Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS MEDIK

“DEMAM THYPOID”

Disusun Oleh:
dr. Ufik Maulena

Pendamping:

dr. Nia Tri Mulyani

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM MUHAMMADIYAH SITI AMINAH BUMIAYU
KABUPATEN BREBES
JAWA TENGAH
2021
LEMBAR PENGESAHAN

PORTOFOLIO KASUS MEDIK


“DEMAM THYPOID”

Oleh:
dr. Ufik Maulena

Untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Program Internsip Dokter


Indonesia di RSU Muhammadiyah Siti Aminah Bumiayu, Kabupaten Brebes.

Periode Februari 2021 - Februari 2022

Disetujui dan disahkan Pada April 2021

Mengetahui,

Pendamping Internship

dr. Nia Tri Mulyani


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : An.F
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 7 th 10 bulan
No. RM : 00641925
Tgl Masuk : 13/03/2021
Tgl Anamnesa : 13/03/2021
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dibawa oleh keluarga dengan keluhan demam sejak 3 hari
yang lalu. Demam dirasakan naik turun. Ibu pasien sudah sempat memberikan
parasetamol, demam kemudian turun namun kemudian demam muncul lagi.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut, nafsu makan pasien berkurang serta BAK
berkurang sejak sakit. Mual dan muntah disangkal, BAB dalam batas normal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat memiliki keluhan yang sama : diakui 1 tahun yang lalu dan rawat
inap di RS
Riwayat demam, batuk, pilek, : diakui
Riwayat TB : disangkal
Riwayat diare : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat Jantung : disangkal
Riwayat Sakit ginjal : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat memiliki keluhan yang sama : disangkal
Riwayat memiliki asma : disangkal
Riwayat TB : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat memiliki diabetes melitus : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasein anak tunggal. Pasien tinggal bersama kedua orang tua. Tempat
tinggal pasien berada di pemukiman tidak terlalu padat penduduk. Ayah pasien
bekerja sebagai buruh dan ibu pasien adalah ibu rumah tangga.

6. Riwayat Pribadi
a. Prenatal
• G1P0A0 usia 26 tahun, usia kehamilan 38 minggu
• ANC rutin di puskesmas
• Riw. HT gestasional (-)
• Riw. DM gestasional (-)
• Riw. Infeksi saat hamil (-)
• Riw. Trauma (-)

b.Natal
• Lahir di bidan
• Bayi langsung menangis
• BBL : 2900 gram
• PBL : 45 cm
c. Postnatal
• Riwayat hiperbilirubinemia (-)
• Riwayat kejang (-)
• Riwayat trauma (-)
• Riwayat sianosis (-)

7. Riwayat Makanan
0-3 bulan  ASI setiap 2 jam sekali, durasi 30 menit, menyusu kuat
3-6 bulan  ASI
6 bulan – 2 tahun  MP ASI dan nasi tim
2 tahun – sekarang  Makanan padat : nasi, sayur, ayam, telur, 3x/hari. Makan
habis namun jarang konsumsi sayur

8. Riwayat Perkembangan
a.Motorik Halus
1 bulan : menatap ibu
3 bulan : berusaha
meraih benda
6 bulan: memasukkan
benda ke mulut
12 bulan: mencari mainan
24 bulan: belajar makan sendiri
36 bulan : berdiri diatas 1 kaki
5 th : menangkap bola kecil dua tangan
6-7 th : menendang, dan Gerakan kompleks seperti menari dan bermain
basket

b.Motorik kasar
2 bulan : mengangkat kepala
3 buln : menggerakkan kepala
6 bulan : meraih benda
9 bulan: tengkurap
12 bulan: berdiri, berjalan
24 bulan: mulai berlari
36 bulan : memakai baju sendiri
5 th : bermain sepeda
6-7 th : mampu melakukan Gerakan kompleks dan dilakukan bersamaan

c. Bahasa
1 bulan : mengeluarkan suara
3 bulan: mengoceh spontan
6 bulan: menirukan bunyi
12 bulan: mengucap 1-2 kata
18 bulan: meniru kata sederhana
24 bulan: menyusun kalimat sederhana
36 bulan : bicara dengan baik
5 th: paham arti lawan Kata
6-7 th : cara berfirikir kompleks dan membentuk cerita kompleks

d.Sosial
1 bulan : tersenyum
3 bulan : tertawa
6 bulan : tersenyum saat melihat benda menarik
9 bulan : tersenyum saat melihat benda menarik
12 bulan: tepuk tangan
24 bulan: bermain aktif
36 bulan : bermain dengan teman
5 th : mengikuti aturan games
6-7 th : mulai menjalin persahabatan, terdapat rasa PD
dan mulai membandingkan diri dengan orang lain
9. Riwayat Vaksinasi

VAKSINASI DASAR ULANGAN

JENIS USIA TEMPAT USIA TEMPAT

BCG 1 bulan Puskesmas - -

2, 3, 4 18
DPT-HIB Puskesmas Puskesmas
bulan bulan

0, 2, 3, 4
POLIO Puskesmas - -
bulan

HEPATITIS 0, 2, 3, 4
Puskesmas - -
B bulan

18
Campak 9 bulan Puskesmas Puskesmas
bulan

C. OBJEKTIF
Keadaan umum : sakit sedang, lemas

Kesadaran : composmentis, E4M6V5

Vital sign :
N :134 x/menit
RR : 94 x/menit
S : 38.3°C
SpO2 : 98%
Status Gizi :
BB : 21 kg
PB : 119 cm
IMT : 14.8
𝐼𝑀 𝑇
−𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
13.66−15,7
𝑈
= 15.7−14.4 = -0.2
𝑆𝐷 −𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
Kesimpulan: Status gizi baik
Status Generalis
Kepala : Bentuk mesochepal
Rambut : Warna hitam memutih sebagian dan terdistribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikhterik (-/-), reflex pupil (+/+)
normal isokor 3mm,3mm
Terlinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), atrofi papill lidah (-), tonsil T1/T1,
hiperemis (-)
Trakhea : Deviasi trakhea (-), pembesaran KGB (-)

Pulmo
Anterior
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-), barrel chest (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)

Posterior
Inspeksi : Dinding punggung simetris, retraksi interkostal (-),
ketinggalan gerak (-), jejas (-), barrel chest (-), kelainan
vertebre (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan
hemitorakskiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V linea midclavicula sinistra,
kuat angkat (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra dan
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Kesan : jantung membesar
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (+) regio epigastrik
Hepar : Tidak teraba besar
Lien : Tidak teraba besar
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
Ptekie (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
Ptekie (-/-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium

Nilai
Pemeriksaan 13/3/21 16/3/21 Rujukan
11.5-15
Hemoglobin 12.0 11.6
g/dL
12.84 3.94 L 4800-10800
Leukosit
H U/L
Hematokrit 37 36 37-47 %
Eritrosit 4.90 4.81 4.2-5.2^6/uL
274 150.000–
Trombosit 351
450.000 /uL
MCV 75.1 L 74.8 L 79-99 fL
24.1 L 27-
MCH 24.5 L 31Pg/cell
MCHC 32.6 L 32.2 L 33 – 37 %

- 9.4 – 12.3
-
fL
Basofil 0.2 0.8 0–1%
Eosinofil 0.1 L 8.1 H 2–4%
Batang 1L 3 2–6%
Segmen 71.4 H 33.7 L 50 – 70 %
Limfosit 16.2 L 46.7 H 25 – 40 %
Monosit 12.1 H 10.7 H 2–8%
NLR 4.41 H 0.72 <3.13

Anti S thypi -O Positif


1/160
Anti S thypi -H Positif
1/160
Anti S parathypi -A negatif
Dengue IgG negatif
Dengue IgM negatif
E. FOLLOW UP

S O A P
HP (hari KU sakit sedang 1. Obs Febris H3 1. Inf RL loading 200
perawatan) 1 / CM/ E4V5M6 2. Demam Tifoid cc  16 tpm makro
(13/3/2021) N :134 x/menit 2. Inj ceftriaxon 2x699
RR 94 mg
- Demam (+) x/menit 3. Inj norages 3x250
- Nyeri perut S : 38.3°C mg
- Mual SpO2 : 98% 4. Inj ranitidin 3x1 cc
5. Inj cendantron 3x1
Pf cc
Mata : pupil 6. P.O Napreks 3xcth 1
isokor +/+ konj 7. P.O Inpepsa 3xcth 1
anemis -/- RC 8. P.O OMZ 1x10 mg
+/+ ikterik -/-
Thorak : sdv
+/+ rh -/- wh -/-
Cor : s1s2
tunggal bj (-)
Abd : bu +
normal
Eks : akral
hangat ++/++
edem -/-/-/-

KU sakit sedang 1. Obs Febris H4 1. Inf RL loading 200


HP 2 / CM/ E4V5M6 2. Demam Tifoid cc  16 tpm makro
(14/3/2021) 2. Inj ceftriaxon 2x600
Hr 120 mg
- Demam (-) Rr 20 3. Inj norages 3x250
- Mual (+) T 36.6 mg
dan nyeri Spo2 98 4. Inj ranitidin 3x1 cc
perut 5. Inj cendantron 3x1
berkurang cc
6. P.O Napreks 3xcth 1
7. P.O Inpepsa 3xcth 1
8. P.O OMZ 1x10 mg

