Oleh:
Bagus Aditya A
NIM 182011101009
Dokter Pembimbing:
2018
LAPORAN KASUS
Oleh:
NIM 182011101009
Dokter Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
1
BAB 1. PENDAHULUAN
penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Kondisi ini seringkali
berakhir dengan menjadi gagal jantung.
Pada negara-negara di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2,0 %
dan meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun.
Prognosis dari gagal jantung akan jelek apabila dasar atau penyebabnya tidak
diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4
tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat, lebih dari
50% akan meninggal dalam tahun pertama.
3
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien pada
tanggal 1 November 2018 (H3MRS) di Ruang Catleya RSDS Jember.
• Biaya pengobatan
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah keatas.
Status pembiayaan kesehatan pasien yaitu BPJS NPBI.
RR : 22 x/menit
Tax : 36,8 oC
d. Pernapasan : sesak (-), batuk (-)
e. Kulit : edema (-), sianosis (-), ikterus (-), anemis (-)
f. Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran kelejar tiroid (-)
g. Otot : akral hangat (+) pada ekstremitas superior dan
inferior, edema (-) pada ekstremitas superior dan inferior.
h. Tulang : tidak ada deformitas dan krepitasi
i. Status gizi : BB : 60 kg
TB : 160 cm
IMT : 23 kg/m2
Palpasi: P: Palpasi:
Fremitus raba Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
8
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V V V V V
V V V V
Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -
Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -
c. Perut
1) Inspeksi : datar
2) Auskultasi : bising usus (+), 6 x/menit
3) Palpasi : soepel, hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri
tekan epigastrium (-)
4) Perkusi : timpani
9
d. Anggota Gerak
1) Superior : akral hangat +/+, edema -/-
2) Inferior : akral hangat +/+, edema -/-
2.4.3 EKG
Resume
Temporary Problem List
1) Anamnesis
a. Lelaki usia 58 tahun
b. Sesak
c. Nyeri Dada Menjalar
2) Pemeriksaan Fisik
a. Batas jantung melebar, suara vesikuler, Whezing -/-, Rhonki -/-
5) Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Thorax: Cardiomegali, sudut costo phrenicus dextra tajam
13
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Planning Diagnostik
1) Pemeriksaan foto thorax
2) Elektrokardiogram (EKG)
3) Lab Biomarker Jantung
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
2.8 Follow Up
Kondisi Pasien 2/11/2018
Nadi 92 x/ menit
P Redup
A S1 S2 tunggal
Pulmo I Simetris
P Sonor +/+
A Vesikuler +/+
Rhonki -/-
Wheezing -/-
Abdomen I Flat
P Tymphani
Superior +/+
Inferior +/+
Edema
Superior -/-
Inferior -/-
Diagnosis IMA Anterior + HF
6) CPG 1-0-0
7) Atorvastatin 40 mg 0-0-1
8) Candesartan 80 mg 1-0-0
9) Nitrocep 2x1
10) Disolf 3x1
17
BAB 3. PEMBAHASAN
Textbook Pasien
Heart Failure
Anamnesis
Fatique +
Dyspnea +
Shortness of breath +
Pemeriksaan fisik
Kriteria Mayor
Paroxysmal nocturnal dypsnea +
Ortopnea +
Cheyne stokes respiratiom -
Distensi vena leher +
Ronki paru -
Kardiomegali +
Edema paru akut -
Gallop S3 -
Peningkatan tekanan vena jugularis +
Refluks hepatojugular -
Kriteria Minor
Edema ekstremitas -
Dispnea d’effort +
Hepatomegali -
Takikardia +
Efusi pleura -
Foto thorax
Kardiomegali +
S4 dan S3 (gallop) -
Penurunan intensitas bunyi jantung pertama -
Split paradoksikal bunyi jantung ke dua -
Peningkatan suhu sampai 38oC -
EKG
Elevasi segmen ST +
19
3.3.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi gagal jantung yang diketahui. Berdasarkan
onset terjadinya, berdasarkan letak kegagalannya, berdasarkan fungsinya,
berdasarkan output, kemudian berdasarkan klasifikasi dari New York Heart
Association (Alwi et al., 2016).
Berdasarkan onset terjadinya, gagal jantung dibagi menjadi 2 yaitu.
