Oleh :
Fania Liahsani
(2013730142)
Pembimbing :
1
BAB I
LAPORAN KASUS
Nama : An. A
Usia : 4 tahun
No RM : 82-83-XX
No. Kamar :3
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
b. Keluhan Tambahan
os datang ke IGD RSIJCP dengan keluhan kejang berulang >2x, lamanya >10 detik ketika
dirumah. Berdasarkan cerita ibunya os kejang meghentak-hentakkan tangan dan kaki
dengan mata mendelik keatas 2 jam smrs. Setelah kejang os berlangsung lemas. Lalu
sampai di IGD kejang berhenti dan langsung demam tinggi.
Os sudah mempunyai riwayat epilepsi dari umur 1 tahun 3 bulan dan masih pengobatan
epilepsi sampai sekarang. Os mengalami kejang seperti ini awalnya karena imunisasi
DPT3 umur 3 bulan yang vaksinnya menyebabkan demam. Semenjak dari situ ketika os
demam pasti disertai dengan kejang. Pada saat umur 3 bulan os disarankan untuk EEG
2
tetapi OT os belum mau setelah 9 bulan baru os dilakukan pemeriksaan EEG dan
dikatakan hasilnya ada kelainana EEG di parsial kanan yang menunjukkan benar adanya
riwayat epilepsi.
Setelah os umur 9 bulan kejang sudah mulai timbul dan sering berulang lagi setiap kali
demam maupun tidak demam. Ditambah os dulunya pernah dapat pengobatan TB saat
umur 1 tahun dan pengobatan lengkap selama 6 bulan.
Ibu os mengatakan kejang pada kali ini berbeda dengan kejang sebelumnya karena lama
serangan kejangnya >10detik dan berulang sebanyak 2x dan sudah tidak membaik
dengan pemberian stesolid. Saat ini os disertai batuk pilek dan demam sejak 2 hari yang
lalu smrs.
Pada saat sudah sampai bangsal os mengalami kejang berulang secara mendadak
berlangsung >10 menit dan berulang sampai ±40 menit sebanyak 3x durasi kejang.
Dengan gerakan menghentak-hentakkan kedua tangan dan kaki, serta dengan bola mata
yang mendelik keatas dan lidah yang tergigit lalu langsun diberikan 2 stesolid supp dan
injeksi diazepam dan masih tidak berhenti kejang kemudian segera dibawa ke Ruang
perawatan intensive / PICU.
f. Riwayat Pengobatan
g. Riwayat Alergi
Ibu An. rutin ANC di dokter, selama hamil tidak pernah sakit.
3
An. Lahir secara normal dengan usia kehamilan 38 minggu.
BB lahir = 2800 gram
PB lahir = 48 cm
k. Riwayat Perkembangan
OS selama sakit sulit untuk bersosialisasi di lingkungan sekitar dan teman sebayanya
l. Riwayat Imunisasi
BCG 1x
DPT 3x
Hepatitis B 3x
Polio 3x
Campak 1x
m. Riwayat Psikososial
Os tinggal bersama orangtuanya dan aktif bermain jika anak sehat. Sirkulasi udara di
lingkungan rumah baik.
4
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : somnolen
Tanda-tanda Vital :
Suhu Tubuh : 38 ⁰C
Nadi : 105 kali/menit,
RR : 25 kali/menit
Antropometri:
BB sebelum sakit : 14 kg
BB saat sakit : 14 kg
PB : 88 cm
LK : 51 cm
Status Gizi
STATUS GENERALIS
Kepala
Kepala Normocephal
Ubun-ubun Kecil Menutup Sempurna
Warna Hitam distribusi merata
Kondisi Tidak mudah dicabut
Mata
Konjungtiva anemis - -
Sclera icterus - -
Edema palpebra - -
Mata cekung - -
Mata merah dan berair - -
Hidung
Pernapasan cuping hidung -
Deviasi septum -
Sekret (-/-)
Perdarahan (-/-)
Nyeri tekan (-/-)
Telinga
Normotia - -
Serumen - -
5
Nyeri tekan - -
Mulut
Mukosa bibir Kering
Sianosis -
Stomatitis -
Tonsil T1/T1
Faring Hiperemis (-)
Bercak perdarahan pada mukosa faring (-)
dan mukosa buccal
Leher
Pembesaran KGB - -
Pembesaran Kelenjar Thyroid - -
