Anda di halaman 1dari 72

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN BERUSIA 53 TAHUN DENGAN


JAUNDICE POST CHOLESISTEKTOMI 1 TAHUN YANG LALU DAN
SIRS

DISUSUN OLEH:

Banatidika Ikrarida Dzakiyyah - G99181013

RESIDEN PEMBIMBING
dr. Corine Niswara dr. Amiroh Kurniati, M.Kes , Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2020

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Patologi Klinik Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dengan judul:

SEORANG PEREMPUAN BERUSIA 53 TAHUN DENGAN


JAUNDICE POST CHOLESISTEKTOMI 1 TAHUN YANG LALU DAN
SIRS

Hari, tanggal: Jumat, 24 Juli 2020

Oleh:

Banatidika Ikrarida Dzakiyyah – G99181013

1
Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Laporan Kasus,

dr. Amiroh Kurniati, M.Kes , Sp.PK

BAB I
PENDAHULUAN

Batu empedu merupakan batu yang terdapat pada kandung empedu atau
pada saluran empedu atau bisa pada keduanya. Beberapa penelitian sebelumnya
telah menunjukkan bahwa faktor risiko penyakit batu empedu adalah
multifaktorial. Faktor risiko yang mempengaruhi terbentuknya penyakit batu
empedu adalahusia, jenis kelamin, faktor genetik, kegemukan, diet tinggi lemak
rendah serat, kehamilan, peningkatan kadar lemak darah, penurunan berat badan
yang cepat, penyakit kencing manis. Selama ini dinyakini penyakit batu empedu
terjadi pada kelompok risiko tinggi yang disebut sebagai “4 F”: forty (usia diatas
40 tahunlebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty
(orang gemuk lebih berisiko). Namun dewasa ini kecenderungan kelompok risiko
tinggi mulai berubah. Dalam beberapa penelitian didapatkan fakta yang
berbeda.Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting
di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian secara klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (Lesmana, 2014).
Di Amerika Serikat setiap tahunnya tercatat 700.000 dilakukan prosedur
kolesistektomi dengan biaya hingga 6,5 milyar dolar (Shaffer, 2006; Chen, 2014).
Insiden batu empedu di negara Barat adalah 20% dan kebanyakan menyerang

2
orang dewasa dan lanjut usia (Sjamsuhidayat, 2010). Sedangkan di Taiwan batu
empedu menjadi masalah kesehatan utama dengan peningkatan prevalensi 4,3%
pada tahun 1989 hingga 10,7% pada tahun 1995 (Hung SC, 2011). Sampai saat ini
di Indonesia belum ada data yang valid mengenai angka kejadian penyakit batu
empedu.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu seringkali tidak menimbulkan
keluhan. Walaupun gejala dan komplikasi risiko penyakit batu empedu relatif
kecil akan tetapi dapat menjadi ancaman yang serius jika tidak ditangani dengan
benar. Hal ini akan menimbulkan dampak medis dan biaya kesehatan yang tinggi
(Lesmana, 2014; Chen, 2014). Di Indonesia seiring dengan dilaksanakan Sistem
Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS, upaya preventif dan deteksi dini batu
empedu sangatlah krusial dalam menekan tingginya biaya kesehatan.
Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia
karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi.
Penelitian yang dilakukan di Inggris pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2010
oleh Mc. Pherson et al. (2013) menyatakan bahwa 1 dari 20 kematian yang terjadi
di Inggris diakibatkan oleh sepsis, dengan prevalensi kejadian sebesar 5,5% untuk
wanita dan 4,8% untuk pria. Angka kejadian sepsis yang dilaporkan di Amerika
tercatat 750.000 setiap tahunnya dan kematian sekitar 2% kasus terkait dengan
kejadian severe sepsis (Angus & Poll, 2013). Penelitian yang dilakukan di
Indonesia mengenai sepsis diantaranya yang dilakukan di Rumah Sakit (RS) Dr.
Soetomo pada tahun 2012 mengenai profil penderita sepsis akibat bakteri
penghasil extended-spectrum beta lactamase (ESBL) mencatat bahwa kematian
akibat sepsis karena bakteri penghasil ESBL adalah sebesar 16,7% dengan rerata
kejadian sebesar 47,27 kasus per tahunnya.
Penelitian tersebut melaporkan bahwa 27,08% kasus adalah sepsis berat,
14,58% syok sepsis dan 53,33% kasus adalah kasus sepsis (Irawan et al., 2012).
Sepsis diawali dengan adanya kejadian systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) yang disertai dengan infeksi. Walaupun kejadian sepsis ditandai dengan
adanya infeksi namun tidak selamanya terdapat bakteremia. Kejadian tersebut

3
dimungkinkan karena adanya endotoksin maupun eksotoksin di dalam darah
sedangkan bakterinya berada di dalam jaringan (Guntur, 2008).
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram positif yang menghasilkan
eksotoksin, bakteri gram negatif yang menghasilkan endotoksin, virus maupun
jamur. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa penyebab sepsis terbesar
adalah bakteri gram negatif. Sebuah studi epidemiologi melaporkan bahwa dari
14.000 pasien sepsis yang dirawat di intensive care unit (ICU) di 75 negara
disebutkan bahwa severe sepsis yang disebabkan karena gram negatif sebesar
62% kasus, gram positif sebesar 47% kasus dan 19% kasus disebabkan karena
jamur (Vincent et al., 2009).

BAB II
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
A. Identitas pasien
Nama : Ny. H
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 0138xxxx
Alamat : Karangpandan, Karanganyar
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
MRS : 9 April 2018

B. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas

C. Riwayat Penyakit Sekarang


4
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan nyeri perut kanan
atas sejak satu minggu SMRS. Nyeri dirasakan dari perut kanan atas
hingga bagian ulu hati dan menjalar sampai ke punggung kanan. Nyeri
dirasakan tiba-tiba dan menetap dengan intensitas berat selama ± 1-3 jam
kemudian menghilang perlahan-lahan. Selanjutnya nyeri muncul kembali.
Nyeri seperti ini dirasakan terus-menerus selama satu minggu terakhir.
Jika nyeri muncul pasien sampai mengeluarkan keringat dingin menahan
rasa nyeri dan tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien biasanya
hanya berbaring di tempat tidur jika serangan nyeri datang. Nyeri
dirasakan bertambah apabila pasien menarik napas dalam. Sesak dan nyeri
dada disangkal. Pasien juga mengeluh mual dan muntah sejak 1 minggu
yang lalu. Pasien muntah 2-3 kali sehari, isi makanan, darah (-). Setiap kali
makan pasien mengaku sering merasa mual. Nafsu makan menjadi
menurun semenjak sakit. Pasien mengeluhkan BAK berwarna kuning
pekat dan BAB berwarna kuning pucat yang disadari pasien sejak 4 hari
SMRS. Frekuensi BAK 2-3 kali/hari, nyeri saat BAK (-), kencing berpasir
(-). Frekuensi BAB 2 kali/hari, padat, nyeri saat BAB (-), darah/ kehitaman
(-). Keluhan demam disangkal. Pasien juga mengeluhkan matanya menjadi
kuning. Pasien tidak memperhatikan sejak kapan matanya menjadi kuning,
namun menurut pasien saat sebelum masuk rumah sakit (di rumah),
matanya belum sekuning seperti saat ini.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : (+) setahun yang lalu
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat alergi/asma : disangkal
Riwayat operasi : (+) operasi kantung empedu 1 tahun yang
lalu

5
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien mengaku tidak
pernah minum alkohol atau merokok. Pasien berobat dengan fasilitas
BPJS.

B. Pemeriksaan Fisik
 Tanda-Tanda Vital
1. Pernafasan : 18x/menit
2. Tekanan darah : 100/60 mmHg
3. Nadi : 92 x/menit
4. Suhu : 36.7 ºC
5. VAS :4
 General Survey
1. KU : sedang, kesan sakit sedang, compos mentis
2. BB : 50 kg
3. TB : 155 cm
4. IMT : 20.81 kg/m2
5. Kulit : ikterik
6. Kepala : bentuk mesocephal, jejas (-)
7. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik
(+/+), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek
cahaya (+/+)
8. Telinga : sekret (-/-)
9. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-)
6
10. Mulut : sianosis (-)
11. Leher : JVP 5+2 cmH2O, pembesaran limfonodi (-)
12. Thoraks : bentuk normochest
13. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis
sinistra tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,
bising (-)
14. Pulmo
Inspeksi : normochest, pengembangan dada kanan sama
dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri
tekan (-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-)
15. Abdomen
Inspeksi : distended (+), dinding perut sejajar dari dinding
dada
Auskultasi : bising usus (+) 11x/ menit normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan regio hipochondrica dextra (+),
hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
16. Genitourinaria : BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-)
17. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin Oedema

- - - -
- - - -

7
C. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Lab Darah 09/04/18

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


DARAH RUTIN
Hemoglobin 8.6 g/dL 10.5 – 12.9
Hematokrit 28 % 33 – 41
Leukosit 27.7 ribu/µl 5.5 – 17,0
Trombosit 321 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.20 juta/µl 4,10 – 5,30
INDEX ERITROSIT
MCV 87.1 /um 80-96
MCH 27.0 Pg 28-33
MCHC 31.0 g/dl 33-36
RDW 13.8 % 11.6-14.6
KIMIA KLINIK
GDS 124 mg/dl 60-140
SGOT 33 u/l <31
SGPT 37 u/l <34
Bilirubin total 14.83 mg/dl 0.00-1.00
Creatinine 0.9 mg/dl 0.9 - 1.3
Ureum 22 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 132 Mmol/L 136 - 145
Kalium darah 2.4 Mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida darah 95 Mmol/L 98 - 107
SEROLOGI
HbsAg Nonreactive Nonreactive

8
Foto Thorax 09/04/2018

9
 Cor: besar dan bentuk normal
 Pulmo: Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, coracan bronkovaskuler
normal
 Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
 Hemidiaphragma kanan kiri normal
 Trachea di tengah
 Sistema tulang tampak baik
 Kesimpulan: Cor dan paru tak tampak kelainan

10
USG Abdomen 09/04/2018

 Hepar: Ukuran membesar, echostruktur normal, IHBD sinistra melebar,


vena hepatica tak melebar, nodul (-), ascites (-), efusi pleura bilateral (-)
 Tampak lesi isoechoic di proyeksi CBD
 VF: post operasi
 Pancreas: ukuran dan echostruktur normal, tak tampak massa
 Lien: ukuran dan echostruktur normal
 Aorta: tak tampak lymphadenopathy paraaorta
 Ren: ukuran normal, echostruktur normal, batas cortex dan medulla tegas,
SPC tak melebar
 VU: terisi cukup, dinding lien, sludge (-), batu (-)
 Uterus: ukuran dan echostruktur normal
 McBurney: tak tampak pelebaran mukosa appendix
 Kesan: Hepatomegali dengan cholestatis sinistra, curiga massa residif
CBD

D. Assessment
Jaundice post cholesistektomi 1 tahun yang lalu

11
Colic bilier

E. Expertise Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium kesan anemia hipokromik mikrositik,
leukositosis, SGOT meningkat, SGPT meningkat, hiperbilirubinemia,
hiponatremia, hipokalemi, dan hipoklorida.