1. Inf RL loading 200


1. Obs Febris H5 cc  16 tpm makro
HP 3 KU CM 2. Inj ceftriaxon 2x600
2.Demam tifoid mg
(15/3/2021)
N : 110x/menit 3. Inj ranitidin 3x1 cc
- Nyeri perut RR :22x/menit 4. Inj cendantron 3x1
berkurang S : 36.7°C cc
- Mual (+) 5. P.O Napreks 3xcth 1
6. P.O Inpepsa 3xcth 1
P.O OMZ 1x10 mg
KU sakit sedang 1. Obs Febris H6 Pasien BLPL
HP 4 / CM/ E4V5M6 2. Demam Tifoid 1. Inj ceftriaxon 2x600
(16/3/2021) mg
Hr 92 2. Inj ranitidin 3x1 cc
- Sediki Rr 20 3.Inj cendantron 3x1 cc
t T 36.5 4.P.O Napreks 3xcth 1
lemas Spo2 98 5.P.O Inpepsa 3xcth 1
- Mual (-) 6.P.O OMZ 1x10 mg
dan nyeri 7.P.O cefixime syr 3x
perut (-) 2/3 cth

F. DIAGNOSIS
1. Demam tifoid
G. PLANNING
Medikamentosa

1. Inf RL loading 200 cc  16 tpm makro


2. Inj ceftriaxon 2x699 mg
3. Inj norages 3x250 mg
4. Inj ranitidin 3x1 cc
5. Inj cendantron 3x1 cc
6. P.O Napreks 3xcth 1
7. P.O Inpepsa 3xcth 1
8. P.O OMZ 1x10 mg
9. P.O cefizime syr 3x2/3 cth
Non Medikamentosa
a. Diet lunak

H. EDUKASI
1. Bed rest hingga kondisi stabil
2. Asupan makanan dan minuman yg cukup
3. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam (pireksia)

2.1 Definisi Demam

Demam atau pireksia merupakan kata yang diambil dari bahasa yunani yang
berarti api (pyro). Demam merupakan suatu keadaan peningkatan suhu diatas
normal yang disebabkan perubahan pada pusat pengaturan suhu tubuh. Suhu normal
tubuh berbeda tergantung dari daerah pengukuran. Batasan normal suhu tubuh
antara lain sebagai berikut (3,4):

1. Temperatur oral berkisar antara 33,2 – 38,20C


2. Temperatur rektal berkisar antara 34,4 – 37,80C
3. Temperatur aksila berkisar antara 35,5 – 37,50C
4. Temperatur membran timpani berkisar pada 35,4– 37,80C

Suhu tubuh bervariasi pada setiap individunya, tergantung pada berbagai


faktor; antara lain umur, jenis kelamin, lingkungan, temperature ruangan, tingkat
aktivitas, dan sebagainya. Peningkatan suhu tubuh tidak selalu mengisyaratkan
terjadinya demam. Sebagai contoh, peningkatan suhu tubuh pada seseorang akan
meningkat pada keadaan peningkatan metabolisme tubuh (latihan fisik), tetapi hal
tersebut tidak didefinisikan sebagai demam, karena pusat pengaturan suhu tubuh di
otak berada pada batas normal.

2.2 Pengaturan Suhu Tubuh

2.2.1. Keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas

Pengaturan suhu memerlukan mekanisme perifer yang utuh, yaitu


keseimbangan produksi dan pelepasan panas, serta fungsi pusat pengatur suhu di
hipotalamus yang mengatur seluruh mekanisme. Bila laju pembentukan panas
dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, timbul panas dalam tubuh
dan temperatur tubuh meningkat. Sebaliknya, bila kehilangan panas lebih besar,
panas tubuh dan temperatur tubuh akan menurun (5,8)

2.2.2 Produksi Panas

Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic


Rate
(BMR). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan Basal Metabolic Rate antara lain:
(1) laju metabolisme dari semua sel tubuh; (2) laju cadangan metabolisme yang
disebabkan oleh aktivitas otot; (3) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
pengaruh tiroksin, epinefrin, norepinefrin dan perangsangan simpatis terhadap sel;
(5) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi
didalam sel sendiri.

Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung,
tiroid, pankreas dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada
tingkat sel yang melibatkan adenosin trifosfat (ATP). Bayi baru lahir menghasilkan
panas pada jaringan lemak coklat, yang terletak terutama dileher dan skapula.
Jaringan ini kaya akan pembuluh darah dan mempunyai banyak mitokondria. Pada
keadaan oksidasi asam lemak pada mitokondria dapat meningkatkan produksi
panas sampai dua kali lipat. Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan
vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan menggigil sebagai respon terhadap
kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf pusat memegang
peranan penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada lingkungan
panas atau bila suhu tubuh meningkat, pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus
mempengaruhi serabut eferen dari sistem saraf otonom untuk melebarkan
pembuluh darah (vasodilatasi). Peningkatan aliran darah dikulit menyebabkan
pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit kesekitarnya dalam
bentuk keringat. Dilain pihak, pada lingkungan dingin akan terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah sehingga akan mempertahankan suhu tubuh.
2.2.3 Kehilangan Panas

Berbagai cara panas hilang dari kulit ke lingkungan dapat melalui beberapa
cara yaitu: (1) Radiasi : kehilangan panas dalam bentuk gelombang panas infra
merah, suatu jenis gelombang elektromagnetik. Dimana melalui cara ini tidak
menggunakan sesuatu perantara apapun. Secara umum enam puluh persen panas
dilepas secara radiasi; (2) Konduksi : kehilangan panas melalui permukaan tubuh
ke benda-benda lain yang bersinggungan dengan tubuh, dimana terjadi pemindahan
panas secara langsung antara tubuh dengan objek pada suhu yang berbeda.
Dibandingkan dengan posisi berdiri, anak pada posisi tidur dengan permukaan
kontak yang lebih luas akan melepas panas lebih banyak melalui konduksi; (3)
Konveksi : pemindahan panas melalui pergerakan udara atau cairan yang
menyelimuti permukaan kulit; (4) Evaporasi : kehilangan panas tubuh sebagai
akibat penguapan air melalui kulit dan paru-paru, dalam bentuk air yang diubah dari
bentuk cair menjadi gas; dan dalam jumlah yang sedikit dapat juga kehilangan
panas melalui urine dan feses.

Faktor fisik jelas akan mempengaruhi kemampuan respon perubahan suhu.


Pelepasan panas pada bayi sebagian besar disebabkan oleh karena permukaan
tubuhnya lebih luas dari pada anak yang lebih besar.

2.2.4 Konsep “Set-Point” dalam pengaturan suhu tubuh

Konsep “Set-Point” dalam pengaturan temperatur yaitu semua mekanisme


pengaturan temperatur yang terus-menerus berupaya untuk mengembalikan
temperatur tubuh kembali ke tingkat “Set-Point”. Set-point disebut juga tingkat
temperatur krisis, yang apabila suhu tubuh seseorang melampaui diatas set-point
ini, maka kecepatan kehilangan panas lebih cepat dibandingkan dengan produksi
panas, begitu sebaliknya. Sehingga suhu tubuhnya kembali ke tingkat set-point. Jadi
suhu tubuh dikendalikan untuk mendekati nilai set-point.
2.2.5 Peranan Hipotalamus dalam pengaturan suhu tubuh.

Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan


balik, dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang
terletak pada area preoptik hipotalamus anterior

Telah dilakukan percobaan pemanasan dan pendinginan pada suatu area


kecil di otak dengan menggunakan apa yang disebut dengan thermode. Alat ini
dipanaskan dengan elektrik atau dialirkan air panas, atau didinginkan dengan air
dingin. Dengan menggunakan thermode, area preoptik hipotalamus anterior
diketahui mengandung sejumlah besar neuron yang sensitif terhadap panas dan
dingin. Neuron-neuron ini diyakini berfungsi sebagai sensor suhu untuk mengontrol
suhu tubuh. Apabila area preoptik dipanaskan, kulit diseluruh tubuh dengan segera
mengeluarkan banyak keringat, sementara pada waktu yang sama pembuluh darah
kulit diseluruh tubuh menjadi sangat berdilatasi. Jadi hal ini merupakan reaksi yang
cepat untuk menyebabkan tubuh kehilangan panas, dengan demikian membantu
mengembalikan suhu tubuh kembali normal. Oleh karena itu, jelas bahwa area
preoptik hipotalamus anterior memiliki kemampuan untuk berfungsi sebagai
termostatik pusat kontrol suhu tubuh. Walaupun sinyal yang ditimbulkan oleh
reseptor suhu dari hipotalamus sangat kuat dalam mengatur suhu tubuh, reseptor
suhu pada bagian kulit dan beberapa jaringan khusus dalam tubuh juga mempunyai
peran penting dalam pengaturan suhu.

