Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

Hematemesis Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Pelaksanaan Program Internsip
di Rumah Sakit Wisma Prashanti

Disusun Oleh:
dr. Monica Elysabeth Sunata
dr. Luh Komang Primadeny

Pembimbing:
dr. I B Ariadnyana SpPD

Pendamping PIDI:
dr. Gusti Ayu Primawardani

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSU WISMA PRASHANTI
KABUPATEN TABANAN, BALI
2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
HEMATEMESIS MELENA
EC SIROSIS HEPATIS EC HEPATITIS B KRONIS

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip di
RUMAH SAKIT UMUM WISMA PRASHANTI
KABUPATEN TABANAN

Telah diperiksa dan disetujui


Pada tanggal 2022

Oleh:
DPJP

dr. I B Ariadnyana SpPD

Dokter Pendamping PIDI RSU Wisma Prashanti

dr. Gusti Ayu Primawardani

ii
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya laporan kasus dengan judul “Hematemesis Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B
Kronis” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat
mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia Periode IV Tahun 2021.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu penyelesaian laporan kasus ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. dr. I Made Surya Agung, MARS selaku Direktur RSU Wisma Prashanti Tabanan yang telah
memfasilitasi dan memberikan penulis kesempatan selama proses internsip stase rumah sakit;
2. dr. Gusti Ayu Primawardani selaku dokter Pendamping PIDI stase rumah sakit yang telah
memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis selama proses internsip;
3. dr. I B Ariadnyana SpPD selaku dokter penanggung jawab pasien (DPJP) yang telah
memberikan izin untuk penggunaan kasus, memberikan saran dan masukan dalam
penyempurnaan laporan kasus ini;
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan
kepustakaan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Tabanan, 12 Oktober 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... …. i


LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. …. ii
KATA PENGANTAR....................................................................................... …. iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... …. iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. …. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... …. 3
2.1 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas .................................................... .... 3
2.2 Sirosis Hepatis ............................................................................................ .... 13
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. .... 28
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. ... 43
BAB V KESIMPULAN …………………………………………………………… 48
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... .... 49

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) merupakan salah satu kegawat daruratan
gastroenterologi yang umum ditemukan pada praktik sehari-hari. Pada kondisi ini, perdarahan
dapat terjadi dimanapun pada saluran perncernaan proksimal dari ligamentum Treitz, yakni pada
esofagus, gaster, ataupun duodenum, dengan manifestasi klinis yang muncul dapat berupa muntah
darah (hematemesis), buang air besar berwarna hitam (melena), buang air besar bercampur darah
(hematochezia), atau kombinasi. Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat ditemui
dalam keadaan stabil, namun tak jarang pasien dengan kondisi ini mengalami ketidak stabilan
hemodinamik yang dapat memerlukan perawatan intensif, dan dapat mengancam nyawa.

Insidensi perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) di dunia diperkirakan mencapai 100-
150 kasus per 100.000 penduduk pertahun. Di Indonesia, kejadian perdarahan SCBA di
diperkirakan mencapai sekitar 48-160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih tinggi
pada pria dan usia lanjut. Angka kematian (mortalitas) akibat perdarahan saluran cerna bagian
atas berkisar antara 7-14%, dan risiko kematian meningkat pada kasus rekurensi atau perdarahan
berulang hingga 40%, terutama pada lanjut usia. Penyebab perdarahan SCBA, secara klinis, dibagi
menjadi akibat ruptur varises gastroesofagus (VGE) dan akibat penyebab non-varises yang
meliputi tukak peptik, gastritis erosif, tumor, dan sebagainya. Di Indonesia perdarahan SCBA lebih
banyak disebabkan oleh ruptur varises gastroesofagus (VGE), dan banyak terjadi pada pasien
dengan penyakit dasar sirosis hepatis.

Sirosis hepatis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dimana terjadi perubahan
struktur dan arsitektur dari parenkim hati sehingga hati tidak dapat berfungsi dengan baik. Keadaan
ini paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis, yakni
hepatitis B atau C. Salah satu manifestasi klinis sirosis hati adalah hipertensi porta akibat hambatan
oleh jaringan ikat dalam hati, dan banyaknya darah yang masuk ke vena porta. Perdarahan saluran
cerna bagian atas (SCBA) yang terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis dikaitkan dengan
hipertensi porta yang berkembang menjadi varises gastroesofagus (VGE), serta adanya perburukan
fungsi hati yang menyebabkan gangguan hemostasis. Pasien dengan sirosis hepatis yang pernah
mengalami perdarahan SCBA memiliki risiko rekurensi atau perdarahan berulang yang tinggi,

1
seiring dengan perburukan fungsi hepar dan hipertensi porta yang terus berlangsung, sehingga
risiko kematian pada pasien dengan kondisi ini juga menjadi tinggi. Oleh sebab itu, adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas pada pasien dengan sirosis hepatis, tidak dapat disepelekan.
Pemahaman yang baik mengenai kondisi perdarahan saluran cerna bagian atas pada pasien dengan
sirosis hepatis, dapat membantu dokter sebagai pemberi layanan kesehatan dalam menentukan
penanganan yang tepat dan optimal untuk mencegah berulangnya perdarahan, mencegah
komplikasi atau perburukan kondisi pasien, dan menurunkan risiko kematian.

Pada studi kasus ini, penulis melaporkan sebuah temuan kasus hematemesis dan melena pada
pasien dengan sirosis hepatis akibat hepatitis B kronis, yang diharapkan dapat memperkaya
pemahaman mengenai perdarahan saluran cerna bagian atas pada penderita sirosis hepatis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perdarahan Saluran Ceran Bagian Atas (SCBA)


2.1.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dari saluran cerna
atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan batas anatomik di
ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau
kombinasi.
Hematemesis yakni muntah darah, dapat berupa darah segar, gumpalan darah maupun
muntah dengan darah berwarna hitam seperti bubuk kopi (coffee ground). Melena yakni buang
air besar dengan feses berwarna hitam seperti tar atau asphalt. Hematoskezia yakni buang air
besar dengan feses berwarna merah segar atau marun. Hematokezia biasanya dijumpai pada
pasien pasien dengan perdarahan masif dimana transit time dalam usus yang pendek.

2.1.2 Epidemiologi
Insidensi perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) di dunia diperkirakan mencapai 100-
150 kasus per 100.000 penduduk pertahun. Di Indonesia, kejadian perdarahan SCBA di
diperkirakan mencapai sekitar 48-160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih
tinggi pada pria dan usia lanjut.
Penyebab perdarahan SCBA di negara Barat terbanyak ialah non-varises, dengan 40-50%
kasus disebabkan oleh perdarahan ulkus peptikum, sedangkan di Indonesia lebih banyak
disebabakan oleh rupture varises gastroesofagus. Data studi retrospektif di RS Cipto
Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 807 pasien yang mengalami perdarahan SCBA,
penyebab perdarahan yang ditemukan antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises
gastroesofagus, 225 pasien (26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%)
gastritis erosif. Di Surabaya, dari 1.673 dengan kasus perdarahan SCBA di Bagian Penyakit
Dalam RSU Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 2010, didapatkan penyebabnya ialah 76,9%
pecahnya varises gastroesofagus, 19% gastritis erosiva, 1,0% tukak peptik, 0,6% kanker
lambung, dan 2,6% karena sebab-sebab lain.

3
2.1.3 Faktor Risiko
Terdapat berbagai faktor risiko yang dikatkan dengan terjadinya perdarahan saluran cerna
bagian atas diantaranya:
- Usia tua
- Jenis Kelamin laki-laki
- Riwayat perdarahan saluran cerna sebelumnuya
- Adanya penyakit kronis seperti gagal ginjal, penyakit hati, koagulopati, infeksi H. pylori.
- Penggunaan zat seperti konsumsi alcohol berlebih, atau obat-obatan (medication) seperti
antiplatelet, antikoagulan, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), dan obat anti
nyeri non steroid (OAINS)
- Keadaan sakit akut (acute illness) seperti syok, gagal napas, trauma kepala, trauma
termal.

2.1.4 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) dibagi menjadi variseal akibat
pecahnya varises gastroesofagus dan non variseal yakni meliputi gastritis erosif, tukak peptik,
tukak esofagus, tukak duodenum, gastropati hipertensi porta, sindroma Mallory-Weiss,
esofagitis, gastric antral vascular ectasia, keganasan, dan lain-lain.
Penyebab tersering dari perdarahan saluran cerna di Indonesia yakni rupturnya varises
gastroesofagus. Varises gastroesofagus merupakan salah satu komplikasi dari sirosis hepatis.
Sirosis ini menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta (hipertensi porta). Akibat
peningkatan aliran darah dan tekanan vena porta ini, vena-vena di distal esofagus dan lambung
atas akan melebar, sehingga timbul varises gastroesofagus. Varises gastroesofagus yang pecah
atau ruptur kemudian menimbulkan perdarahan. Terjadinya perdarahan ini bergantung pada
beratnya hipertensi porta dan besarnya varises. Jika darah ini dimuntahkan maka akan
bermanifestasi sebagai hematemesis. Darah dari pecahnya varises gastroesofagus, dapat masuk
ke lambung dan bercampur dengan asam klorida (HCL) yang terdapat pada lambung,
menyebabkan darah berwarna kehitaman seperti kopi (coffee ground). Darah juga dapat
bersama makanan masuk ke usus dan akhirnya keluar bersama feses yang menyebabkan feses
berwarna kehitaman (melena).

4
Hematemesis dan melena juga sering didapatkan terjadi akibat adanya penyakit tukak peptik
(ulcus pepticum). Mekanisme patogenik perdarahan SCBA dari ulkus peptikum ialah destruksi
sawar mukosa lambung yang dapat menyebabkan cedera dan timbulnya perlukaan atau ulkus
pada lambung yang lama kelamaan dapat menimbulkan perdarahan. Aspirin, alkohol, obat anti
inflamasi non steroid, SSRI mengiritasi mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar
kapiler, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan
jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin
lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema,
dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan
terjadinya hemoragi interstisial dan perdarahan. Sama seperti varises gastroesofagus, darah ini
akan dapat bermanifestasi sebagai hematemasis dan/atau melena.
Secara ringkas pathogenesis terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas dapat dilihat
pada bagan sebagai berikut:

5
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis pada perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti: muntah darah (hematemesis), baik darah
segar atau bekuan darah maupun muntah dengan warna coklat kehitaman atau coffee ground;
mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena); feses bercampur darah segar (hematoskezia);
maupun keluhan lemas, pusing, atau lainnya yang menunjukkan adanya anemia dan gangguan
hemodinamik akibat perdarahan SCBA. Pada anamnesis juga dapat digali adanya keluhan
penyerta serta faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas, untuk memperkirakan sumber
atau penyebab perdarahan. Anamnesis mendalam tersebut sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan kondisi stabil, atau ditunda hingga setelah stabilisisasi hemodinamik tercapai.

