Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

SEORANG LAKI-LAKI 39 TAHUN DENGAN ULKUS DIABETES MELLITUS TIPE II


REGIO PEDIS SINISTRA

Oleh:

Abdurrahman Aufa G991905001

Pembimbing Residen

dr. Kunti Dewi Saraswati, M.Kes, dr. Indah Meyliza


Sp.PK

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2021
Laporan Kasus dengan judul:

SEORANG PEREMPUAN USIA 63 TAHUN DENGAN


ULKUS DM PEDIS DEXTRA, DM TIPE 2 TERKONTROL, HIPERTENSI STAGE I,
ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK

Abdurrahman Aufa G991905001

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:


Kamis, 11 Februari 2021

dr. Kunti Dewi Saraswati, M.Kes, Sp.PK


STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. EK
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Karyawan bengkel
Alamat : Jebres, Surakarta, Jawa Tengah
Nomor RM : 013031xx
Tanggal Masuk : 22 Mei 2019
Tanggal Periksa : 29 Mei 2019

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada di Bangsal Bedah RSUD
Dr. Moewardi Surakarta.

Keluhan Utama
Luka di kaki kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan luka di kaki kiri. Luka bermula
ketika kaki pasien terkena knalpot panas 2 bulan SMRS. Luka di kaki kanan membaik
dan mengering, namun luka di kaki kiri semakin lama semakin besar. Awalnya hanya
berdiameter +/- 1 cm dan semakin membesar hingga mencapai ukuran saat ini yakni +/-
berdiameter 8 cm dan menjalar ke sekitar. Luka di kaki kiri berbau, bernanah, kadang-
kadang berdarah. Pasien merasakan kebas pada lukanya, dan tidak merasakan nyeri.
Pada April 2017 pasien sudah menjalani debridement luka di RSDM.
Pasien merasa sering lapar, sering haus, dan frekuensi kencing bertambah. Pasien
mengeluhkan penurunan berat badan. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe II
sejak 7 tahun SMRS namun tidak rutin berobat. Pandangan kabur disangkal, mata
berkunang-kunang disangkal, telinga berdenging disangkal. BAK pasien lancar
cenderung banyak. Sehari 6-7x BAK dengan volume +/- 1 gelas tiap BAK dan BAB
1x/hari.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat diabetes mellitus : (+) 7 tahun
Riwayat penyakit serupa : April 2018 pasien menjalani debridement luka di
region pedis sinistra di RSDM
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat asma : (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : (+) pada ibu pasien

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien seorang pegawai bengkel dan berobat menggunakan fasilitas BPJS kesehatan
kelas III.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok : pasien merokok selama 10 tahun, 1-2 batang/hari
Riwayat Minum Alkohol : disangkal
Riwayat Nutrisi : 3 kali sehari , 1 porsi orang dewasa sekali makan, dengan
telur, temped dan tahu.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
- Keadaan Umum : Composmentis, Tampak sakit sedang
- Derajat Kesadaran : GCS E4V5M6, compos mentis
- Derajat Gizi : gizi normal
2. Vital sign
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 86 x/menit
- Respirasi : 20 x/menit, irama teratur
- Suhu : 36,80 C
- Sp O2 : 98%
- VAS : 4.5 pedis (S)
3. Kepala
mesochepal, luka (-), rambut mudah dicabut (-)
4. Mata
Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), oedem
palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+)
5. Hidung
deformitas (-), deviasi septum (-), krepitasi (-), discharge (-)
6. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-),nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
7. Mulut
sianosis (-), mukosa basah (+), gusi berdarah (-)
8. Leher
KGB membesar (-), peningkatan JVP (-)
9. Thorax
bentuk normochest, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-), nyeri tekan(-)
10. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
11. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan -/-, krepitasi -/-
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-)
12. Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit
Perkusi : timpani, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), hepar tidak teraba, lien tidak
teraba
13. Ekstremitas :
Akral dingin Oedema

- - - -
- - - -
Status lokalis :
Regio Pedis Sinistra

Look :
- Luka terbuka pada regio plantar pedis sinistra, berbentuk bulat dengan tepi menggaung,
batas tegas, berukuran 8 x 8 cm, dasar dermis dan sebagian jaringan nekrotik.
- Luka kedua pada daerah plantar pedis berbentuk bulat, batas tegas, dasar epidermis,
berukuran 3 x 3cm.
- Luka ketiga pada daerah plantar pedis berbentuk bulat, batas tegas, dasar epidermis,
berukuran 1 x 1cm. Luka basah dengan discharge berupa pus berbau busuk.
- jari kaki kiri 3 dan 4 hilang, uka terbuka pada distal jari kaki kiri berbentuk oval, batas
tidak tegas, dasar dermis dengan sebagian jaringan nekrotik.
- Kulit disekitar luka berwarna kehitaman.
Feel :
Regio dorsum pedis sinistra nyeri tekan (-) suhu regio pedis sinistra lebih hangat daripada
regio pedis dextra.
Move :
ROM regio pedis sinistra full

