Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

KOLELITIASIS

Pembimbing :
dr. Alwinsyah Abidin, Sp. PD-KP

Disusun Oleh :
I Nyoman Ghandi Sumerta (20360248)
Vianita Nurendah Hardiyati (20360265)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU PENYAKIT


DALAM RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATERA UTARA TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang
berjudul “KOLELITIASIS“. Laporan kasus ini Disusun Sebagai Tugas
Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar
di SMF Ilmu Penyakit Dalam, khususnya dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP atas
bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam
ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Laporan Kasus” ini. Kami menyadari
bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus
ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan Laporan Kasus ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, 18 Juli 2021

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit batu kandung empedu merupakan penyakit yang sudah dikenal sejak ribuan
tahun yang lalu. Pada abad ke-17 telah dicurigai sebagai penyebab penyakit pada manusia.
Batu empedu awalnya merupakan penyakit yang sering dijumpai di Negara Barat dan jarang
di negara berkembang. Tetapi dengan membaiknya keadaan social ekonomi, perubahan menu
diet ala Barat, serta perbaikan saran diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi
penyakit empedu di Negara berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat.
(Ginting, 2011)
Prevalensi penyakit batu kandung empedu pada suku Indian di Amerika Serikat
mencapai tingkat yang tinggi yaitu sekitar 40-70%. Di Amerika Serikat insiden batu empedu
diperkirakan 20 juta orang, dengan 70% diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30%
sisanya terdiri dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi. Sedangkan di Asia prevalensi
berkisar antara 3-15%.(Ginting, 2011)
Di Indonesia angka kejadian penyakit batu kandung empedu diduga tidak berbeda jauh
dengan angka di Negara lain yang ada di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian di RSCM
Jakarta dari 51 pasien dibagian Hepatologi ditemukan 73% pasien yang menderita penyakit
batu empedu pigmen dan batu kolesterol pada 275 pasien.(Ginting, 2011)
Prevalensi penderita penyakit batu kandung empedu meningkat sehubungan dengan
usia dan dua kali lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Perbedaan gender ini karna factor
hormone estrogen yang meningkatkan sekresi kolesterol empedu. Proses kehamilan
meningkatkan resiko batu empedu karena terjadinya gangguan pada proses pengosongan
kandung empedu. Gangguan pada proses ini disebabkan oleh penggabungan pengaruh antar
hormone estrogen dan hormone progesterone. Akibat penggabungan ini meningkatkan
hipersekresi kolesterol ke dalam empedu yang mempengaruhi pembentukan batu empedu.
Batu empedu yang mengandung material Kristal atau amorf dapat mempunyai berbagai
macam bentuk. Batu ini dibentuk di dalam vesika felea. Empedu terdiri dari larutan netral
dari garam empedu yang terikat (conjugated bile salts) dalam bentuk batrium, cholesterol,
fosfolipid dan pigmen empedu.
Insiden kolelitiasis dinegara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa
dan lanjut usia.kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala atau bertanda. Angka kejadian
penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga tidak berbeda jauh

1
dengan angka di Negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan
erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi. (Sjamsuhidajat, 2017)
Di Negara Barat 10-15% pasien dengan batu empedu juga disertai batu saluran empedu.
Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer didalam saluran empedu
intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer
lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di Negara
Barat. Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan
lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu.(Lesmana, 2007)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kolelitiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu yang terdapat
dalam kandung empedu disebut kolesistolitiasis dan batu yang terdapat dalam saluran
empedu (ductus choledochus) disebut koledokolitiasis.(Sjamsuhidajat, 2017)
Sinonim kolelitiasis adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Namun istilah
kolelitiasis lebih dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

Gambar 2.1 Batu dalam kandung empedu.

2.2 Etiologi
Etiologi pasti dari kolelitiasis tidak diketahui. Beberapa faktor risiko dari kolelitiasis
adalah usia lebih dari 40 tahun, jenis kelamin wanita, paritas, terapi estrogen, obesitas,
penurunan berat badan yang cepat, diet tinggi kalori, diet tinggi karbohidrat sederhana, diet
tinggi kolesterol, kurangnya asupan serat, adanya penyakit penyerta, seperti diabetes melitus
tipe 2, dislipidemia,inflammatory bowel disease, nutrisi parenteral dalam waktu yang lama
atau operasi saluran cerna misalnya gastric bypass surgery, dan gaya hidup sedentary. Obat-
obatan juga dapat meningkatkan risiko kolelitiasis, seperti acyl-CoA cholesterol Universitas
Sumatera Utara acytransferase (ACAT) inhibitor, penggunaan jangka panjang proton pump
inhibitor, dan ceftriaxon.( Vyas A, 2013)
3
2.3 Manifestasi Klinis
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi
dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier
yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah
subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu
dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu
dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini
berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah
kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan
inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30–60
menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke
abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina
pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum
pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis. (Garden, 2007; Beat, 2008).
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul
pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar
spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.
(Sjamsuhidajat, 2017)

4
2.4 Faktor Resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain (Sjamsuhidajat et al, 2017):
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan
aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
d. Makanan

5
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn
dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.5 Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan, yaitu (Sjamsuhidajat, 2017):
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.
b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-
bilirubinat sebagai komponen utama.
c) Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan
sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.