6
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan perdarahan SCBA dapat dilakukan pemeriksaan fisik
meliputi:
- Tanda-tanda syok: takikardia, akral dingin dan lembab, takipnu, oliguria, penurunan
kesadaran, hipotensi ortostatik, JVP (Jugular Vein Pressure) meningkat.
- Tanda-tanda stigmata penyakit hati kronis dan sirosis: hipertensi portal (pecahnya varises
esofagus, distensi abdomen, asites, splenomegali), ikterus, edema tungkai dan sakral,
spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti, venektasi dinding perut (caput medusa),
asteriksis (flapping tremor).
- Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia
- Koagulopati : purpura, memar, epistaksis
- Tanda-tanda keganasan: limfadenopati, organomegali (hepatomegali, splenomegali),
penurunan berat badan, anoreksia, rasa lemah.
- Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan darah samar pada feses.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus perdarahan SCBA berperan dalam monitoring kondisi
pasien, melihat adanya komplikasi, dan mengetahui penyebab perdarahan. Beberapa
pemeriksaan penunjang rutin yang dapat dilakukan antara lain laboratorium darah lengkap,
faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula darah, elektrolit, golongan darah,
elektrokardiografi, dan foto polos thorax bila diperlukan. Pemeriksaan penunjang yang
menjadi gold standar penentuan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas adalah
endoskopi. Bila endoskopi tidak tersedia dapat dilakukan pemeriksaan dengan modalitas
lain seperti OMD, dan ultrasonografi (USG).
2.1.6 Tatalaksana
Tatalaksana PSCBA secara umum terdiri dari:
a) Penilaian kegawatdaruratan, disertai resusitasi cairan dan stabilisasi hemodinamik.
b) Usaha identifikasi sumber perdarahan.
c) Usaha menghentikan perdarahan secara umum
d) Upaya penanganan penyebab perdarahan secara definitif
e) Upaya pencegahan dan penanganan komplikasi

7
f) Upaya pencegahan terjadinya perdarahan ulang dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.
Evaluasi dan resusitasi yang tepat merupakan hal penting dilakukan paling awal pada pasien
dengan perdarahan SCBA, terutama yang datang dengan keluhan hematemesis, hematoskezia
masif, melena atau anemia progresif. Evaluasi terutama meliputi kondisi jalan napas, pola
pernapasan, dan sirkulasi pasien, termasuk menilai derajat perdarahan, sebagai berikut:

Perdarahan < 8% hemodinamik stabil


Perdarahan 8% -15% hipotensi ortostatik
Perdarahan 15-25% renjatan (shock)
Perdarahan 25% -40% renjatan + penurunan kesadaran
Perdarahan >40% moribund

Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan oksigen, koreksi
koagulopati berat, dan transfusi darah pada saat dibutuhkan. Pada pasien dengan perdarahan
aktif yang masif, pertimbangkan pemasangan kateter intravena dua atau lebih ukuran minimal
18-G. Resusitasi cairan menggunakan larutan salin normal harus segera diberikan pada pasien
dengan perdarahan masif. Cairan salin normal dipilih karena dapat segera menggantikan
volume intravaskular yang hilang. Cairan diberikan dalam 30 menit pertama sebanyak 500 cc
atau lebih untuk mempertahankan tekanan darah sambil mempersiapkan tranfusi bila
diperlukan. Pemberian transfusi darah dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:
- Kadar hemoglobin <8g/dl
- Perdarahan pada kondisi hemodinamik tidak stabil (tanda-tanda syok).
- Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau lebih.
- Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin < 10 g/l dengan hematokrit
< 20-25 %.
- Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun.
Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang diduga masih
berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT bertujuan untuk mencegah aspirasi,
dekompresi, dan menilai perdarahan. Apabila pada pasien dengan perdarahan saluran cerna
bagian atas masih ditemukan adanya perdarahan yang tampak pada pipa nasogastrik, maka
pasien dipuasakan hingga cairan yang teraspirasi dari pipa nasogastrik menjadi jernih. Bila

8
cairan telah jernih (tidak terdapat tanda perdarahan) maka pada pasien dapat dilakukan
pemeriksaan endoskopi guna mengidentifikasi sumber perdarahan dan penatalaksanaan
penyebab perdarahan yang spesifik.
Pada pasien dengan penyakit hati kronis, pemberian vitamin K diperbolehkan dengan
pertimbangan tidak merugikan. Perdarahan SCBA akibat varises dapat diberikan vasopressin,
somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui menurunkan aliran darah splanknik.
Somatostatin juga dapat diberikan pada perdarhan nonvarises.
Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan untuk pasien Perdarhana SCBA
terutama perdarahan nonvarises. Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan
agregasi trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada bekuan yang
telah terbentuk di saluran cerna. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi asam lambung
intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah pada saluran cerna. Pada jangka
panjang, terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa. Bila endoskopi akan
ditunda atau tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena direkomendasikan untuk mengurangi
perdarahan lanjut pada pasien dengan perdarahan SCBA.
Belum terdapat rekomendasi penggunaan asam tranexamat pada pasien dengan perdarhan
SCBA, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat manfaat pada perdarahan
akibat varises. Pemberian antibiotik seperti golongan sefalosforin generasi ketiga dapat
mengurangi infeksi dan mortalitas pasien perdarahan SCBA.
Pencegahan perdarahan ulang penting untuk meminimalisir risiko mortalitas dan luaran
buruk pada pasien dengan perdarahan SCBA. Upaya pencegahan perdarahan ulang sangat
bergantung pada penyebab perdarahan. Pada perdarahan SCBA akibat ruptur varises
gastroesofagus, pencegahan perdarahan yang dapat dilakukan diantaranya terapi medik dengan
beta bloker non-selektif, terapi endoskopi dengan skleroterapi atau ligasi. Pencegahan
perdaraha ulang pada tukak peptik meliputi pemberian proton pump inhibitor (PPI). Pada tukak
peptik, PPI diberikan selama 8-12 minggu, dan pada tukak duodenum PPI diberikan selama 6-
8 minggu. Bila ada infeksi helicobacter pilory perlu dieradikasi, yakni dengan menggunakan
triple therapy (proton pump inhibitor, clarithromycin dan amoxicillin atau imidazole). Bila
pasien memerlukan anti inflamasi NSAID, maka dapat diganti terlebih dahulu dengan analgetik
parasetamol, dan kemudian dipilih NSAID selektif yang disertai dengan pemberian PPI.

9
Algoritma penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas, lebih lanjut dapat dilihat
pada bagan berikut:

2.1.7 Komplikasi dan Prognosis


Berbagai komplikasi yang dapat berkembang pada pasien dengan perdarahan saluran cerna
atas diantaranya meliputi syok hipovolemik, pneumonia aspirasi, gagal ginjal akut, sindrom
hepatorenal, dan anemia karena perdarahan.
Prognosis pasien dengan perdarahan SCBA ditentukan oleh, usia, hemodinamik,
komorbiditas, dan penyebab perdarahan. Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat
berhenti sendiri, tetapi pada 20% dapat berlanjut. Angka kematian (mortalitas) akibat
perdarahan saluran cerna bagian atas berkisar antara 7-14%, sedangkan mortalitas karena
perdarahan ulang mendekati 40%, terutama pada lanjut usia dan pada pasien dengan perdarahan
akibat pecahnya varises gastroesofagus.

10
Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi untuk kejadian pendarahan
ulang, mortalitas, kebutuhan intervensi dapat dilakukan dengan menggunakan skor Blatchford
dan Rockall. Pasien-pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan risiko
kematian, sebaiknya dirawat di unit rawat intensif.

a. Skor Rockall
Pada perhitungan risiko perdarahan dan prognosis dengan skor ini diperlukan adanya
pemeriksaan endoskopi. Kriteria dan perhitungan skor Rockall yakni sebagai berikut:

Score 0 1 2 3
Age (yr) <60 60-70 ≥80 N/A
Pulse <100 >100 >100 N/A

Systolic blood >100 >100 <100 N/A


pressure
Comorbidities None Nil Major Isschemic Heart disease, Renal or liver
cardiac failure, other major failure,
co-morbidity disseminated
malignancy

Diagnosis Mallory- All other Malignant lesion N/A


Weiss or no diagnosis
lession/path
ology

Stigmata of None, or None, or Blood, adherent clot, N/A


haemorrhage on dark spot dark spot visible/spurting vessel
endoscopy only only

Semakin besar skor yang didapatkan maka persentase perdarahan ulang dan mortalitas
akan meningkat, sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut:

11
b. Skor Blatchford atau Glasgow-Blatchford Score (GBS)
Skor ini dapat membantu penilaian risiko pada pasien sebelum dilakukannya intervensi
dengan endoskopi. GBS adalah sistem skoring untuk memprediksi perlu atau tidaknya
dilakukan intervensi dengan endoskopi, risiko perdarahan ulang (rebleeding), dan
kematian. Pasien dengan skor GBS 0-1 tidak memerlukan intervensi endoskopi, dan
memiliki kemungkinan rebleeding yang rendah (0,5%). Kriteria skor ini lebih lanjut adalah
sebagai berikut:

Admission risk marker Score component value


Blood urea (mmol litre1)
6.5-8.0 2
8.0-10.0 3
10.0 – 25 4
>25 6
Haemoglobin (g litre-1) for men
12.0 – 13.0 1
10.0 – 12.0 3
<10.0 6
Haemoglobin (g litre-1) for women
10.0 – 12.0 1
<10.0 6
Systolic blood pressure (mmHg)
100-109 1
90-99 2
<90 3
Others markers
Pulse ≥ 100 (min-1) 1
Presentation with melena 1
Presentation with syncope 2
Hepatic disease 2
Cardiac failure 2

Total skor bervariasi dari 0 hingga 23, di mana semakin tinggi skor, semakin tinggi
risikonya. Skor 0 dianggap berisiko rendah dan pasien dapat melanjutkan terapi rawat jalan.
Skor antara 1 dan 5 menunjukkan risiko yang lebih tinggi, namun kemungkinan pasien

12
memerlukan pembedahan tidak terlalu signifikan. Skor 6 atau lebih memiliki risiko tinggi
untuk mengalami perdarahan saluran cerna atas berulang (rebleeding), memiliki risiko
kematian dalam 30 hari yang lebih tinggi, serta memiliki kemungkinan lebih dari 50% untuk
memerlukan intervensi bedah, transfusi darah atau intervensi endoskopi

2.2 Sirosis Hepatis


2.2.1 Definisi
Sirosis hati atau sirosis hepatis adalah perjalanan akhir dari berbagai macam penyakit hati
kronik. Sirosis hepatis didefinikan sebagai suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hati yang berlangsung progresif ditandai dengan distorsi arsitektur hati
dan pembentukan nodulus regeneratif.
World Health Organization (WHO) memberi batasan histologi sirosis hepatis sebagai proses
kelainan hati yang bersifat difus, ditandai fibrosis, dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk
nodul-nodul yang abnormal.