Status Vaskularisasi
Ekstremitas Kanan Ekstremitas Kiri
Arteri femoralis +++ +++
Arteri poplitea +++ +++
Arteri tibialis anterior +++ Sde
+++ Sde

Arteri dorsalis pedis


Status Neurologis
- Kekuatan Motorik
5555 5555
5555 5555

superior inferior
+/+ +/+↓

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium Darah RSUD Dr. Moewardi (05/05/2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 3.8 g/dl 13.5 – 17.5
Hematokrit 12 % 33 - 45
Leukosit 7.6 103/  L 4.5 - 11.0

Trombosit 340 103/  L 150 - 450

Eritrosit 2.16 106/  L 4.5 - 5.9

Indeks Eritrosit
MCV 86.0 fL 80.0 - 96.0
MCH 26.6 Pg 28 - 33
MCHC 32.0 % 33.0 - 36.0
MPV 7.4 Fl 7.2 - 11.1
PDW 11 % 25 - 65
RDW 12.5 % 11.6 - 14.6
Hitung Jenis
Eosinofil 0.60 % 0.00 - 4.00
Basofil 0.10 % 0.00 - 2.00
Neutrofil 98.10 % 55.00 - 80.00
Limfosit 26.00 % 22.00 - 44.00
Monosit 4.10 % 0.00 - 7.00
Hemostasis
PT 20.2 Detik 10.0 – 15.0
APTT 31.3 Detik 20.0 – 40.0
Kimia Klinik
Glukosa darah 114 Mg/dl 60 – 140
sewaktu
Albumin 2.1 g/dl 3.2 - 4.6
Kreatinin 0.8 Mg/dl 0.8 – 1.3
Ureum 62 Mg/dl <50
Elektrolit
Natrium darah 122 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 2.2 mmol/L 3.3 – 5.1
Kalsium Ion 0.91 Mmol/L 1.17 – 1.29

Laboratorium Darah RSUD Dr. Moewardi (07/05/2019)


Kimia Klinik
Gula Darah Puasa 176 Mg/dl 70 - 110
Glukosa 2 Jam PP 245 Mg/dl 80-140
Pemeriksaan Radiologi (16/05/2019)

Hasil :
a. Vulnus amputatum pada phalanx proksimal hingga distal digiti 3 dan 4 pedis sinistra.
b. Gangren pedis kiri
c. Osteomyelitis pedis sinistra (metatarsal)
RESUME
1. Keluhan utama:
Nyeri pada kaki kiri
● Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan luka di kaki
kiri. Luka bermula ketika kaki pasien terkena knalpot panas 2 bulan
SMRS. Luka di kaki kanan membaik dan mengering, namun luka di
kaki kiri semakin lama semakin besar. Awalnya hanya berdiameter
+/- 1 cm dan semakin membesar hingga mencapai ukuran saat ini
yakni +/- berdiameter 8 cm dan menjalar ke sekitar. Luka di kaki kiri
berbau, bernanah, kadang-kadang berdarah. Pasien merasakan kebas
pada lukanya, dan tidak merasakan nyeri. Pada April 2017 pasien
sudah menjalani debridement luka di RSDM.
Pasien merasa sering lapar, sering haus, dan frekuensi
kencing bertambah. Pasien mengeluhkan penurunan berat badan.
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe II sejak 7 tahun SMRS
namun tidak rutin berobat. Pandangan kabur disangkal, mata
berkunang-kunang disangkal, telinga berdenging disangkal. BAK
pasien lancar cenderung banyak. Sehari 6-7x BAK dengan volume
+/- 1 gelas tiap BAK dan BAB 1x/hari.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien punya riwayat penyakit gula sejak 7 tahun SMRS
Pasien juga mempunyai riwayat debridement luka pada region pedis sinistra
di RSDM
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mempunyai riwayat penyakit gula
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan
Pasien seorang pegawai bengkel dan berobat meggunakan fasilitas BPJS
kesehatan kelas III.
Pasien merokok selama 10 tahun, 1-2 batang/hari, pasien juga mempunyai
pola diet yang baik, nasi putih, sayur, lauk telur, tempe dan tahu.
2. Pemeriksaan fisik:
● KU: Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
● Vital sign: Tekanan darah 120/80 mmHg, RR 20x/ menit, HR
86x/menit, suhu 36.00 C, VAS 4.5 pedis (S)
● Kepala: Bentuk mesocephal
● Mata : CA (+/+)
● Leher: KGB membesar (-), JVP R+2 cm H2O
● Thorax: Simetris, normochest, retraksi (-)
● Pulmo:
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/ Sonor
Auskultasi : SDV ( + /+) RBK (-/-), RBH (-/-),
● Abdomen:
Inspeksi : Dinding dada = dinding perut
Auskultasi: Bising usus (+) 12 x / menit
Perkusi: Timpani
Palpasi: Supel, Nyeri Tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Oedem (-/-), akral dingin (-/-)
Status lokalis : regio pedis sinistra
Look : Tampak hiperemis, darah, pus, dan gangrene
Feel : Teraba hangat, nyeri saat palpasi (-)
3. Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium (Tanggal 5 mei 2019)
- Hematologi rutin : hemoglobin 3.8 g/dl (↓) hematokrit 12 % (↓)
eritrosit 2.16 106/  L (↓)
- Index Eritrosit : PDW 11% (↓)
- Hitung Jenis : Neutrofil 98.10% (↑)
- Elektolit darah : Natrium darah 122 (↓) Calsium Ion 0,91 (↓) kalium
darah 2,2 (↓)
- Hemostasis : PT 20.2detik (↑)
Laboratorium (tanggal 7 mei 2019)
- GDP 176 mg/dl (↑), GD2PP 245 mg/dl (↑)
Foto Pedis Kanan AP RSUD Dr. Moewardi (16/05/2019)
1. Vulnus amputatum pada phalanx proximal hinggga distal digiti 3 dan
4 pedis sinistra
2. Gangrene pedis kiri
3. Osteomyelitis pedis sinistra

