Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN

CASE BASED DISCUSSION

HEMATEMESIS MELENA

Oleh:

I Kadek Agus Arjana Putra

(014.06.0052)

PEMBIMBING

dr. I Made Dwija Suarjana, Sp.PD

SMF INTERNA RSU BANGLI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2019

i
KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
segala limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
Hematemesis Melena.
Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini, saya menyampaikan ucapan terma
kasih kepada dosen yang telah memberi arahan dan penjelasan tentang tata cara
penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang sedang menjalani preklinik di RSU
Bangli.

Bangli, 5 Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………… ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………. iii
BAB I Pendahuluan……………………………………………………………… 1
BAB II Laporan Kasus………………………………………………………….. . 3
BAB III Tinjauan Pustaka………………………………………………………... 19
1. Hematemesis melena……………………………………………….. 19
2. Ulkus Peptikum…………………………………………………….. 20
3. Gastropati NSAID…………………………………………………….. 31
BAB IV Pembahasan Kasus……………………………………………………... 43
BAB V Penutup………………………………………………………………….. 46
Daftar Pustaka……………………………………………………………………. 47

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Hematemesis (muntah darah) dan melena (buang air besar darah berwarna
kehitaman) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna
bagian atas/SCBA (upper gastrointestinal tract). Kebanyakan kasus hematemesis
adalah keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8%-14% kematian di rumah
sakit. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan
untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan
diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan (Sudoyo AW, 2009).
Perdarahan ulkus peptikum (PUP) merupakan penyebab tersering perdarahan
SCBA, berkisar antara 31% sampai 67% dari semua kasus, diikuti oleh gastritis
erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-Weiss. Semua
keadaan ini meliputi sampai 90 persen dari semua kasus perdarahan gastrointestinal
atas dengan ditemukannya suatu lesi yang pasti (Marcelus Simadibrata K et al,
2012)..
Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan distribusi, data lama mendapatkan
bahwa lebih kurang 70% penyebab dari perdarahan SCBA adalah karena varises
esofagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan, oleh karena semakin
meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi
pasien usia lanjut, maka proporsi perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan
meningkat. Data dari salah satu RS di Indonesia (RS Sanglah, Bali) didapatkan
bahwa penyebab perdarahan saluran cerna terbanyak yaitu ulkus peptikum, diikuti
gastritis erosive (Marcelus Simadibrata K et al, 2012).
Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna atas dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk menegakkan diagnosa tentang penyebab yang dapat menimbulkan
perdarahan saluran cerna bagian atas

iv
Di negara barat perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak
sedangkan di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagus merupakan
penyebab tersering yaitu sekitar 50% - 60%, gastritis erosifa hemoragika sekitar 25%
- 30%, tukak peptik sekitar 10% - 15% dan karena sebab lainnya < 5% (Marcelus
Simadibrata K et al, 2012).

v
BAB I
PENDAHULUAN

Hematemesis (muntah darah) dan melena (buang air besar darah berwarna
kehitaman) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna
bagian atas/SCBA (upper gastrointestinal tract). Kebanyakan kasus hematemesis
adalah keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8%-14% kematian di rumah
sakit. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan
untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan
diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan (Sudoyo AW, 2009).
Perdarahan ulkus peptikum (PUP) merupakan penyebab tersering perdarahan
SCBA, berkisar antara 31% sampai 67% dari semua kasus, diikuti oleh gastritis
erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-Weiss. Semua
keadaan ini meliputi sampai 90 persen dari semua kasus perdarahan gastrointestinal
atas dengan ditemukannya suatu lesi yang pasti (Marcelus Simadibrata K et al,
2012)..
Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan distribusi, data lama mendapatkan
bahwa lebih kurang 70% penyebab dari perdarahan SCBA adalah karena varises
esofagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan, oleh karena semakin
meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi
pasien usia lanjut, maka proporsi perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan
meningkat. Data dari salah satu RS di Indonesia (RS Sanglah, Bali) didapatkan
bahwa penyebab perdarahan saluran cerna terbanyak yaitu ulkus peptikum, diikuti
gastritis erosive (Marcelus Simadibrata K et al, 2012).
Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna atas dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk menegakkan diagnosa tentang penyebab yang dapat menimbulkan
perdarahan saluran cerna bagian atas
Di negara barat perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak
sedangkan di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagus merupakan
1
penyebab tersering yaitu sekitar 50% - 60%, gastritis erosifa hemoragika sekitar 25%
- 30%, tukak peptik sekitar 10% - 15% dan karena sebab lainnya < 5% (Marcelus
Simadibrata K et al, 2012).

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


a. Nama : GBD
b. TTL : 31/02/1933
c. Usia : 86 tahun
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Alamat : BR. Fawan
f. Pendidikan : SMP
g. Pekerjaan :-
h. Agama : Hindu
i. Status Perkawinan : Sudah menikah
j. Tanggal MRS : 25/06/19
k. No RM : 264850
l. Ruangan : Anggrek

2.2 Anamnesa (Autoanamnesis)


a. Keluhan utama :
Muntah Darah
b. Riwaya penyakit sekarang
Pasien laki – laki usia 86 tahun, datang ke IGD RSUD Banggli diantar oleh
keluarganya dengan keluhan muntah darah sejak tadi pagi. Muntah darah
dikatakan sebanyak dua kali. Darah yang dimuntahkan saat itu berwarna
merah kehitaman, berbentuk gumpalan – gumpalan kecil dan berisikan
makanan yang dimakan. Pasien muntah darah dengan volume kurang lebih
setengah gelas tiap muntah. Awalnya pasien sering merasakan nyeri pada
uluhatinya yang hilang timbul sejak satu bulan yang lalu, kemudian memberat
sejak tadi pagi. Nyeri perut dirasakan seperti terbakar dan adanya rasa perih

3
dan tidak enak di uluhati. Nyeri uluhati tidak mereda walaupun pasien sudah
makan. Biasanya pasien hanya beristirahat untuk mengurangi keluhannya.
Pasien mengaku belum berobat untuk mengurangi keluhannya. Pasien juga
mengeluhkan BAB berwarna hitam seperti aspal sejak lima hari yang lalu
dengan konsistensi lembek namun tidak berlendir. Selain itu pasien juga
mengeluh nafsu makan berkurang. Riwayat CAD (+).

c. Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat keluhan yang sama : disangkal
 Riwayat hipertensi : (+)
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat maag : (+)
 Penyakit jantung : (+)
 Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat pengobatan
Sebelum MRS pasien mengkonsumsi obat CPG, Piroxicam,
meloxicam dan Bisoprolol
f. Riwayat sosial
 Merokok (-)
 Alkohol (-)
 Konsumsi obat-obatan terlarang (-)
g. Riwayat gizi
 Pola makan tidak teratur

4
2.3 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Sakit Sedang
 Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/90 mmHg
Respiration Rate : 20x/menit
Denyut Nadi : 90x/menit
Suhu Aksila : 36,6 C
SpO2 : 97%
 Status Generalis
Kepala: normochepali, rambut tidak mudah dicabut, rambut tidak
terdapat kebotakan dan tidak ditemukan cidera kepala.
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex pupil (+/+),
dengan pupil bulat isokor diameter 3 mm x 3 mm.
Telinga: serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri tekan aurikula (-/-). Nyeri
ketok mastoid (-/-).
Hidung: discharge (-/-), deformitas (-/-), deviasi septum nasi (-), nafas
cuping hidung (-), mukosa hiperemi (-)
Mulut: bibir tampak pucat, sianosis (-), lidah kotor (-), tidak ditemukan
pembesaran tonsil.
Leher: Pembesaran kelenjar getah bening (-). Pembesaran kelenjar tiroid
(-), deviasi trakea (-), nyeri tekan (-), JVP = 5+2=7 H2O (dalam batas
normal).

