukuran
yang sangat kecil sekitar 3200 bp dan termasuk golongan Hepadnaviridae. HBV
memiliki beberapa bentuk partikel virion masing – masing ukuran partikel
tersebut berbeda – beda. Partikel yang memiliki ukuran 22 nm berbentuk bulat
atau filament panjang, partikel ini yang paling banyak ditemukan dan tidak dapat
dibedakan dengan protein selubung luarnya. Partikel lainnya berukuran besar
kurang lebih 42 nm dengan dinding rangkap, berbentuk tubulus berupa virion
utuh. Pada selubung permukaan luar virion yang berbentuk tubulus biasa
ditemukan antigen permukaan hepatitis B atau HBsAg. Partikel berukuran 42 nm
juga memiliki inti nukleokapsid yang disandi oleh gen C. Antigen yang
diekspreskan di permukaan inti nukleokapsid disebut antigen inti hepatitis B atau
Hepatitis B core antigen (HBcAg). Suatu protein nukleokapisd non partikel yang
larut dan juga merupakan produk gen C adalah antigen e hepatitis B atau HBeAg,
namun secara imumologis HBeAg berbeda dengan HBcAg.2,7

47
Gambar 6. Bagian partikel virus hepatitis B
(Sumber: )
B. Transmisi
Transmisi hepatitis B antara lain melalui hubungan seksual, inokulasi
perkutaneus, melalui perinatal, transmisi horizontal, melalui transfusi darah,
infeksi nosocomial, dan transplantasi organ.3,4
Transmisi seksual pada orang-orang yang tidak mendapatkan vaksinasi
HBV paling sering terjadi pada laki-laki atau perempuan heteroseksual, dengan
seks berulang dengan berlainan orang atau dengan pekerja seksual, atau pada laki-
laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (homoseksual). Untuk mencegah
terjadinya infeksi HBV melalui hubungan seksual pada orang dewasa yang
melalui vaksinasi terutama pada kelompok dengan risiko tinggi mengalami
infeksi.4
Inokulasi perkutaneus terjadi melalui penggunaan jarum suntik bersamaan
pada orang-orang pengguna narkotika. Penggunaan pisau cukur atau sikat gigi
bersamaan juga memiliki potensi untuk penularan HBV. Selain itu akupuntur,
tato, dan tindik juga berhubungan dengan insidensi infeksi HBV.4
Transimisi perinatal merupakan rute terbesar transimisi HBV di seluruh
belahan dunia. Pada keadaan tidak dilakukannya profilaksis HBV, infeksi HBV
kronik akan berkembang pada 80-90% pada anak-anak yang lahir dari ibu dengan

48
HBV e antigen (HBeAg) positif. Setiap wanita hamil haris dilakukan pemeriksaan
HBsAg pada kunjungan masa prenatal pertama dan harus diulangi kembali.
Neonatal yang lahir dari ibu yang positif HBV dapat diberikan imunisasi pasif-
aktif. Imunisasi immunoglobulin HBV pasif harus diberikan secepat mungkin
(kurang dari 12 jam). Sedangkan imunisasi aktif dapat diberikan sesuai dengan
regimen standar yaitu 10 ug pada hari 0, bulan ke 1, dan bulan ke 6. Pemberian
anti HBV pada ibu hamil dengan anolg nukleosida dapat dipertimbangkan,
terutama pada ibu hamil dengan tingkat DNA HBV yang tinggi. Penggunaan
telbivudine, lamivudine, dan tenofovir aman diberikan pada ibu hamil tanpa ada
efek samping pada janin. Pengobatan dapat dimulai pada usia kehamilan minggu
ke 30 sampi minggu ke 4 post partum. Jika anak dari ibu dengan positif HBV
sudah mendapatkan vaksinasi, maka ASI dapat diberikan. 3,4
Transmisi horizontal termasuk anggota keluarga dan transmisi antara anak
ke anak melalui luka kecil pada kulit atau membrane mukosa. HBV dapat
bertahan di lingkungan dan tetap infeksius selama 7 hari. Meskipun DNA HBV
ditemukan pada seluruh cairan tubuh, tetapi tidak terdapat bukti pasti yang
menunjukkan adanya transmisi HBV selain melalui cairan lain selain darah.4
Sebagian besar negara menggunakan skrining HBV surface antigen
(HBsAg) sebelum melakukan donor darah.4
Infeksi nosocomial dapat terjadi dari pasien ke pasien, atau dari pasien ke
petugas kesehatan. HBV diduga menjadi penyebab tersering infeksi nosokomial.4

C. Manifestasi Klinis
Hepatitis virus akut akan terjadi setelah masa tunas yang bervariasi sesuai
dengan virus penyebab. Gejala pada pasien hepatitis terbagi atas 3 fase yaitu fase
pre – ikterik, fase ikterik dan fase perbaikan / konvalesens. Hampir semua fase
antar virus sama gejalanya, namun ada beberapa ciri khas antar jenis infeksi.2,7
a. Fase pre-ikterik
Fase ini terjadi 1 – 2 minggu sebelum fase ikterik. Biasa ditemukan gejala
kontituasional seperti mual, muntah, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, fotofobia,
faringitis atau dapat juga batuk. Perubahan warna urin menjadi lebih gelap dan

49
feses menjadi lebih pucat / dempul biasa ditemukan 1 – 5 hari sebelum fase
ikterik. Pada infeksi hepatitis B juga biasa disertai dengan demam yang tidak
terlalu tinggi.7
b. Fase ikterik
Pada fase ini gejala konstitusional umumnya sudah membaik, namun
timbul gambaran jaundice pada pasien. Umumnya terdapat nyeri perut kuadran
kanan atas yang dapat terjadi akibat hepatomegali disertai penurunan berat badan
ringan. Fase ini berlangsung 2 – 12 minggu. Pada infeksi hepatitis B juga dapat
ditemukan splenomegali, gambaran kolestatik hingga adenopati servikal.7
c. Fase perbaikan
Gejala konstitusional sudah menghilang namun hepatomegali dan
keabnormalitasan fungsi hati masih dapat ditemukan. Pada <1% kasus, dapat
menjadi hepatitis fulminan yaitu terjadinya ensefalopati dan koagulopati dalam 8
minggu setelah gejala penyakit hati pertama kali.7