C. DIAGNOSIS
1. Ulkus DM tipe II pedis (S)

D. TATALAKSANA
1. Bedrest total
2. O2 NK 3 lpm
3. Diet DM 1500 kkal
4. Inf. Ringer Laktat 16 tpm
5. Perbaikan KU dari TS interma
6. Transfusi darah
7. Pro Digital Substraction Angiography (DSA)
8. Rawat luka tiap hari

E. USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1. Evaluasi darah lengkap
2. Evaluasi GDS
3. Pemeriksaan HbA1C
4. Pemeriksaan fungsi hati
5. Pemeriksaan fungsi ginjal
6. Pemeriksaan urinalisa
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, seorang laki usia 39 tahun datang dengan keluhan luka kaki kiri. Luka
bermula ketika kaki pasien terkena knalpot panas 2 bulan SMRS. Luka di kaki kiri semakin
besar, awalnya hanya berdiameter kurang lebih 1 cm dan semakin membesar hingga mencapai
ukuran saat ini +/- berdiameter 8 cm dan menjalar sekitar. Pasien merasakan kebas pada
lukanya dan tidak merasakan nyeri. Pasien juga memiliki riwayat DM sejak 7 tahun yang lalu,
sehingga mendukung diagnosis ulkus DM pedis sinistra.

Pasien mempunyai DM tipe II tidak terkontrol, didukung dengan keluhan sering lapas,
sering haus dan juga frekuensi kencing yang bertambah,pasien juga memiliki riwayat DM sejak
7 tahun SMRS namun tidak rutin berobat. Didukung dengan hasil pemeriksaan GDP dan
GD2PP 176 dan 245.

Pasien juga didapatkan klinis anemia, dimana pasien mengeluh lemas. Lemas dirasakan
diseluruh tubuh yang membuat pasien tidak bisa beraktivitas. Lemas berkurang saat pasien
beristirahat dan bertambah jika aktivitas. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan CA (+/+).
Pada pemeriksaan lab, didapatkan hb 3.8 g/dl, MCV normal, MCH normal, MCHC normal,
sehingga mengarah ke anemia normositik normokromik.

Anemia dapat terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi.
Hiperglikemia memiliki hubungan langsung dengan berkembangnya kondisi inflamasi yang
ditunjukkan dengan peningkatan ekspresi sitokin proinflamasi seperti IL-6, TNF-𝛼, dan NF𝜅B.
Peningkatan sitokin proinflamasi berperan penting dalam terjadinya anemia. Dengan
meningkatknya sitokin proinflamasi terutama IL-6, efek antierythropoietic terjadi, karena
sitokin ini mengubah sensitifitas progenitor terhadap eritropoietin (faktor pertumbuhan eritroid)
dan juga meningkatkan apoptosis eritrosit yang belum matang menyebabkan penurunan pada
jumlah eritrosit yang beredar dan akibatnya menyebabkan pengurangan sirkulasi hemoglobin
(Deray G et al., 2004).

Pasien juga mempunyai gejala neuropati DM, didukung dengan gejala kebas pada
lukanya dan tidak nyeri.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronis dari penyakit

diabetes melitus berupa luka pada permukaan kulit kaki penderita diabetes disertai

dengan kerusakan jaringan bagian dalam atau kematian jaringan, baik dengan

ataupun tanpa infeksi, yang berhubungan dengan adanya neuropati dan atau

penyakit arteri perifer pada penderita diabetes melitus (Alexiadou dan Doupis,

2012).

