Anda di halaman 1dari 12

PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID

1. Perawatan Umum dan Nutrisi


Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas, sebaiknya dirawat di rumah
sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya.
Tujuan perawatan adalah:
- Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan
- Observasi terhadap perjalanan penyakit
- Minimalisasi komplikasi
- Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi

a. Tirah Baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang
lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus.
b. Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid,
diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Nutrisi (cairan)
Penderita harus mendapat terapi cairan yang cukup baik secara oral maupun
parenteral. Pemberian parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, terdapat
komplikasi, sulit makan dan penurunan kesadaran.

2. Terapi simptomatik
Terapi simtomatis dapat diberikan dengan pertimbangan untuk memperbaiki keadaan
umum penderita:
- Roboransia/Vitamin
- Antipiretik. Paracetamol 500 mg tablet.
- Antiemetik

3. Terapi Defenitif
Terapi defenitif yang diberikan adalah pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama
yang diberikan adalah
- Kloramfenikol
- Ampisilin atau amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil)
- Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoxazole)
Bila pemberian antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan
golongan antibiotik yang lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu:
- Seftriakson
- Sefiksim
- Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).
Bila penderita dengan riwayat pernah mendapat tifoid serta predisposisi untuk carier,
maka pengobatan pertama adalah pemberian quinolone selama 4 minggu (Ciprofloxaxin
2x750 mg atau Norfloxacin 2x400mg).
Bila penderita dengan keadaan klinis berat sampai toksik atau syok septik, maka
pemberian antibiotik harus ganda dan diberikan secara parenteral (Ampicilin dengan
kloramfenikol, dan ditambah denga pemberian kortikosteroid dexametasone dosis 4x10 mg).
Tabel 1. 1 Antibiotik untuk Penderita Tifoid
PENCEGAHAN DEMAM TIFOID

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan
minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan
tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi
pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang
dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:
- Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara
subkutan atau intra-muskuler. Tersedia dalam alat suntik 0,5 ml yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap
3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
- Vaksin Ty21a Vivotif Berna
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak
usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari, satu jam
sebelum makan. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif
selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%.
- Vaksin Parenteral sel utuh: Typa Bio Farma
Vaksin ini mnegandung sel utuh Salmonela Typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih satu miliyar kuman/mililiter. Dikenal 2 jenis vaksin yaitu:
1. K Vaccine (Aceton in Activated). Daya proteksinya adalah 79-89%.
2. L Vaccine (Heat in activated)
Dosis kedua vaksin untuk dewasa: 0,5 ml, anak 6-12 tahun: 0,25 ml, anak 0,1 ml yang
diberikan 2 dosis dengan interval selama 4 minggu.
Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu dan bengkak, dengan nyeri pada bekas
suntikan.

PROGNOSIS DEMAM TIFOID

Prognosis adalah bonam, namun ad sanationam dubia ad bonam, karena penyakit dapat
terjadi berulang.

Daftar pustaka:
1. Widodo D. 2014. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi VI. Jakarta:Interna Publishing

2. Nelwan RHH. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Dalam jurnal Continuing
Medical Education, di unduh dari:
http://www.kalbemed.com/portals/6/05_192cme_1%20tata%20laksana%20terkini%2
0demam%20tifoid.pdf

3. DEPKES. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Di unduh dari:


perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/.../1262

4. Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Demam Tifoid. Dalam Buku Pedoman Praktis Klinis
Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

5. WHO. 2003. The Diagnosis, Treatment And Prevention Of Typhoid Fever. Jurnal
WHO di unduh dari: http://www.who.int/rpc/TFGuideWHO.pdf
6. Alberta Health. 2014. Typhoid Fever. Dalam Jurnal Public Health Notifiable Disease
Management Guidelines. Di unduh dari:
www.health.alberta.ca/documents/Guidelines-Typhoid-Fever-2014.pdf