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu:
a. Serologis hepatitis B
Pemeriksaan HBsAg dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya HBV
dalam darah. Penanda ini merupakan penanda virologik pertama yang dapat
dideteksi dalam serum antara minggu ke 8 - 12. HBsAg menjadi tidak terdeteksi
setelah fase ikterus dan jarang menetap hingga lebih dari 6 bulan. Hasil positif
menandakan infeksi virus hepatitis B, hasil negatif menandakan hal sebaliknya.5,7
Pemeriksaan anti-HBs dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang
dihasilkan oleh tubuh sebagai respon terhadap antigen pada virus hepatitis B.
biasa muncul setelah HBsAg sudah tidak ada dalam serum.2
Pemeriksaan anti-HBc terkadang dipengaruhi dari hasil dua pemeriksaan
lainnya yaitu pemeriksaan anti-HBs dan HBsAg. Penemuan anti-HBc dapat
menjadi bukti serologik infeksi HBV yang baru atau sedang berlangsung.
Penemuan anti-HBc tanpa HBsAg dan anti-HBs dapat memiliki arti adanya
kemungkinan penyebab infeksi berasal dari transfusi.7

50
Pemeriksaan IgM/IgG anti-HBc dilakukan untuk mengetahui lama
seseorang telah terinfeksi HBV. Hasil IgM anti-HBc positif menandakan infeksi
bersifat akut < 6 bulan, sedangkan IgG anti-HBc negatif menandakan infeksi
bersifat kronik.7
Pemeriksaan HBeAg dapat dilakukan sejak awal atau bersamaan dengan
HBsAg. Hal ini dikarenakan kemunculannya yang dapat bersamaan atau segera
setelah HBsAg.7
Pemeriksaan HBV-DNA, bertujuan untuk mendeteksi seberapa besar
HBV-DNA dalam darah. Pemeriksaan positif memiliki arti bahwa virus ini
berkembang biak di dalam tubuh seseorang dan dapat menularkan virus kepada
orang lain. Jika seseorang memiliki Hepatitis B infeksi virus kronis, kehadiran
DNA virus berarti bahwa seseorang mengalami peningkatan risiko untuk
kerusakan hati. Pemeriksaan ini juga digunakan untuk memantau efektivitas terapi
obat untuk infeksi Virus Hepatitis B kronis serta dapat menjadi dasar perhitungan
dimulainya pengobatan.5
b. Biokimia hati
Dilakukan pemeriksaan terhadap kadar SGPT, SGOT, gamma – glutamyl
transpeptidase (GGT), alkalin fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, darah
perifer lengkap dan waktu protrombin. Umumya ditemukan kadar SGPT lebih
tinggi dibanding SGOT, namun bila perjalanan penyakit sudah menuju sirosis
maka rasio tersebut dapat menjadi terbalik. Untuk pemeriksaan komplikasi berupa
karsinoma hepatoseluler perlu dilakukan pemeriksaan α-fetoprotein.2
c. USG dan biopsi hati
Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk memilai derajat nekroinflamasi dan
fibrosis pada kasus infeksi kronis dan sirsosis hati.2
E. Diagnosis
1. Infeksi HBV akut
Diagnosis HBV akut bergantung dari deteksi HBsAg dan IgM anti-HBc.
Selama fase infeksi awal, tanda replikasi HBV juga diikuti dengan HBeAg dan
DNA HBV. Fase penyembuhan/recovery ditandai dengan hilangnya DNA HBV,
HBeAg, dan HBsAg yang hilang atau serokonversi menjadi anti-HBs.3

51
2. Past HBV infection
Infeksi HBV sebelumnya dikarekteristikkan dengan adanya anti-HBs dan
atau IgG anti-HBc. Imunitas dari infeksi HBV setelah vaksinasi diindikasikan
dengan adanya anti-HBs saja.3
HBsAg

 jika negatif, infeksi HBV disingkirkan


 jika positif, pasien dikatakan terinfeksi HBV. Pengulangan pemeriksaan
setelah 6 bulan dapat menentukan apakah infeksinya sembuh atau menjadi
kronik

Anti HBs

 Jika negatif, pasien tidak memiliki imunitas terhadap HBV


 Jika positif pasien memiliki respon imun terhadap HBV (baik karena
infeksi yang sudah sembuh (anti hbc +) atau karena vaksinasi (anti hbc -)

3. Hepatitis B kronis
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai adanya hbsag dalam darah > 6
bulan.3
Hbsag

 Jika negatif, hepatitis B kronik disingkirkan


 Jika positif, pasien dipertimbangkan memiliki infeksi HBV. Infeksi kronik
di diagnosis jika hbsag menetap > 6 bulan

Antibodi hepatitis B core protein (Anti HBc)

 Jika negatif, infeksi HBV sebelumnya disingkirkan


 Jika positif, pasien sudah terinfeksi HBV. Infeksi dapat telah sembuh
(hbsag -) atau sedang berlangsung (hbsag +)

Antibodi terhadap hepatitis B surface protein

 Jika negatif, pasien tidak mempunyai imunitas terhadap HBV

52
 Jika positif, pasien dipertimbangkan memiliki imnitas terhadap HBV (baik
karena infeksi yang sudah sembuh atau karena vaksinasi). Sangat jarang
sekali pasien karier kronis memiliki positif hbsag dan anti-hbs secara
bersamaan. Pada kasus seperti ini, pasien diperkirakan sedang mengalami
infeksi.

