Anda di halaman 1dari 16

Portofolio Kasus Bedah

No. ID dan Nama Peserta : dr. Oktafira Eka Anggirawaty


No. ID dan Nama Wahana: RSUD Kab Nunukan
Topik: Kaki Diabetik wagner III
Tanggal (kasus) : 26 April 2019
Nama Pasien : Tn. Dj No. RM : A.44.08.98
Tanggal presentasi: Pendamping: dr. Ferdy Syah Irfan,
Sp.P
Tempat presentasi: -
Obyek presentasi : Anggota Komite Medik, Petugas Kesehatan & Dokter Internsip RSUD Kab
Nunukan
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Laki-laki 58 tahun datang dengan keluhan luka pada kaki yang timbul 3 minggu yang lalu
akibat terbentur batu. Pertama luka berukuran kecil, lama kelamaan membesar. Luka terasa neyri (+),
panas (+), bengkak (+), kemerahan dan bernanah. Pasien sering mengeluh terasa keram, gatal, kebas dan
panas pada kedua kaki dan ujung jari tangannya. Pasien juga mengaku sering mengalami luka di kaki
tanpa disadari.
Tujuan: menegakkan diagnosis ulkus kaki diabetikum dan penatalaksanaannya
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas: diskusi

Data Pasien: Nama: Tn. Dj No.Registrasi: A.44.08.98


Nama klinik RSUD Kab Nunukan
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/gambaran klinis:
Laki-laki 58 tahun datang dengan keluhan luka pada kaki kiri yang timbul 3 minggu yang lalu
akibat terbentur batu. Pertama luka berukuran kecil, lama kelamaan membesar. Luka terasa neyri
(+), panas (+), bengkak (+), kemerahan dan bernanah. Pasien sering mengeluh terasa keram,
gatal, kebas dan panas pada kedua kaki dan ujung jari tangannya. Pasien juga mengaku sering
mengalami luka di kaki tanpa disadari. Pasien sering merasa lapar walupun beberapa jam
sebelumnya telah makan, sering cepat haus dan sering terbangun malam hari untuk BAK. Terjadi
penurunan BB 1 bulan terakhir sebanyak 10kg. Demam (-), mual muntah (-), bab dan bak dbn.
2. Pemeriksaan fisis: TD: 169/100 mmHg, N: 84 x/mnt, P:22 x/mnt, S: 37.0 ºC.
3. Riwayat pengobatan: glibenklamid dan captopril
4. Riwayat kesehatan/penyakit: Riwayat DM sejak 7 tahun yang lalu, riw HT sejak 7 tahun
yang lalu
5. Riwayat keluarga: ibu pasien menderita DM
6. Riwayat pekerjaan: PNS
7. Lain-lain: -
Daftar Pustaka:
1. Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007: h. 1911-4.
2. Soetjahjo A. Peranan Neuropati Diabetik. Dalam: Majalah Kedokteran Andalas Vol. 22
No. 1. Juni 1998, h. 2-10.
3. Shahab A. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: FKUI, 2007: h. 1894-7.
4. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Dalam: Price SA
& Wilson LM (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume
2. Jakarta: EGC, 2006: h. 1259-74.
5. Rowe, W.L. Diabetic ulcers [online].2011, April 01[citied on 2011, April 24]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/.
6. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrison’s Manual of Medicine 17 th Edition.
New York: McGraw-Hill, 2009: h. 942-7.
7. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia. Dalam: IPD’s CIM: Compendium of Indonesian Medicine, 1st
Edition. Jakarta: IDI, 2009: 13-40.
Hasil pembelajaran:
1. Definisi ulkus kaki diabetik
2. Penegakkan diagnosa ulkus kaki diabetik
3. Tatalaksana ulkus kaki diabetik
4. Prognosis ulkus kaki diabetik