Thorax
Inspeksi Gerak dada simetris
Perkusi Sonor/sonor
Palpasi Vokal fremitus simetris, nyeri tekan (-/-)
Auskultasi Bunyi paru vesikular (+/+), ronkhi basah halus(+/+),
wheezing (-/-)
Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi Abdomen datar, Distensi (-), Scar (-)
Auskultasi BU (+) normal
Perkusi Tymphani pada seluruh kuadran abdomen
Palpasi supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
massa (-)
Turgor Kulit Baik, Kembali dalam waktu < 2 detik
Ekstremitas
Superior Kanan Kiri
Akral Hangat Hangat
Edema - -
Sianosis - -
CRT < 2 detik < 2 detik
6
Tonus otot Meningkat Meningkat
Pergerakan Fleksi Fleksi
Inferior Kanan Kiri
Akral Hangat Hangat
Edema - -
Sianosis - -
CRT < 2 detik < 2 detik
Tonus otot Meningkat Meningkat
Pergerakan Ekstensi Ekstensi
7
Keratinin darah 0.5 Mg/dL <1.4
Elektrolit
Natrium (Na) darah 142 mEq/L 135-147
Kalium (K) darah 3.4 mEq/L 3.5-5.0
Tanggal 1 November
2017
KIMIA KLINIK
Analisa gas darah 38.5
Temperatur (AGD)
pH 7.453 7.370 – 7.450
pCO2 35.7 mmHg 33-44
pO2 55.4 mmHg 71-104
Saturasi O2 89.40 % 94.00 – 98.00
HCO3 (act) 25.2 Mmol/L 21-28
1.5 Resume
An. A Laki-laki 4 tahun datang dengan keluhan kejang berulang >2x, lamanya >10 detik
ketika dirumah. Berdasarkan cerita ibunya os kejang meghentak-hentakkan tangan dan
kaki dengan mata mendelik keatas 2 jam smrs. Setelah kejang os berlangsung lemas.
Lalu sampai di IGD kejang berhenti dan langsung demam tinggi. os disertai batuk pilek
dan demam sejak 2 hari yang lalu smrs.
1.6 Assesment
8
1.7 Diagnosa Kerja
1.8 Terapi
1.9 Follow Up
Hari/ S O A P
tanggal
1 Demam dari semalam KU: sakit sedang extra proris sup I
Novemb (+) Kes : CM ISPA infus asering loading
er 2017 Kejang 3x siang dan S: 37.9’C 100 cc
lama>10 menit(+) RR : 35 x/m KDK injeksi kalmetason 3 x
(18.00) Batuk kering (+), pilek N: 100x/m 2.5 mg
(+) p. Panas ->
Kejang berulang >3x Status proris ceweble 150
durasi ±40 menit. Kejang epileptikus mg
bersifat tonik klonik Diazepam 1.5 mg
dengan mata mendelik Riwayat Equal
dan setelah kejang terjadi Kejang pada Alco dmp syr 3 x 1
penurunan kesadaran epilepsi cdo
Diazepam injeksi 5 mg
(kecepatan 2
9
mg/menit)
Dilantin 200 mg
(dalam Nacl 100 cc
habis dalam 30 menit)
Terapi 12 jam kemudian
diberikan
Fenitoin rumatan
(dilantin) 2x35 mg
Ceftriaxon 3 x 500 mg
2 Pasien telah terpasang KU : kesadaran KDK Modus ventilator
Novemb ETT + ventilator dengan menurun : sakit berat diubah : RR 30 PEEP
er 2017 PC 15 RR 30 PEEP 5 Kes: stupor Kejang 5 PC 15
(03.00) FiO2 85% S:38.4 C riwayat FiO2 diturunkan
RR :43 x/m epilepsi pelan-pelan
HR: 146 x/m Volume tidak tidak
SaO2 : 91 % boleh lebih dari 80
Program lanjutan
Antibiotik
2 S : demam (+) KU : sakit berat nafas Observasi pola nafas
Novemb BAK ada, BAB ada dengan bantuan Bersihkan jalan napas
er 2017 Malam ini tidak ada Ventilator modus PE Riwayat Observasi TTV
(06.50) kejang (-)batuk (+) sesak Infus terpasang Kejang pada
(+) muntah (+) RR :FiO2 30 epilepsi Lanjutkan terapi
10
Terpasang NGT : coklat PEEPS 5
Balance S: 38.5 C Bronkopneu Cefotaxim 3x250 mg
Intake 1000 cc/kg RR : 51 x/m moni Kalmetason 3 x 2.5 mg
HR: 124 x/m Dilantin 2 x 35 mg
Pf: ronkhi basah kasar Sibital 3 x 35 mg
(+/+) Antrain 3x200 mg
Cor pulmo pada foto Omeprazol 2 x 20 mg
rontgen thorax
didapatkan infiltrat
difus.