2.2.2 Epidemiologi
Sirosis hepatis menempati urutan ke tujuh penyebab tersering kematian pada orang dewasa
di dunia. Sirosis hepatis lebih sering ditemui pada laki-laki dibanding perempuan (perbandingan
1,6:1), dengan usia rata-rata 30-59 tahun.
Di Indonesia, data mengenai prevalensi sirosis hepatis masih sangat terbatas. Diperkirakan,
3,6-8,4% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam di rumah sakit umum
pemerintah di Jawa dan Sumatra merupakan pasien sirosis. Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah
rerata pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam
selama kurun waktu 1 tahun, dan lebih dari 40% pasien sirosis adalah asimptomatis (tanpa
gejala) yang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit
yang lain.
Dari data RS Soetomo Surabaya diperkirakan angka rawat inap pasien sirosis hepatis
mencapai 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata-rata
mencapai 47,4% dari seluruh pasien yang dirawat dengan penyakit hati. Perbandingan kejadian
sirosis hepatis pada pria dan wanita yang dirawat yakni 2:1, dengan rentang umur pasien
berkisar pada 13-88 tahun.

13
2.2.3 Klasifikasi
Sirosis hepatis dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi, etiologi, dan kondisi klinik.
a. Klasifikasi Morfologi
Klasifikasi morfologi telah jarang dipakai karena sering tumpang tindih satu sama lainnya.
Klasifikasi ini terdiri dari:
- Sirosis mikronoduler: nodul berbentuk uniform, diameter kurang dari 3 mm. Penyebabnya
antara lain yakni alkoholisme, hemakromatosis, obstruksi bilier dan obstruksi vena
hepatika.
- Sirosis makronoduler: nodul bervariasi dengan diameter lebih dari 3mm. Penyebabnya
antara lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, defisiensi α-1-antitripsin dan sirosis bilier
primer.
- Sirosis campuran kombinasi antara mikronoduler dan makronoduler.
b. Klasifikasi Etiologi
Klasifikasi etiologi lebih umum digunakan. Pada klasifikasi ini sirosis dibedakan berdasarkan
atas penyebab terjadinya yakni sebagai berikut
Sub Classification Cause

Viral Hepatitis B, C, and D infection

Toxins Alcohol, drugs

Autoimmune Autoimmune hepatitis

Cholestatic Primary biliary cholangitis, primary sclerosing


cholangitis

Vascular Budd-Chiari syndrome, sinusoidal obstruction


syndrome, cardiac cirrhosis

Metabolic Hemochromatosis, NASH, Wilson disease,


alpha-1 antitrypsin deficiency, cryptogenic
cirrhosis.

c. Klasifikasi Berdasarkan Manifestasi Klinik


Klasifikasi ini dibedakan sesuai dengan manifestasi klinis yang timbul pada pasien yang
menunjukkan tingkatan atau stadium kerusakan dan penurunan fungsi hepar pada sirosis
hepatis, yang dibagi menjadi dua yakni, stadium kompensata, dan dekompensata. Pada fase
kompensata, kompensasi tubuh terhadap kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali

14
muncul tanpa gejala atau memunculkan keluhan tidak khas, sehingga sering ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Pada fase dekompensata tanda
kerusakan dan penurunan fungsi hati menjadi lebih jelas, dan umumnya sudah terdapat
komplikasi, tanda yang muncul dapat berupa ikterik, perdarahahan varises, atau ensefalopati.
Pembatasan klasifikasi sirosis hepatis berdasarkan stadium manifestasi klinisnya lebih lanjut
dimuat dalam konsensus Baveno IV:
- Stadium 1: tidak ada varises, tidak ada asites
- Stadium 2: varises (+), tidak ada asites
- Stadium 3: asites (+) dengan atau tanpa varises
- Stadium 4: perdarahan (+) dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, sementara stadium 3 dan
4 dimasukkan dalam kelompok sirosis dekompensata.

2.2.4 Etiologi dan Patogenesis


Mayoritas penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hati kronis yang
disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan
minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain dari penyakit hati kronis yang dapat
menjadi sirosis hepatis diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis), penyakit
autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit hati bawaan, penyakit metabolik
seperti Wilson’s disease, penyakit granulomatosa (sarcoidosis), efek toksisitas obat
(methotrexate dan hipervitaminosis A), dan obstuksi aliran vena seperti sindrom Budd-Chiari
dan penyakit veno-oklusif.
Di Amerika Serikat, kecanduan alkohol adalah penyebab yang paling sering dari sirosis hati.
Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus hepatitis B merupakan penyebab tersering dari
sirosis hati yaitu sebesar 40-50% kasus, diikuti oleh virus hepatitis C dengan 30-40% kasus,
sedangkan 10-20% sisanya tidak diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok virus bukan
B dan C.

15
Patofisiologi terjadinya sirosis hepatis diketahui berdasarkan etiologinya. Sirosis yang
disebabkan oleh virus hepatitis B dan C ditandai dengan adanya fibrosis portal dengan bridging
fibrosis dan pembentukan nodul. Pembentukan fibrin yang terus menerus menutup portal
sehingga pertukaran oksigen antara sinusoid hepatis dan hepatosit terganggu. Hal ini
menyebabkan fungsi hepar terganggu. Pembentukan fibrin yang menyebabkan fibrosis
disebabkan oleh aktivasi sel stelata yang diinduksi oleh paparan oleh virus hepatitis. Selain itu,
angiogenesis dan kapilarisasi berlangsung terus menerus sehingga menyebabkan gagal hepar
dan meningkatkan tekanan portal.
Pada sirosis yang disebabkan oleh alkohol, alkohol awalnya diserap di usus halus. Tubuh
memiliki gastric alcohol dehydrogenase (ADH), microsomal ethanol oxidizing
system (MEOS), dan peroxisomal catalase untuk memetabolisme alkohol yang yang masuk
dalam tubuh. Etanol yang telah dimetabolisme akan membentuk asetaldehida yang nantinya
termetabolisme menjadi asetat. Asetaldehida dapat bergabung dengan protein untuk
membentuk protein-acetaldehyde adducts yang dapat mengganggu proses bentukan formasi
mikrotubular dan pertukaran protein hepatis. Konsumsi alkohol juga meningkatkan akumulasi
trigliserida dengan meningkatkan asupan asam lemak dan mengurangi oksidasi asam lemak

16
serta sekresi lipoprotein. Selain itu, pembentukan spesies oksigen reaktif meningkatkan
kerusakan membran hepatosit. Akibatnya, terjadilah aktivasi sel stelata yang menginduksi
produksi kolagen berlebih dan matriks ekstraseluler. Jaringan ikat terbentuk dan mengikat
portal triad, vena sentral membentuk nodul regenerative, dengan demikian struktur hepar nomal
berubah kearah sirosis.
Proses fibrosis pada sirosis yang disebabkan virus dan konsumsi alkohol terjadi secara kronis
sehingga hepar kontraksi dan mengecil. Walau demikian, seiring perkembangan fibrosis
menjadi sirosis, ukuran hepar akan kembali membesar.
Hipertensi portal menyebabkan pembentukan varises pada esofagus dan gaster. Hal ini
sangat berbahaya mengingat varises mudah untuk pecah dan terjadi perdarahan. Selain itu,
vasodilasi splanknik juga meningkatkan aliran ke portal yang memperparah tekanan portal dan
juga menyebabkan sirkulasi hiperdinamik. Hal ini berujung pada asites dan sindrom
hepatorenal yang ditandai dengan adanya retensi natrium, vasodilasi perifer, dan aktivasi faktor
vasoaktif.
Terbentuknya fibrosis pada sel hepar menyebabkan adanya kerusakan fungsi sintesis, fungsi
metabolik, serta drainase bilier pada hepar. Drainase bilier yang terganggu menyebabkan
empedu tidak dapat keluar ke sistem pencernaan. Hal ini menyebabkan penumpukan empedu
dan terganggunya ekskresi bilirubin terkonjugasi sehingga menyebabkan jaundice atau ikterik,
serta feses seperti dempul. Selain itu, penumpukan empedu dapat terjadi di kulit sehingga
menyebabkan pruritus. Sintesis faktor pembekuan darah yang terganggu karena kerusakan sel
hepar menyebabkan mudah terjadinya perdarahan, yang memperparah varises yang terjadi.
Fungsi metabolisme yang terganggu menyebabkan ditemukannya hiperkolesterolemia pada
pasien dengan sirosis hepatis.
Secara ringkas, patofisologi terjadinya sirosis hepatis atau sirosis hati hingga menyebabkan
manifestasi klinis dan komplikasinya dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

17
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis adanya sirosis hepatis didasarkan oleh anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
cermat, serta pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Selain dari pada keluhan, pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai faktor rikso yang
berkaitan dengan sirosis hepatis seperti konsumsi alkohol jangka panjang, penggunaan
narkotika melalui jarum suntik, dan riwayat penyakit hati menahun.
Gejala-gejala tahap awal sirosis (kompensata) umumnya dapat tidak khas, keluhan yang
dapat dikeluhkan pasien meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang,
perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi,
testis mengecil dan dada membesar, serta hilangnya dorongan seksualitas.