F. Plan
1. MRS bangsal
2. Perbaikan KU
3. Cari status lama pasien
4. Transfusi 2 kolf PRC di ruangan
5. Infus NaCl 0.9 % 20 tpm
6. Inj. Metamizole 1 gr/8 jam
7. Inj. Ranitidine 50g/12 jam

G. Usulan Pemeriksaan Lab


1. Hitung jenis (Eusinofil, basofil, neutrofil, limfosit, monosit)
2. Gambaran darah tepi, ferritin, SI, TIBC
3. CRP
4. Bilirubin total/ direk/ indirek, gamma GT, ALP, Albumin
5. IgM anti HAV, Anti HCV
6. Urinalisis lengkap

Follow Up
Tanggal S O A P
10 April Nyeri perut KU sedang, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018  Jaundice post  Infus NaCl
(+) menurun, Vital Sign:
cholesistekto 0,9% 20 tpm
mual (-), TD 120/70 mmHg  Inj.
HR 92x mi 1 tahun
muntah (-). Metamizole
RR 20x yang lalu
1gr/8 jam

12
T 36,7oC  Colic bilier  Inj. Ranitidine
50gr/12jam
Jaundice (+)  Koreksi KCl
R. Abdomen: 50 mEq dalam
Distended (+), BU NaCl 0.9%
(+) 10x/menit, NT  Cek lab post
(+) kanan atas transfusi

Hasil pemeriksaan Lab Darah 10/04/2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


DARAH RUTIN
Hemoglobin 10.9 g/dL 12.0 – 15.6
Hematokrit 29 % 33 – 41
Leukosit 21.9 ribu/µl 5.5 – 17,0
Trombosit 284 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.45 juta/µl 4,10 – 5,30
ELEKTROLIT
Natrium darah 128 mmol/L 136 - 145
Kalium darah 2.6 mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida darah 96 mmol/L 98 - 107

Tanggal S O A P
11 April Nyeri perut KU sedang, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018  Jaundice  Infus NaCl
(+) menurun, Vital Sign:
post 0,9% 20 tpm
mual (-), TD 120/60 mmHg  Inj. Metamizole
HR 82x cholesistekto
muntah (-). 1gr/8 jam
RR 16x mi 1 tahun
 Inj. Ranitidine
T 36,7oC yang lalu 50gr/12jam
 Colic bilier  Koreksi KCl 20
Jaundice (+)
mEq dalam
R. Abdomen: NaCl 0.9%
Distended (+), BU  Cek lab post
(+) 8x/menit, NT koreksi
(+) kanan atas
13
Hasil pemeriksaan Lab Darah 11/04/2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


ELEKTROLIT
Natrium darah 135 Mmol/L 136 - 145
Kalium darah 2.8 Mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida darah 106 Mmol/L 98 - 107

Tanggal S O A P
12 April Nyeri perut KU sedang, CM
Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 - Jaundice post  Infus RL 0,9%
(+) menurun, Vital Sign:
20 tpm (loading
mual (-), TD 110/60 mmHg cholesistektomi 1 RL 500 cc)
HR 90x tahun yang lalu
muntah (-)  Inj. Metamizole
RR 20x - Colic bilier
1gr/8 jam
T 36,7 C
o
 Inj. Ranitidine
Jaundice (+) 50gr/12jam
 Pasang DC
R. Abdomen:
Distended (+),
BU (+) 9x/menit,
NT (+) kanan atas

Hasil pemeriksaan Lab Darah 12/04/2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


ELEKTROLIT
Natrium darah 134 Mmol/L 136 - 145
Kalium darah 3.2 Mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida darah 100 Mmol/L 98 - 107

Tanggal S O A P
13 April Nyeri perut KU lemah, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 -Jaundice post  Infus RL 20 tpm
(+), mual Vital Sign:
cholesistektomi  Inj. Metamizole
14
(-), muntah TD 120/60 mmHg 1 tahun yang 1gr/8 jam
HR 72x lalu  Inj. Ranitidine
(-)
RR 16x -Colic bilier 50gr/12jam
T 36,7oC  Foto abdomen 3
posisi
Jaundice (+)  Pasang NGT
R. Abdomen:  Pindah RGB
Distended (+), BU (+)  Pemeriksaan lab
10x/menit, NT (+) pre operasi
kanan atas

Hasil pemeriksaan Lab Darah 13/04/2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


DARAH RUTIN
Hemoglobin 11.5 g/dL 12.0 – 15.6
Hematokrit 32 % 33 – 41
Leukosit 16.8 ribu/µl 5.5 – 17,0
Trombosit 304 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.82 juta/µl 4,10 – 5,30
KIMIA KLINIK
GDS 97 mg/dl 60 - 140
Creatinine 2.6 mg/dl 0.6 - 1.1
Ureum 67 mg/dl <50

Foto Abdomen 3 Posisi (13/04/2018)

15
Kesimpulan:
1. Ileus obstruktif letak tinggi
2. Tak tampak perforasi
3. Dilatasi gaster
4. Hepatomegaly
5. Fecal material prominent

Instruksi pre-operasi (pro laparatomi eksplorasi)


1. Informed consent
2. Daftar OK IGD
3. Konsul TS anestesi dan TS jantung
4. Puasa 6 jam pre operasi
5. Antibiotik profilaksis Cefazolin 1 gram pre operasi

16
Tanggal S O A P
14 April Nyeri perut KU lemah, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018  Jaundice post  Perbaikan KU
(+), mual Vital Sign:
TD 120/65 mmHg cholesistektom  Awasi
(-), muntah KU/VS/GCS
HR 98x i 1 tahun yang
(-)  Infus NaCl
RR 16x lalu
0,9% :
T 37,7oC  Post Aminofluid:
laparotomi D5% = 1:1:1/24
Jaundice (+)
eksplorasi ec jam
R. Abdomen: ileus  Infus Kabiven 1
I: Distended (+) obstruktive H 1 fl/24 jam
A: BU (+)  SIRS  Inj. Meropenem
10x/menit 1 g/12 jam
P: timpani  Inj. Ranitidine
P: nyeri tekan (+) 50gr/12jam
kanan atas  Transfusi FFP 2
kolf/hari
 Koreksi
plasbumin 25%
100 cc
15 April Nyeri perut KU sedang, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018  Jaundice post  Perbaikan KU
(+), mual Vital Sign:
TD 110/65 mmHg cholesistektom  Awasi
(-), muntah KU/VS/GCS
HR 103x i 1 tahun yang
(-)  Infus NaCl
RR 18x lalu
0,9% :
T 37,7oC  Post Aminofluid :
laparotomi D5% = 1:1:1/24
Jaundice (+)
eksplorasi ec jam
R. Abdomen: ileus  Infus Kabiven 1
I: Distended (+) obstruktive H 2 fl/24 jam
A: BU (+)  SIRS  Inj. Meropenem
11x/menit 1 g/12 jam
P: timpani  Inj. Ranitidine
P: nyeri tekan (+) 50gr/12jam
kanan atas

16 April Nyeri perut KU lemah, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:


2018  Jaundice post  Perbaikan KU
(+), mual Vital Sign:
cholesistektom  Awasi
(-), muntah TD 120/70 mmHg KU/VS/GCS
HR 102x i 1 tahun yang
(-)  Infus NaCl
RR 18x lalu
0,9% :
T 37,8oC  Post
17
laparotomi Aminofluid :
Jaundice (+) eksplorasi ec D5% = 1:1:1/24
ileus jam
R. Abdomen:
obstruktive H 3  Infus Kabiven 1
I: Distended (+)
fl/24 jam
A: BU (+)  SIRS
 Inj. Meropenem
10x/menit
1 g/12 jam
P: timpani
P: nyeri tekan (+)  Inj. Ranitidine
kanan atas 50gr/12jam
 Pemeriksaan
darah rutin
 Transfusi PRC
1 kolf
 Koreksi
plasbumin 1
kolf

Hasil pemeriksaan Lab Darah 16/04/2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


DARAH RUTIN
Hemoglobin 9.5 g/dL 12.0 – 15.6
Hematokrit 26 % 33 – 41
Leukosit 38.1 ribu/µl 5.5 – 17,0
Trombosit 108 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.10 juta/µl 4,10 – 5,30
KIMIA KLINIK
GDS 154 mg/dl 60-140
Albumin 1.9 g/dl 3.5-5.2
ELEKTROLIT
Natrium darah 130 Mmol/L 136 - 145
Kalium darah 3.8 Mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida darah 104 Mmol/L 98 - 107

Tanggal S O A P
17 April Nyeri perut KU lemah, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:

18
2018 (+), mual Vital Sign:  Jaundice post  Perbaikan
TD 105/65 mmHg cholesistekto KU
(-), muntah
HR 102x mi 1 tahun  Awasi
(-) RR 16x KU/VS/GCS
yang lalu
T 38,2oC  Infus NaCl
 Post
0,9% :
Jaundice (+) laparotomi Aminofluid :
eksplorasi ec D5% =
R. Abdomen:
I: Distended (+) ileus 1:1:1/24 jam
A: BU (+) obstruktive H  Infus
9x/menit 4 Kabiven 1
P: timpani  SIRS fl/24 jam
P: nyeri tekan (+)  Inj.
kanan atas Meropenem
1 g/12 jam
 Inj.
Ranitidine
50gr/12jam
 Lavement
(fleet
enema)/ 24
jam
 Cek Ur/Cr
ulang +
darah
lengkap
 Kultur darah
 Transfusi TC
2 kolf
 Koreksi
Plasbumin
25% 100 cc

Hasil pemeriksaan Lab Darah 17/04/18

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


DARAH RUTIN
Hemoglobin 11.2 g/dL 10.5 – 12.9
Hematokrit 33 % 33 – 41
Leukosit 32.5 ribu/µl 5.5 – 17,0
Trombosit 92 ribu/µl 150 – 450

19
Eritrosit 3.90 juta/µl 4,10 – 5,30
INDEX ERITROSIT
MCV 87.1 /um 80-96
MCH 27.0 Pg 28-33
MCHC 31.0 g/dl 33-36
RDW 13.8 % 11.6-14.6
MPV 8.1 Fl 7.2-11.1
PDW 19 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.10 % 0.00 – 4.00
Basofil 1.90 % 0.00 – 2.00
Neutrofil 91.90 % 55.00 – 80.00
Limfosit 4.30 % 22.00 – 44.00
Monosit 1.80 % 0.00 – 7.00
KIMIA KLINIK
Albumin 2.0 g/dl 3.5 - 5.2
Creatinine 3.3 mg/dl 0.9 - 1.3
Ureum 172 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 130 Mmol/L 136 - 145
Kalium darah 4.5 Mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida darah 104 Mmol/L 98 - 107

Tanggal S O A P
18 April Nyeri perut KU lemah, Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 somnolen  Jaundice post  Perbaikan
(+), mual (-),
cholesistekto KU
muntah (-) Vital Sign:  Awasi
TD 90/60 mmHg mi 1 tahun
KU/VS/GCS
HR 110x yang lalu
 Infus NaCl
RR 21x  Post 0,9% :
T 36,7oC laparotomi Aminofluid :
eksplorasi ec D5% =
20
ileus 1:1:1/24 jam
Jaundice (+) obstruktive H  Infus
5 Kabiven 1
R. Abdomen:
fl/24 jam
I: Distended (+)  SIRS
 Inj.
A: BU (+)
Meropenem
8x/menit
1 g/12 jam
P: timpani
P: nyeri tekan (+)  Inj.
kanan atas Ranitidine
50gr/12jam
 Lavement
(fleet
enema)/ 24
jam
 Cek Ur/Cr
ulang +
darah
lengkap
 Menunggu
hasil kultur
darah

Pukul 11.00
- Pasien Apneu
- TD 110/80 mmHg , HR 35x/menit, RR 2x dalam 1 menit
- EKG : sinus bradikardi, idioventricular rhytm
- Pemberian SA 0.5 mg (2 ampul)

Pukul 11.05 – 11.15


- EKG : PEA (pulseless electrical activity)
- Adrenaline 1 ampul  CPR 5 siklus  Adrenaline 1 ampul  CPR 5
siklus  Adrenaline 1 ampul  CPR 5 siklus

Pukul 11.20
- Return of spontaneous circulation
- TD 90/50 , HR 79x/menit
- EKG sinus bradikardi

21
- Syringe pump dobutamine 5 – 10 mcg/kgBB/menit

Pukul 11.25
- TD 110/70 , HR 32x/menit
- EKG sinus bradikardi
- SA 0.5 mg (2 ampul)

Pukul 11.30
- TD 120/80 , HR 35x/menit
- EKG sinus bradikardi
- SA 0.5 mg (2 ampul)

Pukul 11.35 – 11.45


- EKG : PEA (pulseless electrical activity)
- Adrenaline 1 ampul  CPR 5 siklus  Adrenaline 1 ampul  CPR 5
siklus  total adrenaline 5 ampul

Pukul 11.50
- TD tidak terukur, HR 35x/menit
- EKG sinus bradikardi
- SA 0.5 mg (2 ampul)

Pukul 11.55
- TD tidak terukur, HR 31x/menit
- EKG sinus bradikardi
- SA 0.5 mg (2 ampul)  total SA 10 ampul

Pukul 12.00
- TD tidak terukur , nadi tidak teraba, pupil midriasis maksimal
- EKG asistol
- Pasien dinyatakan meninggal di hadapan keluarga, perawat, dan residen
22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kolelitiasis
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu
empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya.1,2

Gambar 1. Batu dalam kandung empedu3

B. Anatomi Sistem Empedu


Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati
tumbuh bersama. Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut,
dimana tonjolan tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian
kaudal dari divertikulum akan menjadi gallbladder (kandung empedu), ductus
cysticus, ductus biliaris communis (ductus choledochus) dan bagian
cranialnya menjadi hati dan ductus hepaticus biliaris.1
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat
dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila kandung
empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum
23
menonjol seperti kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol
dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding
anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan
dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum
dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus
untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus
koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu,
panjangnya 1-2 cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan
mukosa yang banyak sekali membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang
disebut Valve of Heister, yang mengatur pasase bile ke dalam kandung
empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.4
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum
hepatoduodenale dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya
distal papila Vateri. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke
saluran yang paling kecil yang disebut kanikulus empedu yang meneruskan
curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan
selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak
muara duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari
sebelah belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial
dari duodenum descendens. Dalam keadaan normal, ductus choledochus akan
bergabung dengan ductus pancreaticus Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke
duodenum) Tapi ada juga keadaan di mana masing-masing mengeluarkan
isinya, pada umumnya bergabung dulu. Pada pertemuan (muara) ductus
choledochus ke dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction.
Tempat muaranya ini disebut Papilla Vatteri. Ujung distalnya dikelilingi oleh
sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.
24
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica
kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah
arteri yang sangat kecil dan vena-vena juga berjalan antara hati dan kandung
empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui
nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari
plexus coeliacus.1

Gambar 2. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)

C. Fisiologi Sistem Empedu


Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari.
Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung
empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari
kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan
natrium.4 Kandung empedu mensekresi glikoprotein dan H+. Glikoprotein
berfungsi untuk memproteksi jaringan mukosa, sedangkan H+ berfungsi
menurunkan pH yang dapat meningkatkan kelarutan kalsium, sehingga dapat
mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran cairan empedu diatur oleh
25
tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan
tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi
akan disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
akan berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam
duodenum.2,5
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan
dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi
produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa
intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar


(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan
berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme
umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau
diperlukan.5
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon
kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam
darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot
polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi,
sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum.

26
Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak
dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses
koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
1. Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
2. Neurogen :
a. Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase
Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-
intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
b. Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai
ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti
batu. 

D. Komposisi Cairan Empedu


Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit -   -  
 

27
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada
dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja
kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian
besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali
oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses
dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi
disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam
empedu akan terganggu.4

2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme
dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole
menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di
dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat
oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi
pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yang terbentuk sangat banyak4.

E. Epidemiologi Kolelitiasis
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang
orang dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak

28
berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu
1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka
kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi
garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
4. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia
dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
5. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik
29
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.6

F. Etiologi
1. Batu Kolestrol
Batu kolestrol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras
Eropa, penduduk asli Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko
lainnya : Obesitas, kehamilan, kandung empedu yang statis, obat, dan
keturunan.
Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM, hiperlipidemia
sangat berhungan dengan peningkatan sekresi kolestrol dan merupakan
faktor risiko major dari terjadinya batu kolesterol.
Batu kolestrol lebih sering pada wanita dengan kehamilan yang
berulang. Karena tingginya progesterone. Progesteron menurunkan
motilitas kandung empedu, sehingga terjadi retensi dan meningkatnya
kosentrasi empedu pada kandung empedu. Penyebab lain statisnya
kandung empedu, pemberian nutrisi secara parenteral, penurunan berat
badan yang cepat (diet, gastric bypass surgery).1,2
Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolestrol.
Clofibrate atau golongan –fibrate meningkatkan eliminasi kolestrol via
sekresi empedu. Analog somatostatin menurunkan proses pengosongan
pada kandung empedu.4
30
2. Batu Pigmen
Batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover.
Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell
anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia.3,6
Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal menyebabkan
splenomegali, sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari
penderita sirosis memiliki batu pigmen.4

G. Patogenesis Kolelitiasis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis
empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif,
perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri
dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu,
melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu.
Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu,
terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu
banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu
sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik
mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam
tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam
waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.

