Anda di halaman 1dari 31

Pneumonia, TB Paru, dan Edema

Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang
dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam dinding dindin alveoli dan rongga
interstisium yang ditandai dengan batuk disertai nafas cepat dan atau nafas sesak. Menurut WHO
(2014), pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang mempengaruhi paru-paru,
dimana alveoli paru-paru terisi dengan cairan sehingga membuat asupan oksigen terbatas untuk
bernafas. Pneumonia dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia komuniti dan pneumonia
nosokomial. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah
sakit, sedangkan pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam tau
lebih setelah dirawat di rumah sakit.
b. Etiologi
Etiologi pneumonia berbeda-beda pada berbagai tipe dari pneumonia, dan hal ini berdampak
kepada obat yang akan diberikan. Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti
(community-acquired) yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri
Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit (nosokomial-acquired) banyak disebabkan
bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob.
Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.

Tabel 1. Penyebab paling sering pneumonia yang di dapat di masyarakat (komunitas) dan
nosokomial (rumah sakit)
Lokasi Sumber Penyebab
Masyarakat (community-acquired) Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophilus pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Rumah sakit (hospital-acquired) Basil usus gram negative (misal, Escherchia
coli, Klebisiella pneumonia)
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus
c. Epidemiologi
Kejadian pneumonia nosokomial (hospital-acquired) di ICU lebih sering daripada pneumonia
nosokomial (hospital-acquired) di ruangan umum, yaitu dijumpai pada hampir 25% dari semua
infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada saat ventilasi mekanik. Pneumonia semakin sering dijumpai
pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan seirng terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM),
payah jantung, penyakit arteri koroner. Juga adanya tindakan infasive seperti infuse, intubasi,
traekostomi, atau pemasangan ventilator. Perlu diteliti faktor lingkungan khususnya tempat
kediaman misalnya di rumah jompo atau panti, penggunaan antibiotik, obat suntik IV, serta
keadaan alkoholik yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi kuman gram negative. Pasien-
pasien pneumonia komunitas juga dapat terinfeksi oleh berbagai jenis patogen yang baru.
d. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi
di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
- Inokulasi langsung
- Penyebaran melalui pembuluh darah
- Inhalasi bahan aerosol
- Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi. Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.
Setelah mikroba samapai ke saluran napas bawah, maka ada empat rute masuknya mikroba
tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu :
- Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis
dan usia lanjut
- Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien
- Hematogenik
- Penyebaran langsung
Terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang
sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari pembuluh darah
masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi disebarkan oleh perpindahan
bakteri dari alveolus ke alveolus. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena karena
mikroorganisme penyebab yang paling sering adalah bakteri anaerob sehingga oksigenasi
berkurang atau tidak terlalu dibutuhkan, disamping itu juga karena efek gravitasi.
Adapun cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui
droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui selang infus oleh Staphylococcus
aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Pseudomonas aeruginosa dan
Enterobacter. Faktor resiko yang berkaitan dengan pneumonia yang disebabkan oleh
mikroorganisme adalah usia lanjut, penyakit jantung, alkoholisme, diabetes melitus, penggunaan