F. Tatalaksana Hepatitis B Kronik


Tujuan utama pengobatan pasien yang terinfeksi HBV adalah mencegah
progresi penyakit, terutama sirosis, gagal hati, dan karsinoma hepatoseller (HCC).
Pendekatan sinergis menekan jumlah virus (viral load) dan memperkuat respon
imun host dengan intervensi imunoterapi dibutuhkan untuk memberi peluang
pasien memperoleh prognosis terbaik. Pencegahan HCC sering mencakup terapi
antivirus dengan pegylated interferon (PEG-INF) atau analog nukleos(t)ida.5,6
Indikasi terapi pada pasien hepatitis B kronik
PPHI 2017 merekomendasikan indikasi terapi pada:6

1. Indikasi terapi pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg positif


adalah pada pasien dengan DNA HBV > 2 x 104 IU/mL dan ALT
meningkat 2 kali lipat batas normal
2. Indikasi terapi pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif yaitu
terapi dimulai pada pasien dengan DNA HBV > 2 x 103 IU/mL dan ALT >
2

53
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg positif
(Sumber: Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B di Indonesia 2012)5

Gambar 8. Algoritma penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg negatif


(Sumber: Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B di Indonesia 2012)5

54
Gambar 9. Algoritma penatalaksanaan Hepatitis B pada pasien dengan sirosis
(Sumber: Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B di Indonesia 2012)5

Pada pasien dengan sirosis terkompensasi terapi dimulai pada pasien


dengan DNA VHB >2 x 103 IU/mL. Sedangkan pada sirosis tidak terkompensasi,
terapi harus segera dimulai untuk mencegah deteriorasi tanpa memandang nilai
DNA VHB ataupun ALT.5,6
Pemeriksaan histologis hati pada pasien hepatitis B kronik tidak dilakukan
secara rutin. Namun, pemeriksaan ini mempunyai peranan penting karena
penilaian fibrosis hati merupakan faktor prognostik pada infeksi hepatitis B
kronik. Indikasi dilakukannya pemeriksaan histologis hati adalah pasien yang
tidak memenuhi kriteria pengobatan dan berumur > 30 tahun atau < 30 tahun
dengan riwayat HCC dan sirosis dalam keluarga. Pengambilan angka 30 tahun
sebagai batasan didasarkan pada studi yang menunjukkan bahwa rata-rata umur
kejadian sirosis di Indonesia adalah 40 tahun, sehingga pengambilan batas 30
tahun dirasa cukup memberikan waktu untuk deteksi dini sirosis.5

55
Pada pasien yang tidak termasuk dalam indikasi terapi, maka pemantauan
harus dilakukan tiap 3 bulan bila HBeAg positif dan tiap 6 bulan bila HBeAg
negatif. Pemeriksaan histologis hati dapat dilakukan dengan cara invasif maupun
non invasif. Saat ini, metoda yang paling baik untuk pemeriksaan histologis
adalah biopsi hati, prosedur ini tidak nyaman dan tidak praktis bila digunakan
sebagai alat pemantau. Terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa
metode noninvasif seperti liver stiffness measurement (LSM) dengan elstografi
transien dan pemeriksaan serologis lain dapat digunakan sebagai alternatif
pemeriksaan histologis pada pasien hepatitis B kronik. LSM mempunyai performa
yang baik dalam mendiagnosis fibrosis lanjut, dibandingkan dengan tes serologis
lain. LSM menunjukkan NPV 92% pada cut off 6.0 kPa pada pasien dengan ALT
normal dan 7.5 kPa pada pasien dengan ALT meningkat. Selain itu, LSM
menunjukkan PPV 98% pada cut-off 9 kPa pada pasien dengan ALT normal dan
12 kPa pada pasien dengan ALT meningkat.5,6

Mengingat adanya peningkatan risiko HCC yang cukup signifikan pada


pasien hepatitis B, penapisan dan evaluasi risiko HCC menjadi hal yang penting
dilakukan. Sebuah studi buta acak berganda yang melibatkan 18.816 orang
dengan hepatitis B kronik menunjukkan bahwa pemeriksaan alfa fetoprotein
(AFP) dan USG setiap 6 bulan mampu menurunkan mortalitas akibat HCC
sampai 37%.22 Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa, pada pasien dengan
hepatitis B kronik, evaluasi risiko HCC dengan USG maupun AFP tiap 6 bulan
harus dilakukan, terutama bagi pasien dengan risiko tinggi (laki-laki ras Asia
dengan usia >40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia >50 tahun, pasien dengan
sirosis hati, atau pasien dengan riwayat penyakit hati lanjut di keluarga).5

G. Hasil Terapi Terkini


Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang
diterima secara luas, yaitu golongan interferon (baik interferon konvensional,
pegylated interferon α-2a, maupun pegylated interferon α-2b) dan golongan
analog nukleos(t)ida. Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi terdiri atas
lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin, dan tenofovir. Semua jenis obat

56
tersebut telah tersedia dan beredar di Indonesia, namun khusus untuk tenofovir,
saat panduan ini disusun, peredarannya di Indonesia hanya dikhususkan untuk
pasien HIV. 5,6
Rekomendasi PPHI 2017 untuk pilihan terapi lini pertama pada hepatitis B
kronik yaitu tenofovir 300 mg/hari atau entecavir 0,5 mg/hari. Pilihan terapi lini
kedua dapat dipertimbangkan sesuai dengan ketersediaan obat atau kepentingan
pengobatan segera pada pasien naïf atau yang tidak diketahui profil resistensinya,
mencakup lamivudine 100 mg/hari, adefovir 10 mg/hari atau telbivudin 600
mg/hari.6
Selama terapi, pemeriksaan DNA HBV, HBeAg, anti HBe, dan ALT
dilakukan setiap 3-6 bulan. Pemakaian tenofocir dan adefocir, terutama pada
pasien sirosis, memerlukan kewaspadaan terjadinya penurunan fungsi ginjal,
sehingga diperlukan monitoring sekurang-kurangnya setiap 3 bulan. Sedangkan
pemeriksaan HBsAg dilakukan pada akhir terapi dilanjutkan dengan pemeriksaan
anti-HBs dilakukan bila hasilnya negatif. Pemeriksaan HBeAg, ALT dan DNA
HBV dilakukan tiap bulan selama 3 bulan pertama terapi dihentikan. Kemudian
dilanjutkan tiap 3 bulan selama satu tahun. bila tidak ada relaps, pemeriksaan
dilakukan tiap 3 bulan pada pasien sirosis dan tiap 6 bulan pada pasien non-
sirosis.6
Baik interferon maupun analog nukleos(t)ida memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing. Perbedaan kedua golongan obat ini dapat dilihat di
tabel 6.6

