DISUSUN OLEH:
RESIDEN PEMBIMBING
dr. Corine Niswara dr. Amiroh Kurniati, M.Kes , Sp.PK
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
1
Mengetahui dan menyetujui,
BAB I
PENDAHULUAN
Batu empedu merupakan batu yang terdapat pada kandung empedu atau
pada saluran empedu atau bisa pada keduanya. Beberapa penelitian sebelumnya
telah menunjukkan bahwa faktor risiko penyakit batu empedu adalah
multifaktorial. Faktor risiko yang mempengaruhi terbentuknya penyakit batu
empedu adalahusia, jenis kelamin, faktor genetik, kegemukan, diet tinggi lemak
rendah serat, kehamilan, peningkatan kadar lemak darah, penurunan berat badan
yang cepat, penyakit kencing manis. Selama ini dinyakini penyakit batu empedu
terjadi pada kelompok risiko tinggi yang disebut sebagai “4 F”: forty (usia diatas
40 tahunlebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty
(orang gemuk lebih berisiko). Namun dewasa ini kecenderungan kelompok risiko
tinggi mulai berubah. Dalam beberapa penelitian didapatkan fakta yang
berbeda.Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting
di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian secara klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (Lesmana, 2014).
Di Amerika Serikat setiap tahunnya tercatat 700.000 dilakukan prosedur
kolesistektomi dengan biaya hingga 6,5 milyar dolar (Shaffer, 2006; Chen, 2014).
Insiden batu empedu di negara Barat adalah 20% dan kebanyakan menyerang
2
orang dewasa dan lanjut usia (Sjamsuhidayat, 2010). Sedangkan di Taiwan batu
empedu menjadi masalah kesehatan utama dengan peningkatan prevalensi 4,3%
pada tahun 1989 hingga 10,7% pada tahun 1995 (Hung SC, 2011). Sampai saat ini
di Indonesia belum ada data yang valid mengenai angka kejadian penyakit batu
empedu.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu seringkali tidak menimbulkan
keluhan. Walaupun gejala dan komplikasi risiko penyakit batu empedu relatif
kecil akan tetapi dapat menjadi ancaman yang serius jika tidak ditangani dengan
benar. Hal ini akan menimbulkan dampak medis dan biaya kesehatan yang tinggi
(Lesmana, 2014; Chen, 2014). Di Indonesia seiring dengan dilaksanakan Sistem
Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS, upaya preventif dan deteksi dini batu
empedu sangatlah krusial dalam menekan tingginya biaya kesehatan.
Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia
karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi.
Penelitian yang dilakukan di Inggris pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2010
oleh Mc. Pherson et al. (2013) menyatakan bahwa 1 dari 20 kematian yang terjadi
di Inggris diakibatkan oleh sepsis, dengan prevalensi kejadian sebesar 5,5% untuk
wanita dan 4,8% untuk pria. Angka kejadian sepsis yang dilaporkan di Amerika
tercatat 750.000 setiap tahunnya dan kematian sekitar 2% kasus terkait dengan
kejadian severe sepsis (Angus & Poll, 2013). Penelitian yang dilakukan di
Indonesia mengenai sepsis diantaranya yang dilakukan di Rumah Sakit (RS) Dr.
Soetomo pada tahun 2012 mengenai profil penderita sepsis akibat bakteri
penghasil extended-spectrum beta lactamase (ESBL) mencatat bahwa kematian
akibat sepsis karena bakteri penghasil ESBL adalah sebesar 16,7% dengan rerata
kejadian sebesar 47,27 kasus per tahunnya.
Penelitian tersebut melaporkan bahwa 27,08% kasus adalah sepsis berat,
14,58% syok sepsis dan 53,33% kasus adalah kasus sepsis (Irawan et al., 2012).
Sepsis diawali dengan adanya kejadian systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) yang disertai dengan infeksi. Walaupun kejadian sepsis ditandai dengan
adanya infeksi namun tidak selamanya terdapat bakteremia. Kejadian tersebut
3
dimungkinkan karena adanya endotoksin maupun eksotoksin di dalam darah
sedangkan bakterinya berada di dalam jaringan (Guntur, 2008).
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram positif yang menghasilkan
eksotoksin, bakteri gram negatif yang menghasilkan endotoksin, virus maupun
jamur. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa penyebab sepsis terbesar
adalah bakteri gram negatif. Sebuah studi epidemiologi melaporkan bahwa dari
14.000 pasien sepsis yang dirawat di intensive care unit (ICU) di 75 negara
disebutkan bahwa severe sepsis yang disebabkan karena gram negatif sebesar
62% kasus, gram positif sebesar 47% kasus dan 19% kasus disebabkan karena
jamur (Vincent et al., 2009).
BAB II
STATUS PASIEN
A. Anamnesis
A. Identitas pasien
Nama : Ny. H
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 0138xxxx
Alamat : Karangpandan, Karanganyar
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
MRS : 9 April 2018
B. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas
5
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
B. Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Vital
1. Pernafasan : 18x/menit
2. Tekanan darah : 100/60 mmHg
3. Nadi : 92 x/menit
4. Suhu : 36.7 ºC
5. VAS :4
General Survey
1. KU : sedang, kesan sakit sedang, compos mentis
2. BB : 50 kg
3. TB : 155 cm
4. IMT : 20.81 kg/m2
5. Kulit : ikterik
6. Kepala : bentuk mesocephal, jejas (-)
7. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik
(+/+), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek
cahaya (+/+)
8. Telinga : sekret (-/-)
9. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-)
6
10. Mulut : sianosis (-)
11. Leher : JVP 5+2 cmH2O, pembesaran limfonodi (-)
12. Thoraks : bentuk normochest
13. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis
sinistra tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,
bising (-)
14. Pulmo
Inspeksi : normochest, pengembangan dada kanan sama
dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri
tekan (-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-)
15. Abdomen
Inspeksi : distended (+), dinding perut sejajar dari dinding
dada
Auskultasi : bising usus (+) 11x/ menit normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan regio hipochondrica dextra (+),
hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
16. Genitourinaria : BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-)
17. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -
7
C. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Lab Darah 09/04/18
8
Foto Thorax 09/04/2018
9
Cor: besar dan bentuk normal
Pulmo: Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, coracan bronkovaskuler
normal
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trachea di tengah
Sistema tulang tampak baik
Kesimpulan: Cor dan paru tak tampak kelainan
10
USG Abdomen 09/04/2018
D. Assessment
Jaundice post cholesistektomi 1 tahun yang lalu
11
Colic bilier
E. Expertise Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium kesan anemia hipokromik mikrositik,
leukositosis, SGOT meningkat, SGPT meningkat, hiperbilirubinemia,
hiponatremia, hipokalemi, dan hipoklorida.