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEMAM THYPHOID

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEMAM TYPHOID


Oktober 2009
I. PENDAHULUAN
Demam typhoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah
kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan anaerob
fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi
memiliki antigen H yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang
terletak pada envelope, serta komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding
sel.1
Di Indonesia demam typhoid merupakan penyakit endemik yang menular seperti yang
tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah, dengan pola penularan
yang bersifat sporadik. Dua sumber penularan demam tifoid adalah pasien dengan demam
tifoid dan yang terbanyak adalah carrier dimana 109 sampai 1011 kuman per gram tinja
dikeluarkan oleh mereka. Media penularan adalah air dan makanan yang tercemar oleh
kuman S.typhi.1
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di
Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan RI tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas
tinggi.1
Diagnosis demam typhoid tidak selalu didapatkan setelah semua kriteria diagnosis terpenuhi,
mengingat panjangnya perjalanan penyakit tersebut. Gejala klinis yang khas dapat menjadi
dasar untuk pemberian terapi empirik sebelum pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan
guna mencegah perburukan atau komplikasi lebih lanjut dari penyakit tersebut. Tidak jarang
pula diagnosa demam typhoid ditegakkan secara eksjuvantibus.1
Diagnosis klinis terutama ditandai oleh adanya panas badan, gangguan saluran pencernaan,
gangguan pola buang air besar, hepatomegali/spleenomegali, serta beberapa kelainan klinis
yang lain. Diagnosis laboratoris kebanyakan di Indonesia memakai tes serologi Widal, tetapi
sensitifitas dan spesifisitasnya sangat terbatas, belum ada kesepakatan titer dari masing –
masing daerah. Biakan S. Typhi merupakan pemeriksaan baku emas, tetapi hasilnya
seringkali negatif dan memerlukan waktu lama, padahal dokter harus segera memberi
pengobatan. Beberapa serodiagnostik lain yang telah dikembangkan seperti TUBEX,
merupakan pemeriksaan Immunoassay yang dapat mendeteksi anti-salmonella 09 dengan
sensitivitas dan spesifisitas 100%.2
Tatalaksana demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : Istirahat
dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta
pemberian antimikroba. Pemberian antimikroba diharapkan dapat menurunkan lama sakit dan
kematian. Klorampenikol, ampisilin, amoksisilin dan kotrimoksasol merupakan obat
konvensional yang di beberapa negara melaporkan kurang efektif sehubung dengan
munculnya strain MDR. Flurokuinolon, sefalosporin dan seftriakson merupakan pilihan lini
kedua. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi
komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.1,2
II. TINJAUAN KASUS
DEMAM TIFOID DAN PARATIFOID
Demam tifoid dan Paratifoid tipe A, B dan C disebabkan oleh Salmonella enterica serovoar
typhi dan serovoar Paratyphi A, B dan C. Bakteri ini adalah bakteri gram negatif yang tidak
berkapsul, mempunyai flagella sehingga selalu bergerak dengan menggunakan flagella
peritrikosa. Ada 3 macam spesies utama salmonella (salmonella typhi, choleraesuis dan
enteridis). Spesies Salmonella merupakan famili enterobacteriaceae yang menyebabkan
penyakit enterik yang populer. Demam thypoid yang disebabkan S.Thypi sangat menarik
perhatian terutama antigen yang terdapat pada permukaan kapsulnya. Terdapat empat
komponen antigenik penting pada S. Thypi, (1) capsular Vi polysaccharide yang terletak pada
lapisan luar, mengandung 2 kelompok determinan antigen yang memiliki potensi terjadinya
reaksi antigen antiodi, merupakan antigen independen limfosit T dan respon immunnya
dimediasi oleh sel B, (2) lipopolysaccharide (LPS), mengandung 2 determinan antigen,
dikenal dengan endotoksin, merupakan rantai heteropolisakarida unit oligosakarida (O
antigen) terjalin ke inti melalui asam heteroligosakarida (3) Flagella protein, dikenal sebagai
antigen H, mempunyai 2 bentuk fase 1 dan 2, fase 1 antigennya lebih spesifik untuk S. Thypi,
flagella mengandung protein polimerase yang disebut flagellin yang merupakan bagian
penting dalam respon immun, (4) Outer Membrane Protein (OMPs), proteinnya terdiri dari
porin dan non porin.2
TRANSMISI DAN FAKTOR RISIKO
Demam typhoid ditularkan atau ditransmisikan kebanyakan melalui jalur fecal-oral.
Penyebaran demam typhoid dari orang ke orang sering terjadi pada lingkungan yang tidak
higienis dan pada lingkungan dengan jumlah penduduk yang padat, hal ini dikarenakan pola
penyebaran kuman S.typhi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi biasanya