18
Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi sirosis dekompensata) gejala-gejala akan
menjadi lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta,
meliputi kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi.
Selain itu, dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan siklus haid, air kemih berwarna seperti teh pekat, hematemesis, melena,
serta perubahan mental (mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik penting untuk ditemukan tanda-tanda perburukan sirosis hepatis
menjadi stadium dekompensasi diantaranya meliputi tanda kegagalan fungsi hati, dan
hipertensi porta, yang dapat lebih lanjut dilihat pada tabel berikut:

Tanda Kegagalan Tanda Hipertensi


Fungsi Hati Porta
- Ikterus - Varises
gastroesofagus
- Spider naevi
- Splenomegali
- Ginekomastisia
- Pelebaran vena
- Hipoalbumin kolateral (spider
nevi)
- Kerontokan bulu
ketiak - Ascites

- Ascites - Hemoroid

- Eritema palmaris - Caput medusa

- White nail

19
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standar diagnosis sirosis hepatis yakni
hitologis (biopis hati). Walau demikian, pemeriksaan ini biasanya tidak dilakukan apabila
diagnosis dapat ditegakkan baik secara klinis, maupun dengan bantuan pemeriksaan
penunjang laboratorium atau radiologi.
• Pemeriksaan laboratorium
Kelainan yang dapat ditemukan pada hasil pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
- Serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum
glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi. SGOT lebih
meningkat daripada SGPT, namun bila transaminase normal tidak mengenyampingkan
adanya sirosis.
- Kelainan hematologi
Anemia terjadi karena penyebab yang bermacam-macam. Berdasarkan morfologinya bisa
terjadi anemia normokrom normositer atau hipokrom mikrositer. Anemia dengan
trombositopenia dan neutropenia akibat splenomegali kongestif yang berkaitan dengan
hipertensi porta.
- Alkali fosfatse, meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi
bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
- Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase
pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena
alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya
GGT dari hepatosit.
- Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hepatis kompensata, tapi bisa juga
meningkat pada sirosis hepatis lanjut.
- Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan
perburukan sirosis.
- Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari masuknya antigen
bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
imunoglobulin.
- Prothrombin time (PT)/ International normalized ratio (INR) memanjang dan tidak
berespon pada penggunaan vitamin K.

20
- Natrium serum menurun terutama pada sirosis hati dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
• Pemeriksaan radiologis
Pada praktik sehari-hari USG merupakan sarana modalitasa diagnosis sirosis yang paling
penting karena cost effective. Gambaran USG hati yang mengalami sirosis perubahan
morfologi atau bentuk hati berupa permukaan yang tidak rata, bernodul (bergelombang),
ukuran hati mengecil, ketiadaan struktur pembuluh darah di hati, dan parenkim yang
kasar. Adapun pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah CT-scan dan MRI. Pada
Hasil CT scan dan MRI umumnya nampak gambaran yang lebih jelas dari perubahan
arsitektur hepar yang mengalami sirosis.

2.2.6 Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati antara lain
adanya edema dan asites, peritonitis spontan bakterialis, varises esofagus dan perdarahan
saluran cerna, ensefalopati hepatikum, sindrom hepato-renal, sindroma hepato-pulmoner,
gangguan hemostasis atau koagulopati, dan karsinoma hepato seluler.

• Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat reversibel
dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi kelainan
neurologis dan metabolik. Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena
adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar
darah otak, yang memudahkan masuknya neurotoksin ke dalam otak, dan kemudian
menyebabkan gangguan fungsi lebih lanjut yang ditandai dengan penurunan kesadaran.
Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif
yang masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.
• Varises Gastroesophagus
Varises gastroesophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi porta
yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien dengan sirosis. Varises ini
memiliki kemungkinan pecah dalam 1 tahun pertama sebesar 5-15% dengan angka
kematian dalam 6 minggu sebesar 15-20% untuk setiap episodenya. Pecahnya varises
esofaagus ditandai dengan adanya hematemesis, melena, hematokezia, maupun gangguan

21
hemodinamik seperti hipotensi ortostatik dan syok.
• Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai yaitu infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra abdominal.
Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. PBS sering
timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan proteinnya rendah (< 1 g/dL)
yang juga memiliki kandungan komplemen yang rendah, yang pada akhirnya
menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. PBS disebabkan oleh karena adanya
translokasi bakteri menembus dinding usus dan juga oleh karena penyebaran bakteri secara
hematogen. Bakteri penyebabnya antara lain Escherechia coli, Streptococcus pneumoniae,
Klebsiella, dan organisme enterik gram negatif lainnya. Diagnose SBP berdasarkan
pemeriksaan pada cairan asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel
/ mm3 dengan kultur cairan asites yang positif.
• Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang dapat diamati pada
pasien yang mengalami sirosis dengan komplikasi asites. Sindrom ini diakibatkan oleh
vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil sehingga menyebabkan menurunnya perfusi
ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnose
sindrom hepatorenal ditegakkan ketika ditemukan cretinine clearance kurang dari 40
ml/menit atau saat serum creatinine lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500
mL/d, dan sodiumurin kurang dari 10 mEq/L.
• Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks akibat hipertensi portopulmonal. Manifestasi
klinis yang muncul
• Perdarahan akibat gangguan hemostasis atau koagulopati
Salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada sirosis hati adalah perdarahan.
Komplikasi perdarahan bisa bervariasi dari yang paling ringan seperti ekimosis sampai
yang paling berat dan mengancam nyawa misalnya perdarahan saluran cerna bagian atas.
Patogenensis gangguan hemostasis ini dapat digolongkan sebagai akibat gangguan sintesis
faktor pembekuan dan antikoagulan, defisiensi bersihan hati, trombositopenia,
pembentukan faktor pembekuan yang abnormal, dan gabungan antara kelainan-kelainan

22
tersebut. Hati memainkan peranan penting dalam hemostasis karena selain memproduksi
faktor pembekuan, hati juga berfungsi membersihkan aktifator plasminogen dan faktor
pembekuan aktif. Peranan ganda hati dalam hemostasis seperti disebut di atas
menyebabkan gangguan hemostasis pada sirosis hati sangat kompleks. Beratnya episode
perdarahan, kegagalan mengontrol perdarahan dan perdarahan berulang yang lebih dini
adalah indikasi dari luaran pasien yang jelek.

2.2.7 Tatalaksana
Terapi sirosis bertujuan untuk mencegah kerusakan hepar lebih lanjut, dan mencegah serta
mengobati komplikasi sirosis. Pada stadium kompensata tatalaksana meliputi evaluasi berkala,
modifikasi gaya hidup berisiko dan pemberian terapi antivirus pada kasus dengan etiologi
infeksi Hepatitis B atau C yang masih bereplikasi. Terapi pada sirosis hepatis dekompensata
dilakukan dengan memperhatikan ada tidaknya komplikasi pada pasien, yakni sebagai berikut:
a. Tanpa Komplikasi
Sirosis hepatis dekompensata tanpa komplikasi dapat ditatalaksana dengan penggunaan
medikamentosa, serta kombinasi diet dan modifikasi gaya hidup.
• Medikamentosa
- Pada pasien tanpa infeksi, pemberian glukokortikoid (prednisiolon 40mg/ hari peroral)
atau pentoxifylline (400mg tiga kali/ hari, peroral) dapat diberikan untuk menangani
sirosis. Pemberian pentoxifylline masih kontroversial karena terdapat studi yang
menyatakan bahwa penggunaannya tidak meningkatkan tingkat kesintasan pasien.
Walau demikian, obat ini tetap digunakan, terutama pada pasien yang memiliki
kontraindikasi terhadap glukokortikoid karena belum terdapat alternatif obat yang lebih
baik.
- Pasien dengan hepatitis B dapat diberikan interferon alfa dan lamivudine. Lamivudin
dapar diberikan 100 mg setiap hari selama 1 tahun secara oral. Interferon alfa diberikan
3 MIU tiga kali per minggu selama 4-6 bulan secara subkutan. Pemberian lamivudin
dapat menyebabkan resistensi apabila digunakan 9-12 bulan. Pada pasien yang resisten
lamivudin dapat diberikan adefovir dan tenofovir. Walaupun begitu, pemberian
lamivudin dapat menyebabkan resistensi apabila digunakan 9-12 bulan. Pasien dengan

23
hepatitis C dapat diberikan interferon subkutan 5 MIU 3x seminggu dan ribavirin 800-
1000 mg/hari selama 6 bulan.
• Diet dan Gaya Hidup
Diet dengan protein 1 gram/kgBB disertai kalori sebesar 2000-3000 kkal/hari dapat
diberikan apabila tidak terdapat koma hepatika. Selain itu, edukasi mengenai reduksi
konsumsi alkohol juga harus dilakukan untuk mengurangi risiko sirosis hepatis yang lebih
parah. Pada pasien dengan ensefalopati hepatis, pemberian diet protein harus dikurangi
hingga 0.5 gram/kgBB/hari. Selain itu, pemberian laktulosa dapat membantu
mengeluarkan ammonia dari tubuh. Pasien dengan asites dapat diberikan diet rendah
garam.
b. Dengan Komplikasi
Strategi penatalaksanaan pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi dapat
dilakukan dengan mencegah dan mengobati infeksi, memperbaiki keadaan asites dan
edema, menangani hipertensi portal, penyesuaian diet, serta transplantasi hati bila
diperlukan.
• Penanganan Infeksi
Infeksi dapat ditangani dengan memberikan antibiotik seperti rifaximin. Antibiotik
lainnya yang dapat diberikan adalah cefotaxime, amoxicillin, dan aminoglikosida,
terutama pada pasien dengan peritonitis bakterial spontan.
• Mengatasi Edema dan Asites
Penanganan adanya edema perifer dan asites dapat dilakukan dengan pemberian albumin
dan pemberian diuretik seperti spironolactone (100-400 mg/hari). Bila perlu
spironolactone dapat dikombinasikan dengan furosemide (dosis awal 40 mg/hari dan
dinaikkan setiap 2-3 hari mencapai dosis 160 mg/hari). Terapi faramakologis juga dapat
disertai penyesuaian intake seperti diet rendah garam (4-6,9 gr/hari) serta pembatasan
konsumsi air (pada pasien hyponatremia dilusi). Perbaikan dari asites dapat dilihat dari
perubahan berat badan 500 gram - 1 kg per hari. Pada penggunaan diuretic perlu dilakukan
pemantauan terhadap tekanan darah, produksi urin, status mental pasien, dan kadar
elektrolit serum. Pada asites yang sangat besar dapat dilakukan parasentesis. Jika
ditemukan pewarnaan Gram dari hasil parasentesis positif atau terdapat peritonitis