F. Plan
1. MRS bangsal
2. Perbaikan KU
3. Cari status lama pasien
4. Transfusi 2 kolf PRC di ruangan
5. Infus NaCl 0.9 % 20 tpm
6. Inj. Metamizole 1 gr/8 jam
7. Inj. Ranitidine 50g/12 jam
Follow Up
Tanggal S O A P
10 April Nyeri perut KU sedang, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 Jaundice post Infus NaCl
(+) menurun, Vital Sign:
cholesistekto 0,9% 20 tpm
mual (-), TD 120/70 mmHg Inj.
HR 92x mi 1 tahun
muntah (-). Metamizole
RR 20x yang lalu
1gr/8 jam
12
T 36,7oC Colic bilier Inj. Ranitidine
50gr/12jam
Jaundice (+) Koreksi KCl
R. Abdomen: 50 mEq dalam
Distended (+), BU NaCl 0.9%
(+) 10x/menit, NT Cek lab post
(+) kanan atas transfusi
Tanggal S O A P
11 April Nyeri perut KU sedang, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 Jaundice Infus NaCl
(+) menurun, Vital Sign:
post 0,9% 20 tpm
mual (-), TD 120/60 mmHg Inj. Metamizole
HR 82x cholesistekto
muntah (-). 1gr/8 jam
RR 16x mi 1 tahun
Inj. Ranitidine
T 36,7oC yang lalu 50gr/12jam
Colic bilier Koreksi KCl 20
Jaundice (+)
mEq dalam
R. Abdomen: NaCl 0.9%
Distended (+), BU Cek lab post
(+) 8x/menit, NT koreksi
(+) kanan atas
13
Hasil pemeriksaan Lab Darah 11/04/2018
Tanggal S O A P
12 April Nyeri perut KU sedang, CM
Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 - Jaundice post Infus RL 0,9%
(+) menurun, Vital Sign:
20 tpm (loading
mual (-), TD 110/60 mmHg cholesistektomi 1 RL 500 cc)
HR 90x tahun yang lalu
muntah (-) Inj. Metamizole
RR 20x - Colic bilier
1gr/8 jam
T 36,7 C
o
Inj. Ranitidine
Jaundice (+) 50gr/12jam
Pasang DC
R. Abdomen:
Distended (+),
BU (+) 9x/menit,
NT (+) kanan atas
Tanggal S O A P
13 April Nyeri perut KU lemah, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 -Jaundice post Infus RL 20 tpm
(+), mual Vital Sign:
cholesistektomi Inj. Metamizole
14
(-), muntah TD 120/60 mmHg 1 tahun yang 1gr/8 jam
HR 72x lalu Inj. Ranitidine
(-)
RR 16x -Colic bilier 50gr/12jam
T 36,7oC Foto abdomen 3
posisi
Jaundice (+) Pasang NGT
R. Abdomen: Pindah RGB
Distended (+), BU (+) Pemeriksaan lab
10x/menit, NT (+) pre operasi
kanan atas
15
Kesimpulan:
1. Ileus obstruktif letak tinggi
2. Tak tampak perforasi
3. Dilatasi gaster
4. Hepatomegaly
5. Fecal material prominent
16
Tanggal S O A P
14 April Nyeri perut KU lemah, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 Jaundice post Perbaikan KU
(+), mual Vital Sign:
TD 120/65 mmHg cholesistektom Awasi
(-), muntah KU/VS/GCS
HR 98x i 1 tahun yang
(-) Infus NaCl
RR 16x lalu
0,9% :
T 37,7oC Post Aminofluid:
laparotomi D5% = 1:1:1/24
Jaundice (+)
eksplorasi ec jam
R. Abdomen: ileus Infus Kabiven 1
I: Distended (+) obstruktive H 1 fl/24 jam
A: BU (+) SIRS Inj. Meropenem
10x/menit 1 g/12 jam
P: timpani Inj. Ranitidine
P: nyeri tekan (+) 50gr/12jam
kanan atas Transfusi FFP 2
kolf/hari
Koreksi
plasbumin 25%
100 cc
15 April Nyeri perut KU sedang, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 Jaundice post Perbaikan KU
(+), mual Vital Sign:
TD 110/65 mmHg cholesistektom Awasi
(-), muntah KU/VS/GCS
HR 103x i 1 tahun yang
(-) Infus NaCl
RR 18x lalu
0,9% :
T 37,7oC Post Aminofluid :
laparotomi D5% = 1:1:1/24
Jaundice (+)
eksplorasi ec jam
R. Abdomen: ileus Infus Kabiven 1
I: Distended (+) obstruktive H 2 fl/24 jam
A: BU (+) SIRS Inj. Meropenem
11x/menit 1 g/12 jam
P: timpani Inj. Ranitidine
P: nyeri tekan (+) 50gr/12jam
kanan atas
Tanggal S O A P
17 April Nyeri perut KU lemah, CM Bedah Digestif: Bedah Digestif:
18
2018 (+), mual Vital Sign: Jaundice post Perbaikan
TD 105/65 mmHg cholesistekto KU
(-), muntah
HR 102x mi 1 tahun Awasi
(-) RR 16x KU/VS/GCS
yang lalu
T 38,2oC Infus NaCl
Post
0,9% :
Jaundice (+) laparotomi Aminofluid :
eksplorasi ec D5% =
R. Abdomen:
I: Distended (+) ileus 1:1:1/24 jam
A: BU (+) obstruktive H Infus
9x/menit 4 Kabiven 1
P: timpani SIRS fl/24 jam
P: nyeri tekan (+) Inj.
kanan atas Meropenem
1 g/12 jam
Inj.
