Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN HEMATEMESIS MELENA

A. .DEFINISI

Hematemesis (muntah darah) dan melena (buang air besar darah berwarna
kehitaman) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna
bagian atas/SCBA (upper gastrointestinal tract). Kebanyakan kasus hematemesis
adalah keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8%-14% kematian di rumah
sakit. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan
untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan
diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan (Sudoyo AW, 2009).

Perdarahan ulkus peptikum (PUP) merupakan penyebab tersering perdarahan


SCBA, berkisar antara 31% sampai 67% dari semua kasus, diikuti oleh gastritis
erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-Weiss. Semua
keadaan ini meliputi sampai 90 persen dari semua kasus perdarahan gastrointestinal
atas dengan ditemukannya suatu lesi yang pasti (Marcelus Simadibrata K et al,
2012)..

Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan distribusi, data lama mendapatkan


bahwa lebih kurang 70% penyebab dari perdarahan SCBA adalah karena varises
esofagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan, oleh karena semakin
meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi
pasien usia lanjut, maka proporsi perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan
meningkat. Data dari salah satu RS di Indonesia (RS Sanglah, Bali) didapatkan bahwa
penyebab perdarahan saluran cerna terbanyak yaitu ulkus peptikum, diikuti gastritis
erosive (Marcelus Simadibrata K et al, 2012).

Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna atas dilakukan pemeriksaan


endoskopi untuk menegakkan diagnosa tentang penyebab yang dapat menimbulkan
perdarahan saluran cerna bagian atas

1
Di negara barat perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak
sedangkan di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagus merupakan
penyebab tersering yaitu sekitar 50% - 60%, gastritis erosifa hemoragika sekitar 25%
- 30%, tukak peptik sekitar 10% - 15% dan karena sebab lainnya < 5% (Marcelus
Simadibrata K et al, 2012).

B. ETIOLOGI

Diketahui ada dua faktor utama penyebab dari ulkus peptikum, yaitu, infeksi
Helicobacter pylori, dan penggunaan NSAID (Askandar et al, 2015).

Hal tersebut sejalan dengan kasus yang didapatkan pada pasien, dimana Ny.K
memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan seperti bodrex dan oskadon apabila
nyeri kepala timbul yang sudah sering dikonsumsi sejak 5 tahun lamanya. Kedua obat
tersebut mengandung obat golongan NSAID berupa Paracetamol yang merupakan
turunan dari Salisilat. Selain itu pasien juga mengatakan rutin minum jamu-jamu
untuk mengurangi ras pegel linu sejak 1 bulan terakhir. Dikatakan oleh (Efi
Widyawati, et al, 2015) bahwa salah satu prinsip kerja obat tradisional adalah proses
reaksinya yang lambat namun bersifat konstruktif, tidak seperti obat kimia yang bias
langsung bereaksi tapi bersifat kuratif. Hal ini karena obat tradisional bukan senyawa
aktif. Karena itu, jika efek kesembuhan langsung muncul begitu obat tradisional
diminum, maka layak dicurigai karena pasti ada sesuatu. Itulah yang terjadi pada
obat-obatan tradiisional jika diberikan obat-obatan kimia. Adapun bahan-bahan yang
biasa diacmpur atau digunakan mengandung obat golongan kortikosteroid seperti
dexametason, phenilbutason ataupun prednison.

C. PATOFISIOLOGI

Dari kebiasaan Ny. K mengkonsumsi obat golongan NSAID dan Jamu pegel
linu adalah merupakan faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya gangguan
fisiokimia pertahanan dari mukosa lambung dan menyebabkan kerusakan mukosa
akan terus berlanjut, hingga memudahkan terjadinya proses inflamasi. Sejak usia 40
th pasien mengaku telah memiliki keluhan dispepsia (nyeri ulu hati, mual, muntah)
tetapi tidak sampai muntah bewarna seperti kopi atau buang air besar bewarna
kehitaman. Dimana bisa kita simpulkan bahwa pasien memiliki dispepsia kronik.

