Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau
oleh gangguan peristaltis. Penyumbatan dapat terjadi dimana saja di sepanjang
usus. Intususepsi merupakan penyebab tersering dari sumbatan usus akut pada
anak. Intususepsi adalah invaginasi satu segmen usus ke segmen lainnya dan
merupakan penyebab obstruksi usus yang sering pada bayi dan anak, terjadi pada
1,9/1000 kelahiran hidup. Perbandingan kejadian pada anak laki-laki: perempuan
3:2, terbanyak terjadi pada bayi usia 4-10 bulan. Sekitar 60-65% kasus terjadi
pada anak usia <1 tahun dan 80% terjadi pada anak kurang dari 2 tahun. Etiologi
intususepsi dapat idiopatik (95%) atau sekunder akibat adanya lead point (Meckel
diverticle, limfoma, hipertrofi Payers patches akibat infeksi virus)
(Sjamsuhidajat, 2005; IDAI. 2011).
Gambaran klinis intususepsi (anak maupun dewasa) muntah (80%) (1),
serangan nyeri perut kolik (100%) (2), teraba tumor berbentuk sosis (80%) (3),
diare pada awal penyakit 50%); kemudian pengeluaran darah campur lendir
berupa selai kismis merah (50%) (4), jarang didapatkan ujung invaginatum
sebagai porsio semu pada colok dubur. Invaginasi umumnya berupa intususepsi
ileosecal yang masuk naik ke kolon ascendens dan mungkin terus sampai keluar
dari rectum. Invaginasi dapat mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus
yang masuk dengan komplikasi perforasi dan peritonitis (Sjamsuhidajat, 2005).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda
adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan atau
tindakan. Ileus ada dua macam, yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik
(Guyton 2008).
Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana
isi lumensaluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya
sumbatan/hambatanmekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus,
dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada
suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.
Sedangkan ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus
gagal/ tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan
isinya akibat kegagalan neurogenik atau hilangnya peristaltik usus tanpa
adanya obstruksi mekanik (Guyton 2008; Ullah, 2009).
Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstrukif atau ileus mekanik
dibedakan menjadi, antara lain (Manif dan Karta, 2008) :
1. Ileus obstruktif letak tinggi : obstruksi mengenai usus halus (dari gaster
sampai ileumterminal)
2. Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum
terminal sampairectum)
Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau
oleh gangguan peristaltis. Obstruksi usus disebut juga obstruksi mekanik.
Penyumbatan dapat terjadi dimana saja di sepanjang usus. Invaginasi
merupakan penyebab tersering dari sumbatan usus akut pada anak
(Sjamsuhidajat, 2005).
Intususepsi adalah proses invaginasi satu segmen usus ke dalam bagian
distal segmen didekatnya. Pada instususepsi, segmen usus bagian proksimal
masuk ke lumen segmen usus bagian distalnya (Paskauskas dan Pavalkis,
2012). Ujung intususeptum disebut apeks atau titik awal. Invaginasi berasal
dari bahasa Latin in yang berarti di dalam, dan vagina yang berarti
sarung (Sjamsuhidajat, 2005). Invaginasi atau intususepsi artinya prolapsus
suatu bagian usus ke dalam lumen bagian yang tepat berdekatan. Bagian usus

2
yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang menerima intususepturn
dinamakan intususipiens. Oleh karena itu, invaginasi disebut juga intususepsi.
Intsusseptum juga berasal dari bahasa Latin intus yang berarti ke dalam,
dan sucipere yang berarti terima sambil mengambil, atau yang masuk ke
dalam (Sjamsuhidajat, 2005).

Gambar 2.1. Intussusepsi Usus (Sabiston, 2010).

