Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2020

GENERAL ANESTESI INTUBASI ENDOTRACHEAL TUBE PADA


PASIEN DENGAN PREDIKSI KESULITAN INTUBASI

Oleh :
Rizky Anindhia Putri, S.Ked
K1A1 12 043

PEMBIMBING
dr. Ahmad Safari Samud, M.Kes, Sp.An

PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Rizky Anindhia Putri, S.Ked
NIM : K1A1 12 121
Judul Laporan Kasus : General Anestesi Intubasi Endotracheal Tube pada
Pasien dengan Kesulitan Intubasi
Telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ahmad Safari Samud, M.Kes, Sp.An

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kegagalan mengelola saluran napas adalah penyebab kematian yang dapat


dicegah pada pasien yang menjalani anestesi umum. Enam puluh empat persen
dari henti jantung selama anestesia umum disebabkan oleh kesulitan intubasi
endotrakeal yang menyebabkan oksigenasi dan atau ventilasi tidak adekuat dan
sekitar 55–93% menyebabkan kematian atau kerusakan otak.1
Pemasangan pipa endotrakea (ET) merupakan salah satu tindakan
pengamanan jalan napas terbaik dan paling sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik.
Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan memberikan ventilasi mekanik,
tindakan ini juga dapat menghantarkan agen anestesi inhalasi pada anestesi umum.
Walaupun rutin dilakukan, tindakan ini bukan tanpa risiko dan tidak semua pasien
dengan anestesi umum membutuhkan tindakan ini. Pada umumnya pemasangan
pipa endotrakea (ET) diindikasikan untuk pasien dengan risiko aspirasi dan pada
pasien yang sedang menjalani operasi.2
Tindakan intubasi umumnya mudah dilakukan, dengan tingkat kegagalan
intubasi yang membutuhkan krikotirotomi adalah 0,9% secara umum, dan 1,7%
pada pasien trauma. Kegagalan intubasi terjadi dalam 1 kasus dari 200 hingga
2000 kasus anestesi umum elektif.
Jalan napas sulit didefinisikan sebagai situasi klinis di mana ahli
anestesiologi memilki kesulitan dalam ventilasi menggunakan sungkup, intubasi
trakea, atau keduanya. Sulit intubasi merupakan kondisi di mana insersi pipa
endotrakea dengan laringoskopi konvensional membutuhkan percobaan lebih dari
tiga kali atau membutuhkan waktu diatas 10 menit. Sulit ventilasi terjadi dalam 1
dari 50 kasus anesetesi umum dan kegagalan ventilasi terjadi dalam 1 dari 600
kasus. Kombinasi kegagalan intubasi dan ventilasi dalam pembiusan elektif sangat
jarang terjadi, yaitu 1 dari 5000 hingga 20.000 kasus enestesi umum elektif.3
Dalam kasus emergensi, insidens sulit ventilasi atau sulit intubasi sulit
diprediksi sehingga faktor-faktor yang dapat menyebabkan sulit ventilasi (baik

3
dengan sungkup muka atau supraglottic airway), sulit intubasi, dan sulit
krikotirotomi harus dinilai dengan saksama. Sebagian besar prediksi sulit jalan
napas masih belum dapat divalidasi secara ilmiah. Walaupun demikian, terdapat
beberapa pendekatan yang dapat diguakan untuk evaluasi jalan napas.3