5
Pulmo (depan):
 Inspeksi: bentuk normochest, simetris dengan warna sawo matang.
 Palpasi: nyeri tekan (-) dan fremitus vocal simetris
 Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru
+ +
+ +
+ +

 Auskultasi: Vesikuler Ronchi


+ + - -
+ + - -
+ + - -

Wheezing

- -
- -
- -

Pulmo (belakang):
 Inspeksi: bentuk normochest, simetris dengan warna sawo matang.
 Palpasi: nyeri tekan (-) dan fremitus vocal simetris
 Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru
+ +
+ +
+ +

6
 Auskultasi: - Vesikuler
+ +
+ +
+ +

- Ronchi

- -
- -
- -

- Wheezing
- -
- -
- -

Cor:
 Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi: ictus cordis teraba dengan satu jari
 Perkusi:
 Batas atas jantung di ICS 2 linea sternalis sinistra
 Batas pinggang jantung di ICS3 line parasternalis sinistra
 Batas kiri jantung di ICS 5 linea midclavicular sinistra
 Batas kanan jantung di ICS 5 line parasternalis dextra
 Auskultasi: S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:
 Inspesi: bentuk cekung, simetris, tidak terlihat adanya masa, tidak
terlihat adanya tanda-tanda peradangan.

7
 Auskultasi: peristaltic usus (+) 8x/menit
 Perkusi: Timpani
+ + +
+ + +
+ + +

 Palpasi: Nyeri tekan


- + -
- - -
- - -

 Hepar : tidak teraba, bising hepar (-)


 Lien: tidak teraba
 Ginjal: tidak teraba

Ekstremitas:
 Akral hangat
+ +
+ +

 Edema
- -
- -

 CRT < 2 detik, eritema Palmaris (-)

8
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EKG pada tanggal 25 juni 2019

Interpretasi
 Irama : Sinus rhythm reguler
 HR : 115x/menit (Takikardi)
 Axis : Normal
 Gel P : normal
 PR interval : normal
 QRS Complex : normal
 Q Patologis : -
 ST segment : st depresi (-) st elevasi (-)
 Gel T : T inverted (-)
 Kesimpulan: Sinus Takikardi

9
Pemeriksaan Laboratorium (Biokimia) 25 Juni 2019
TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Creatinine 1,26 mg/dL 0,6-1,1 Tinggi
Glukosa 225 mg/dL 75-115 Tinggi
Urea UV 76 mg/dL 10-50 Tinggi

Pemeriksaan Laboratorium (Biokimia) 27 Juni 2019


TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Creatinine 1,30 mg/dL 0,6-1,1 Tinggi
Urea UV 158 mg/dL 10-50 Tinggi
Glucose Puasa 134 mg/dL 75-115 Tinggi
Glucose PP 174 mg/dL 75-150 Tinggi

Pemeriksaan Laboratorium (Biokimia) 29 Juni 2019


TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Creatinine 1,38 mg/dL 0,6-1,1 Tinggi
Urea UV 118 mg/dL 10-50 Tinggi

Pemeriksan Laboratorium (Elektrolit) 25 Juni 2019


TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Kalium (K) 4,99 mmol/L 3,5-5,5 Normal
Natrium (Na) 131,6 mmol/L 136-145 Rendah
Chlorida (Cl) 92,2 mmol/L 96-108 Rendah
Normalized Ionized 1,12 mmol/L 1,05-1,35 Normal
Calcium (nCa)
Total Calcium (TCa) 2,23 mmol/L 2,10-2,75 Tinggi

10
Pemeriksaan Laboratorium (Darah Lengkap) 25 Juni 2019
TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 17.3 mmol/L 3.5-10.0 Tinggi
LYM 2.1 mmol/L 0.5-5.0 Normal
LYM% 12.4 mmol/L 20.0-50.0 Rendah
MID 1.3 mmol/L 0.1-1.5 Normal
MID% 7.2 mmol/L 2.0-15.0 Normal
GRA 13.9 mmol/L 1.2-8.0 Tinggi
GRA% 80.4 mmol/L 35.0-80.0 Tinggi
HGB 10.9 mmol/L 11.5-16.5 Rendah
MCH 29.2 mmol/L 25.0-35.0 Normal
MCHC 36.9 mmol/L 31.0-38.0 Normal
RBC 3.73 mmol/L 3.50-5.50 Normal
MCV 79.3 mmol/L 75.0-100.0 Normal
HCT 29.6 mmol/L 35.0-55.0 Rendah
RDWa 61.6 mmol/L 30.0-150.0 Normal
RDW% 12.9 mmol/L 11.0-16.0 Normal
PLT 139 mmol/L 150-400 Rendah
MPV 6.1 mmol/L 8.0-11.0 Rendah
PDWa 8.7 mmol/L 0.1-99.0 Normal
PCT 0.08 mmol/L 0.01-9.99 Normal
P-LCR 18.0 mmol/L 0.1-99.9 Normal

11
Pemeriksaan Laboratorium (Darah Lengkap) 27 Juni 2019
TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 20.7 mmol/L 3.5-10.0 Tinggi
LYM 1.8 mmol/L 0.5-5.0 Normal
LYM% 8.8 mmol/L 20.0-50.0 Rendah
MID 1.2 mmol/L 0.1-1.5 Normal
MID% 5.9 mmol/L 2.0-15.0 Normal
GRA 17.7 mmol/L 1.2-8.0 Tinggi
GRA% 85.3 mmol/L 35.0-80.0 Tinggi
HGB 8.5 mmol/L 11.5-16.5 Rendah
MCH 28.0 mmol/L 25.0-35.0 Normal
MCHC 34.6 mmol/L 31.0-38.0 Normal
RBC 3.06 mmol/L 3.50-5.50 Rendah
MCV 81.0 mmol/L 75.0-100.0 Normal
HCT 24.8 mmol/L 35.0-55.0 Rendah
RDWa 60.3 mmol/L 30.0-150.0 Normal
RDW% 15.2 mmol/L 11.0-16.0 Normal
PLT 76 mmol/L 150-400 Rendah
MPV 8.0 mmol/L 8.0-11.0 Normal
PDWa 11.5 mmol/L 0.1-99.0 Normal
PCT 0.06 mmol/L 0.01-9.99 Normal
P-LCR 18.0 mmol/L 0.1-99.9 Normal

12
Pemeriksaan Laboratorium (Darah Lengkap) 29 Juni 2019
TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 13.7 mmol/L 3.5-10.0 Tinggi
LYM 1.0 mmol/L 0.5-5.0 Normal
LYM% 7.9 mmol/L 20.0-50.0 Rendah
MID 0.6 mmol/L 0.1-1.5 Normal
MID% 4.6 mmol/L 2.0-15.0 Normal
GRA 11.6 mmol/L 1.2-8.0 Tinggi
GRA% 87.5 mmol/L 35.0-80.0 Tinggi
HGB 12.4 mmol/L 11.5-16.5 Normal
MCH 28.5 mmol/L 25.0-35.0 Normal
MCHC 32.9 mmol/L 31.0-38.0 Normal
RBC 4.36 mmol/L 3.50-5.50 Normal
MCV 86.4 mmol/L 75.0-100.0 Normal
HCT 37.7 mmol/L 35.0-55.0 Normal
RDWa 60.6 mmol/L 30.0-150.0 Normal
RDW% 14.4 mmol/L 11.0-16.0 Normal
PLT 186 mmol/L 150-400 Normal
MPV 8.8 mmol/L 8.0-11.0 Normal
PDWa 12.1 mmol/L 0.1-99.0 Normal
PCT 0.16 mmol/L 0.01-9.99 Normal
P-LCR 20.1 mmol/L 0.1-99.9 Normal