melalui feses penderita. Sepeti yang sudah disebutkan, transmisi terjadi melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi salmonella thypi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila
terpapar S. Thypi sebanyak 105, potensi serangan relatif ringan dengan masa inkubasi yang
panjang. Dengan meningkatnya organisme atau > 109 potensi serangan meningkat menjadi
95% dengan masa inkubasi yang lebih singkat. Transmisi di negara berkembang terjadi
secara water-borne dan food-borne.2
Demam typhoid bisa terjadi pada setiap orang, namun lebih banyak diderita oleh anak-anak
dan orang muda. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30
tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2
tahun maupun diatas 60. Pada anak-anak hal ini dikarenakan antibodi yang belum terbentuk
sempurna dan dari segi sosial, pola makanan anak-anak tidak baik yang didapat di
lingkungan. Pada populasi orang muda, penyebaran demam typhoid dapat disebabkan oleh
kebiasaan makan yang tidak mempertimbangkan faktor kebersihan dan tidak terbiasanya
mencuci tangan sebelum makan.1
Faktor resiko lainnya adalah orang dengan status imunocompromised dan orang dengan
produksi asam lambung yang terdepresi baik dibuat, misalnya pada pengguna antasida, H2
blocker, PPI, maupun didapat, misalnya orang dengan achlorhydia akibat proses penuaan.1
PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi (S.Parathypi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik,
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikum kuman yang terdapat pada makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendothelial tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.1
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding
usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.1
DIAGNOSIS
Diagnosis demam tifoid didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.
Manifestasi Klinis
Menifestasi klinis demam tifoid sangat luas dan bervariasi, dari manifestasi yang atipikal
hingga klasik, dari yang ringan hingga complicated. Penyakit ini memiliki kesamaan dengan
penyakit demam yang lainnya terutama pada minggu pertama sehingga sulit dibedakan, maka
untuk menegakkan diagnosa demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium
penunjang.2
Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki
sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas
60. Masa inkubasinya umumnya 3-60 hari.2,3
Manifestasi klinis secara umum bekaitan dengan perjalanan infeksi kuman.1,2
1. Panas badan. Pada demam typhoid, pola panas badan yang khas adalah tipe step ladder
pattern dimana peningkatan panas terjadi secara perlahan-lahan, terutama pada sore hingga
malam hari. Biasanya pada saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utama demam yang
diderita kurang lebih 5-7 hari yang tidak berhasil diobati dengan antipiretika.
2. Lidah tifoid. Pada pemeriksaan fisik, lidah tifoid digambarkan sebagai lidah yang kotor
pada pertengahan, sementara hiperemi pada tepinya, dan tremor apabila dijulurkan.
3. Bradikardi relatif. Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai dengan
peningkatan suhu, dimana seharusnya peningkatan 10C diikuti oleh peningkatan denyut nadi
sebanyak 8 kali/menit. Bradikardi relatif adalah keadaan dimana peningkatan suhu 10C
diikuti oleh peningkatan nadi 8 kali/menit.
4. Gejala saluran pencernaan (anoreksia, mual, muntah, obstipasi, diare, perasaan tidak enak
di perut dan kembung, meteorismus).
5. Hepatosplenomegali.
6. Gejala infeksi akut lainnya ( nyeri kepala, pusing, nyeri otot, batuk, epistaksis).
7. Gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hematologi rutin didapatkan leukopeni atau leukopeni relatif, kadang –
kadang dapat juga terjadi leukositosis, neutropeni, limfositosis, aneosinofilia, dengan atau
tanpa penurunan hemoglobin (anemia) bergantung pada komplikasi yang melibatkan
perdarahan saluran cerna, dengan hematokrit, trombosit dalam rentangan normal atau dapat
terjadi trombositopenia. Laju endap darah juga dapat meningkat. Dari pemeriksaan kimia
darah ditemukan peningkatan SGOT/SGPT.1,2
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji
widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan
ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan)1,2
Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam typhoid bila
hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan
kemungkinan typhoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel
yang tidak mencukupi, yaitu darah <>1
Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka
diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas 3 :2
1. Possible Case
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna,
gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum
lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran
laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali
pemeriksaan).
3. Definite Case
Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi pada
pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7
hari) atau titer widal O > 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali).
DIAGNOSIS BANDING
Pada tahap diagnosis klinis, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis banding demam
tifoid, diantaranya:2
Pneumonia
Gastroenteritis akut, hepatitis akut, demam dengue, demam berdarah dengue
Tuberkulosis, malaria, shigellosis
Leukimia, limfoma maligna
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan tifoid beserta cara
mendiagnosisnya adalah sebagai berikut:2,3
Komplikasi Intestinal
Komplikasi pada gastrointestinal, perdarahan dan perforasi
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoshezia. Tetapi dapat juga melalui
pemeriksaan lab feses (occult blood test). Komplikasi perforasi ini ditandai dengan gejala –
gejala akut abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam rongga perut yang dibantu
dengan pemeriksaan klinis bedah dan foto polos abdomen 3 posisi.
Komplikasi Ekstraintestinal
Hepatitis Tifosa
Adapun diagnosis klinis ditemukan kelainan ikterus, hepatomegali, dan kelainan test fungsi
hati.
Pankreatitis Tifosa
Adalah diagnosa klinis di mana didapatkan petanda pankreatitis akut dengan peningkatan
enzim lipase dan amilase. Dapat dibantu dengan USG atau CT scan.
Kompliksasi pada Kardiovaskuler
Dapat ditemukan miokarditis, Trombophlebitis dan syok kardiogenik
Komplikasi Neuropsikiatrik
Dapat ditemukan ensefalopati, delirium, psikosis dan meningitis
Komplikasi pada paru
Dapat berupa bronkhitis, pneumonia
Komplikasi pada sistem Hematologi
Anemia hemolitik,
Komplikasi lain
Syok septik; penderita dengan sindrom demam tifoid, panas tinggi serta gejala toksemia
berat. Didapatkan gejala gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus dan cepat,
berkeringat dan akral dingin.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi
: istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta
pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang
meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
I. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan
perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK.
Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
II. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus, dan
diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari
komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar
meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan.
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan
dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak
mengalami mual lagi.
III. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan dosis 4 x
500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7
hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman
salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein.
Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek samping penggunaan
klorampenikol adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan klorampenikol
adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan
seringkali menyebabkan timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu 4
x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi
seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau intravena
pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat – obatan golongan
ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan
lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang
baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam
monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader
dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik
yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari.
Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian
karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid,
peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak
dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus
intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester
pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin,
amoksisilin, dan ceftriaxon.
III. KASUS
Seorang laki-laki, 29 tahun, Islam, suku Jawa datang ke rumah sakit dengan keluhan panas
badan sejak + 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya panas dikatakan sumer-sumer
kemudian memberat dari hari ke hari dan mencapai 40 derajat celcius. Penderita berusaha
mengurangi keluhannya tersebut dengan obat penurun panas (yaitu cloramphenicol dan
paracetamol) selama 6 hari yang didapatkannya dari dokter praktek umum, namun keluhan
dikatakan tidak berkurang. Panas menggigil tidak ada, keringat di malam hari tidak ada. Saat