4
BAB II
STATUS PASIEN

A. PRE-VISITE
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. WS
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 32 tahun
Agama : Islam
Alamat : Desa Langkumapo
No. RM : 56 59 21
Diagnosis : SNNT bilateral + Abses Tiroid
Tinggi badan : 162
Berat badan : 65
BMI : 24,80 (Normal)
2. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama : Benjolan pada leher
Anamnesis Terpimpin:
Pasien masuk RS rujukan dari praktek dokter Sp.Onk dengan rencana
operasi isthmolobektoni. Pasien mengeluh terdapat benjolan pada leher
sejak 25 tahun yang lalu, awalnya kecil namun semakin membesar
seiring bertambahnya usia dan sejak ±1 minggu sebelum masuk rumah
sakit terdapat bisul pada benjolan yang kemudian meletus dan
mengeluarkan nanah. Tidak terdapat keluhan nyeri dan tidak ada
perubahan suara. Keluhan lain sakit kepala (-), pusing (-), sesak (-), mual
(-), muntah (-) dan nyeri ulu hati (-), BAB dan BAK kesan normal.
Pasien menyangkal terjadi penurunan berat badan, sering berkeringat,
mudah lelah, dan tremor. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-),
riwayat yang sama dikeluarga (-), riwayat terpapar radiasi di leher (-),
riwayat penyakit lain (-).

5
3. Status Generalis
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital :
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 92x/menit, regular, kuat
angkat
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 36,5 º C
b. Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normosefal, rambut berwarna hitam, tidak mudah
tercabut
Mata : Exoftalmus (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), retraksi palpebra (-/-), palpebra terlambat (-/-)
Mulut :

- Bibir kering (-), pucat (-), kumis(-), jenggot (-)

- Pada pemeriksaan didapatkan pasien bisa membuka

mulut 3 jari yang dihitung dari gigi seri atas dan bawah

- Pada pemeriksaan untuk menentukan kelas mallampati

didapatkan Palatum molle, dan dasar uvula saja yang

terlihat atau mallampati kelas III

- Gigi: gigi palsu (-) , edentulous (-)

Leher :
- Pembesaran kelenjar tiroid: ditemukan pembesaran
dengan ukuran 13 x 16 cm, konsistensi kenyal, batas
tegas (+), terdapat ulkus, panas (-), nyeri (-)

6
- Pembesaran KGB: tidak ada pembesaran KGB
- Jejas (-)

Gambar 1. Gambaran umum pasien

7
Tabel 1. Skor LEMON
Kriteria Skor
Look externally
 Trauma wajah 0
 Gigi seri besar 0
 Jenggot atau kumis 0

 Lidah besar 0

Evaluate the 3-3-2


 Jarak antara gigi seri atas dan bawah < 3 jari 0
 Jarak antara tulang hyoid dan dagu < 3 jari 1
 Jarak antara thyroid notch dan dasar mulut <2 1
jari
Mallampati
 Skor Mallampati > 3 1
Obstruction
 Semua kondisi yang menyebabkan obstruksi 1
jalan napas
Neck Mobility
 Mobilitas leher terbatas atau terpasang neck 1
immobilizer
Total 5

Thoraks : Inspeksi : simetris kanan=kiri, edema (-), jejas (-),


rektraksi intercosta (-), tipe napas thoracoabdominal (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-), vocal fremitussimetris
(+/+), krepitasi (-)
Perkusi : sonor kanan=kiri
Auskultasi : bunyi napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung : Bunyi jantung I dan II murni reguler, bising (-), batas
jantung kesan normal
Abdomen : Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, jejas (-), edema (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

8
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Thympani (+)
Ekstremitas: Superior: mobilitas baik (+/+), sianosis (-/-), oedem
(-/-), telapak tangan lembab (-/-), turgor kulit baik,
CRT < 2 menit
Inferior: mobilitas baik (+/+), sianosis (-/-), oedem (-
/-), turgor kulit baik.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

Darah rutin (11/01/2020)

Hasil Nilai Rujukan

HCT 27,8 % 37,0 – 48,0 %

WBC 8,78 x 103/uL 4,0 – 10,0 x 103/uL

Hb 8,8 g/dl 12 – 16 g/dL

Trombosit 481 x 10^3/uL 150 – 400 x 10^3/uL

Kimia darah (11/01/2020)