2.5 Diagnosis Kerja


- Hematemesis Melena Ec Ulkus Peptikum dd Gastropati NSAID
- Anemia Normositi Normokromik
- ACKD Ec Prerenal
- CAD

13
2.6 Penatalaksanaan
- Infus NaCl 0.9% 8 tpm
- Esomeprazole 8 mg/jam dalam drip
- Asam tranexamat 3x500mg
- Antasida 3 x 10 mg
- Sukralfat 3x10 mg

2.7 Follow Up Ruangan


Sabtu, 29 Juni 2019 (Ruang Anggrek) Minggu , 30 Juni 2019 (Ruang Anggrek)
Subjektive: Subjektive:
Keluhan: nyeri perut Keluhan: nyeri perut sudah berkurang, BAB
Pasien mengaku merasakan nyeri perut cair, mual(+), muntah (-), demam (+)
terutama pada bagian ulu hati, diare >2x,
mual (+), muntah (-) Obektive:
KU: Sakit sedang
Obektive: Kesadaran Compos Mentis (E4V5M6)
KU: Sakit sedang Tanda Vital :
Kesadaran Compos Mentis (E4V5M6) TD:120/70 mmHg, Nadi: 80x/menit regular,
Tanda Vital : RR: 18x/menit, Suhu: 37,8oC, SpO2: 98%
TD:110/80 mmHg, Nadi: 80x/menit
regular, RR: 20x/menit, Suhu: 36,6oC, Abdomen:
SpO2: 97% - Inspesi: bentuk cekung, simetris, tidak
terlihat adanya masa, tidak terlihat
Abdomen: adanya tanda-tanda peradangan.
- Inspesi: bentuk cekung, simetris, - Auskultasi: peristaltic usus (+)
tidak terlihat adanya masa, tidak 14x/menit
terlihat adanya tanda-tanda
peradangan.

14
- Auskultasi: peristaltic usus (+) - Perkusi: Timpani
14x/menit
+ + +
- Perkusi: Timpani
+ + +
+ + + + + +
+ + +
- Palpasi: Nyeri tekan
+ + +
- + -
- Palpasi: Nyeri tekan
- - -
- + - - - -
- - -
- Hepar : tidak teraba, bising hepar (-)
- - -
- Lien: tidak teraba
- Hepar : tidak teraba, bising hepar (-) - Ginjal: tidak teraba
- Lien: tidak teraba
- Ginjal: tidak teraba Ekstremitas :
- Hangat
Ekstremitas :
+ +
- Hangat
+ +
+ +
- Edema
+ +
- -
- -
- Edema
- CTR < 2 detik
- -
- -
Assesment :
- CTR < 2 detik - Hematemesis Melena Ec Ulkus
Peptikum dd Gastropati NSAID

15
Assesment : - Anemia Normositi Normokromik
- Hematemesis Melena Ec Ulkus - ACKD Ec Prerenal
Peptikum dd Gastropati NSAID - CAD
- Anemia Normositi Normokromik
- ACKD Ec Prerenal Planning :
- CAD - Infus NaCl 0.9% 8 tpm
- Sanmol fls 3 x 1
Planning : - Ceftriaxone 3 x 1 gr
- Infus NaCl 0.9% 8 tpm - Esomeprazole 2 x 40 mg
- Esomeprazole 2 X 40 mg - Asam traneksamat 3 x 500 mg
- Asam traneksamat 3 x 500 mg - Ondansentron 3 x 4 mg
- Antasida 3 x 10 mg - Antasida 3 x 10 mg
- Sukralfat 3x10 mg - Sukralfat 3x10 mg
- Diet cair - Diet cair

Senin, 1 Mei 2019 (Ruang Anggrek)


Subjektive:
Keluhan: nyeri perut sudah tidak ada, mual-muntah (-), BAB sudah padat.

Obektive:
KU: Baik
Kesadaran Compos Mentis (E4V5M6)
Tanda Vital :
TD:110/70 mmHg, Nadi: 80x/menit regular, RR: 20x/menit, Suhu: 36oC, SpO2: 98%

Abdomen:

16
- Inspesi: bentuk cekung, simetris, tidak terlihat adanya masa, tidak terlihat adanya
tanda-tanda peradangan.
- Auskultasi: peristaltic usus (+) 14x/menit
- Perkusi: Timpani

+ + +
+ + +
+ + +

- Palpasi: Nyeri tekan

- - -
- - -
- - -

- Hepar : tidak teraba, bising hepar (-)


- Lien: tidak teraba
- Ginjal: tidak teraba

Ekstremitas :
- Hangat

+ +
+ +

- Edema

- -
- -

- CTR < 2 detik

17
Assesment :
- Hematemesis Melena Ec Ulkus Peptikum dd Gastropati NSAID
- Anemia Normositi Normokromik
- ACKD Ec Prerenal
- CAD

Planning :
- Esomeprazole 2 x 20 mg
- Sukralfat 3x10 mg
- Donperidone 3 x 10 mg

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. HEMATEMESIS MELENA
A. DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan
yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal.
Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat dari
ulkus peptikum yang disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan obat – obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID) dan alkohol. 1,2
1. Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam
bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah
karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti
butiran kopi. 1,2
2. Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal (ter) dengan
bau khas, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna atas serta dicernanya
darah pada usus halus.1,2

B. ETIOLOGI
Menurut literatur dalam Oxord handbook of Clinical Medicine 2010 penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan adalah :
a. Ulkus peptikum
b. Sindrome Mallory-weiss
c. Varises esophagus
d. Erosi gastritis
e. Penggunaan obat trombolitik, NSAID dan antikoagulan
f. Keganasan.
g. Idiopatik.

19
Pendarahan saluran cerna bagian atas sendiri dibagi menjadi dua bagian
yakni perdarahan oleh karena Varises esophagus atau Non Esofagus. Pada kasus
ini penting untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh varises
esofagus dan non-varises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis.
Pada perdarahan yang disebabkan karena varises esophagus sangat sering
terjadi dan erat kaitanya pada kasus Sirosis hepatis yang dapat disebabkan oleh
karena Hepatitis B, C, atau penyakit hati alkoholik, dimana terjadi peningkatan
tekanan dalam vena porta >10mmHg oleh karena adanya obstruksi aliran darah
vena porta.

2. ULKUS PEPTIKUM
Definisis
Ulkus peptikum merupakan kerusakan jaringan mulai dari mukosa,
submukosa, sampai dengan muskularis mukosa dari saluran makan bagian atas
dengan diameter >5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis,
yang merupakan luka terbuka, pinggir edema dengan batas yang jelas disertai
indurasi dengan dasar tukak ditutupi debris, akibat pengaruh asam lambung dan
pepsin (Askandar et al, 2015).

Etiologi

Kebanyakan ulkus terjadi jika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan


produksi mukus yang adekuat sebagai perlindungan terhadap asam lambung.
Penyebab penurunan produksi mukus dapat termasuk segala hal yang menurunkan
aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan cedera atau
kematian sel-sel penghasil mukus. Ulkus jenis ini disebut ulkus iskemik.
Penurunan aliran darah terjadi pada semua jenis syok. Jenis khusus ulkus iskemik
yang timbul setelah luka bakar yang parah disebut ulkus Curling (Curling Ulcer).