1. Gagal jantung akut
Suatu kondisi curah jantung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan
penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Dapat terjadi dengan atau
tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi
sistolik atau disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau
ketidakseimbangan dari preload atau afterload. Gagal jantung akut dapat berupa
acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung
sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik. Pada pasien yang
pernah menderita gagal jantung, seringkali pemicunya terlihat jelas seperti
aritmia, pengobatan diuretik yang tidak tuntas pada HFrEF dan volume overload
atau hipertensi berat pada HFpEF.
20
jantung akut biasanya disertai atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, AF,
dan VT).
Gambar 1. Klasifikasi klinis gagal jantung akut (Manurung and Muhadi, 2014)
3.3.5 Patofisiologi
Gagal jantung adalah suatu keadaan patologis adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (filling pressure). Kerja jantung diatur
oleh dua sistem yang berbeda. Sistem pertama adalah regulasi secara intrinsik
yang melibatkan respon miokard untuk meregangkan serat otot jantung sebelum
proses kontraksi (inotropik). Hal ini disebut preload dan melibatkan proses
pengisian jantung selama diastolik seperti volume diastolik akhir. Respon miokard
untuk meningkatkan kapasitas jantung setelah kontraksi dimulai disebut afterload.
Sistem kedua merupakan regulasi secara ekstrinsik yang melibatkan respon
jantung terhadap kondisi-kondisi seperti stimulasi neural, hormon, obat dan
penyakit. Setiap perubahan pada kedua sistem tersebut menyebabkan gagal
jantung. Selain itu, sirkulasi paru dan perifer juga dapat memperburuk kondisi
hemodinamik dari gagal jantung.
C. Aktivasi Neurohormonal
Selama ini terdapat pengertian bahwa respon neurohormonal berperan dalam
patogenesis gagal jantung. Respon ini pada awalnya menguntungkan, namun
selanjutnya menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Respon ini
menghasilkan beberapa perubahan hemodinamik, seperti vasokontriksi dan retensi
26
volume air. Selain itu, respon ini juga menyebabkan reaksi inflamasi dan
berpengaruh pada pertumbuhan. Aktivasi reaksi neurohormonal dimulai dari
aktivasi sistem saraf simpatik (Katz, 2000).
selama fase sistolik akibat adanya hipertrofi ventirkel kiri, sehingga jumlah darah
yang dipompa tidak adekuat serta darah yang keluar dari jantung kurang dari
kebutuhan tubuh. Maka akan terjadi hipoperfusi ke jaringan tubuh (Pai et al.,
2016).
Gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tetap (HFpEF) atau gagal jantung
diastolik/disfungsi diastolik terjadi saat ventrikel kiri tidak melakukan pengisian
darah secara normal. HFpEF terjadi karena otot ventrikel kiri menjadi terlalu kaku
atau menebal. Terjadinya kekakuan pada ventrikel menyebabkan timbulnya
gangguan relaksasi serta berkurangnya pengisian darah dari atrium ke ventrikel.
Untuk mengimbangi otot jantung yang kaku, jantung harus meningkatkan tekanan
di dalam ventrikel untuk mengisi ventrikel dengan benar. Seiring berjalannya
waktu, peningkatan pengisian ini menyebabkan darah terdapat di atrium kiri dan
akhirnya masuk ke paru-paru, yang mana menyebabkan kongesti cairan dan gejala
gagal jantung. Meskipun fraksi ejeksi bernilai normal, jantung memiliki sedikit
darah di dalamnya untuk dipompa keluar. Jadi jantung memompa lebih sedikit
darah daripada yang dibutuhkan tubuh (Pai et al., 2016). Penyebab tersering
adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan
28
Gambar 3. Mekanisme terjadinya Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik (Pai et al., 2016)
29
Gambar 4. Mekanisme Gagal Jantung Kiri/Disfungsi Ventrikel Kiri (Kemp and Conte,
2012)
30
Tabel 6. Gejala dan tanda gagal jantung kiri/disfungsi ventrikel kiri (Kemp and Conte,
2012)
Tabel 7. Gejala dan tanda gagal jantung kanan/disfungsi ventrikel kanan (Kemp
and Conte, 2012)
Gambar 5. Mekanise terjadinya Gagal Jantung Kanan dan Kiri (Pai et al., 2016)
Orthopnea merupakan dispnea yang terjadi pada posisi telentang. Hal ini
terjadi akibat redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstremitas bawah
ke dalam sirkulasi sentral selama posisi berbaring, Batuk malam hari adalah
manifestasi umum dari proses ini. Orthopnea umumnya dapat ditangani dengan
duduk tegak atau tidur dengan memakai bantal tambahan (Mann and Chakinala,
2015).