B. EPIDEMIOLOGI
Invaginasi atau intususepsi sering ditemukan pada anak dan agak jarang
pada orang dewasa. Invaginasi pada anak biasanya bersifat idiopatik karena
tidak diketahui penyebabnya. Kebanyakan ditemukan pada kelompok umur
2-12 bulan, dan lebih banyak pada anak laki laki (Sjamsuhidajat, 2005).
Di Asia dalam hal ini Taiwan dan Cina, dilaporkan insidens dari
intususepsi adalah 0,77 per 1000 kelahiran hidup. Di India, angka
kejadiannya dilaporkan berkisar 1,9-54,4 per tahun. Tidak ada data yang
menyebutkan tentang insidensi per kelahiran hidup. Di Malaysia sekitar 10,4
bayi dan anak dirawat di RS Umum Kuala Lumpur karena intususepsi per
tahun. Di Indonesia, angka kejadian intususepsi di RS wilayah pedesaan dan
perkotaan didapatkan angka yang berbeda, yaitu masing-masing 5,8 dan 17,2
per tahun (Bines dan Ivanoff, 2002). Pada penelitian Irish (2011)
menyebutkan insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran
hidup.

3
C. ETIOLOGI
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi, yaitu:
1. Idiopatik
Menurut kepustakaan, 90-95% intususepsi pada anak di bawah
umur satu tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga
digolongkan sebagai infantile idiophatic intussusceptions. Pada saat
operasi hanya ditemukan penebalan dari dinding ileum terminal berupa
hyperplasia jaringan follikel submukosa yang diduga sebagai infeksi
virus. Penebalan ini merupakan titik awal (lead point) terjadinya
invaginasi (Santoso et al., 2011).
Definisi dari istilah intususepsi idiopatik bervariasi di antara
penelitian terkait intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah
idiopatik untuk menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas
spesifik dari usus yang diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti
diverticulum meckel atau polip yang dapat diidentifikasi saat pembedahan
(Bines, 2002).
Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan yang teliti dapat
mengungkapkan hipertrofi jaringan limfoid mural (Peyer patch), yang
disebabkan oleh infeksi adenovirus atau rotavirus (Irish, 2011).
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu
teori untuk menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah
bahwa hal itu terjadi karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini
berasal dari 3 pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi
saluran pernapasan atas, (2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi
tertinggi dari kelenjar getah bening di mesenterium, dan (3) pembesaran
kelenjar getah bening sering dijumpai pada pasien yang memerlukan
operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi terhadap
intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas (Blanco,
2012).
2. Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun),
adanya kelainan usus dapat menjadi penyebab intususepsi seperti: inverted
Meckels diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma,
blue rubber blep nevi, lymphoma dan duplikasi usus (Santoso et al., 2011).

4
Gross mendapatkan titik awal invaginasi berupa : divertikulum
Meckel, polip, duplikasi usus dalam feses penderita invaginasi dan
lymphoma pada 42 kasus dari 702 kasus invaginasi anak (Santoso et al.,
2011).
Eins dan Raffensperger, pada pengamatannya mendapatkan
-Specific leading points berupa eosinophilik, granuloma dari ileum,
papillary lymphoid hyperplasia dari ileum hemangioma dan perdarahan
submukosa karena hemophilia atau Henochs purpura (Santoso et al.,
2011).
Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab invaginasi pada
anak yang berusia diatasenam tahun. Invaginasi dapat juga terjadi setelah
laparotomi, yang biasanya timbul setelahdua minggu pasca bedah, hal ini
terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkanmanipulasi usus yang
kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal
(Santoso et al., 2011).
Penyebab invaginasi usus 90% idiopatik atau tidak diketahui
penyebabnya. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya
invaginasi usus meliputi infeksi virus, nodul pada limfe nodi, dan tumor atau
polip. Pada bayi dan anak-anak, faktor-faktor yang sering menyebabkan
invaginasi usus meliputi infeksi dan perubahan pemberian diet atau makanan.
Infeksi virus dapat menyebabkan hyperplasia plak peyer yang menjadi apeks
dari intususepsi. Pemberian makanan selain ASI pada bayi dapat
menyebabkan invaginasi. Hal tersebut dikarenakan perkembangan system
pencernaan bayi belum sempurna. Selain kedua hal tersebut, terdapat
beberapa hal lain yang dapat menjadi titik awal intususepsi seperti:
1. Divertikulum Meckel
2. Pembesaran limfe nodi mesenterika
3. Tumor jinak atau ganas pada usus
4. Kista mesenterika atau duplikasi
5. Hematoma submukosa
6. Pankreatik ektopik dan sisa lambung
7. Inversi ujung apendiks
8. Anastomosis sutura
9. Hematoma intestinal sekunder karena trauma abdomen
10. Benda asing

