Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Intubasi

2.1.1 Definisi

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut

atau hidung.2 Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal)

dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa

trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff,

sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara

dan bifurkasio trakea.3 Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal

melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.4

2.1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :5

1. Mempermudah pemberian anesthesia.

2. menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun misalnya kelainan


anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan
napas dan lain-lainnya,
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak

sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).

4. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.

5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

6. Mengatasi obstruksi laring akut


2.1.3 Indikasi dan kontraindikasi

Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan

saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,

meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan

keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi

yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,

menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,

memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke

bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran

napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat,

melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan

mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah trauma

servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,

sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.1

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan

menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa

orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal

biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung

meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk

intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko

terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway

tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind

nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan.

Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam
penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.

Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis

cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan

trombolisis.1

Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit

dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi),

diduga adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi,

menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil),

resiko tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada

keadaan sadar.1

Sulit Intubasi
I.Definisi
Kesulitan intubasi adalah dibutuhkannya > 3 kali usaha intubasi atau usaha
intubasi yang terakhir membutuhkan > 10 menit ( The American Society of
Anesthesiology). Kesulitan intubasi sehubungan dengan manajemen saluran
nafas, riwayat sebelum intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit
lain yang dapat menghalangi akses jalan napas.1Pemeriksaan jalan napas
melibatkan pemeriksaan keadaan gigi: terutama gigi ompong, gigi seri atas dan
juga gigi seri menonjol.

II.Penilaian Sulit Intubasi


Visualisasi dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem
klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi
orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.
Klasifikasi Mallampati:2
 Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil.
 Mallampati 2 : Palatum mole, sebagianuvula, dinding posterior uvula.
 Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
 Mallampati 4 : Palatum durum saja

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya


diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.
Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti
menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas.Faktor lain yang
digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi:3
 Lidah besar
 Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
 Mandibula menonjol
 Maksila atau gigi depan menonjol
 Mobilitas leher terbatas
 Pertumbuhan gigi tidak lengkap
 Langit-langit mulut sempit
 Pembukaan mulut kecil
 Anafilaksis saluran napas
 Arthritis dan ankilosis cervical
 Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin
(micrognathia, belahan langit-langit, glossoptosis),Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)
 Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok)
 Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,
retropharyngeal abses,epiglottitis)
 Massa pada mediastinum
 Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus
 Jaringan parut luka bakar atau radiasi
 Trauma dan hematoma
 Tumor dan kista
 Benda asing pada jalan napas
Kesulitan intubasi / intubasi berulang mempengaruhi timbulnya komplikasi
intubasi endotrakeal. Pada pasien dengan kesulitan intubasi, penatalaksanaan jalan
napas menjadi lebih sulit sehingga lebih mudah terjadi cedera pada jalan napas
yang menyebabkan nyeri tenggorok. Prosedur intubasi dengan menekankan
krikoid selama laringoskopi memfasilitasi visualisasi pita suara sehingga manuver
ini bisa membantu menghindari kerusakan sekitar pita suara yang disebabkan oleh
intubasi yang dipaksakan.

2.x Tatalaksana intubasi sulit

Berdasarkan British Journal of Anaesthesiax, terdapat empat rencana

tatalaksana ketika intubasi sulit terjadi, yaitu:

1. Rencana A (Mask Ventilation and Tracheal Intubation)


Tujuan dari rencana A adalah untuk mempertahankan patensi jalan

nafas pada intubasi yang berhasil dalam sekali percobaan dan meminimalisir

penggunaan laringoskop berulang pada intubasi yang gagal dalam satu kali

percobaan. Jika pada percobaan pertama penggunaan laringoskop gagal,

penggunaan laringoskop berulang direkomendasikan untuk dilakukan

maksimal tiga kali percobaan. Penggunaan laringoskop yang berulang

merupakan penyebab tersering trauma jalan nafas, selain itu dapat

menyebabkan pasien berada dalam situasi CICO (Cannot Intubate, Cannot

Ventilate).