ventilator mekanik, PPOK, immune defect, serta terapi khusus.
e. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia, meliputi:
- Demam dan menggigil akibat proses peradangan
- Batuk yang sering produktif dan purulen walaupun dapat juga non produktif
- Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas
- Sesak, berkeringat, nyeri dada
- Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi
400C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau
purulen, kadang-kadang berdarah.
f. Diagnosis
Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh kuman yang berbeda.
Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang
teliti, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan faktor
infeksi.
- Evaluasi faktor pasien/predisposisi, misal PPOK (Haemophilus influenzae), penurunan
imunitas (kuman gram negative), kejang/tidak sadar (aspirasi gram negative)
- Bedakan lokasi infeksi, misal pneumoni komunitas (Stretococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Mycoplasma pneumoniae)
- Usia pasien, misal bayi (virus), muda (Mycoplasma pneumoniae), dewasa (Streptococcus
pneumoniae)
- Onset time, misal cepat akut dengan rusty coloured sputum (Streptococcus pneumoniae),
perlahan dengan batuk dahak sedikit (Mycoplasma pneumoniae).
b. Pemeriksaan Fisis
Berikut beberapa gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab/patogenitas kuman
dan tingkat berat penyakit.
- Gejala yang tiba-tiba muncul dan langsung berat (Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus, Yersinia pestis)
- Gejala yang timbulnya lambat (pneuomonia atipikal, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas
aeruginosa, Enterobactericiae)
- Gejala yang dialami pasien, misal nyeri pleuritik difus (Mycoplasma pneumoniae), nyeri
pleuritik tusuk (Streptococcus pneumoniae), coryza (virus), red currentjelly seperti batu bata
(Klebsiella pneumonia), sputum berbau busuk (pneumonia aspirasi, infeksi anaerob)
- Gejala intestinal, mual, muntah, diare, nyeri abdomen (Legionella pneumoniae)
- Tampak bagian dada yang sakit tertinggal sewaktu bernafas dengan suara napas bronchial
kadang-kadang melemah.
- Di dapatkan ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.
g. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto konvensional, secara umum tidak mungkin mendiagnosis suatu agen penyebab
infeksi dari jenis bayangannya saja. Sehingga dibutuhkan keterangan klinis, laboratoris seperti
jumlah leukosit dan hitung jenis. Oleh karena itu pada dasarnya semua pemeriksaan saling
melengkapi dan saling membantu dalam menegakkan suatu diagnosis.
American Thoracic Society merekomendasikan posisi PA (posteroanterior) dan lateral (jika
dibutuhkan) sebagai modalitas utama yang di gunakan untuk melihat adanya pneumonia.
Gambaran pneumonia pada foto thorax sebenarnya sama seperti gambaran konsolidasi radang.
Prinsipnya jika udara dalam alveoli digantikan oleh eksudat radang, maka bagian paru tersebut
akan tampak lebih opaq pada foto Roentgen. Jika kelainan ini melibatkan sebagian atau seluruh
lobus disebut lobaris pneumoniae, sedangkan jika berupa bercak yang mengikutsertakan alveoli
secara tersebar maka disebut bronchopneumoniae.
Adapun gambaran radiologis foto thorax pada pneumonia secara umum antara lain:
a. Perselubungan padat homogen atau inhomogen
b. Batas tidak tegas, kecuali jika mengenai 1 segmen lobus
c. Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak
tampak deviasi trachea/septum/fissure/seperti pada atelektasis.
d. Air bronchogram sign adalah bayangan udara yang terdapat di dalam
percabangan bronkus yang dikelilingi oleh bayangan opaq rongga udara yang akan tampak
jelas jika udara tersebut tergantikan oleh cairan/eksudat akibat proses inflamasi. Pada saat
kondisi seperti itulah, maka dikatakan air bronchogram sign positif (+)
e. Sillhoute sign adalah suatu tanda adanya dua bayangan benda (objek) yang berada
dalam satu bidang seakan tumpang tindih. Tanda ini bermanfaat untuk menentukan letak lesi
paru ; jika batas lesi dengan jantung hilang, berarti
lesi tersebut berdampingan dengan jantung
atau di lobus medius kanan. Maka akan disebut
sebagai sillhoute sign (+)