20
Penurunan produksi mukus di duodenum juga dapat terjadi akibat
penghambatan kelenjar penghasil mukus di duodenum, yang disebut kelenjar
Brunner. Aktivitas kelenjar Brunner dihambat oleh stimulasi simpatis. Stimulasi
simpatis meningkat pada keadaan stres kronis sehingga terdapat hubungan antara
stres kronis dan pembentukan ulkus.
Penyebab utama penurunan produksi mukus berhubungan dengan infeksi
bakterium H.pylori membuat koloni pada sel-sel penghasil mukus di lambung dan
duodenum, sehingga menurunkan kemampuan sel memproduksi mukus. Sekitar
90% pasien ulkus duodenum dan 70% ulkus gaster memperlihatkan infeksi
H.pylori. Infeksi H.pylori endemik di beberapa negara berkembang. Infeksi terjadi
dengan cara ingesti mikroorganisme.
Penggunaan beberapa obat, terutama obat anti-inflamasi non-steroid
(NSAID), juga dihubungkan dengan peningkatan risiko berkembangnya ulkus.
Aspirin menyebabkan iritasi dinding mukosa, demikian juga dengan NSAID lain
dan glukokortikosteroid. Obat-obat ini menyebabkan ulkus dengan menghambat
perlindungan prostaglandin secara sistemik atau di dinding usus. Sekitar 10%
pasien pengguna NSAID mengalami ulkus aktif dengan persentase yang tinggi
untuk mengalami erosi yang kurang serius. Perdarahan lambung atau usus dapat
terjadi akibat NSAID. Lansia terutama rentan terhadap cedera GI akibat NSAID.
Obat lain atau makanan dihubungkan dengan perkembangan ulkus termasuk
kafein, alkohol, dan nikotin. Obat-obat ini tampaknya juga mencederai
perlindungan lapisan mukosa.
Kelebihan Asam sebagai Penyebab Ulkus
Pembentukan asam di lambung penting untuk mengaktifkan enzim
pencernaan lambung. Asam hidroklorida (HCl) dihasilkan oleh sel-sel parietal
sebagai respons terhadap makanan tertentu, hormon (termasuk gastrin), histamin,
dan stimulasi parasimpatis. Makanan dan obat seperti kafein dan alkohol
menstimulasi sel-sel parietal untuk menghasilkan asam. Sebagian individu
memperlihatkan reaksi berlebihan pada selsel perietalnya terhadap makanan atau

21
zat tersebut, atau mungkin mereka memiliki jumlah sel parietal yang lebih banyak
dari normal sehingga menghasilkan lebih banyak asam. Aspirin bersifat asam,
yang dapat langsung mengiritasi atau mengerosi lapisan lambung.
Hormon lambung gastrin juga menstimulasi produksi asam, sehingga apa
pun yang dapat meningkatkan sekresi gastrin dapat menyebabkan produksi asam
yang berlebihan. Contoh utama dari kondisi ini adalah sindrom ZOllinger-Ellison,
penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan tumor di sel-sel endokrin penghasil
gastrin. Penyebab lain kelebihan asam antara lain stimulasi vagal yang berlebihan
pada sel parietal yang terlihat setelah cedera atau trauma otak. Ulkus yang
berkembang dalam keadaan seperti ini disebut ulkus Cushing. Stimulasi terhadap
vagus yang berlebihan selama setres psikologis juga dapat menyebabkan produksi
HCLl yang berlebihan.
Peningkatan Penyaluran Asam sebagai Penyebab Ulkus Duodenum
Perpindahan isi lambung yang terlalu cepat ke duodenum dapat
memperberat kerja lapisan mukus protektif di duodenum. Hal ini terjadi pada
iritasi lambung oleh makanan tertentu atau mikroorganisme, serta sekresi gastrin
yang berlebihan atau distensi abnormal.
Perpindahan isi lambung yang terlalu cepat ke dalam usus juga terjadi pada
keadaan yang disebut dumping syndrome atau sindrom limpah. Sindrom limpah
terjadi jika kemampuan lambung untuk menahan dan secara lambat mengeluarkan
kimus ke dalam duodenum terganggu. Salah satu penyebab sindrom limpah adalah
pengangkatan secara bedah sebagian besar lambung. Sindrom limpah tidak hanya
mengakibatkan perpindahan isi lambung yang cepat ke usus, tetapi juga dapat
menyebabkan hipotensi kardiovaskuler. Hipotensi terjadi karena perpindahan
berbagai macam partikel makanan ke usus semuanya dalam satu waktu
mengakibatkan sebagian besar air di sirkulasi pindah ke usus melalui proses
osmosis.

22
Patofisiologi

(Gambaran penyakit ulkus peptikum (Price dan Wilson, 2005).


Mukus melapisi saluran pencernaan dan bertindak sebagai perintang
melawan sekresi lambung. Produksi mucus yang terlalu sedikit ditambah dengan
produksi asam yang berlebihan akan menyebabkan saluran pencernaan rentan
terhadap erosi asam dan ulserasi. Erosi pada lapisan mukosa dapat menyebabkan
pembentukan fistula. Fistula memungkinkan isi lambung yang asam bocor ke
dalam peritoneum, yang mengakibatkan peritonitis. Stress, kafein, merokok dan
mengonsumsi alcohol meningkatkan produksi asam lambung. Obat-obatan seperti
NSAID dan aspirin menghambat prostaglandin, yang melindungi lapisan mukosa
(Hogan and Hill, 2004).
Infeksi bakteri H.pylori menyebabkan kematian sel epitel mukosa pada
lambung dan duodenum. Bakteri melepaskan toksin dan enzim yang mengurangi
efisiensi mucus dalam melindungi lapisan mukosa pada saluran pencernaan.
Sebagai respon terhadap infeksi bakteri, tubuh memulai respon inflamasi, yang
mengakibatkan penghancuran lapisan mukosa dan ulserasi lebih lanjut.

Manifestasi Klinis
1. Hematemesis (muntah darah), hal ini dapat terjadi karena pendarahan
langsung dari ulkus lambung, atau dari kerusakan esofagus dari muntah yang

23
parah / melanjutkan. jarang, maag dapat menyebabkan perforasi lambung atau
duodenum, yang menyebabkan peritonitis akut. Hal ini sangat menyakitkan
dan membutuhkan operasi segera.
2. melena (tinggal, tinja berbau busuk karena teroksidasi besi dari hemoglobin)
3. Pada sebagian besar kasus, gejalanya amat ringan bahkan asimptomatis.
Keluhan-keluhan itu misalnya nyeri timbul pada ulu hati. Biasanya ringan dan
tidak dapat ditunjuk dengan tepat lokasinya.
4. Kadang-kadang disertai dengan mual-mual dan muntah.
5. Pada kasus yang amat ringan perdarahan bermanifestasi sebagai darah samar
pada tinja dan secara fisis akan dijumpai tanda-tanda anemia defisiensi
dengan etiologi yang tidak jelas.
6. Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan kecuali mereka
yang mengalami perdarahan yang hebat sehingga menimbulkan tanda dan
gejala gangguan hemodinamik yang nyata seperti hipotensi, pucat, keringat
dingin, takikardia sampai gangguan kesadaran
7. Nyeri perut, epigastrium klasik dengan keparahan yang berkaitan dengan
makan, setelah sekitar 3 jam untuk mengambil makan (ulkus duodenum klasik
lega oleh makanan, sedangkan ulkus lambung diperburuk oleh itu);
8. Perut kembung dan kepenuhan;
9. Waterbrash (terburu-buru air liur setelah episode regurgitasi untuk
mengencerkan asam dalam esofagus)
10. kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan pengamatan klinis, hasil
pemeriksaan radiologi dan endoskopi, disertai biopsi untuk pemeriksaan
histopatologi, tes CLO (Campylobacter Like Organism), dan biakan kuman
Helicobacter pylori. Secara klinis pasien mengeluh nyeri ulu hati kadang-kadang
menjalar ke pinggang disertai mual dan muntah (Tarigan, 2009).