pemeriksaan dilakukan keluhan panas masih dirasakan.
Penderita juga mengeluh mual tanpa disertai muntah kurang lebih 10 hari sebelum masuk
rumah sakit dan bersifat hilang timbul. Keluhan mual menyebabkan nafsu makan penderita
berkurang.
Penderita mengeluh lemas di seluruh tubuhnya sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit.
Lemas dikatakan memberat apabila penderita beraktivitas, berkurang dengan istirahat.
Penderita juga mengeluh nyeri kepala sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit, hilang
timbul, membaik dengan beristirahat atau minum obat anti nyeri, memburuk apabila
panasnya muncul.
Penderita mengeluh pegal-pegal di seluruh tubuhnya sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.
Penderita mengeluh batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk tidak disertai
dahak dan tidak bercampur darah. Penderita mengeluh matanya kuning sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Kuning dikatakan muncul tiba-tiba, tanpa nyeri, tanpa penurunan tajam
penglihatan.
Buang air besar dikatakan tidak ada keluhan, frekuensi buang air besar 1-2 kali/hari,
berwarna kuning kecoklatan, konsistensi padat, tanpa lendir, tanpa darah. Buang air kecil
juga tidak ada keluhan, frekuensi buang air kecil 4-5 kali/hari dengan volume 100-150 cc tiap
BAK, tanpa nyeri, dan tanpa rasa kurang puas.
Keluhan gusi berdarah, mimisan, atau perdarahan spontan disangkal. Mata berkunang-kunang
dan telinga berdenging disangkal. Bintik-bintik kemerahan di kulit tidak ada. Nyeri belakang
bola mata tidak ada.
Riwayat menderita tifoid, demam berdarah, atau malaria pada penderita disangkal. Riwayat
penyakit hepatitis dan keluhan lain di liver disangkal. Riwayat penyakit ginjal, diabetes,
hipertensi, jantung, dan asma pada penderita disangkal.
Riwayat pengobatan yaitu cloramphenicol dan paracetamol selama 6 hari. Riwayat
penggunaan obat untuk menekan sekresi asam lambung dalam jangka waktu lama disangkal.
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan demam, diare, batuk-batuk, lemas, dan
bintik-bintik kemerahan. Riwayat penyakit hepatitis, ginjal, diabetes, hipertensi, jantung, dan
asma pada keluarga disangkal.
Penderita merupakan seorang pegawai bank, bekerja dari pagi hingga sore hari dimana
penderita biasa makan di luar yang higienitasnya belum terjamin. Penderita tidak
mengkonsumsi alkohol atau jamu-jamuan tertentu, riwayat merokok tidak ada. Di lingkungan
tempat tinggal maupun tempat kerja penderita tidak ada yang tifoid, demam berdarah, dan
malaria.
Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 9 April 2009 didapatkan penderita
dengan kesadaran compos mentis (E4V5M6) dengan tekanan darah 110/70 mmHg. Nadi 84
kali per menit, teratur, isi cukup. Respirasi 20 kali per menit, teratur, tipe torakoabdominal.
Temperatur aksila 38 derajat celcius. Tinggi badan 169 cm, berat badan 70 kilogram, IMT
24,5 kg/m2
Pada pemeriksaan fisik kepala didapatkan pada kedua mata terdapat ikterus namun tidak
ditemukan anemi, pada telinga tidak ada kelainan, pada hidung tidak ada kelainan, pada
faring tidak ditemukan pembesaran tonsil, pada lidah didapatkan tifoid tongue, tidak ada
perdarahan gigi dan gusi.
Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan pembesaran kelenjar dan peningkatan Jugular
Venous Pressure (JVP). Pada ketiak tidak ditemukan kelainan pada kelenjar.
Dari pemeriksaan thorak paru didapatkan inspeksi dada simetris kanan dan kiri saat statis dan
dinamis. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal normal kanan dan kiri, perkusi sonor pada
kedua sisi paru, auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler tidak disertai dengan ronkhi dan
wheezing pada kedua sisi paru. Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus cordis tidak tampak,
palpasi iktus kordis teraba di ICS V MCL S, tidak kuat angkat, pada perkusi didapatkan batas
atas pada ICS II, batas kanan parasternal line kanan, batas kiri pada mid klavikula line
sinistra, auskultasi didapatkan S1S2 tunggal reguler, tidak ada murmur.
Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak ditemukan distensi, dan tidak tampak denyutan
epigastrium, auskultasi bising usus normal, palpasi hepar teraba 2 cm di bawah arkus costae,
padat, rata, tepi tajam, nyeri tekan ada. Palpasi lien tidak teraba. Defanse muskuler tidak ada.
Pada perkusi perut didapatkan timpani, tidak ada asites.
Pada pemeriksaan fisik ektremitas, didapatkan hangat pada keempat ektremitas, tidak
ditemukan adanya odema pada keempat ektremitas. Tidak didapatkan bintik-bintik
kemerahan di keempat ekstemitas.
Pemeriksaan laboratorium tanggal 9 April 2009 menunjukkan hasil yaitu: Dari darah lengkap
didapatkan : leukosit 5,5 x 10³/ul, neutrophil 2,7 x 10³/ul, limfosit 2,03 x 10³/ul, monosit
0,479 x 10³/ul, eosinofil 0,208 x 10³/ul, basofil 0,043 x 10³/ul, eritrosit 5,04 x 106/ul,