Epidemiologi Ulkus Kaki Diabetik

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis metabolik yang paling umum

dijumpai di seluruh dunia dengan prevalensi yang cenderung meningkat, oleh

karena perubahan gaya hidup, kurangnya aktifitas fisik, dan obesitas. Amerika

Serikat mencatat pada tahun 2013 didapatkan hampir 2,9 juta penduduk menderita

diabetes melitus. Di Inggris tercatat jumlah penderita diabetes melitus meningkat

53% dari tahun 2006 sampai tahun 2013, yaitu dari 1,9 juta penderita menjadi 2,9

juta orang. Masa harapan hidup (life expectancy) penderita diabetes memendek

sampai dengan 15 tahun dan 75% meninggal akibat dari komplikasi

miksovaskular (NICE Guidelines, 2015). Organisasi kesehatan dunia (World

Health Organization/WHO) memperkirakan pada tahun 2000, jumlah total

populasi
9

penderita diabetes tipe 1 dan 2 mencapai 3% dari total jumlah populasi penduduk

di seluruh dunia. Berdasarkan penelitian dari Zubair et al didapatkan bahwa

sepuluh Negara besar berikut memiliki prevalensi DM dan jumlah penderita DM

usia 29-70 tahun yang ditunjukkan pada tabel 2.1:

Tabel 2.1
Jumlah Penderita Diabetes Usia 20-79 tahun di Sepuluh Negara Besar tahun 2010
dan tahun 2030

2010 2030

Negara Juml. Penderita Negara Juml.


DM (juta) Penderita DM
(juta)
1 India 50,8 India 87,0

2 China 43, China 62,6

3 USA 26,8 USA 36,0

4 Russian 9,6 Russian 13,8

5 Brazil 7,6 Brazil 12,7

6 Germany 7,5 Germany 12,0

7 Pakistan 7,1 Pakistan 11,9

8 Japan 7,1 Japan 10,4

9 Indonesia 7,0 Indonesia 10,3

10 Mexico 6,8 Mexico 8,6

Dikutip dari: Zubair, M., Malik, A., Ahmad, J., 2015. Diabetic Foot Ulcer: A
review. American Journal of Internal Medicine 3(2): 28-49, Feb,
2015.

Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara yang memiliki prevalensi

penyakit diabetes melitus yang tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke

tahun. Pada tahun 1983 prevalensi DM di Indonesia mencapai 1,63% yang

terus
10

meningkat menjadi 5,7% pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi 6,0% pada

tahun 2030 (Yusuf et al., 2016).

Pada populasi penderita diabetes diperkirakan sebanyak 15% akan

mengalami komplikasi berupa ulkus kaki diabetik (Zubair et al., 2015). UKD

merupakan penyebab tersering pasien mendapat perawatan di rumah sakit dan

meningkatkan kejadian amputasi non traumatik. Prevalensinya sekitar 4-10% di

antara populasi penderita diabetes melitus, dengan insiden mengalami ulkus

selama masa hidup penderitanya mencapai 25% (Pemayun et al., 2015) Di

Amerika Serikat prevalensi ulkus diabetik adalah sebesar 11,6% pada tahun 2003

seperti dilaporkan oleh Centres For Disease Control and Prevention (CDCP).

Pada tahun yang sama prevalensinya di Inggris juga tinggi yaitu mencapai 7,4%

(Zubair et al, 2015). Di Indonesia sendiri prevalensi ulkus diabetik mencapai

24%, setelah komplikasi lain berupa neuropati dan mikrovaskular (Yusuf et al.,

2016).

Ulkus kaki diabetik yang kronis dan sulit disembuhkan menjadi penyebab

tersering dilakukannya non traumatik amputasi (lower leg amputation/LEA) pada

penderita diabetes melitus, yaitu mencapai 82%. Adanya infeksi pada ulkus

ditambah dengan gangguan aliran darah ke bagian distal ekstremitas

menyebabkan ulkus menjadi resisten terhadap terapi konvensional dan

meningkatkan resiko penderita diabetes mengalami amputasi kaki. Penelitian di

Pakistan melaporkan kejadian amputasi kaki meningkat pada ulkus diabetik

derajat berat (Wagner grade

≥3) Data penelitian kohort di Turki juga menyebutkan bahwa derajat keparahan

ulkus diabetik menjadi faktor prediktor kuat terjadinya amputasi kaki. Penelitian

observasional terhadap 94 penderita diabetes di Rumah Sakit Dr. Kariadi

Semarang
11

menemukan bahwa kejadian amputasi ekstremitas bawah meningkat pada ulkus

diabetik Wagner derajat 3 sebanyak 15,9% dan Wagner derajat 4 sebanyak 31,9%

(Pemayun et al., 2015). Prevalensi ulkus diabetik yang tinggi juga ditunjukkan

oleh data penelitian observasional cross sectional study di RSUP Sanglah

Denpasar , dimana didapatkan dari 32 penderita diabetes yang menjadi subyek

penelitian sebanyak 12% mengalami komplikasi ulkus diabetik Wagner derajat 4

(Dwikayana et al., 2016). Data lainnya juga menunjukkan tingginya tingkat

pembedahan (debridement) pada 256 penderita ulkus kaki diabetik tahun 2014,

dimana 92 orang atau sebanyak 35,9% mengalami amputasi ektresmitas bawah

(Semadi, 2016).