24
a. Endoskopi
Endoskopi merupakan referensi standar untuk diagnosis dari ulkus
peptikum. Endoskopi memungkinkan visualisasi dan dokumentasi fotografik
sifat ulkus, ukuran, bentuk dan lokasinya dan dapat memberikan suatu dasar/
basis referensi untuk penilaian penyembuhan ulkus (Mc.Guigan, 2001). Salah
satu kekurangan utamanya adalah biaya yang tinggi di beberapa negara seperti
Amerika Serikat. Keputusan untuk melakukan endoskopi pada pasien yang
diduga menderita ulkus peptikum didasarkan pada beberapa faktor. Pasien
dengan komplikasi ulkus peptikum seperti pendarahan memerlukan evaluasi
endoskopi untuk mendapatkan diagnosis yang akurat agar pengobatannya
berhasil.
b. Radiografi
Pemeriksaan radiografi pada saluran gastrointestinal bagian atas juga
bisa menunjukkan ulkus peptikum. Salah satu kekurangannya adalah paparan
radiasi. Keuntungan endoskopi bisa melakukan biopsi mukosa untuk
mendiagnosis Helicobacterpylori, sedangkan radiografi terbatas dalam praktik
dunia kedokteran modern (Vakil, 2010).
Diagnosis ulkus peptikum biasanya dipastikan dengan pemeriksaan
barium radiogram. Bila radiografi barium tidak berhasil membuktikan adanya
ulkus dalam lambung atau duodenum tetapi gejala-gejala tetap ada, maka ada
indikasi untuk melakukan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan kadar serum
gastrin dapat dilakukan jika diduga ada karsinoma lambung atau sindrom
Zolliger-Ellison (Wilson dan Lindseth,2005).

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan tukak peptik adalah menghilangkan keluhan/ gejala
penderita, menyembuhkan tukak, mencegah relaps/ kekambuhan dan mencegah
komplikasi. Secara garis besar pengobatan tukak peptik adalah eradikasi kuman
H. Pylori serta pengobatan/ pencegahan gastropati NSAID (Tarigan, 2001).

25
Pada saat ini, penekanan pengobatan ditujukan pada peran luas infeksi
Helicobacter pylori sebagai penyebab ulkus peptikum. Eradikasi Helicobacter
pylori infeksi dapat dilakukan pengobatan antibiotik yang sesuai. Penderita ulkus
harus menghentikan pengobatan dengan NSAID atau apabila hal ini tidak dapat
dilakukan pemberian agonis prostaglandin yang berkerja lama, misalnya
misoprostol (Ganong, 2003).

Secara garis besar pengelolaan penderita dengan tukak peptik adalah


sebagai berikut
a. Non – Farmakologi
1. Istirahat
Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan,
bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun
mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam
istirahat, berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan analgesik.
Stress dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung
dan penyakit tukak.
2. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan
merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan
mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien
tukak dan dispepsia non tukak, walaupun belum dapat dibuktikan
keterkaitanny

26
b. Farmakologi
1. Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan
cara berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2
pada sel pariental lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka
akan dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin
dan reseptor digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan
dihasilkan. Efek samping obat golongan ini yaitu diare, sakit kepala,
kantuk, lesu, sakit pada otot dan konstipasi (Berardy and Lynda, 2005).

Tabel 1. Obat-obat Antagonis Reseptor H2


Obat Dosis Frekuensi

Simetidin Per oral 300 mg atau 4x sehari


400 mg 2x sehari
800 mg 1x sehari
IV 300 mg 4x sehari
Ranitidin Per oral 150 mg atau 2x sehari
300 mg 1x sehari
IV 50 mg 3-4x sehari

Famotidin Per oral 20 mg atau 2x sehari


40 mg 1x sehari
IV 20 mg 1x sehari

Nizatidin Per oral 150 mg atau 2x sehari


300 mg 1x sehari

27
Kemampuan agonis reseptor H2 menurunkan asam lambung disamping
dengan toksisitas rendah merupakan kemajuan dalam pengobatan penyakit.
Hasil dari beberapa uji klinik menunjukan obat-obat ini dapat menjaga gejala
dengan efektif selama episode akut dan mempercepat penyembuhan tukak
duodenal.

2. PPI (Proton Pump Inhibitor)


Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang
akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli serta pariental ke dalam lumen
lambung. Panjang dapat menimbulkan kenaikan gastin darah dan dapat
menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum
terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang.
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi di
ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian
dosis pada penyakit liver dan penyakit ginjal. Dosis Omeprazol 20-40
mg/hr, Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr, Pantoprazol 40
mg/hr dan Esomeprazol 20-40 mg/hr (Lacy dkk,2008).
Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap
produksi asam. Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase
mukosa lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat
suspensi asamnya (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Efek samping obat
golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan ruam
merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan
PPI (Lacy dkk, 2008).

28
3. Sulkrafat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis
protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap
terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh
polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh
pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni
stimulasi produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal
(Parischa dan Hoogerwefh, 2008).
Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping
yang sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering (Berardy
dan Lynda, 2005).
4. Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama
protein pada dasar tukak dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan
asam. Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman
sehingga timbul keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2001).
5. Analog Prostaglandin : Misoprostol
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah
sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.
Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien
yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi dan
malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi
otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil
(Tarigan, 2001).
Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi
penyakit bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit radang usus,
sehingga pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini. Misoprostol
dikontaindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan aborsi
akibat terjadinya peningkatan kontaktilitas uterus. Sekarang ini misoprostol

29
telah disetujui penggunaannya oleh United States Food and Drug
Administration (FDA) untuk pencegahan luka mukosa akibat NSAID
(Parischa dan Hoogerwefh, 2008).
6. Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan
nyeri dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung
secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan
diare sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya
saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi.
Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan sebelum tidur).
Efek samping diare, berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat, salisilat,
dan kinidin (Tarigan, 2001).

Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya:
- Perdarahan : hematemesis/ melena dengan tanda syok apabila perdarahan
masif dan perdarahan tersembunyi
- Anemia : Anemia dapat terjadi apabila terjadi kekurangan darah berlebihan
dan anemia kronik
- Perforasi : nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis
- Gastric Outlet Obstruction: keluhan pasien akibat komplikasi ini berupa cepat
kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah
makan/ post prandial, berat badan menurun. Obstruksi yang terjadi akibat
peradangan daerah peri pilorik timbul odema, spasme. Bisa obstruksi
permanen akibat fibrosis dari suatu tukak sehingga mekanisme pergerakan
antro duodenal terganggu.

30
3. GASTROPATI NSAID
Definisi
Gastropati merupakan kelainan pada mukosa lambung dengan karakteristik
perdarahan subepitelial dan erosi. Salah satu penyebab dari gastropati adalah efek
dari NSAID (Non steroidal anti inflammatory drugs) serta beberapa faktor lain
seperti alkohol, stres, ataupun faktor kimiawi. Gastropati NSAID dapat
memberikan keluhan dan gambaran klinis yang bervariasi seperti dispepsia,
ulkus, erosi, hingga perforasi.1,2
- Di Indonesia, Gastropati NSAID merupakan penyebab kedua gastropati
setelah Helicobacter pylori dan penyebab kedua perdarahan saluran cerna
bagian atas setelah ruptur varises oesophagus.1 Menurut data dari Moskow
Ilmiah Lembaga Penelitian Gastroenterology, pengobatan dengan NSAID
menyebabkan gastritis akut dalam 100% kasus dalam satu minggu setelah
awal pengobatan. Lesi erosif gastrointestinal terjadi pada 20-40% pasien, yang
menerima secara teratur NSAID. Sekali atau untuk perawatan waktu yang
lama dengan tukak lambung NSAID menyatakan di 12-30%, dan ulkus
duodenum - di 2-19%.2