5
Pada orang dewasa terjadinya invaginasi usus atau intususepsi tidak
diketahui dengan jelas. Sebagian invaginasi pada orang dewasa idiopatik atau
primer dan sebagian lainnya disebabkan karena penyebab sekunder. Pada 8%-
20% kasus invaginasi usus atau intususepsi terjadi di bagian usus halus.
Invaginasi atau intususepsi sekunder pada dewasa terjadi karena adanya lesi
patologis pada dinding usus, atau iritasi lumen yang menghambat aktivitas
peristaltik normal usus, atau beberapa titik awal lainnya. Titik awal kelainan
inilah yang akan menyebabkan masuknya segmen usus satu ke segmen usus
lainnya, atau menyebabkan invaginasi. Umumnya ujung invaginatum pada
orang dewasa merupakan polip atau tumor lain di usus halus.

D. KLASIFIKASI
Intususepsi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan penyebabnya.
Berdasarkan lokasi, invaginasi dapat diklasifikasikan menjadi Sabiston,
2010):
1. Entero-enterik, terbatas pada usus kecil
2. Kolo-kolik, hanya melibatkan usus besar
3. Ileo-kolika, didefinisikan sebagai prolaps ileum terminal ke dalam kolon
asendens
4. Ileo-sekal, katup ileo-sekal sebagai titik utama intususepsi dan ini
dibedakan dengan penyulit variasi ileo-kolik.
Pada dewasa intususepsi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
etiologi, meliputi invaginasi primer atau idiopatik dan sekunder atau tumor
jinak dan keganasan. Invaginasi atau intususepsi primer merupakan
invaginasi yang tidak diketahui penyebabnya. Pada usus kecil, intususepsi
dapat bersifat sekunder atau karena adanya lesi ekstra-luminar (seperti
divertikulum Meckel, adesi pos-operatif, lipoma, polip adenomatosa, limfoma
dan metastase) atau iatrogenik, atau pada pasien gastro-jejunostomi. Beberapa
klasifikasi intususepsi pada dewasa meliputi:
1. Lokasi anatomis intususepsi (gaster, usus kecil, kolon):
a. Gastroenterik
b. Enteroenterik
c. Apendikal
d. Apendikal-Ileokolik
e. Ileokolik
f. Kolokolik

6
g. Rektoanal
h. Stomal
2. Penyebab
a. Neoplastik (jinak, ganas)
b. Non-neoplastik
c. Idiopatik
3. Titik awal
a. Intususepsi dengan titik awal
b. Intususepsi tanpa titik awal
4. Arah
a. Antegrade
b. Retrograde
5. Kondisi klinis
a. Akut
b. Kronik
c. Persisten/menetap
d. Rekuren/kambuh
e. Transien/sementara
6. Obstruksi usus
a. Dengan obstruksi lumen
b. Tanpa obstruksi lumen
7. Insufisiensi vascular
a. Dengan gangguan vaskularisasi
b. Tanpa gangguan vaskularisasi

E. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari
ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal.
Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak
sebagai lead point atau oleh pola yang tidak teratur dari peristalsis
(contohnya, ileus pasca operasi). Gangguan elektrolit berhubungan dengan
berbagai masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan motilitas intestinal
yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya invaginasi (Blanco, 2012).
Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus
terinvaginasi ke dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area
proximal dari intestinal, dan mengakibatkan intususeptum berproses
sepanjang lumen dari intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik
dan vena mesenterial, akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan
mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon, akan dijumpai mukosa
intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi yang

7
pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus (Blanco,
2012; Santoso et al., 2011).
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan
gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet
sel serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah
satu manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga
red currant jelly stool (Blanco, 2012; Irish, 2011; Santoso et al., 2011).
Lesi intraluminal pada saluran gastrointestinal atau iritan yang
mengubah pola peristaltik normal pada gastrointestinal dapat menyebabkan
intususepsi. Pada esophagus, gaster dan duodenum jarang terjadi intususepsi
karena gerakan organ-organ tersebut dalam abdomen minimal. Pada orang
dewasa, penyebab intususepsi usus kecil baik antegrade maupun retrograde
adalah gerakan berlebihan atau peristaltik berlebihan dari usus.
Intususepsi antegrade atau intususepsi ke bagian depan terjadi ketika
mukosa, intramural atau titik awal intususepsi yang ada berperan sebagai titik
fokus tarikan saluran gastrointestinal bagian proksimal dan menarik usus
distal ke depan karena kontraksi otot polos yang progresif. Proses ini
menyebabkan invaginasi dinding usus yang terlibat ke dalam segmen
gastrointestinal yang berdekatan dengan lipatan mesenterika karena gangguan
peristaltik, atau menyebabkan obstruksi saluran gastrointestinal, atau lebih
jauh lagi dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi pada segmen
intususepsi. Hal ini dapat terjadi sementara waktu dan tidak menimbulkan
gejala apapun jika dapat kembali spontan. Akan tetapi pada umumnya
intususepsi bersifat persisten atau menetap karena kontraksi dan gerakan
peristaltik terus berlangsung. Lambat laun proses ini dapat menyebabkan
obstruksi usus dan menimbulkan gejala-gejala tertentu. Jika tidak ditangani,
maka dapat menghambat vaskularisasi ke bagian usus yang terlibat,
strangulasi, dan nekrosis. Hal ini dapat menyebabkan perforasi, perotinitis,
atau bahkan kematian.
Pada kasus non neoplastik, tidak terdapat titik awal intususepsi, proses
invaginasi dapat disebabkan karena gangguan fungsi usus tanpa disertai
abnormalitas dinding usus seperti pada penyakit Coeliac (penyakit autoimun
yang menyebabkan gangguan fungsi usus halus dalam penyerapan nutrisi
makanan). Pada kasus-kasus ini penurunan tonus pada usus kecil disebabkan

8
karena efek toksik dari gluten yang menyebabkan kelemahan dan dilatasi
usus yang lebih rentan terhadap intususepsi non-obstruktif. Seseorang dengan
kelainan pada pelvis seperti ketegangan puborektal dan rektokel dapat
menyebabkan intususepsi rektoanal karena ketegangan yang lama pada
daerah tersebut. Contohnya seperti pada intususepsi rekto-anal. Intususepsi
rekto-anal merupakan kelainan fungsional pada dinding rectum selama
defekasi.
Terdapat dua hipotesis yang berkaitan dengan penyebab intususepsi
rekto-anal. Hipotesis pertama, intususepsi rekto-anal merupakan kelainan
primer. Beberapa teori menyatakan bahwa intususepsi rekto-anal merupakan
tahap awal dari anomali berkelanjutan yang disebabkan karena trauma
berulang, yang dapat menyebabkan ulkus rectum dan nantinya menyebabkan
prolaps penuh dinding rektum. Hipotesis kedua, intususepsi rekto-anal
merupakan fenomena sekunder. Seseorang dengan kelainan dasar pelvis
seperti ketegangan pada puborektal dan rektokel dapat berkembang menjadi
intususepsi rekto-anal karena ketegangan yang lama. Intususepsi rekto-anal
juga dapat berkembang pada pasien dengan kelainan pada sfingter anus.
Intususepsi retrograde sangat jarang terjadi. Perubahan peristaltik pada
titik fokal dinding usus dapat menyebabkan kontraksi disritmik dan
menyebabkan intususepsi retrograde. Selain itu perubahan peristaltik juga
dapat disebabkan karena defisit fungsional seperti displasia neuron intestinal
dimana usus mengalami dismotilitas karena perkembangan neuron yang
abnormal. Namun diluar semua hal tersebut, mekanisme pencetus intususepsi
antegrade dan retrograde belum diketahui dengan jelas.