Hasil Nilai Rujukan

GDS 108 mg/dl <140 mg/dl

Ureum 17 mg/dl 15-40 mg/dl

Kreatinin 0,7 mg/dl 0,7-1,2 mg/dl

SGOT 46 U/L < 35 U/L

SGPT 40 U/L < 140 U/L

CT 3’18” 1,0-9,0

BT 6’42” 1,0-3,0

9
Darah rutin (13/01/2020)

Hasil Nilai Rujukan

HCT 36,2 % 37,0 – 48,0 %

WBC 9,16 x 103/uL 4,0 – 10,0 x 103/uL

Hb 11,9 g/dl 12 – 16 g/dL

Trombosit 448 x 103/uL 150 – 400 x 103/uL

Imun serologi (11/01/2020) :


 HbsAg: Non-reaktif
b. Ro thorax AP (10/01/2020) :
 Kesan: Soft tissue mass ukuran 13 x 16 cm diregio colli kanan kiri
yang terproyeksi sampai setinggi VTh 5

10
c. USG Colli (10/01/2020)

- Thyroid lobus kanan: sulit dievaluasi


- Thyroid lobus kiri: sulit dievaluasi
- Tampak lesi kistik berdinding tebal semisolid dengan internal
moving echo didalamnya, ukuran melebihi jangkauan probe (> 5,5
x 6,2 x 5,2) cm di subkutan regio colli kanan kiri
Kesan: Abses region colli kanan kiri ukuran (> 5,5 x 6,2 x 5,2)
5. Diagnosa Anestesi
Diagnosis ASA PS II: WBC 9,16 x 103/uL, HB 11,9 g/dl, jarak antara
tulang hyoid dan dagu < 3 jari, Jarak antara
thyroid notch dan dasar mulut <2 jari, mallampati
kelas III, terdapat abses regio colli, dan mobilitas
leher terbatas
Jenis Operasi: General Anasthesia Intubasi Endotracheal, dengan
prediksi kesulitan intubasi

11
B. PERSIAPAN ANESTESI
1. Persiapan pasien
- Pasien puasa sejak pukul 02.00 WIB – 10.00 WIB
- Pemasangan infus pada kaki kiri dengan cairan Ringer Laktat
2. Persiapan alat
- Meja operasi dan perangkat operasi
- Mesin anestesi dan perangkat anestesi umum
- Laringoskop 3 ukuran
- C-MAC video laryngoscope
- Oropharingeal Airway
- Introducer (Stylet)
- ETT 3 ukuran
- Nasogastric tube
- Tape (Plester, Hipafix)
- Stetoskop
- Ambu bag
- Spoit
- Suction set

12
C. INTRA OPERASI

Setelah tindakan anestesi dan operasi selesai, dilakukan tindakan delayed


extubation untuk mencegah terjadinya kelemahan trakea (tracheomalasia)

13
post tindakan tiroidektomi total, sehingga pasien langsung rawat ICU untuk
pemasangan ventilator.
D. POST OPERASI
1. Pasien langsung rawat ruang ICU
2. Keluhan: pasien masih dibawah pengaruh anestesi
3. Pemeriksaan fisik:
a. B1: benda asing (-), suara tambahan (-), nyeri leher (-), pernafasan
cuping hidung (-), snoring (-), stridor (-), gargling (-), terpasang
ventilator (SIMV + PS: 12, PEEP 3, FiO2 60%, I:E = 1:2), tampak
luka yang telah dilakukan pemasangan verban di regio colli
b. B2 : akral hangat, arteri radialis reguler kuat angkat 94 x/m, CRT <
2’’, BP: 100/60, konjungtiva anemis (-),
c. B3 : Tidak sadar, GCS tersedasi, Pupil Isokor 3mm/3mm, reflek
cahaya (+/+)
d. B4 : produksi urine (+), terpasang kateter, urin ± 500 cc
e. B5 : peristaltik (+) normal
f. B6 : mobilitas (-), nyeri (-)