PNEUMONIA LOBARIS

Pada posisi PA
dan lateral tersebut tampak perselubungan homogen pada
lobus paru kanan tengah dengan tepi yang tegas. Lapangan paru lainnya
masih tampak normal. Cor, sinus,diafragma tidak tampak kelainan.
Pnemonia lobaris ini paling sering disebabkan oleh Strep. Pneumonia

Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia)


Gambaran radiologi bronkopneumonia bercak berawan, batas tidak tegas, konsolidasi dapat
berupa lobular, subsegmental, atau segmental. Khas biasanya menyerang beberapa lobus, hal ini
yang membedakan dengan pneumonia lobaris. Lokasi predileksi bronkopneumonia biasanya
hanya terjadi di lapangan paru tengah dan bawah.
PNEUMONIA LOBULARIS (BRONKOPNEUMONIA)

Pada foto thorax posisi PA tersebut tampak perselubungan


inhomogen pada lobus medius di kedua lapangan paru.
Bronchopneumonia ini sering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa.

Kadang-kadang, pneumonia dapat meluas menjadi


pneumonia necrosis (necrotizing pneumonia). Tampak
adanya perselubungan di lobus paru kanan atas dan
lobus paru kiri bawah. Tampak bulging fissure sign di
lobus paru kanan atas.
Pneumonia Interstisial
Umumnya jenis pneumonia intersisial ini disebabkan oleh virus. Infeksi dari virus berawal dari
permukaan dengan terjadinya kerusakan silia sel goblet dan kelenjar mukus bronkioli, sehingga
dinding bronkioli menjadi edematous. Juga terjadi edema di jaringan interstisial peribronkial.
Kadang-kadang alveolus terisi cairan edema. Pneumonia interstisial dapat juga dikatakan sebagai
pneumonia fokal/difus, di mana terjadi infiltrasi edema dan sel-sel radang terhadap jaringan
interstisial paru. Septum alveolus berisi infiltrat limfosit, histiosit, sel plasma dan neutrofil.
Dapat timbul pleuritis apabila peradangan mengenai pleura viseral.

PNEUMONIA INTERSISIAL

Pada fase akut tampak gambaran


bronchial cuffing, yaitu penebalan dan edema
dinding bronkiolus. Corakan bronkovaskular
meningkat, hiperaerasi, bercak-bercak inifiltrat
dan efusi pleura juga dapat ditemukan.

ANTARA TBC PARU DAN PENUMONIA

Persamaan :
- Memiliki densitas yang sama yaitu relatif radiopaq.
Perbedaan :
- Pada TBC paru khas tampak bercak berawan pada lapangan paru atas, dan adanya garis-
garis fibrotik dan kasifikasi jika sudah masuk dalam masa penyembuhan
Sedangkan pada pneumonia, lokasi bisa di mana saja, mengenai 1 lobus (pneumonia lobaris) dan
terdapat air broncogram sign.

h. Tatalaksana
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan
antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
Patogen Potensial Antibiotik yang Disarankan
Streptococcus pneumonia Seftriaxon, Levofloksasin,
Haemophilus influenza Moksifloksasin, atau
Bakteri gram (-) sensitif antibiotic : Ciprofloksasin
Escherichia coli (Klebsiella Ampisilin/sulbaktam atau
pneumonia, Enterobacter spp., Serratia Ertapenem
marcescens)
Catatan : Karena Streptococcus pneumonia yang resisten penisilin semakin sering terjadi
maka, levofloksasin, moksifloksasin lebih dianjurkan.
Terapi suportif dapat berupa :
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam.
3. Pengaturan Cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan paru
lebih sensitive pada pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral.
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dnegan baik, termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan.
4. Bila terdapat gagal napas , diberikan nutrisi dari lemak (50%) hingga dapat dihindari
produksi CO2 yang berlebihan.
Tuberkulosis Paru
a. Definisi
Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan
hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated hypersensitivity). Penyakit ini biasanya
terletak di paru, tetapi dapat juga mengenai organ yang lain. Dengan tidak adanya pengobatan
yang efektif untuk penyakit yang aktif, sehingga biasa terjadi perjalanan penyakit yang kronik
dan berakhir dengan kematian
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis
mengandung banyak zat imunoreaktif. Lipid permukaan pada mikobakterium dan komponen
peptidoglikan dinding sel yang larut air merupakan tambahan yang penting yang dapat
menimbulkan efek melalui kerja primernya pada makrofag penjamu. Mikobakterium
mengandung suatu kesatuan antigen polisakarida dan protein, sebagian mungkin spesifik spesies
tetapi yang lainnya secara nyata memiliki epitop yang luas di seluruh genus. Hipersensitivitas
yang diperantarai sel khas untuk tuberculosis dan merupakan determinan yang penting pada
patogenesis penyakit. Mycobacterium tuberculosis sejenis kuman dengan ukuran panjang 1-
4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sifat lain kuman ini ialah aerob yang menunjukkan bahwa lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
apikal paru-paru lebih tinggi 8 dari bagian lain, sehingga bagian ini merupakan tempat predileksi
penyakit tuberkulosis.
c. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit TB Paru dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai
dengan organ yang terkena. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru,
sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosis secara klinik. Gejala sistemik atau umum
antara lain batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah), demam tidak
terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat dingin saat
malam hari. Serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul, penurunan nafsu
makan dan berat badan, perasaan tidak enak (malaise), dan lemah.
Gejala khusus tergantung organ tubuh yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah disertai sesak. Cairan dirongga pleura
(pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Apabila mengenai tulang,
maka terjadi gejala seperti infeksi tulang yang dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
di atasnya, sehingga keluar cairan nanah.
d. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi foto thorax merupakan cara praktis dalam menemukan lesi
tuberculosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya yang lebih dibandingkan
pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia mempunyai keuntungan seperti pada
tuberculosis anak-anak dan tuberculosis milier. Pada kedua hal diatas diagnosis dapat diperoleh
melalui pemeriksaan foto thorax, karena pemeriksaan sputum hampir selalu negative. Gambaran
radiologi pada tuberculosis paru yang dapat ditemukan dengan pemeriksaan foto thorax, antara
lain:
a. Tanda tuberculosis primer:
1. Daerah konsolidasi pneumonik perifer (fokus ghon) dengan pembesaran kelenjar hilus
mediastinum (kompleks primer). Keadaan ini biasanya dapat sembuh dengan gambaran
kalsifikasi.
2. Daerah konsolidasi yang dapat berukuran kecil, lobaris atau lebih luas hingga seluruh
lapangan paru.