2.1.1. Etiologi Ulkus Kaki

Ulkus Kaki Diabetik pada dasarnya disebabkan oleh trias klasik yaitu

neuropati, iskemia, dan infeksi (Singh et al., 2013).

a. Neuropati

Sebanyak 60% penyebab terjadinya ulkus pada kaki penderita diabetes adalah

neuropati. Peningkatan gula darah mengakibatkan peningkatan aldose reduktase

dan sorbitol dehidrogenase dimana enzim-enzim tersebut mengubah glukosa

menjadi sorbitol dan fruktosa. Produk gula yang terakumulasi ini mengakibatkan

sintesis myoinositol pada sel saraf menurun sehingga mempengaruhi konduksi

saraf. Hal ini menyebabkan penurunan sensasi perifer dan kerusakan inervasi saraf

pada otot kaki. Penurunan sensasi ini mengakibatkan pasien memiliki resiko yang

lebih tinggi untuk mendapatkan cedera ringan tanpa disadari sampai berubah

menjadi suatu ulkus. Resiko terjadinya ulkus pada kaki pada pasien dengan
12

penurunan sensoris meningkat tujuh kali lipat lebih tinggi dibandingkan pasien

diabtes tanpa gangguan neuropati (Singh et al., 2013)

b. Vaskulopati

Keadaan hiperglikemi mengakibatkan disfungsi dari sel-sel endotel dan

abnormalitas pada arteri perifer. Penurunan nitric oxide akan mengakibatkan

konstriksi pembuluh darah dan meningkatkan resiko aterosklerosis, yang akhirnya

menimbulkan iskemia. Pada DM juga terjadi peningkatan tromboksan A2 yang

mengakibatkan hiperkoagulabilitas plasma. Manifestasi klinis pasien dengan

insufisiensi vaskular menunjukkan gejala berupa klaudikasio, nyeri pada saat

istirahat, hilangnya pulsasi perifer, penipisan kulit, serta hilangnya rambut pada

kaki dan tangan (Singh et al, 2013).

c. Immunopati

Sistem kekebalan atau imunitas pada pasien DM mengalami gangguan

(compromise) sehingga memudahkan terjadinya infeksi pada luka. Selain

menurunkan fungsi dari sel-sel polimorfonuklear, gula darah yang tinggi adalah

medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri yang dominan pada infeksi

kaki adalah aerobik gram positif kokus seperti S. aureus dan β-hemolytic

streptococci .Pada telapak kaki banyak terdapat jaringan lunak yang rentan

terhadap infeksi dan penyebaran yang mudah dan cepat kedalam tulang, dan

mengakibatkan osteitis. Ulkus ringan pada kaki dapat dengan mudah berubah

menjadi osteitis/osteomyelitis dan gangrene apabila tidak ditangani dengan benar

(Singh et al., 2013).


13

1.1.4. Patofisiologi Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik terbentuk dari berbagai mekanisme patofisiologi dan

neuropati diabetika merupakan salah satu faktor yang paling berperan.

Menurunnya input sensorik pada ekstremitas bawah menyebabkan kaki mudah

mengalami perlukaan dan cenderung berulang. Selain neuropati, komplikasi

diabetes yang lain adalah vaskulopati baik pada mikrovasular maupun

makrovasular. Hal ini menyebabkan aliran darah ke ekstremitas bawah berkurang

dan terhambatnya tekanan oksigen gradien di jaringan. Keadaan hipoksia dan

trauma berulang ini menyebabkan ulkus berkembang menjadi luka kronis

(Heyneman et al., 2016). Hubungan neuropati, vaskulopati dan trauma pada

patofisiologi terbentuknya UKD ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1
Patofisiologi Ulkus Kaki Diabetik

Dikutip dari: Frykberg, R.G., Zgonis, T., Armstrong, D.G., Driver, V.R., Giurini, J.M., et
al. 2006. Diabetic Foot Disorders: A Clinical Practice Guideline (2006
revision). J Foot Ankle Surg. 45(Suppl.):S1-S66.
14

Neuropati perifer merupakan faktor predisposisi yang paling awal muncul

meliputi disfungsi sensoris, autonom dan neuropati motorik. Gangguan serabut

sensoris menyebabkan menurunnya sensasi nyeri sehingga kaki penderita diabetik

dapat dengan mudah mengalami perlukaan tanpa disadari. Disfungsi autonom

menyebabkan perubahan aliran mikrovaskuler dan terjadi arteri-vena shunting

sehingga mengganggu perfusi ke jaringan, meningkatkan temperatur kulit dan

terjadi edema. Selain itu, kaki penderita menjadi kering dan mudah timbul fisura

karena menurunnya fungsi kelenjar keringat sehingga cenderung menjadi

hiperkeratosis dan mudah timbul ulkus. Neuropati motorik menyebabkan

kelemahan otot sehingga terjadi biomekanik abnormal pada kaki dan

menimbulkan deformitas seperti Hammer toes, claw toes, dan Charcot. Bersama

dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus (Hobizal, K.B., 2012;

Clayton, 2009). Deformitas pada kaki diabetik ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2
A. Claw toe deformity, B. Charcot arthropathy
Dikutip dari: Clayton, Elasy. 2009. A review of The Pathophysiology, Classification
and Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clinical Diabetes.
Volume 27, Number 2.