Akral hangat nadi kuat
Trombosit : 168.000
3 Tangisan kuat, nafas KU: sakit sedang Kejang pada Terapi depaken syr
Novemb spontan, minuman 30 Kes : CM epilepsi lanjutkan :
er 2017 ml/3jam, toleransi S : 36’6 C P. panas oral 3x1
(06.00) minum baik, muntah HR : 119x/menit Bronkopneu Depaken oral 2x5ml
tidak ada. Demam sudah RR : 20x/m monia p.Batuk oral 3x1 bks
turun (-) batuk (+) sesak SPO2 : 99%
(-) Observasi nafas pasien
Infus tangan kanan dan Lab : Observasi TTV+SPO2
kiri Hb :10.6 Observasi tanda-tanda
Leukosit : 15.950 infeksi
Ht : 31
Trombosit : 179000
Eritrosit : 3.730
MCV/MCH/MCHC :
82/28/35
3 diBadar KU: cemas epilepsi Infus 700cc/jam
Novemb demam (-), kejang (-) Kes : somnolen Inj. Cefotaxim 3x250
er 2017 batuk (+) HR: 115x/m Bronkopneu mg
(10.00) os sulit untuk diajak RR: 23x/m monia Inj. Kalmetason 3x2.5
berbicara dan mg
berinteraksi Delayed Inj. Dilantin 2x35 mg
development Inj. Sibital 2x35 mg
Depaken syr 2 x 5 cc
11
3 (Dietisien) Intake enteral Pantau NGT
Novemb Risiko malnutrisi inadekuat Pantau TTV
er 2017 BB: 14 kg Pantau intake
()6.00) BB/U : Target intake 51%
Kebutuhan cairan: kebutuhan
1200cc/jam
Infus 700 cc/24jam
500cc/24jam (enteral)
3 Kejang (-) demam (-) KU: sakit sedang epilepsi Inhalasi 3x/hari
Novemb Bab dan bak normal Kes: cm Diet cair 8x60 menit
er 2017 NGT (+) Bronkopneu Inj. Dilantin 2 x25 mg
(12.00) monia Inj. Sibital 2 x25 mg
Inj. Kalmetason 3x2
mg
Alco dmp syr
12
6 Ot mengakan anaknya KU : sakit sedang epilepsi terapi lanjutkan
Novemb batuk (+) lemas (+) Kes : CM
er 2017 demam naik turun. Os Suhu : 37,6’C Bronkopneu
ketika diajak berinteraksi Nadi: 110 x/m monia
dapat mengeluarkan Rr: 24x/m
suara tetapi tidak dapat Delayed
membentuk kata. development
7 (Fisioterapi) Berdiri (-), bicara (-), Delay speech stimulasi bahasa bicara
Novemb Os dengan riwayat kemampuan oral oral facial stimulation
er 2017 kejang meniup (-) menghisap
(-)
Os muncul kata-kata
“aku gak mau”
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Status Epileptikus
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus
(SE) karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE
adalah kejang yang berlangsung terus menerus selama periode waktu tertentu atau berulang
tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE
tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli
membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit.
Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10-58 per 100.000 anak. Status
epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun
dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.
Etiologi
Faktor risiko
Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus:
1. Epilepsi Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode
status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi
epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma
kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-
operatif), dan ensefalopati hipertensi.
14
Patofisiologi
Tata laksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis
anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah
algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK
Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
15
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang
sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan
pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
EPILEPSI
Definisi
Terjadi dua atau lebih bangkitan kejang tanpa provokasi yang dipisahkan oleh
interval lebih dari 24 jam yang bersifal lokal/parsial maupun general/umum.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposis yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, dan psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.
Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar
lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi
di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000,
sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000.
16
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibanding kan dengan
perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun (262/100.000 kasus)
dan usia lanjut diatas 65 tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak
cukup tinggi, yaitu pada usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40/100.000 kasus.
Etiologi
1. Epilepsi idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya
mempunyai predisposis genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun.
2. Epilepsi simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/ lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis,
infeksi susunan saraf pusat, gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asfiksia
neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
kelainan neurodegeneratif.
3. Epilepsi kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah
sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Klasifiksi
17
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum.
1. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
Lena/ absens
Mioklonik
Tonik
Klonik
Tonik-klonik
Atonik
2. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
18
A. Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan tranmisi pada
sinaps. Ada 2 jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga
sel nauron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-
neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepilefrin dan asetilkolin.
Sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls
atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik
tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
B. Gejala
1. Kejang parsial simpleks
Kejang dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan menglami gejala berupa :
Deja vu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
Halusinasi.
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi :
Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
19
Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang.
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti bingung.
Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
3. Kejang tonik-klonik
Merupakan kejang yang paling sering. Dimana terdapat 2 tahap : tahap tonik atau
kaku diikuti tahap klonik atau kelojotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya
mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasanya didahului
dengan aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan, dapat
berupa : merasa sakit perut, baal, kunang-kunag, telinga berdengung. Pada tahap
klonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh
karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian
dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan
tidak terkontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas,
letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
C. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis encefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan
penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis meliputi ;
Pola/bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
Frekuensi serangan
Faktor pencetus
Ada/tidak penyakit lain yang diderita sekarang
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembanga
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperi taruma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab
terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
20
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin dilakukan hanya atas indikasi
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditunjukkan untuk
menyingkirkan adanya penyebab kejang ekstrakranial. Pemeriksaan yang
dilakukakan dapat meliputi darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium
serum, magnesium dan BUN. Pemeriksaan kadar obat antikonvulsan
mungkin diperlukan pada kecurigaan ketidakpatuhan pasien terhadap
regimen pengobatan.
Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard
untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural diotak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG
dikatakan abnormal :
- Asimetris irama dan voltae gelombang pada daerah yang sama pada
kesua hemisfer otak
- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksismal.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging. Bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan
CT scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih
rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri
serta untuk membantu terapi pembedahan.
D. Penatalaksanaan
Tujuan terapi epilepsi adalah :
Obat Anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis apilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimal 2 kali bangkita dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui
tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,
kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/ didapat hasil yang optimal
dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak
teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka
lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen dan pencegahan kejang
untuk 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan berulang..
21
Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan
sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
Jika sudah jelas diagnosis epilepsi obat anti epilepsi (OAE) dapat diberikan sesuai jenis
dan klasifikasi epilepsi. Sesuai kesepakatan dokter neurologi anak IDAI terapi dimulai jika
interval antara 2 episode kejang kurang dari 6 bulan. Prinsip pengobatan epilepsi adalah
monoterapi dengan dosis yang bisa memberantas kejang. Mulai dengan dosis kecil terlebih
dahulu, naikkan secara bertahap jika masih terdapat kejang. Obat anti epilepsi dapat
dinaikkan sampai dosis maksimal, jika dengan dosis 2 OAE kejang sudah terkontrol OAE
pertama dapat dicoba diturunkan secara bertahap. Jika dengan monoterapi kedua kejang
kembali ada maka tetap diberikan politerapi dengan 2 OAE. Lama pemberian OAE sampai
2 tahun bebas kejang, EEG ulang dilakukan untuk evaluasi jika hasil EEG normal OAE
dapat diturunkan bertahap selama 3-4 bulan. Jika EEG abnormal, OAE dianjurkan sampai 3
tahun bebas kejang, setelah itu dilakukan evaluasi EEG ulang.
Selama pengobatan jika masih ada kejang, sebelum menaikkan dosis OAE atau
menambah OAE dinilai dahulu kepatuhan minum obat, adakah faktor pencetus kejang.
22
Fenobarbital Epilepsi umum Absans 4-6 mg/kg/hari
Epilepsi fokal dibagi 2 dosis
23
dosis 5 mg/kg/hari
Medikamentosa
Jika pasien datang dalam keadaan kejang, penghentian kejang harus segera dilakukan
tanpa menunggu anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap
Bila diagnosis epilepsi telah ditegakkan, ditentukan regimen terapi antikonvulsan sesuai
jenis epilepsi. Terapi antikonvulsan diberikan sampai pasien bebas kejang selama 2
tahun.
Edukasi
Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan minum obat dan
efek samping obat.
Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :
Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya, termasuk
berolahraga
Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang sebaiknya pasien ditemani orang lain.
Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stress psikis sebaiknya dihindari.
Pemantauan
Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon terhadap obat
dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi dan
fungsi hati) juga perlu dilakukan evaluasi neurologik ulang secara berkala.
E. Prognosis
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK UI. Jakarta : Info Medika Jakarta
2. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta: EGC.
3. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol 2. Jakarta: EGC
4. PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Ed: 3. Jakarta. 2008
5. Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC
6. Tjahjadi, dkk. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta Neurologi.
Yogyakarta; gadjah Mada University Press. 2005
25