Gambar 1 Konsolidasi kavitasi pada lobus atas kiri: tuberculosis aktif.


b. Tanda tuberculosis post primer atau tuberculosis reaktif:
1. Konsolidasi bercak terutama pada lobus superior atau daerah apikal pada lobus inferior
yang sering disertai kavitasi.
2. Efusi pleura, empiema, atau penebalan pleura.
3. Tuberkulosis milier yaitu nodul-nodul diskret berukuran 1-2 mm yang dapat terdistribusi di
seluruh lapangan paru akibat penyebaran hematogen.
4. Limfadenopati mediastinum atau hilus, bukan gambaran tuberculosis kecuali pada pasien
AIDS.

Selama berlangsung proses penyembuhan, gambaran yang dapat dikenali adalah fibrosis
dan pengecilan volume paru, fokus kalsifikasi, tuberkuloma, granuloma terlokalisasi yang
sering mengalami kalsifikasi, serta kalsifikasi pleura. Adanya banyangan atau lesi pada foto
thorax, tidak menunjukkan adanya aktivitas penyakit kecuali jika suatu infiltrat yang betul-
betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi
yang berupa fibrotik, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.

Gambar 2. Kalsifikasi yang sudah lama sembuh pada fokus tuberkulosis.

c. Tanda tuberculosis milier :


1. Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier
2. Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang bayangan milier
yang dapat dilihat pada foto toraks
Gambar 3. Tuberculosis milier.

d. Tanda tuberculosis pada anak :


1. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral).
2. Konsolidasi segmental/lobar
3. Efusi pleura
4. Milier
5. Atelektasis
6. Kavitas
7. Kalsifikasi dengan infiltrat
8. Tuberkuloma

Pemeriksaan radiologi yang dilakukan harus memenuhi kualitas yang baik.. Deskripsi
hasil foto toraks yang bersifat umum seperti „bronkopneumonia dupleks, TB masih mungkin‟
perlu disikapi dengan hati-hati dalam arti harus disesuaikan dengan data klinis dan penunjang
lain. Kecuali gambaran khas seperti milier, deskripsi radiologis saja tidak dapat dijadikan
dasar utama diagnosis TB anak.
Gambar 4. Tuberculosis paru pada anak
Untuk kepentingan klinis maka lesi tuberkulosis paru dibedakan menjadi dua kategori
yang dinilai berdasarkan foto toraks:
1.) Lesi minimal (minimal lesion)
Jika proses yang terjadi mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas yang tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak
dijumpai kaviti.
2.) Lesi luas (far advanced lesion)
Jika proses lebih luas daripada lesi minimal di atas.

Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi yaitu alat
untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberculosis. Pemeriksaan ini
umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan radiologi thorax
yang lebih canggih adalah Computer Tomography Scanning (CT-Scan). Perbedaan densitas
jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat tranversal. Pemeriksaan lain yang lebih
canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan ini tidak sebaik CT-Scan,
tapi dapat mengevaluasi proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dadadan perut.
Sayatan bisa dibuat sagital, transversal dan coronal.
e. Tatalaksana
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7
bulan). Untuk program nasional pembatasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai
dengan kategori penyakit. Kategori tersebut didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan
dalam program. Kategori dalam penyakit TB dibagi menjadi empat yaitu:
1. Kategori I
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan sputum negatif
tetapi memiliki kelainan paru yang luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya.
Dimulai dengan fase 2 HRZS (E) obat diberikan setiap hari selama dua bulan. Jika setelah dua
bulan pengobatan, sputum menjadi negatif, maka dilanjutkan dengan fase lanjutan. Jika setelah
dua bulan, hasil sputum tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu setelah fase
intensif pertama, kemudian dilanjutkan dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil sputum
berikutnya.
2. Kategori II
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif. Fase intensif
HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif sputum berubah menjadi negative, maka diteruskan
ke fase lanjutan. Bila setelah pengobatan selama tiga bulan sputum tetap positif, maka
pengobatan dihentikan 2-3 hari. Kemudian uji resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase
lanjutan.
3. Kategori III
Kategori III adalah kasus dengan sputum negative tetapi kelainan parunya tidak luas dan
kasus TB di luar paru selain yang disebutkan dalam kategori I. pengobatan yang diberikan
2HRZ/6 HE, 2HRZ/4 HR, 2HRZ/4 H3R3.
4. Kategori IV
Kategori IV adalah TB kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan
keberhasilan pengobatan kecil. Untuk negara kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat,
dapat diberikan H saja seumur hidup. Untuk Negara maju atau pengobatan secara individu
(penderita mampu), dapat dicoba pemberian obat berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua
seperti Quinolon, Ethioamide, Sikloserin, Amikasin, Kanamisin, dan sebagainya.

Edema
a. Definisi
Edema paru adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi secara mendadak.
Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif
dan mengakibatkan hipoksia
b. Etiologi
Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh
kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan selain
kelainan pada jantung. Walaupun edema paru dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun
dalam tingkatnya yang paling ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan.
Terjadinya edema paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh berbagai sebab, diantaranya seperti
pada tabel di bawah ini. Beberapa penyebab edeme paru non kardiogenik
1. Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)
Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru dan akibat
peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler
paru sering juga disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan
alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema paru.
Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan
diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan
tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema paru
 Secara langsung
1. Aspirasi asam lambung: Aspirasi cairan lambung dapat menyebabkan ARDS. Berat
ringannya edema paru berhubungan dengan derajat pH asam lambung dan volume cairan
yang teraspirasi. Asam lambung akan tersebar di dalam paru dalam beberapa detik saja,
dan jaringan paru akan terdapar (buffered) dalam beberapa menit sehingga cepat
menimbulkan edema paru

