Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

Open fracture ossa metatarsal I-IV+Ruptur tendon m. ekstensor


halluces longus dan tendon m. ekstensor digitorum longus+vulnus
laceratum dorsum pedis dextra

Disusun Oleh:
Semuel Sidang Kamalle
NIM 202082030

Dosen Pembimbing Kepaniteraan :


dr. Dwi Heru, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI


DAN TERAPI INTENSIF
RSUD JHON P. WANANE KABUPATEN SORONG
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAPU
JULI 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkatnya saya dapat diberi hikmat dan kemampuan untuk menuntaskan tugas
laporan kasus dengan topik “Ruptur tendon m. ekstensor halluces longus dan
tendon m. ekstensor digitorum longus+open fracture ossa metatarsal I-IV+vulnus
laceratum dorsum pedis dextra” sebagai salah satu tuntutan tugas dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri dan Ginekologi di RSUD Selebesolu kota
Sorong.

Adapun mengingat bahwa pembuatan tugas laporan kasus dikerjakan dalam


banyak keterbatasan dari segi waktu dan pengetahuan sehingga saya sadar bahwa
tugas laporan kasus ini jauh dari kata sempurna. Namun, biarlah
ketidaksempurnaan itu dapat dilengkapi melalui kritik dan saran dari para
pembaca yang sifatnya membangun. Saya berharap ketidaksempurnaan yang ada
tidak mengurangi manfaat pembuatan tugas laporan kasus ini sebagai sarana
berbagi informasi mengenai masalah kesehatan.

Akhir kata dari segala yang didengar adalah ungkapan terimakasih kepada
seluruh pihak yang turut membantu dalam pembuatan tugas laporan kasus ini,
yang tak dapat disebutkan satu per satu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa yang
akan membalas budi baik seluruh pihak yang telah membantu saya.
Lembar Pengesahan
Referat diajukan oleh :
Nama : Semuel S. Kamalle
NIM : 202082030
Universitas : Universitas Papua
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Kepaniteraan : Anestesiologi dan Terapi Intensif
Peiode Kepaniteraan :
Judul Laporan Kasus : Manajemen anastesi pada Pembedahan Ruptur
tendon m. ekstensor halluces longus dan tendon m. ekstensor digitorum
longus+open fracture ossa metatarsal I-IV+vulnus laceratum dorsum
pedis dextra

TELAH DIPRESENTASIKAN DAN DISAHKAN


PADA TANGGAL : 01 agustus 2022

Mengetahui:
Pembimbing Laporan Kasus

dr. Dwi Heru, SpAn

3
BAB 1 DESKRIPSI KASUS
1.1 Perolehan Data
Data didapatkan dari autoanamnesis pasien, serta didapatkan juga dari
pengamatan dan analisis rekam medik pasien. Pengumpulan data dilakukan
pada 25 juni 2022 di ruang OK RS Sele Be Solu Kota Sorong.

1.2 Identitas Pasien


 Nama : Tn. Muhammad Said
 Jenis Kelamin : laki-laki
 TTL : 20 Januari 1965
 Usia : 57 tahun
 Alamat : Jl. S. Kamudan, km 10, Kota Sorong
 Pendidikan Terakhir : SMP
 Pekerjaan : Wiraswasta
 Status : Menikah
 Tanggal masuk RS : 24 juli 2022

1.3 Evaluasi Pra Anestesi


1.3.1 Anamnesis
 Keluhan Utama : Luka robek di punggung kaki
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Selebelolu dengan keluhan luka
robek di punggung kaki kiri. Pasien mengatakan luka tersebut akibat
terkena gergaji mesin pada saat pasien sedang bekerjah membuat
perahu di rumahnya. Pasien mengaku saat itu pasien sedang
memotong papan dengan menggunakan gergaji mesin, pasen tidak
sengaja menginjak kebel mesin tersub seginggah gergaji jatuh dan
mengenai kaki pasien. Awalnya pasien tidak meraskan apa-apa

4
namun pasien melihat banyak darah di tanah saat itu pasien baru
sadar bahwa kakinya terkena oleh gergaji mesin.