24
bakterial spontan berikan antibiotik segera. Parasentesis juga sebaiknya dilakukan pada
pasien sirosis hepatis yang mengalami asites dengan disertai ensefalopati hepatis.
• Penanganan Hipertensi Portal
Pemberian beta blocker sebagai profilaksis untuk perdarahan varises apabila terdapat
varises yang besar (>5 mm) atau memiliki risiko tinggi (Child-Pugh Class B atau C).
Pemberian propranolol dapat mengurangi angka kejadian komplikasi terkait hipertensi
portal, seperti ensefalopati, peritonitis bakterial spontan, dan asites. Propranolol yang
direkomendasikan adalah sebesar 20-40 mg, dua kali per hari dan dilakukan hingga detak
jantung 55-60 kali per menit dan tekanan darah sistolik tidak di bawah 90 mmHg. Setelah
baik, pasien diminta untuk kontrol dan melanjutkan terapi propranolol. Selain propranolol,
obat yang dapat diberikan adalah nadolol dan carvedilol.
• Menangani Perdarahan Akibat Varises
Pada perdarahan akibat varises, dapat diberikan agen vasoaktif seperti somatostatin,
okreotid, vasopressin, dan terlipresin. Pemberian agen vasoaktif dapat disertai dengan
skleroterapi atau ligase endoskopi variseal (endoscopic variceal ligation / EVL).
Antibiotik seperti rifaximin, cefotaxime, amoxicillin, atau aminoglikosida perlu diberikan
untuk mencegah komplikasi peritonitis bakterial spontan. Apabila farmakoterapi tidak
dapat membuahkan hasil maksimal, penanganan perdarahan akibat varises juga dapat
dilakukan dengan prosedur endoskopik seperti skleroterapi maupun ligase endoskopik.
Bila tidak memungkinkan dilakukan tatalaksana secara endoskopi, dan farmakoterapi
tidak didapatkan hasil maksimal maka dapat dilakukan prosedur transjugular intrahepatic
portosystem shunt (TIPS), yang dapat mengurangi hipertensi portal dan perdarahan, serta
asites. TIPS tidak boleh dilakukan pada pasien dengan skor child-pugh C, ensefalopati
yang berat, serta pasien dengan polycystic liver disease.
• Memperbaiki Kondisi Koagulopati
Pasien dengan sirosis biasanya memiliki koagulopati yang disebabkan kerusakan fungsi
hepar, serta peningkatan faktor pembekuan darah yang dihasilkan endothelium pembuluh
darah. Hal ini dapat ditangani dengan transfusi platelet, apabila platelet di bawah 50.000
mm3. Selain itu, pemberian agen antifibrinolitik seperti asam aminokaproat, juga dapat
diberikan dalam pencegahan thrombosis pada pasien dengan kelainan hepar. Defisiensi
vitamin K juga sering ditemukan pada pasien dengan sirosis dekompensata. Pada keadaan

25
ini suplementasi vitamin K dapat dipertimbangkan (dosis 10mg). Pemberian fresh frozen
plasma (FFP) pada pasien dengan koagulopati memiliki efek yang masih diragukan, dan
lebih sering efek pengobatan yang didapatkan hanya bersifat sementara atau transient.
• Transplantasi Hati
Transplantasi hepar (hati) didasarkan pada hasil perhitungan skor Model for End-Stage
Liver Disease (MELD). MELD dihitung berdasarkan serum bilirubin, serum kreatinin,
dan INR berdasarkan rumus berikut:

MELD = 3.78 x ln [serum bilirubin (mg/dL)] + 11.2 x ln [INR]


+ 9.57 x ln [serum kreatinin (mg/dL)] + 6.43

MELD memiliki interpretasi sebagai berikut:


- Skor >40 : mortalitas 71.3%
- Skor 30-39 : mortalitas 52.6%
- Skor 20-29 : mortalitas 19.6%
- Skor 10-19 : mortalitas 6.0%
- Skor <9 : mortalitas 1.9%
Mortalitas yang dimaksud adalah mortalitas dalam 3 bulan. Pada pasien dengan dialisis
sebanyak 2x, kreatinin adalah 4 mg/dL. Transplantasi hepar diutamakan pada pasien
dengan skor MELD >15 atau di bawah 15 dengan adanya komplikasi.

2.2.8 Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Pasien dengan
sirosis kompensata memiliki harapan hidup yang lebih lama, bila tidak berkembang menjadi
sirosis dekompensata. Diperkirakan harapan hidup pasien dengan sirosis kompensata yakni
47% dalam waktu 10 tahun. Sebaliknya pasien dengan sirosis dekompensata, mempunyai
harapan hidup sekitar 16% dalam waktu 5 tahun.
Beberapa tahun terakhir, metode prognostik yang paling umum dipakai pada pasien dengan
sirosis adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, yang dapat dipakai memprediksi angka
kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut, terutama pada pasien sirosis hepatis

26
yang direncanakan untuk dilakukan pembedahan. Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh
(CTP) dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut.
Dimana angka kelangsungan hidup selama setahun untuk pasien dengan kriteria Class A adalah
100%, Class B adalah 80%, dan Class C adalah 45%. Kriteria Child-Turcotter-Pugh secara
lengkap, yakni sebagai berikut:

Kriteria lain yang dapat digunakan yakni indeks hati, yang mana juga dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk menilai prognosis pasien sirosis hati dengan hematemesis melena yang
mendapat pengobatan secara medik. Pada hasil studi pustaka yang menggunakan kriteria ini,
pasien yang mengalami kegagalan hati ringan (indeks hati 0-2) memiliki angka kematian 0-
16%, pada kegagalan hati sedang sampai berat (indeks hati 3-8) angka kematian antara 18-40%.
Kriteria indeks hati lebih lanjut yakni sebagai berikut:

27
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama :IWS
No. RM : 127865
Tanggal Lahir/ Umur : 31 Desember 1965/56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Br Munduk Catu, Desa Baturiti, Kerambitan
Pekerjaan : Petani
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal MRS : 27 Agustus 2022 (Cempaka I C)
Tanggal Pemeriksaan : 27 Agustus 2022 pukul 19.30 WITA

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama: Muntah darah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 56 tahun datang ke IGD RSU Wisma Prashanti dengan keluhan
muntah darah sebanyak 1 kali pada ± 4 jam SMRS. Muntah darah berwara merah gelap
bercampur dengan sisa makanan, sebanyak kurang lebih 1 gelas belimbing. Muntah terjadi
secara mendadak. Keluhan disertai perut terasa sebah dan penuh, ulu hati terasa perih, badan
lemas, serta pusing. BAB cair (+) berwarna hitam pagi hari SMRS, sebanyak 1 kali.
Pasien juga mengeluhkan perut yang makin membesar sejak 2 bulan belakangan, perut
terasa menekan ke atas sehingga napas terasa berat, terutama saat berbaring. Nafsu makan
pasien menurun, pasien cepat merasa kenyang. Keluhan lain seperti demam, batuk, pilek
disangkal. BAK (+) tak ada keluhan.

28
Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat Keluhan Serupa: disangkal, pasien baru pertama kali mengalami muntah darah,
dan BAB hitam.
b. Riwayat Hipertensi: disangkal
c. Riwayat Diabetes: disangkal
d. Riwayat Gangguan Lambung: (+)
e. Riwayat Gangguan Hati: (+)
f. Riwayat Penyakit Jantung: disangkal
g. Riwayat Penyakit Paru: disangkal
h. Riwayat Penyakit Ginjal: disangkal
i. Riwayat Mondok: disangkal
j. Riwayat Operasi: disangkal
k. Riwayat Alergi: disangkal

Riwayat Pengobatan:
Pasien berobat ke poli penyakit dalam dengan sirosis hepatis, hepatitis B kronis (HBsAg (+))
dan asites. Pasien berobat sejak Juli 2022. Pasien mendapat pengobatan kurkuma 3x1,
spironolacton 25mg 1x1, furosemid 40mg 1x1.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Pada keluarga pasien dikatakan tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat sakit
kuning di keluarga disangkal. Riwayat penyakit menahun seperti hipertesi, diabetes, penyakit
jantung, penyakit ginjal, dan lainnya disangkal.