2. Tenggelam: Edema paru dapat terjadi pada mereka yang selamat dari tenggelam dari air
tawar atau air laut. Autopsi penderita yang tidak bisa diselamatkan menunjukan
perubahan patologis paru yang sama dengan perubahan pada edema paru karena sebab
lain. Pada saat tenggelam korban biasanya mengaspirasi sejumlah air. Air tawar adalah
hipotonis, dan air laut adalah hipertonis relatif terhadap darah, yang menyebabkan
pergerakan cairan melalui membran alveolar-kapiler ke dalam darah atau ke dalam paru.
Resultante perubahan konsentrasi elektrolit dalam darah sebanding dengan volume cairan
yang diabsorpsi
3. Kontusio paru
4. Pnemonia berat: Pemeriksaan histologis dan mikroskop elektron, edema paru pada
infeksi paru menunjukan perubahan yang sama dengan edema paru karena peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Mekanisme dikarenakan terjadinya reaksi inflamasi sehingga
mengakibatkan kerusakan endotel
5. Emboli lemak: Mekanisme terjadinya emboli lemak sampai saat ini masih belum jelas.
Lemak netral yang mengemboli paru jelas berasal dari lemak dalam sumsum tulang yang
dilepaskan oleh tenaga mekanik. Mungkin triolein dari lemak netral sebagian dihidrolisis
menjadi asam lemak bebas oleh lipoprotein lipase dalam paru, dan kerusakan utama pada
paru disebabkan oleh asam lemak bebas. Namun demikian, sebagian kerusakan paru
mungkin terjadi melalui hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh embolisasi,
trombositopenia yang diinduksi oleh lemak yang bersirkulasi, atau koagulasi dan lisis
fibrin dalam paru. Apa pun penyebabnya, gambaran histologisnya sama dengan edema
paru karena peningkatan permeabilitas, dengan gambaran tambahan berupa globul lemak
dalam pembuluh darah kecil dan lemak bebas dalam ruang alveolar. Emboli lemak
banyak ditemukan pada kasus patah tulang panjang, terutama femur atau tibia
6. Emboli cairan amnion
 Inhalasi bahan kimia: Inhalasi bahan kimia toksik dapat menyebabkan lesi paru
seperti yang disebabkan oleh inhalasi asap. Edema paru dilaporkan dapat disebabkan
akibat paparan terhadap fosgen, klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur dioksida, oksida
metalik, uap asam, dan uap bahan kimia kompleks lainnya. Fosgen adalah gas yang
sangat reaktif, dan banyak dihasilkan oleh industri-industri penghasil polimer,
pharmaceutical, dan metalurgi. Senyawa induk fosgen adalah chloroform dan gas
fosgen merupakan metabolit toksiknya. Jika terhisap oleh manusia pada konsentrasi
tertentu menyebabkan edema paru-paru akibat adanya gangguan keseimbangan cairan
yang ada dan meningkatkan peroksida lipid dan permeabilitas pembuluh darah
 Keracunan oksigen : Oksigen dalam konsentrasi tinggi ternyata toksik terhadap paru.
Edema paru dapat terjadi 24 – 72 jam setelah terpapar oksigen 100%. Lesi yang
ditimbulkan secara histologis mirip dengan edema paru yang ditimbulkan akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Di bawah mikroskop elektron, perubahan dini
yang terjadi adalah penebalan ruang interstisial oleh cairan edema yang berisi serat
fibrin, leukosit, trombosit, dan makrofag. Ini terjadi sebelum tampak kerusakan
endotel
 Tidak langsung
1. Sepsis: Septikemia karena basil gram negatif infeksi ekstrapulmonal merupakan faktor
penyebab penting edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler paru
2. Trauma berat
3. Syok hipovolemik
4. Transfusi darah berulang
5. Luka bakar: Kerusakan saluran napas telah lama diketahui menjadi penyebab mortalitas
utama pada penderita luka bakar dan sekarang jelas bahwa inhalasi asap tanpa luka bakar
termis juga menjadi penyebab kematian utama. Jenis kerusakan saluran napas tergantung
dari jenis bahan yang terbakar dan zat kimia yang terkandung di dalam asap yang
ditimbulkan
6. Pankreatitis: Pelepasan zat-zat seperti tripsin, fosfolipase A, dan kalikrein selama
pankreatitis diduga mendasari mekanisme terjadinya edema paru. Tingginya konsentrasi
protein cairan edema menyokong diagnosis ini
7. Koagulasi intravaskular diseminata
8. Anafilaksis
c. Patofisiologi
Patofisiologi edema paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran cairan
(fluid exchange) yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler (mikrovascular).
Sejumlah volume cairan bebas protein tersaring ke luar kapiler, melintasi dinding kapiler
pembuluh darah, bercampur dengan cairan interstisium di sekitarnya, dan kemudian
diabsorbsi kembali ke dalam pembuluh darah, proses seperti ini disebut sebagai bulk flow
karena berbagai konstituen cairan berpindah bersama-sama sebagai suatu kesatuan.
Bulk flow terjadi karena perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid antara
plasma dengan interstisium. Secara umum terdapat empat gaya yang mempengaruhi
perpindahan cairan menembus dinding kapiler, yaitu:
1. Tekanan darah kapiler merupakan tekanan hidrostatik darah yang cenderung
mendorong cairan ke luar kapiler menuju cairan intertisium.
2. Tekanan osmotik koloid plasma disebut juga sebagai tekanan onkotik, merupakan
suatu gaya yang disebabkan disperse koloid protein-protein plasma dan mendorong
pergerakan cairan ke dalam kapiler. Dalam keadaan normal, protein plasma tetap
dipertahankan berada didalam plasma dan intertisium.
3. Tekanan hidrostatik cairan intertisium, merupakan tekanan cairan yang bekerja
dibagian luar dinding kapiler oleh cairan intertisium. Tekanan ini cenderung
mendorong cairan masuk kedalam kapiler.
4. Tekanan osmotik koloid cairan interstisium, merupakan gaya lain yang dalam
keadaan normal tidak banyak berperan dalam perpindahan cairan melalui kapiler.