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif:
Laki-laki 58 tahun datang dengan keluhan luka pada kaki kiri yang timbul 3 minggu yang lalu
akibat terbentur batu. Pertama luka berukuran kecil, lama kelamaan membesar. Luka terasa neyri
(+), panas (+), bengkak (+), kemerahan dan bernanah. Pasien sering mengeluh terasa keram,
gatal, kebas dan panas pada kedua kaki dan ujung jari tangannya. Pasien juga mengaku sering
mengalami luka di kaki tanpa disadari. Pasien sering merasa lapar walupun beberapa jam
sebelumnya telah makan, sering cepat haus dan sering terbangun malam hari untuk BAK. Terjadi
penurunan BB 1 bulan terakhir sebanyak 10kg. Demam (-), mual muntah (-), bab dan bak dbn.
Obyektif:
Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Compos mentis


Tekanan Darah : 169/100 mmHg
Nadi : 84 x/m, regular, isi cukup
Nafas : 22 x/mnt
Hem globin Suhu : 37,00C
10,1 g/Dl
Status Generalis
Leukosit 12,7 x103uL
Kepala : Bentuk simetris, rambut
Hematokrit 31,2 % hitam tidak mudah dicabut
Trombosit 227000
Mata : Konjungtiva anemis +/+,
sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter pupil 2 mm, refleks cahaya +/+

Leher : JVP menigkat (-)

Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah

Tonsil : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

Dada : Paru: Vesikuler +/+, Ronkhi halus (+) dikedua lapangan paru
Jantung : Bunyi jantung I/II reguler, bising tidak ada, gallop (+)
Abdomen : BU (+), kesan normal

Ekstremitas :

 Tampak luka pada phalanx III proximal pedis (s) sepanjang ± 5 cm, lebar 3 cm
kedalaman 2 cm. gangren (-), darah (+), pus (+), Nyeri (+), bengkak (+), pada sekitar
luka, perbaan hangat (+), Kemerahan (+)
 Tampak luka pada phalanx IV distal dengan ukuran 2x1 cm, nanah (-), darah (+), Nyeri
(+).
 Pulsasi arteri dorsalis pedis (s) kesan ↓, arteri tibialis posterior (s) (+), arteri poplitea (s)
(+), arteri femoralis (s) (+).

Pemeriksaan Penunjang

Tanggal, 25 April 2019


FOTO PEDIS SINISTRA : Kesan ulkus pada softtissue, belum tampak gas gangren
EKG : Normal

Diagnosis:
Diagnosis kerja : Kaki diabetik sinistra wagner III
DM tipe II
HT grade II

2. Assessment
Kaki diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang disebabkan oleh
diabetes mellitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi vaskuler, serta infeksi.
Penderita kaki diabetik yang masuk rumah sakit umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang
tidak dirasakan oleh penderita.
Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara umum
faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi: 2
 Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti kelainan
makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan neuropati otonom.

Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati motorik, neuropati
sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi DM yang lain (seperti mata kabur).

 Faktor presipitasi
 Perlukaan di kulit (jamur).
 Trauma.
 Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
 Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
 Derajat luka.
 Perawatan luka.
 Pengendalian kadar gula darah.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati
sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan
otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi
menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang
juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetik. 1

1. Vaskulopati
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi ketidakrataan permukaan lapisan
dalam arteri sehingga aliran lamelar berubah menjadi turbulen yang berakibat pada mudahnya
terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen arteri akan tersumbat dan manakala aliran
kolateral tidak cukup, akan terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas. 2

Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa


penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer yang terutama sering terjadi pada tungkai
bawah. Pada penderita muda, pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati adalah
arteri tibialis. Kelainan arteri akibat diabetes juga sering mengenai bagian distal dari arteri
femoralis profunda, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri digitalis pedis. Akibatnya perfusi
jaringan distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat
berkembang menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan
amputasi. 2

Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan membrana basalis serta
penurunan produksi prostasiklin (vasodilator dan anti platelet aggregating agent) akan memacu
terbentuknya mikrotrombus dan penyumbatan mikrovaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan
timbulnya iskemia organ dan/atau jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut saraf perifernya.
2

Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan vaskulopati berupa disfungsi endotel melalui


berbagai mekanisme antara lain: 3

 Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan makromolekul
seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik dari protein dan DNA.
Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan
keseimbangan NO dan prostaglandin.
 Hiperglikemia meningkatkan aktivasi PKC intraselular sehingga akan menyebabkan
gangguan NADPH pool yang akan menghambat produksi NO.
 Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos pembuluh
darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
 Hiperglikemia akan meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG) melalui jalur glikolitik.
Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik DAG maupun PKC
berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
 Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan hiperglikemia akan
meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidized lipoprotein,
terutama small dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Di
samping itu peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemia dapat
meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.
 Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombotik dan agregasi platelet. Keadaan ini
berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penurunan produksi NO dan penurunan
aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-1. Di samping itu, pada DM tipe 2 terjadi
peningkatan aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan
advanced glycosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparin sulfat.
 Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan disfungsi endotel,
namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan stimulasi yang berlebihan dari
sel-sel endotel sehingga akan terjadi disfungsi endotel.
Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung secara kronik hingga
menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine dibagi menjadi stadium sebagai berikut: I.
rasa kram/kebal, II. claudicatio intermitten, III. resting pain, IV. iskemia/infark dan/atau
gangren. 2
2. Neuropati
Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat dengan patogenesis
kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung
kaki. Hal ini disebut sebagai fenomena dying back, di mana ada teori yang menyatakan bahwa
semakin panjang saraf maka semakin rentan untuk diserang. Jadi dibandingkan dengan
ekstremitas atas, ternyata ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena. 2

Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran oksigen pada
serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses jalur sorbitol dan mekanisme lain akan
mengakibatkan neuropati) juga akan menurunkan aliran darah ke perifer sehingga aliran tidak
cukup dan menyebabkan iskemia dan bahkan gangren. 2
Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa  sorbitol 
fruktosa) akibat kekurangan insulin. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan
fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia
dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan
hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan
neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik,
dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot, dan
atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-
saraf kranial, atau sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare
nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural, dan
impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut
tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan
tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia. 4

a) Neuropati motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot intrinsik yang menimbulkan
kelemahan pada kaki dan keterbatasan gerak sendi akibat akumulasi kolagen di bawah dermis
hingga terjadi kekakuan periartikuler. Deformitas akibat atrofi otot dan keterbatasan gerak
sendi menyebabkan perubahan keseimbangan pada sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan
menimbulkan titik tumpu baru pada telapak kaki serta berakibat pada mudahnya terbentuk
kalus yang tebal (claw foot). Seiring dengan berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus
tersebut mudah terjadi infeksi yang kemudian berubah jadi ulkus dan akhirnya gangren. 2
Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat neuropati yang klasik dengan 4
tahap perkembangan: 2
(1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan bengkak.
(2) Terjadi disolusi, fragmentasi, dan fraktur pada persendian tarsometatarsal.
(3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.
(4) Timbul ulserasi plantaris pedis.
b) Neuropati sensorik
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan daya kewaspadaan
proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh
normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada keadaan normal sensasi yang diterima
menimbulkan refleks untuk meningkatkan reaksi pertahanan dan menghindarkan diri dari
rangsangan yang menyakitkan dengan cara mengubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan di sini sinyal diolah
kemudian respon dikirim melalui saraf motorik. 2

Pada penderita DM yang telah mengalami neuropati perifer saraf sensorik (karena
gangguan pengantaran impuls), pasien tidak merasakan dan tidak menyadari adanya trauma
kecil namun sering. Pasien tidak merasakan adanya tekanan yang besar pada telapak kaki.
Semuanya baru diketahui setelah timbul infeksi, nekrosis, atau ulkus yang sudah tahap lanjut
dan dapat membahayakan keselamatan pasien. 2

Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada pasien DM, seperti: 2

(1) Tekanan rendah tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada tumit karena lama
berbaring, dekubitus).
(2) Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku).
(3) Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki).
c) Neuropati otonom
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama adalah akibat
kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini mengakibatkan perubahan aliran darah,
produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vasomotor, dan lain-lain. 2

Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang terutama pada tungkai


yang menyebabkan kulit penderita mengalami dehidrasi, kering, dan pecah-pecah sehingga
memudahkan infeksi lalu selanjutnya timbul selulitis, ulkus, maupun gangren. Selain itu
neuropati otonom juga menyebabkan terjadinya pintas arteriovenosa sehingga terjadi
penurunan nutrisi jaringan yang berakibat pada perubahan komposisi, fungsi, dan sifat
viskoelastisitas sehingga daya tahan jaringan lunak dari kaki akan menurun dengan akibat
mudah terjadi ulkus. 2

3. Fokus infeksi
Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui jalur muskulofasial.
Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon dan otot, baik pada kaki maupun pada
tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki diabetik klasik biasanya timbul di atas kaput metatarsal
pada sisi plantar pedis. Sebelumnya, di atas lokasi tersebut terdapat kalus yang tebal dan
kemudian menyebar lebih dalam dan dapat mengenai tulang. Akibatnya terjadi osteomielitis
sekunder. Sedangkan kuman penyebab infeksi pada penderita diabetes biasanya multibakterial
yaitu gram negatif, gram positif, dan anaerob yang bekerja secara sinergi. 2
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk gangren yang
selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu, 50% dari kasus ulkus/gangren
diabetes akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk
berkembangnya bakteri patogen. 2

Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius. Hal ini
disebabkan karena pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin (seperti katekolamin,
kortisol, homon pertumbuhan, dan glukagon) yang menyebabkan meningkatnya kadar gula
darah. Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan gangguan
sistem imunologi. Sebagaimana diketahui, dalam melaksanakan fagositosis sel PMN
membutuhkan energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan aktivitasnya. Dengan bantuan
insulin yang melekat erat pada sel PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi.
Sumber energi ini akan berkurang pada pasien diabetes yang mengalami kekurangan insulin. 2

KLASIFIKASI

A. Klasifikasi Edmonds (King’s College Hospital, London, 2004-2005) 1


Stage 1: Normal Foot

Stage 2: High Risk Foot

Stage 3: Ulcerated Foot

Stage 4: Infected Foot

Stage 5: Necrotic Foot

Stage 6: Unsalvable Foot.

B. Klasifikasi Liverpool 1
Klasifikasi primer:
 Vaskular
 Neuropati
 Neuroiskemik
Klasifikasi sekunder:

 Tukak sederhana, tanpa komplikasi


 Tukak dengan komplikasi.
C. Klasifikasi Wagner 1
Wagner 0: Kulit intak/utuh
Wagner 1: Tukak superfisial
Wagner 2: Tukak dalam (sampai tendo, tulang)
Wagner 3: Tukak dalam dengan infeksi
Wagner 4: Tukak dengan gangren terlokalisasi
Wagner 5: Tukak dengan gangren luas seluruh kaki.
D. Klasifikasi Texas 1
Tingkat
Stadium
0 1 2 3

Luka superfisial,
Tanpa tukak atau Luka sampai
tidak sampai Luka sampai
A pasca tukak, kulit tendon atau
tendon atau tulang/sendi
intak/utuh kapsul sendi
kapsul sendi
B ----------------------------Dengan Infeksi----------------------------

C ---------------------------Dengan Iskemia---------------------------

D --------------------Dengan Infeksi dan Iskemia--------------------

E. Klasifikasi PEDIS (International Working Group of Diabetic Foot, 2003) 1


Impaired Perfusion 1 None

2 PAD + but not critical

3 Critical limb ischemia

Size/Extent in mm2

Tissue Loss/Depth 1 Superficial full thickness, not deeper than dermis

2 Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous


structures, fascia, muscle, or tendon

All subsequent layers of the foot involved including bone


3 and or joint

Infection 1 No symptoms or signs of infection

2 Infection of skin and subcutaneous tissue only

3 Erythema > 2 cm or infection involving subcutaneous


structure(s).