Riwayat Gaya Hidup:


Sebelum sakit pasien bekerja sebagai petani, saat ini pasien sudah tidak bekerja lagi
dan hanya beristirahat di rumah. Sebelum sakit pasien makan tiga kali sehari dengan menu
makanan nasi, sayur, dan lauk pauk. Belakangan pasien makan hanya 3-4 sendok makan
karena cepat merasa kenyang. Kebiasaan minum kopi (+) 1 kali sehari. Riwayat minum
minuman beralkohol disangkal. Pasien mengatakan sudah berhenti merokok sejak 1 tahun

29
belakangan, sebelumnya merokok sejak remaja. Riwayat sering konsumsi obat-obatan pereda
nyeri atau lainnya disangkal.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Present (27 Agustus 2022)
Kondisi Umum : Nampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan darah : 108/78 mmHg
Nadi : 120 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu aksila : 36,9 o C
Saturai oksigen : 98% room air
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 22.9 kg/m2

Status General (27 Agustus 2022)


Kepala : Bentuk normal

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterus +/+, reflex pupil +/+ isokor

THT : Telinga : Auricula dan MAE N/N, sekret tidak ada, pendengaran normal
Hidung : Sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum nasi
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Lidah : Ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Bibir : Mukosa basah, stomatitis (-), sianosis (-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
JVP 5-2 mmH2O, kaku kuduk (-)

30
Thoraks : Simetris, jejas (-), spider nevi (-)
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
Perkusi : Batas kanan : Parasternal line (D) ICS IV
Batas kiri : Middle axillary line (S) ICS VI
Batas atas : Parasternal Line (S) ICS II
Auskultasi : S1 tunggal, S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo : Inspeksi : Simetris statis dan dinamis, retraksi (-)


Palpasi : Vokal fremitus normal
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi : Vesikuler + +
+ +
+ +

Ronki - - Wheezing - -
- - - -
- - - -

Abdomen:
Inspeksi : Distensi (+), jejas (-), caput medusa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+), Shifting dullness (+)
Palpasi : Hepar dan lien sulit teraba, nyeri tekan epigastrium (+)

Ekstremitas : Hangat + + Edema - -


+ + - -
Capillary refil time <2dtk, eritema palmaris (-/-)

31
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
- Darah Lengkap (27/8/2022)
Nama Nilai
Parameter Hasil Satuan Keterangan
Pemeriksaan Rujukan
9
DL WBC 5.4 10 /µL 5 - 10.0
LYM 0.6 109/µL 0.9 – 5 low

LYM% 11.9 % 15.0 - 50.0 low

MID 0.3 109/µL 0.1 – 1.5

MID% 4.5 % 2 – 15
9
GRA 5.9 10 /µL 1.2 – 8

GRA% 83.6 % 35 – 80 high

12
RBC 3.3 10 /µL 4 - 5.3 low
HGB 11.5 g/dL 12.5 – 16 low
HCT 34.2 % 35 – 45 low
RDW 90.4 fl 37-250
RDW% 15.3 % 11-16 high

MCV 103.6 fL 82 – 92 high

MCH 34.9 pg 27 – 31 high


MCHC 33.7 g/dL 32 – 36
9 low
PLT 126 10 /µL 150 - 400

MPV 7.6 Fl 89 – 13 low

32
- Kimia Darah (27/8/2022)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Urea-BUN 43 mg/dl 10-39 high
Creatinin 1.1 mg/dl 0.7-1.1
SGOT 320 mg/dl 10-35 high
SGPT 87 mg/dl 9-43 high
GDS 127 mg/dl 75-155

- Elektrolit (27/8/2022)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Chlorida 96.2 mmol/l 95-108
Kalium 3.89 mmol/l 3.5-5.5
Natrium 134.4 mmol/l 135-148 low

2. EKG (27/8/22)

• Rhytm : Sinus takikardi


• Rate : 125 x/mnt
• Axis : Normal axis

33
3. Pemeriksaan USG (12/07/2022)
Hasil Pemeriksaan USG Abdomen:
- Hepar: bentuk, ukuran kesan normal, echoparenkim hepar kesan
meningkat dengan tepi irregular, vascular kesan normal dan tampak
dilatasi bile duct intra-ekstra hepatic, tak tampak massa, nodul, kista.
- GB: tak tampak batu, tampak penebalan dinding 0,72cm
- Pancreas: dalam batas normal
- Lien: dalam batas normal
- Ginjal kanan: bentuk, ukuran kesan normal, echoparenkim normal, tak
tampak dilatasi PCS, tak tampak batu, massa, kista
- Ginjal kiri: bentuk, ukuran kesan normal, echoparenkim normal, tak
tampak dilatasi PCS, tak tampak batu, massa, kista
- Buli: Tak tampak batu, tak tampak penebalan dinding
- Prostat: ukuran normal, kalsifikasi (-)
- Tampak echocairan bebas pada cavum peritoneum
Kesan:
- Echoparenkim hepar kesan meningkat dengan tepi irregular, sugestif
gambaran sirosis hepatis
- Tampak echocairan bebas pada cavum peritoneum (asites)
- Dinding GB menebal (ec asites dd/ kolesistitis)
- Organ intra-abdominal lainnya kesan normal

4. Pemeriksaan Serologi (12/07/2022)


Nama Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
HBsAg Positif Negatif

3.5 DIAGNOSIS KERJA


- Hematemesis + Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis
- Asites

34
3.6 DIAGNOSIS BANDING
- Hematemesis + Melena ec ulkus pepticum
- Hematemesis + Melena ec gastritis erosive

3.7 PENATALAKSANAAN
MRS → Konsul dr. I B Ariadnyana SpPD, advis:
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Pasang NGT (+) GC sesuai protap
- Asam tranexamat 3x500mg (IV)
- Cepraz 2x1gr (IV)
- Sucralfat 3XCI (PO)
- Esomax 2x 1 vial (IV)
- Lactulosa 3x CI (PO)
- Pasien dipuasakan
- Cek albumin
- Gastric lavement @12 jam
- Besok DL ulang, jika perdarahan aktif cito DL

3.7 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

35
3.8 FOLLOW UP PASIEN
27 Agustus 2022 (20.10)
S: Pasien gelisah, ingin melepas NGT. Mual (-) muntah (-) BAB (-).
O : KU : Sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 108/78 mmHg S : 36, 5oC
HR : 110/menit. SpO2 : 96% room air
St. Lokalis : distensi (+), BU (+) normal, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepar dan lien sulit terpalpasi, asites (+)
NGT: jernih (+)
Lab: Albumin 2.0 g/dl (low, normal 3.8-5.4)
A: Hematemesis+Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis
P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Pasang NGT (+) terpasang, GC sesuai protap
- Asam tranexamat 3x500mg (IV)
- Cepraz 2x1gr (IV)
- Sucralfat 3XCI (PO)
- Esomax 2x 1 vial (IV)
- Lactulosa 3x CI (PO)
- Pasien dipuasakan
- Gastric lavement @12 jam
- Besok DL ulang, jika perdarahan aktif cito DL
Lapor dr. I B Ariadnyana, mengenai NGT dan albumin, advis:
- VIP albumin 1 flsh IV
- Observasi NGT selama 6 jam, bila produksi jernih Aff NGT

36
28/08/2022
S: BAB cair kemerahan (+) 2 kali, lemas (+), muntah (-), perut terasa
kembung (+)
O : KU : Sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 112/80 mmHg S : 36, 5oC
HR : 106/menit. SpO2 : 96% room air
St. lokalis : distensi (+), BU (+) normal, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepar dan lien sulit terpalpasi, asites (+)
Lab DL: WBC 5.2; Granulosit 86%; RBC 3.11; Hb: 10.9; HCT:32.3;
MCV 103.7; MCH 35.2; PLT128.
A: Hematemesis+Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis
P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Pasang NGT sudah Aff (+)
- Asam tranexamat 3x500mg (IV)
- Cepraz 2x1gr (IV)
- Sucralfat 3XCI (PO)
- Esomax 2x 1 vial (IV)
- Lactulosa 3x CI (PO)
- Metronidazole 3x 1 fls
- Lavement K/P
- Besok DL ulang, jika perdarahan aktif cito DL
- Diit L1 2000 kalori, 3 kali pemberian (3x200cc)

37
29/8/2022
S: BAB 2x encer kemerahan (+), muntah (-), perut terasa kembung (+)
O : KU : Sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 110/70 mmHg S : 36, 2oC
HR : 106/menit. SpO2 : 96% room air
St. lokalis : distensi (+), BU (+) normal, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepar dan lien sulit terpalpasi, asites (+)
Lab DL: WBC 6; Granulosit 87%; RBC 2.77; Hb: 10; HCT:29.1; MCV
104.8; MCH 36.1; PLT 133.
A: Hematemesis+Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis
P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Asam tranexamat 3x500mg (IV)
- Cepraz 2x1gr (IV)
- Sucralfat 3XCI (PO)
- Esomax 2x 1 vial (IV)
- Lactulosa 3x CI (PO)
- Metronidazole 3x 1fls
- Lavement K/P
- Spironolacton (PO) 1x1 pagi
- Furosemide 2 amp iv (1x1) pagi
- Pasang DC (-) mentok
- Besok DL ulang, jika perdarahan aktif cito DL
- Diit L1 2000 kalori, 3 kali pemberian (3x200cc)

38
30/08/2022
S: BAB (+) sudah agak kuning, perut terasa penuh (+), sulit tidur (+)
O : KU : Sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 131/78 mmHg S : 36, 5oC
HR : 98/menit. SpO2 : 96% room air
BB hari ini: 59 kg
St. lokalis : distensi (+), BU (+) normal, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepar dan lien sulit terpalpasi, asites (+)
Lab DL: WBC 6.6; Granulosit 89.3%; RBC 2.72; Hb: 9.7; HCT:28.6;
MCV 105.4; MCH 35.9; PLT 134.
Albumin: 2,6
A: Hematemesis+Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis
P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Asam tranexamat 3x500mg (IV)
- Cepraz 2x1gr (IV)
- Sucralfat 3XCI (PO)
- Esomax 2x 1 vial (IV)
- Lactulosa 3x CI (PO)
- Metronidazole 3x 1fls
- Spironolacton (PO) 1x1 pagi
- Furosemide 2 amp iv (1x1) pagi
- Albumin 4x1 tab
- Pasang DC (-) mentok
- Lavement K/P
- Besok DL ulang, jika perdarahan aktif cito DL
- Diit L1 2000 kalori, 3 kali pemberian (3x200cc)
- Timbang BB tiap hari

39
31/8/2022
S: BAB (+) sudah agak kuning, perut terasa penuh (+)
O : KU : Sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 116/80 mmHg S : 36, 5oC
HR : 99/menit. SpO2 : 96% room air
BB hari ini: 58 kg
St. lokalis : distensi (+), BU (+) normal, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepar dan lien sulit terpalpasi, asites (+)
Lab DL: WBC 7.8; Granulosit 85.7%; RBC 2.88; Hb: 10.3; HCT:30.8;
MCV 107; MCH 36; PLT 142.
A: Hematemesis+Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis
P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Asam tranexamat 3x500mg (IV)
- Cepraz 2x1gr (IV)
- Sucralfat 3XCI (PO)
- Esomax 2x 1 vial (IV)
- Lactulosa 3x CI (PO)
- Metronidazole 3x 1fls
- Albumin 4x1 tab
- Spironolacton 100mg (PO) 1-1-0
- Furosemide 4 amp iv pagi sore
- Dulcolax supp II (pagi)
- Lavement K/P
- Besok DL ulang, jika perdarahan aktif cito DL
- Diit Lambung 1 tinggi albumin
- Timbang BB tiap hari