 Riwayat Penyakit Dahulu :


Tidak terdapat riwayat diabetes, hipertensi, tidak terdapat adanya
alergi makanan ataupun obat tertentu. Pasien sebelumnya tidak
pernah dirawat di RS dengan penyakit penyakit tertentu.
 Riwayat Alergi :
Tidak terdapat riwayat alergi makanan ataupun obat tertentu pada
pasien
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita
penyakit hipertensi, DM, dan penyakit kronis lainnya.
 Riwayat Pengobatan :
Pasien mengatakan tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan
dalam waktu yang lama.
 Kebiasaan hidup : Merokok (-), Alkohol (-)
1.3.2 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum
- Tampak sakit sedang
- Kesadaran compos mentis (GCS E4 V5 M6)
 Tanda Vital
- Tekanan Darah 118/70 mmHg
- Nadi 70 x/menit
- Suhu 36,8oC
- Nafas 18 x/menit
- SpO2 : 99%

5
Kepala : Normocefalik, rambut hitam lurus tipis, tersebar merata,
tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), cekung (-/-),
pupil isokor 3 cmm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Normothia, otorhea (-/-), nyeri tekan antero dan retro
aurikula (-/-)
Hidung : Bentuk normal, napas cuping hidung (-), rhinorea (-/-)
Mulut : Mukosa pucat, sianosis (-), tonsil hiperemis (-/-) T1-T1
Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar limfe, tidak teraba
pembesaran tiroid
Toraks paru : Inspeksi: Pengembangan dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : krepitasi (-)
Perkusi: sonor (+/+)
Auskultasi : suara napas pokok vesicular, rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Toraks jantung : Inspeksi: apeks jantung tidak terlihat
Palpasi : apeks jantung di ics 5, midklavikula sinistra
Perkusi : batas jantung kanan ics 4 parasternal dextra, batas
jantung kiri ics 5 midklavikulas sinistra
Auskultasi: bunyi jantung S1 dan S2 regular, ghallop (-),
murmur (-)
Abdomen : Inspeksi: tampak perut cembung
Palpasi:
 organomegali (-)
 bising usus (+)

Perkusi: pekak, shifting dullness (-)

6
Auskultasi: bising usus 4x/menit, bruit (-)
Ektremitas : Ekstremitas atas: nyeri sendi (-), gerak bebas, edema (-),
jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat
(-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), akrosianosis (-).
Ekstremitas bawah :
Sinistra : nyeri sendi (-), gerak bebas, edema (-), jaringan
parut (-), pigmentasi normal, telapak kaki pucat (-), turgor
kembali lambat (-), akrosianosis (-).
Dextra :
Look: bone ekspose (+), rupture tendon (+),
Feel : nyeri (+)
Move : pasien tidak dapat menggerakkan digitales dorsales
pedis I-IV
Meningeal Tidak dilakukan pemeriksaan
sign :

 Evaluasi Jalan Napas


- Bebas, tidak menggunakan alat bantu napas,
- tidak terdapat protrusi mandibular,
- dapat membuka mulut selebar 3 jari pemeriksa,
- jarak mentohyoid 3 cm,
- jarak hyotyroid 2 cm,
- leher tidak pendek bergerak bebas,
- Malampatty I,
- tidak terdapat massa dan tidak ditemukan kesulitan dalam
ventilasi

7
1.3.3 Pemeriksaan Penunjang
Tabel 1. Laboratorium Pemeriksaan Darah Rutin pada 24 Juli 2022
Hasil
Nilai Normal
Pemeriksaan Satuan
Dewasa
24 Juli 2022
WBC 7,6 3,8-10,6 x103/mm3
RBC 4,14 4,4-5,90 x106/mm3
HGB 13,1 12-16 g/dl
HCT 39,4 40-54 %
PLT 227 150-400 x103/mm3
PCT 0,22 0,1-0,5 %
MCV 95,2 76-96 fL
MCH 31,6 27-32 pg
MCHC 33,2 23-36 g/dl
RDW 13,2 11,6-14,8 %
MPV 9,6 4-11 fL
PDW 10,7 10-18 fL
Limfosit 14,5 20-40 %
Monosit 7,0 4-8 %
Neutrofil 78,5 40-70 %