2
Kemudian pada tahun 2016 pasien mengatkan pernah di rawat di RSUD Sidoarjo
dengan keluhan yang sama yakni BAB kehitaman disertai muntah bewarna seperti
kopi. Atas dasar teori yang didapatkan pada kasus ini telah terjadi gangguan pada
lambung yang terjadi sejak lama, kemudian di perparah dengan penggunaan NSAID,
dimana NSAID memiliki mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase
(COX) yang mengubah asam arakidonat (AA) menjadi prostaglandin (PG) yang
merupakan suatu mediator nyeri.

Jadi dengan dihambatnya sintesa prostaglandin, timbulnya rasa nyeri juga


akan dihambat seperti pada kasus ini pasien sering mengkonsumsi NSAID untuk
mengurangi nyeri kepala yang dirasakan oleh pasien (ScheimanJM, 2009). Tetapi
efek lain yang ditimbulkan dalam penggunaan jangka panjang NSAID justru
berdampak negatif atau menjadi faktor predisposisi terjadinya kerusakan organ seperti
pada kasus ini adalah gaster/lambung.

Pada lambung fungsi dari prostaglandin memiliki efek sitoprotektif terhadap


lapisan mukosa dan berperan penting dalam meningkatkan sekresi mukus dan
bikarbonat, mempertahankan pompa sodium, stabilisasi membran sel serta
meningkatkan aliran darah mukosa. Apabila terjadi hambatan pada sintesis PG akan
mengurangi ketahanan mukosa, dengan efek berupa lesi pada mukosa lambung
dengan bentuk ringan sampai berat (ScheimanJM, 2009).

Obat antiinflamasi non-steroid/NSAID akan merusak mukosa lambung


melalui 2 mekanisme utama yaitu lokal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara lokal
terjadi karena OAINS bersifat lipofilik dan asam, sehingga mempermudah trapping
ion hidrogen masuk kedalam mukosa dan menimbulkan ulserasi. Efek sistemik
NSAID lebih penting yaitu terjadinya kerusakan mukosa lambung akibat dari
produksi prostaglandin yang menurun. Pada keadaan normal, asam lambung dan
pepsin tidak akan menyebabkan kerusakan mukosa lambung (ScheimanJM, 2009

Bila oleh karena sesuatu sebab ketahanan mukosa rusak (misalnya karena
salisilat) maka akan terjadi difusi balik H+ dari lumen masuk ke dalam mukosa.
Difusi balik H+ akan menyebabkan reaksi berantai yang dapat merusak mukosa
lambung dan menyebabkan pepsin dilepas dalam jumlah besar. Na+ dan protein
plasma banyak yang masuk kedalam lumen dan terjadi pelepasan histamin. Hal ini

3
akan menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi asam lambung oleh sel parietal,
peningkatan permeabilitas kapiler, oedema dan perdarahan. Di samping itu juga akan
merangsang parasimpatik lokal akibat dari sekresi asam lambung dan tonus
muskularis mukosa meningkat, sehingga kongesti vena makin hebat dan dapat
menyebabkan perdarahan.

D. TERAPI

Pengelolaan dasar pada Ny.K dengan kasus perdarahan saluran cerna atas
sama seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,
diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas
hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang.
Sedangkan pada ulkus peptikum terapi ditujukan untuk menghilangkan keluhan
ataupun gejala, menyembuhkan ulkus, mencegah kekambuhan serta mencegah
timbulnya komplikasi.

Pada pemeriksaan awal yang perlu diperhatikan adalah status hemodinamik


dari pasien, pada kasus ini didapatkan TD140/90mmHg dengan nadi
72x/reguler/lemah, kesadaran compos mentis, akral teraba hangat, respiratory rate
19x, dengan produksi urin lancar dan banyak. Dengan demikian dapat diartikan
bahwa status hemodinamik dari pasien dalam keadaan stabil. Adapun kondisi dimana
status hemodinamik tidak stabil dapat ditemukan tanda-tanda 1). hipotensi (< 90/60
mm Hg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi > 1OO/menit; 2). tekanan
diastolik ortostatik turun > l0 mm Hg atau sistolik turun > 20 mm Hg; 3). frekuensi
nadi ortostatik meningkat > l5l menit; 4). akral yang teraba dingin; 5). kesadaran yang
menurun; 6). anuria atau oliguria (produksi urin < 30 ml/jam).
Transfusi darah dapat diberikan diberikan, tergantung jumlah darah yang
hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung,
dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada perdarahan
saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini: 1). Perdarahan dalam kondisi
hemodinamik tidak stabil, 2).Perdarahan baru atau masih berlangsung dan
diperkirakan jumlahnya I liter atau lebih, 3).Perdarahan baru atau masih berlangsung
dengan hemoglobin < l0 g%o atau hematokrit <30%.) dan terdapat tanda-tanda
oksigenasi yang menurun.