Tanggal Follow Up Instruksi


15/1/2020 S: Post-operasi - Head up 30°
O: Ku: sedang - Pasang ventilator
A: Post-General Anestesi SIMV + PS: 12
PEEP: 3
FiO2: 60%
I:E = 1:2
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Midazolam 1
ml/jam SP (IV)
- Inj. Fentanyl 1
ml/jam SP (IV)
- Inj. Pantoprazole 1

14
g/12jam (IV)

16/1/2020 S: Post-operasi - Head up 30°


O: Ku: sedang - Awasi tanda vital
T: 102/63 mmHg - IVFD NaCl :
N: 126x/m Aminofluid 2:1
P: 10x/m - Inj. Midazolam 1
S: 36,8°C ml/jam SP
VAS = 1 - Inj. Fentanyl 1
A: Post-Isthmolobektomi H-1 ml/jam SP
- Inj. Dexamethasone
3 x1 (IV)
- Ceftriaxone
1gr/12jam (IV)
- Inj. PCT 1gr/8jam
KP (IV)
17/1/2020 S: Post-operasi - Head up 30°
O: Ku: sedang, composmentis - Balance cairan
T: 110/57 mmHg - Extubasi
N: 108x/m - Pindah ruangan
P: 21x/m biasa
S: 36,7°C - IVFD NaCl :
SpO2: 98% Aminofluid 2:1
A: Post-isthmolobektomi H-2 - Inj. Midazolam 1
ml/jam SP
- Inj. Fentanyl 1
ml/jam SP
- Inj. Dexamethasone
3 x1 (IV)
- Ceftriaxone

15
1gr/12jam (IV)
- Inj. PCT 1gr/8jam
KP (IV)

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. INTUBASI ENDOTRAKEAL
Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa
endotrakeal kedalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan
nafas mudah dibantu dan dikendalikan. Tujuan dilakukannya intubasi
endotrakeal adalah untuk membersihkan jalan nafas agar tetap paten,
mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigen bagi pasien operasi.4
Indikasinya adalah pasien yang sulit mempertahankan saluran
nafas dan kelancaran pernafasan, misalnya pasien dengan penurunan
kesadaran, atau trauma daerah muka dan leher. Intubasi juga
diindikasikan untuk mencegah aspirasi (masuknya cairan lambung
ke saluran nafas), membantu mengisap secret, ventilasi mekanis
jangka lama, mengatasi obstruksi laring, anestesi umum pada operasi
dengan napas terkontrol, operasi pasien posisi miring atau tengkurap,
operasi yang lama/atau sulit untuk mempertahankan saluran nafas,
misalnya operasi di bagian leher dan kepala, dan mempermudah
anestesi umum.5
1. Persiapan
Persiapan alat-alat yang dibutuhkan (STATIC) yaitu : Scope
(laringoskop, stetoskop), Tube (endotracheal tube/ET), Airway
(Guedel/Mayo), Tape (Plester, Hipafix), Introducer (Stilet),
Connector (biasanya sudah terpasang di ET), Suction dan Spuit.

17
Gambar 2. Laringoskop dengan berbagai Miller blade (dewasa besar,

dewasa kecil, anak, bayi dan neonatus)

Gambar 3. Laringoskop dengan berbagai Macintosh blade (dewasa

besar, dewasa kecil, anak, bayi dan neonatus)

Gambar 4. a. Cuffed endotracheal tube, terbuat dari polivinil

klorida, b. Carlens double-lumen endotracheal tube,

18
digunakan pada pembedahan thoraks seperti lobektomi

VATS.