Daerah spesifik dari interleukin-1 (IL-1) adalah regio preoptik hipotalamus


anterior, yang mengandung sekelompok saraf termosensitif yang berlokasi di
dinding rostral ventrikel III, disebut juga sebagai korpus kalosum lamina terminalis
(OVLT) yaitu batas antara sirkulasi dan otak. Saraf termosensitif ini terpengaruh
oleh daerah yang dialiri darah dan masukan dari reseptor kulit dan otot. Saraf yang
sensitif terhadap hangat terpengaruh dan meningkat dengan penghangatan atau
penurunan dingin, sedang saraf yang sensitif terhadap dingin meningkat dengan
pendinginan atau penurunan dengan penghangatan. Telah dibuktikan bahwa IL-1
menghambat saraf sensitif terhadap hangat dan merangsang cold-sensitive neurons.
Korpus kalosum lamina terminalis (OVLT) mungkin merupakan sumber
prostaglandin. Selama demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVLT
melalui jendela kapiler untuk merangsang sel untuk memproduksi prostaglandin E-
2 (PGE-2); secara difusi masuk kedalam regio preoptik hipotalamus anterior untuk
menyebabkan demam atau bereaksi dalam serabut saraf dalam OVLT. PGE-2
memainkan peran penting sebagai mediator, terbukti dengan adanya hubungan erat
antara demam, IL-1 dan peningkatan kadar PGE-2 di otak. Penyuntikan PGE-2
dalam jumlah kecil kedalam hipotalamus binatang, memproduksi demam dalam
beberapa menit, lebih cepat dari pada demam yang diinduksi oleh IL-1.

Hasil akhir mekanisme kompleks ini adalah peningkatan thermostatic set-


point yang akan memberi isyarat serabut saraf eferen, terutama serabut simpatis
untuk memulai menahan panas (vasokonstriksi) dan produksi panas (menggigil).
Keadaan ini dibantu dengan tingkah laku manusia yang bertujuan untuk menaikkan
suhu tubuh, seperti mencari daerah hangat atau menutup tubuh dengan selimut.
Hasil peningkatan suhu melanjut sampai suhu tubuh mencapai peningkatan set-
point. Peningkatan set-point kembali normal apabila terjadi penurunan konsentrasi
IL-1 atau pemberian antipiretik dengan menghambat sintesis PGE-2. PGE-2
diketahui mempengaruhi secara negative feed-back dalampelepasan IL-1, sehingga
dapat mengakhiri mekanisme ini yang awalnya diinduksi demam. Sebagai
tambahan, arginin vasopresin (AVP) beraksi dalam susunan saraf pusat untuk
mengurangi pyrogen induced fever. Kembalinya suhu menjadi normal diawali oleh
vasodilatasi dan berkeringat melalui peningkatan aliran darah kulit yang
dikendalikan oleh serabut saraf simpatis.

2.3. Etiologi Demam

Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu normal


pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen
biologis (faktor perangsang koloni granulosit-makrofag, interferon dan interleukin),
jejas jaringan (infark, emboli pulmonal, trauma, suntikan intramuskular, luka
bakar), keganasan (leukemia, limfoma, hepatoma, penyakit metastasis), obat-
obatan (demam obat, kokain, amfoterisin B), gangguan imunologik-reumatologik
(lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid), penyakit radang (penyakit radang
usus), penyakit granulomatosis (sarkoidosis), ganggguan endokrin (tirotoksikos is,
feokromositoma), ganggguan metabolik (gout, uremia, penyakit fabry,
hiperlipidemia tipe 1), dan wujud-wujud yang belum diketahui atau kurang
dimengerti (demam mediterania familial). Umumnya demam pada anak disebabkan
oleh virus yang sembuh sendiri. Tetapi sebagian kecil dapat berupa infeksi bakteri
serius diantaranya meningitis bakterialis, bakterimia, pneumonia bakterialis, infeksi
saluran kemih, enteritis bakteri, infeksi tulang dan sendi (4,6).

2.4. Patogenesis Demam

Tanpa memandang etiologinya, jalur akhir penyebab demam yang paling sering
adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah set-point di
hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas (1,10).

Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen
yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar
tubuh seperti toksin, produk-produk bakteri dan bakteri itu sendiri mempunyai
kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan
sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF),
interferon (INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar
sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen
eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan
sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.
2.4.1 Pirogen Eksogen

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah


terpapar. Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau
monosit, untuk merangsang sintesis interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain yang
mungkin berperan sebagai pirogen eksogen, misalnya endotoksin, bekerja langsung
pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi, racun DDT dan racun
kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek langsung terhadap
hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin yang akan merangsang
secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas IL-1. Mekanisme ini
dijumpai pada scarlet fever dan toxin shock syndrome. Pirogen eksogen dapat
berasal dari mikroba dan non-mikroba.
2.4.1.1 Pirogen Mikrobial

4.1.1.1 Bakteri Gram-negatif

Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonela)


disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, yaitu suatu pirogen eksogen
yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar
bakteri yaitu lipopolisakarida (LPS). Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu
yang progresif tergantung dari dosis (dose-related). Apabila bakteri atau hasil
pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau dalam darah, keduanya akan
difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan dan natural killer cell (NK cell).
Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan
interleukin-1, kemudian interleukin-1 tersebut mencapai hipotalamus sehingga
segera menimbulkan demam. Endotoksin juga dapat mengaktifkan sistem
komplemen dan aktifasi faktor hageman

2.4.1.1.2 Bakteri Gram-positif

Pirogen utama bakteri gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah


peptidoglikan dinding sel. Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin, dimana
eksotoksin ini dapat menyebabkan pelepasan daripada sitokin yang berasal dari T-
helper dan makrofag yang dapat menginduksi demam. Per unit berat, endotoksin
lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis yang
lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri gram-negatif. Mekanisme yang
bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi pneumokokus
diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh
basil gram-positif (misalnya difteri, tetanus, dan botulinum) pada umumnya demam
yang ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram-positif piogenik
atau bakteri gram-negatif lainnya.
2.4.1.1.3 Virus

Telah diketahui secara klinis bahwa virus dapat menyebabkan demam. Pada
tahun 1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang
mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus memproduksi
demam antara lain dengan cara melakukan invasi secara langsung ke dalam
makrofag, reaksi imunologis terjadi terhadap komponen virus yang termasuk
diantaranya yaitu pembentukan antibodi, induksi oleh interferon dan nekrosis sel
akibat virus.

2.4.1.1.4 Jamur

Produk jamur baik yang mati maupun yang hidup, memproduksi pirogen
eksogen yang akan merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul
ketika produk jamur berada dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit
keganasan (misalnya leukemia) disertai demam yang berhubungan dengan
neutropenia sehingga mempunyai resiko tnggi untuk terserang infeksi jamur
invasif.

2.4.1.2 Pirogen Non-Mikrobial

2.4.1.2.1 Fagositosis

Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab


untuk terjadinya demam, seperti dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik
imun (immune hemolytic anemia).

2.4.1.2.2 Kompleks Antigen-antibodi

Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai
akibat reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune
fever) atau oleh antigen yang teraktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, dan
kemudian akan merangsang monosit dan makrofag untuk melepas interleukin-1 (IL-
1). Contoh demam yang disebabkan oleh immunologically mediated diantaranya
lupus eritematosus sistemik (SLE) dan reaksi obat yang berat. Demam yang
berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih mungkin disebabkan
oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan dengan
pelepasan IL-1.

2.4.1.2.3 Steroid

Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan


metabolik androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan interleukin-1 (IL-1).
Ethiocholanolon dapat menyebabkan demam hanya bila disuntikan secara
intramuskular (IM), maka diduga demam tersebut disebabkan oleh pelepasan
interleukin-1 (IL-1) oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan. Steroid ini diduga
bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien dengan sindrom
adrogenital dan demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown origin =
FUO)

2.4.1.2.4 Sistem Monosit-Makrofag

Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi interleukin-1 (IL-1)


dan terjadinya demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai
penanggung jawab dalam memproduksi interleukin-1 (IL-1) oleh karena demam
dapat timbul dalam keadaan agranulositosis. Sel mononuklear selain merupakan
monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar di dalam organ seperti paru
(makrofag alveolar), nodus limfatik, plasenta, rongga peritoneum dan jaringan
subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari granulocyte-monocyte colony-
forming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran
darah untuk tinggal selama beberapa hari sebagai monosit yang beredar atau
bermigrasi ke jaringan yang akan berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag
yang berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan penting dalam pertahanan tubuh
termasuk diantaranya merusak dan mengeliminasi mikroba, mengenal antigen dan
mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit, aktivasi limfosit-T dan
destruksi sel tumor (Tabel 1.1). Keadaan yang berhubungan dengan perubahan
fungsi sistem monosit-makrofag diantaranya bayi baru lahir, kortikosteroid dan
terapi imunosupresif lain, lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Wiskott-
Aldrich dan penyakit granulomatosus kronik. Dua produk utama monosit-makrofag
adalah interleukin-1 (IL-1) dan Tumor necroting factor (TNF).

2.4.2 Pirogen Endogen

2.4.2.1 Interleukin-1 (IL-1)

Interleukin-1 (IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel


sekretori, dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas
melalui membran sel kedalam sirkulasi. Interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai
hormon oleh karena mempengaruhi organ-organ yang jauh. Penghancuran
interleukin-1 (IL-1) terutama dilakukan di ginjal.