4
Dalam hal ini pasien dapat diberikan transfusi darah agar suplai oksigen
kejaringan tercukupi dan mencegah kegagalan sirkulasi atas indikasi sebagai berikut,
sampai target Hb >10g% atau Hematokrit >30% :

Untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang pada perdarahan saluran cerna


bagian atas oleh karena ulkus peptikum di pasien ini dapat diberikan obat golongan
anti sekresi asam yang dikatakan memiliki manfaat untuk mencegah perdarahan
berulang dengan diberikan PPI (Proton Pump Inhibitor) dengan dosis tinggi diawali
bolus Omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan perinfus 8 mg/kgBB/selama 72
jam. Untuk Antagonis reseptor H2 dikatakan kurang bermanfaat dalam mencegah
perdarahan ulang oleh karena ulkus peptikum.
Secara keseluruhan 80% perdarahan Ulkus peptikum dapat berhenti spontan,
adapun beberapa terapi endoskopi yang dapat dilakukan pada kasus perdarahan ulkus
peptikum meliputi: l). Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi,
heater probe) 2). Noncontact thermal (laser) 3). Nonthermal (misalnya suntikan
adrenalin, polidokanol, alkohol, cy ano acrylat e, atau pemakaian klip). Terapi
endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung dapat dilakukan
dengan penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 :
10000 sebanyak 0,5-l ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol
absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.
Berdasarkan ringkasan yang dimuat dalam Konsensus Nasional Perdarahan
Saluran Cerna Atas Non Varises oleh PGI tahun 2012 membagi penatalakanaan pada
kasus perdarahan oleh karena ulkus peptikum dalam 3 tahapan, yakni tatalaksana dini,
terapi endoskopik, terapi pasca endoskopik yang meliputi terapi antisekretorik dan
terapi eradikasi H. Pylori.
Terapi Ulkus peptikum pada Ny.K dapat dibagi menjadi terapi Non-
medikamentosa, terapi medikamentosa, operasi (Sudoyo AW, 2009).
1. Non Medikamentosa

Istirahat. Pada pasien dengan ulkus peptikum secara umum dapat dilakukan
pengobatan rawat jalan, pada pasian Ny.K didapatkan adanya simtom alarm yaitu
berupa hematemesis-melena, usia >40 th, serta kebiasaan penggunaan NSAID

5
dalam waktu yang lama oleh karena itu dianjurkan untuk rawat inap dirumah
sakit selain untuk penyembuhan juga sebagai langkah awal dalam melakukan
manajemen terapi berdasarkan dari hasil temuan lesi dari endoskopik pada
dispepsia yang belum diinvestigasi. Dikatakan bahwa penyembuhan dapat lebih
cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh
bertambahnya jam istirahat berkurangnya refluks empedu, stres dan penggunaan
analgetik.
Diet. Pemberian makanan lunak (bubur) ataupun makanan yang mengandung
susu pada keadaan pasien ini tidak dianjurkan karena justru akan merangsang
pengeluaran asam lambung. beberapa peneliti menagnjurkan untuk diberikan
makanan biasa, tidak merangsang asam lambung dan diet seimbang.