Gambar 5. Macam-macam Guedel

Gambar 6. Stilet pipa endotrakeal, digunakan untuk membantu intubasi

orotrakeal

19
2. Teknik Intubasi5
1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2) Jika GCS pasien 11, dengan mudah dilakukan intubasu tanpa
anastetik
3) Berikan ventilasi dengan O2 100 % selama kira-kira 1-2 menit atau
saturasi oksigen mencapai maksimal (100%)
4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri (jika kidal,
menggunakan tangan kanan), tangan kanan mendorong kepala
hingga sedikit ekstenti dan mulut terbuka.
5) Masukan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit
demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan menggeser lidah ke kiri
menuju epiglottis atau pangkal lidah.
6) Cari epiglottis terlebih dahulu, setelah terlihat, tempatkan bilah di
depan epiglottis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglottis (pada
bilah lurus)
7) Cari rima glottis (kadang-kadang perlu bantuan asisten untuk
menekan trakea dari luar sehingga rima glottis ditekan).
8) Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah disekitarnya
berwarna merah.
9) Masukkan ET dengan tangan kanan. Untuk memasang ET , harus
diperhatikan dalam mengangkat gagang laringoskop, jangan
mengungkit kea rah gigi atas karena dapat menyebabkan gigi patah.
10) Hubungkan pangkal ET dengan mesin anastesi atau alat bantu
napas.
11) Jika pasien masih sadar, dapat diberikan obat induksi seperti
propofol atau ketamine sebelum melakukan tindakan
B. KESULITAN VENTILASI
Kesulitan ventilasi menurut The American Society of
Anesthesiology adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang
berpengalaman untuk menjaga SpO2 > 90 % saat ventilasi dengan
menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan

20
ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam
batas normal.6
Pada keadaan ini dokter tidak dapat memberikan ventilasi yang
adekuat karena beberapa keadaan berikut: penutupan masker atau
SGA yang tidak adekuat, terlalu banyak gas yang bocor, atau
resistensi yang berlebihan terhadap masuknya atau jalan keluar gas.
Tanda pada ventilasi yang inadekuat diantaranya tidak adanya atau
inadekuat dari pergerakan dada, suara nafas, tanda auskultasi pada
obstruksi yang parah, sianosis, masuknya udara pada lambung,
penurunan SpO2, tidak adanya pengeluaran gas CO2, pada spirometri
tidak terlihat adanya aliran gas ekshalasi, dan perubahan
hemodinamik seperti hipoksemia atau hipercarbia (hipertensi,
takikardia, dan aritmia).7
Langeron dkk menciptkan lima kriteria yang dianggap sebagai
faktor independen penyebab kesulitan ventilasi yang disingkat
“OBESE”:8
1. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
2. Beard
3. Elderly (> 55 tahun)
4. Snoring
5. Edentulous
(Usia >55 tahun, BMI >26 kg/m2, adanya jenggot, hilangnya
gigi, dan riwayat mengorok), adanya 2 dari 5 faktor tersebut
mengindikasikan kesulitan ventilasi.8

Tanda kegagalan ventilasi:6


1. Tidak adekuat atau tidak adanya gerakan dinding dada
2. Berkurangnya atau tidak adanya suara napas
3. Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi
4. Sianosis
5. Dilatasi lambung atau meningkatnya udara lambung

21
6. Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen
7. Berkurangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida
8. Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri
9. Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia
C. KESULITAN INTUBASI
Sulit intubasi merupakan kondisi di mana insersi pipa endotrakea
dengan laringoskopi konvensional membutuhkan percobaan lebih dari tiga
kali atau membutuhkan waktu diatas 10 menit.3
1. Tes Spesifik9
a. Kriteria Anatomi
 Mallampati Test
Untuk mengetahui kemungkinan kesulitan intubasi, dapat
dilakukan pengukuran menggunakan klasifikasi Mallampati
dengan cara pasien diminta membuka mulut dalam posisi duduk.

Gambar.