Perpindahan cairan dari intravaskular dapat dinyatakan sebagai suatu perpindahan


cairan melaui suatu membran semipermiabel dan dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan Starling:

Qf = aliran transvaskuler bersih/netto


Kf = koefisien filtrasi
Pmv = tekanan hidrostatik mikrovaskular
Ppmv = tekanan hidrostatik perimikrovaskular (interstisial)
л mv = tekanan osmotik koloid mikrovaskular
л pmv = tekanan osmotik koloid perimikrovaskular
σ = koefisien refleksi (relatif resisten terhadap aliran koloid)

Pada jaringan paru yang normal cairan dan protein merembes melalui celah
sempit (gap) diantara sel-sel endotel kapiler paru, dan dengan adanya anyaman epitel
yang sangat rapat pada kapiler tersebut, maka perpindahan protein yang berukuran besar
dapat diabtasi, serta dipertahankan tetap berada didalam plasma. Pada keadaan ini cairan
beserta zat terlarut lainnya yang difiltrasi dari sirkulasi menuju jaringan interstisial
alveolar, tidak akan memasuki alveoli karena epitel alveolar juga memiliki tautan antar
sel yang sangat rapt. Selanjutnya, filtrate yang memasuki celah intertisial alveolat akan
mengalir kearah proksimal menuju celah peribronkovaskular. Pada jaringan paru yang
normal, seluruh filtrat tersebut akan dialirkan kembali menuju sirkulasi sistemik melaui
system limfe. Tekanan hidrostatik untuk filtrasi cairan sepanjang mikrosirkulasi paru
diperkirankan berbanding lurus dengan selisih antara tekanan hidrostatik kapiler paru
dengan gradient tekaan osmotic protein.
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang difiltrasi melebihi clearance
capability sistem limfe, keadaan ini sering dijumpai pada keadaan peningkatan
hidrostatik kapiler oleh karena peningkatan tekanan pada pembuluh darah kapiler
pulmonalis. Peningkatan tiba-tiba akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular dan ini merupakan karakteristik utama suatu acute cardiogenic edema atau
volume-overload edema. Pada edema paru kardiogenik, peningkatan tekanan hidrostatik
pada pembuluh kapiler paru umumnya disebabkan oleh karena peningkatan tekanan vena
pulmonalis sebagai akibta dari peningkatan left ventricular end-diastolic pressure and
left atrial pressure. Peningkatan minimal (mild) tekanan pada atrium kiri (18-25 mmHg)
akan menyebabkan edema pada perimicrovascular serta perimicrovascular intertisial
space. Dengan peningkatan tekanan atrium kiri yang lebih tinggi (>25 mmHg), cairan
akan menembus lapisan epitel paru dan mengisi seluruh alveoli dengan cairan-rendah
protein.
Hal yang berbeda didapati pada keadaan edema paru nonkardiogenik, adanya
peningkatan permeabilitas pembuluh darah di paru menyebabkan cairan intravaskular
keluar menuju intertisial paru serta air space. Pada edema paru nonkardiogenik akan
dijumpai cairan darah yang lebih permeable dapat melewati protein-protein plasma.
Total jumlah netto akumulasi cairan edema paru ditentukan oleh keseimbangan antara
laju filtrasi cairan ke dalam paru dengan laju pengeluaran dan penyerapan cairan edema
dari intertisial serta air space.
d. Klasifikasi
a. Edema Non-Kardiogenik
Pada edema non kardiogenik, jarang sekali dijumpai peningkatan tekanan pembuluh
kapiler di paru kecuali pada keadaan overload cairan akibat gagal ginjal akut. Edema non
kardiogenik memperlihatkan adanya perubahan permeabilitas alveolar-kapiler membrane
seperti yang tejadi pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), serta kelainan sistem
limfe seperti limphangitic carcinomatosis. Edema non kardiogenik juga dapat terjadi sebagai
akibat hipoalbuminemia, seperti sindroma nefrotik, dan protein-losing enterophaty.
Mekanisme terjadinya edema non kardiogenik pada beberapa keadaan masih belum dapat
diketahui secara pasti, seperti terjadinya edema paru overdosis narkotika atau edema paru
nerogenik.Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan
edema paru akibat kerusakan gangguan membrane kapiler alveoli:
- Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
- Terisap toksin (NO, asap)
- Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
- Aspirasi asam lambung
- Pneumonitis akut akibat radiasi
- Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
- Immunologi: pneumonitis hipersensitif
- Shock-lung pada trauma non thoraks
- Pankreatitis hemoragik akut
Insufisiensi Sistem Limfe:
- Pasca transplantasi paru
- Karsinomatosis, limfangitis
- Limfangitis fibrotik (silikosis)
b. Edema Kardiogenik
Edema paru akibat kardiogenik dapat terjadi akibat peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Gambaran klinis sangat bergantung kepada lama dan besarnya peningkatan tekanan
intravaskular. Mild tachypnoe dapat terjadi oleh karena engorgement pembuluh kapiler pare
yang menyebabkan menurunnya compliance paru sehingga menyebabkan peningkatan beban
kerja sistem pernapasan. Edema pada alveolus dan saluran napas dapat dijumpai dengan
klinis edema paru yang berat jika peningkatan intravaskular terjadi terus-menerus.