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada bayi anamnesis memberikan gambaran yang cukup
mencurigakan bila bayi yang sehat mendapat serangan nyeri perut. Anak
tampak gelisah dan tidak dapat ditenangkan. Di antara serangan biasanya
anak tidur tenang karena sudah capai sekali. Serangan klasik terdiri atas
nyeri perut, gelisah sewaktu serangan kolik, biasanya keluar lendir campur
darah (red currant jelly = selai kismis merah) per anum, yang berasal dari
intususeptum yang tertekan, terbendung, atau mungkin sudah mengalami

9
strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu serangan (Sjamsuhidajat,
2005).

Gambar 2.1. Red currant jelly

2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi sukar sekali membedakan prolepsus rectum dengan
intususepsi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan jari sekitar
penonjolan untuk menentukan ada tidaknya celah terbuka. Prolapsus recti,
dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok dubur didapati
hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada
intususepsi didapati adanya celah (Sjamsuhidajat, 2005; Santoso et al.,
2011). Pada pemeriksaan palpasi perut dapat teraba massa yang biasanya
memanjang dengan batas jelas seperti sosis. Masa berbentuk sosis atau
pisang tersebut umumnya ditemukan pada kuadran kanan atas. Pada perut
bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut dances sign. Hal ini
akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut proses intususepsi. Fosa iliaka
kanan kosong yang disebut dances sign. Pada perkusi pada tempat
invaginasi terkesan suatu rongga kosong. Pada auskultasi bising usus
terdengar meninggi selama serangan kolik menjadi normal kembali di luar
serangan (Sjamsuhidajat, 2005; Pickering, 2000).
Invaginatum yang masuk jauh dapat ditemukan pada pemeriksaan
colok dubur. Ujung invaginatum teraba seperti porsio uterus pada
pemeriksaan vaginal sehingga dinamai pseudoporsio atau porsio semu.
Invaginatum yang keluar dari rektum jarang ditemukan. Keadaan tersebut
harus dibedakan dari prolapsus mukosa rectum. Pada invaginasi
didapatkan invaginatum bebas dari dinding anus, sedangkan prolapsus
berhubungan secara sirkuler dengan dinding anus (Sjamsuhidajat, 2005).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

10
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan peningkatan jumlah leukosit
( leukositosis > 10.000/mm3) (USU, 2011).
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan USG dapat membantu menunjukkan massa pada
kuadran kanan atas. Namun diagnosis pasti biasanya dilakukan dengan
udara atau lebih jarang dengan barium enema. Pemeriksaan barium
enema dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis
dikerjakan bila gejala gejala klinik meragukan. Pada barium enema
akan tampak gambaran cupping, coiled spring appearance. Sumbatan
oleh invaginatum biasanya tampak jelas pada foto. Pengelolaan reposisi
hidrostatik dapat dikerjakan sekaligus sewaktu diagnosis tersebut
ditegakkan. Syaratnya adalah keadaan umum mengizinkan, tidak ada
gejala dan tanda rangsangan peritoneum, anak tidak toksik dan tidak
terdapat obstruksi tinggi (Santoso et al., 2011).
Pada foto polos abdomen menunjukkan adanya obstruksi usus dan
kadang-kadang gambaran intususepsi. Pada gambaran didapatkan
distribusi udara didalam usus tidak merata, usus terdesak ke kiri atas,
bila telah lanjut terlihat tanda tanda obstruksi usus dengan gambaran
air fluid level. Dapat terlihat free air bila terjadi perforasi
(Santoso et al., 2011).