Gambar7. Mallampati Test

Kelas I : Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas


Kelas II : Palatum molle, fauces dan sebagian uvula terlihat
Kelas III : Palatum molle, dan dasar uvula saja yang terlihat
Kelas IV : Hanya terlihat langit-langit
Kelas I dan II merupakan bentuk yang paling mudah untuk
dilakukan intubasi dibandingkan kelas III dan IV, merupakan

22
kelas yang paling sulit untuk dilakukan intubasi. Untuk
menghindari hasil positif palsu atau negative palsu, tes ini
sebaiknya di ulang sebanyak dua kali.
 Atlanto occipital joint (AO) extension
Extension at the atlanto-axial joint dilakukan dengan menyuruh
pasien untuk memfleksikan leher mereka dengan menengadahkan
dan menundukkan kepala. Penurunan gerakan sendi ini
berhubungan dengan kesulitan intubasi.
Grade I : >35°
Grade II : 22°-34°
Grade III : 12°-21°
Grade IV : < 12°
Normal extensi sudut 35° atau lebih.
 Jarak mandibular
- Thyromental distance (Tes Patil) diukur dari thyroid notch
ujung rahang dengan kepala yang diekstensikan. Jarak normal
adalah 6,5 cm atau lebih dan ini juga tergantung anatomi
termasuk posisi laring. Bila jaraknya kurang dari 6 cm maka
intubasi tidak memungkinkan.
- Sternomental distance diukur dari sternum sampai ujung
mandibula dengan kepala ekstensi dan ini dipengaruhi oleh
ekstensi leher. Jarak sternomental 12,5 cm atau kurang
diperkirakan akan sulit untuk diintubasi.
- Mandibulo-hyoid distance (Gambar 2) mengukur panjang
mandibula dari dagu sampai hyoid, normalnya 4 cm atau 3 jari.

23
Gambar 8. Jarak hyoid-dagu

- Inter-incisor distance: jarak antara incisor atas dan incisor


bawah. Normal 4,6 cm atau lebih, jika lebih dari 3,8
merupakan prediksi kesulitan airway.
 Manajemen jalan napas dengan metode LEMON
Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan nafas US
mencanangkan metode LEMON. Sistem penilaian ini meliputi
sebagian besar karakteristik yang disebutkan sebelumnya dan
diadaptasi untuk digunakan pada ruang resusitasi.
L = Look externally
Lihat pasien keseluruhan luar untuk mengetahui penyebab
kesulitan laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Yang biasanya
dilihat adalah bentuk wajah abnormal (subjektif), gigi seri yang
lebar/menonjol, gigi palsu (sulit dinilai)
E = Evaluate the 3-3-2 rule
Hubungan faring, laring dan oral berhubungan dengan intubasi.
Jarak antara gigi seri atas dan bawah pasien sekurangnya 3 jari,
jarak antara tulang hyoid dan dagu sekurangnya 3 jari, dan jarak
antara thyroid notch dan dasar mulut sekurangnya 2 jari.

24
Gambar 9. Manajemen jalan napas menggunakan metode
LEMON.

M = Mallampati
Klasifikasi Mallampati berkolerasi dengan ukuran lidah dan
ukuran faring. Untuk menentukan klasifikasi ini, dilakukan tes
pada pasien dalam keadaan sadar, dengan posisi duduk, mulut
terbuka dan lidah dijulurkan semaksimal mungkin. Pasien
sebaiknya tidak melakukan fonasi karena dapat menyebabkan
kontraksi dan elevasi dari pallatum molle yang meyebabkan kesan
yang salah. Untuk menghindari negatif palsu atau positif palsu,
tes ini sebaiknya harus dilakukan dua kali atau lebih.

O = Obstruction

Beberapa kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang


membuat sulitnya laringoskopi dan ventilasi. Selain keadaan
epiglotis, adanya abses peritonsiler dan trauma.