Di samping neuropati perifer, angiopati diabetika merupakan faktor yang

paling sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada penderita. Manifestasi


15

makroangiopati tampak sebagai obstruksi pada pembeuluh darah besar yaitu arteri

infrapopliteal dan terganggunya sirkulasi darah kolateral. Hal ini menimbulkan

penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) pada ekstremitas

bawah. PAD sendiri merupakan faktor resiko yang meningkatkan kejadian ulkus

diabetik terinfeksi (diabetik foot infection). Sedangkan akibat dari mikroangiopati

adalah penebalan membrane basal kapiler dan disfungsi endotel yang

mengganggu pertukaran nutrien dan oksigen sehingga terjadi iskemia di jaringan

(Ho, T.K et al., 2012).

2.1.5. Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik

Derajat ulkus diabetik dapat ditentukan dengan beberapa sistem klasifikasi

yang telah banyak dikembangkan, antara lain:

Klasifikasi Wagner-Meggitt’s

Sistem klasifikasi ini telah dikembangkan sejak tahun 1970 dimana

terdapat 6 grading untuk menentukan derajat lesi pada kaki diabetik. Derajat 0,1,2,

dan 3 adalah berdasarkan kedalaman luka dan keterlibatan jaringan lunak pada

kaki, sedangkan derajat 4 dan 5 adalah berdasarkan ada tidaknya gangren (Jain et

al., 2012). Klasifikasi ini telah dipergunakan secara luas hingga saat ini dan

ditunjukkan pada tabel 2.2.


16

Tabel 2.2. Klasifikasi Wagner

Grade 0 Tidak terdapat ulkus,


Grade 1 Ulkus superficial yang mengenai seluruh lapisan kulit tapi
tidak mengenai jaringan dibawahnya
Grade 2 Ulkus dalam, penetrasi ke dalam sampai ligament dan
otot,
tapi tidak mengenai tulang atau terdapat abses
Grade 3 Ulkus dalam dengan selulitis atau abses, sering dengan
osteomyelitis
Grade 4 Gangren yang terlokalisasi pada fore foot
Grade 5 Gangren yang mengenai seluruh kaki

Dikutip dari: Jain, A.K., 2012. A New Classification of Diabetic Foot


Complications: A Simple and Effective Teaching Tool. The Journal
of Diabetic Foot Complication, vol 4, issue 1, No.1, 2012

Modifikasi dari klasifikasi Wagner adalah Klasifikasi Texas (University of

Texas Wound Classification) yang terdiri dari empat derajat dan menilai ada

tidaknya infeksi dan atau iskemia. Sistem ini dapat memprediksi outcome dari

penderita ulkus diabetik karena meningkatnya derajat ulkus menandakan kesulitan

kesembuhan dan meningkatnya resiko amputasi. Penjabaran klasifikasi Texas

ditunjukkan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Sistem Klasifikasi University of Texas

Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3


Stage A Lesi pre- Luka Luka Luka
atau post- superfisial, melibatka melibatka
ulserasi tidak n tendon n tulang
melibatkan atau atau sendi
dengan
tendon, kapsul, kapsul
epitelisasi atau tulang
sempurna
Stage B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi
Stage C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
Stage D Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan
iskemia iskemia iskemia iskemia
Dikutip dari: Singh, S., Pai, D.R., Yuhhui, C., 2013. Diabetic Foot Ulcer –
Diagnosis and Management. Clinical Research on Foot and
Ankle, vol 1, issue 3, 2013.)
17

2.1.6. Diagnosis Ulkus Kaki Diabetik

Diagnosis ulkus kaki diabetik ditegakkan berdasarkan anamnesa yang baik

tentang lamanya onset diabetes melitus, adanya keluhan polifagi, polidipsi, dan

poliuria, keluhan neuropati dan penyakit vascular perifer, riwayat ulkus maupun

amputasi sebelumnya, serta penurunan berat badan. Pemeriksaan fisik meliputi

keadaan umum penderita didapatkan status gizi kurang dan pemeriksaan lokal

pada kaki meliputi inspeksi adanya deformitas (Hammar toes,claw toes, charcot

join), kulit yang kering, fisura, ulkus, vena-vena yang tampak prominen disertai

oedem. Perabaan pulsasi arteri perifer, ankle brachial index, dan capillary refill

time harus diperiksa. Pemeriksaan ulkus kaki meliputi lokasinya, ukuran ulkus,

kedalaman, dasar ulkus dan tepinya. Permukaan ulkus dinilai adakah jaringan

granulasi atau slough serta tanda-tanda inflamasi seperti kemerahan, hangat, nyeri

dan adanya eksudasi (Singh et al., 2013).