57
Tabel 6. Perbandingan karakteristik interferon dan analog nukleos(t)ida.5

H. Kriteria penghentian terapi hepatitis B


Kriteria penghentian terapi pada pasien dengan HBeAG positif tanpa
sirosis adalah serokonversi HBeAG dengan DNA HBV tidak terdeteksi yang
dipertahankan paling tidak 12 bulan.6
Pada pasien HBeAg positif dengan sirosis yang sudah mencapai
serokonversi HBeAg, terapi direkomendasikan untuk dilanjutkan seumur hidup.6
Pada pasien dengan HBeAg negative tanpa sirosis, terapi bisa dihentikan
bila tercapai hilangnya HBsAg.6
Pada pasien HBeAg negatif dengan sirosis, terapi direkomendasikan untuk
dilanjutkan seumur hidup.6

58
3.1.3 Sirosis Hepatis
Secara konvensional, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan sebagai
makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm), mikronodular (besar nodul kurang
dari 3 mm), atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga
diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan morfologis.9
Sebagian besar jenis sirosis diklasifikasikan secara etiologis dan
morfologis menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (postnekrotik),
biliaris, kardiak, dan metabolik,keturunan, dan terkait obat.9
Di negara barat, penyebab sirosis yang utama adalah alkoholik, sedangkan
di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Berdasarkan
hasil penelitian di Indonesia, disebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan
sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non
B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia diduga frekuensinya
sangat kecil walaupun belum terdapat data yang menunjukkan hal tersebut.9

A. Patofisiologi
Gambaran patologi hati biasanya mengerut, berbentuk tidak teratur, dan
terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan
lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran
nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau
parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur.8,9
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan
adanya peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal sel stelata
mempunyai peranan dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan
proses degradasi. Pembenrukan fibrosis menunjukkan perubahan proses
keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus
menerus (misal: hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan
menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus menerus maka
fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal
akan digantikan oleh jaringan ikat.9

59
B. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Stadium awal sirosis sering kali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis)
sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan
rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata)
meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi,
testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah
lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi gangguan pembekuan
darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih
seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi
mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma. Mungkin disertai
hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam tidak begitu tinggi.9

Gambar 10. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis.

(Sumber: Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed)2

60
Pemeriksaan Fisis

Gamb
ar 11. Manifestasi hipertensi portal.
(Sumber: Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of pathophysiology:
concepts of altered health states. 2nd ed)10

Gambar 12. Manifestasi kegagalan fungsi hati


(Sumber: Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of pathophysiology:
concepts of altered health states. 2nd ed)10

Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau


spider telangiektasis), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena

61
kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme
terjadinya belum diketahui secara pasti, diduga berkaitan dengan peningkatan
rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan pula pada orang
sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil. 9
Eritema Palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan,
arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi. 9
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan
akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi
hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.9
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis billier. Osteoarthropati
hipertrofi suatu periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri. 9
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik
berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada pasien diabetes mellitus,
distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol. 9
Ginekomastia secara histologist berupa proliferasi benigna jaringan
glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion.
Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksilla pada laki-laki,
sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminism. Kebalikannya pada
perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga diduga fase menopause. 9
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile. Tanda
ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. 9
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau
mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. 9
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta. 9

62
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. 9
Foetor Hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat.9
Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila
konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap,
seperti air teh. 9
Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa pergerakan mengepak-
ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan. 9
Tanda-tanda lain lain yang menyertai diantaranya: 9

 Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar


 Batu pada vesika felea akibat hemolisis
 Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini
akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat
resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. 9

C. Pemeriksaan Penunjang
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada
waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk
evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi amino transferase, alkali
fosfatase, gamma glutamil peptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin. 9
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glumatil oksaloasetat
transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil
piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak
9
mengeyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer
dan sirosis billier primer. 9

63
Gama-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali
fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkohol
kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatic, juga bisa
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. 9
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi
bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan
hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis. [2]
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin. 9
Prothrombin time mencerminkan derajat/ tingkatan disfungsi sintesis hati,
sehingga pada sirosis memanjang. 9
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan eksresi air bebas. 9
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam,
anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
Anemia dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat
splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme. 9
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk
konfirmasi adanya hipertensi porta. Pemeriksaan radiologis seperti USG
Abdomen, sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan
mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran,
homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler,
permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu
USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran
vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis. 9
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin
digunakan karena biayanya relatif mahal. 9
Magnetic Resonance Imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis
sirosis selain mahal biayanya. 9

64
D. Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas
hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial
spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi
sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul
demam dan nyeri abdomen. 9
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada
penurunan filtrasi glomerulus. 9
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. 20 sampai
40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan berbagai cara. 9
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya
dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom
hepatopulmonal terdapat hydrothorax dan hipertensi portopulmonal. 9

E. Penatalaksanaan
Sekali diagnosis Sirosis hati ditegakkan, prosesnya akan berjalan terus
tanpa dapat dibendung. Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk
mencegah timbulnya penyulit-penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum
alkohol, dan menghindari obat-obat dan bahan-bahan hepatotoksik merupakan
suatu keharusan. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet yang
mengandung protein 1g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari. 9

1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata


Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk

65
menghilangkan etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik
dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen,
kolkisin dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa
diberikan steroid atau imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan
berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. 9
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg
secara oral setiap hari selama satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9-
12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon
alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6
bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh. 9
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stelata bisa
merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam
penelitian. 9

2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata


Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan
obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-
200 mg sehari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki. Bila
pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila
tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila

66
asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin. 9
Ensefalopati hepatik, Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan
ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang. 9
Varises esophagus, Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan
obat β-blocker. Saat terjadi perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin
atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. 9
Peritonitis bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim
intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. 9
Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur
keseimbangan garam dan air.9
Transplantasi hati, terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata.
Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
resipien dahulu. 9
3.1.4 Varises Esofagus
Varises esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang
diproyeksikan ke dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi portal.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal lebih dari 10
mmHg yang menetap, sedangkan tekanan dalam keadaan normal sekitar 5 –10
mmHg. Hipertensi portal paling sering disebabkan oleh sirosis hati. Sekitar 50%
pasien dengan sirosis hati akan terbentuk varises esofagus, dan sepertiga pasien
dengan varises akan terjadi perdarahan yang serius dari varisesnya dalam
hidupnya.11
Perdarahan varises esofagus mempunyai rata-rata morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perdarahan saluran cerna bagian
atas lainnya seperti misalnya ulkus peptikum. Bila tidak di terapi, mortalitas
varises esofagus adalah 30–50%, namun bila dilakukan terapi maka mortalitasnya
menurun hingga 20%. Angka kematian tertinggi terjadi pada beberapa hari
pertama hingga beberapa minggu perdarahan awal, karena itu intervensi dini

67
sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Intervensi dini ini
diperlukan karena perdarahan pada traktus gastrointestinal atas potensial
mengancam jiwa, sehingga harus ditangani dengan cepat dan tepat serta
mendapatkan penanganan medis yang agresif untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan.11
Pemeriksaan endoskopi diperlukan pada kasus perdarahan varises esofagus
untuk menegakkan diagnosis, menilai varises dan merencanakan penatalaksanaan
yang tepat berdasarkan penyakit dasarnya.12,13
Penatalaksanaan perdarahan pada varises esofagus dengan terapi
farmakologi, endoskopi antara lain adalah skleroterapi dan ligasi, tamponade
balon, transjugular intrahepatic portosistemic shunt (TIPS), dan operasi.7,14,15
A. Patofisiologi
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling sering
menimbulkan hipertensi portal (Gambar 13). Tekanan vena porta merupakan hasil
dari tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran darah pada portal bed. Pada sirosis,
tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran porta keduanya sama-sama meningkat.16

Gambar 13. Mekanisme hipertensi portal


(Sumber: Esophageal varices. 2007)16

Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya, akan
mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta yang tinggi
merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral portosistemik, meskipun faktor

68
lain seperti angiogenesis yang aktif dapat juga menjadi penyebab. Walaupun
demikian, adanya kolateral ini tidak dapat menurunkan hipertensi portal karena
adanya tahanan yang tinggi dan peningkatan aliran vena porta. Kolateral
portosistemik ini dibentuk oleh pembukaan dan dilatasi saluran vaskuler yang
menghubungkan sistem vena porta dan vena kava superior dan inferior. Aliran
kolateral melalui pleksus vena-vena esofagus menyebabkan pembentukan varises
esofagus yang menghubungkan aliran darah antara vena porta dan vena kava.16,17
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra, cabang-
cabang vena esofagus, vena gastrika short/brevis (melalui vena splenika), dan
akan mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos. Sedangkan vena gastrika
sinistra menerima aliran darah dari vena porta yang terhambat masuk ke hepar.16
Sistem vena porta tidak mempunyai katup, sehingga tahanan pada setiap
level antara sisi kanan jantung dan pembuluh darah splenika akan menimbulkan
aliran darah yang retrograde dan transmisi tekanan yang meningkat. Anastomosis
yang menghubungkan vena porta dengan sirkulasi sistemik dapat membesar agar
aliran darah dapat menghindari (bypass) tempat yang obstruksi sehingga dapat
secara langsung masuk dalam sirkulasi sistemik.13
Hipertensi portal paling baik diukur secara tidak langsung dengan
menggunakan wedge hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan tekanan antara
sirkulasi porta dan sistemik (hepatic venous pressure gradient, HVPG) sebesar
10–12 mmHg diperlukan untuk terbentuknya varises. HVPG yang normal adalah
sekitar 5–10 mmHg. Pengukuran tunggal berguna untuk menentukan prognosis
dari sirosis yang kompensata maupun yang tidak kompensata, sedangkan
pengukuran ulang berguna untuk memonitoring respon terapi obat-obatan dan
progresifitas penyakit hati.13,16
Bila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi pecahnya
varises. Kemungkinan pecahnya varises dan terjadinya perdarahan akan
meningkat sebanding dengan meningkatnya ukuran atau diameter varises dan
meningkatnya tekanan varises, yang juga sebanding dengan HVPG. Sebaliknya,
tidak terjadi perdarahan varises jika HVPG di bawah 12 mmHg. Risiko
perdarahan ulang menurun secara bermakna dengan adanya penurunan dari HVPG
lebih dari 20% dari baseline. Pasien dengan penurunan HVPG sampai <12
mmHg, atau paling sedikit 20% dari baseline, mempunyai kemungkinan yang

69
lebih rendah untuk terjadi perdarahan varises berulang, dan juga mempunyai
risiko yang lebih rendah untuk terjadi asites, peritonitis bakterial dan kematian.16
Beberapa penelitian menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan nitric
oxide (NO) pada patogenesis hipertensi porta dan varises esofagus. Endotelin-1
adalah vasokonstriksi kuat yang disintesis oleh sel endotel sinusoid yang
diimplikasikan dalam peningkatan tahanan vaskuler hepatik pada sirosis dan
fibrosis hati. Nitric oxide adalah vasodilator, yang juga disintesis oleh sel
endotelial sinusoid. Pada sirosis hati, produksi NO menurun, aktivitas endothelial
nitric oxide synthase (eNOS) dan produksi nitrit oleh sel endotelial sinusiod
berkurang.13
B. Diagnosis
Varises esofagus biasanya tidak memberikan gejala bila varises belum
pecah yaitu bila belum terjadi perdarahan. Oleh karena itu, bila telah ditegakkan
diagnosis sirosis hendaknya dilakukan skrining diagnosis melalui pemeriksaan
Esofagogastroduodenoskopi (EGD) yang merupakan standar baku emas untuk
menentukan ada tidaknya varises esofagus. Pada pasien dengan sirosis yang
kompensata dan tidak didapatkan varises, ulangi EGD setiap 2–3 tahun,
sedangkan bila ada varises kecil, maka pemeriksaan EGD diulangi setiap 1–2
tahun. Pada sirosis yang dekompensata, lakukan pemeriksaan EGD setiap tahun.
Efektivitas skrining dengan endoskopi ini bila ditinjau dari segi biaya, masih
merupakan kontroversi, maka untuk keadaan-keadaan tertentu disarankan untuk
menggunakan gambaran klinis, seperti jumlah platelet yang rendah, yang dapat
membantu untuk memprediksi pasien yang cenderung mempunyai ukuran varises
yang besar.6
Bila standar baku emas tidak dapat dikerjakan atau tidak tersedia, langkah
diagnostik lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan ultrasonografi
Doppler dari sirkulasi darah (bukan ultrasonografi endoskopik). Alternatif
pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan radiografi dengan menelan barium dari
esofagus dan lambung, dan angiografi vena porta serta manometri.12,13