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Imunologi dan SARS-Cov-2 24 Juli 2022


Parameter Hasil
HBs Ag Positif
Syphilis TP Rapid
Anti HIV (SD) Non-reaktif
Antigen-SARS-Cov-2

8
1.3.4 Permasalahan dan Kesimpulan Evaluasi Pra Anastesi
Diagnosis : Ruptur tendon m. ekstensor halluces longus dan tendon m.
ekstensor digitorum longus+open fracture ossa metatarsal I-IV+vulnus
laceratum dorsum pedis dextra
Permasalahan Potensial : Perdarahan
Kesimpulan : PS ASA I
1.4 Persiapan Anestesi
 Informed consent pada tanggal 24 Juli 2022
 Mengidentifikasi riwayat penyakit, alergi, penggunaan obat dan kebiasaan
seperti merokok dan napza
 Memastikan identitas pasien dan rencana dan lokasi tindakan
 Memasang infus line 1 jalur Ringer Laktat 20 tpm
 Saat di ruangan pasien diberikan antibiotic ceftriaxone intravena 1
gram/12 jam setelah skin test dan ranitidin 1 amp/12 jam iv, inj. Tetagram
im, inj. Ketorolac 1 amp/8 jam.
 Pasien dipuasakan mulai pukul 00.00 25 Juli 2022
Tabel 3. Daftar Tilik Keselamatan Kerja
 Identifikasi pasien  Stetoskop
 Ijin pembiusan  EKG
 Ijin operasi kateter urin
 Mesin anastesi  Sabuk pengaman
 Suction  Matras hangat
 Peralatan intubasi  Selimut penghangat
 Obat-obatan  Penghangat cairan
 Antibiotic profilaksis Setelah induksi
 Pulse oximeter  Titik tekanan diberi
 NIBP bantalan
 Thermometer  Mata terlindungi

9
1.5 Manajemen Anestesi Saat Operasi
 Teknik anastesi : Regional anastesi: SAB
 Obat: kombinasi Bupivacaine, dan Fentanyl.
 Regional anastesi: pasien dalam keadaan duduk dengan leher di tekuk
(fleksi) serta badan dalam keadaan rileks atau tidak kaku. Sebelum pasien
di suntik, dilakukan antiseptic area pinggang belakang dengan betadin dan
alcohol. Setelah itu di suntik dengan jarum spinal nomor 29 pada L3-L4.
Setelah itu cairan serebrospinal mengalir, selanjutnya bolus dengan
perlahan Bupivacaine yang dikombinasikan dengan Fentanil.
 Pre medikasi
- Ondancentron 4 mg/ml iv
- Sulfat atropine 1 amp
- Deksametason 5 mg/ml iv
- Ranitidine 1 amp
- Oksigenasi 2 lpm
 Induksi
- Evaluasi pra induksi : Tanda vital: TD 128/70 mmHg, HR 78x/menit,
RR 18 x/mnt, suhu 36,50c, spo2 99%
- Makan/minum terakhir : pukul 00:00 WIT, tanggal 25 juli 2022
- Jenis makanan : nasi
- Jenis minuman : Air mineral
 Durante operasi
- Monitoring hemodinamik

Masuk OK :
- Mulai induksi
- Selesai induksi

10
- Mulai operasi : pukul 10:50 WIT
- Selesai operasi : 11:50 WIT

Keluar OK :
Tabel 4. Monitoring Hemodinamik Durante Operasi
Waktu TD Nadi RR SpO2
Suhu (oC)
(WIT) (mmHg) (x/menit) (x/menit) (%)
10.50 119/68 80 13 99 36.6
10.55 120/70 89 12 99 36,7
11.00 118/70 90 14 98 36,7
11.05 108/60 86 14 100 36,5
11.10 90/58 99 15 99 36,5
11.15 86/49 115 17 98 36,6
11.20 115/68 102 16 99 36,5
11.25 128/70 99 16 99 36,5