Interleukin-1 (IL-1) terdiri atas 3 struktur polipeptida yang saling


berhubungan, yaitu 2 agonis (IL-1α dan IL-1β) dan sebuah antagonis (IL-1 reseptor
antagonis). Reseptor antagonis IL-1 ini berkompetisi dengan IL-1α dan IL-1β untuk
berikatan dengan reseptor IL-1. Jumlah relatif IL-1 dan reseptor antagonis IL-1
dalam suatu keadaan sakit akan mempengaruhi reaksi inflamasi menjadi aktif atau
ditekan. Selain makrofag sebagai sumber utama produksi IL-1, sel kupfer di hati,
keratinosit, sel langerhans pankreas serta astrosit juga memproduksi IL-1. Pada
jaringan otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga berperan dalam respon imun dalam
susunan saraf pusat (SSP) dan demam sekunder terhadap perdarahan SSP.
Fagositosis Antigen Mikrobial dan Non-mikrobial
Memproses dan Peran utama mekanisme pertahanan sebelum
mempresentasikan antigen
Antigen dipresentasikan pada sel-T
Sel-T menjadi aktif hanya setelah kontak antigen
Aktivasi sel-T pada
permukaan monosit-makrofag
Tumorisidal Umumnya disebabkan oleh TNF
Sekresi dari :
Mempengaruhi respon imun, anti virus, anti
Interferon α dan β proliferatif
Efek primer pada hipotalamus untuk mengindusi
IL-1 demam,
aktivasi sel-T dan produksi antibodi oleh sel-B
Induksi demam dan hepatic acute phase proteins,
IL-6 aktivasi
sel-B dan stem cell, resistensi non spesifik pada
infeksi
IL-8 Aktivasi neutrofil dan sintesis IgE
Efek pada sel limfopoetik dan mieloid/eritr oid,
IL-11 perangsangan
sekresi T-cell dependent B-cell
Tumor necrosis factor Aktivasi selular, aktivasi anti tumor
Prostaglandin Beraksi sebagai supresi imun, mengurangi IL-1
Lisozim Zat penting bagi proses peradangan

Tabel 1.1 Fungsi utama sistem Monosit-Makrofag


Interleukin-1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primernya yaitu
menginduksi demam pada hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran IL-1
diperlukan untuk proliferasi sel-T serta aktivasi sel-B, maka sebelumnya IL-1
dikenal sebagai lymphocyte activating factor (LAF) dan B-cell activating factor
(BAF). Interleukin-1 merangsang beberapa protein tertentu di hati, seperti protein
fase akut misalnya fibrinogen, haptoglobin, seruloplasmin dan CRP, sedangkan
sintesis albumin dan transferin menurun. Secara karakteristik akan terlihat
penurunan konsentrasi zat besi (Fe) serta seng (Zn) dan peningkatan konsentrasi
tembaga (Cu). Keadaan hipoferimia terjadi sebagai akibat penurunan asimilasi zat
besi pada usus dan peningkatan cadangan zat besi dalam hati. Perubahan ini
mempengaruhi daya tahan tubuh hospes oleh karena menurunkan daya serang
mikroorganisme dengan mengurangi nutrisi esensialnya, seperti zat besi dan seng.
Dapat timbul leukositosis, peningkatan kortisol dan laju endap darah.

Fungsi utama Interleukin-1 :

 Induksi demam Stimulasi Prostaglandin-E2 (PGE-2)


 Aktivasi sel-T dan sel-B Reaksi fase akut
 Respon inflamasi Proteolisis otot
 Supresi nafsu makan Absorpsi tulang
 Stimulasi Kolagenase Rasa kantuk/tidur

2.4.2.2 Tumor Necrosis Factor (TNF)

Tumor necrosis factor ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini selain
dihasilkan oleh monosit dan makrofag, limfosit, natural killer cells (sel NK), sel
kupffer juga oleh astrosit otak, sebagai respon tubuh terhadap rangsang atau luka
yang invasif. Sitokin dalam jumlah yang sedikit mempunyai efek biologik yang
menguntungkan. Berbeda dengan IL-1 yang mempunyai aktivitas anti tumor yang
rendah, TNF mempunyai efek langsung terhadap sel tumor. Ia mengubah
pertahanan tubuh terhadap infeksi dan merangsang pemulihan jaringan menjadi
normal, termasuk penyembuhan luka. Tumor necrosis factor juga mempunyai efek
untuk meragsang produksi IL-1, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan
neutrofil serta meningkatkan fagositosis dan sitotoksik.

Meskipun TNF mempunyai efek biologis yang serupa dengan IL-1, TNF
tidak mempunyai efek langsung pada aktivasi stem cell dan limfosit. Seperti IL-1,
TNF dianggap sebagai pirogen endogen oleh karena efeknya pada hipotalamus
dalam menginduksi demam. Tumor necrosis factor identik dengan cachectin, yang
menghambat aktivitas lipase lipoprotein dan menyebabkan hipertrigliseridemia
serta cachexia, petanda adanya hubungan dengan infeksi kronik. Tingginya kadar
TNF dalam serum mempunyai hubungan dengan aktivitas atau prognosis berbagai
penyakit infeksi, seperti meningitis bakterialis, leismaniasis, infeksi virus HIV,
malaria dan penyakit peradangan usus. Tumor necrosis factor juga diduga berperan
dalam kelainan klinis lain, seperti artritis reumatoid, autoimmune disease, dan graft-
versus-host disease.

2.4.2.3 Limfosit yang Teraktivasi

Dalam sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas
2 jenis yaitu sel-B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan sel-T
yang mengatur sintesis antibodi dan secara tidak langsung berfungsi sebagai
sitotoksik, serta memproduksi respon inflamasi hipersensitivit tipe lambat.
Interleukin-1 berperan penting dalam aktivasi limfosit (dahulu disebut sebagai
LAF). Sel limfosit hanya mengenal antigen dan menjadi aktif setelah antigen
diproses dan dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL-1 pada
hipotalamus (seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada limfosit-T
(sebagai LAF) merupakan bukti kuat dari manfaat demam. Sebagai jawaban
stimulasi IL-1, limfosit-T menghasilkan berbagai zat seperti yang terdapat dalam
tabel 1.2
2.4.2.4 Interferon

Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk menekan replikasi virus


di dalam sel yang terinfeksi. Berbeda dengan IL-1 dan TNF, interferon diproduksi
oleh limfosit-T yang teraktivasi. Terdapat 3 jenis molekul yang berbeda dalam
aktivitas biologik dan urutan asam aminonya, yaitu interferon-α (INF alfa),
interferon-β (INF beta) dan interferon-gama (ITNF gama). Interferon alfa dan beta
diproduksi oleh hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas dan makrofag) sebagai
respon terhadap infeksi virus, sedangkan sintesis interferon gama dibatasi oleh
limfosit-T. Meski fungsi sel limfosit-T pada neonatus normal sama efektifnya
dengan dewasa, namun interferon (khususnya interferon gama) fungsinya belum
memadai, sehingga diduga menyababkan makin beratnya infeksi virus pada bayi
baru lahir.

Interferon gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan


menstimulasi sel-B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi interferon gama
sebagai pirogen endogen dapat secara tidak langsung merangsang makrofag untuk
melepaskan interleukin-1 (macrophage-activating factor) atau secara langsung
pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. Interferon mungkin mempengaruhi
aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta meningkatkan efisiensi natural killer cell.
Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian dari sistem interferon dengan berbagai
jalur biokimia yang mempunyai efek anti virus dan beraksi pada berbagai fase
siklus replekasi virus. Interferon juga memperlihatkan aktivitas antitumor baik
secara langsung dengan cara mencegah pembelahan sel melalui pemanjangan jalur
siklus multiplikasi sel atau secara tidak langsung dengan mengubah respon imun.
Aktivitas antivirus dan antitumor interferon terpengaruhi oleh meningkatnya suhu.
Interleukin-4 (IL-4), yang menginduksi sintesis imunoglobulin IgE dan IgG4 oleh
sel polimorfonuklear, tonsil atau sel limpa dari manusia sehat dan pasien alergi,
dihalangi oleh interferon gama dan interferon alfa, berarti limfokin ini beraksi
sebagai antagonis IL-4.
Interferon melalui kemampuan biologiknya, dapat digunakan sebagai obat
pada berbagai penyakit. Interferon alfa semakin sering dipakai dalam pengobatan
berbagai infeksi virus, seperti hepatitis B, C dan delta. Efek toksik preparat
interferon diantaranya demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala
yang berat, somnolen dan muntah. Demam dapat muncul pada separuh pasien yang
mendapat interferon, dan dapat mencapai 40˚C. Efek samping ini dapat diatasi
dengan pemberian parasetamol dan prednisolon. Efek samping berat diantaranya
gagal hati, gagal jantung, neuropati dan pansitopenia.