e. Manifestasi Klinis
Gejala paling umum dari edema paru adalah sesak nafas. Ini mungkin adalah penimbulan yang
berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau dapat mempunyai penimbulan yang
tiba-tiba pada kasus dari edema paru akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih
cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion),
nafas yang cepat (takipnea), kepeningan atau kelemahan.

Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan
pulmonary edem. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin
mendengar suara-suara paru yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih pendek yang
terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernafas.

f. Diagnosis
g. Pemeriksaan Radiologi
Foto thoraks harus dilakukan pada pasien dengan edema paru, untuk mengevaluasi tanda-
tanda edema paru serta menilai kondisi jantung baik ukuran, bentuk serta tanda-tanda kongesti.
Foro thoraks dapat memberikan gambaran karakteristik suatu edema paru kardiak ataupun non
kardiak.
Ketika tekanan hidrostatik meningkat menjadi 20-25mmHg, cairan didorong dari ruang
intravaskular ke interstitium sekitarnya. Peningkatan cairan interstisium memiliki beberapa
manifestasi pada foto toraks, termasuk thickening of the interlobular fissures, peribronchial
cuffing (pembesaran diruang peribronkovaskular), dan blurring or indistinctness of the
pulmonary vessel walls. Peningkatan cairan interstisium tidak hanya mempengaruhi jaringan
intertisial peribronkial di sentral secondary pulmonary lobule,, tetapi juga jaringan intertisial di
bagian perifer secondary pulmonary lobule, yang disebut sebagai interstitium septum
interlobular. Kerley lines adalah manifestasi dari cairan yang melebarkan interstitium septum
interlobular. Kerley lines B adalah kekeruhan linier dengan panjang <2mm, diidentifikasi secara
perifer, berorientasi tegak lurus ke permukaan pleura, mewakili pembengkakan septa
interlobular. Kerley lines A memanjang miring dari pinggiran ke arah hila dan merupakan
manifestasi cairan di limfatik anastomotik yang menghubungkan limfatik peribronkial sentral
dengan limfatik perifer yang berjalan di sepanjang septa interlobular.

Chest X-ray features of cardiogenic pulmonary edema. Tampak peribronchial cuffing


(pembesaran diruang peribronkovaskular) dan garis septal yang menonjol (Kerleys’s B
Lines).
Peribronchial cuffing

Wanita 59 tahun dengan kardiomiopati noniskemik, EF 10% dalam keadaan euvolemik


(a) dan dengan edema interstisial (b) seperti yang ditunjukkan oleh penonjolan
interstisial, Kerley lines A dan B (lingkaran merah).

Pasien euvolemik dengan tampilan normal pedikel vaskular (panah merah). Perhatikan
margin pembuluh darah yang berbeda dan pembuluh kaliber yang lebih kecil di lobus
atas relatif terhadap lobus bawah. (b) Pasien yang sama 3 bulan kemudian dengan
kardiomegali baru dan edema paru ringan dengan pelebaran pedikel vaskular (panah
merah), yang merupakan menifestasi dari hipertensi vena pulmonalis.

Gambaran Chest X-ray dari ARDS menunjukkan patchy opacities. Indistinct vessels
menandakan edema interstitial, sedangkan the airspace disease menandakan edema
alveolar.
31 tahun dengan bakteremia MRSA dan ARDS. (a) CXR portabel yang menunjukkan
perihilar consolidative opacities.

Perbedaan temuan X-Ray thoraks pada edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik

h. Tatalaksana

Anda mungkin juga menyukai