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan petugas anestesi

untuk menghindari kejadian intubasi sulit, seperti posisi kepala pasien dijaga

supaya cukup terekstensi sehingga patensi jalan nafas terjaga dan juga

memudahkan pemasangan alat bantu pernapasan pada pasien saat tindakan

anestesi berlangsung. Selain itu, pasien harus dipasangkan sungkup oksigen

dengan O2 100% segera setelah induksi dimulai. Pemilihan ukuran

laringoskop dan ETT yang sesuai juga merupakan hal perlu diperhatikan

petugas anestesi. Tindakan manipulasi laring eksternal dapat pula dilakukan

untuk memudahkan tindakan intubasi, yaitu dengan menekan kartilago tiroid

pasien dengan tangan kanan petugas atau disebut juga dengan BURP

(Backward, Upward, and Rightward Pressure).

2. Rencana B (Supraglotic airway device insertion)

Hal yang perlu diperhatikan dalam rencana B adalah pemasangan

SAD (Supraglotic Airway Device). Ketika pasien sulit untuk dilakukan


pemasangan intubasi trakea, SAD merupakan pilihan selanjutnya dalam

menjaga jalan napas pasien. Keberhasilan pemasangan SAD merupakan

indikator bagi petugas anestesi untuk berpikir apakah pasien akan

dibangunkan, melanjutkan tindakan intubasi, melanjutkan anestesi tetapi tanpa

ETT, atau jarang sekali yaitu dilakukannya tindakan trakeostomi atau

krikotiroidotomi. Jika pemasangan SAD tidak dapat dilakukan setelah tiga kali

percobaan, maka rencana C dapat dilakukan.

3. Rencana C (Facemask ventilation)

Jika ventilasi yang efektif masih belum tercapai setelah tiga kali

percobaan pemasangan SAD, rencana C segera dilakukan yaitu dengan

menggunakan face mask. Pada rencana A dan B, sudah dapat ditentukan

apakah pasien dapat diberikan face mask ventilation, tetapi hal ini berbeda

pada kasus-kasus intubasi sulit yang membutuhkan pengulangan dalam

intubasi karena percobaan berulang dan penggunaan SAD dapat membuat

pasien mengalami trauma jalan napas.

4. Rencana D (Emergency front of neck access)

Ketika pemasangan ETT, SAD, dan face mask gagal dilakukan,

pasien dapat digolongkan ke dalam situasi CICO (Cannot Intubate, Cannot

Ventilate). Hal tersebut harus segara ditatalaksana karena jika tidak pasien

dapat mengalami hipoksia otak.


Krikotiroidotomi adalah upaya yang dapat dilakukan petugas

anestesi jika rencana-rencana sebelumnya gagal. Jenis teknik krikotiroidotomi

yang dilakukan yaitu:

A. Scalpel chricotiroidotomy

Teknik dengan menggunakan scalpel merupakan teknik tercepat dan

dipercya untuk menjaga jalan napas pasien gawat darurat. Pasien yang

mendapat bantuan nafas melalui bagian depan lehernya, sebelum

dilakukan tindakan harus diberikan neuromuscular blocking agent seperti

sugamadex atau rocuromium. Selain itu, pasien juga harus diberikan

pasokan oksigen (100%) melalui saluran napas atas dengan menggunakan

SAD, face mask, dsb.

Terdapat beberapa perlengkapan yang perlu dipersiapkan untuk

tindakan ini, yaitu scalpel dengan pisau nomor 10 (pisau luas dan dengan

lebar yang disesuaikan dengan tracheal tube), introducer atau mandrin

dengan ujung yang membengkok, dan ETT (nomor 6) dengan cuff. Posisi

pasien yang paling tepat adalah sniffing posisition, atau jika dalam

keadaan gawat darurat petugas anestesi dapat meletakkan bantal pada

pundak pasien dan posisikan kepala pasien tergantung dari meja operasi.

Sebelum melakukan teknik ini, “Laringeal Handshake” merupakan

tindakan awal terpenting yang harus dilakukan kepada pasien. “Laringeal

Handshake” bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi laring pasien.