Ranitidine
50gr/12jam
Lavement
(fleet
enema)/ 24
jam
Cek Ur/Cr
ulang +
darah
lengkap
Kultur darah
Transfusi TC
2 kolf
Koreksi
Plasbumin
25% 100 cc
19
Eritrosit 3.90 juta/µl 4,10 – 5,30
INDEX ERITROSIT
MCV 87.1 /um 80-96
MCH 27.0 Pg 28-33
MCHC 31.0 g/dl 33-36
RDW 13.8 % 11.6-14.6
MPV 8.1 Fl 7.2-11.1
PDW 19 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.10 % 0.00 – 4.00
Basofil 1.90 % 0.00 – 2.00
Neutrofil 91.90 % 55.00 – 80.00
Limfosit 4.30 % 22.00 – 44.00
Monosit 1.80 % 0.00 – 7.00
KIMIA KLINIK
Albumin 2.0 g/dl 3.5 - 5.2
Creatinine 3.3 mg/dl 0.9 - 1.3
Ureum 172 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 130 Mmol/L 136 - 145
Kalium darah 4.5 Mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida darah 104 Mmol/L 98 - 107
Tanggal S O A P
18 April Nyeri perut KU lemah, Bedah Digestif: Bedah Digestif:
2018 somnolen Jaundice post Perbaikan
(+), mual (-),
cholesistekto KU
muntah (-) Vital Sign: Awasi
TD 90/60 mmHg mi 1 tahun
KU/VS/GCS
HR 110x yang lalu
Infus NaCl
RR 21x Post 0,9% :
T 36,7oC laparotomi Aminofluid :
eksplorasi ec D5% =
20
ileus 1:1:1/24 jam
Jaundice (+) obstruktive H Infus
5 Kabiven 1
R. Abdomen:
fl/24 jam
I: Distended (+) SIRS
Inj.
A: BU (+)
Meropenem
8x/menit
1 g/12 jam
P: timpani
P: nyeri tekan (+) Inj.
kanan atas Ranitidine
50gr/12jam
Lavement
(fleet
enema)/ 24
jam
Cek Ur/Cr
ulang +
darah
lengkap
Menunggu
hasil kultur
darah
Pukul 11.00
- Pasien Apneu
- TD 110/80 mmHg , HR 35x/menit, RR 2x dalam 1 menit
- EKG : sinus bradikardi, idioventricular rhytm
- Pemberian SA 0.5 mg (2 ampul)
Pukul 11.20
- Return of spontaneous circulation
- TD 90/50 , HR 79x/menit
- EKG sinus bradikardi
21
- Syringe pump dobutamine 5 – 10 mcg/kgBB/menit
Pukul 11.25
- TD 110/70 , HR 32x/menit
- EKG sinus bradikardi
- SA 0.5 mg (2 ampul)
Pukul 11.30
- TD 120/80 , HR 35x/menit
- EKG sinus bradikardi
- SA 0.5 mg (2 ampul)
Pukul 11.50
- TD tidak terukur, HR 35x/menit
- EKG sinus bradikardi
- SA 0.5 mg (2 ampul)
Pukul 11.55
- TD tidak terukur, HR 31x/menit
- EKG sinus bradikardi
- SA 0.5 mg (2 ampul) total SA 10 ampul
Pukul 12.00
- TD tidak terukur , nadi tidak teraba, pupil midriasis maksimal
- EKG asistol
- Pasien dinyatakan meninggal di hadapan keluarga, perawat, dan residen
22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kolelitiasis
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu
empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya.1,2
26
Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak
dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses
koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
1. Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
2. Neurogen :
a. Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase
Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-
intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
b. Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai
ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti
batu.
27
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada
dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja
kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian
besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali
oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses
dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi
disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam
empedu akan terganggu.4
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme
dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole
menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di
dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat
oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi
pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yang terbentuk sangat banyak4.
E. Epidemiologi Kolelitiasis
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang
orang dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak
28
berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu
1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka
kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi
garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
4. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia
dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
5. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik
29
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.6
F. Etiologi
1. Batu Kolestrol
Batu kolestrol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras
Eropa, penduduk asli Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko
lainnya : Obesitas, kehamilan, kandung empedu yang statis, obat, dan
keturunan.
Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM, hiperlipidemia
sangat berhungan dengan peningkatan sekresi kolestrol dan merupakan
faktor risiko major dari terjadinya batu kolesterol.
Batu kolestrol lebih sering pada wanita dengan kehamilan yang
berulang. Karena tingginya progesterone. Progesteron menurunkan
motilitas kandung empedu, sehingga terjadi retensi dan meningkatnya
kosentrasi empedu pada kandung empedu. Penyebab lain statisnya
kandung empedu, pemberian nutrisi secara parenteral, penurunan berat
badan yang cepat (diet, gastric bypass surgery).1,2
Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolestrol.
Clofibrate atau golongan –fibrate meningkatkan eliminasi kolestrol via
sekresi empedu. Analog somatostatin menurunkan proses pengosongan
pada kandung empedu.4
30
2. Batu Pigmen
Batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover.
Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell
anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia.3,6
Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal menyebabkan
splenomegali, sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari
penderita sirosis memiliki batu pigmen.4
G. Patogenesis Kolelitiasis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis
empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif,
perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri
dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu,
melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu.
Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu,
terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu
banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu
sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik
mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam
tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam
waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.
31
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.7
35
I. Manifestasi klinis
1. Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
a. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak
memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut
akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun
dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua
pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang
benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5
tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin
dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik.2,5
b. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran
kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung
lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas,
biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit
setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih,
disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. 1,6
c. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu
yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen,
khususnya diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan
akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus
atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut
adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa
serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di
daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi
36
atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung
skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu
makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat
dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan
tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas sewaktu perut
kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya
dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami
kolesistektomi terbuka atau laparoskopik.2,4,8
37
J. Diagnosis
1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah
asintomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang
disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis,
keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa
jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada
30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat
penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.4
2. Pemeriksaan Fisik
a. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau
umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh
ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
b. Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase
tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa
bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas.
Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul
ikterus klinis.4
38
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi
serangan akut.
Alanin aminotransferase (SGOT = Serum Glutamat-Oksalat
Transaminase) dan aspartat aminotransferase (SGPT = Serum
Glutamat-Piruvat Transaminase) merupakan enzim yang disintesis
dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum
sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan
dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu.
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu.
Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran
empedu karena sel ductus meningkatkan sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi.
Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan
lebih lama dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi
vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus,
akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara
parenteral.1,7
b. Pemeriksaan radiologis
i. Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran
yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu
39
yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
40
Gambar 4. Kolelitiasis pada USG4
iii. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup
baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat
batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.4
iv. Kolangiografi transhepatik perkutan
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya
obstruksi dibagian atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran
yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum baru yang "kecil
sekali" Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan
kontraindikasi.4
v. Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic
retrograde kolangiopankreatograft)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus
melalui ampula Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi
obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada beberapa kasus
tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya
41
tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang
menembus duodenum dan sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan
lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan
pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien
yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi
sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP semakin
menarik karena adanya potensi yang 'baik untuk mengobati
penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis
batu duktus koledokus yang tertinggal).8
vi. CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa
hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik).Bila
hasil ultrasound masih meragukan, maka biasanya dilakukan CT
scan.8
vii. MRCP
Magnetic Resonansi Cholangiopancreatografi (MRCP) merupakan
pemeriksaan untuk memperlihatkan sistem billiaris dan pankreas.
Dengan adanya modalitas MRI 1,5 tesla maka modalitas inilah yang
paling baik untuk memperlihatkan sistem billiaris dan pancreas.
Pada dasarnya MRCP adalah pencitraan kandung empedu dan
ductus biliaris baik intra maupun ektra hepatis serta ductus
pancreaticus. Teknik yang digunakan yaitu teknik heavy T2W (TR
4000, TE 801) untuk mendapatkan gambar traktus biliaris tanpa
memasukkan cairan kontras. Pada teknik ini cairan akan tampak
lebih putih karena cairan menghasilkan sinyal yang lebih tinggi
dibandingkan jaringan lunak sekitar yang tampak lebih gelap karena
sinyal yang dihasilkan lebih rendah. Untuk memperlihatkan organ-
organ di abdomen atas juga dibuat sequence yang lain yaitu Axial
T1W, Axial T1 fat sat, Axial T2 fat sat, Coronal T2 fat sat Triphase
3D , Axial T1 fat sat dan Coronal T1 fat sat post kontras.
42
viii. PTC
PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangeography) adalah salah satu
pemeriksaan radiografi untuk memperlihatkan tractus billiary
dengan memasukan bahan kontras media positif menuju ductus
intrahepatica yang dimasukan melalui jarum secara transhepatic dan
dilakukan pra operasi.
Pemeriksaan PTC ini ditunjukan untuk memperlihatkan saluran-
saluran kandung empedu (ductus billiary) yang tidak tampak pada
pemeriksaan OCG (Oral Cholacistografi) dan IVC (Intra Vena
Choledochografi) dengan menggunakan kontras media positif.
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit.
Saat batu tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan.
Biasanya yang dipakai ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu
dapat dimulai dari obat-obatan yang digunakan tunggal atau kombinasi yaitu
terapi oral garam empedu ( asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL.
Terapi tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan
tinggi kandungan kolesterol.
1. Asimptomatik
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa
komplikasi tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu
asimptomatik ialah
a. Pasien dengan batu empedu > 2cm
b. Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi
keganasan
c. Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut
43
Disolusi batu empedu
Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada
manusia, penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi
saturasi kolesterol pada empedu yaitu dengan mengurangi sekresi
kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu pada kandung empedu.
Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-
3 dosis harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan
waktu 6-18 bulan dan berhasil bila batu yang terdapat ialah kecil dan
murni batu kolesterol.
2. Simptomatik
Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara
umum diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu,
kecuali yang terkait usia tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa
kasus empiema kandung empedu, diperlukan drainase sementara untuk
mengeluarkan pus yang dinamakan kolesistostomi dan kemudian baru
direncanakan kolesistektomi elektif. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan,
dan infeksi.
44
Langkah-langkah pada kolesistektomi terbuka:
a. Insisi
Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan
atas, insisi kocher, insisi kocher termodifikasi dan insisi tranverse.
1. Insisi kocher
7. Insisi transverse
45
Kontraindikasi : adanya adhesi dan eksudat.
ii. Metode fundus first
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian
berlanjut pada duktus sistikus.
Indikasi : adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD.4,8
Laparoskopik kolesistektomi
Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya
membutuhkan 4 insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca
operasi juga cepat. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi
lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik,
menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah.
Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi
absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.
Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump
duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris
sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak
terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat
bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan
untuk aktifitas olahraga.6,8
Kolesistostomi
Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema
dan sepsis, yang dapat dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi
adalah penaruhan pipa drainase di dalam kandung empedu. Setelah pasien
stabil,maka kolesistektomi dapat dilakukan.8
Endoscopic sphincterotomy
46
Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada
prosedur ini kanula diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan
mennggunkan spinterectome elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui
sfingter oddi dan bagian CBD yang mengarah ke intraduodenal terbuka
dan batu keluar dan diekstraksi. Prosedur ini terutama digunakan pada
batu yang impaksi di ampula vateri.4,8
L. Definisi Syok
Syok adalah suatu sindrom klinis dimana terdapat kegagalan dalam
pengaturan peredaran darah sehingga terjadi kegagalan untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Kegagalan sirkulasi ini biasanya disebabkan
oleh kehilangan cairan (hipovolemik), karena kegagalan pompa jantung
ataupun karena perubahan resistensi vaskuler perifer.1
Syok secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa jenis.
Berikut adalah tabel singkat mengenai jenis-jenis syok :2
Tabel 1 : Jenis-jenis Syok
Jenis Syok Penyebab
Hipovolemik 1. Perdarahan
2. Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)
3. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah,
obstruksi usus dan lain-lain
Kardiogenik 1. Aritmia
• Bradikardi / takikardi
2. Gangguan fungsi miokard
• Infark miokard akut, terutama infark ventrikel kanan
• Penyakit jantung arteriosklerotik
• Miokardiopati
3. Gangguan mekanis
• Regurgitasi mitral/aorta
• Rupture septum interventrikular Aneurisma ventrikel
massif
• Obstruksi:
Out flow : stenosis atrium
Inflow : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus
47
Obstruktif Tension Pneumothorax
Tamponade jantung
Emboli Paru
Septik 1.Infeksi bakteri gram negative,
Contoh: Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, Enterobacter
serratia, Proteus,
2. Kokus gram positif,
Contoh : Stafilokokus, Enterokokus, dan Streptokokus
Neurogenik • Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang
belakang dan spinal syok (trauma medulla spinalis
dengan quadriflegia atau paraplegia)
• Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan,misal nyeri
hebat
• Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan
obat anestesi
• Rangsangan parasimpatis pada jantung yang
menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Hal ini
terjadi pada orang yang pingsan mendadak akibat
gangguan emosional
• Antibiotilk, contoh : Penisilin, sefalosporin,
Anafilaksis kloramfenikol, polimixin, ampoterisin B
• Biologis, contoh : Serum, antitoksin, peptide, toksoid
tetanus, dan gamma globulin
• Makanan, contoh : Telur, susu, dan udang/kepiting
• Lain-lain Contoh : Gigitan binatang, anestesi local
Nomenklatur mengenai sepsis telah banyak dilakukan, salah satu yang paling
sering digunakan ialah sepsis merupakan kelanjutan dari sebuah sindrom respons
inflamasi sistemik / Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) atau yang
sering disebut sindrom sepsis ditandai dengan 2 dari gejala berikut :3
48
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature
M. Epidemiologi Sepsis
Sepsis berat dan syok septik merupakan masalah kesehatan utama. Angka
kejadian di Amerika Serikat dan Inggris, dilaporkan 66 hingga 132 kasus per
100.000 populasi. Sepsis berat terjadi pada 1-2 % pasien rawat inap dan sebanyak
25 % dari pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Hal ini sering
terjadi pada lansia, immunecompromised dan pasien sakit kritis. Syok septik
merupakan penyebab kematian utama di ICU di seluruh dunia. Sepsis menduduki
urutan kedua penyebab utama kematian pada pasien ICU non - koroner. Angka
49
mortalitas tetap tinggi, yaitu sebesar 30-50 % meskipun kualitas perawatan sudah
meningkat.5,10
N. Etiologi Sepsis
Sepsis berat dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi. Infeksi
adalah penyebab paling umum. Pasien dengan tanda-tanda klinis inflamasi
sistemik (SIRS), penyebab infeksi harus dicari secara aktif. Infeksi yang diperoleh
sebelum masuk rumah sakit lebih mudah dikenali, daripada infeksi nosokomial
pada pasien rawat inap. Infeksi tersering penyebab sepsis meliputi infeksi sistem
saraf pusat (SSP) misalnya meningitis atau ensefalitis, infeksi kardiovaskular
(misalnya endokarditis), infeksi saluran pernafasan (misalnya pneumonia), infeksi
gastrointestinal (misalnya peritonitis) atau infeksi saluran kemih (misalnya
pielonefritis). Meskipun infeksi bakteri adalah penyebab infeksi yang paling
umum, virus dan jamur juga dapat menyebabkan syok septik. Respon sistemik
dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau
hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang
yang berasal dari infeksi lokal.11
Penyebab non infeksi antara lain trauma berat atau perdarahan akut dan
penyakit sistemik, termasuk infark miokard, emboli paru dan sebagainya. Tabel
2.3 merangkum penyebab syok septik dan Tabel 2.4 merangkum penyajian
sindrom sepsis berat, patofisiologi yang mendasari sign and symptomp serta
organisme yang paling sering terlibat.11
Tabel 2. Etiologi syok septik
11
Infeksi Noninfeksi
Infeksi sistem saraf pusat Trauma berat
Infeksi sistem kardiovaskular Perdarahan
Infeksi saluran pernapasan Komplikasi dari operasi
Infeksi ginjal Komplikasi aneurisma aorta
Infeksi saluran pencernaan Infark miokard
Infeksi kulit dan jaringan lunak Emboli paru
Infeksi tulang dan sendi Tamponade jantung
Pankreatitis akut Overdosis obat / racun
Ketoasidosis diabetik
Insufisiensi adrenal
Anafilaksis
Perdarahan subarachnoid
50
luka bakar
Tabel 3. Sindrom sepsis berat, patofisiologi yang mendasari sign and symptomp serta organisme yang paling sering terlibat
11
Sistem yang
Tanda dan gejala Patogen penyebab
terkena
Sistem saraf Kebingungan, mengantuk, 1. Community-acquired pathogen:
pusat lekas marah, koma Streptococcus pneumoniae;
sakit kepala, leher kaku, Neiserria meningitides; Listeria
fotofobia monocytogenes
2. Patogen nosokomial:
Pseudomonas aeruginosa;
Escherichia coli
Sistem Hipovolemia, gangguan 1. Community-acquired pathogen:
kardiovaskular kontraktilitas miokard, Enterococcus, Streptococcus
takikardia, peningkatan bovis, Streptococcus spp,
curah jantung, penurunan Koagulase-negatif, staphylococci,
resistensi vaskuler Coxiella burneti,i Staphylococcus
sistemik(SVR), gangguan aureus,Campylobacter, E. coli,
tanggap terhadap agen jamur
vasopressor, 2. Patogen nosokomial:
sesak napas, ortopnea, Staphylococcus Sp, methicillin-
tekanan vena meningkat resistant S. Aureus, methicillin-
resistant Staphylococcus
epidermidis, methicillin-resistant
Sistem Hipoksemia, sianosis, 1. Community-acquired pathogen: S.