2.4.2.5 Interleukin-2 (IL-2)

Interleukin-2 merupakan limfokin penting kedua (setelah interferon) yang


dilepas oleh limfosit-T yang terakivasi sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin-
2 mempunyai efek penting pada pertumbuhan dan fungsi sel-T, Natural killer cell
(sel NK) dan sel-B. Telah dilaporkan adanya kasus defisiensi imun kongenital berat
disertai dengan defek spesifik dari produksi IL-2. Interleukin-2 memperlihatkan
efek sitotoksik antitumor (terhadap melanoma ginjal, usus besar dan paru) sebagai
hasil aktivasi spesifik dari natural killer cell (lymphokine-activated killer cell atau
LAK), yang memiliki aktivitas sototoksik terhadap proliferasi sel tumor. Uji klinis
dengan IL-2 sedang dilakukan saat ini pada tumor tertentu pada anak. Respon
neuroblastoma tampak cukup baik terhadap terapi imun dengan IL-2. Sayangnya,
terapi imun dengan IL-2 dapat menyebabkan defek kemotaksis neutrofil yang
reversibel, diikuti peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien yang
menerimanya. Efek samping lainnya diantaranya lemah badan, demam, anoreksia
dan nyeri otot. Gejala ini dapat dikontrol dengan parasetamol. Interleukin-2
menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1, TNF dan INF alfa, yang akan
menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului bocornya pembuluh darah, sehingga
dapat menyebabkan oedem paru dan resistensi cairan yang hebat. Penyakit yang
berhubungan dengan defisiensi IL-2 diantaranya SLE (Systemic Lupus
Erytematosus), diabetes melitus (DM), luka bakar dan beberapa bentuk keganasan.
2.4.2.6 Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)

Dari empat hemopoetic colony-stimulating factor yang berpotensi tinggi


menguntungkan adalah eritropoetin, granulocyte colony-stimulating factor (G-
CSF), dan macrophage colony-stimulating factor (M-CSF). Granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) adalah limfokin lain yang
diproduksi terutama oleh limfosit, meskipun makrofag dan sel mast juga
mempunyai kemampuan untuk memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF adalah
menstimulasi sel progenitor hemopoetik untuk berproliferasi dan berdeferensiasi
menjadi granulosit dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya.
Penggunaan dalam pengobatan diantaranya digunakan untuk pengobatan
mielodisplasia, anemia aplastik dan efek mielotoksik pada pengobatan keganasan
serta transplantasi. Pemberian GM-CSF dapat disertai dengan terjadinya demam,
yang dapat dihambat dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid (Non Steriod
Anti Inflamation Drug = NSAID) seperti ibuprofen.

2.5. Fase Demam

Fase demam dibagi atas tiga stadium, yang menunjukkan proses dari
perjalanan demam (peningkatan dan penurunan demam). Stadium tersebut antara

lain(3,7) :

1. Stadium inkrementi, ialah stadium dimana suhu tubuh mulai terjadi


peningkatan, dapat muncul mendadak atau perlahan-lahan.

2. Stadium fastigium, ialah puncak dari kejadian demam itu sendiri, dapat
berupa puncak yang berbentuk datar, tajam (peak), atau parabola. Biladidapat grafik
suhu yang bergelombang sedemikian rupa sehingga didapatkan 2 puncak
gelombang dengan variasi diantara 1-3 minggu, maka disebut demam undulans.

3. Stadium dekrementi, yaitu stadium turunnya suhu tubuh. Apabila suhu


turun dengan mendadak maka keadaan tersebut disebut krisis, bila suhu turun
perlahan disebut lisis. Bila suhu turun mencapai normal kemudian meningkat
kembali disebut residif, sedangkan bila suhu meningkat sebelum suhu turun ke
batas normal, maka disebut rekrudensi.

2.6. Jenis dan Tipe Demam

Sampai saat ini, dikenal beberapa tipe demam, yaitu (6.9) :


1. Demam kontinyu
Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang
tidak lebih dari 10C. Contoh penyakitnya antara lain; demam dengue, demam tifoid,
pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus,
sepsis, gangguan sistem saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.

2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian
kembali ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-
ulang hingga akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 10C. Demam
mendadak tinggi disertai menggigil, suhu turun secara drastis, setelah serangan
demam penderita merasa lelah. Contoh penyakitnya antara lain; demam tifoid,
malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa subtipe dari demam
intermiten, yaitu :
 Demam quotidian

Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria


falciparum dan demam tifoid

 Demam tertian

Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana
(Plasmodium vivax). Serangan demam tiap 2 x 24 jam (misal: Minggu – Selasa –
Kamis)

 Demam quartan

Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria kuartana
(Plasmodium malariae). Serangan demam tiap 3 x 24 jam (misal: Minggu – Rabu –
Sabtu)
3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu
normal, fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10C. Contoh penyakitnya antara lain;
infeksi virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis
paru.

4. Demam berjenjang (step ladder fever )


Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu
selama beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal kembali.
Contohnya pada demam tifoid. Demam naik turun yang >7 hari, pada minggu
pertama demam subfebril (kenaikan suhu tidak tinggi), puncak demam makin lama
makin tinggi, siang hari suhu badan turun, tapi tidak mencapai normal dan meninggi
pada malam hari, anak lesu, tidur mengigau, BAB cair; pada minggu kedua demam
tinggi terus-menerus.

5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback )


Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan
suhu, kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali.
Tipe ini didapatkan pada beberapa penyakit,seperti demam dengue, yellow fever
,Colorado tick fever , Rit valley fever,dan infeksi virus seperti; influenza,
poliomielitis, dan koriomeningitis limfositik.
6. Demam Pel-Ebstein atau undulasi
Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana
terjadi peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya,
dan seperti itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit
kolesistitis bruselosis, dan pielonefritis kronik.

7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)


Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama
senja atau di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier,
salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis bakterial.

Klasifikasi berdasarkan lama demam pada anak, dibagi menjadi:


1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas,
diagnosis etiologik dapat ditegakkan secara anamnestik, pemeriksaan fisis, dengan
atau tanpa bantuan laboratorium,
misalnya tonsilitis akut.
2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak
dapat ditegakkan dengan amannesis, pemeriksaan fisis, namun dapat ditelusuri
dengan tes laboratorium, misalnya
demam tifoid.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sebagian terbesar adalah
sindrom virus.
2.7. Diagnosis Banding Kasus Demam

Terdapat empat kategori utama demam pada anak, yang dibedakan menjadi (1,4) :

1. Demam karena infeksi dengan tanda infeksi local. Demam dengan tanda lokal
pada anak biasanya disebabkan oleh penyakit-penyakit berikut ini :

a) Infeksi pernapasan bagian atas

−Gejala batuk dan pilek

−Nyeri menelan

−Rhinorhoea
−Faring hiperemis

−Tonsil hiperemis dan membengkak

−Detritus pada tonsil

−Pembesaran kelenjar getah bening.


b)Otitis media dan eksterna

−Otorhoea
−Nyeri telinga

−Kanalis akustikus eksternus tampak hiperemis

−Membran timpani hiperemis dan cembung


c)Sinusitis
−Nyeri kepala sekitar orbita

−Rhinorhoea yang berbau atau purulen

−Nyeri perkusi pada daerah yang terkena)


d)Mastoiditis

−Benjolan lunak dan nyeri sekitar daerah mastoid

−Tanda peradangan local


e)Abses tenggorokan

−Nyeri tenggorokan yang cukup hebat pada anak yang lebih besar

−Nyeri saat menelan

−Kesulitan menelan/ mendorong masuk air liur


−Pembesaran kelenjar getah bening servikal
f)Infeksi jaringan lunak dan kulit

−Tanda peradangan lokal pada kulit; dapat berupa eritema, kalor,dolor, rubor,
pustula, dan lain-lain.
−Selulitis, abses kulit, dan lain-lain.
g)Demam rematik akut

−Tanda peradangan lokal pada sendi


−Karditis, eritema marginatum, nodul subkutan, dan lain-lain.

−Peningkatan LED dan ASTO

2. Demam karena infeksi tanpa tanda infeksi local. Demam yang timbul tanpa
disertai tanda-tanda infeksi lokal,dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini :

a) Demam dengue, demam berdarah dengue

−Demam atau riwayat demam mendadak tinggi selama 2-7 hari

−Manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji bendung/ rumple leede positif


−Pembesaran hati

−Tanda-tanda gangguan sirkulasi

−Peningkatan nilai hematokrit dan hemoglobin, serta penurunan nilai trombosit dan
leukosit

−Ada riwayat keluarga atau tetangga sekitar menderita atau tersangka demam
berdarah dengue
b) Demam malaria

−Demam tinggi khas bersifat intermiten

−Demam terus-menerus

−Menggigil, nyeri kepala, berkeringat, dan nyeri otot-sendi


−Anemia

−Hepatosplenomegali

−Hasil apus darah malaria positif


c)Demam tifoid

−Demam lebih dari tujuh hari

−Letargis atau terdapat penurunan kesadaran


−Nyeri perut, kembung, mual, muntah

−Diare atau konstipasi


d)Infeksi saluran kemih

−Demam terutama dibawah usia dua tahun

−Nyeri ketika berkemih

−Berkemih lebih sering dari biasanya

−Mengompol (anak usia > 3 tahun)


−Urgensi (ketidakmampuan menahan berkemih yang sebelumnya mampu
dilakukan
−Nyeri ketok sudut kostovertebra atau nyeri tekan suprapubis
e)Sepsis

−Tampak sakit berat, tanpa penyebab jelas

−Penurunan kesadaran

−Hipotermia atau hipertermia

−Takikardia, takipneu
−Gangguan sirkulasi
−Leukositosis atau leukopenia
f)Keadaan penurunan sistem imun

−Infeksi HIV-AIDS

−Keganasan
−Diabetes mellitus

−Dan lain-lain

3. Demam yang disertai ruam. Demam dapat pula bermanifestasi membentuk


ruam tertentu pada sistem integumen, adapun demam yang memiliki manifestasi
ruam, yang sering diderita oleh anak-anak antara lain :

a)Campak

−Ruam makula atau papul eritema yang mulai muncul di daerah leher, belakang
telinga menuju ke tubuh dan ektremitas