40
01/09/2022

S: BAB (+) 2 kali kuning, perut terasa penuh (+)


O : KU : Sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 122/83 mmHg S : 36, 5oC
HR : 102/menit. SpO2 : 96% room air
BB hari ini: 57 kg
St. lokalis : distensi (+), BU (+) normal, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepar dan lien sulit terpalpasi, asites (+)
Lab DL: WBC 8; Granulosit 89.5%; RBC 2.85; Hb: 10.4; HCT:30; MCV
105.5; MCH 36.5; PLT 180.
A: Hematemesis+Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis
P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Asam tranexamat 3x500mg (IV)
- Cepraz 2x1gr (IV)
- Sucralfat 3XCI (PO)
- Esomax 2x 1 vial (IV)
- Lactulosa 3x CI (PO)
- Metronidazole 3x 1fls
- Albumin 4x1 tab
- Spironolacton 100 mg 1-1-0
- Furosemide 4 amp iv (1x1) pagi sore
- Dulcolax supp II pagi
- Lavement K/P
- Besok DL ulang, jika perdarahan aktif cito DL
- Diit Lambung 1 tinggi albumin
- Timbang BB tiap hari

41
02/09/2022
S: BAB (+) kuning, perut terasa penuh (+), keluhan lain
O : KU : Sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 120/95 mmHg S : 36, 5oC
HR : 88/menit. SpO2 : 96% room air
BB hari ini: 57 kg
St. lokalis : distensi (+), BU (+) normal, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepar dan lien sulit terpalpasi, asites (+)
Lab DL: WBC 9.8; Granulosit 88.5%; RBC 2.07; Hb: 10.5; HCT:22.2;
MCV 107.3; MCH 51; PLT 125.
A: Hematemesis+Melena ec Sirosis Hepatis ec Hepatitis B Kronis
P: Pasien BPL, mendapat terapi pulang:
- Albumin (fibulmin) 4x tab 1
- Furosemid 40mg 2-1-0
- Spironolacton 25mg 1-1-0
- Curcuma 3x1
- Kontrol kembali tanggal 9/9/2022

42
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada studi kasus ini, dilaporkan seorang pasien laki-laki, berusia 56 tahun, yang
memeriksakan diri dengan keluhan muntah darah warna merah 4 jam SMRS dan BAB hitam
pada pagi hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan perut yang membesar dalam 2 bulan SMRS,
dan penurunan nafsu makan. Dari hasil anamnesis diketahui bahwa pasien sedang menjalani
pengobatan rutin untuk kondisi sirosis hepatis akibat hepatitis B kronis, dan asites.

Dari hasil pemeriksaan tanda vital, didapatkan tekanan darah, frekuensi napas, dan suhu
tubuh pasien dalam batas normal, namun ditemukan nadi yang cepat. Abnormalitas juga
ditemukan pada pemeriksaan mata dimana didapatkan konjungtiva anemis, dan sklera ikterik,
serta pada pemeriksaan abdomen dimana didapatkan distensi abdomen, hepar dan lien yang
sulit teraba, adanya shifting dullness, dan adanya nyeri tekan epigastrik. Pada pemeriksaan
penunjang laboratorium darah lengkap didapatkan adanya peningkatan segmen neutrofil
(83,9%), bisitopenia (eritropenia dan trombositopenia ringan), dan anemia ringan tipe
makrosistik. Abnormalitas juga ditemukan pada hasil pemeriksaan fungsi hati dimana
didapatkan peningkatan kadar SGOT dan SGPT, dan pada hasil pemeriksan EKG dimana
didapatkan kesan sinus takikardia (HR 125x/menit). P*ada hasil pemeriksaan penunjang
lainnya yang dilakukan pasien di RSU Wisma Prashanti ± 2 bulan SMRS, didapatkan adanya
gambaran sirosis hepatis dan asites pada USG abdomen, dan hasil positif (+) pada pemeriksaan
HBsAg.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka pada
pasien ditetapkan diagnosa kerja yakni hematemesis melena et causa sirosis hepati et causa
hepatitis B kronis, dan asites.

43
Pada pasien dengan sirosis hepatis dapat muncul komplikasi berupa perdarahan saluran
cerna yang diakibatkan oleh adanya ganggauan hemostasis dan hipertensi porta. Hipertensi
porta dapat menimbulkan berbagai kondisi patologis pada sepanjang daerah esofagus hingga
gastroduodenal seperti varises gastroesofagus, gastropati hipertensi porta (GHP), gastric antral
vascular ecstasia (GAVE), dan varises gaster terisolasi (isolated gastric varices), yang lebih
lanjut menjadi sumber perdarahan saluran cerna atas akut maupun kronis pada pasien dengan
sirosis hepatis.
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas lainnya pada pasien sirosis hepatis yakni
akibat lesi ulkus peptikum yang terletak di duodenum dan lambung. Diperkirakan frekuensi
perdarahan dari ulkus peptikum pada sirosis hepatis berkisar antara 5% hingga 15%. Adanya
ulkus peptikum pada pasien dengan sirosis dikaitkan juga dengan adanya hipertensi portal, yang
kemudian mengakibatkan gangguan aliran darah ke mukosa lambung, menyebabkan gangguan
pada barrier pertahanan mukosa dan pada pemulihan epitel mukosa lambung, sehingga dapat
mendukung perkembangan ulkus peptikum. Adanya gangguan pemulihan mukosa lambung
kemudian meningkatkan risiko perdarahan yang dialami menjadi kronis.
Pada pasien ini gejala muntah darah atau hematemesis yang dialami berupa darah berwarna
merah gelap. Hal ini dapat menunjukkan kemungkinan sumber perdarahan saluran cerna pasien
berada proksimal dari lambung, dimana sebagian besar darah tidak mengalami proses oksidasi
dengan asam lambung. Umumnya, hal ini dapat terjadi karena pecahnya varises gastroesofagus.
Meski demikian, pada pasien ini belum dilakukan endoskopi sehingga kemungkinan
perdarahan akibat ruptur varises gastroesofagus masih belum dapat dipastikan.
Pada kasus pasien ini, dapat teramati tanda penurunan fungsi hati dan tanda hipertensi porta,
seperti munculnya ikterik, asites, dan adanya perdarahan saluran cerna. Hal ini
mengindikasikan bahwa sirosis hepatis yang dialami pasien telah termasuk kedalam stadium
dekompensata, atau stadium IV sesuai dengan klasifikasi Beveno IV (terdapat perdarahan,
dengan atau tanpa asites). Pada pasien ini juga didapatkan anemia makrositik, eritropenia, dan
trombositopenia. Adanya anemia makrositik dikaitkan dengan defisiensi vitamin B12 dan asam
folat, yang dapat dijumpai pada pasien dengan sirosis hepatis akibat rendahnya asupan makanan
yang mengandung vitamin B12 dan asam folat maupun adanya malabsorsi pada saluran
pencernaan. Vitamin B12 dan asam folat diperlukan untuk sintesis timidilat dan purin, sehingga
defisiensi vitamin-vitamin tersebut menyebabkan sintesis DNA terhambat dan akhirnya akan

44
berkembang menjadi anemia makrositik. Terjadinya anemia makrositik pada pasien dengan
sirosis hepatis juga berkaitan dengan adanya hipertensi porta yang kemudian dapat
mengakibatkan splenomegaly dan hipersplenisme yang selanjutnya dapat menyebabkan
hemolisis sekunder, peningkatan volume plasma, makrositosis, dan anemia megaloblastik.
Adanya sitopenia atau penurunan jumlah sel darah, berupa eritropenia dan trombositopenia
dalam kasus ini, dapat terjadi berkaitan dengan adanya hipersplenisme pada sirosis hepatis
akibat hipertensi porta, hipofungsi hepar, dan pengaruh dari toksisitas virus hepatitis terhadap
sumsum tulang. Pada beberapa literatur penelitian, adanya anemia makrositik dan gangguan sel
darah, seperti pada pasien ini, dikaitkan dengan derajat sirosis hepatis yang lebih berat.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien dalam kasus ini meliputi pemantauan dan
penanganan tanda kegawat daruratan, upaya penghentian perdarahan, serta pencegahan dan
penatalaksanaan komplikasi berkaitan dengan sirosis hepatis yang dialami pasien, melalui
terapi farmakologis dan non farmakologis. Pasien diberikan cairan infus intravena NaCl 0,9%,
yang bertujuan untuk mengganti kehilangan cairan tubuh akibat perdarahan (rehidrasi) dan
mempertahankan hemodinamik pasien. Pada kasus ini cairan yang dipilih yakni kristaloid
mengingat perdarahan yang dialami pasien tidak menyebabkan gangguan hemodinamik yang
berat. Dari kristaloid yang tersedia (asering, NaCl 0,9%, ringer laktat) ringer laktat mengandung
laktak yang dimetabolisme dihati, sedangkan NaCl 0,9% dan asering tidak dimetabolisme di
hati, sehingga pada pasien ini dipilih NaCl 0,9% untuk juga meringankan kerja hati mengingat
pasien ini telah mengalami gangguan fungsi hati. Pada pasien juga dilakukan pemasangan pipa
nasogastrik (NGT) yang bertujuan untuk memastikan perdarahan apakah perdarahan sudah
berhenti atau masih berlangsung, dan untuk kumbah lambung bila diperlukan. Pada pasien ini
untuk membantu menghentikan perdarahan saluran cerna dilakukan pemberian asam
tranexamat, yang merupakan golongan antifibrinolitik.
Pada pasien dengan perdarahan akut atau berisiko tinggi mengalami perdarahan ulang,
seperti pada pasien ini, disarankan untuk mendapat nutrisi enteral tertunda atau dipuasakan.
Puasa diharapkan dapat membantuk stabilisasi pH saluran cerna, sehingga
menstabilisasi clotting pada sumber perdarahan, dan mengurangi risiko rebleeding atau
perdarahan ulang. Pemberian obat golongan PPI (esomeprazole/ esomax) dan sucralfate pada
pasien juga memiliki tujuan yang sama. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi asam
lambung intraluminal yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah pada saluran cerna,