N = Neck mobility

Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi. Hal ini
dapat dinilai mudah dengan menyuruh pasien menundukkan

25
kepala dan kemudian menengadahkannya. Pasien dengan
imobilisasi leher lebih sulit diintubasi.
b. Laryngoskop Direct
Cornack dan Lehane menambahkan criteria kesulitan intubasi
berdasarkan penampakan saat masuk laringoskop ke mulut yang di
bagi menjadi beberapa tingkatan :

Gambar 10 . Klasifikasi Cornack dan Lehane, 1984


- Tingkat 1: Glottis terlihat penuh, plica vocalis terlihat jelas
- Tingkat 2: Glottis bagian depan tidak tampak, plica vocalis
terlihat sedikit.
- Tingkat 3: Terlihat epiglottis, tetapi glottis tidak terlihat
- Tingkat 4: Glottis tidak terlihat
2. Indikator Kesulitan Intubasi10
Tanda klasik yang memudahkan operator untuk memprediksi
adanya penyulit dalam intubasi dapat di ringkas sebagai berikut :
a. Pergerakan fleksi-ekstensi kepala dan leher yang buruk
b. Gigi yang menonjol
c. Jarak atlanto-occipital yang kurang
d. Lidah yang besar

26
BAB III
ANALISA KASUS

Secara teori pada penilaian Kesulitan Ventilasi dapat ditentukan dengan


metode (OBESE): Over weight (body mass index > 26 kg/m2), Beard, Elderly (>
55 tahun), Snoring dan Edentulous. Secara teori untuk penilaian kesulitan intubasi
pada pemeriksaan dapat dilakukan dengan metode LEMON (L= Look externally,
E= evaluated the 3-3-2 rule, M = mallampati, O= obstruction, N= neck mobility).
Pada pemeriksaan pre-visite pada pasien untuk kesulitan ventilasi didapatkan
Body mass index pasien 24,80 kg/m2, tidak terdapat jenggot, usia 32 tahun, tidak
mengorok, dan tidak adanya gigi hilang/copot sehingga pada pre-visite pada
pasien tidak ada kemungkinan terjadinya kesulitan ventilasi.
Pada pemeriksaan previsite saat pemeriksaan fisis didapatkan jarak antara
tulang hyoid dan dagu < 3 jari, jarak antara thyroid notch dan dasar mulut <2 jari,
sehingga memenuhi kriteria E = evaluate 3-3-2, terdapat pembesaran tiroid ukuran
13 x 16 cm yang memenuhi kriteria O = obstruction, dan terbatasnya mobilitas
leher (fleksi dan ekstensi) yang memenuhi kriteria N = neck mobility pada kriteria
LEMON, sehingga pre-visite pada pasien kemungkinan kesulitan intubasi dapat
terjadi.
Berdasarkan teori, pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan
napas US mencanangkan metode LEMON.
 L = Look externally yaitu melihat pasien keseluruhan luar untuk mengetahui
penyebab kesulitan laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Yang biasanya
dilihat adalah apakah terdapat trauma pada wajah, gigi seri yang besar,
adanya jenggot atau kumis, dan lidah yang besar . Pada pasien tidak terdapat
trauma pada wajah, gigi seri yang besar, adanya jenggot atau kumis, dan lidah
yang besar sehingga pada penilaian Look externally mendapatkan skor 0.
 E = Evaluate the 3-3-2 rule yaitu hubungan faring, laring dan oral
berhubungan dengan intubasi. Jarak antara gigi seri atas dan bawah pasien
sekurangnya 3 jari, jarak antara tulang hyoid dan dagu sekurangnya 3 jari,
dan jarak antara thyroid notch dan dasar mulut sekurangnya 2 jari. Pada

