Oleh :
Rizky Anindhia Putri, S.Ked
K1A1 12 043
PEMBIMBING
dr. Ahmad Safari Samud, M.Kes, Sp.An
1
HALAMAN PENGESAHAN
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
dengan sungkup muka atau supraglottic airway), sulit intubasi, dan sulit
krikotirotomi harus dinilai dengan saksama. Sebagian besar prediksi sulit jalan
napas masih belum dapat divalidasi secara ilmiah. Walaupun demikian, terdapat
beberapa pendekatan yang dapat diguakan untuk evaluasi jalan napas.3
4
BAB II
STATUS PASIEN
A. PRE-VISITE
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. WS
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 32 tahun
Agama : Islam
Alamat : Desa Langkumapo
No. RM : 56 59 21
Diagnosis : SNNT bilateral + Abses Tiroid
Tinggi badan : 162
Berat badan : 65
BMI : 24,80 (Normal)
2. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama : Benjolan pada leher
Anamnesis Terpimpin:
Pasien masuk RS rujukan dari praktek dokter Sp.Onk dengan rencana
operasi isthmolobektoni. Pasien mengeluh terdapat benjolan pada leher
sejak 25 tahun yang lalu, awalnya kecil namun semakin membesar
seiring bertambahnya usia dan sejak ±1 minggu sebelum masuk rumah
sakit terdapat bisul pada benjolan yang kemudian meletus dan
mengeluarkan nanah. Tidak terdapat keluhan nyeri dan tidak ada
perubahan suara. Keluhan lain sakit kepala (-), pusing (-), sesak (-), mual
(-), muntah (-) dan nyeri ulu hati (-), BAB dan BAK kesan normal.
Pasien menyangkal terjadi penurunan berat badan, sering berkeringat,
mudah lelah, dan tremor. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-),
riwayat yang sama dikeluarga (-), riwayat terpapar radiasi di leher (-),
riwayat penyakit lain (-).
5
3. Status Generalis
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital :
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 92x/menit, regular, kuat
angkat
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 36,5 º C
b. Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normosefal, rambut berwarna hitam, tidak mudah
tercabut
Mata : Exoftalmus (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), retraksi palpebra (-/-), palpebra terlambat (-/-)
Mulut :
mulut 3 jari yang dihitung dari gigi seri atas dan bawah
Leher :
- Pembesaran kelenjar tiroid: ditemukan pembesaran
dengan ukuran 13 x 16 cm, konsistensi kenyal, batas
tegas (+), terdapat ulkus, panas (-), nyeri (-)
6
- Pembesaran KGB: tidak ada pembesaran KGB
- Jejas (-)
7
Tabel 1. Skor LEMON
Kriteria Skor
Look externally
Trauma wajah 0
Gigi seri besar 0
Jenggot atau kumis 0
Lidah besar 0
8
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Thympani (+)
Ekstremitas: Superior: mobilitas baik (+/+), sianosis (-/-), oedem
(-/-), telapak tangan lembab (-/-), turgor kulit baik,
CRT < 2 menit
Inferior: mobilitas baik (+/+), sianosis (-/-), oedem (-
/-), turgor kulit baik.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
CT 3’18” 1,0-9,0
BT 6’42” 1,0-3,0
9
Darah rutin (13/01/2020)
10
c. USG Colli (10/01/2020)
11
B. PERSIAPAN ANESTESI
1. Persiapan pasien
- Pasien puasa sejak pukul 02.00 WIB – 10.00 WIB
- Pemasangan infus pada kaki kiri dengan cairan Ringer Laktat
2. Persiapan alat
- Meja operasi dan perangkat operasi
- Mesin anestesi dan perangkat anestesi umum
- Laringoskop 3 ukuran
- C-MAC video laryngoscope
- Oropharingeal Airway
- Introducer (Stylet)
- ETT 3 ukuran
- Nasogastric tube
- Tape (Plester, Hipafix)
- Stetoskop
- Ambu bag
- Spoit
- Suction set
12
C. INTRA OPERASI
13
post tindakan tiroidektomi total, sehingga pasien langsung rawat ICU untuk
pemasangan ventilator.