Factor Resiko
 Beberapa faktor risiko gastropathy NSAID meliputi:
- usia lanjut > 60 tahun
- Riwayat pernah menderita tukak
- Riwayat perdarahan saluran cerna
- Digunakan bersama-sama dengan steroid
- Dosis tinggi atau menggunakan 2 jenis NSAID
- Menderita penyakit sistemik yang berat

 Mungkin sebagai faktor risiko


- Bersama-sama dengan infeksi Helicobacter pylory

31
- Merokok
- Meminum alkohol

Gejala Klinis
Gastropati NSAID ditandai dengan inbalance antara gambaran endoskopi
dan keluhan klinis. Misalnya pada pasien dengan berbagai gejala, seperti
ketidaknyamanan dan nyeri epigastrium, dispepsia, kurang sering muntah
memiliki lesi minimal pada studi endoskopi. Sementara pasien dengan keluhan
tidak ada ataupun ringan GI memiliki lesi erosi mukosa parah dan ulcerating.
Perkembangan penyakit berbahaya tersebut dapat menyebabkan pasien dengan
komplikasi mematikan.2
30-40% dari pasien yang menggunakan NSAID secara jangka panjang (> 6
minggu), memiliki keluhan dispepsia yang tidak dalam korelasi dengan hasil studi
endoskopi. Hampir 40% dari pasien dengan tidak ada keluhan GI telah luka
parah mengungkapkan pada studi endoskopi, dan 50% dari pasien dengan
keluhan GI memiliki integritas mukosa normal.2
Gastropati NSAID dapat diungkapkan dengan tidak hanya dispepsia tetapi
juga dengan gejala sakit, juga mungkin memiliki onset tersembunyi dengan
penyebab mematikan seperti ucler perforasi dan perdarahan.7

PATOMEKANISME GASTROPATI NSAID


Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestuinal tidak
sepenuhnya dipahami. Dalam sebuah referensi, NSAID merusak mukosa lambung
melalui 2 mekanisme yaitu tropikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara
tropikal terjadi karena NSAID bersifat asam dan lipofilik, sehingga mempermudah
trapping ion hydrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik
NSAID lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi
prostaglandin menurun secara bermakna. Seperti diketahui prostaglandin

32
merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek
sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa,
meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkakan epitel defensif.
Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan kadar
fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaan mukosa,
dengan demikian mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen. Selain itu,
prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum
(terutama di antara antrum lambung), dengan memperpanjang daur hidup sel-sel
epitel yang sehat (terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa
meningkatkan aktivitas proliferasi.3

Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan


prostaglandin endogenous yang di sintesis di mukosa traktus gastrointestinal
bagian atas. COX (siklooksigenase) merupakan tahap katalitikator dalam produksi
prostaglandin. Sampai saat ini dikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan
COX-2. COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjal,endotelin,otak
dan trombosit : dan berperan penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam
arakidonat. COX-2 pula ditemukan dalam otak dan ginjal yag juga
bertanggungjawab dalam respon inflamasi. Endotel vaskular secara terus-menerus
menghasilkan vasodilator prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau
hambatan (COX-1) akan timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan
menyebabkan nekrosis epitel.4

33
Gambar 3. Mekanisme NSAID mempengaruhi mukosa lambung5

Penghambatan COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan


perubahan produksi mediator inflamasi. Sebagai konsekuensi dari penghambatan
COX-2, terjadi sintesis leukotrien yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting
metabolisme asam arakidonat terhadap-lipoxygenase jalur 5. Leukotrien yang
memberikan kontribusi terhadap cedera mukosa lambung dengan mendorong
iskemia jaringan dan peradangan. Peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti
molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator pro-inflamasi seperti tumor necrosis
factor-α mengarah ke peningkatan adheren dan aktivasi neutrofil-endotel. Wallace
mendalilkan bahwa pengaruh NSAID terhadap neutrofil adheren mungkin
berkontribusi terhadap patogenesis kerusakan mukosa lambung melalui dua
mekanisme utama: (i) oklusi microvessels lambung oleh microthrombi
menyebabkan aliran darah lambung berkurang dan kerusakan sel iskemik, (ii)
meningkatkan pembebasan dari radikal bebas yang berasal-oksigen. Oksigen
radikal bebas bereaksi dengan poli asam lemak tak jenuh dari mukosa

34
menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan jaringan. NSAID tidak hanya
merusak perut, tetapi dapat mempengaruhi saluran pencernaan seluruh dan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi ekstraintestinal parah seperti kerusakan ginjal
sampai gagal ginjal akut pada pasien yang memiliki faktor risiko, retensi natrium
dan cairan, hipertensi arterial, dan, kemudian, gagal jantung.5,8

Diagnosis
Spektrum klinis Gastropati NSAID meliputi suatu keadaan klinis yang
bervariasi sangat luas, mulai yang paling ringan berupa keluhan gastrointestinal
discontrol. Secara endoskopi akan dijumpai kongesti mukosa, erosi-erosi kecil
kadang-kadang disertai perdarahan kecil-kecil. Lesi seperti ini dapat sembuh
sendiri. Kemampuan mukosa mengatasi lesi-lesi ringan akibat rangsangan kemis
sering disebut adaptasi mukosa. Lesi yang lebih berat dapat berupa erosi dan
tukak multipel, perdarahan luas dan perforasi saluran cerna.3
Untuk mengevaluasi gangguan mukosa dapat menggunakan Modified
Lanza Skor (MLS) kriteria. Sistem grading ini menurut MLS adalah sebagai
berikut:1
• Grade 0 : tidak ada erosi atau perdarahan
• Grade 1 : erosi dan perdarahan di satu wilayah atau jumlah lesi ≤  2
• Grade 2 : erosi dan perdarahan di satu daerah atau ada 3-5 lesi
• Grade 3 : erosi dan perdarahan di dua daerah atau ada 6-10 lesi
• Grade 4 : erosi dan perdarahan> 3 daerah atau lebih dalam lambung
• Grade 5 : sudah ada tukak lambung
Secara histopatologis tidak khas. Dapat dijumpai regenerasi epitelial,
hiperplasia foveolar, edema lamina propia dan ekspansi serabut otot polos ke arah
mukosa. Ekspansi dianggap abnormal bila sudah mencapai kira-kira sepertiga
bagian atas.Namun, tanpa informasi yang jelas tentang konsumsi NSAID
gambaran histopatologis seperti ini sering disebut sebagai gastropati reaktif.3

35
Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negatif
terhadap darah samar.7
Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam
mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida dalam getah lambung)
dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan atau antasida,
dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus.7
Selain itu, adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology
melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. serta tes
serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.7

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien gastropati NSAID, terdiri dari non-
mediamentosa dan medikamentosa. Pada terapi non-medikametosa, yakni berupa
istirahat, diet dan jika memungkinkan, penghentian penggunaan NSAID. Secara
umum, pasien dapat dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasil atau
ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap di rumah sakit.7
Pada pasien dengan disertai tukak, dapat diberikan diet lambung yang
bertujuan untuk memberikan makanan dan cairan secukupnya yang tidak
memberatkan lambung, mencegah dan menetralkan asam lambung yang
berlebihan serta mengusahakan keadaan gizi sebaik mungkin. Adapun syarat diet
lambung yakni:9
1. Mudah cerna, porsi kecil, dan sering diberikan.
2. Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien untuk
menerima
3. Rendah lemak, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total yang ditingkatkan
secara bertahap hingga sesuai dengan kebutuhan.
4. Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara
bertahap.
5. Cairan cukup, terutama bila ada muntah