6
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih
dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam. (Sjamsuhidajat, 2017)
b. Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila
nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl,
gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul
ikterus klinis.
c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin
juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
d. Pemeriksaan radiologis
 Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu

7
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

Gambar 2.2 Foto rontgen pada kolelitiasis


 Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 2.3 Hasil USG pada kolelitiasis


8
 Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-
keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 2.4 Hasil kolesistografi pada kolelitiasis


 ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography)
Merupakan teknik yang menggabungkan penggunaan endoskopi dan fluoroskopi untuk
mendiagnosa dan mengobati masalah tertentu dari empedu atau system duktus pancreas,
termasuk batu empedu, penyempitan inflamasi (bekas luka), kebocoran (dari trauma dan
operasi) dan kanker

2.7 Penatalaksanaan
a. Non Bedah
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak. Selain itu tatalaksana non bedah terdiri dari atas lisis batu dan pengeluaran secara
endoskopik. Selain itu dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada orang yang cenderung
memiliki empedu litogenik dengan mencegah infeksi dan menurunkan kadar kolesterol serum
dengan cara mengurangi asupan atau menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin
dikenal dapat menghambat enzim HMG-CoA reduktase. (Lesmana, Sjamsuhidajat 2017).

9
1. Terapi Disolusi
Penggunaan garam empedu yaitu asam Chenodeodeoxycholat (CDCA) yang mampu
melarutkan batu kolesterol invitro, secara invivo telah dimulai sejak 1973 di klinik Mayo,
Amerika Serikat juga dapat berhasil, hanya tidak dijelaskan terjadinya kekambuhan.5
Pengobatan dengan asam empedu ini dengan sukses melarutkan sempurna batu pada sekitar
60 % penderita yang diobati dengan CDCA oral dalam dosis 10 – 15 mg/kg berat badan per
hari selama 6 sampai 24 bulan. Penghentian pengobatan CDCA setelah batu larut sering
timbul rekurensi kolelitiasis.
Mekanisme kerja dari CDCA adalah menghambat kerja dari enzim HMG Ko-a
reduktase sehingga mengurangi sintesis dan ekskresi kolesterol ke dalam empedu.
Kekurangan lain dari terapi disolusi ini selain harganya mahal juga memerlukan waktu yang
lama serta tidak selalu berhasil.
2. Dietik
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi
istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil
kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan
secukupnya untuk memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh. 5 Pembatasan
kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu tergolong juga ke
dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan
makanan juga harus dihindarkan.13 Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering
menderita konstipasi, maka diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak
mengeluarkan gas akan sangat membantu.
b. Bedah
Pilihan penatalaksanaan bedah antara lain (Sjamsuhidajat, 2017):
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan

10
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus.
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat
kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera
duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.

Gambar 2.5 Tindakan kolesistektomi

c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka
kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan
manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam
xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap
terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
d) Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-
butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan
telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

11
f) Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat
tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang
sakitnya kritis.

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:
a. Asimtomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut
 Empiema
 Perikolesistitis
 Perforasi
e. Kolesistitis kronis
 Hidrop kandung empedu
 Empiema kandung empedu
 Ileus batu empedu (gallstone ileus)

2.9 Pencegahan
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga
pasien dianjurkan atau dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol
yang tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan
karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah
yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi
atau teh. (Sjamsuhidajat et al, 2017)

