A. .DEFINISI
Hematemesis (muntah darah) dan melena (buang air besar darah berwarna
kehitaman) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna
bagian atas/SCBA (upper gastrointestinal tract). Kebanyakan kasus hematemesis
adalah keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8%-14% kematian di rumah
sakit. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan
untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan
diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan (Sudoyo AW, 2009).
1
Di negara barat perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak
sedangkan di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagus merupakan
penyebab tersering yaitu sekitar 50% - 60%, gastritis erosifa hemoragika sekitar 25%
- 30%, tukak peptik sekitar 10% - 15% dan karena sebab lainnya < 5% (Marcelus
Simadibrata K et al, 2012).
B. ETIOLOGI
Diketahui ada dua faktor utama penyebab dari ulkus peptikum, yaitu, infeksi
Helicobacter pylori, dan penggunaan NSAID (Askandar et al, 2015).
Hal tersebut sejalan dengan kasus yang didapatkan pada pasien, dimana Ny.K
memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan seperti bodrex dan oskadon apabila
nyeri kepala timbul yang sudah sering dikonsumsi sejak 5 tahun lamanya. Kedua obat
tersebut mengandung obat golongan NSAID berupa Paracetamol yang merupakan
turunan dari Salisilat. Selain itu pasien juga mengatakan rutin minum jamu-jamu
untuk mengurangi ras pegel linu sejak 1 bulan terakhir. Dikatakan oleh (Efi
Widyawati, et al, 2015) bahwa salah satu prinsip kerja obat tradisional adalah proses
reaksinya yang lambat namun bersifat konstruktif, tidak seperti obat kimia yang bias
langsung bereaksi tapi bersifat kuratif. Hal ini karena obat tradisional bukan senyawa
aktif. Karena itu, jika efek kesembuhan langsung muncul begitu obat tradisional
diminum, maka layak dicurigai karena pasti ada sesuatu. Itulah yang terjadi pada
obat-obatan tradiisional jika diberikan obat-obatan kimia. Adapun bahan-bahan yang
biasa diacmpur atau digunakan mengandung obat golongan kortikosteroid seperti
dexametason, phenilbutason ataupun prednison.
C. PATOFISIOLOGI
Dari kebiasaan Ny. K mengkonsumsi obat golongan NSAID dan Jamu pegel
linu adalah merupakan faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya gangguan
fisiokimia pertahanan dari mukosa lambung dan menyebabkan kerusakan mukosa
akan terus berlanjut, hingga memudahkan terjadinya proses inflamasi. Sejak usia 40
th pasien mengaku telah memiliki keluhan dispepsia (nyeri ulu hati, mual, muntah)
tetapi tidak sampai muntah bewarna seperti kopi atau buang air besar bewarna
kehitaman. Dimana bisa kita simpulkan bahwa pasien memiliki dispepsia kronik.
2
Kemudian pada tahun 2016 pasien mengatkan pernah di rawat di RSUD Sidoarjo
dengan keluhan yang sama yakni BAB kehitaman disertai muntah bewarna seperti
kopi. Atas dasar teori yang didapatkan pada kasus ini telah terjadi gangguan pada
lambung yang terjadi sejak lama, kemudian di perparah dengan penggunaan NSAID,
dimana NSAID memiliki mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase
(COX) yang mengubah asam arakidonat (AA) menjadi prostaglandin (PG) yang
merupakan suatu mediator nyeri.
Bila oleh karena sesuatu sebab ketahanan mukosa rusak (misalnya karena
salisilat) maka akan terjadi difusi balik H+ dari lumen masuk ke dalam mukosa.
Difusi balik H+ akan menyebabkan reaksi berantai yang dapat merusak mukosa
lambung dan menyebabkan pepsin dilepas dalam jumlah besar. Na+ dan protein
plasma banyak yang masuk kedalam lumen dan terjadi pelepasan histamin. Hal ini
3
akan menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi asam lambung oleh sel parietal,
peningkatan permeabilitas kapiler, oedema dan perdarahan. Di samping itu juga akan
merangsang parasimpatik lokal akibat dari sekresi asam lambung dan tonus
muskularis mukosa meningkat, sehingga kongesti vena makin hebat dan dapat
menyebabkan perdarahan.