Adanya neuropati sensoris dapat dinilai dengan menggunakan

monofilamen dan biothesiometer. Semmes-Weinstein monofilament bahkan

dikatakan dapat memprediksi resiko terjadinya ulserasi dan amputasi.

Pemeriksaan laboratorium standar yang diperiksa adalah kadar glukosa darah,

glycosylated hemoglobin (HbA1c), serta fungsi hati dan ginjal sebagai monitoring

status metabolik penderita. Bila terdapat infeksi maka pemeriksaan kultur

mikrobiologi dapat dilakukan untuk menentukan agen kuman penyebab (Singh et

al., 2013).
18

Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan untuk menentukan gangguan

vaskuler adalah ankle brachial index atau toe brachial index. Nilai ABI kurang

dari 0,9 menandakan adanya obtruksi vaskuler dan skor yang kurang dari 0,4

menandakan adanya nekrosis jaringan serta merupakan resiko yang siginifikan

terjadinya amputasi. Pemeriksaan pulse oksimetri juga merupakan parameter yang

efektif dalam menilai perfusi ke jaringan. Pengukuran kadar oksigen

transkutaneus dapat digunakan sebagai indikator perfusi di sekitar luka atau ulkus

untuk menentukan kesembuhan luka. TcPo2 yang kurang dari 20 mmHg

menandakan penyembuhan luka yang sulit (Singh et al., 2013).

Pemeriksaan foto polos radiologi adalah pemeriksaan imaging yang paling

sering dipilih pada ulkus kaki diabetik karena biayanya lebih murah dan mudah

dikerjakan. Pemeriksaan ini dapat memberi informasi adanya perubahan artropati,

osteomielitis dan adanya pembentukan gas pada jaringan lunak. Tetapi bila

akumulasi gas minimal maka sulit untuk menilai adanya perubahan pada jaringan

lunak seperti selulitis, fasciitis atau abses. Peranan imaging lainnya seperti CT

scan masih terbatas pada kaki diabetik tetapi memiliki beberapa keuntungan

dibandingkan foto polos, yaitu: lebih sensitif dan spesifik dalam menilai erosi

kortek tulang, adanya sequester, gas pada jaringan lunak dan kalsifikasi.

Sedangkan modalitas pemeriksaan imaging yang paling baik dalam menilai

perubahan pada jaringan lunak dan sumsum tulang penderita kaki diabetik adalah

MRI. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya edema dan osteomielitis sebagai

tahap awal dari neuroartropati dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (90-

100% dan 40-100%). MRI memiliki kemampuan multiplanar imaging dengan

kontras
19

yang tinggi pada jaringan lunak sehingga dapat menilai ada tidaknya infeksi

(Sanverdi, 2012).

Pemeriksaan lain yang memiliki sensitifitas lebih baik untuk menilai

adanya perubahan awal neuroartropati maupun osteomielitis adalah radioisotope ,

tetapi biayanya mahal dan waktunya lama. Metoda bone scan yang paling sering

digunakan adalah nuclear medicine scintigraphy (NMS) yaitu scintigraphy tiga

fase pada tulang menggunakan 99m-technetium (99mTc) phosphonates.

Pengambilan tiga fase tersebut untuk menilai adanya hiperperfusi fokal, hiperemia

fokal dan imaging dari tulang untuk mengetahui adanya oesteomielitis.

Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 94% dan spesifisitas 95%. Prosedur

radionuklida yang sering dikombinasi dengan bone scan ini adalah labeled

leucocytes imaging, yaitu mendeteksi akumulasi leukosit pada jaringan lunak dan

tulang dengan adanya uptake 99mTc. Akurasi pemeriksaan ini meningkat dengan

sensitifitasnya menjadi 72-100% dan spesifitasnya menjadi 72-98% (Sanverdi,

2012).

2.1.7. Penanganan Ulkus Kaki Diabetik

Standar perawatan ulkus kaki diabetik meliputi kontrol glikemia, perfusi

yang adekuat, debridemen luka, off-loading, kontrol infeksi, antibiotika yang

tepat, dan penanganan komorbid yang menyertai. Pengobatan ulkus kaki diabetik

dengan standar perawatan saja seringkali memberi hasil yang tidak maksimal

sehingga dikombinasi juga dengan terapi adjuvant. Beberapa terapi adjuvan yang

digunakan antara lain: penggunaan granulocyte colony stimulating factors

(GCSF), pemberian
20

faktor pertumbuhan (growth factor therapy) dan bioengineered

tissue, serta terapi oksigen hiperbarik (Schaper et al., 2007).