E. MEDIKAMINTOSA

Secara medikamentosa pada kasus ulkus peptikum dapat diberikan terapi


antisekretorik dan terapi eradikasi H.Pylori. Untuk terapi antisekretorik dapat
diberikan obat-obatan seperti golongan Antasida, koloid bismuth, sukralfat,
prostaglandin, antagonis reseptor H2, dan proton pump inhibitor.
Pada kasus yang dialami Ny.K dimana terjadi perdarahan saluran cerna bagian
atas oleh karena ulkus peptikum, Konsensus Nasional Perdarahan Saluran Cerna
Atas Non Varises oleh PGI tahun 2012 merekomendasikan penggunaan obat
golongan PPI karena dapat dengan cepat menetralkan asam lambung. Adapun
preparat yang banyak beredar di RS seluruh Indonesia berupa Omeprazole,
lansoprazole, dan pantoprazole (Sudoyo AW, 2009).
Pada kasus ini Ny. K dapat diberikan dengan dosis :
 Omeprazole 2x20mg/standar dosis atau 1x40mg double dosis
 Lansoprazole/Pantoprazole 2x 40mg /standar dosis atau 1x60
mg/double dosis.

PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan


pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin
dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs regimen.
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+- ATPase yang akan
memecah K+H+- ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan
asam HCI dari kanalikuli sel parietal kedalam lumen lambung.

6
Selain itu pula pada kasus yang dialami oleh Ny.K sangat disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan H.Pylori hal ini telah dicantumkan dalam tatalaksana yang di
muat dalam Konsensus Nasional Perdarahan Saluran Cerna Atas Non Varises oleh
PGI tahun 2012.
Tes diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi
(rapid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung tanpa
endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Urea breath test saat
ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu urea breath test
yang ada antara lain 13CO2 breath analyzer.
Pemeriksaan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi eradikasi dengan
hasil tes diagnosis yang positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi dan terapi
ulang pada gagal eradikasi.
Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat
keberhasilan sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai
dengan efek samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap
antibiotik. Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui
endoskopi, ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu
mencapai 80-85%. Setelah H. pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak
diperlukan kecuali pasien menggunakan NSAIDs atau antitrombotik.
Pada keadaan yang dialami oleh Ny.K saat ini tes diagnostik H.pylori
mempunyai nilai prediktif negatif yang rendah pada keadaan PSCBA akut. Hal ini
dapat disebabkan oleh karena kesulitan teknik dalam melakukan biopsi representatif
atau ketidakakuratan pemeriksaan pada lingkungan basa yang disebabkan darah. Hasil
biopsi negatif yang diperoleh pada keadaan akut harus diinterpretasi secara hati-hati
dan bila perlu dilakukan tes ulang pada pemantauan kembali.
Triple Therapy. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama
digunakan adalah: Bismuth, Metronidazol, Tetrasiklin. Regimen tipel terapi (PPI 2x1 ,
Amoxicilin 2x 1000, Klaritromisin 2x500, Metonidazol 3x500, Tetrasiklin 4x500).
Kelompok Studi HP Indonesia (KSHPI,2014) merekomendasikan untuk
rejimen Triple therapy yang digunakan adalah sebagai berikut :

7
Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole.
Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus peptikum,
bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi

sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30 %. 
 Kegagalan pengobatan

eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan compliance dan resisten
kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan paska eradikasi biasanya suatu rekurensi dengan

infeksi kuman lain. 
 Tujuan eradikasi HP sendiri adalan untuk: l). Mengurangi

keluhan/simtom, 2). Penyembuhan ulkus, 3). Mencegah kekambuhan.. 
 Eradikasi

selain dapat mencegah kekambuhan ulkus juga dapat mencegah perdarahan dan

keganasan. 


Terapi kuadripel. Jika gagal dengan terapi tripel, maka dianjurkan


memberikan regimen terapi kuadrupel yaitu: PPI 2 x sehari, Bismuth Subsalisilat 4x2
tab, MNZ 4x250, Tehasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan tripel
terapi. Kombinasi PPI, amoxicilin dan rifabutin selama l0 hari hasil > 80%
tereradikasi pada pasien yang telah resisten dapat dianjurkan, bila belum juga berhasil
dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.