hemoglobin 15 g/dl, hematokrit 42,5 %, MCV 84,3 fl, MCH 29,8 Pg, platelet 403 x 10³/ul.
Dari kimia darah didapatkan AST 193 IU/L, ALT 293 IU/L, Total protein 8,6 g/dL, Albumin
4,7 g/dL, Total bilirubin 0,66 mg/dL, Bilirubin direk 0,1 mg/dL, Alkali fosfatase 90 IU/L.
Pada tes imunologi didapatkan HbsAg non-reaktif. Tes widal didapatkan titer S. Typhi 1/320
(O dan H), S. Paratyphi A 1/320 (O), dan S. Paratyphi B 1/320 (O), S. Paratyphi C 1/320.
Penderita diagnosis menderita demam typhoid dan observasi transaminitis e.c. suspek
hepatitis tifosa dd/viral hepatitis. Terapi yang diberikan yaitu: penderita dirawat inap, diit
bebas rendah serat, IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, Levofloxacin 1 x 500 mg, Paracetamol 3
x 500 mg (k/p), Ranitidin 2 x 1 ampul. Penderita direncanakan untuk pemeriksaan gall
culture, IgM HAV dan IgM-anti HAV.
Pembahasan :
Faktor risiko pada penderita ini adalah laki-laki, usia 29 th dengan riwayat sosial sering
makan di luar rumah dengan higienitas yang belum terjamin. Hal ini sesuai dengan pustaka
dimana insiden pada laki-laki dan perempuan sama, terjadi pada usia dewasa muda dengan
penularan lebih banyak terjadi melalui fecal-oral oleh karena kebiasaan makan yang tidak
mempertimbangkan faktor kebersihan dan tidak terbiasanya mencuci tangan sebelum makan.
Diagnosis demam tifoid didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.
Manifestasi klinis dan fisik yang ditemukan pada penderita yaitu : panas dengan tipe step
ladder, mual-mual, badan lemas, pegal-pegal, nyeri kepala, mata ikterus, lidah tifoid, dan
hepatomegali dengan nyeri tekan pada hepar . Hal ini sesuai dengan pustaka mengenai gejala
umum yang berkaitan dengan perjalanan infeksi kuman tifoid.
Pemeriksaan laboratorium penderita ini yang mendukung tegaknya diagnosis tifoid, yaitu:
pada darah lengkap dalam batas normal, pada kimia darah ditemukan AST 193 IU/L, ALT
293 IU/L, pada tes widal ditemukan titer S. Typhi 1/320 (O dan H), S. Paratyphi A 1/320 (O),
dan S. Paratyphi B 1/320 (O), S. Paratyphi C 1/320. Hal ini sesuai dengan pustaka yang
menyebutkan bahwa pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan dalam batas
normal, AST/ALT sering kali meningkat dan akan normal kembali setelah sembuh. Pada tes
widal dilakukan setelah panas hari 7, dinyatakan bermakna bila titer O > 1/320, atau titer O
<>
Untuk terapi, pada pasien ini harus dirawat di rumah sakit karena mengeluh mual – mual dan
mengalami penurunan nafsu makan, ditakutkan apabila tidak dirawat status nutrisi pasien
akan menurun sehingga akan memperburuk kondisi umum pasien. Diet yang disarankan pada
penderita adalah diet rendah serat, hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan
tujuan diberikannya diet rendah serat adalah untuk menghindari komplikasi perdarahan
saluran cerna dan perforasi usus. Namun karena pada pasien ini tidak ditemukan adanya
meteorismus, maka tidak perlu diberikan bubur saring. Kemudian pada pasien juga diberikan
IVFD Nacl 0,9 % dengan 20 tetes tiap menit. Sebagai antibiotik pada pasien ini dipilihkan
dari golongan fluroquinolone yakni Levofloksasin dengan dosis 1 x 500 mg karena selain
pasien sudah pernah mendapat terapi dengan klorampenikol namun tidak sembuh (setelah 14
hari mengkonsumsinya), fluroquinolone juga memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan obat golongan lainnya seperti; Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal,
dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini pertama
sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole).
Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu
membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat
mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain.
Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan
keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan
fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
Paracetamol diberikan hanya bila perlu, dengan dosis 3 x 500 mg. Selain itu karena keluhan
mual – muntah yang dialami pasien sejak 10 hari SMRS, pasien mendapat terapi ranitidine
dengan dosis 2 x 1 ampul, dengan demikian diharapkan terjadi penurunan pembentukan asam
lambung dan menurunkan keluhan mual penderita.
Untuk pasien ini direncanakan untuk melakukan pemeriksaan gall culture, IgM HAV dan
IgM anti HAV. Pemeriksaan gall culture direncanakan karena sesuai dengan kepustakaan,
untuk menegakkan diagnosis pasti demam thypoid perlu ditemukan agen penyebab demam
thypoid yaitu S. Thypi dari hasil pemeriksaan kultur. Sementara IgM HAV dan IgM anti
HAV diperiksa karena transaminitis yang terjadi pada penderita selain karena infeksi thypoid
yang dialami, juga dapat terjadi akibat infeksi virus lainnya.

Anda mungkin juga menyukai