31
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.7

H. Patofisiologi Batu Empedu


1. Batu Kolesterol
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui
dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter,
besar, dan permukaannya halus. Empedu yang di supersaturasi
dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 %
kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan
batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 %
kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid,
pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol
dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle,
sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam
empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam
empedu, lesitin dan kolesterol.1
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:
a. Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu
adalah komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam
perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut.
Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi
lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung
dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu,
dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada
32
keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi
rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol
akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai
berikut :
1) Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam
empedu dan lecithin jauh lebih banyak.
2) Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi
sehingga terjadi supersaturasi.
3) Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
4) Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas
kolesterol jaringan tinggi.
5) Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun
misalnya pada gangguan ileum terminale akibat peradangan
atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik).
6) Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol
meningkat dan kadar chenodeoxycholat rendah, padahal
chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan
menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan
bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau
heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu,
calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan.
Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri
yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk
harus cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada
keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat
dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk
33
akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi
kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat
supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut.
Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus,
kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama,
setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut
kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang
berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal
kolesterol dan sukar dipompa keluar. 
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di
Amerika Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang
lebih umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih
kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilan
hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah
bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu
dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa
organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan
dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu ini
lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.2. bilirubin pigemen
kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke
empedu oleh sel liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu
dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air dann stabil.
Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkkonjugasi
yang tidak larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol.
Kemungkinan mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang
meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap
dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi
pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban
bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk
34
batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu
kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi bakteri
sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit
Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk
B-glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di
dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium
bilirubinat yang tak dapat larut.2,3
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi
karena pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada
malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi
bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi
unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya
enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli.
Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4
lakton yang menghambat kerja glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium
dan sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur
cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen
dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70
% inti batu adalah dari cacing tambang. 
3. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung
kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada
penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat
tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar
metabolisme yang sama dengan batu kolesterol.1,7

35
I. Manifestasi klinis
1. Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
a. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak
memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut
akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun
dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua
pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang
benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5
tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin
dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik.2,5
b. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran
kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung
lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas,
biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit
setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih,
disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. 1,6
c. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu
yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen,
khususnya diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan
akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus
atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut
adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa
serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di
daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi
36
atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung
skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu
makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat
dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan
tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas sewaktu perut
kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya
dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami
kolesistektomi terbuka atau laparoskopik.2,4,8

2. Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)


Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di
epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam
dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan
kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala
klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut
yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik
yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya
berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade
Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan
kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat
serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin
mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan
bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi
saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu
kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara
duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan
pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula
akan menyebabkan ikterus obstruktif.7

37
J. Diagnosis
1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah
asintomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang
disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis,
keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa
jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada
30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat
penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.4
2. Pemeriksaan Fisik
a. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau
umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh
ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
b. Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase
tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa
bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas.
Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul
ikterus klinis.4
38
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi
serangan akut.
Alanin aminotransferase (SGOT = Serum Glutamat-Oksalat
Transaminase) dan aspartat aminotransferase (SGPT = Serum
Glutamat-Piruvat Transaminase) merupakan enzim yang disintesis
dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum
sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan
dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu.
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu.
Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran
empedu karena sel ductus meningkatkan sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi.
Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan
lebih lama dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi
vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus,
akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara
parenteral.1,7
b. Pemeriksaan radiologis
i. Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran
yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu
39
yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

Gambar 3. Foto rongent pada kolelitiasis.4

ii. Ultrasonografi (USG)


Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan
sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu
dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri
pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada
dengan palpasi biasa.4

40
Gambar 4. Kolelitiasis pada USG4

iii. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup
baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat
batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.4
iv. Kolangiografi transhepatik perkutan
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya
obstruksi dibagian atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran
yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum baru yang "kecil
sekali" Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan
kontraindikasi.4
v. Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic
retrograde kolangiopankreatograft)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus
melalui ampula Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi
obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada beberapa kasus
tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya
41
tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang
menembus duodenum dan sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan
lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan
pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien
yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi
sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP semakin
menarik karena adanya potensi yang 'baik untuk mengobati
penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis
batu duktus koledokus yang tertinggal).8
vi. CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa
hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik).Bila
hasil ultrasound masih meragukan, maka biasanya dilakukan CT
scan.8
vii. MRCP
Magnetic Resonansi Cholangiopancreatografi (MRCP) merupakan
pemeriksaan untuk memperlihatkan sistem billiaris dan pankreas.
Dengan adanya modalitas MRI 1,5 tesla maka modalitas inilah yang
paling baik untuk memperlihatkan sistem billiaris dan pancreas.
Pada dasarnya MRCP adalah pencitraan kandung empedu dan
ductus biliaris baik intra maupun ektra hepatis serta ductus
pancreaticus. Teknik yang digunakan yaitu teknik heavy T2W (TR
4000,  TE 801) untuk mendapatkan gambar traktus biliaris tanpa
memasukkan cairan kontras. Pada teknik ini cairan akan tampak
lebih putih karena cairan menghasilkan sinyal yang lebih tinggi
dibandingkan jaringan lunak sekitar yang tampak lebih gelap karena
sinyal yang dihasilkan lebih rendah. Untuk memperlihatkan organ-
organ di abdomen atas juga dibuat sequence yang lain  yaitu Axial
T1W, Axial T1 fat sat, Axial T2 fat sat, Coronal T2 fat sat  Triphase
3D , Axial T1 fat sat dan Coronal T1 fat sat post kontras.

42
viii. PTC
PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangeography) adalah salah satu
pemeriksaan radiografi untuk memperlihatkan tractus billiary
dengan memasukan bahan kontras media positif menuju ductus
intrahepatica yang dimasukan melalui jarum secara transhepatic dan
dilakukan pra operasi.
Pemeriksaan PTC ini ditunjukan untuk memperlihatkan saluran-
saluran kandung empedu (ductus billiary) yang tidak tampak pada
pemeriksaan OCG (Oral Cholacistografi) dan IVC (Intra Vena
Choledochografi) dengan menggunakan kontras media positif. 

K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit.
Saat batu tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan.
Biasanya yang dipakai ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu
dapat dimulai dari obat-obatan yang digunakan tunggal atau kombinasi yaitu
terapi oral garam empedu ( asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL.
Terapi tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan
tinggi kandungan kolesterol.

1. Asimptomatik
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa
komplikasi tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu
asimptomatik ialah
a. Pasien dengan batu empedu > 2cm
b. Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi
keganasan
c. Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut

43
Disolusi batu empedu
Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada
manusia, penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi
saturasi kolesterol pada empedu yaitu dengan mengurangi sekresi
kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu pada kandung empedu.
Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-
3 dosis harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan
waktu 6-18 bulan dan berhasil bila batu yang terdapat ialah kecil dan
murni batu kolesterol.

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)


Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer
beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya
terbatas untuk pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam
ursodeoksilat.4,8

2. Simptomatik
Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara
umum diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu,
kecuali yang terkait usia tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa
kasus empiema kandung empedu, diperlukan drainase sementara untuk
mengeluarkan pus yang dinamakan kolesistostomi dan kemudian baru
direncanakan kolesistektomi elektif. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan,
dan infeksi.

44
Langkah-langkah pada kolesistektomi terbuka:
a. Insisi
Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan
atas, insisi kocher, insisi kocher termodifikasi dan insisi tranverse.

1. Insisi kocher

7. Insisi transverse

Gambar 5. Jenis insisi pada abdomen

b. Peletakan 2 mop basah


Yang pertama digunakan untuk menyingkirkan duodenum, kolon
transversum dan usus halus. Yang kedua digunakan di kiri common
bile duct untuk menyingkirkan gaster ke kiri.
c. Dapat melihat kandung empedu
Bagian bawah lobus kanan hepar ditarik ke atas menggunakan retracter
agar kandung empedu lebih terekspos.
d. Pengangkatan kandung empedu
Terdapat 2 metode
i. Metode duct first
Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri
kemudian dipisahkan setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi : tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan
CD.

45
Kontraindikasi : adanya adhesi dan eksudat.
ii. Metode fundus first
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian
berlanjut pada duktus sistikus.
Indikasi : adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD.4,8

Laparoskopik kolesistektomi
Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya
membutuhkan 4 insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca
operasi juga cepat. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi
lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik,
menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah.
Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi
absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.
Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump
duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris
sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak
terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat
bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan
untuk aktifitas olahraga.6,8

Kolesistostomi
Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema
dan sepsis, yang dapat dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi
adalah penaruhan pipa drainase di dalam kandung empedu. Setelah pasien
stabil,maka kolesistektomi dapat dilakukan.8

Endoscopic sphincterotomy
46
Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada
prosedur ini kanula diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan
mennggunkan spinterectome elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui
sfingter oddi dan bagian CBD yang mengarah ke intraduodenal terbuka
dan batu keluar dan diekstraksi. Prosedur ini terutama digunakan pada
batu yang impaksi di ampula vateri.4,8

L. Definisi Syok
Syok adalah suatu sindrom klinis dimana terdapat kegagalan dalam
pengaturan peredaran darah sehingga terjadi kegagalan untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Kegagalan sirkulasi ini biasanya disebabkan
oleh kehilangan cairan (hipovolemik), karena kegagalan pompa jantung
ataupun karena perubahan resistensi vaskuler perifer.1
Syok secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa jenis.
Berikut adalah tabel singkat mengenai jenis-jenis syok :2
Tabel 1 : Jenis-jenis Syok
Jenis Syok Penyebab

Hipovolemik 1. Perdarahan
2. Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)
3. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah,
obstruksi usus dan lain-lain

Kardiogenik 1. Aritmia
• Bradikardi / takikardi
2. Gangguan fungsi miokard
• Infark miokard akut, terutama infark ventrikel kanan
• Penyakit jantung arteriosklerotik
• Miokardiopati
3. Gangguan mekanis
• Regurgitasi mitral/aorta
• Rupture septum interventrikular  Aneurisma ventrikel
massif
• Obstruksi:
Out flow : stenosis atrium
Inflow : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus

47
Obstruktif Tension Pneumothorax
Tamponade jantung
Emboli Paru
Septik 1.Infeksi bakteri gram negative,
Contoh: Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, Enterobacter
serratia, Proteus,
2. Kokus gram positif,
Contoh : Stafilokokus, Enterokokus, dan Streptokokus
Neurogenik • Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang
belakang dan spinal syok (trauma medulla spinalis
dengan quadriflegia atau paraplegia)
• Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan,misal nyeri
hebat
• Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan
obat anestesi
• Rangsangan parasimpatis pada jantung yang
menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Hal ini
terjadi pada orang yang pingsan mendadak akibat
gangguan emosional
• Antibiotilk, contoh : Penisilin, sefalosporin,
Anafilaksis kloramfenikol, polimixin, ampoterisin B
• Biologis, contoh : Serum, antitoksin, peptide, toksoid
tetanus, dan gamma globulin
• Makanan, contoh : Telur, susu, dan udang/kepiting
• Lain-lain Contoh : Gigitan binatang, anestesi local

Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai


dengan rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi,
sehingga terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator,
aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan
endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan gangguan
perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel.1

Nomenklatur mengenai sepsis telah banyak dilakukan, salah satu yang paling
sering digunakan ialah sepsis merupakan kelanjutan dari sebuah sindrom respons
inflamasi sistemik / Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) atau yang
sering disebut sindrom sepsis ditandai dengan 2 dari gejala berikut :3

48
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature

Sepsis merupakan SIRS yang disertai dengan dugaan ataupun bukti


adanya sumber infeksi yang jelas. Sepsis dapat berlanjut menjadi sepsis berat
yaitu sepsis yang disertai dengan kegagalan organ multipel / Multiple Organ
Dysfunction / Multiple Organ Failure (MODS/MOF). Sepsis berat dengan
hipotensi ialah sepsis dengan tekanan sistolik <90 mmHg atau penurunan
tekanan sistolik >40 mmHg. Perkembangan berikut dari sepsis ialah berujung
pada suatu syok septik. Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang
didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi oleh sepsis dan menetap
kendati telah mendapat resusitasi cairan, serta disertai dengan hipoperfusi
jaringan.3

Syok septik didefinisikan sebagai keadaan kegagalan sirkulasi akut


ditandai dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan
yang cukup ataupun adanya hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh
konsentrasi laktat yang melebihi 4 mg / dL) yang tidak dapat dijelaskan oleh
sebab-sebab lain.4

M. Epidemiologi Sepsis
Sepsis berat dan syok septik merupakan masalah kesehatan utama. Angka
kejadian di Amerika Serikat dan Inggris, dilaporkan 66 hingga 132 kasus per
100.000 populasi. Sepsis berat terjadi pada 1-2 % pasien rawat inap dan sebanyak
25 % dari pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Hal ini sering
terjadi pada lansia, immunecompromised dan pasien sakit kritis. Syok septik
merupakan penyebab kematian utama di ICU di seluruh dunia. Sepsis menduduki
urutan kedua penyebab utama kematian pada pasien ICU non - koroner. Angka

49
mortalitas tetap tinggi, yaitu sebesar 30-50 % meskipun kualitas perawatan sudah
meningkat.5,10

N. Etiologi Sepsis
Sepsis berat dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi. Infeksi
adalah penyebab paling umum. Pasien dengan tanda-tanda klinis inflamasi
sistemik (SIRS), penyebab infeksi harus dicari secara aktif. Infeksi yang diperoleh
sebelum masuk rumah sakit lebih mudah dikenali, daripada infeksi nosokomial
pada pasien rawat inap. Infeksi tersering penyebab sepsis meliputi infeksi sistem
saraf pusat (SSP) misalnya meningitis atau ensefalitis, infeksi kardiovaskular
(misalnya endokarditis), infeksi saluran pernafasan (misalnya pneumonia), infeksi
gastrointestinal (misalnya peritonitis) atau infeksi saluran kemih (misalnya
pielonefritis). Meskipun infeksi bakteri adalah penyebab infeksi yang paling
umum, virus dan jamur juga dapat menyebabkan syok septik. Respon sistemik
dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau
hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang
yang berasal dari infeksi lokal.11
Penyebab non infeksi antara lain trauma berat atau perdarahan akut dan
penyakit sistemik, termasuk infark miokard, emboli paru dan sebagainya. Tabel
2.3 merangkum penyebab syok septik dan Tabel 2.4 merangkum penyajian
sindrom sepsis berat, patofisiologi yang mendasari sign and symptomp serta
organisme yang paling sering terlibat.11
Tabel 2. Etiologi syok septik
11
Infeksi Noninfeksi
Infeksi sistem saraf pusat Trauma berat
Infeksi sistem kardiovaskular Perdarahan
Infeksi saluran pernapasan Komplikasi dari operasi
Infeksi ginjal Komplikasi aneurisma aorta
Infeksi saluran pencernaan Infark miokard
Infeksi kulit dan jaringan lunak Emboli paru
Infeksi tulang dan sendi Tamponade jantung
Pankreatitis akut Overdosis obat / racun
Ketoasidosis diabetik
Insufisiensi adrenal
Anafilaksis
Perdarahan subarachnoid
50
luka bakar

Tabel 3. Sindrom sepsis berat, patofisiologi yang mendasari sign and symptomp serta organisme yang paling sering terlibat
11
Sistem yang
Tanda dan gejala Patogen penyebab
terkena
Sistem saraf Kebingungan, mengantuk, 1. Community-acquired pathogen:
pusat lekas marah, koma Streptococcus pneumoniae;
sakit kepala, leher kaku, Neiserria meningitides; Listeria
fotofobia monocytogenes
2. Patogen nosokomial:
Pseudomonas aeruginosa;
Escherichia coli
Sistem Hipovolemia, gangguan 1. Community-acquired pathogen:
kardiovaskular kontraktilitas miokard, Enterococcus, Streptococcus
takikardia, peningkatan bovis, Streptococcus spp,
curah jantung, penurunan Koagulase-negatif, staphylococci,
resistensi vaskuler Coxiella burneti,i Staphylococcus
sistemik(SVR), gangguan aureus,Campylobacter, E. coli,
tanggap terhadap agen jamur
vasopressor, 2. Patogen nosokomial:
sesak napas, ortopnea, Staphylococcus Sp, methicillin-
tekanan vena meningkat resistant S. Aureus, methicillin-
resistant Staphylococcus
epidermidis, methicillin-resistant
Sistem Hipoksemia, sianosis, 1. Community-acquired pathogen: S.
pernapasan takipnea, penggunaan otot pneumoniae, Haemophilus
nafas tambahan, perubahan influenzae, Legionella sp.
sputum(volume, purulensi) 2. Patogen nosokomial: aerobik basil
gram negatif
Sistem Muntah, diare, sakit perut, 1. Community-acquired pathogen:E.
pencernaan Tenderness, gagal hati, coli; Bacteroides fragilis
kolestasis 2. Patogen nosokomial: aerobik
Gram-negatif, basil anaerob
Sistem Disuria, hematuria, nyeri Organisme yang telah disebutkan di
genitourinaria pinggang, gagal ginjal atas

O. Manifestasi Klinis Sepsis


Manifestasi klinis sepsis sangat bervariasi, tergantung pada lokasi awal
infeksi, organisme penyebab, pola disfungsi organ akut, status kesehatan yang
mendasari dan interval sebelum inisiasi pengobatan. Tanda dari infeksi maupun
disfungsi organ sulit dideteksi, beberapa pedoman konsensus internasional baru-
baru ini memberikan daftar panjang tanda-tanda awal terjadinya sepsis seperti
yang tertera pada gambar dibawah ini:5
51
Tabel 4. Tanda-tanda awal terjadinya sepsis
5
Kriteria diagnostik untuk Sepsis, Severe Sepsis dan Septic shock
Sepsis (didokumentasikan atau dicurigai infeksi ditambah ≥ 1 dari berikut)
Variabel umum :
 Demam (suhu > 38,3 ° C)
 Hipotermia (suhu < 36 ° C)
 Denyut jantung meningkat (> 90 denyut per menit atau > 2 SD di atas batas atas
dari kisaran normal untuk usia)
 Takipnea
 Perubahan status mental
 Edema substansial atau keseimbangan cairan positif (> 20 ml / kg berat badan
selama periode 24 jam)
 Hiperglikemia (glukosa plasma > 120 mg / dl [6,7 mmol / liter] tanpa adanya
diabetes)
Variabel inflamasi
 Leukositosis (jumlah sel darah putih > 12.000 / mm )
3

 Leukopenia ( jumlah sel darah putih < 4000/mm )


3

 Neutrofil imatur (batang)> 10 %


 Peningkatan CRP ( > 2 SD di atas batas atas dari kisaran normal )
 Peningkatan procalcitonin plasma (>2 SD di atas batas atas dari kisaran normal)
Variabel hemodinamik
 Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mm Hg atau MAP < 70 mm Hg atau
penurunan TD sistolik > 40 mm Hg pada orang dewasa atau > 2 SD di bawah batas
bawah dari kisaran normal untuk usia)
 Saturasi oksigen vena campuran meningkat (> 70 %)
 Indeks jantung meningkat (> 3,5 liter / menit / meter persegi luas permukaan tubuh)
Variabel disfungsi organ
 Hipoksemia arteri (rasio tekanan parsial oksigen arteri [PaO 2] terhadap fraksi
oksigen inspirasi [FiO2] < 300)
 Oliguria akut (urine output< 0,5 ml / kg / jam atau 45 ml / jam selama minimal 2
jam)
 Kenaikan tingkat kreatinin > 0,5 mg / dl (> 44 umol / liter)
 Kelainan koagulasi (INR > 1,5 aPTT > 60 detik)
 Ileus paralitik (tidak adanya bising usus)
 Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000 / mm )
3

 Hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg / dl [ 68 umol / liter ])


Variabel perfusi jaringan
 Hiperlaktatemia (laktat> 1 mmol / liter)
 Penurunan pengisian kapiler dan mottling
Sepsis berat (sepsis ditambah disfungsi organ)
Syok septik (sepsis ditambah baik hipotensi [refrakter terhadap cairan intravena] atau
hiperlaktatmia)