Pada pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, sangatlah penting menilai lokasi


(esofagus atau lambung) dan besar varises, tanda-tanda adanya perdarahan yang
akan terjadi (imminent), perdarahan yang pertama atau perdarahan yang berulang,
serta bila mungkin untuk mengetahui penyebab dan beratnya penyakit hati.16

70
Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan akan
meluas sampai ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut. Berikut ini adalah
derajat dari varises esofagus berdasarkan gambaran endoskopis (Gambar 14).2

Gambar 14. Derajat varises esofagus

(Sumber: Esophageal varices. In: Block B, Schachschal G, Schmidt H, et. al.


Endoscopy of the upper GI Tract)19

Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan gambaran derajat 1, terjadi


dilatasi vena (<5 mm) yang masih berada pada sekitar esofagus. Pada derajat 2
terdapat dilatasi vena (>5 mm) menuju kedalam lumen esofagus tanpa adanya
obstruksi. Sedangkan pada derajat 3 terdapat dilatasi yang besar, berkelok-kelok,
pembuluh darah menuju lumen esofagus yang cukup menimbulkan obstruksi. Dan
pada derajat 4 terdapat obstruksi lumen esofagus hampir lengkap, dengan tanda
bahaya akan terjadinya perdarahan (cherry red spots).14

Setelah varises esofagus telah diidentifikasi pada pasien dengan sirosis,


risiko terjadinya perdarahan varises adalah sebesar 25-35 %. Oleh karena sirosis
hati akan mempunyai prognosis buruk dengan adanya perdarahan varises, maka
penting untuk dapat mengidentifikasi mereka yang berisiko tinggi dan pencegahan
kejadian perdarahan pertama. Perdarahan varises esofagus biasanya tanpa rasa
sakit dan masif, serta berhubungan dengan tanda perdarahan saluran cerna
lainnya, seperti takikardi dan syok. Faktor risiko untuk perdarahan pada orang
dengan varises adalah derajat hipertensi portal dan ukuran dari varises. Varises

71
sangat tidak mungkin untuk terjadi perdarahan jika tekanan portal < 12
mmHg.13,14

Perdarahan varises didiagnosis atas dasar ditemukannya satu dari


penemuan pada endoskopi, yaitu tampak adanya perdarahan aktif, white nipple,
bekuan darah pada varises.1 Sedangkan adanya red wale markings atau cherry red
spots yang menandakan baru saja mengeluarkan darah atau adanya risiko akan
terjadinya perdarahan (Gambar 15).19

Gambar 15. Pemeriksaan varises esofagus dengan endoskopi (Cherry-red spots/


Red wale marking)

(Sumber: Esophageal varices. In: Block B, Schachschal G, Schmidt H, et. al.


Endoscopy of the upper GI Tract)19

Pada pasien dengan dugaan terjadi perdarahan dari varises, perlu dilakukan
pemeriksaan EGD. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin
setelah masuk rumah sakit (12 jam), khususnya pada pasien dengan perdarahan
yang secara klinis jelas. Penundaan lebih lama (24 jam) dapat di lakukan pada
kasus perdarahan ringan yang memberikan respon dengan vasokonstriktor.17
Pada saat dilakukan endoskopi, ditemukan perdarahan dari varises
esofagus atau varises gaster. Varises diyakini sebagai sumber perdarahan, ketika
vena menyemprotkan darah atau ketika ada darah segar dari esophageal-gastric
junction di permukaan varises atau ketika ada darah segar di fundus, jika terdapat
varises lambung. Dalam keadaan tidak ada perdarahan aktif (lebih dari 50%
kasus) atau adanya varises sedang dan besar dengan tidak adanya lesi, maka
varises potensial untuk menjadi sumber perdarahan yang potensial.17
Untuk penatalaksanaan yang optimal, sangat penting memahami pasien
yang kemungkinan besar dapat terjadi perdarahan. Faktor klinis berhubungan
dengan peningkatan risiko perdarahan varises pertama, termasuk penggunaan

72
alkohol dan fungsi hati yang buruk. Kombinasi dari pemeriksaan klinis dan
endoskopi termasuk mencari klasifikasi Child-Pugh pada sirosis berat, varises
yang besar dan adanya red wale markings sangat berhubungan dengan risiko
kejadian perdarahan pertama pada pasien dengan sirosis.16,17

C. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan perdarahan gastrointestinal adalah stabilisasi pada
hemodinamik, meminimalkan komplikasi dan mempersiapkan terapi yang efektif
untuk mengontol perdarahan. Resusitasi awal harus dengan cairan intravena dan
produk darah, serta penting perlindungan pada saluran nafas. Setelah dicapai
hemodinamik yang stabil, namun bila perdarahan terus berlanjut hendaknya
dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk melihat sumber perdarahan, dan untuk
identifikasi kemungkinan pilihan terapi seperti skleroterapi, injeksi epineprin atau
elektrokauter.14
Terapi Farmakologi
Prinsip pemberian farmakoterapi adalah menurunkan tekanan vena porta
dan intravena. Hanya ada dua farmakoterapi yang direkomendasikan untuk
pentatalaksaan perdarahan varises esofagus yaitu: vasopresin dan terlipresin.19
Vasopresin adalah vasokonstriktor kuat yang efektif nenurunkan tekanan
portal dengan menurunkan aliran darah portal yang menyebabkan vasokonstriksi
splanknik. Penatalaksanaan dengan obat vasoaktif sebaiknya mulai diberikan saat
datang ke rumah sakit pada pasien dengan hipertensi portal dan dicurigai adanya
perdarahan varises. Tujuan pemberian farmakoterapi adalah untuk menurunkan
tekanan portal, yang berhubungan erat dengan tekanan varises. Terapi ini rasional
bila tekanan portal yang tinggi ( > 20 mmHg) dengan prognosis yang kurang
baik.17
Obat vasoaktif dapat diberikan dengan mudah, lebih aman dan tidak
memerlukan keterampilan. Terapi dapat dimulai di rumah sakit, dirumah atau saat
pengiriman ke rumah sakit yang akan meningkatkan harapan hidup pasien dengan
perdarahan masif. Obat vasoaktif juga akan memudahkan tindakan endoskopi.17
Terlipresin adalah turunan dari vasopresin sintetik yang long acting,
bekerja lepas lambat. Memiliki efek samping kardiovaskuler lebih sedikit
dibandingkan dengan vasopresin. Pada pasien dengan sirosis dan hipertensi porta
terjadi sirkulasi hiperdinamik dengan vasodilatasi. Terlipresin memodifikasi