Terapi Operasi. Biasanya dilakukan pada pasien dengan keadaan ulkus yang
refrakter/gagal pengobatan, dalam kedadaan darurat (perforasi/stenosis pylorik), atau
ulkus dengan kecurigaan mengarah keganasan. Namun tindakan operasi ini sudah
jarang dilakukan karena efektifitas yang tinggi dalam terapi secara medikamentosa
dan secara endoskopi. Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit ulkus peptikum
ditentukan adanya penyertaan ulkus duodenum: l). Ulkus antrum dilakukan
anterektomi (termasuk tukaknya) dan Bilroth 1 anastomosis gastroduodenostomi, bila
disertai TD dilakukan vagotomi. Tingginya kejadian rekurensi ulkus paska operasi
maka prosedur ini kurang diminati. 2). Tukak gaster dekat EG junction tindakan
operasi dilakukan lebih radikal/sub total gastrektomi dengan Roux-en-Y/esofago
gastro j ejunostomi (prosedur Csendo). Bila keadaan pasien kurang baik lokasi tukak
proksimal dilakukan prosedur Kelling Madlener termasuk anterektomi, biopsi tukak
intra operatif dan vagotomi, rekurensi tukak 30%.

8
Pada pasien ini terapi yang diberikan diruangan Terapi yang diberikan
diruangan diruangan meliputi :
 Non – Medikamentosa
- Tirah baring/istirahat
- Puasa sampai pendarahan berhenti
- Diet cair
- Pasang NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) ini dilakukan dengan dugaan
pendarahan masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
NGT sendiri bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.
 Medikamentosa
- Inf. RL 21 tpm
- Inj. Santagesic (Sodium Metamizol) 3x500 mg
- Inj. Prosogan (Lansoprazole) 3 x30 mg
- Inj. Kalnex (As. Tranexamat) 3 x 100 mg
- Inj. Vitamin K(Phytomenadione) 3 x10 mg
- Peroral : Syr. Sucralfat 3 x cth 2

Transusi PRC 2 kolf s/d Hb >> 10 g/dL.

Pada kasus perdarahan non varises khususnya perdarahan oleh karena ulkus
peptikum secara evidance base medicine dan clinical guidlines tidak di
rekomendasikan untuk pemberian asam traneksamat karena tidak dijumpai adanya
proses fibrinolisis, sedangkan Vitamin K dikhususkan pada kasus gangguan hati
seperti pada kasus Sirosis Hepatis yang menyebabkan terjadinya Varises Esofagus
oleh karena Hipertensi Porta, terjadi kegagalan sintesis faktor koagulasi dependen
Vitamin K yaitu Faktor 2,7,9, dan 10. Hal ini dibutkikan dengan temuan di
laboratorium yang apabila terjadi pemanjangan Plasma Protrombin Time (PPT) maka
indikasi pemberian Vit K dapat diberikan.

9
I. KOMPLIKASI

A. Perdarahan.

Insiden 15 - 25 %, meningkat pada usia lanjut (> 50 tahun) akibat adanya


penyakit degeneratif dan meningkat akibat pemakaian OAINS. Sebagian besar
perdarahan berhenti spontan, sebagian memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila
gagal dilanjutkan dengan tindakan operasi (5% dari pasien yang memerlukan
tranfusi darah).
B. Perforasi, rasa sakit tiba tiba, sakit berat, sakit difus pada perut.

Insidensi 6-7%, hanya 2-3% mengalami perforasi terbuka ke peritoneum, l0%


tanpa keluhan / tanda perforasi dan 10% disertai perdarahan tukak dengan mortalitas
yang meningkat. Insiden perforasi meningkat pada usia lanjut karena proses
aterosklerosis dan meningkatnya penggunaan OAINS. Perforasi tukak gaster
biasanya ke lobus kiri hati, dapat menimbulkan fistula gastro kolik. Penetrasi adalah
suatu bentuk perforasi yang tidak terbukaltanpa pengeluaran isi lambung karena
tertutup oleh omentumlorgan perut di sekitar. Terapi perforasi : dekompresi,
pemasangan nasogastrik tube, aspirasi cairan lambung terus menerus, pasien
dipuasakan, diberi nutrisi parenteral total dan pemberian antibiotika diikuti tindakan
operasi.

C. Stenosis pilorik/ Gastric Outlet Obstruction

Insidensi l-2 % dai pasien tukak. Keluhan pasien akibat obstruksi mekanik
berupa cepat kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah

makanipost prandial, berat badan turun.
 Kejadian obstruksi bisa temporer akibat

peradangan daerah peri pilorik timbul odema, spasme. Ini akan membaik bila
keradangan sembuh. Penghambat pompa proton (PP! amp dalam 100 cc NaCl0.9
diberi selama 10 jam dan dapat diteruskan selama beberapa hari (7- I 0 hari) hingga
obstruksi hilang. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu tukak sehingga
mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu. Terapi : dekompresi, pasang
nasogastrik tube, dari aspirasi isi lambung, puasa/TPN, dilanjutkan dengan

10
pemasangan balon dilatasi dengan endoskopi dan bila gagal dilakukan tindakan
operasi piloroplasti.