No systemic sign(s) of inflammatory response

Infection with systemic manifestation:


4
Fever, leucocytosis, shift to the left

Metabolic instability
Hypotension, azotemia

Impaired Sensation 1 Absent

2 Present

DIAGNOSIS
Diagnosis kaki diabetik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, serta
pemeriksaan penunjang lainnya. Pada anamnesis, perlu ditanyakan perjalanan timbulnya luka
beserta perkembangannya, serta riwayat penyakit diabetes mellitus. Selain itu perlu juga
ditanyakan komplikasi-komplikasi DM yang sudah dialami penderita, baik komplikasi
mikrovaskular maupun makrovaskular.5

Gejala klinis akibat neuropati perfier

Gejala-gejala yang diakibatkan oleh adanya neuropati perifer antara lain.5

1. Hypesthesia
2. Hyperesthesia
3. Paraesthesia
4. Dysesthesia
5. Radicular pain
6. Anhydrosis
Gejala akibat insufisiensi arteri perifer

Gejala yang biasa dirasakan oleh pasien antara lain, nyeri iskemik pada saat istirahat,
ulkus yang tidak sembuh. Rasa kram arau kelelahan pada otot-otot besar pada salah satu atau
kedua ekstremitas bawah yang timbul pada saat berjalan dalam jarak tertentu, yang
mengindikasikan adanya klaudikasio intermitten. Gejala ini bertambah pada saat beraktivitas dan
membaik dengan istirahat selama beberapa menit. Onset dari klaudikasio dapat terjadi lebih dini
apabila pasien sering berjalan cepat atau menaiki tangga. Rasa tidak nyaman, kram atau
kelemahan pada betis atau kaki sering terjadi pada penderita kaki diabetis, karena cenderung
terjadi oklusi aterosklerosis tibioperoneal. Atrofi otot-otot betis mungkin juga terjadi. Gejala-
gejala yang timbul pada paha, mengindikasikan adanya oklusi aorta iliaca.5

Nyeri pada saat beristirahat jarang terjadi pada penderita diabetes. Pada beberapa kasus,
fissure, ulkus atau kulit pecah-pecah merupakan tanda awal telah terjadinya penurunan perfusi.
Ketika penderita diabetes dating dengan gangrene hal tersebut sering merupakan akibat dari
infeksi5

Pada pemeriksaan fisis, dapat dilakukan penilaian klasifikasi kaki diabetik serta tes
sensitivitas kaki. Pemeriksaan pulsasi arteri dorsum pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea,
dan arteri femoralis dilakukan untuk menentukan prognosis dan pilihan terapi yang akan
diberikan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah rutin
(tanda-tanda infeksi), pemeriksaan kadar GDP, GD2PP, TTGO, serta HbA1c, kimia darah,
urinalisis, foto thoraks, serta foto pedis. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran perjalanan
penyakit DM yang dialami penderita, yang selanjutnya akan membantu dalam menentukan
penatalaksanaan kaki diabetik.5

3. Plan
Penatalaksanaan
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya ulkus,
bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit. Pencegahan primer ini juga
merupakan suatu upaya edukasi kepada para penyandang DM baik yang belum terkena kaki
diabetik, maupun penderita kaki diabetik untuk mencegah timbulnya luka lain pada kulit.
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkna risiko terjadinya dan risiko
besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik berdasarkan risiko
terjadinya masalah (Frykberg) yaitu: 1
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas
5) Kombinasi/complicated
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas
b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,
disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan
tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait
terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah. 1
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk kaki yang insensitif,
alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut. Jika sudah ada
deformitas, perlu perhatian khusus mengenai alas kaki yang dipakai, untuk meratakan
penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan permasalahan vaskular, latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated, akan
dibahas lebih lanjut pada upaya pencegahan sekunder. 1
B. Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat diperlukan. Berbagai
hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat
digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama.