D. POST OPERASI
1. Pasien langsung rawat ruang ICU
2. Keluhan: pasien masih dibawah pengaruh anestesi
3. Pemeriksaan fisik:
a. B1: benda asing (-), suara tambahan (-), nyeri leher (-), pernafasan
cuping hidung (-), snoring (-), stridor (-), gargling (-), terpasang
ventilator (SIMV + PS: 12, PEEP 3, FiO2 60%, I:E = 1:2), tampak
luka yang telah dilakukan pemasangan verban di regio colli
b. B2 : akral hangat, arteri radialis reguler kuat angkat 94 x/m, CRT <
2’’, BP: 100/60, konjungtiva anemis (-),
c. B3 : Tidak sadar, GCS tersedasi, Pupil Isokor 3mm/3mm, reflek
cahaya (+/+)
d. B4 : produksi urine (+), terpasang kateter, urin ± 500 cc
e. B5 : peristaltik (+) normal
f. B6 : mobilitas (-), nyeri (-)
14
g/12jam (IV)
15
1gr/12jam (IV)
- Inj. PCT 1gr/8jam
KP (IV)
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. INTUBASI ENDOTRAKEAL
Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa
endotrakeal kedalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan
nafas mudah dibantu dan dikendalikan. Tujuan dilakukannya intubasi
endotrakeal adalah untuk membersihkan jalan nafas agar tetap paten,
mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigen bagi pasien operasi.4
Indikasinya adalah pasien yang sulit mempertahankan saluran
nafas dan kelancaran pernafasan, misalnya pasien dengan penurunan
kesadaran, atau trauma daerah muka dan leher. Intubasi juga
diindikasikan untuk mencegah aspirasi (masuknya cairan lambung
ke saluran nafas), membantu mengisap secret, ventilasi mekanis
jangka lama, mengatasi obstruksi laring, anestesi umum pada operasi
dengan napas terkontrol, operasi pasien posisi miring atau tengkurap,
operasi yang lama/atau sulit untuk mempertahankan saluran nafas,
misalnya operasi di bagian leher dan kepala, dan mempermudah
anestesi umum.5
1. Persiapan
Persiapan alat-alat yang dibutuhkan (STATIC) yaitu : Scope
(laringoskop, stetoskop), Tube (endotracheal tube/ET), Airway
(Guedel/Mayo), Tape (Plester, Hipafix), Introducer (Stilet),
Connector (biasanya sudah terpasang di ET), Suction dan Spuit.
17
Gambar 2. Laringoskop dengan berbagai Miller blade (dewasa besar,
18
digunakan pada pembedahan thoraks seperti lobektomi
VATS.
orotrakeal
19
2. Teknik Intubasi5
1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2) Jika GCS pasien 11, dengan mudah dilakukan intubasu tanpa
anastetik
3) Berikan ventilasi dengan O2 100 % selama kira-kira 1-2 menit atau
saturasi oksigen mencapai maksimal (100%)
4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri (jika kidal,
menggunakan tangan kanan), tangan kanan mendorong kepala
hingga sedikit ekstenti dan mulut terbuka.
5) Masukan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit
demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan menggeser lidah ke kiri
menuju epiglottis atau pangkal lidah.
6) Cari epiglottis terlebih dahulu, setelah terlihat, tempatkan bilah di
depan epiglottis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglottis (pada
bilah lurus)
7) Cari rima glottis (kadang-kadang perlu bantuan asisten untuk
menekan trakea dari luar sehingga rima glottis ditekan).
8) Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah disekitarnya
berwarna merah.
9) Masukkan ET dengan tangan kanan. Untuk memasang ET , harus
diperhatikan dalam mengangkat gagang laringoskop, jangan
mengungkit kea rah gigi atas karena dapat menyebabkan gigi patah.