II. KESIMPULAN

Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) merupakan perdarahan dari lumen


saluran cerna di atas ligamentum Treitz yang dapat mengakibatkan terjadinya
hematemesis dan melena. Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dalam bentuk
segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah karena enzim dan
asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi sedangkan
melena yaitu keluarnya feses yang lengket dan hitam seperti aspal.

Penyebab perdarahan SCBA dapat digolongkan menjadi 2 kelompok,

perdarahan varises dan perdarahan non-varlses.
 Pengelolaan perdarahan saluran

makanan secara praktis meliputi: evaluasi status hemodinamik, stabilisasi


hemodinamik, melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan lain yang
diperlukan, memastikan perdarahan saluran makanan bagian atas atau bawah,
menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan, terapi spesifik.

Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan SCBA ialah penentuan


status hemodinamik dan upaya resusitasi sebelum menegakkan diagnosis atau
pemberian terapi lainnya.

Pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan cara terpilih untuk menegakkan


diagnosis penyebab perdarahan dan sekaligus berguna untuk melakukan hemostasis.
Pada perdarahan ulkus peptikum dapat dilakukan antara lain dengan terapi
medikamentosa dan non medikamentosa yang dapat dilakukan secara komprehensif
untuk mempeeroleh hasil terapi yang optimal.

11
DAFTAR PUSTAKA

Akil. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam: Tukak Duodenum. Jilid 1 Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 345, 347

Askandar Tjokroprawito, Poernomo budi, Chairul Efendi, Djoko Santoso, Gatot


Sugianto. 2015. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam: Gastroenterologi-
hepatologi. Jilid 1 Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 207-
225.

Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. 2009. Diagnosis dan Pengobatan Tukak

Peptikum; 
 Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas. Padang.

Dalam : Cermin Kedokteran No. 79, 


Efi Widyawati, Bertha Rusdi,Indra T Maulana. 2015. Identifikasi Kandungan


Kortikosteroid (Deksametason, Fenilbutason, dan Prednison)Dalam
Kandungan Jamu Pegel Linu yang beredar di Empat Pasar Kota Bandung.
Unisba,

Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas. 2009. Pathophysiology and

Treatment 
 of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug Gastropathy.

Available at Pendahuluan.pdf. FK Universitas Indonesia. Access on 30


agystus 2018

Gralnek. IM, Barkun. A.N, Bardou ,M. 2008. The new england journal of medicine :


 Management of Acute Bleeding from a Peptic Ulcer. England : N Engl J

Med ;359: 
 p.928-37.

12

 Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi,

Kaka Renaldi. 2014. Persatuan Gastroenterologi Indonesia & Kelompok


Studi H.Pylori Indonesia : Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia
dan Infeksi H.Pylory Jakarta. hal 10-13

Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi, Kaka
Renaldi. 2012. Persatuan Gastroenterologi Indonesia: Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Pendarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di
Indonesia. hal 18-20

Norton J. Greenberger, Robert Burakoff, Richard S Blumberg. 2009. Current


Diagnosis & Treatment "Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy".
Lange. Mc Graw Hill. Page 330-335 Chapter 30

ScheimanJM. 2009. Nonsteroidal antiinflamatory drug (nsaid)-induced gastropathy.


Dalam: KimK, editor. Acute gastrointestinal bleeding; diagnosis and
treatment. New Jersey: Humana. hlm. 75-93.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.


Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I,

Gastritis erosiva. Jakarta. 


Tjay TH, Raharja K. 2005. Obat-obat penting. Jakarta: PT Gramedia; hlm 302.

th
Wenas NT. 2009. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. The 4

international 
 endoscopy workshop & international symposium on

digestive disease. Jakarta : Pusat 
 Penerbitan Departemen IPD FK UI. p.

13
83-4.

14

Anda mungkin juga menyukai