21

Anemia penyakit kronis

Anemia akibat penyakit kronik adalah penurunan kadar Hb sekunder


akibat penyakit kronik (inflamasi kronik, infeksi atau keganasan) dan
merupakan komorbiditas yang paling sering terjadi pada penyakit
kronik. Pada anak dengan artritis reumatoid juvenil ditemukan
sebanyak 40.8% mengalami anemia, sedangkan pada penyakit lupus
eritematosus sistemik sebesar 37.1% dan pada anak dengan gagal
ginjal kronik sebesar 26%.

Patogenesis anemia pada penyakit kronik melibatkan sistem imun


yaitu sitokin dan sistem retikuloendotelial, yang memicu perubahan
dalam homeostasis besi, penghambatan proliferasi sel progenitor
eritroid dan produksi eritropoietin. Pada anemia penyakit kronik,
pengambilan dan retensi besi dalam sel retikuloendotelial meningkat
keadaan ini menyebabkan besi yang tersedia terbatas untuk
digunakan oleh sel progenitor dan proses eritropoiesis. Makrofag
akan melakukan eritrofagositosis serta mengambil besi serum melalui
divalent metal transporter 1 (DTM1). Sitokin yaitu IL-1 dan IL-6
mengaktifkan sintesis feritin sehingga terbentuk banyak feritin yang
memiliki kapasitas penyimpanan besi. Hal ini mengakibatkan besi
dengan mudah akan tersimpan dalam sel dan tidak beredar bebas
dalam sirkulasi. Hepsidin suatu protein fase akut yang dihasilkan
oleh hepar turut berperan yaitu dengan menghambat absorpsi besi di
duodenum serta menahan pelepasan besi oleh makrofag dengan cara
menghambat ferroportin.

Profil darah tepi pada anemia penyakit kronik adalah anemia ringan
sampai sedang (kadar Hb 8-11 g/dl). Gambaran eritrosit umumnya
normositik normokrom namun pada keadaan yang berat menjadi
mikrositik hipokrom. Pada anemia penyakit kronik, retikulosit rendah
yang menunjukkan kegagalan produksi retikulosit untuk
mengkompensasi jumlah eritrosit yang menurun. Jumlah leukosit dan
22

trombosit mengikuti perjalanan penyakit yang mendasarinya. Anemia


pada penyakit kronik sulit dibedakan dengan anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan laboratorium dengan memeriksa profil besi dalam tubuh
dapat membantu membedakan keduanya (Tabel 1)

Profil besi pada APK menunjukkan kadar besi serum dan saturasi
transferin menurun serta kadar feritin meningkat. Cadangan besi yang
cukup tetap tersimpan dalam makrofag sehingga tidak dapat digunakan
untuk sintesis sel darah merah. Hal yang paling membedakan APK dari
ADB adalah 2411 ferritin yang meningkat. Bila terdapat kadar ferritin yang
rendah pada APK, maka ADB telah terjadi. Kadar besi serum mungkin
rendah pada kedua jenis anemia tsb, namun TIBC akan meningkat pada
ADB dan menurun pada APK. Saat kedua jenis anemia terjadi bersamaan,
saturasi transferin mungkin akan turun. Reseptor transferin adalah
parameter terbaru untuk membedakan APK dari ADB. Pemeriksaan
reseptor transferin yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar soluble
transferin receptor (sTR) yang diproduksi dari pengelupasan membran
reseptor transferin saat maturasi eritrosit, kadar sTR normal atau menurun
pada APK dan meningkat pada ADB.

Tata laksana anemia penyakit kronik yang paling baik adalah


mengobati penyakit yang mendasarinya, hal ini sesuai dengan patogenesis
APK. Penggunaan eritropoietin rekombinan telah dicoba untuk
23

menstimulasi produksi eritrosit terutama pada pasien dalam pengobatan


kemoterapi, pasien dengan gagal ginjal kronik dan pasien
imunokompremais. Terapi ini telah berhasil mengurangi kebutuhan
transfusi namun efek sampingnya perlu diperhatikan yaitu dapat
mencetuskan terbentuknya sitokin yang akan memperparah penyakit.

Pemberian transfusi darah harus dipertimbangkan dengan cermat


mengingat transfusi memiliki efek samping yang tidak menguntungkan.
Transfusi diindikasikan untuk anemia yang berat dan telah membahayakan
pasien juga bila terjadi komplikasi pada pasien seperti perdarahan.
Pemberian suplemen besi secara oral tidak akan memberikan perbaikan
pada APK.
24

DAFTAR PUSTAKA

Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL (2019). Penatalaksanaan


di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Deray G, Heurtier A, Grimaldi A, Launay Vacher V, Isnard Bagnis C: Anemia
and Diabetes. Am J Nephrol 2004;24:522-526. doi: 10.1159/000081058

Hold RIG dan Hanley NA (2012). Essential Endocrinology and Diabetes. Oxford:
Wiley-Blackwell.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (2014).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, Kusnadi Y,
Budiman, et al. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia 2019. Jakarta: PB PERKENI
Yogiantoro, M. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simardibrata K. M.,
Setiati, S. 2006. Hipertensi Esensial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Pp: 610-614

Anda mungkin juga menyukai