10) Hubungkan pangkal ET dengan mesin anastesi atau alat bantu
napas.
11) Jika pasien masih sadar, dapat diberikan obat induksi seperti
propofol atau ketamine sebelum melakukan tindakan
B. KESULITAN VENTILASI
Kesulitan ventilasi menurut The American Society of
Anesthesiology adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang
berpengalaman untuk menjaga SpO2 > 90 % saat ventilasi dengan
menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan
20
ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam
batas normal.6
Pada keadaan ini dokter tidak dapat memberikan ventilasi yang
adekuat karena beberapa keadaan berikut: penutupan masker atau
SGA yang tidak adekuat, terlalu banyak gas yang bocor, atau
resistensi yang berlebihan terhadap masuknya atau jalan keluar gas.
Tanda pada ventilasi yang inadekuat diantaranya tidak adanya atau
inadekuat dari pergerakan dada, suara nafas, tanda auskultasi pada
obstruksi yang parah, sianosis, masuknya udara pada lambung,
penurunan SpO2, tidak adanya pengeluaran gas CO2, pada spirometri
tidak terlihat adanya aliran gas ekshalasi, dan perubahan
hemodinamik seperti hipoksemia atau hipercarbia (hipertensi,
takikardia, dan aritmia).7
Langeron dkk menciptkan lima kriteria yang dianggap sebagai
faktor independen penyebab kesulitan ventilasi yang disingkat
“OBESE”:8
1. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
2. Beard
3. Elderly (> 55 tahun)
4. Snoring
5. Edentulous
(Usia >55 tahun, BMI >26 kg/m2, adanya jenggot, hilangnya
gigi, dan riwayat mengorok), adanya 2 dari 5 faktor tersebut
mengindikasikan kesulitan ventilasi.8
21
6. Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen
7. Berkurangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida
8. Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri
9. Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia
C. KESULITAN INTUBASI
Sulit intubasi merupakan kondisi di mana insersi pipa endotrakea
dengan laringoskopi konvensional membutuhkan percobaan lebih dari tiga
kali atau membutuhkan waktu diatas 10 menit.3
1. Tes Spesifik9
a. Kriteria Anatomi
Mallampati Test
Untuk mengetahui kemungkinan kesulitan intubasi, dapat
dilakukan pengukuran menggunakan klasifikasi Mallampati
dengan cara pasien diminta membuka mulut dalam posisi duduk.
Gambar.
22
kelas yang paling sulit untuk dilakukan intubasi. Untuk
menghindari hasil positif palsu atau negative palsu, tes ini
sebaiknya di ulang sebanyak dua kali.
Atlanto occipital joint (AO) extension
Extension at the atlanto-axial joint dilakukan dengan menyuruh
pasien untuk memfleksikan leher mereka dengan menengadahkan
dan menundukkan kepala. Penurunan gerakan sendi ini
berhubungan dengan kesulitan intubasi.
Grade I : >35°
Grade II : 22°-34°
Grade III : 12°-21°
Grade IV : < 12°
Normal extensi sudut 35° atau lebih.
Jarak mandibular
- Thyromental distance (Tes Patil) diukur dari thyroid notch
ujung rahang dengan kepala yang diekstensikan. Jarak normal
adalah 6,5 cm atau lebih dan ini juga tergantung anatomi
termasuk posisi laring. Bila jaraknya kurang dari 6 cm maka
intubasi tidak memungkinkan.
- Sternomental distance diukur dari sternum sampai ujung
mandibula dengan kepala ekstensi dan ini dipengaruhi oleh
ekstensi leher. Jarak sternomental 12,5 cm atau kurang
diperkirakan akan sulit untuk diintubasi.
- Mandibulo-hyoid distance (Gambar 2) mengukur panjang
mandibula dari dagu sampai hyoid, normalnya 4 cm atau 3 jari.
23
Gambar 8. Jarak hyoid-dagu
24
Gambar 9. Manajemen jalan napas menggunakan metode
LEMON.