Disfungsi organ akut yang paling umum mempengaruhi pernapasan dan


sistem kardiovaskular. Kerentanan sistem pernapasan secara klasik bermanifestasi

52
sebagai sindrom gangguan pernapasan (ARDS) yang didefinisikan sebagai
hipoksemia dengan infiltrat bilateral yang tidak berasal dari jantung.6
Kerentanan sistem kardiovaskular dimanifestasikan terutama sebagai
hipotensi atau peningkatan serum laktat. Setelah ekspansi volume yang memadai,
hipotensi sering berlanjut, membutuhkan penggunaan vasopresor dan disfungsi
miokard dapat terjadi. Disfungsi sistem saraf pusat biasanya penurunan
kesadaraan. Pencitraan umumnya tidak menunjukkan lesi fokal dan temuan pada
electroencephalography biasanya berupa ensefalopati nonfocal. Penyakit kritis
polineuropati dan miopati terjadi terutama pada pasien yang lama dirawat di ICU. 5
Gagal ginjal akut dimanifestasikan sebagai penurunan produksi urin dan
peningkatan tingkat serum kreatinin dan sering memerlukan pengobatan dengan
terapi ginjal pengganti. Ileus paralitik, peningkatan aminotransferase,
trombositopenia, disseminated intravascular coagulation, disfungsi adrenal umum
terjadi pada pasien dengan sepsis berat.5

P. Patofisiologi Sepsis
1. Host respose
Infeksi yang memicu respon pejamu yang kompleks, bervariasi dan
berkepanjangan. Mekanisme proinflamasi dan antiinflamasi berkontribusi untuk
melawan infeksi dan pemulihan jaringan namun di satu sisi dan mencederai organ
dan menimbulkan infeksi sekunder lainnya. Respon spesifik setiap pasien
tergantung pada patogen penyebab (jumlah dan virulensi) dan host (karakteristik
genetik dan penyakit penyerta) dengan respon yang berbeda di tingkat lokal,
regional dan sistemik. Respon host dapat saja berubah dari waktu ke waktu secara
paralel bersamaan dengan perubahan klinis.5
Secara umum, reaksi proinflamasi bertujuan menghilangkan patogen serta
dianggap bertanggung jawab menimbulkan efek kerusakan jaringan pada sepsis
berat. Sitokin antiinflamasi penting untuk membatasi cedera jaringan baik lokal
maupun sistemik serta berefek meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
sekunder.5

53
2. Innate Immunity
Patogen mengaktifkan sel-sel kekebalan tubuh melalui interaksi dengan
reseptor pengenalan pola (pattern-recognition receptors). Empat kelas utama
pattern-recognition receptors yang telah teridentifikasi antara lain:5
1. Toll-like receptor
2. C-type lectin receptors
3. Retinoic acid inducible gene1-like receptor
4. Nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors.

Reseptor ini mengenali struktur spesies mikroba sehingga disebut


pathogen-associated molecular patterns, sehingga menimbulkan peningkatan
regulasi transkripsi gen inflamasi dan menginisiasi imunitas bawaan. Reseptor ini
juga sensitif terhadap molekul endogen yang dilepaskan dari cedera sel sehingga
disebut damage-associated molecular pattern atau alarmins. Alarmins juga
dilepaskan selama cedera steril seperti trauma, sehingga menimbulkan konsep
bahwa patogenesis kegagalan organ multiple pada sepsis dasarnya tidak berbeda
dari penyakit kritis noninfeksi.5

3. Kelainan koagulasi
Sepsis berat hampir selalu dikaitkan dengan perubahan koagulasi, sering
menyebabkan disseminated intravascular coagulation. Kelebihan deposisi fibrin
menyebabkan koagulasi akibat kerja faktor jaringan, seperti glikoprotein
transmembran yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel. Ketidakseimbangan
mekanisme antikoagulasi termasuk efek dari sistem protein C dan antitrombin,
dengan menurunkan bersihan fibrin menyebabkan depresi sistem fibrinolitik
(Gambar 2.2).7
Protease-activated receptor (PARs) membentuk hubungan molekuler
antara koagulasi dan peradangan. Di antara empat subtipe yang telah
diidentifikasi, PAR1 khususnya terlibat dalam sepsis. PAR1 menimbulkan efek
sitoprotektif ketika distimulasi melalui aktifnya protein C atau rendahnya kadar
trombin. Sebaliknya berefek merusak fungsi pertahanan sel endotel diaktifkan
oleh trombin dosis tinggi.7

54
Gambar 6. Respon pejamu pada sespsis berat5

4. Mekanisme antiinflamasi dan imunosupresi


Sistem kekebalan humoral, seluler dan mekanisme neurologi melemahkan
potensi efek berbahaya dari respon proinflamasi. Fagosit dapat beralih ke fenotipe
antiinflamasi yang mempromosikan perbaikan jaringan dan regulasi sel T sebagai
upaya mengurangi peradangan. Selain itu, mekanisme saraf dapat menghambat
inflammasi disebut Neuroinflammatory refleks. Rangsangan sensorik disiarkan
melalui aferen saraf vagus ke batang otak, kemudian eferen saraf vagus
mengaktifkan nervus splenikus pada pleksus coliakus, menghasilkan pelepasan
norepinephrine di limpa dan sekresi asetilkolin oleh selT CD4+. Pelepasan
asetilkolin menargetkan reseptor α7 kolinergik pada makrofag sehingga menekan
pelepasan sitokin proinflamasi.5
Pasien yang bertahan hidup dari sepsis dini namun tetap bergantung pada
perawatan intensif terbukti mengalami imunosupresi, terbukti dengan
berkurangnya ekspresi HLA-DR pada sel myeloid. Pasien ini sering memiliki
fokus infeksi yang sedang berlangsung, meskipun terapi antimikroba atau
55
reaktivasi infeksi virus laten. Beberapa penelitian menyatakan lemahnya respon
leukosit terhadap patogen pada pasien dengan sepsis. Temuan yang baru-baru ini
dikuatkan oleh studi postmortem pada pasien yang meninggal akibat sepsis di
ICU mengungkapkan adanya gangguan fungsi splenosit. Selain limpa, paru-paru
juga menunjukkan bukti imunosupresi, kedua organ meningkatkan ekspresi ligan
untuk penghambatan sel T reseptor pada sel parenkim. Meningkatnya apoptosis
sel B, sel T CD4+ dan sel dendritik folikular, terlibat pada sepsis terkait
imunosupresi dan kematian.5

5. Disfungsi organ
Gangguan oksigenasi jaringan merupakan sebab utama terjadinya
disfungsi organ. Beberapa faktor termasuk hipotensi, kurangnya pembentukan sel
darah merah, dan trombosis mikrovaskuler berkontribusi terhadap kurangnya
suplai oksigen pada syok septik. Peradangan dapat menyebabkan disfungsi
endotel vaskular, disertai dengan kematian sel dan hilangnya integritas barrier,
sehingga menimbulkan edema subkutis. Selain itu, kerusakan mitokondria yang
disebabkan oleh stres oksidatif dan mekanisme lainnya menyebabkan penggunaan
oksigen seluler. Cedera mitokondria melepaskan alarmins kelingkungan
ekstraselular, termasuk DNA mitokondria dan formil peptida, yang dapat
mengaktifkan neutrofil dan menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut.7

56
Gambar 7. Gagal organ pada sepsis berat dan disfungsi endotel vaskular dan
mitokondria5
Kerusakan multiorgan di tingkat seluler tampaknya dipengaruhi oleh
disfungsi dan kerusakan pada mitokondria. Disfungsi dan kerusakan mitokondria
pada sepsis terjadi akibat interaksi patogen-inang, selain juga dipengaruhi
patogenisitas mikroorganisme. Syok yang berkepanjangan dan hipoksia jaringan
dapat menyebabkan disfungsi mitokondria. Pada keadaan sepsis berat, aktivasi
berbagai sel imunitas khususnya neutrofil, serta hipoksia jaringan berkontribusi
terhadap terbentuknya ROS (Reactive Oxidant Specifics). ROS berkontribusi
terhadap kerusakan mitokondria, dan kejadian tersebut memicu pembentukan
ROS lebih banyak lagi, yang juga menyebabkan programming kematian
mitokondria.5,6
Kematian mitokondria terjadi akibat penumpukan ROS yang memicu
sinyal untuk membuka pori-pori membran permeabilitas mitokondria
(Mitochondrial Permeability Transition, MPT), yang menyebabkan edema
matriks mitokondria, ruptur membran luar mitokondria, serta aktivasi kaskade
apoptosis. Namun, kadang tanpa melalui fase MPT, kaskade apoptosis masih

57
dapat dipicu akibat pergerakan faktor pro-apoptosis melalui membran luar
mitokondria (Mitochondrial Outer Membrane Permeabilization, MOMP).5,6

6. Mekanisme yang mendasari disfungsi miocardium pada sepsis


Depresi miokard selama sepsis dapat disebabkan oleh multifaktorial.
Meski demikian, penting bagi kita untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
memperberat dan mekanisme yang mendasari agar membuahkan sasaran terapi
yang bermanfaat.
a. Global Ischemia
Teori awal tentang depresi miokard pada sepsis berdasarkan pada hipotesis
global myocardial ischemia, namun ternyata pasien sepsis mempunyai
aliran darah koroner yang cepat dan perbedaan penurunan oksigen antara
arteri koroner dan sinus koroner. Seperti halnya pada sirkulasi perifer, hal
ini disebabkan oleh gangguan autoregulasi aliran darah atau oksigenasi.
Pasien dengan syok septik menunjukkan perubahan metabolisme yang
kompleks pada miokardium, termasuk ekstraksi laktat yang meningkat,
menurunnya ekstraksi asam lemak bebas, penurunan ambilan glukosa,
peningkatan fosfat di miokardium dan hibernasi miokard. Meskipun semua
temuan tersebut di atas mencerminkan perubahan penting dalam aliran
koroner dan metabolisme miokard, efek lain diamati dalam sirkulasi perifer
selama sepsis, sehingga iskemia global tidak terbukti sebagai penyebab
yang mendasari disfungsi miokard pada sepsis.
Pada pasien sepsis dengan penyakit arteri koroner (CAD) yang sudah ada
sebelumnya dan mungkin tidak terdiagnosa, iskemia atau infark miokard
regional sekunder akibat CAD mungkin telah terjadi. Manifestasi iskemia
miokard karena CAD akan dipermudah oleh perubahan hemodinamik dan
disfungsi mikrovaskuler yang ditimbulkan oleh sepsis. Faktor yang
memperberat CAD pada kondisi sepsis diantaranya adalah inflamasi
menyeluruh dan aktivasi sistem koagulasi.