36
6. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara
termis, mekanis, maupun kimia (disesuaikan dengan daya terima
perseorangan)
7. Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa; umumnya tidak
dianjurkan minum susu terlalu banyak.
8. Makan secara perlahan
9. Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama 24-48jam
untuk memberikan istirahat [ada lambung.
Evaluasi sangat penting karena sebagian besar gastropati NSAID ringan dapat
sembuh sendiri walaupun NSAID tetap diteruskan. Antagonis reseptor H2 (ARH2)
atau PPI dapat mengatasi rasa sakit dengan baik. Pasien yang dapat menghentikan
NSAID, obat-obat tukak seperti golongan sitoproteksi, ARH2 dan PPI dapat
diberikan dengan hasil yang baik. Sedangkan pasien yang tidak mungkin
menghentikan NSAID dengan berbagai pertimbangan sebaiknya menggunakan PPI.
Mereka yang mempunyai faktor risiko untuk mendapat komplikasi berat,
sebaiknya dberikan terapi pencegahan mengunakan PPI atau analog prostaglandin.3
Gambar 5. Alogaritma penatalaksanaan pada pasien yang menggunakan NSAID dan
terdapat gejala GastroIntestinal4
Tiga strategi saat ini diikuti secara rutin klinis untuk mencegah kerusakan yang
disebabkan gastropati NSAID: (i) coprescription agen gastroprotektif, (ii)
penggunaan inhibitor selektif COX-2, dan (iii) pemberantasan H. pylori.
Gastroprotektif 4,5
 Misoprostol
Misoprostol adalah analog prostaglandin yang digunakan untuk
menggantikan secara lokal pembentukan prostaglandin yang dihambat oleh
NSAID. Menurut analisis-meta dilakukan oleh Koch, misoprostol mencegah
kerusakan GI: ulserasi lambung ditemukan dikurangi secara signifikan dalam
kedua penggunaan NSAID, kronis dan akut, sedangkan ulserasi duodenum

37
berkurang secara signifikan hanya dalam pengobatan kronis. Dalam studi-co
aplikasi mukosa misoprostol 200 mg empat kali sehari terbukti mengurangi
tingkat keseluruhan komplikasi NSAID sekitar 40%. Namun, penggunaan
misoprostol dosis tinggi dibatasi karena efek samping terhadap GI. Selain itu,
penggunaan misoprostol tidak berhubungan dengan pengurangan gejala
dispepsia.
 Sukralfat / antasida
Selain mengurangi paparan asam pada epitel yang rusak dengan
membentuk gel pelindung (sucralfate) atau dengan netralisasi asam lambung
(antasida), kedua regimen telah ditunjukkan untuk mendorong berbagai
mekanisme gastroprotektif.
Sukralfat dapat menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin. Sukralfat
masih dapat digunakan pada pencegahan tukak akibar stress, meskipun kurang
efektif. Karena diaktivasi oleh asam, maka sukralfat digunakan pada kondisi
lambung kosong. Efek samping yang paling banyak terjadi yaitu konstipasi.
Antasida diberikan untuk menetralkan asam lambung dengan mempertahankan
PH cukup tinggi sehingga pepsin tidak diaktifkan, sehingga mukosa terlindungi
dan nyeri mereda. Preparat antasida yang paling banyak digunakan adalah
campuran dari alumunium hidroksida dengan magnesium hidroksida. Efek
samping yang sering terjadi adalah konstipasi dan diare.
 H2-reseptor antagonis
H 2 reseptor antagonis (H2RA) merupakan standar pengobatan ulkus
sampai pengembangan PPI. Mereka adalah obat pertama yang efektif untuk
menyembuhkan esofagitis refluks serta tukak lambung. Namun, dalam
pencegahan Gastropati NSAID, H2RA pada dosis standar tidak hanya kurang
efektif tetapi juga dapat meningkatkan risiko ulkus pendarahan. Menggandakan
dosis standar (famotidin 40 mg dua kali sehari) secara signifikan menurunkan
kejadian 6 bulan ulkus lambung.

38
 Proton-pump inhibitor
Supressi asam oleh PPI lebih efektif dibandingkan dengan H2RA dan
sekarang terapi standar untuk pengobatan baik tukak lambung dan refluks gastro-
esofageal-penyakit (GERD). Jika diberikan dalam dosis yang cukup, produksi
asam harian dapat dikurangi hingga lebih dari 95%. Sekresi asam akan kembali
normal setelah molekul pompa yang baru dimasukkan ke dalam membran lumen.
Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa
lambung yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat supresi asamnya.
Proton Pump Inhibitor yang lain diantaranya lanzoprazol, esomeprazol,
rabeprazol dan Pantoprazol. Kelemahan dari PPI mungkin bahwa mereka tidak
mungkin untuk melindungi terhadap cedera mukosa di bagian distal lebih dari
usus (misalnya di colonopathy NSAID). Namun, dalam ringkasan, PPI
menyajikan comedication pilihan untuk mencegah NSAID-induced gastropathy.
Tindakan operasi saat ini frekuensinya menurun akibat keberhasilan terapi
medikamentosa. Indikasi operasi terbagi 3 yaitu :7
 Elektip (tukakak refrakter/gagal pengobatan)
 Darurat ( komplikasi : perdarahan massif, perforasi, senosis polorik)
 Tukak gaster dengan sangkutan keganasan.

KOMPLIKASI
Pada gastropati NSAID, dapat terjadi ulkus, yang memiliki beberapa
komplikasi yakni:
1. Hemoragi-gastrointestinal atas, gastritis dan hemoragi akibat ulkus peptikum
adalah dua penyebab paling umum perdarahan saluran GI.
2. Perforasi, merupakan erosi ulkus melalui mukosa lambung yang menembus ke
dalam rongga peritoneal tanpa disertai tanda.

39
3. Penetrasi atau Obstruksi, penetrasi adalah erosi ulkus melalui serosa lambung
ke dalam struktur sekitarnya seperti pankreas, saluran bilieratau omentum
hepatik.
4. Obstruksi pilorik terjadi bila area distal pada sfingter pilorik menjadi jaringan
parut dan mengeras karena spasme atau edema atau karena jaringan parut yang
terbentuk bila ulkus sembuh atau rusak.
Selain terjadinya gangguan di saluran gastrointestinal, penggunanaan
NSAID yang berlebihan, dapat menyebabkan berbagai efek samping lain, baik di
ginjal, pada kulit, maupun sistem syaraf.
Prostaglandin E2 (PGE2) dan I2 (PGI2) yang dibentuk dalam glomerulus
mempunyai pengaruh terutama pada aliran darah dan tingkat filtrasi glomerulus.
PGI1 yang diproduksi pada arteriol ginjal juga mengatur aliran darah ginjal.
Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, oleh NSAID
menyebabkan penurunan aliran darah ginjal. Pada orang normal, dengan hidrasi
yang cukup dan ginjal yang normal, gangguan ini tidak banyak mempengaruhi
fungsi ginjal karena PGE2 dan PGI2 tidak memegang peranan penting dalam
pengendalian fungsi ginjal. Tetapi pada penderita hipovolemia, sirosis hepatis
yang disertai asites, dan penderita gagal jantung, PGE2 dan PGI2 menjadi penting
untuk mempertahankan fungsi ginjal. Sehingga bila NSAID diberikan, akan terjadi
penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal bahkan dapat pula
terjadi gagal ginjal. Penghambatan enzim siklooksigenase dapat menyebabkan
terjadinya hiperkalemia. Hal ini sering sekali terjadi pada penderita diabetes
mellitus, insufisiensi ginjal, dan penderita yang menggunakan β-blocker dan ACE-
inhibitor atau diuretika yang menjaga kalium (potassium sparing). Selain itu,
penggunaan NSAID dapat menimbulkan reaksi idiosinkrasi yang disertai
proteinuria yang masif dan nefritis interstitial yang akut.
Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit dengan akibat
perpanjangan waktu perdarahan. Ketika perdarahan, trombosit yang beredar dalam
sirkulasi darah mengalami adhesi dan agregasi. Trombosit ini kemudian