D. TERAPI
Pengelolaan dasar pada Ny.K dengan kasus perdarahan saluran cerna atas
sama seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,
diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas
hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang.
Sedangkan pada ulkus peptikum terapi ditujukan untuk menghilangkan keluhan
ataupun gejala, menyembuhkan ulkus, mencegah kekambuhan serta mencegah
timbulnya komplikasi.
4
Dalam hal ini pasien dapat diberikan transfusi darah agar suplai oksigen
kejaringan tercukupi dan mencegah kegagalan sirkulasi atas indikasi sebagai berikut,
sampai target Hb >10g% atau Hematokrit >30% :
Istirahat. Pada pasien dengan ulkus peptikum secara umum dapat dilakukan
pengobatan rawat jalan, pada pasian Ny.K didapatkan adanya simtom alarm yaitu
berupa hematemesis-melena, usia >40 th, serta kebiasaan penggunaan NSAID
5
dalam waktu yang lama oleh karena itu dianjurkan untuk rawat inap dirumah
sakit selain untuk penyembuhan juga sebagai langkah awal dalam melakukan
manajemen terapi berdasarkan dari hasil temuan lesi dari endoskopik pada
dispepsia yang belum diinvestigasi. Dikatakan bahwa penyembuhan dapat lebih
cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh
bertambahnya jam istirahat berkurangnya refluks empedu, stres dan penggunaan
analgetik.
Diet. Pemberian makanan lunak (bubur) ataupun makanan yang mengandung
susu pada keadaan pasien ini tidak dianjurkan karena justru akan merangsang
pengeluaran asam lambung. beberapa peneliti menagnjurkan untuk diberikan
makanan biasa, tidak merangsang asam lambung dan diet seimbang.
E. MEDIKAMINTOSA
6
Selain itu pula pada kasus yang dialami oleh Ny.K sangat disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan H.Pylori hal ini telah dicantumkan dalam tatalaksana yang di
muat dalam Konsensus Nasional Perdarahan Saluran Cerna Atas Non Varises oleh
PGI tahun 2012.
Tes diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi
(rapid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung tanpa
endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Urea breath test saat
ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu urea breath test
yang ada antara lain 13CO2 breath analyzer.
Pemeriksaan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi eradikasi dengan
hasil tes diagnosis yang positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi dan terapi
ulang pada gagal eradikasi.
Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat
keberhasilan sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai
dengan efek samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap
antibiotik. Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui
endoskopi, ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu
mencapai 80-85%. Setelah H. pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak
diperlukan kecuali pasien menggunakan NSAIDs atau antitrombotik.
Pada keadaan yang dialami oleh Ny.K saat ini tes diagnostik H.pylori
mempunyai nilai prediktif negatif yang rendah pada keadaan PSCBA akut. Hal ini
dapat disebabkan oleh karena kesulitan teknik dalam melakukan biopsi representatif
atau ketidakakuratan pemeriksaan pada lingkungan basa yang disebabkan darah. Hasil
biopsi negatif yang diperoleh pada keadaan akut harus diinterpretasi secara hati-hati
dan bila perlu dilakukan tes ulang pada pemantauan kembali.
Triple Therapy. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama
digunakan adalah: Bismuth, Metronidazol, Tetrasiklin. Regimen tipel terapi (PPI 2x1 ,
Amoxicilin 2x 1000, Klaritromisin 2x500, Metonidazol 3x500, Tetrasiklin 4x500).
Kelompok Studi HP Indonesia (KSHPI,2014) merekomendasikan untuk
rejimen Triple therapy yang digunakan adalah sebagai berikut :
7
Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole.
Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus peptikum,
bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi
sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30 %. Kegagalan pengobatan
eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan compliance dan resisten
kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan paska eradikasi biasanya suatu rekurensi dengan
infeksi kuman lain. Tujuan eradikasi HP sendiri adalan untuk: l). Mengurangi
selain dapat mencegah kekambuhan ulkus juga dapat mencegah perdarahan dan
keganasan.