Gambar 2.2 Gambaran gambaran radiologi coiled spring


appearancepada intususepsi

11
Gambar 2.3 Gambaran Radiologi Usus Terdeak ke Kiri Atas
(Blanco, 2012)

Gambar 2.4 Gambaran Radiologi Target Sign pada USG (EM


Resoursce. 2017)

G. PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan intususepsi adalah koreksi keseimbangan cairan dan
elektrolit, menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang
nasogastrik, antibiotika dan laparotomi eksplorasi. Keberhasilan
penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan diberikan,
jika pertolongan sudah diberikan kurang dari 24 jam dari serangan pertama

12
maka akan memberikan prognosis yang lebih baik. Penatalaksanaan
penanganan kasus invaginasi, terutama untuk bayi dan anak mencakup dua
tindakan penanganan yang dinilai berhasil dengan baik yaitu reduksi dengan
barium enema dan reduksi dengan tindakan operasi. Sebelum dilakukan
tindakan reduksi, maka terhadap penderita : dipuasakan, resusitasi cairan,
dekompressi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah dijumpai tanda
gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai
peninggian dari jumlah leukosit maka saat ini antibiotika berspektrum luas
dapat diberikan. Narkotik seperti Demerol dapat diberikan (1mg/ kg BB)
untuk menghilangkan rasa sakit.

1. Reduksi dengan Barium Enema/ Reduksi hidrostatik


Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus
menggunakan kateter dengan tekanan tertentu. Pertama kali keberhasilan
dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan diulang keberhasilannya oleh
Hirschprung tahun 1976.

Gambar 2.5 Reposisi hidrostatik tanpa operasi pada invaginasi


Cairan barium atau cairan NaCl 0.9% (1), dibawah satu meter (2),
pemberian rectal (3) (Sjamsuhidajat, 2005).
Pengelolaan reposisi hidrostatik dapt dikerjakan sekaligus sewakt
diagnosis Rontgen tersebut ditegakkan. Syaratnya adalah keadaan umum
mengizinkan, tidak ada gejala dan tanda ransangan peritoneum, anak
tidak toksik, dan tidak terdapat obstruksi tinggi (Sjamsuhidajat, 2005).

13
Tekanan hidrostatik tidak boleh melewati satu meter air dan tidak
boleh dilakukan pengurutan atau penekanan manual di perut sewaktu
dilakukan reposisi hidrostatik ini. Pengelolaan berhasil jika barium
kelihatan masuk iileum. Reposisi pneumostatik dengan tekanan udara
makin sering digunakan karena lebih aman dan hasilnya lebih baik
daripada reposisi dengan barium enema. Jika reposisi konservatif tidak
berhasil, terpaksa diadakan reposisi operatif (Sjamsuhidajat, 2005).
Barium enema berfungsi dalam diagnostik dan terapi. Barium
enema dapat diberikan bila tidak dijumpai kontra indikasi seperti :
a. Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun
pada foto abdomen
b. Dijumpai tanda tanda peritonitis
c. Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam
d. Dijumpai tanda tanda dehidrasi berat.
e. Usia penderita diatas 2 tahun
Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak
menangis atau gelisah karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif
sangat membantu. Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke
rektum dan difiksasi dengan plester, melalui kateter bubur barium
dialirkan dari kontainer yang terletak 3 kaki di atas meja penderita dan
aliran bubur barium dideteksi dengan alat floroskopi sampai meniskus
intussusepsi dapat diidentifikasi dan dibuat foto. Meniskus sering
dijumpai pada kolon transversum dan bagian proksimal kolon descendens.
Bila kolom bubur barium bergerak maju menandai proses reduksi
sedang berlanjut, tetapi bila kolom bubur barium berhenti dapat diulangi 2
3 kali dengan jarak waktu 3 5 menit. Reduksi dinyatakan gagal bila
tekanan barium dipertahankan selama 10 15 menit tetapi tidak dijumpai
kemajuan. Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, bubur
barium dievakuasi terlebih dahulu. Reduksi barium enema dinyatakan
berhasil apabila :
a. Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan disertai
massa feses dan udara.
b. Pada floroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan
sebagian usus halus, jadi adanya refluks ke dalam ileum.
c. Hilangnya massa tumor di abdomen