M = Mallampati
Klasifikasi Mallampati berkolerasi dengan ukuran lidah dan
ukuran faring. Untuk menentukan klasifikasi ini, dilakukan tes
pada pasien dalam keadaan sadar, dengan posisi duduk, mulut
terbuka dan lidah dijulurkan semaksimal mungkin. Pasien
sebaiknya tidak melakukan fonasi karena dapat menyebabkan
kontraksi dan elevasi dari pallatum molle yang meyebabkan kesan
yang salah. Untuk menghindari negatif palsu atau positif palsu,
tes ini sebaiknya harus dilakukan dua kali atau lebih.
O = Obstruction
N = Neck mobility
Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi. Hal ini
dapat dinilai mudah dengan menyuruh pasien menundukkan
25
kepala dan kemudian menengadahkannya. Pasien dengan
imobilisasi leher lebih sulit diintubasi.
b. Laryngoskop Direct
Cornack dan Lehane menambahkan criteria kesulitan intubasi
berdasarkan penampakan saat masuk laringoskop ke mulut yang di
bagi menjadi beberapa tingkatan :
26
BAB III
ANALISA KASUS
27
pasien didapatkan jarak antara tulang hyoid dan dagu <3 jari serta jarak antara
hypid notch dan dasar mulut < 2 jari dengan masing-masing skor 1 sehingga
pada Evaluate the 3-3-2 rule mendapatkan skor 2.
M = Mallampati, pada pemeriksaan pre-operasi, saat pasien membuka mulut
dilakukan tes mallampati didapatkan mallampati kelas III yaitu palatum
molle, dan dasar uvula saja yang terlihat sehingga pada Mallampati
mendapatkan skor 1
O = Obstruction yaitu kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan napas yang
membuat sulitnya laringoskopi dan ventilasi. Selain keadaan epiglotis, adanya
abses peritonsiler dan trauma. Pada pasien kondisi yang dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas adalah terdapatnya abses pada tiroid sehingga
mendapatkan skor 1.
N = Neck mobility yaitu dengan menilai adanya moblitas leher yang terbatas
atau terpasang neck immobilizer. Pada pasien didapatkan mobilitas leher yang
terbatas akibat adanya benjolan pada leher, sehingga mendapatkan skor 1.
Pasien ini memenuhi 5 kriteria skor LEMON yang menunjukkan bahwa
adanya kemungkinan pasien mengalami kesulitan tindakan intubasi. Namun
scoring ini bukanlah penentu gagalnya suatu tindakan intubasi, karena pada pasien
ini tindakan general anestesi dengan intubasi endotrakeal berhasil dilakukan hanya
dengan sekali percobaan saja dengan tetap tersedianya alat-alat emergency apabila
terjadi kesulitan intubasi.
28
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien pada kasus ini memenuhi 5 kriteria skor LEMON yang merupakan
metode untuk menilai atau memprediksi kesulitan intubasi saat tindakan general
anestesi. Pada pemeriksaan previsite saat pemeriksaan fisis didapatkan jarak
antara tulang hyoid dan dagu < 3 jari, jarak antara thyroid notch dan dasar mulut
<2 jari, sehingga memenuhi kriteria E = evaluate 3-3-2, terdapat pembesaran
tiroid ukuran 13 x 16 cm yang memenuhi kriteria O = obstruction, dan terbatasnya
mobilitas leher (fleksi dan ekstensi) yang memenuhi kriteria N = neck mobility
pada kriteria LEMON, sehingga pre-visite pada pasien kemungkinan kesulitan
intubasi dapat terjadi.
Namun metode ini bukanlah penentu gagalnya suatu tindakan intubasi, karena
pada pasien ini tindakan general anestesi dengan intubasi endotrakeal berhasil
dilakukan hanya sekali percobaan saja dengan tetap tersedianya alat-alat
emergency apabila terjadi kesulitan intubasi.
29
DAFTAR PUSTAKA
30