73
sistem hemodinamik dengan menurunkan cardiac output dan meningkatkan
tekanan darah arteri dan tahanan vaskuler sistemik. Terlipresin memiliki efek
menguntungkan pada pasien ke gagalan hepatorenal, yaitu dengan kegagalan
fungsi ginjal dan sirosis dekompensata. Dengan demikian, dapat mencegah gagal
ginjal, yang sering terdapat pada pasien dengan perdarahan varises. Ketika
dicurigai perdarahan varises diberikan dosis 2 mg/ jam untuk 48 jam pertama dan
dilanjutkan sampai dengan 5 hari kemudian dosis diturunkan 1 mg/ jam atau 12-
24 jam setelah perdarahan berhenti. Efek samping terlipresin berhubungan dengan
vasokonstriksi seperti iskemia jantung, infark saluran cerna dan iskemia anggota
badan.17

74
BAB IV
DISKUSI

A. Diskusi berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan


Penunjang
Pasien datang dengan keluhan muntah darah merah segar yang dialami
sejak 1 hari SMRS sebanyak ± 1 aqua gelas. Mulanya muntah dialami sebanyak 2
kali. Sebelum muntah pasien mengaku memakan mangga muda dengan sambal
untuk berbuka puasa. Kurang lebih satu jam setelah memakan mangga pasien
mengalami muntah darah tersebut. Keluhan diawali dengan nyeri ulu hati, pusing
dan keringat dingin. Keesokan harinya pada pagi hari pasien mengeluhkan lemas
dan kembali muntah sebanyak 3 kali lalu pergi ke puskemas dan disarankan untuk
langsung ke RS. Pasien juga mengaku sering mual setelah makan jika pasien
terlambat makan. Demam (-). Mual (-). BAB dan BAK baik. Tidak terdapat
bengkak pada kedua kaki atau perut yang membesar.
Dari uraian kasus di atas, pasien datang dengan keluhan muntah darah
berwarna merah segar, hal ini sesuai dengan teori bahwa pada perdarahan saluran
cerna atas didapatkan manifestasi klinik umumnya hematemesis dan atau melena.
Pada hasil follow up tanggal 18/05/2019 (hari pertama perawatan), pasien
mengeluhkan BAB konsistensi lembek berwarna hitam dan berbau sebanyak 1
kali yang menunjukkan adanya melena. Sebelum muntah, pasien mengaku
memakan mangga muda dengan sambal. Mangga muda memiliki serat yang
sangat tinggi, salah satu faktor risiko yang dapat memparah keadaan ulkus atau
erosi adalah makanan yang asam, keras dan mengandung banyak serat.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kelainan berupa konjungtiva anemis,
mukosa bibir tampak pucat, nyeri tekan epigastrium, dan liver span 4 cm yang
menunjukkan adanya pengecilan ukuran hepar.
Konjungtiva anemis pada pasien ditunjang dengan hasil pemeriksaan
darah, yaitu hemoglobin pasien sebesar 4,8 g/dL dengan penurunan ukuran
eritrosit dengan nilai MCV yaitu 62 um. Hal ini menunjukkan adanya anemia
mikrositik hipokromik. Sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk melihat

75
morfologi eritrosit, leukosit, dan trombosit sehingga dapat menentukan
kemungkinan penyebab anemia. Dari hasil pemeriksaan ADT yang dilakukan
pada tanggal 20 Mei 2019, didapatkan hasil berupa pansitopenia disertai dengan
tanda-tanda defisiensi Fe. Anemia defisiensi Fe dapat terjadi karena rendahnya
asupan zat besi, gangguan pada penyerapannya, kebutuhan yang meningkat, dan
kehilangan zat besi yang dapat disebabkan karena perdarahan atau infeksi kronis.
Maka disarankan untuk dilanjutkan pemeriksaan profil Fe. Pemeriksaan profil Fe
bertujuan untuk mengetahui konsentrasi besi yang terikat pada transferrin dan
bersirkulasi di dalam darah. Jika ditemukan serum ferritin yang rendah, serum
transferrin/TIBC meningkat, dan serum besi yang rendah, maka dapat didiagnosis
penyebabnya berupa defisiensi besi. Selain akibat defisiensi besi, penyebab lain
dari anemia mikrositik hipokromik yang paling sering adalah perdarahan. Risiko
perdarahan menigkat pada pasien riwayat ulkus peptikum, varises esofagus,
infeksi H. pylori, kelainan perdarahan (von Willebrand disease, telangiektasis),
dan keganasan gastrointestinal.
Dari hasil pemeriksaan albumin dan tes imunologi yang dilakukan tanggal
20 Mei 2019, didapatkan nilai albumin menurun, yaitu menjadi 2,7 mg/dL dan
HBsAg reaktif.
Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat penurunan pembentukan albumin
(jarang) atau peningkatan pengeluaran albumin melalui ginjal, saluran
gastrointestinal, kulit, atau rueang ekstravaskular, atau adanya peningkatan
katabolisme albumin atau kombinasi kedua mekanisme tersebut.
Penurunan produksi albumin jarang menjadi penyebab hipoalbuminemia.
Penurunan produksi plasma dapat terjadi pada penyakit hepar kronis dan sirosis
hepatis yang signifikan. Sebagian besar, sintesis albumin inadekuat disertai
dengan peningkatan kebutuhan katabolisme karena penyakit sistemik merupakan
penyebab hipoalbuminemia. Selain itu, malnutri protein berat seperti pada
kwashiorkor dapat menyebabkan penurunan sintesis albumin.
Peningkatan pengeluaran albumin dapat disebabkan karena kehilangan
lewat ginjal, saluran pencernaan, ekstravaskular seperti pada luka bakar, sepsis,
dan gagal jantung.