12
BAB III
LAPORAN KASUS

No RM : 00364247
Ruangan : Jabal Rahmah B4
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Ahyar Hasibuan
Umur : 59 tahun
Status kawin : Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : wiraswasta
Alamat : pasar vii dsn ix gg. Melon tembung deli sedang percut sei tuan
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Nyeri perut
Telaah
Pasien datang ke IGD RS Haji Medan dengan keluhan sakit perut sebelah kanan
bagian kanan atas sejak ± 2 hari yang lalu , pasien juga mengeluhkan nyeri menjalar sampai
ke ulu hati. Pasien juga mengeluhkan nyeri menjalar sampai ke punggung dan bahu di sebelah
kanan. Sehingga sakit untuk di gerakkan.
Pasien juga mengatakan sulit tidur dikarnakan rasa nyeri itu. Pasien mengatakan
sebelumnya pada bulan mei 3 hari sebelum lebaran mengalami keluhan yang sama. Nyeri
perut kanan, dan nyeri yang dirasakan hilang timbul. Kemudian pasien mengatakan mual (+)
muntah (+). Pasien juga merasakan demam sudah 2 hari yang lalu. Dan pasien mengeluhkan
batuk sesekali disertai dahak.
Pasien mengatakan pasien mempunyai R. Penyakit batu empedu setelah terdiagnosa
dari RS islam Malahayati pada tanggal 12 juni 2021 dan dirujuk ke RSU Haji Medan kota.
BAB : 1-2x/hari, konsistensi lunak, warna kecoklatan
BAK : 5x/ hari, warna kuning pekat seperti air teh, tuntas
RPT : batu empedu (cholelithiasis)
RPK : Tidak ada
RPO : pasien lupa nama obat
R. Alergi : tidak ada
R. Kebiasaan : jarang berolahraga, sering minum kopi

ANAMNESA UMUM  Merasa Capek / Lemas : Ya


 Badan Merasa Kurang Enak : Ya
13
 Merasa Kurang Sehat : Ya
 Nafsu makan : Menurun 7. TULANG

 Tidur : terganggu  Dalam batas normal

 Berat Badan :Menurun


8. OTOT

ANAMNESA ORGAN  Dalam batas normal

1. COR
 Dalam batas normal 9. DARAH
 Dalam batas normal

2. SIRKULASI PERIFER
 Dalam batas normal 10. ENDOKRIN
 Dalam batas normal

3. TRACTUS RESPIRATORUS
 Dalam batas normal 11. FUNGSI GENITALIA
 Ereksi : Tidak ditanyakan

4. TRACTUS DIGESTIVUS  Libido Seksual : Tidak ditanyakan


A. LAMBUNG  Coitus : Tidak ditanyakan
 Muntah : Ya
 Mual-mual : Ya 12. SUSUNAN SYARAF
B. USUS  Dalam batas normal
 Dalam batas normal
C. HATI DAN SALURAN EMPEDU 13. PANCA INDRA

 Sakit perut kanan : Ya  Dalam batas normal


Memancar ke punggung dan bahu
 Kolik : ya 14. PSIKIS

 Ikterus : ya  Dalam batas normal

5. GINJAL DAN SALURAN KENCING 15. KEADAAN SOSIAL

 Miksi (freq,warna,sebelum/sesudah  Pekerjaan : Wiraswasta

miksi, mengedan) : 5x/ hari, warna  Hygiene : Bers


kuning pekat seperti air teh, tuntas

6. SENDI
 Dalam batas normal

14
ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU :
Pasien memiliki Riwayat batu empedu (cholelitiasis)

ANAMNESA PEMAKAIAN OBAT :


Pasien lupa nama obat

ANAMNESA PENYAKIT VENERIS :

 Bengkak kelenjar regional : Tidak


 Luka-luka dikemaluan : Tidak
 Pyuria : Tidak
 Bisul-bisul : Tidak

ANAMNESA INTOKSIKASI :
Tidak ada

ANAMNESA MAKANAN :
 Nasi : Ya Freq : 3x/hari
 Ikan : Ya
 Sayuran : Ya
 Daging : Ya

ANAMNESA FAMILY :
 Penyakit-penyakit Family : Tidak ada
 Penyakit seperti orang sakit : Tidak ada
 Anak-anak 5, Hidup 5, Mati 0

15
STATUS PRAESENS :
KEADAAN UMUM
 Sensorium : Compos mentis
 Tekanan Darah : 124/65 mmHg
 Temperatur : 37° C
 Pernafasan : 20x/menit, Reg, Tipe pernafasan (Thoraxal Abdominal)
 Nadi : 70x/menit, Equal , Teg / Vol ( Sedang )

KEADAAN PENYAKIT :
 Anemi : Tidak
 Ikterus : Ya
 Sianosis : Tidak
 Dispnoe : Tidak
 Edema : Tidak
 Eritema : tidak
 Turgor : Baik
 Gerakan aktif : menurun
 Sikap Tidur paksa : Tidak

KEADAAN GIZI :
BB : 40 KG
TB : 160 CM
RBW = 68% Kesan : undernutrition
IMT = 16,01kg/cm² Kesan : kurus