b. Myocardial Depressant Substance


58
Parrillo dkk, secara kuantitatif mengkaitkan derajat klinis disfungsi miokard
pada kondisi sepsis dengan efek serum yang diambil dari pasien sepis.
Tingkat kondisi klinis berkorelasi kuat dengan besarnya penurunan dan
kecepatan pemendekan miosit. Setelah dilakukan perluasan penelitian,
diperoleh bahwa indeks kerja ventrikel kiri turun secara bersamaan yang
menunjukkan efek kardiotoksik dan mengandung interleukin (IL0-1, IL-8
dan C3a) yang kadarnya meningkat secara signifikan. Menurut Mink dkk,
agen bakteriolitik yang berasal dari granulosit neutrofilik yang terlepas dan
monosit merupakan mediator yang memberikan efek kardiodepresan selama
kondisi sepsis. Substansi potensial lainnya yang menjadi substansi depresan
miokard, di antaranya: sitokin jenis lain, prostanoid dan NO.
c. Sitokin
Tumor necrosis factor-α (TNF-α) merupakan mediator dini penting pada
syok yang dipicu oleh endotoksin. TNF-α berasal dari makrofag yang
teraktivasi, namun studi terbaru menunjukkan bahwa TNF-α juga disekresi
oleh miosit jantung sebagai respon terhadap sepsis. Meskipun aplikasi
antibodi anti TNF-α memperbaiki fungsi ventrikel kiri pada pasien dengan
syok septik, penelitian selanjutnya menggunakan antibodi monoklonal yang
ditujukan langsung pada TNF-α atau reseptor TNF-α terlarut, gagal
meningkatkan angka harapan hidup pasien sepsis.7
IL-1 disintesis oleh monosit, makrofag, neutrofil sebagai respon terhadap
TNF-α dan berperan penting pada respon imun sistemik. IL-1 akan menekan
kontraktilitas jantung dengan cara merangsang NO sintase (NOS). Pada
penelitian klinik, IL-1 dapat meningkatkan angka harapan hidup pada pasien
dengan sepsis, namun terapi yang pada awalnya menjanjikan ini gagal
menghasilkan manfaat yang signifikan pada kemampuan kelangsungan
hidup. IL-6 yang merupakan sitokin pro inflamasi lain juga terlibat dalam
patogenesis sepsis dan dianggap sebagai prediktor sepsis yang lebih cocok
dibandingkan TNF-α karena peningkatannya di dalam sirkulasi berlangsung
dalam waktu yang lama. Meskipun sitokin memiliki peran penting dalam
penurunan kontraktilitas, namun tidak dapat menjelaskan mengapa disfungsi
59
miokard berlangsung lama pada sepsis dan substansi ini hanya memicu atau
melepaskan faktor tambahan yang mempengaruhi fungsi miokard seperti
prostanoid atau NO.7
d. Prostanoid
Prostanoid dihasilkan oleh enzim siklooksigenase dari asam arakidonat.
Ekspresi enzim siklooksigenase-2 dirangsang oleh lipopolisakarida (LPS)
dan sitokin. Pada pasien sepsis dijumpai peningkatan kadar prostanoid
seperti tromboksan dan prostasiklin yang berpotensi mempengaruhi
autoregulasi koroner, fungsi endotel koroner dan aktivasi leukosit intra
koroner. Penelitian pada hewan dengan memberikan siklooksigenase
inhibitor seperti indometasin memberikan hasil yang menjanjikan., begitu
juga dengan ibuprofen dan lornoxicam, tapi penelitian tersebut tidak
menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup pada kelompok pasien yang
mendapat terapi.8
e. Endothelin-1
Upregulasi endothelin-1 (ET-1) dijumpai dalam waktu 6 jam setelah syok
septik yang dipicu oleh LPS. Ekspresi berlebihan ET-1 di dalam jantung
akan memicu peningkatan sitokin inflamasi (termasuk TNF-α, IL-1, IL-6),
infiltrasi inflamasi interstisial, dan kardiomiopati yang kemudian dapat
menyebabkan gagal jantung dan kematian. Keterlibatan ET-1 pada disfungsi
miokard didukung oleh tezosentan, yakni antagonis reseptor endotelin-A
dan B, dapat memperbaiki indeks kardiak, stroke volume, dan kerja
ventrikel kiri pada syok endotoksemik. Meskipun ET-1 telah terbukti
berperan penting dalam patofisiologi berbagai penyakit jantung melalui efek
autokrin, endokrin atau parakrin, namun dampaknya pada disfungsi miokard
terkait sepsis perlu diteliti lebih jauh untuk menilai potensi terapeutik
antagonis reseptor ET-1.11
f. Nitric Oxide
Nitric Oxide (NO) menghasilkan banyak efek biologi pada sistem
kardiovaskular. Substansi ini mengatur fungsi jantung pada kondisi
fisiologik dan menimbulkan banyak efek pada kondisi patologik. Pada
60
pemberian NO dosis rendah dapat meningkatkan fungsi ventrikel kiri,
namun pada pemberian dosis tinggi terbukti dapat memicu gangguan
kontraksi dengan menekan pembentukan energi di dalam miokard. NO
endogen berperan menghasilkan fase tidur sebagai respon dari kondisi
iskemia miokard dan juga sebagai modulator penting pada iskemia miokard.
Sepsis akan menyebabkan ekspresi inducible NOS (iNOS) pada miokard,
diikuti produksi NO dalam jumlah besar, yang selanjutnya berperan penting
dalam disfungsi miokard. Hambatan terhadap NOS dapat mengembalikan
stroke volume dan output jantung setelah penyuntikan LPS. Pada pasien
sepsis, infus metilen blue, penghambat nonspesifik NOS dapat memperbaiki
tekanan arteri rata-rata, stroke volume, meningkatkan kerja ventrikel kiri
dan mengurangi kebutuhan akan inotropik, tetapi kesemuanya ini tidak
mengubah outcome. Walaupun NO berperan pada patogenesis disfungsi
kardiovaskular oleh sepsis, namun mekanisme yang pasti masih belum jelas
dan perlu diteliti lebih jauh.3
g. Adhesion Molecules
Upregulasi ekspresi intercellular adhesion molecule-1(ICAM-1) dan
vascular cell adhesion molecule-1(VCAM-1) di permukaan sel dijumpai
pada kardiomiosit dan endotel koroner murine setelah stimulasi TNF-α dan
LPS. Ekspresi ICAM-1 pada miokard mengalami peningkatan. Hambatan
VCAM-1 dengan antibiotik terbukti dapat mencegah disfungsi miokard dan
menurunkan akumulasi neutrofil pada miokard, sedangkan pemberian
antibodi dapat menghilangkan dan menghambat ICAM-1 dan memperbaiki
disfungsi miokard pada endotoksemia tanpa mempengaruhi akumulasi
neutrofil.3
h. Cardiac troponins
Troponin (Tn) jantung adalah protein regulator dari filamen aktin. TnI dan
TnT muncul akibat cedera pada sel miokard dan sebagai penanda yang
sangat sensitif dan spesifik pada kerusakan miokard. Pengukuran Tn secara
serial digunakan untuk diagnosis dan stratifikasi resiko pasien dengan
sindroma koroner akut. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
61
peningkatan Tn pada pasien sepsis dapat memperkirakan adanya disfungsi
miokard dan peningkatan rata-rata mortalitas. Dalam beberapa studi pada
pasien sepsis, 43-50% terjadi peningkatan TnI secara signifikan. Adanya
hubungan signifikan antara TnI dengan penurunan fraksi ejeksi dan
peningkatan Tn yang dihubungkan dengan disfungsi ventrikel kiri telah
banyak dibuktikan. Penggunaan Tn untuk mengidentifikasi sepsis dengan
disfungsi miokard terbatas karena banyaknya kondisi lain yang dapat
mengakibatkan peningkatan Tn. Dengan demikian, tidak ada bukti untuk
mendukung penggunaan inotropik pada pasien dengan Tn yang meningkat
dalam upaya untuk meningkatkan kinerja miokard. Peningkatan Tn pada
pasien dengan sepsis dihubungkan dengan prognosis yang jelek, terlepas
dari penyebab dasarnya.11

Q. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan awal syok septik adalah memberikan resusitasi
kardiorespirasi dan mengurangi ancaman langsung infeksi yang tidak terkontrol.
Resusitasi membutuhkan cairan intravena dan vasopressor dengan terapi oksigen
serta ventilasi mekanik yang disediakan seperlunya. Komponen yang tepat
diperlukan untuk mengoptimalkan resusitasi, seperti pilihan dan jumlah cairan,
jenis yang sesuai dan intensitas pemantauan hemodinamik, dan peran penunjang
agen vasoaktif.7
Pemberian antibiotik dengan cepat dan adekuat disertai operasi
pengangkatan fokus infeksi, merupakan tindakan utama dan satu-satunya terapi
yang ditujukan pada penyebab sepsis. Setiap keterlambatan dalam hitungan jam
dalam pemberian terapi antibiotik yang tepat pada syok septik akan meningkatkan
angka kematian sebesar 7%. Beberapa studi menunjukkan frekuensi mengejutkan
pada percobaan prospektif besar yang lebih dari 2.000 pasien, pengobatan dengan
antibiotik yang tidak sesuai dengan mikroorganisme penyebab terbukti resisten
pada 32% dari pasien. Kematian berkurang dari 34% menjadi 18% ketika
antimikroba yang tepat diresepkan pada onset sepsis.8,7