76
Sedangkan hasil HBsAg yang reaktif mengindikasikan pasien sedang
mengalami infeksi virus hepatitis B.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan liver span 4 cm yang menunjukkan
adanya pengecilan ukuran hepar dan didukung dengan hasil USG abdomen pada
tanggal 23 Mei 2019 didapatkan gambaran hepar mengecil dengan kesan adanya
sirosis hepatis.
B. Diskusi Pemilihan Rencana Pengobatan
Diet bubur saring kemudian dilanjutkan dengan diet lunak diberikan
karena pasien mengalami perdarahan saluran cerna. Hal ini dilakukan karena salah
satu faktor risiko yang dapat menyebabkan pecahnya varises dan memperparah
keadaan erosi atau ulkus adalah makanan yang keras dan mengandung banyak
serat. Selain melalui nutrisi enteral, pasien juga diberi nutrisi secara parenteral
dengan pemberian infus kombinasi NaCl 0,9% dan dekstrosa 5%.
Pasien juga mendapatkan obat hemostatik berupa transamin 3x1gr untuk
menghentikan perdarahan dan propanolol 1x10 mg untuk menghindari terjadinya
perdarahan saluran cerna akibat pecahnya varises. Pemberian propranolol
dilakukan baik pada pasien yang sudah mengalami ruptur varises esofagus
ataupun belum.
Pemberian obat-obatan pelindung mukosa lambung seperti omeprazole
2x40mg dan sucralfat 4x1C sudah dilakukan sesuai dengan penatalaksanaan
hematemesis melena e.c. gastritis erosiva.
Pemberian sprinolakton pada pasien ini bertujuan sebagai penanganan
terapi diuretik untuk asites ringan sampai sedang dengan dosis 100-200 mg/hari.
Pemberian transfusi Packed Red Cells (PRC) bertujuan untuk mengatasi
anemia akibat perdarahan, sampai dengan kadar optimal minimum Hb 8.0 gr/dl.

77
DAFTAR PUSTAKA

1. Simadibrata M, Syam AF, Abdullah M, et. al. Konsensus Nasional


Perdarahan Saluran Cerna atas non varises di Indonesia. Jakarta:
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2012.
2. Longo DL, Kaper DL, Jameson JL, et. al. Harrison’s principles of internal
medicine. 18th ed. The McGraw-Hill Companies, 2012.
3. Podolshy DK, Camilleri M, Fitz JG, et. al. Yamada’s textbook of
gastroenterology. 5th ed. Hoboken: John Wiley & Sons, 2016.
4. Mauss S, Rockstroh J, Wedemeyer H, et. al. Hepatology: A clinical textbook.
9th ed. Frankfurt: Gilead, 2018.
5. Gani RA, Hasan I, Djumhana A, et. al. Konsensus nasional penatalaksanaan
hepatitis B di Indonesia 2012. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia,
2012.
6. Setiawan PB, Nusi PIA, Maimunah U, et. al. Surabaya weekend course
(SuWec-6): A to Z about non alkoholic fattly liver disease: Future liver
disease. Surabaya: Surabaya Weekend Course (SuWec-6) in Gastroentero-
Hepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD dr. Soetomo,
2018.
7. Klarisa C, Hasan I, Liwang F. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapis, 2014.
8. Anonym. Atikel Umum: Hepatitis B. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati
Indonesia, 2014.
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et. al. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4.
Jakarta: Interna Publishing, 2014.
10. Porth CM. Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of
pathophysiology: concepts of altered health states. 2nd ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins, 2004.
11. Azer SA, Katz J. Esophageal varices. 2010. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/175248-overview.

78
12. Kenneth R, McQuaid M. Gastrointestinal disorders. In: Stephen J, McPhee
M, Maxine A, Papadakis P, et. al. Current Medical Diagnosis & Treatment.
48th ed. USA: McGraw Hill Companies Inc, 2009.
13. Vaezi MF. Upper gastrointestinal bleeding. In: Vaezi MF, Park W, Swoger J,
et. al. Esophageal diseases. Oxford: An Imprint Of Atlas Medical Publishing
Ltd, 2006.
14. Ala I, Sharara S, Don C, Rockey R. Gastroesophageal variceal hemorrhage.
2001. N Engl J Med. Available from: www.nejm.org.
15. Jane Y, Yang Y, Ellen S, Deutsch D, James S, Reilly R.
Bronchoesophagology. In: James B, Snow JR, John JB, et. al.
Otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Ontario: BC Decker
Inc, 2003.
16. Dite P, Labrecque D, Fried M, Gangl A, Khan AG, Bjorkman D, et al.
Esophageal varices. 2007. World gastroenterology organisation practise
guideline, Available from: http://www.worldgastroenterology.org/graded-
evidence-access.html.
17. Bendtsen F, Krag A, Moller S. Treatment of acute variceal bleeding. 2008.
Digestive and liver disease. Available from: www.sciencedirect.com.
18. Anonym. Riset kesehatan dasar. 2013.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2020
13.pdf.
19. Block B, Schachschal G, Schmidt H. Esophageal varices. In: Block B,
Schachschal G, Schmidt H, et. al. Endoscopy of the upper GI Tract.
Germany: Grammlich, 2004.
20. Zaiden R. Evaluation of anemia. USA: BMJ Best Practice, 2018
21. Wilkins T, Khan N, Nabh A, et. al. Diagnosis and management of uuper
gastrointestinal bleeding. American Family Physician. 85(5), 2012.
22. Toljamo K. Gatric erosions: Clinical significance and pathology. Oulu:
University of Oulu, 2012.

79

Anda mungkin juga menyukai