Intake :
- Pre anestesi : RL 400 ml
- Durante anestesi : RL 350 ml
Output :
- Pre anestesi : pra anastesi urin 500 ml
- Durante anestesi : perdarahan 40 ml
Masuk RR :
Tabel 5. Monitoring Post Anestesi
Waktu TD Nadi RR SpO2
Suhu (oC)
(WIT) (mmHg) (x/menit) (x/menit) (%)
11.30 119/68 90 18 99 36,7
11.35 118/67 88 18 99 36,6
11.40 120/70 87 18 99 36,7
11.45 116/69 88 17 99 36,5
11.50 118/70 89 18 98 36,7

11
11.55 119/69 92 19 99 36,7

Skala nyeri :1
Kriteria pindah ruangan : bromage score (1)
Pesanan pasca operasi :
1. Infus : RL
2. Makan/minum : minum sedikit-sedikit, boleh makan secara bertahap
setelah di ruangan
3. Observasi : Tekanan darah, nadi, RR setiap 30 menit
4. Terapi : Instruksi operator
5. Lain-lain : Apabila pasien sesak bebaskan jalan nafas beri 02 lapor
operator.
Dokumentasi

12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi regio pedis


Skeleton Pedis terdiri dari tiga bagian : tarus, metatatarsus dan phalanges.
Metatarsus terdiri atas lima buah tulang disebut mulai dari sisi medial, dengan
os metatarsale I, II, III, IV dan V; os metatarsal merupakan os longum, yang
masing-masing tulang dapat dibedakan atas basis, corpus dan caput. Os
metatarsale I atau os metatarsal dari hallux, menarik perhatian oleh karena
tebal dan pendek diantara tulang metatarsal lainnya. Corpusnya seperti prisma,
kuat; pada basisnya memperlihatkan faset non artikuler pada sisi-sisinya,
tetapi pada sisi lateralnya terdapat faset oval untuk bersendi dengan os
metatarsale II.1,2
Os metatarsal II merupakan os metatarsale yang terpanjang, menjorok ke
proximal sesuai dengan cekungan yang dibentuk oleh ketiga ossa cuneiformia.
Basisnya membesar ke dorsal, sempit dan kasar. Os metatarsale III pada
bagian proximalnya terdapat facies articularis berbentuk triangular untuk
bersendi dengan sisi os cuneiforme laterale; di sisi medial terdapat dua facies
articularis tunggal untuk bersendi dengan os metatarsale IV; facies articularis
terakhir ini terdapat di sudut dorsal basis.1,3,4

Gambar 1: anatomi dorsum pedis3


Os metatarsale IV lebih kecil disbanding dengan os metatarsale terdahulu;
pada basisnya terdapat facies articularis berbentuk quadrilateral untuk
bersendi dengan os cuboideum; facies articularis halus di sisi medial dibagi
oleh rigi menjadi bagian anterior untuk bersendi dengan os metatarsale III. Os

13
metatrasale V mempunyai tonjolan yang kasar disebut tuberositas ossis
metatarsalis V, yang terletak di sebelah lateral basis. Basisnya akan bersendi
kea rah posterior dengan os cuboideum, dan ke sisi mediale dengan os
metatarsale IV.1,2,3
2.2 Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau
tulang rawan yang disebabkan karena rudapaksa. Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang umumnya disebabkan
oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak
dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan
persarafan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan
langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak
langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur
pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.2,
2.3 Penyebab fraktur
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran,
atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat
yang terkena, jaringan lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak
langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang
terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak
ada. 1,2
2.4 Fraktur terbuka
Klasifikasi fraktur secara klinis dapat dibedahkan menjadi 2 yaitu fraktur
tebuka dan tertutup. Namun yang dibahas di pembahasan kali ini yaitu fraktur
tebuka. Fraktur terbuka disebut juga compound fracture. Fraktur terbuka
adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka

14
pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau
from without (dari luar). 1,2

2.5 Stadium fraktur terbuka


 Grade I
- Panjang luka < 1 cm
- Biasanya berupa tusukan dari dalam kulit menembus ke luar -
Kerusakan jaringan lunak sedikit 13
- Fraktur biasanya berupa fraktur simpel, transversal, oblik pendek
atau sedikit komunitif 2,4

 Grade II
- Laserasi kulit >1cm
- Tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atu avulsi kulit
- Kerusakan jaringan sedang
- Sedikit kontaminasi dari fraktur2,3
 Grade III
- Kerusakan jaringan lunak hebat
- Kontaminasi hebat Dibagi menjadi 3 subtipe:
a) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas /flaf/avulsi; atau fraktur segmenta/ sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa
melihat besarnya ukuran luka.
b) Trauma hebat dengan kerusakan dan kehilangan jaringan,
pendorongan periosteum, tulang terbuka, kontaminasi hebat ,
fraktur bersifat komunitif hebat
c) Fraktur terbuka yang disertai kerusakan arteri dan saraf tanpa
memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.1,2,3

15
2.6 Fraktur metatarsal
Fraktur Metatarsal merupakan kasus yang sering didapatkan. Fraktur
metatarsal sering terjadi bila dorsum kaki tertimpa benda berat atau terlindas
oleh roda kendaraan. Mekanisme yang paling sering didapatkan adalah trauma
langsung seperti crush injury atau twisting dan juga akibat gaya langsung yang
bersifat kronis sehingga menyebabkan stress fracture. Biasanya terjadi fraktur
pada beberapa metatarsal sekaligus.1,2
Dalam keadaan ini, yang perlu mendapat perhatian, selain frakturnya
adalah perdarahan dan gangguan sirkulasi pada kaki itu sendiri. Pembalutan
dengan bahan elastik harus dihindari karena hal ini akan mengganggu
sirkulasi.
Penatalaksanaan Fraktur dengan operasi, memiliki indikasi, yaitu: Fraktur
terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan operasi dalam
penyembuhan dan perawatan lukanya, Cidera vaskuler sehingga memerlukan
operasi untuk memperbaiki jalannya darah ditungkai, Fraktur dengan
sindroma kompartemen, Cidera multiple yang diindikasikan untuk
memperbaiki mobilitas pasien juga mengurangi nyeri.2,3
2.7 Anastesi Spinal
Anestesi spinal hanya dilakukan di daerah lumbal, khususnya tingkat
menengah ke bawah untuk menghindari kerusakan pada medulla spinalis dan
juga untuk mencegah obat yang disuntikkan secara intratekal agar tidak
memiliki aktivitas di daerah dada atas dan leher. Ujung kaudal medula spinalis
adalah conus medullaris dan biasanya berada di batas bawah korpus vertebra
lumbalis pertama atau kadang-kadang kedua. Pada pasien anak-anak, itu
sedikit lebih rendah, umumnya berakhir di sekitar L3. Pada populasi orang
dewasa, posisi conus rata-rata adalah sepertiga bawah L1 (kisaran: sepertiga
tengah T12 hingga sepertiga atas L3). Variasi posisi conus mengikuti
distribusi normal. Tidak ada perbedaan signifikan dalam posisi conus yang
terlihat antara pasien pria dan wanita atau dengan bertambahnya usia. Kantung
dural biasanya meluas ke S2/3. Untuk alasan ini, penyisipan jarum spinal
untuk anestesi spinal biasanya di sela L3/4 atau L4/5. Trauma sumsum tulang