−Batuk, pilek, nyeri tenggorokan


−Konjungtivitis

−Bercak koplik

−Riwayat imunisasi campak (-)


b)Eksantema subitum

−Terutama pada bayi (6-18 bulan)

−Ruam muncul setelah suhu turun

−Ruam biasanya dimulai dari tubuh kemudian menyebar ke ekstremitas


c)Demam skarlet (Skarlatina)

-Demam tinggi, tampak sakit berat


-Ruam merah kasar seluruh tubuh, biasanya didahului di daerah lipatan (leher,
ketiak, dan lipat inguinal)
-Peradangan hebat pada tenggorokan dan kelainan lidah (strawberry tongue)
-Pada penyembuhan terdapat kulit bersisik
d)Demam berdarah dengue

e)Infeksi virus lain

-Chikunguya
-Enterovirus

-Gangguan sistemik dari ringan hingga berat

4. Demam lebih dari tujuh

hari a)Demam tifoid

-Demam lebih dari tujuh hari

-Letargis atau terdapat penurunan kesadaran


-Nyeri perut, kembung, mual, muntah

-Diare atau konstipasi


b)TB milier

-Demam lama (> 2 minggu)

-Berat badan menurun

-Anoreksia

-Pembesaran hati dan/atau limpa


-Batuk

-Tes tuberkulin positif

-Riwayat kontak dengan penderita TB

-Gambaran milier pada foto thorax dada


C)Endokarditis infektif

-Berat badan turun

-Pucat

-Jari tabuh
-Bising jantung

-Pembesaran limpa

-Petekie

-Splinter haemorrhages pada kuku


-Hematuria mikroskopik
d)Demam rematik akut

-Bising jantung yang dapat berubah-ubah sewaktu-waktu

-Artritis/ atralgia

-Gagal jantung

-Takikardia
-Pericardial friction rub

-Fokus infeksi streptokokal


e)Abses dalam

-Demam tanpa fokus infeksi yang jelas

-Radang setempat atau nyeri


-Tanda-tanda spesifik tergantung tempatnya (otak, paru, hepar,ginjal, dll
f)Demam malaria

2.8. Penatalaksanaan Demam

Tidak semua kasus demam harus diturunkan dengan segera, tidak sedikit
kasus demam yang turun dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Walau
begitu, demam tentu saja tidak membuat pasien merasa nyaman, bahkan terkadang
jika tidak diturunkan dapat meningkat tiba-tiba ke level yang membahayakan.
Menurut data statistik yang ada, kerusakan pada otak pada umumnya terjadi jika
suhu tubuh mendekati 420C (107,60F). Secara umum, pasien yang mengalami
demam akan disarankan untuk meningkatkan hidrasi, karena demam juga dapat
merupakan salah satu manifestasi dari dehidrasi tubuh, selain itu peningkatan
hidrasi terbukti dapat membantu menurunkan demam. Resiko hiponatremia relatif
yang disebabkan oleh peningkatan masukan cairan dapat dikurangi dengan
menggunakan formula cairan rehidrasi oral yang sesuai, dengan kadar elektrolit
seimbang. Penanganan sederhana lain yang dapat dilakukan ialah dengan
memberikan kompres hangat pada daerah peredaran darah besar; misalnya dileher,
ketiak, dan lipat inguinal. Tujuan kompres hangat pada daerah tersebut ialah untuk
membuat hangat daerah sekitar pembuluh darah besar tersebut,dan kemudian akan
menghangatkan darah itu sendiri. Keadaan tersebut akan merangsang pusat
pengaturan suhu untuk menurunkan termostat ke titik yang lebih rendah dari
sebelum, sehingga manifestasi yang dapat kita lihat pada pasien yaitu proses
berkeringat dan kulit yang memerah (flushing),karena vasodilatasi pembuluh darah,
sebagai upaya pembuangan panas tubuh (4,10)

Medikasi yang utama untuk penatalaksanaan demam ialah dengan


pemberian antipiretik. Contoh antipiretik yang sering digunakan untuk kasus
demam antara lain; parasetamol, ibuprofen, dan asam asetilsalisilat. Pada beberapa
sumber mengatakan antipiretik asam asetil salisilat dan ibuprofen lebih efektif
untuk penatalaksanaan demam pada anak, sekaligus mengurangi gejala prodromal
lain yang menyertai demam, karena efek analgetiknya lebih kuat dibandingkan
dengan parasetamol. Namun begitu, asam asetil salisilat dan ibuprofen memiliki
resiko perdarahan lambung dan gangguan agregasi trombosit yang lebih tinggi
dibandingkan dengan parasetamol. Oleh karena itu, obat tersebut tidak dianjurkan
untuk diberikan pada kasus demam yangdisertai perdarahan, misalnya pada demam
berdarah dengue, purpura trombositopenik idiopatik, ulkus peptikum, dan lain-lain.
Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 380C. Orang
tua dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan demam.
Seharusnya antipiretik tidak diberikan secara automatis, tetapi memerlukan
pertimbangan. Pemberian antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan
dari suhu yang tertera pada angkatermometer saja. Saat ini pemberian resep
antipiretik terlalu berlebihan,antipiretik diberikan untuk keuntungan orang tua
daripada si anak. Meski tidak ada efek samping antipiretik pada perjalanan
penyakit, namun terdapat beberapa bukti yang memperlihatkan efek yang
merugikan. Indikasi pemberian antipiretik, antara lain :

1. Demam lebih dari 390C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman,
biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia.
2. Demam lebih dari 40,50C
3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan gizi
kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi,memerlukan antipiretik.
4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.

Klasifikasi Antipiretik

Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para


aminofenol (parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen),
salisilat (aspirin, salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan
dibahas pada bagian ini ialah antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan
demam pada anak; yaitu parasetamol, ibuprofen, dan aspirin.
1. Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini
parasetamol merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan
analgesik dalam pengobatan demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam
sediaan sirup, tablet, infus, dan supositoria. Cara terakhir ini merupakan alternatif
bila obat tidak dapat diberikan per oral; misalnya anak muntah, menolak pemberian
cairan, mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas
yang setara antara parasetamol oral dan supositoria. Dengan dosis yang sama daya
terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin,hanya parasetamol tidak mempunyai
daya antiinflamasi, oleh karena itutidak digunakan pada penyakit jaringan ikat
seperti artritis reumatodi. Parasetamol juga efektif menurunkan suhu dan efek
samping lain yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon dan
pada pasien keganasan yang menderita infeksi. Dosis parasetamol lazim
yangdigunakan untuk menurunkan suhu ialah 10-15 mg/kgBB per dosis, makaakan
tercapai konsentrasi efek antipiretik dan direkomendasikan diberikan setiap 4 jam.
Dosis parasetamol 20 mg/kgBB tidak akan menambah daya penurunan suhu tetapi
memperpanjang efek antipiretik sampai 6-8 jam.Setelah pemberian dosis
terapeutik, penurunan demam terjadi setelah 30 menit, puncaknya sekitar 3 jam,
dan demam akan rekurendalam 3-4 jam setelah pemberian. Kadar puncak plasma
dicapai dalam waktu 30 menit. Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi akan
mengurangi absorpsi sehingga menghalangi penurunan demam. Parasetamol
mempunyai efek samping ringan bila diberikan dalam dosis biasa. Tidak akan
timbul perdarahan saluran cerna, nefropati, maupun koagulopati. Obat yang
dilaporkan mempunyai interaksi denganparasetamol, diantaranya adalah warfarin,
metoklopramid, beta bloker,dan klopromazin.

2. Ibuprofen
Ibuprofen ialah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampua n
antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (Non
Steroid Anti Inflammatory Drug), ibuprofen beraksi dengan memblokade sintesis
PGE-2 melalui penghambatan siklooksigenasi. Sejak tahun 1984 satu-satunya
NSAID yang direkomendasikan sebagai antipiretik di Amerika Serikat adalah
ibuprofen, sedangkan di Inggris sejak tahun 1990. Obat ini diserap dengan baik oleh
saluran cerna, mencapai puncak konsentrasi serum dalam 1 jam. Kadar efek
maksimal untuk antipiretik (sekitar 10 mg/L) dapat dicapai dengan dosis 5
mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 20C selama 3-4 jam. Dosis 10
mg/kgBB/hari dilaporkan lebih poten dan mempunyai efek supresi demam lebih
lama dibandingkan dengan dosis setara parasetamol. Awitan antipiretik tampak
lebih dini dan efek lebih besar pada bayi daripada anak yang lebih tua. Ibuprofen
merupakan obat antipiretik kedua yang paling banyak dipakai setelah
parasetamol.Efek antiinflamasi serta analgesik ibuprofen menambah keunggulan
dibandingkan dengan parasetamol dalam pengobatan beberapa penyakit infeksi
yang berhubungan dengan demam. Indikasi kedua pemakaian ibuprofen adalah
artritis reumatoid. Dengan dosis 20-40 mg/kgBB/hari, efeknya sama dengan dosis
aspirin 60-80 mg/kgBB/hari disertai efek samping yang lebih rendah. Pemberian
sitokin (misalnya GM-CSF) seringkali menyebabkan demam dan mialgia,
ibuprofen ternyata obat yang efektif untuk mengatasi efek samping tersebut.
Ibuprofen mempunyai keuntungan pengobatan dengan efek samping ringan dalam
penggunaan yang luas. Beberapa efek samping yang dilaporkan disebabkan adanya
penyakit yang sebelumnya telah ada pada anak tersebut dan bukan disebabkan oleh
pengobatannya.Di pihak lain efek samping biasanya berhubungan dengan dosis
dansedikit lebih sering dibandingkan dengan parasetamol dalam dosis antipiretik.
Reaksi samping ibuprofen lebih rendah daripada aspirin.Anak yang menelan 100
mg/kgBB tidak menunjukkan gejala, bahkan sampai dosis 300 mg/kgBB seringkali
asimptomatik. Tatalaksana kasus keracunan ibuprofen, dilakukan pengeluaran obat
dengan muntah (kumbah lambung), arang aktif, dan perawatan suportif secara
umum. Tidak ada antidotum spesifik terhadap keracunan ibuprofen.