1. Mechanical control (pressure control)


Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearing area pada plantar
pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut akan rentan terhadap
timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-bearing dapat dilakukan antara
lain dengan removable cast walker, total contant casting, temporary shoes, felt padding,
crutches, wheelchair, electric carts, maupun cradled insoles. 1

Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka, seperti
dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi bedah (misalnya operasi untuk
hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, dan partial calcanectomy).
1

2. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan
dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus
PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Debridement yang baik dan adekuat akan
sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian
akan sangat mengurangi produksi cairan/pus dari ulkus/gangren. 1

Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka, seperti
cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer, senyawa perak sebagai bagian dari
dressing, dll. Demikian pula berbagai cara debridement non surgikal dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim. 1

Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak pada
proses selanjutnya, yaitu proses granulasi dan epitelisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi
kesembuhan luka, dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini
umum dipakai di berbagai tempat perawatan kaki diabetik. 1

3. Microbiological control (infection control)


Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang
berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan
resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo,
umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran Gram positif dan Gram negatif
serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama
pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik spektrum luas, mencakup kuman Gram positif
dan negatif (misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat
terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol). 1

4. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka. Berbagai
langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien. Umumnya
kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti warna
dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri
femoralis, serta pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga tersedia berbagai
fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara noninvasif maupun
invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure,
TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler serta arteriografi. 1

Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan untuk


kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu berupa:

Modifikasi Faktor Risiko 1

 Stop merokok
 Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia)
Terapi Farmakologis

Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat
aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya
yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki penyandang
DM; tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian
obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang
DM. 1

Revaskularisasi

Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio intermiten yang
hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi, diperlukan
pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas. 1

Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi yang
pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovaskular (PTCA). Pada keadaan sumbatan akut
dapat pula dilakukan tromboarterektomi. 1

Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki,
sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik, sehingga kesembuhan luka tinggal
bergantung pada berbagai faktor lain yang turut berperan. 1

Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi
dan oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetik sebagai terapi adjuvant. Walaupun demikian,
masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum
kaki diabetik. 1

5. Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa darah
diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait
hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk
menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang
baik akan membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan diperbaiki,
seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal. 1

6. Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik. Dengan
penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya
diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal. 1

4. Prognosis
Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi pada kaki diabetik.
Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik
hingga mekanisme radang menjadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah
yang subur untuk perkembangan bakteri patogen; dan faktor ketiga ialah karena adanya pintas
arteriovenosa di subkutis yang terbuka hingga aliran nutrien tidak sampai ke tempat infeksi. 2

Selain ketiga faktor di atas, masih banyak faktor lain yang ikut berpengaruh dalam
terbentuknya kaki diabetik. Waspadji menyatakan bahwa faktor pendidikan, sosioekonomi, dan
gizi juga punya andil cukup besar. Pendidikan dan sosioekonomi yang rendah terkait dengan
pengetahuan yang kurang mengenai diabetes mellitus dan pencegahan komplikasinya serta
kemampuan finansial akan mempengaruhi pengelolaan diabetes mellitus yang dideritanya. Status
gizi yang rendah memiliki keterkaitan dengan rendahnya respon imun sehingga mempermudah
terjadinya infeksi. 2

Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemantauan penyakit diabetes


mellitus secara berkepanjangan antara lain: 6

 Pemantauan kadar glukosa darah secara berfrekuensi (sebaiknya dapat dilakukan oleh pasien
secara mandiri)
 Pemeriksaan kadar HbA1c (2-4 kali/tahun)
 Edukasi pasien mengenai manajemen diabetes mellitus (setiap tahun)
 Edukasi dan terapi gizi medis (setiap tahun)
 Pemeriksaan mata (setiap tahun)
 Pemeriksaan kaki (1-2 kali/tahun di dokter, dan setiap hari oleh pasien sendiri)
 Tes saring untuk nefropati diabetik (urinalisis – setiap tahun)
 Pengukuran tekanan darah (setiap tiga bulan)
 Pemeriksaan profil lipid dan kreatinin serum (setiap tahun)
 Imunisasi influenza/pneumococcus
 Pertimbangkan terapi antiplatelet.

Nunukan, April 2019

Peserta, Pembimbing,

dr. Oktafira Eka Anggirawaty dr. Ferdy Syah Irfan, Sp.P

Anda mungkin juga menyukai