pernapasan takipnea, penggunaan otot pneumoniae, Haemophilus
nafas tambahan, perubahan influenzae, Legionella sp.
sputum(volume, purulensi) 2. Patogen nosokomial: aerobik basil
gram negatif
Sistem Muntah, diare, sakit perut, 1. Community-acquired pathogen:E.
pencernaan Tenderness, gagal hati, coli; Bacteroides fragilis
kolestasis 2. Patogen nosokomial: aerobik
Gram-negatif, basil anaerob
Sistem Disuria, hematuria, nyeri Organisme yang telah disebutkan di
genitourinaria pinggang, gagal ginjal atas
52
sebagai sindrom gangguan pernapasan (ARDS) yang didefinisikan sebagai
hipoksemia dengan infiltrat bilateral yang tidak berasal dari jantung.6
Kerentanan sistem kardiovaskular dimanifestasikan terutama sebagai
hipotensi atau peningkatan serum laktat. Setelah ekspansi volume yang memadai,
hipotensi sering berlanjut, membutuhkan penggunaan vasopresor dan disfungsi
miokard dapat terjadi. Disfungsi sistem saraf pusat biasanya penurunan
kesadaraan. Pencitraan umumnya tidak menunjukkan lesi fokal dan temuan pada
electroencephalography biasanya berupa ensefalopati nonfocal. Penyakit kritis
polineuropati dan miopati terjadi terutama pada pasien yang lama dirawat di ICU. 5
Gagal ginjal akut dimanifestasikan sebagai penurunan produksi urin dan
peningkatan tingkat serum kreatinin dan sering memerlukan pengobatan dengan
terapi ginjal pengganti. Ileus paralitik, peningkatan aminotransferase,
trombositopenia, disseminated intravascular coagulation, disfungsi adrenal umum
terjadi pada pasien dengan sepsis berat.5
P. Patofisiologi Sepsis
1. Host respose
Infeksi yang memicu respon pejamu yang kompleks, bervariasi dan
berkepanjangan. Mekanisme proinflamasi dan antiinflamasi berkontribusi untuk
melawan infeksi dan pemulihan jaringan namun di satu sisi dan mencederai organ
dan menimbulkan infeksi sekunder lainnya. Respon spesifik setiap pasien
tergantung pada patogen penyebab (jumlah dan virulensi) dan host (karakteristik
genetik dan penyakit penyerta) dengan respon yang berbeda di tingkat lokal,
regional dan sistemik. Respon host dapat saja berubah dari waktu ke waktu secara
paralel bersamaan dengan perubahan klinis.5
Secara umum, reaksi proinflamasi bertujuan menghilangkan patogen serta
dianggap bertanggung jawab menimbulkan efek kerusakan jaringan pada sepsis
berat. Sitokin antiinflamasi penting untuk membatasi cedera jaringan baik lokal
maupun sistemik serta berefek meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