27
pasien didapatkan jarak antara tulang hyoid dan dagu <3 jari serta jarak antara
hypid notch dan dasar mulut < 2 jari dengan masing-masing skor 1 sehingga
pada Evaluate the 3-3-2 rule mendapatkan skor 2.
 M = Mallampati, pada pemeriksaan pre-operasi, saat pasien membuka mulut
dilakukan tes mallampati didapatkan mallampati kelas III yaitu palatum
molle, dan dasar uvula saja yang terlihat sehingga pada Mallampati
mendapatkan skor 1
 O = Obstruction yaitu kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan napas yang
membuat sulitnya laringoskopi dan ventilasi. Selain keadaan epiglotis, adanya
abses peritonsiler dan trauma. Pada pasien kondisi yang dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas adalah terdapatnya abses pada tiroid sehingga
mendapatkan skor 1.
 N = Neck mobility yaitu dengan menilai adanya moblitas leher yang terbatas
atau terpasang neck immobilizer. Pada pasien didapatkan mobilitas leher yang
terbatas akibat adanya benjolan pada leher, sehingga mendapatkan skor 1.
Pasien ini memenuhi 5 kriteria skor LEMON yang menunjukkan bahwa
adanya kemungkinan pasien mengalami kesulitan tindakan intubasi. Namun
scoring ini bukanlah penentu gagalnya suatu tindakan intubasi, karena pada pasien
ini tindakan general anestesi dengan intubasi endotrakeal berhasil dilakukan hanya
dengan sekali percobaan saja dengan tetap tersedianya alat-alat emergency apabila
terjadi kesulitan intubasi.

28
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien pada kasus ini memenuhi 5 kriteria skor LEMON yang merupakan
metode untuk menilai atau memprediksi kesulitan intubasi saat tindakan general
anestesi. Pada pemeriksaan previsite saat pemeriksaan fisis didapatkan jarak
antara tulang hyoid dan dagu < 3 jari, jarak antara thyroid notch dan dasar mulut
<2 jari, sehingga memenuhi kriteria E = evaluate 3-3-2, terdapat pembesaran
tiroid ukuran 13 x 16 cm yang memenuhi kriteria O = obstruction, dan terbatasnya
mobilitas leher (fleksi dan ekstensi) yang memenuhi kriteria N = neck mobility
pada kriteria LEMON, sehingga pre-visite pada pasien kemungkinan kesulitan
intubasi dapat terjadi.
Namun metode ini bukanlah penentu gagalnya suatu tindakan intubasi, karena
pada pasien ini tindakan general anestesi dengan intubasi endotrakeal berhasil
dilakukan hanya sekali percobaan saja dengan tetap tersedianya alat-alat
emergency apabila terjadi kesulitan intubasi.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Swasono, GA., dkk. 2017. Perbandingan antara Uji Mallampati Modifikasi


dan Mallampati Ekstensi Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Endotrakeal
di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Artikel penelitian. Jurnal Anestesi
Perioperatif
2. Mayo, RH. 2014. Pengaruh Durasi Tindakan Intubasi Terhadap Rate
Pressure Product (RPP). Jurnal Media Medika Muda
3. Rehatta, NM., dkk. 2019. Anestesiologi dan Terapi Intensif Buku Teks
KATI-PERDATIN. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama
4. Mukian, M., dkk. 2013. Mula Kerja Atracurium. Kandidat Skripsi
Fakultas edokteran Universitas Sam Ratulangi
5. Pramono Ardi. 2014. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta. EGC : Penerbit Buku
Kedokteran. 7-22p
6. Soleimanpour, H., dkk. 2012. How to Overcome Difficult-Bag-
Mask-Ventilation: Recent Approaches. Emergency Medicine
7. American Society of Anesthesiologists, 2013. Practice Guidelines for
Management of the Difficult Airway-An Updated Report by the
American Society of Anesthesiologists Task Force on Management
of the Difficult Airway. Jurnal American Society of Anesthesiologists
8. Magboul, MA. 2006. Airway Evaluation and Assessment for
Anesthesia and Resuscitation. The Internet Journal of Health.
Volume 6 Number 1
9. Gupta, S., dkk. 2005. Airway Assessment: Predictors of Difficult Airway.
Indian Journal ofAnaesthesia

30

Anda mungkin juga menyukai