3.Salisilat
Aspirin sampai dengan tahun 1980 merupakan antipiretik-analgetik yang
luas dipakai dalam bidang kesehatan anak. Di Amerika Serikat pangsa pasar
salisilat mencapai 70% sedangkan parasetamol hanya mencapai 30%, di Inggris
kecenderungannya terbalik. Dalam penelitian perbandingan antara aspirin dan
parasetamol dengan dosissetara terbukti kedua kelompok mempunyai efektivitas
antipiretik yangsama tetapi aspirin lebih efektif sebagai analgesik. Setelah
dilaporkan adanya hubungan antara sindrom Reye dan aspirin, Committee on
Infectious Diseases of the American Academy of Pediatrics, berkesimpulan pada
laporannya tahun 1982, bahwa aspirin tidak dapat diberikan pada anak dengan cacar
air atau dengan kemungkinan influenza. Walaupun demikian, aspirin masih
digunakan secara luas di berbagai tempat di dunia, terutama di negara berkembang.
Kekurangan utama aspirin adalah tidak stabil dalam bentuk larutan (oleh karena itu
hanya tersedia dalam bentuk tablet), dan efek samping lebih tinggi daripada
parasetamol dan ibuprofen. Adapula peningkatan insidensi interaksi dengan obat
lain, termasuk antikoagulan oral (menyebabkan peningkatan resiko perdarahan),
metoklopramid dan kafein, serta natrium valproat (menyebabkan terhambatnya
metabolisme natrium valproat).Adapun indikasi pemakaian aspirin ialah sebagai
berikut :

1. Sebagai antipiretik/ analgetik, aspirin tidak lagi direkomendasikan. Dosis 10-15


mg/kgBB memberikan efek antipiretik yang efektif. Dapat diberikan 4-5 kali per
hari, oleh karena waktu paruh di dalam darah sekitar 3-4 jam.
2. Pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid dan demam reumatik, dosis
awal ialah 80 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis ini kemudian disesuaikan untuk
mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh karena
akhir-akhir dilaporkan adanya sindrom Reye pada kasus artritis reumatoid
yangmendapat aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai pada pengobatan artritis
reumatoid.
3. Thromboxane A2 merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet
aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus
siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai
aktivitas antitrombosit dan fibrinolitik rendah, direkomendasikan bagi anak dengan
penyakit kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit jantung
koroner.

Kontraindikasi pemberian aspirin


a) Infeksi virus, khususnya infeksi saluran napas bagian atas atau cacar air. Aspirin
dapat menyebabkan sindrom Reye.
b) Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), pada keadaan iniaspirin dapat
menyebabkan anemia hemolitik.
c) Anak yang menderita asma, dapat menginduksi hipersensitifitas karena
penggunaan aspirin (aspirin-induced hypersensitivity), berupa urtikaria,
angioedema, rhinitis, dan hiperreaktivitas bronkus. Aspirin dapat menghambat
sintesis, yang mempengaruhi efek dilatasi bronkus. Akhir-akhir ini terbukti adanya
peningkatan pembentukan leukotrien pada keadaan asma yang diinduksi aspirin.
Leukotrien merupakan vasokonstriktor poten terhadap otot-otot polos salurannapas.
d) Pada pasien yang akan mengalami pembedahan atau pasien yang memiliki
kecenderungan untuk mengalami perdarahan, aspirin dapat menghambat agregasi
trombosit yang bersifat reversibel. Efek samping yang timbul pada kadar salisilat
darah< 20 mg/100 mL, umumnya dianggap sebagai efek samping sedangkan gejala
yang timbul pada kadar yang lebih tinggi disebut keracunan. Gambaran yang saling
tumpang tindih timbul diantara kedua kelompok tersebut. Efek samping berasal dari
efek langsung terhadap berbagai organ atau menghambat sintesis prostaglandin
pada organ-organ terkena. Pada anak besar gambaran klinis menunjukkan alkalosis
respiratorik, sedangkan pada anak yang lebih muda fase alkalosis respiratorik
terjadi singkat dan ketika anak tiba di rumah sakit sudah terjadi asidosis metabolik
bercampur dengan alkalosis respiratorik. Pada bayi atau keracunan salisilat berat,
keseimbangan asam-basa sangat terganggu ditandai dengan penurunan pH (dapat
kurang dari 7,0). Alkalosis respiratorik menunjukkan adanya keracunan ringan atau
tanda awal keracunan berat. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan
adalah; darah perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati, waktu
protrombin, analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit.

B. Demam Tifoid
2.1 Definisi
Demam tifoid ( tifus abdominalis, demam enterik ) adalah suatu penyakit
infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih,
disertai gangguan pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

2.2 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi yang


merupakan kuman batang Gram negatif, mempunyai flagela, motil, berkapsul,
tidak membentuk spora, tumbuh dengan baik pada suhu optimal (suhu tubuh
manusia) 37⁰C (15⁰C-41⁰C), dan fakultatif anaerob. 2
Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4⁰C selama satu jam dan 60⁰C
selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Pada media
yang selektif kuman ini memfermentasikan glukosa dan maltosa, namun tidak
dapat memfermentasikan laktosa atau sukrosa. Salmonella typhi mempunyai 3
macam antigen, yaitu :
- Antigen O = Ohne Hauch = antigen somatik (tidak menyebar)
- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagel dan bersifat
termolabil
- Antigen Vi = Kapsul = merupakan kapsul yang meliputi tubuh
kuman dan melindungi antigen O terhadap fagositosis

-
Ketiga jenis antigen trsebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 1,2
2.3 Patogenesis
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai di lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
melewati barier asam lambung, yaitu; (1) jumlah kuman yang masuk dan (2)
kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan S.typhi sebanyak 10⁵
- 10⁹ yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung
dapat menghambat multiplikasi S.typhi, kuman yang tidak mati akan mencapai usus
halus. Di usus halus, kuman melekat pada sel-sel mukosa, bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit terutama
oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (bakteremia pertama yang
asimtomatik). Bakteremia primer ini terjadi 24-72 jam setelah pasien menelan
mikroorganisme dan selanjutnya kuman menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk lagi ke dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan
bakteremia kedua dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak
dan diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu. Sebagian dari
kuman ini dikeluarkan melalui feses dan sebagian lainnya menembus usus lagi.
Proses yang sama kemudian terjadi lagi, tetapi dalam hal ini makrofag telah
teraktivasi. Kuman Salmonella di dalam makrofag yang sudah teraktivasi ini akan
merangsang makrofag menjadi hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator
(sitokin) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
gangguan mental, dan koagulasi. Sepsis dan syok septik dapat terjadi pada stadium
ini.

2.4 Manifestasi Kinis

Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih


bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
tifoid pada bayi. Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7-20 hari,dengan
masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari tergantung pada jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum, status gizi serta status imunolog is
penderita. Secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan:
1

1. Demam
Berlangsung satu minggu atau lebih dengan pola remiten. Selama
minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore hari hingga
malam hari. Setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu
ke-3 demam turun perlahan.1
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang
tenggorokan.3
2. Gangguan saluran pencernaan
Gejala sangat bervariasi. Pada mulut terdapat lidah yang tampak kering,
dilapisi selaput tebal dengan putih di tengah sedangkan tepi dan
ujungnya kemerahan (coated tongue). Hal ini biasanya terjadi beberapa
hari setelah panas meningkat. Pada perut pasien dapat mengeluh diare,
obstipasi atau obstipasi kemudian diikuti episode diare, banyak
dijumpai meteorismus dan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
hepatosplenomegali.3
3. Gangguan kesadaran
Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai
gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau
penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.3
4. Gejala lain : Rose Spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna
merah pucat yang hilang dengan penekanan, berukuran 1-5 mm,
seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan
pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan
selama 2-3 hari.3
2.5 Diagnosis

Gambaran klinis demam tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan
gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan
dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena
itu untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid diperlukan
pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap,
batkteriologis dan serologis. 2,4