sekunder.5
53
2. Innate Immunity
Patogen mengaktifkan sel-sel kekebalan tubuh melalui interaksi dengan
reseptor pengenalan pola (pattern-recognition receptors). Empat kelas utama
pattern-recognition receptors yang telah teridentifikasi antara lain:5
1. Toll-like receptor
2. C-type lectin receptors
3. Retinoic acid inducible gene1-like receptor
4. Nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors.
3. Kelainan koagulasi
Sepsis berat hampir selalu dikaitkan dengan perubahan koagulasi, sering
menyebabkan disseminated intravascular coagulation. Kelebihan deposisi fibrin
menyebabkan koagulasi akibat kerja faktor jaringan, seperti glikoprotein
transmembran yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel. Ketidakseimbangan
mekanisme antikoagulasi termasuk efek dari sistem protein C dan antitrombin,
dengan menurunkan bersihan fibrin menyebabkan depresi sistem fibrinolitik
(Gambar 2.2).7
Protease-activated receptor (PARs) membentuk hubungan molekuler
antara koagulasi dan peradangan. Di antara empat subtipe yang telah
diidentifikasi, PAR1 khususnya terlibat dalam sepsis. PAR1 menimbulkan efek
sitoprotektif ketika distimulasi melalui aktifnya protein C atau rendahnya kadar
trombin. Sebaliknya berefek merusak fungsi pertahanan sel endotel diaktifkan
oleh trombin dosis tinggi.7
54
Gambar 6. Respon pejamu pada sespsis berat5
5. Disfungsi organ
Gangguan oksigenasi jaringan merupakan sebab utama terjadinya
disfungsi organ. Beberapa faktor termasuk hipotensi, kurangnya pembentukan sel
darah merah, dan trombosis mikrovaskuler berkontribusi terhadap kurangnya
suplai oksigen pada syok septik. Peradangan dapat menyebabkan disfungsi
endotel vaskular, disertai dengan kematian sel dan hilangnya integritas barrier,
sehingga menimbulkan edema subkutis. Selain itu, kerusakan mitokondria yang
disebabkan oleh stres oksidatif dan mekanisme lainnya menyebabkan penggunaan
oksigen seluler. Cedera mitokondria melepaskan alarmins kelingkungan
ekstraselular, termasuk DNA mitokondria dan formil peptida, yang dapat
mengaktifkan neutrofil dan menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut.7
56
Gambar 7. Gagal organ pada sepsis berat dan disfungsi endotel vaskular dan
mitokondria5
Kerusakan multiorgan di tingkat seluler tampaknya dipengaruhi oleh
disfungsi dan kerusakan pada mitokondria. Disfungsi dan kerusakan mitokondria
pada sepsis terjadi akibat interaksi patogen-inang, selain juga dipengaruhi
patogenisitas mikroorganisme. Syok yang berkepanjangan dan hipoksia jaringan
dapat menyebabkan disfungsi mitokondria. Pada keadaan sepsis berat, aktivasi
berbagai sel imunitas khususnya neutrofil, serta hipoksia jaringan berkontribusi
terhadap terbentuknya ROS (Reactive Oxidant Specifics). ROS berkontribusi
terhadap kerusakan mitokondria, dan kejadian tersebut memicu pembentukan
ROS lebih banyak lagi, yang juga menyebabkan programming kematian
mitokondria.5,6
Kematian mitokondria terjadi akibat penumpukan ROS yang memicu
sinyal untuk membuka pori-pori membran permeabilitas mitokondria
(Mitochondrial Permeability Transition, MPT), yang menyebabkan edema
matriks mitokondria, ruptur membran luar mitokondria, serta aktivasi kaskade
apoptosis. Namun, kadang tanpa melalui fase MPT, kaskade apoptosis masih
57
dapat dipicu akibat pergerakan faktor pro-apoptosis melalui membran luar
mitokondria (Mitochondrial Outer Membrane Permeabilization, MOMP).5,6
Q. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan awal syok septik adalah memberikan resusitasi
kardiorespirasi dan mengurangi ancaman langsung infeksi yang tidak terkontrol.
Resusitasi membutuhkan cairan intravena dan vasopressor dengan terapi oksigen
serta ventilasi mekanik yang disediakan seperlunya. Komponen yang tepat
diperlukan untuk mengoptimalkan resusitasi, seperti pilihan dan jumlah cairan,
jenis yang sesuai dan intensitas pemantauan hemodinamik, dan peran penunjang
agen vasoaktif.7
Pemberian antibiotik dengan cepat dan adekuat disertai operasi
pengangkatan fokus infeksi, merupakan tindakan utama dan satu-satunya terapi
yang ditujukan pada penyebab sepsis. Setiap keterlambatan dalam hitungan jam
dalam pemberian terapi antibiotik yang tepat pada syok septik akan meningkatkan
angka kematian sebesar 7%. Beberapa studi menunjukkan frekuensi mengejutkan
pada percobaan prospektif besar yang lebih dari 2.000 pasien, pengobatan dengan
antibiotik yang tidak sesuai dengan mikroorganisme penyebab terbukti resisten
pada 32% dari pasien. Kematian berkurang dari 34% menjadi 18% ketika
antimikroba yang tepat diresepkan pada onset sepsis.8,7
62
Pada pertemuan tingkat internasional tentang “surviving sepsis campaign”
memutuskan bahwa early goal directed therapy (EGDT) untuk pasien sepsis
adalah meregulasi anti inflamasi, memperbaiki preload, afterload dan
kontraktilitas jantung sehingga hantaran oksigen ke jaringan menjadi optimal,
atasi gangguan keseimbangan elektrolit, mendeteksi dan mengobati hipoksia
jaringan secara cepat sebelum kerusakan organ menjadi irreversible. Terapi
suportif seperti resusitasi cairan, vasopresor dan inotropik, tranfusi darah, ventilasi
mekanik bahkan upaya suportif bagi ginjal dapat diberikan.8
Selain itu, ada beberapa obat yang banyak diteliti manfaatnya terhadap
sepsis, diantaranya: statin, protein C teraktivasi, antibodi anti-TNF-α.. Statin
memiliki manfaat teraputik tanpa tergantung pada efek penurunan kolesterol, yang
disebut dengan efek pleotropik. Efek pleotropik ini mencakup sifat anti inflamasi
dan antioksidatif, perbaikan fungsi endotel dan peningkatan bioavailabilitas NO.