40
menyumbat dengan endotel yang rusak dengan cepat sehingga perdarahan terhenti.
Agregasi trombosit disebabkan oleh adanya tromboksan A2 (TXA2). TXA2, sama
seperti prostaglandin, disintesis dari asam arachidonat dengan bantuan enzim
siklooksigenase. NSAID bekerja menghambat enzim siklooksigenase. Aspirin
mengasetilasi Cox I (serin 529) dan Cox II (serin 512) sehingga sintesis
prostaglandin dan TXA2 terhambat. Dengan terhambatnya TXA2, maka proses
trombogenesis terganggu, dan akibatnya agregasi trombosit tidak terjadi. Jadi, efek
antikoagulan trombosit yang memanjang pada penggunaan aspirin atau NSAID
lainnya disebabkan oleh adanya asetilasi siklooksigenase trombosit yang
irreversibel (oleh aspirin) maupun reversibel (oleh NSAID lainnya). Proses ini
menetap selama trombosit masih terpapar NSAID dalam konsentrasi yang cukup
tinggi.
Dengan menggunakan meta analisis, dapat diketahui bahwa NSAID dapat
meningkatkan tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) sebanyak kurang
lebih 5 mmHg. NSAID paling kuat mengantagonis efek antihipertensi β-blocker
dan ACE-inhibitor, sedangkan terhadap efek antihipertensi vasodilator atau
diuretik efeknya paling lemah. NSAID yang paling kuat menimbulkan efek
meningkatkan tekanan darah ialah piroksikam.
NSAID juga dapat menyebabkan reaksi kulit seperti erupsi morbiliform yang
ringan, reaksi-reaksi obat yang menetap, reaksi-reaksi fotosensitifitas, erupsi-
erupsi vesikobulosa, serum sickness, dan eritroderma exofoliatif. Hampir semua
NSAID dapat menyebabkan urtikaria terutama pada pasien yang sensitif dengan
aspirin. Menurut studi oleh Akademi Dermatologi di Amerika pada tahun 1984,
NSAID yang paling sedikit menimbulkan gangguan kulit adalah piroksikam,
zomepirac, sulindak, natrium meklofenamat, dan benaxoprofen.
Pada sistem syaraf pusat, NSAID dapat menyebabkan gangguan seperti,
depresi, konvulsi, nyeri kepala, rasa lelah, halusinasi, reaksi depersonalisasi,
kejang, dan sinkope. Pada penderita usia lanjut yang menggunakan naproksen atau
ibuprofen telah dilaporkan mengalami disfungsi kognitif, kehilangan personalitas,

41
pelupa, depresi, insomnia, iritasi, rasa ringan kepala, hingga paranoid.20 Pada
beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitifitas berupa rinitis vasomotor,
oedem angioneurotik, urtikaria luas, asma bronkiale, hipotensi hingga syok.

42
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pasien dalam kasus ini di diagnosis mengalami hematemesis melena ec ulkus


peptikum berdasarkan:
Dari hasil anamnesis pada kasus diatas, didapatkan pasien pasien datang
dengan keluhan muntah darah dan BAB berwarna hitam seperti aspal, pasien juga
mengaku sering konsumsi obat penghilang nyeri. Hal tersebut merupakan salah satu
factor pencetus untuk terjadinya peptic ulser pada memakaian obat NSAID jangka
panjang. selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan di uluhati pasien
dan pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap pasien tampak mengalami anemia
yang diakibatkan keluarnya darah akibat perdarahan yang terjadi di saluran
penceranaan bagian atas.

43
PERJALANAN KONDISI KLINIS PASIEN

44
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bagaimana proses perjalanan penyakit yang
diderita pasien dari awal hingga membentuk berbagai manifestasi klinis yang
ditemukan sampai saat ini. Terapi harus segera diberikan guna memperbaiki kondisi
klinis dan mencegah perburukan lebih lanjut. Untuk terapi yang diberikan pada
pasien antara lain:
1. Infus NaCl 0.9% 8 tpm
Bertujuan untuk maintenance cairan tubuh pasien, diberikan 8 tetes
permenit bertujuan untuk mengurangi beban kerja dari oragan jantung.
2. Esomeprazole 8 mg/jam
Merupakan salah satu obat golongan PPI, pemberian esomeprazole
pada kasus ini bertujuan untuk menghambat pengeluaran asam lambung yang
dapat memperparah kondisi pasien, mengingat kerja dari obat ini adalah
penghambat pompa proton yang menekan sekresi HCL.
3. Asam tranexamat 3 x 500 mg
Pemberian asam tranexamat pada kasus ini bertujuan untuk menghentikan
perdarahan yang terjadi pada saluran cerana pasien.
4. Antasida 3 x 10 mg
Bertujuan untuk menetralisir asam lambung.
5. Omeprazole 2 x 40 mg
Bertujuan sebagai sitoprotektif mukosa lambung terhadap pengaruh
asam dan pepsin

45
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Pasien laki – laki usia 86 tahun, dari dasil anamnesa pasien mengeluhkan
Muntah darah. Darah yang dimuntahkan saat itu berwarna merah kehitaman,
berbentuk gumpalan – gumpalan kecil dan berisikan makanan yang dimakan. Pasien
juga mengeluh nyeri ulu hati dan BAK berwarna hitam seperti aspal. Sebelumnya
pasien mengaku sering konsumsi obat pereda nyeri. Hal tersebut merupakan salah
satu factor pencetus untuk terjadinya peptic ulser pada memakaian obat NSAID
jangka panjang. selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan di ulu hati
pasien dan pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap pasien tampak mengalami
anemia yang diakibatkan keluarnya darah akibat perdarahan yang terjadi di saluran
penceranaan bagian atas.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Akil. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam: Tukak Duodenum. Jilid 1 Edisi 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 345, 347
2. Askandar Tjokroprawito, Poernomo budi, Chairul Efendi, Djoko Santoso, Gatot
Sugianto. 2015. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam: Gastroenterologi-hepatologi.
Jilid 1 Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 207-225.
3. Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. 2009. Diagnosis dan Pengobatan

Tukak Peptikum; 
 Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas. Padang.

Dalam : Cermin Kedokteran No. 79, 


4. Efi Widyawati, Bertha Rusdi,Indra T Maulana. 2015. Identifikasi Kandungan


Kortikosteroid (Deksametason, Fenilbutason, dan Prednison)Dalam Kandungan
Jamu Pegel Linu yang beredar di Empat Pasar Kota Bandung. Unisba,
5. Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas. 2009. Pathophysiology

and Treatment 
 of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug Gastropathy.

Available at Pendahuluan.pdf. FK Universitas Indonesia. Access on 30 agystus


2018
6. Gralnek. IM, Barkun. A.N, Bardou ,M. 2008. The new england journal of

medicine : 
 Management of Acute Bleeding from a Peptic Ulcer. England : N

Engl J Med ;359: 
 p.928-37.

7. 
 Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad

Fauzi, Kaka Renaldi. 2014. Persatuan Gastroenterologi Indonesia & Kelompok


Studi H.Pylori Indonesia : Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan
Infeksi H.Pylory Jakarta. hal 10-13

47
8. Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi,
Kaka Renaldi. 2012. Persatuan Gastroenterologi Indonesia: Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Pendarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia. hal
18-20
9. Norton J. Greenberger, Robert Burakoff, Richard S Blumberg. 2009. Current
Diagnosis & Treatment "Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy". Lange.
Mc Graw Hill. Page 330-335 Chapter 30

48

Anda mungkin juga menyukai