16
belakang lebih mungkin terjadi ketika memilih sela yang lebih tinggi,
terutama pada pasien obesitas. Saat masuk, dan mulai dari kulit, jarum
melintasi sejumlah struktur.4
Memahami anatomi dermatomal sangat penting untuk memahami tingkat
blokade struktur target. Misalnya, untuk operasi caesar perut bagian bawah,
sayatan biasanya dibuat di bawah dermatom T10. Namun, cakupan hingga
dermatom T4 diperlukan untuk mencegah ketidaknyamanan atau rasa sakit
dari tarikan peritoneum. Beberapa landmark dermatomal antara lain T4 puting,
T7 Proses Xiphoid dan T10 umbilikus.4,5
Sebelum induksi anestesi neuraksial, anamnesis dan pemeriksaan fisik
harus dilakukan. Anamnesi riwayat paparan obat anestesi sebelumnya,
tinjauan alergi, riwayat keluarga masalah anestesi. Pemeriksaan fisik
umumnya berfokus pada lokasi penempatan anestesi spinal. Bagian belakang
harus menerima pemeriksaan penuh. Pemeriksaan infeksi kulit sistemik atau
lokal, kelainan tulang belakang (misalnya, skoliosis, stenosis tulang belakang,
operasi punggung sebelumnya, spina bifida, riwayat tali pusat), pemeriksaan
neurologis pra-prosedural untuk kekuatan dan sensasi juga penting untuk
penilaian dan dokumentasi. Time-out prosedural harus dilakukan,
mengkonfirmasi identitas pasien, prosedur yang direncanakan, alergi, cek
persetujuan, dan pernyataan verbal status koagulasi. Obat yang digunakan
antara lain:4,5,6
 Lidokain (5%): Onset aksi terjadi dalam 3 hingga 5 menit dengan durasi
anestesi yang berlangsung selama 1 hingga 1,5 jam
 Bupivacaine (0,75%): Salah satu anestesi lokal yang paling banyak
digunakan; onset tindakan adalah dalam 5 sampai 8 menit, dengan durasi
anestesi yang berlangsung dari 90 hingga 150 menit 19
 Tetrakain 0,5%
 mepivakain 2%
 Ropivakain 0,75%
 Levobupivacaine 0,5%
 Kloroprokain 3%

17
2.8 Teknik anastesi spinal
Setelah pasien menjalani seleksi yang tepat, posisi pasien yang optimal untuk
prosedur harus ditetapkan. Prosedur ini biasanya dilakukan dengan pasien
dalam posisi duduk atau lateral dekubitus. Kenyamanan pasien sama saja.
Tujuan penentuan posisi adalah untuk membantu menetapkan jalur lurus
untuk penyisipan jarum di antara tulang belakang. Posisi yang paling sering
digunakan adalah posisi duduk. Pada posisi dekubitus lateral, anatomi tulang
belakang biasanya tidak simetris secara lateral seperti pada posisi duduk.
Dengan pasien diposisikan dalam posisi duduk dan kaki menggantung dari sisi
tempat tidur, dia harus didorong untuk mempertahankan posisi tulang
belakang yang tertekuk untuk membantu membuka celah. Posisi duduk sesuai
untuk anestesi spinal dengan larutan hiperbarik. Posisi dekubitus lateral kiri
atau kanan adalah pilihan yang layak juga. Setelah pasien dalam posisi yang
tepat, situs akses diidentifikasi dengan palpasi. Hal ini biasanya sangat sulit
dicapai dengan pasien obesitas karena jumlah lemak subkutan antara kulit dan
prosesus spinosus. Ruang antara 2 prosesus spinosus yang teraba biasanya
merupakan tempat masuknya. Pasien harus memakai topi atau penutup untuk
rambutnya untuk menjaga asepsis.4,5,6
Teknik aseptik yang ketat selalu diperlukan, dapat dicapai dengan
antiseptik klorheksidin dengan kandungan alkohol, cuci tangan yang
memadai, masker, dan tutup kepala. Pembersihan selalu dimulai dari lokasi
pendekatan yang dipilih dalam lingkaran dan kemudian menjauh dari lokasi.
Beri waktu hingga larutan pembersih mengering. Pada spinal kit, penempatan
drape berada di punggung pasien untuk mengisolasi area akses. Anestesi lokal
(biasanya sekitar 1 ml 1% lidokain) digunakan untuk infiltrasi kulit, dan
dibuat di lokasi akses yang dipilih, baik garis tengah atau paramedian. Dalam
pendekatan garis tengah, pendekatan tulang belakang ke ruang intratekal
adalah garis tengah dengan tembakan garis lurus. Setelah infiltrasi dengan
lidokain, jarum tulang belakang dimasukkan ke dalam kulit, sedikit miring ke
kepala. Jarum melintasi kulit, diikuti oleh lemak subkutan. Saat jarum masuk
lebih dalam, itu akan melibatkan ligamen supraspinosa dan kemudian ligamen