Yoshida dkk melaporkan kalau statin menurunkan ekspresi molekul adhesi,
endotel dan monosit. Berkat dampak kekuatan statin pada inflamasi, maka statin
mungkin merupakan terapi baru. Menurut Hachman dkk, bahwa terapi statin
berkorelasi dengan penurunan angka sepsis.8
Intervensi untuk meningkatkan curah jantung meliputi resusitasi cairan
untuk meningkatkan preload, pemberian inotropik untuk memperbaiki
kontraktilitas jantung, serta pemberian vasopresor (atau vasodilator) untuk
optimalisasi afterload. Konten oksigen arterial dapat ditingkatkan dengan
transfusi Packed Red Cell (PRC) dan meningkatkan SaO2 dengan terapi oksigen.3
Pada keadaan hipoksia jaringan berat akan disertai dengan menurunnya
cadangan ATP seluler, sehingga menyebabkan gangguan integritas membran sel
yang selanjutnya menimbulkan edema (MPT) serta nekrosis sel. Berbeda dengan
apoptosis, nekrosis sel menginduksi respon inflamasi lokal dan sistemik, sehingga
memperberat keadaan.5,6
Oleh karena itu, semakin jelas bahwa terapi secara dini yang difokuskan
terhadap stabilisasi hemodinamik untuk mencegah terjadinya global tissue
hypoxia dapat mencegah onset terjadinya disfungsi multiorgan yang bertanggung
jawab terhadap meningkatnya angka mortalitas pasien dengan sepsis. Algoritme
63
berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan untuk mengembalikan dan
mempertahankan denyut jantung ke nilai normal, mencapai waktu pengisian
kapiler < 2 detik, serta menormalkan tekanan darah. Dukungan oksigenasi dan
ventilasi diberikan sesuai dengan indikasi. Target-target berikutnya diharapkan
tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan intensif:7
a. Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama
Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidentifikasi pasien
dengan sepsis berat dan syok septik. Identifikasi dini sangat berhubungan
dengan menurunnya morbiditas dan mortalitas kasus sepsis berat dan syok
septik. Dalam waktu lima menit pertama ini pula secara simultan dilakukan
manajeman jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing), serta
pemasangan akses intravena (circulation).
b. Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik
c. Trias: demam, takikardi dan vasodilatasi umum ditemukan dengan tanda-
tanda infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan diagnosis bila trias di
atas ditemukan, disertai dengan perubahan status mental yang bermanifestasi
sebagai iritabilitas, bingung, mengantuk, hingga penurunan kesadaran yang
lebih dalam. Sepsis berat dan syok septik diketahui berhubungan dengan
hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada susunan saraf pusat akan
menyebabkan gangguan berupa penurunan kesadaran.
d. Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda gangguan
perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler pada sepsis.
Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm shock dan cold shock.
Warm shock ditandai dengan curah jantung yang tinggi, kulit yang hangat dan
kering, serta bounding pulse. Sedangkan cold shock ditandai oleh curah
jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin, serta nadi yang lemah. Stadium
awal syok septik dapat dikenali dengan ditemukannya takikardia, bounding
pulse, serta gangguan kesadaran. Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam.
Pada stadium yang lebih lanjut, dapat ditemukan waktu pemanjangan kapiler,
dan pada stadium akhir ditandai dengan hipotensi.
e. Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen
64
f. Memasang akses intravaskular
g. Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya
h. Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan resusitasi cairan
hingga didapatkan perbaikan perfusi jaringan, dengan pemantauan terhadap
tanda-tanda overload cairan. Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan
metabolik seperti hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit
yang mungkin ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spektrum luas.
i. Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik
‐ Volume cairan resusitasi
‐ Penelitian pada hewan percobaan dengan sepsis berat, didapatkan bahwa
resusitasi cairan hingga 60 mL/kgbb ternyata berhasil memperbaiki curah
jantung, penghantaran oksigen serta stabilitas hemodinamik. Dari
penelitian Han dkk (2003) pada pasien dengan sepsis berat dan syok
septik, didapatkan pula bahwa kelompok non-survivor menerima volume
cairan resusitasi lebih sedikit (20 mL/kgbb) dan kecenderungan
dilanjutkan dengan terapi inotropik.
‐ Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo dkk
melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada pasien pediatrik
dengan syok septik yang diberikan dalam 1 jam pertama, pemberian cairan
resusitasi secara cepat dengan volume di atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 +
19 mL/kgbb) berhubungan dengan outcome (survival) yang lebih baik.
Pemberian cairan secara cepat juga tidak berhubungan dengan kejadian
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
‐ Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu resusitasi cairan
inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb
selama 5-10 menit, dititrasi dengan pemantauan klinis terhadap curah
jantung, dalam hal ini meliputi denyut jantung, produksi urin, waktu
pengisian kapiler, dan derajat kesadaran. Biasanya defisit cairan cukup
besar sehingga awal resusitasi memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb,
namun dapat mencapai hingga 200 mL/kgbb. Pemantauan terhadap tanda-
tanda overload cairan yaitu dengan memperhatikan adanya onset baru
65
hepatomegali, bertambahnya usaha nafas dan bertambahnya berat badan
lebih dari 10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan
lain untuk mengatasi overload cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila
didapatkan oliguria, atau continuous renal replacement therapy (CRRT)
bila diperlukan.
‐ Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan Maitland
(2004) didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian kapiler > 3 detik
merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi cairan, sehingga cukup
prediktif digunakan sebagai alat untuk menilai adekuatnya terapi cairan
yang diberikan pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik.
66
Gambar 8. Early Goal Directed Therapy (EGDT)
67
R. Prognosis
Sekitar 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40-60% pasien dengan
syok septik meninggal dalam waktu 30 hari dan lainnya meninggal dalam 6 bulan
berikutnya. Kematian sering disebabkan oleh kontrol infeksi yang kurang,
imunosupresi, komplikasi dari perawatan intensif, kegagalan organ multipel, atau
penyakit yang mendasari.8
Rendahnya stroke volume setelah resusitasi menunjukkan bahwa terjadi
kegagalan pembuluh darah perifer dan dapat menjadi faktor penyebab kematian
karena sepsis. Studi oleh Rhodes dkk menunjukkan kemungkinan menggunakan
tes stress dobutamine untuk menentukan outcome, dimana pasien yang tidak
berhasil selamat ditandai dengan penurunan respon inotropik. Pada 24 jam sejak
timbulnya sepsis, indeks resistensi vaskular sistemik > 1529 dyne, denyut jantung
< 95x/menit atau penurunan denyut jantung > 18x/menit, dan indeks kardiak > 0,5
L.mn menunjukkan survival.6
68
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat
lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal.
Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Pada batu duktus
koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai
tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul
serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala
klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang
ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai
dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus.
Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik,
akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah
syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
69
DAFTAR PUSTAKA
71