Tindakan ini dilakukan dengan cara, yaitu tangan non-dominan petugas

anestesi bertugas mengidentifikasi lamina hyoid dan tiroid, kemudian

stabilkan laring pasien dengan jempol dan jari tengah. Setelah itu,
turunkan jari tengah mengikuti lamina tiroid dengan jari telunjuk

mempalpasi membran krikotiroid. (gambar x)

Tahapan-tahapan melakukan scalpel cricothyroidotomy:

1. Tetap berikan bantuan oksigenasi melalui saluran nafas atas.

2. Petugas anestesi duduk pada sisi sebelah kiri pasien jika petugas

memiliki tangan kanan yang lebih dominan, dan sebaliknya jika

petugas lebih dominan tangan kiri.

3. Lakukan laringeal handshake.

4. Pegang scalpel dengan tangan kanan, buatlah sayatan melintang yang

menembus kulit dan membran krikotiroid dengan ujung tajam pisau

menghadap petugas.

5. Pertahankan pisau tegak lurus terhadap kulit, kemudian gerakkan pisau

90̊ sehingga ujung tajam pisau menghadap ke arah kaudal.

6. Pindahkan pisau ke tangan kiri

7. Pertahankan traksi atau tarikan, kemudian tarik scalpel ke arah petugas

anestesi secara lateral dengan tangan kiri, jagalah pegangan scalpel

tetap vertikal terhadap kulit pasien.

8. Ambil mandrin dengan tangan kanan.


9. Pegang mandrin secara paralel terhadap lantai. Dengan sudut yang

sesuai, geser ujung mandrin yang bengkok ke bawah scalpel (menjauhi

petugas tapi mendekati trakea).

10. Putar dan luruskan mandrin sejajar dengan trakea pasien dan

masukkan mandrin perlahan dengan kedalaman sekitar 10-15 cm.

11. Lepaskan scalpel.

12. Stabilkan trakea dan tekan kulit dengan tangan kiri.

13. Masukkan ETT yang telah dilumuri jelly melintasi mandrin.

14. Putar ETT ke atas mandrin selama mandrin didorong, hindarin

dorongan yang berlebihan.

15. Lepaskan mandrin.

16. Isi cuff dengan udara dan konfirmasi ventilasi pasien dengan

capnography.

17. Fiksasi ETT dengan plester.


B. Scalpel-finger-bougie

Teknik ini diindikasikan pada pasien yang gagal dengan teknik scalpel

cricothyroidotomy dan pasien dengan membran krikotiroid yang tidak

teraba.

Tahapan yang dapat dilakukan:

1. Tetap berikan bantuan oksigenasi melalui saluran nafas atas.

2. Tetap lakukan identifikasi anatomi laring pasien dengan laringeal

handshake.

3. Jika memungkinkan, lakukan pemeriksaan dengan USG

(Ultrasonography) untuk mengidentifikasi garis tengah membran

krikotiroid dan pembuluh darah besar pasien.

4. Tekan kulit pasien dengan tangan kiri.

5. Berikan sayatan vertikal sepanjang 8-10 cm pada garis tengah

membran krikotiroid, dari kaudal ke sefalik.

6. Lakukan diseksi dengan kedua jari-jari tangan petugas untuk

memisahkan jaringan dan mengidentifikasi serta stabilkan laring

pasien dengan tangan kiri.

7. Lanjutkan dengan teknik scalpel seperti diatas.


DAFTAR PUSTAKA

1. Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. USA.


The McGraw-Hill Companies. 2008
2. Dorland,Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29,
Jakarta:EGC,1765.
3. Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua,
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-
256.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan
GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed.
USA, McGraw-Hill Companies, Inc.2006, p. 98-06.
5. Latief Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan M R. 2001 Petunjuk Praktis
Anastesiologi edisi ke 2. Jakarta . Bagian Anastesiologi Dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 42-43.
X. C. Frerk, V. S. Mitchell, A. F. McNarry, C. Mendonca, R. Bragrath, A.
Patel, E. P. O’Sullivan, N. M. Woodall dan I. Ahmad. 2015. Difficult airway
society 2015 guidelines for management of unanticipates difficult intubation
in adults. London: Oxford University Press, p. 827-838.

Daftar Pustaka:
1. Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment.
10th ed. Ontario: BC Decker Inc, 2003: 94,126, 612

2. Miller R, Pardo MC. Basic of Anesthesia. 6th Edition. New York:


Elseiver; 2007

3. Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. USA.


The McGraw-Hill Companies. 2008

Anda mungkin juga menyukai