14
d. Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur
serta norit test positif.
Penderita perlu dirawat inap selama 2 3 hari karena sering
dijumpai kekambuhan selama 36 jam pertama. Keberhasilan tindakan ini
tergantung kepada beberapa hal antara lain, waktu sejak timbulnya gejala
pertama, penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis pelaksanaannya.
2. Reduksi dengan Tindakan Operasi
a. Perbaikan Keadaan Umum
Tindakan ini sangat menentukan prognosis. Pasien baru boleh
dioperasi apabila sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik, hal
ini di tandai apabila produksi urine sekitar 0,5 1 cc/kg BB/jam. Nadi
kurang dari 120x/menit, pernafasan tidak melebihi 40x/menit, akral
yang tadinya dingin dan lembab telah berubah menjadi hangat dan
kering, turgor kulit mulai membaik dan suhu tubuh tidak lebih dari
38o C (USU , 2011).
Umumnya perfusi jaringan akan baik apabila setengah dari
perhitungan dehidrasi telah masuk, sisanya dapat diberikan sambil
operasi berjalan dan pasca bedah. Usaha dalam memperbaiki keadaan
umum meliputi (USU , 2011):
1) Pemberian cairan dan elektrolit untuk rehidrasi (resusitasi).
2) Tindakan dekompresi abdomen dengan pemasangan sonde
lambung.
3) Pemberian antibiotika dan sedatif.
Perfusi jaringan yang masih buruk perlu ditangani sebelum
dilakukan operasi. Karena perlu diingat bahwa obat anestesi dan stress
operasi akan memperberat keadaan umum penderita serta perfusi
jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya hasil
metabolik di jaringan yang seharusnya dibuang lewat ginjal dan
pernafasan, begitu pula perfusi jaringan yang belum baik akan
mengakibatkan oksigenasi jaringan akan buruk pula. Bila dilakukan
tanpa memperbaiki keadaan umum kelainan-kelainan tersebut dapat
menjadi irreversibel (USU , 2011).

b. Reposisi Usus
Tindakan selama operasi bergantung pada penemuan keadaan
usus, teknik reposisi manual dengan cara milking, juga

15
keterampilan dan pengalaman operator. Insisi operasi dilakukan
secara transversal (melintang), pada anak anak dibawah umur 2
tahun dianjurkan insisi transversal supraumbilikal karena letaknya
relatif lebih tinggi. Insisi transversal infraumbilikal juga dianjurkan
karena lebih mudah untuk eksplorasi malrotasi usus, mereduksi
invaginasi dan dilakukan tindakan apendektomi bila dibutuhkan.
Reposisi manual dilakukan sewaktu operasi dengan cara mendorong
invaginatum dari oral kearah sudut ileosekal. Dorongan tersebut
dilakukan dengan hati-hati tanpa tarikan dari arah proksimal. Tidak
ada batasan yang tegas kapan tindakan reposisi manual harus
dihentikan (USU , 2011; Sjamsuhidajat, 2005).
Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil
direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau
ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah
usus direseksi dilakukan anastomosis end to end, apabila hal ini
memungkinkan, bila tidak mungkin maka dilakukan exteriorisasi
atau enterostomi. Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah
pembedahan. Diagnosis pada saat pembedahan tidak sulit dibuat. Pada
intususepsi yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan
penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli bedah
dianjurkan untuk segera melakukan reseksi, dengan tidak usah
melakukan usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus halus harus
dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika ditemukan kelainan
telah mengalami nekrose, reduksi tidak perlu dikerjakan dan reseksi
segera dilakukan. Pada kasus-kasus yang idiopatik, tidak ada yang
perlu dilakukan selain reduksi. Tumor benigna harus diangkat secara
lokal, tapi jika ada keragu-raguan mengenai keganasan, reseksi yang
cukup harus dikerjakan (USU , 2011).