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Sklera Ikterik (+ | +)
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Jantung dan Paru dalam batas normal
Abdomen : Palpasi : Nyeri tekan regio hipokondrium dextra(+), Murphy Sign (+)
Ektremitas : Dalam Batas Normal

16
PEMERIKSAAN LABORATORIUM :
DARAH
Darah Rutin
Hemoglobin 11.2 g/dl
Eritrosit 3.69 Juta/Ul
Leukosit 9.00 /Ul
Hematokrit 31.6 %
Trombosit 389 /Ul
Index Eritrosit
MCV 86 Fl
MCH 30 Pg
MCHC 35 %
Jenis Leukosit
Eosinofil 0 %
Basofil 0 %
Limfosit 22 %
Monosit 5 %
Fungsi Hati
AST (SGOT) 71.0 u/L
ALT (SGPT) 67.0 u/L
Albumin - g/dL
Bilirubin 22,4 mEg/L
total
Fungsi Ginjal
Ureum - mg/dL
Kreatinin - mg/dL
Glukosa 283 mg/dL
Darah

PEMERIKSAAN USG
Hasil Pemeriksaan :
- Hati : ukuran normal, tepi halus, prankim homogen
- GB : stone multiple (+)± 1,9 cm, sludge (+), CBD dilatasi
- Right kidney : normal sonography
- Left kidney : normal sonography

17
Kesimpulan : multiple GB stone, cholecystitis

DIAGNOSA SEMENTARA : colic abdomen ec cholelitiasis

TERAPI :
 Aktivitas : Tirah Baring
 Diet : Diet rendah lemak, cukup kalori, tinggi cairan
 Medikamentosa :
 Infus RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 19/12jam
 Inj. Metronidazole 1fls/8 jam
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam
 Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
 Paracetamol 3x1

18
BAB IV
DISKUSI
TEORI KASUS
Anamnesis
Dispepsia (+) (+)
Kolik bilier (+) (+)
Intoleran makanan berlemak (+) (+)
Nyeri perut kanan atas (+) (+)
Penyebaran nyeri pada (+) (+)
punggung dan bahu
Pemeriksaan Fisik
Ikterus (+) (+)
Nyeri tekan regio (+) (+)
hipokondrium dextra
Murphy Sign positif (+) (+)
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Lab
Leukositosis (+) (-)
Bilirubin meningkat (+) (+)
2. Pemeriksaan USG
GB Stone multiple (+) (+)
CBD dilatasi (+) (+)
Pengobatan
Tindakan Non-Operatif
Statin (+) (-)
asam Chenodeodeoxycholat (+) (-)
(CDCA)
Dietik (+) (+)
Tindakan Operatif
Kolesistektomi (+) (+)
Extracorporeal Shock Wave (+) (-)
Lithotripsi (ESWL)
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus cholelitiasis, diagnosa ditegakkan secara anamnesis


,pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis dijumpai nyeri di daerah
hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan.
Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus
dan dyspepsia, dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium
kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif.
DAFTAR PUSTAKA

Abu, E.2007. Prevalence and Risk Factor of Gallstone Disease in a High Altitude Saudi
Population.Mediterranee orientale.13:4.

Acalovschi,M. 2001. Cholesterol gallstones: from epidemiology to Prevention. Postgrad


Med J.77:221–229.

Beat, M., et al. 2008. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts Diagnosis and
Treatment.In: Beat, M., editor. Clinical Surgery. New York : McGraw Hill.p. 219- 230

Beckingham, J.J. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System Gallstone
Disease. British Medical Journal Vol 13., 322(7278): 91–94.

Ginting S. A description characteristic risk factor of thekolelitiasis disease in the


Colombia asia medan hospital. 2011.p.38-45.

Njeze GE. Gallstones. Nigerian J Surg 2013;19:55.

Vyas A, Bhatt G, Kothiyal P. Gallstones cause and treatment: a review. J Adv Res Biosci
2013;1:32-45.

Lesmana, Laurentius A. Penyakit Batu Empedu. Dalam : BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Keempat. Jilid I. Jakarta : Pusat PenerbitanDepartemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006. Hal.479-81.

Stinton LM, Shaffer EA. Epidemiology of gallbladder disease: cholelitiasis and cancer. Gut
and Liver 2012;6:172-87.

Sucher K, Mattfeldt-Beman M. Diseases of the liver, gallbladder, and exocrine pancreas.


Dalam: Nelms M, Sucher KP, Lacey K, Roth SL, editor. Nutrition Therapy and
Pathophysiology. Edisi ke 2. California: Wadswroth; 2011:437- 70.

Sherwood L. Human physiology from cells to system. Edisi ke 7. California: Brooks/Cole;


2010.

Anda mungkin juga menyukai