2.5.1 Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap


Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. dahulu dikatakan
bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya
sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran
darah. Dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit terjadi aneusinofilia maupun limfopenia.
Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. 4
2.5.2 Pemeriksaan Bakteriologis
Diagnosis pasti dengan ditemukan kuman Salmonella typhi pada salah
satu biakan darah, feses, urin, sumsum tulang ataupun cairan duodenum.
Waktu pengambilan sampel sangat menentukan keberhasilan pemeriksaan
bakteriologis tersebut. Misalnya biakan darah biasanya positif pada minggu
pertama perjalanan penyakit, biakan feses danurin biasanya pada minggu kedua
dan ketiga, biakan sumsum tulang paling baik karena tidak dipengaruhi waktu
pengambilan ataupun pemberian antibiotik sebelumnya. Akan tetapi prosedur
ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.1,3
Hasil pemeriksaan biakan positif dari sampel darah penderita
digunakan untuk menegakkan diagnosis, akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal
sebagai berikut : 1,4
a. Telah mendapatkan terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif karena 1-2 hari
setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah.
b. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah) bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media
cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
c. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif.
d. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, dimana pada saat itu
aglutinin semakin meningkat. Waktu pengambilan darah paling baik
ialah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik. Hasil
pemeriksaan biakan negatif dua kali berturut-turut pemeriksaan feses
dan urine digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah sembuh
atau belum atau karier. Metode biakan kuman memerlukan waktu 3-5
hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan
sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium. 2

2.5.3 Pemeriksaan Serologi


1. Uji Widal
Sampai saat ini uji Widal merupakan reaksi serologis yang digunakan
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid. Uji Widal dilakukan untuk deteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi
antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen
yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang dimatikan
dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat
infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu : 4
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman)
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman)
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Mula-mula akan terjadi peningkatan
titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat. Biasanya antibodi O muncul
pada hari ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai 4- 6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. 2
Peningkatan titer empat kali setelah 1 minggu dapat memastikan
demam tifoid. Reaksi Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau titer
antibodi H 1/640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan
gambaran klinis yang khas. Untuk dapat memberikan hasil yang akurat, tes
Widal sebaiknya tidak hanya dilakukan satu kali saja melainkan perlu satu seri
pemeriksaan, kecuali bila hasil tersebut sesuai atau melewati nilai standar
setempat. 1,4
Akan tetapi spesifitas pemeriksaan Widal kurang begitu baik karena
serotype Salmonella yang lain juga memiliki antigen O dan H.1

2. TUBEX®TF
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan
pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang
menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan
menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan
hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang. 5,7

INTERPRETASI HASIL 6

SKALA INTERPRETASI KETERANGAN

≤2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan

Lakukan pengambilan darah ulang 3-5 hari


kemudian

4-5 Positif Indikasi infeksi demam tifoid

≥6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid


2.6 Tatalaksana

Penderita yang dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus


dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar
ada 3 bagian,yaitu: 1
 Perawatan
 Diet
 Obat-obatan

Perawatan

Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,


observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7hari bebas panas,
tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid
di masa lalu. Mobilisasi dilakukan sewajarnya sesuai dengan situasi dan kondisi
pasien. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar
tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain.
Mengenai lamanya perawatan di RS sampai saat ini sangat bervariasi dan
tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya
komplikasi selama penyakit berjalan.1

Diet

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan


penyakit demam
tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi
penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
Beberapa peneliti menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan
keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas ataupun kuantitas dapat
diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan dengan kebutuhan baik
kalori, protein, elektrolit, vitamin, maupun mineral serta diusahakan makanan
yang rendah/bebas selulosa dan menghindari makanan yang sifatnya iritatif.
Pada penderita dengan gangguan kesadaran pemasukan makanan harus lebih
diperhatikan.1

Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan suatu obat yang paling dikenal dalam


pengobatan demam tifoid. Obat ini telah digunakan sejak tahun 1948 dan
masih sebagai obat pilihan dibanyak negara berkembang termasuk Indonesia.
Untuk pengobatan demam typoid pada anak, kloramfenikol masih merupakan
pilihan utama karena efekif, murah didapat dan dapat diberikan secara oral.
Dari beberapa penelitian dilaporkan sekitar 3-8 % strain Salmonella telah
resisten terhadap kloramfenikol, kejadian kekambuhan dan pengidap kuman
ditemukan pada 2-4 % kasus setelah pengobatan dengan kloramfeikol, serta
adanya efek samping berupa depresi sumsum tulang ( tidak dianjurkan pada
leukosit < 2000/ μL) dan anemia aplastik. Keadaan tersebut mendorong untuk
mencari obat alternatif dalam pengobatan demam tifoid pada anak. Pemakaian
yang luas, harga obat yang murah dan pengalaman penggunaan yang banyak
merupakan alasan obat ini masih dipakai. 1,2
Dosis obat kloramfenikol 50-100mg/kgBB/24jam iv dibagi dalam 4
dosis selama 10- 14 hari. Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya
dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25mg/kgBB/hari,
selama 10 hari. 1,2
Kekhawatiran terhadap efek supresi sumsum tulang, adanya resistensi
obat, alergi terhadap obat mendorong orang mencari obat lain sebagai
alternatif. Antimikroba yang ideal untuk demam tifoid mempunyai syarat-
syarat sebagai berikut : 8
 Murah
 Dapat diberi peroral
 Bisa untuk semua kelompok pasien, termasuk anak dan wanita hamil
 Efektif, cepat menurunkan suhu tubuh
 Dapat mencegah karier dari kandung empedu
 Tidak menimbulkan perubahan flora usus
Meskipun di Indonesia belum ada laporan yang pasti tentang resistensi
terhadap obat terutama Kloramfenikol, namun kita perlu bersiap mencari
alternatif obat yang dapat digunakan dalam pengobatan demam tifoid pada
keadaan-keadaan khusus seperti multidrug resisten Salmonella typhi, adanya
alergi obat, depresi sumsum tulang. Telah dilaporkan bahwa sefalosporin
generasi ketiga memberikan hasil yang baik sebagai obat alternatif. 8

Ampisilin dan Amoksisilin

Digunakan pada pengobatan demam tifoid terutama pada kasus yang


resisten terhadap kloramfenikol. Kemampuan obat ini menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk
mengobati karier. Kelemahannya dapat terjadi skin rash dan diare. Dosis yang
dianjurkan adalah : 1

 Ampisilin 100-200 mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari

 Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari

Ceftriaxone

Dosis yang dianjurkan adalah 50-100mg/kgBB/hari, tunggal atau dibagi dalam


2 dosis IV (maksimal 4 gr/hari ) selama 5-7 hari. 1,3

Cefotaxime

Dosis yang dianjurkan adalah 50-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis iv.
1

Cefixime

Merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan


peroral. Secara kimia cara kerja dan toksisitasnya hampir sama dengan
penisilin tetapi lebih stabil terhadap betalaktamase bakteri sehingga
mempunyai spektrum aktifitas yang lebih luas. Cefixim mempunyai waktu
paruh yang panjang dibanding dengan sefalosporin oral lainnya, mempunyai
spektrum antimikroba dan daya pemusnah kuman yang lebih luas. Diabsorbsi
dari saluran cerna tetapi tidak dipengaruhi oleh makanan meskipun kecepatan
absorbsinya menurun bila ada makanan. Cefixime dapat menembus plasenta.
Dosisnya pada kasus demam tifoid 20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
perhari selama 8 hari.9

Keuntungan Cefixim pada demam tifoid adalah :

 mempunyai daya penetrasi ke dalam sel terinfeksi


 dapat diberi pada anak-anak
 dapat diberi secara oral
 Cefixime stabil terhadap betalaktamase dan penisilinase

Fluorokuinolon
Fluorokinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin
diatas, dengan angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan
bakteriologis, di samping kemudahan pemberian secara oral. Namun pemberian
obat ini masih kontroversial dalam pemberian untuk anak mengingat adanya
pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago. Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5
hari. Lama pemberian obat dianjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini
dianjurkan pada kasus demam tifoid dengan MDR. 2

Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat
menyebabkan perdarahan usus dan relaps, misalnya bila ditemukan status
kesadaran delirium, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason diberikan
dengan dosis awal 3 mg/kbBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama
2 hari. 1,2
DAFTAR PUSTAKA

1. Bellig L.L. 2005. Fever. Didapatkan dari


http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm
2. Powel R.K. 2004. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson Textbook of
Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders. 839-841.
3. Ganong F.W. 2003. Temperature Regulation. Review of Medical Physiology. 21st
edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 254-259.
4. Kayman H. Management of Fever: making evidence-based decisions. Clin Pediatr.
Jun2003 (42); 3836.
5. Sumarno S.P.S., Herry G., Sri Rezeki S.H. 2002. Demam, Patogenesis dan Pengobatan.
Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. IDAI. Edisi 1. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI. 27-38.
6. Rampengan TH. Laurentz. Ir. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta, 2008: 46-64.
7. Trihono, Partini P; Praborini, Asti. Pediatrics Update. Badan Penerbit IDAI: Jakarta,
2003, hal 37-45.
8. Soedarmo, Sumarno S. Purwo; Garna, Herry; Hadinegoro, Sri Rejeki; Satari, Hindra
Irawan. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi 2. Badan Penerbit IDAI: Jakarta, 2010:
338-52.
9. Subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM.
Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, 2000.
10. http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.doc
11. http://www.kesad.mil.id/content/diagnosis-demam-tifoid
12. http://www.pacbiotekindo.co.id/files/tubex_tf.pdf
13. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/
14. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/
15.

Anda mungkin juga menyukai