16
Gambar 2.6 reposisi operatif pada invaginasi

Secara manual invaginatum didorong dari oral kearah aboral dengan cermat dan
hati-hati; oral (1), aboral (2) (Sjamsuhidajat, 2005).

BAB III
PENUTUP

Intususepsi merupakan proses invaginasi satu segmen usus ke dalam bagian


distal segmen di dekatnya.
Penyebab intususepsi atau invaginasi meliputi penyebab primer atau
idiopatik dan penyebab sekunder atau yang diketahui seperti adanya lesi ekstra-

17
luminar (seperti divertikulum Meckel, adesi pos-operatif, lipoma, polip
adenomatosa, limfoma dan metastase) atau iatrogenik.
Penegakkan diagnosis invaginasi usus harus dapat dilakukan lebih awal
sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan lebih awal agar prognosis lebih baik.
Dasar pengobatan intususepsi adalah koreksi keseimbangan cairan dan
elektrolit, menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang
nasogastrik, antibiotika dan laparotomi eksplorasi. Keberhasilan penatalaksanaan
invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan diberikan. Terapi meliputi
reduksi dengan barium enema dan tindakan operasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bines J, Ivanoff B. 2002. Acute Intussusception in Infants and Children:


Incidence, Clinical Presentation and Management: A Global Perspective.
Geneva, Switzerland: World Health Organization.
Blanco FC. 2012. Intussusception. Medscape Reference [serial online]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview#showall
Guyton A.C., Hall J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Hostetler MA. 2013. Gastrointestinal disorders. In: Marx JA, Hockberger RS,
Walls RM, et al, eds. Rosen's Emergency Medicine: Concepts and Clinical
Practice. 8th ed. Philadelphia, PA: Mosby Elsevier; chap 172
IDAI. 2011. Buku Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi
2. Pencitraan pada Intususepsi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Irish MS. 2011. Pediatric Intussusception Surgery. Medscape Reference [serial
online]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/937730-
overview#showall.
Manif Niko, Kartadinata. 2008. Obstruksi Ileus. Cermin Dunia Kedokteran 29
Paskauskas S, Pavalkis D. 2012. Adult Intussusception, Current Concept in
Colonic Disorders, Dr. Godfrey Lule (Ed). Intech. Available from:
http://www.intechopen.com/books/current-concepts-in-colonic-
disorders/adult-intussusception
Sabiston DC. 2010. Buku Ajar Bedah. Edisi ke- 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. 270-272
Santoso MIJ, Yosodiharjo A dan Erfan F. 2011. Hubungan Antara Lama
Timbulnya Gejala Klinis Awal Hingga Tindakan Operasi Dengan Lama
Rawatan Pada Penderita Invaginasi Yang Dirawat Di RSUP. H. Adam
Malik Medan. Universitas Sumatera Utara: Medan.
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Kedua. Jakarta:
EGC

19
Ullah S, Khan M, Mumta N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction: A Spectrum
of cause. Journal Postgraduate Medical Instestinal 2009, Vol 23(2):188-92
Universitas Sumatra Utara. 2011. Intususepsi. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24306/3/Chapter
%20II.pdf.

20

Anda mungkin juga menyukai