18
interspinosa; praktisi akan mencatat ini sebagai peningkatan resistensi
jaringan.4,5,6
Berikutnya adalah ligamentum flavum, dan ini akan muncul seperti "pop".
Saat melewati ligamen ini, adalah pendekatan ke ruang epidural, yang
merupakan titik penempatan obat dan kateter yang diberikan secara epidural.
Ini juga menyajikan intinya di mana hilangnya resistensi dirasakan terhadap
injeksi saline atau udara. Untuk anestesi spinal, dokter melanjutkan dengan
penyisipan jarum sampai penetrasi membran dura-subarachnoid, yang ditandai
dengan CSF yang mengalir bebas, kemudian pada titik inilah pemberian obat
dilakukan.4,5,6

Gambar 2: Lateral dekubitus dan posisi duduk

Gambar 3: Desain ujung jarum spinal

19
Gambar 4: Cara memasukkan jarum spinal anestesi
Anatomi vertebra dari pendekatan garis tengah dan paramedian untuk blok
centroneuraxis. Pendekatan garis tengah yang disorot di awal membutuhkan
proyeksi anatomis hanya dalam dua bidang: sagital dan horizontal. Pendekatan
paramedian yang ditunjukkan pada sisipan dan tampilan posterior memerlukan
tambahan bidang miring harus dipertimbangkan, meskipun teknik ini mungkin
lebih mudah pada pasien yang tidak dapat bekerja sama dalam meminimalkan
lordosis lumbal mereka. Jarum paramedian dimasukkan 1 cm lateral dan 1 cm
caudad ke tepi caudad proses spinosus vertebralis yang lebih superior. Jarum
paramedian adalah dimasukkan kira-kira 15 derajat dari bidang sagital, seperti
yang ditunjukkan pada sisipan.

20
BAB 3 PEMBAHASAN
Pada pasien ini dilakukan operasi dengan menggunakan teknik anestesi regional yaitu
SAB. Anestesi regional menjadi pilihan untuk tindakan sectio caesaria dengan alasan
utama yaitu tingginya morbiditas dan mortalitas pada teknik general anestesi (GA) atau
anestesi umum. Anestesi spinal adalah teknik anestesi yang umumnya disukai karena
mudah dilakukan; dikarenakan onset memblokir yang cepat. Pemberian analgesia pasca
operasi yang sangat baik seperti penggunaan opioid intratekal. Pada pasien dilakukan
anastesi spinal dengan diberikan obat bupivacaine dan fentanyl. Selama operasi
berlangsung tanda-tanda vital dipantau, produksi urin dipantau, serta jumlah
perdarahan juga dipantau.

21
DAFTAR REFERENSI

1. Wim de Jong, R Syamsuhidajat.Buku Ajar Ilmu Bedah.Patah Tulang


Metatarsal.EGC;Jakarta,2004. 124 p
2. Mansjoer, A, Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta: 2014. 256-7 p
3. Netter FH. Atlas of human anatomy. 4th edition. New Orleans LA:
sunder;2016 H 196-99
4. Olawin AM, Joe MD. Spinal anaesthesia. 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537299/
5. Pardo MC, Miller RD. Basics of anesthesia.ed.7. Elsevier: Philadeplhia:2018.
610-22p.
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s: clinical
anesthesiology.ed.5. McGrawHill Education Medical. New York: 2013. 907-
15p.

22

Anda mungkin juga menyukai