Terapi Operasi. Biasanya dilakukan pada pasien dengan keadaan ulkus yang
refrakter/gagal pengobatan, dalam kedadaan darurat (perforasi/stenosis pylorik), atau
ulkus dengan kecurigaan mengarah keganasan. Namun tindakan operasi ini sudah
jarang dilakukan karena efektifitas yang tinggi dalam terapi secara medikamentosa
dan secara endoskopi. Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit ulkus peptikum
ditentukan adanya penyertaan ulkus duodenum: l). Ulkus antrum dilakukan
anterektomi (termasuk tukaknya) dan Bilroth 1 anastomosis gastroduodenostomi, bila
disertai TD dilakukan vagotomi. Tingginya kejadian rekurensi ulkus paska operasi
maka prosedur ini kurang diminati. 2). Tukak gaster dekat EG junction tindakan
operasi dilakukan lebih radikal/sub total gastrektomi dengan Roux-en-Y/esofago
gastro j ejunostomi (prosedur Csendo). Bila keadaan pasien kurang baik lokasi tukak
proksimal dilakukan prosedur Kelling Madlener termasuk anterektomi, biopsi tukak
intra operatif dan vagotomi, rekurensi tukak 30%.
8
Pada pasien ini terapi yang diberikan diruangan Terapi yang diberikan
diruangan diruangan meliputi :
Non – Medikamentosa
- Tirah baring/istirahat
- Puasa sampai pendarahan berhenti
- Diet cair
- Pasang NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) ini dilakukan dengan dugaan
pendarahan masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
NGT sendiri bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.
Medikamentosa
- Inf. RL 21 tpm
- Inj. Santagesic (Sodium Metamizol) 3x500 mg
- Inj. Prosogan (Lansoprazole) 3 x30 mg
- Inj. Kalnex (As. Tranexamat) 3 x 100 mg
- Inj. Vitamin K(Phytomenadione) 3 x10 mg
- Peroral : Syr. Sucralfat 3 x cth 2
Pada kasus perdarahan non varises khususnya perdarahan oleh karena ulkus
peptikum secara evidance base medicine dan clinical guidlines tidak di
rekomendasikan untuk pemberian asam traneksamat karena tidak dijumpai adanya
proses fibrinolisis, sedangkan Vitamin K dikhususkan pada kasus gangguan hati
seperti pada kasus Sirosis Hepatis yang menyebabkan terjadinya Varises Esofagus
oleh karena Hipertensi Porta, terjadi kegagalan sintesis faktor koagulasi dependen
Vitamin K yaitu Faktor 2,7,9, dan 10. Hal ini dibutkikan dengan temuan di
laboratorium yang apabila terjadi pemanjangan Plasma Protrombin Time (PPT) maka
indikasi pemberian Vit K dapat diberikan.
9
I. KOMPLIKASI
A. Perdarahan.
Insidensi l-2 % dai pasien tukak. Keluhan pasien akibat obstruksi mekanik
berupa cepat kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah
makanipost prandial, berat badan turun. Kejadian obstruksi bisa temporer akibat
peradangan daerah peri pilorik timbul odema, spasme. Ini akan membaik bila
keradangan sembuh. Penghambat pompa proton (PP! amp dalam 100 cc NaCl0.9
diberi selama 10 jam dan dapat diteruskan selama beberapa hari (7- I 0 hari) hingga
obstruksi hilang. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu tukak sehingga
mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu. Terapi : dekompresi, pasang
nasogastrik tube, dari aspirasi isi lambung, puasa/TPN, dilanjutkan dengan
10
pemasangan balon dilatasi dengan endoskopi dan bila gagal dilakukan tindakan
operasi piloroplasti.
II. KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
Akil. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam: Tukak Duodenum. Jilid 1 Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 345, 347
Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. 2009. Diagnosis dan Pengobatan Tukak
Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas. 2009. Pathophysiology and
Gralnek. IM, Barkun. A.N, Bardou ,M. 2008. The new england journal of medicine :
12
Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi,
Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi, Kaka
Renaldi. 2012. Persatuan Gastroenterologi Indonesia: Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Pendarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di
Indonesia. hal 18-20
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I,
Tjay TH, Raharja K. 2005. Obat-obat penting. Jakarta: PT Gramedia; hlm 302.
th
Wenas NT. 2009. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. The 4
13
83-4.
14