45
sedangkan sucralfat memberikan efek proktesi dengan melapisi mukosa saluran cerna terutama
lambung.
Penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi pada pasien meliputi upaya perbaikan asites,
pencegahan ensefalopati hepatikum, serta pencegahan peritonitis bacterial spontan. Untuk
mengatasasi asites diberikan spironolakton dikombinasi dengan furosemide yang bertujuan
untuk membantu pengeluaran kelebihan cairan. Selain itu mengingat asites pada pasien juga
berhubungan dengan adanya gangguan produksi albumin akibat sirosis hepatis yang diderita
pasien, pada pasien ini juga diberikan tambahan asupan albumin melalui suplementasi almubin
oral (fibulmin), dan pemberian diet yang tinggi protein albumin. Adanya asites pada pasien
meningkatkan risiko terjadinya peritonitis bacterial spontan, sehingga pada pasien ini dilakukan
tindakan pencegahan (profilaksis) dengan pemberian antibiotika cefoperazon dan
metronidazole. Ensefalopati hepatikum merupakan salah satu komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis, akibat tingginya kadar amonium dalam darah. Pada
pasien ini, dilakukan pencegahan ensefalopati hepatikum dnegan pemberian laktulosa.
Laktulosa dapat menghambat pembentukan amonia oleh bakteri usus, dan mengurangi
penyerapan amonia di usus besar. Laktulosa juga menarik cairan sehingga melunakkan feses
dan merangsang peristaltik usus, mencegah konstipasi dan membantu pengeluaran ammonia
dari tubuh, sehingga menurunkan kadar ammonia dalam darah.
Pada pasien didapatkan adanya anemia namun tidak dilakukan pemberian transfusi darah,
mengingat anemia pada pasien masih dalam rentang anemia ringan, dan hemodinamik pasien
dalam batas normal, sehingga belum memerlukan pemberian transfusi darah.
Pada kasus ini pasien dipulangkan dengan telah adanya perbaikan keadaan umum, dimana
keluhan utama pasien yakni hematemesis dan melena telah teratasi. Selain dari pada itu asites
pada pasien juga mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan pengurangan berat badan
pasien yang menandakan berkurangnya masa asites. Pasien mendapatkan obat pulang yakni
furosemide, spironolakton, dan albumin untuk perbaikan lebih lanjut dari kondisi asites yang
masih ada. Pasien juga mendapatkan suplementasi kurkuma yang bersifat hepato protektif.
Suplementasi ini bertujuan untuk membantu mengurangi laju kerusakan hati akibat sirosis
hepatis dan infeksi hepatitis B kronis yang diderita oleh pasien.
Mengingat perdarahan yang terjadi pada pasien berhubungan dengan adanya kondisi sirosis
hepatis, terdapat risiko yang lebih besar terhadap terjadinya perdarahan ulang dan perburukan

46
kondisi pasien dikemudian hari. Oleh karenanya kepada pasien dan keluarga, dilakukan
pemberian edukasi untuk menghindari faktor-faktor yang dapat memperberat kondisi pasien,
serta agar memeriksakan kesehatan secara rutin selepas perawatan, sehingga kondisi pasien
dapat terpantau.

47
BAB V
KESIMPULAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dari saluran cerna
atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan batas anatomik di
ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau
kombinasi. Di Indonesia, perdarahan SCBA banyak diakibatkan oleh rupture varises
gastroesofagus pada penderita sirosis hepatis. Perdarahan SCBA pada pasien dengan riwayat
sirosis hepatis, dikaitkan dengan risiko perdarahan ulang dan kematian yang tinggi.
Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas pada pasien yang memiliki riwayat
sirosis hepatis perlu dilakukan secara komprehensif meliputi upaya penanganan kegawat
daruratan, upaya penanganan penyebab perdarahan dan komplikasi melalui terapi farmakologis
dan non farmakologis, disertai pemberian edukasi pada pasien dan keluarga, sehingga
perbaikan kondisi pasien dapat tercapai optimal, dapat mencegah terjadinya perdarahan
berulang, dan menurunkan risiko kematian pada pasien.

48
DAFTAR PUSTAKA

Aires FT et al. (2016). Efficacy of lactulose in the prophylaxis of hepatic encephalopathy in


cirrhotic patients presenting gastrointestinal bleeding. Rev Assoc Med Bras 2016; 62(3):243-
247. DOI: http://dx.doi.org/10.1590/1806-9282.62.03.243.
Amalina, H A & Kriswiantiny, R. (2015). Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas karena Sirosis
Hepatis. Jurnal Kedokteran Universitas Negeri Lampung. Vol 4, No 2 (2015), p 74-78.
Dana IMBS, Mediana S, Murti WW, Ariodhanu W. (2021). Hepatic cirrhosis causes pancytopenia:
a case report. Int J Adv Med 2021;8:276-8.
Djumhana H A. (2011). Perdarahan akut saluran cerna bagian atas. Tinjauan Pustaka. Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_cerna_bagian_atas.pdf. Diakses pada
tanggal 1 September 2022.
Elsayed, Ingi Adel Salah et al. (2017). Management of acute upper GI bleeding. BJA Education,
Volume 17, Iss0ue 4, 117 - 123. Doi: DOI: https://doi.org/10.1093/bjaed/mkw054
Fernandez; Tandon; Et al. (2016). Antibiotic Prophylaxis in Cirrhosis: Good and Bad. Hepatology.
Vol.63, No.6, p 2019-2030.
Goldberg, E & Chopra, S. (2021). Cirrhosis in adults: Overview of complications, general
management, and prognosis. UptoDate by Wolters Kluwers. Available online
at https://www.uptodate.com/contents/cirrhosis-in-adults-overview-of-complications-
general-management-and-prognosis.html. Accesed on September 3rd 2022.
Gonzalez-Casas R. (2009). Spectrum of anemia associated with chronic liver disease. World J
Gastroenterol. Volume 15 (37). p:4653
Kusumobroto, HO. (2015). Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro, Poernomo Boedi Setiawan,
et al. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 2. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. p: 292-298.
Maghfirah, D; Abubakar, A; Yusuf, F. (2018). Jurnal Kedokteran Nangroe Medika; Vol 1:
3, September 2018. p 47-58.
Manrai, M; Dawra, S; Kapoor, R; Srivastava, S; Singh, A. (2022). Anemia in cirrhosis: An
underestimated entity. World J Clin Cases 2022 January 21; 10(3): 777-789. DOI:
10.12998/wjcc.v10.i3.777.
Mulyo S. 2016. Profilaksis Primer Perdarahan Varises Gastroesofagus pada Sirosis Hati: Peranan
Penghambat Beta. Cermin Dunia Kedokteran. E 247. Vol. 43 no. 12 th. 2016. p940-944.
Neri, V; et al. (2021). Gastroduodenal Lesions Associated with Portal Hypertension: An Extensive
Review. DOI: http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.96296.
Nurdjanah S. (2014). Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,. Simadibrata KM,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke 6. Jakarta: Interna Publishing. p: 1978-
1983.

49
Pangestu A. (2014). Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I,. Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke
6. Jakarta: Interna Publishing. p:1873- 1880.
Procopet, B & Berzigotti, A. (2017). Diagnosis of cirrhosis and portal hypertension: imaging, non-
invasive markers of fibrosis and liver biopsy. Gastroenterology Report, Volume 5, Issue 2,
May 2017, Pages 79–89, https://doi.org/10.1093/gastro/gox012.
Rockey DC. (2019). An Update: Portal Hypertensive Gastropathy and Colopathy. Clin Liver Dis.
Vol. 23. P: 643.
Rosida, Azma. (2016). Pemeriksaan laboratorium penyakit hati. Berkala Kedokteran, Vol.12,
No.1, Feb 2016. P: 123-131.
Saltzman J R. (2022). Approach to acute upper gastrointestinal bleeding in adults. UptoDate by
Wolters Kluwers. Available online at https://www.uptodate.com/contents/approach-to-
acute-upper-gastrointestinal-bleeding-in-adults.html. Accesed on September 2nd 2022.
Scharf, R.E. (2021). Thrombocytopenia and Hemostatic Changes in Acute and Chronic Liver
Disease: Pathophysiology, Clinical and Laboratory Features, and Management. J. Clin. Med.
Vol 10: 1530. https://doi.org/10.3390/ jcm10071530.
Sharma, B & John, S. (2021). Hepatic cirrhosis. In: Stat Pearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publ; 2021 Jan. Available online
at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/ NBK482419/. Accesed on September 2nd 2022.
Siau, K; Chapman, W; Sharma, N; Tripathi, D; Iqbal, T; Bhala, N. (2017). Management of acute
upper gastrointestinal bleeding: an update for the general physician. J R Coll Physicians
Edinb 2017; 47: 218–30. Doi: 10.4997/JRCPE.2017.303
Wuerth BA, Rockey DC. (2018). Changing Epidemiology of Upper Gastrointestinal Hemorrhage
in the Last Decade: A Nationwide Analysis. Dig Dis Sci. Vol 63:1286.
Yang, J., Yan, B., Yang, L. et al. (2018) Macrocytic anemia is associated with the severity of liver
impairment in patients with hepatitis B virus-related decompensated cirrhosis: a
retrospective cross-sectional study. BMC Gastroenterol. Vol. 18,
161. https://doi.org/10.1186/s12876-018-0893-9.
Yunfu Lv. (2014). Causes of peripheral blood cytopenias in patients with liver cirrhosis portal
hypertension and cilinical significances. Open J Endocrine Metab Dis. Vol 4: 85–9
Yusuf, F. (2018). Management of upper gastrointestinal bleeding in daily practice. Buku Proseding
Konkernas PPHI-PGI-PEGI Banda Aceh 2018. Banda Aceh: Divisi Gastroenterohepatologi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala- RSUD Dr
Zainoel Abidin Banda Aceh.
Zheng, et al. 2020. Characteristics of peptic ulcer bleeding in cirrhotic patients with esophageal
and gastric varices. Nature, Vol 10:20068. Doi: https://doi.org/10.1038/s41598-020-76530-
3

50

Anda mungkin juga menyukai