62
Pada pertemuan tingkat internasional tentang “surviving sepsis campaign”
memutuskan bahwa early goal directed therapy (EGDT) untuk pasien sepsis
adalah meregulasi anti inflamasi, memperbaiki preload, afterload dan
kontraktilitas jantung sehingga hantaran oksigen ke jaringan menjadi optimal,
atasi gangguan keseimbangan elektrolit, mendeteksi dan mengobati hipoksia
jaringan secara cepat sebelum kerusakan organ menjadi irreversible. Terapi
suportif seperti resusitasi cairan, vasopresor dan inotropik, tranfusi darah, ventilasi
mekanik bahkan upaya suportif bagi ginjal dapat diberikan.8
Selain itu, ada beberapa obat yang banyak diteliti manfaatnya terhadap
sepsis, diantaranya: statin, protein C teraktivasi, antibodi anti-TNF-α.. Statin
memiliki manfaat teraputik tanpa tergantung pada efek penurunan kolesterol, yang
disebut dengan efek pleotropik. Efek pleotropik ini mencakup sifat anti inflamasi
dan antioksidatif, perbaikan fungsi endotel dan peningkatan bioavailabilitas NO.
Yoshida dkk melaporkan kalau statin menurunkan ekspresi molekul adhesi,
endotel dan monosit. Berkat dampak kekuatan statin pada inflamasi, maka statin
mungkin merupakan terapi baru. Menurut Hachman dkk, bahwa terapi statin
berkorelasi dengan penurunan angka sepsis.8
Intervensi untuk meningkatkan curah jantung meliputi resusitasi cairan
untuk meningkatkan preload, pemberian inotropik untuk memperbaiki
kontraktilitas jantung, serta pemberian vasopresor (atau vasodilator) untuk
optimalisasi afterload. Konten oksigen arterial dapat ditingkatkan dengan
transfusi Packed Red Cell (PRC) dan meningkatkan SaO2 dengan terapi oksigen.3
Pada keadaan hipoksia jaringan berat akan disertai dengan menurunnya
cadangan ATP seluler, sehingga menyebabkan gangguan integritas membran sel
yang selanjutnya menimbulkan edema (MPT) serta nekrosis sel. Berbeda dengan
apoptosis, nekrosis sel menginduksi respon inflamasi lokal dan sistemik, sehingga
memperberat keadaan.5,6
Oleh karena itu, semakin jelas bahwa terapi secara dini yang difokuskan
terhadap stabilisasi hemodinamik untuk mencegah terjadinya global tissue
hypoxia dapat mencegah onset terjadinya disfungsi multiorgan yang bertanggung
jawab terhadap meningkatnya angka mortalitas pasien dengan sepsis. Algoritme
63
berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan untuk mengembalikan dan
mempertahankan denyut jantung ke nilai normal, mencapai waktu pengisian
kapiler < 2 detik, serta menormalkan tekanan darah. Dukungan oksigenasi dan
ventilasi diberikan sesuai dengan indikasi. Target-target berikutnya diharapkan
tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan intensif:7
a. Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama
Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidentifikasi pasien
dengan sepsis  berat dan syok septik. Identifikasi dini sangat berhubungan
dengan menurunnya morbiditas dan mortalitas kasus sepsis berat dan syok
septik. Dalam waktu lima menit pertama ini pula secara simultan dilakukan
manajeman jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing), serta
pemasangan akses intravena (circulation).
b. Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik
c. Trias: demam, takikardi dan vasodilatasi umum ditemukan dengan tanda-
tanda infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan diagnosis bila trias di
atas ditemukan, disertai dengan perubahan status mental yang bermanifestasi
sebagai iritabilitas, bingung, mengantuk, hingga penurunan kesadaran yang
lebih dalam. Sepsis berat dan syok septik diketahui berhubungan dengan
hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada susunan saraf pusat akan
menyebabkan gangguan berupa penurunan kesadaran.
d. Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda gangguan
perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler pada sepsis.
Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm shock dan cold shock.
Warm shock ditandai dengan curah jantung yang tinggi, kulit yang hangat dan
kering, serta bounding pulse. Sedangkan cold shock ditandai oleh curah
jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin, serta nadi yang lemah. Stadium
awal syok septik dapat dikenali dengan ditemukannya takikardia, bounding
pulse, serta gangguan kesadaran. Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam.
Pada stadium yang lebih lanjut, dapat ditemukan waktu pemanjangan kapiler,
dan pada stadium akhir ditandai dengan hipotensi.
e. Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen
64
f. Memasang akses intravaskular
g. Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya
h. Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan resusitasi cairan
hingga didapatkan perbaikan perfusi jaringan, dengan pemantauan terhadap
tanda-tanda overload cairan. Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan
metabolik seperti hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit
yang mungkin ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spektrum luas.
i. Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik
‐ Volume cairan resusitasi
‐ Penelitian pada hewan percobaan dengan sepsis berat, didapatkan bahwa
resusitasi cairan hingga 60 mL/kgbb ternyata berhasil memperbaiki curah
jantung, penghantaran oksigen serta stabilitas hemodinamik. Dari
penelitian Han dkk (2003) pada pasien dengan sepsis berat dan syok
septik, didapatkan pula bahwa kelompok non-survivor menerima volume
cairan resusitasi lebih sedikit (20 mL/kgbb) dan kecenderungan
dilanjutkan dengan terapi inotropik.
‐ Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo dkk
melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada pasien pediatrik
dengan syok septik yang diberikan dalam 1 jam pertama, pemberian cairan
resusitasi secara cepat dengan volume di atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 +
19 mL/kgbb) berhubungan dengan outcome (survival) yang lebih baik.
Pemberian cairan secara cepat juga tidak berhubungan dengan kejadian
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
‐ Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu resusitasi cairan
inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb
selama 5-10 menit, dititrasi dengan pemantauan klinis terhadap curah
jantung, dalam hal ini meliputi denyut jantung, produksi urin, waktu
pengisian kapiler, dan derajat kesadaran. Biasanya defisit cairan cukup
besar sehingga awal resusitasi memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb,
namun dapat mencapai hingga 200 mL/kgbb. Pemantauan terhadap tanda-
tanda overload cairan yaitu dengan memperhatikan adanya onset baru
65
hepatomegali, bertambahnya usaha nafas dan bertambahnya berat badan
lebih dari 10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan
lain untuk mengatasi overload cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila
didapatkan oliguria, atau continuous renal replacement therapy (CRRT)
bila diperlukan.
‐ Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan Maitland
(2004) didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian kapiler > 3 detik
merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi cairan, sehingga cukup
prediktif digunakan sebagai alat untuk menilai adekuatnya terapi cairan
yang diberikan pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik.

66
Gambar 8. Early Goal Directed Therapy (EGDT)

67
R. Prognosis
Sekitar 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40-60% pasien dengan
syok septik meninggal dalam waktu 30 hari dan lainnya meninggal dalam 6 bulan
berikutnya. Kematian sering disebabkan oleh kontrol infeksi yang kurang,
imunosupresi, komplikasi dari perawatan intensif, kegagalan organ multipel, atau
penyakit yang mendasari.8
Rendahnya stroke volume setelah resusitasi menunjukkan bahwa terjadi
kegagalan pembuluh darah perifer dan dapat menjadi faktor penyebab kematian
karena sepsis. Studi oleh Rhodes dkk menunjukkan kemungkinan menggunakan
tes stress dobutamine untuk menentukan outcome, dimana pasien yang tidak
berhasil selamat ditandai dengan penurunan respon inotropik. Pada 24 jam sejak
timbulnya sepsis, indeks resistensi vaskular sistemik > 1529 dyne, denyut jantung
< 95x/menit atau penurunan denyut jantung > 18x/menit, dan indeks kardiak > 0,5
L.mn menunjukkan survival.6

S. Sepsis et causa cholelithiasis


Manifestasi klinik dari batu empedu dapat berupa nyeri episodik (kolik
bilier), inflamasi akutdi kandung empedu (kolesistitis akut) atau inflamasi di
saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi-komplikasi akibat migrasi batu
empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang
dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.12
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang
tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus,
batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus
sistikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi
infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat

68
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat
lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal.
Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Pada batu duktus
koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai
tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul
serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala
klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang
ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai
dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus.
Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik,
akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah
syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.

69
DAFTAR PUSTAKA

1. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery


13th edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.
3. http://www.artikelkeperawatan.info/materi-kuliah-batu-empedu-171.html
4. Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape. com/article/175667-overview.
5. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2000. In : Color Atlas of
Pathophysiology. New York : Thieme,p:164-7.
6. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 1. 1997. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 767-73.
7. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
8. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary
Surgery. In : Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington
: Lippincott Williams & Wilkins.
9. Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in:
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.
10. British Journal of Anesthesia. Anesthesic Management in Patients With
Severe Sepsis. Cited May 2013.
11. Merx MW dan Weber C. Sepsis and the heart. Circulation. 2007. 116 : 793
– 802.
12. Tannehill D. Treating Severe Sepsis & Septic Shock in 2012. J Blood
DisordTransfus. 2012. 84 : 1-6.
13. Angus DC dan Poll VD.Review Article : Severe Sepsis and Septic Shock.
N ENGL J Med. 2013. 369 (9) : 840-848.
14. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM et al.
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Society of Critical Care Medicine
70
and the European Society of Intensive Care Medicine. 2013. 41(2): 580-
635.
15. Annane D, Bellissant E and Cavaillon JM. Seminar : Septic shock .Lancet.
2005. 365: 63–78.
16. Pohan HT and Chen K. Penatalaksanaan Syok Septik. Dalam Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M dan Setiati S (eds.). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : InternaPublishing. 2010
17. Kontra JM. Evidence-Based Management of Severe Sepsis and Septic
Shock. The Journal of Lancaster General Hospital.2006. 1(2): 39-46.
18. Widodo D and Pohan HT. Bunga Rampai Penyakit Infeksi. Jakarta:2004:
h.54-88.
19. Eissa D, Carton EG dan Buggy DJ. Review article : Anaesthetic
management of patients with severe sepsis. British Journal of Anaesthesia.
2010. 105(6) :735-743.
20. Malet P.F. Complications of Chole- lithiasis, dari Liver and
BiliaryDiseases, Edisi II, hal 673-691, Editor Kaplowitz N., Williams &
Wilkins,1996

71

Anda mungkin juga menyukai