Paroxysmal nocturnal dypsnea (PND) mengacu pada episode akut sesak
nafas dan batuk yang parah yang umumnya terjadi pada malam hari serta
membuat pasien terbangun dari tidurnya, yang mana biasanya terjadi 1-3 jam
setelah pasien tertidur. PND dapat terjadi dikarenakan peningkatan tekanan arteri
33
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm) (Hariyono and Santoso, 2007).
Gambar 8. Kriteria Stevensom pada Gagal Jantung (Hariyono and Santoso, 2007; Alwi et
al., 2016).
3.3.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Fatique, dispnea, shortness of breath. Keluhan dapat berupa keluhan
saluran pencernaan seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh. Jika berat dapat
terjadi konfusi, disorientasi, serta gangguan pola tidur dan mood (Alwi et al.,
2016).
b. Pemeriksaan Fisik
Sesak dirasakan saat posisi pasien tidur terlentang. Tekanan darah dapat
meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi ventrikel
kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu, peninggian tekanan vena jugularis, adanya
murmur sistolik, murmur diastolic, dan irama gallop perlu dideteksi dalam
auskultasi jantung (Alwi et al., 2016).
Kongesti paru ditandai dengan adanya rhonki basah pada kedua basal paru.
Penilaian vena jugularis dapat normal saat istirahat, tetapi dapat meningkat
dengan adanya tekanan pada abdomen (abdominojugular reflux positif). Pada
36
3.3.8 Tatalaksana
a. Tatalaksana Nonfarmakologi
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung (Perki 2015).
1) Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
2) Pemantauan berat badan mandiri
37
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
3) Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis.
4) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
5) Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan
angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 %
dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien
didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan
hati-hati.
6) Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan
di rumah sakit atau di rumah.
7) Aktvitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan
tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat.
b. Tatalaksana Farmakologi
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk mencegah bertambah
progresifnya penyakit, mengurangi gejala / keluhan, mengurangi masa rawatan
38
2) Vasodilator
Pemberian vasodilator seperti nitrogliserin diberikan pada pasien yang
kurang respon dengan hanya pemberian diuretik. Tujuan pemberian vasodilator
akan mengurangi preload dan mempercepat pengurangan bendungan paru.
Golongan nitrat (nitrogliserin) mendilatasi arteri perifer dan vena dengan
merelaksasikan otot polos vaskuler yang menyebabkan pengurangan preload dan
afterload. Pemberian nitrat ( sublingual/IV ) mengurangi preload dan berguna
untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak
sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Oleh karena itu dosis pemberian harus
adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa
mengganggu perfusi jaringan. Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai
vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien
gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati (Perki 2015).
3) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
Oleh karena pentingnya aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
dalam progresifnya gagal jantung maka blokade sistem ini menjadi salah satu
dasar keberhasilan terapi. Golongan ACE inhibitor bekerja dengan memblok
pembentukan angiotensin II dan aldosteron yang menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler dan mengurangi retensi sodium/cairan. Pasien dengan tidak
ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran terhadap ACE Inhibitor
(ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF <40% dimana dengan ACE inhibitor akan memperbaiki
fungsi ventrikel. Beberapa contoh obat golongan ACE inhibitor adalah captopril,
enalapril, lisinopril, ramipril dan trandolapril (Perki 2015).
4) Inotropik
Pasien dengan low output dan adanya tanda – tanda hipoperfusi atau
bendungan dipertimbangkan untuk pemberian obat inotropik seperti dopamin,
dobutamin, milrinone, enoximone dan levosimendan. Obat – obatan ini akan
memperbaiki gejala yang berhubungan dengan perfusi yang buruk dan
40
mempertahankan fungsi end organ pada pasien dengan disfungsi sistolik berat.
Obat inotropik memberikan hasil yang bagus pada pasien dengan hipotensi relatif
dan intoleran atau tidak respon dengan vasodilator dan diuretiks. Dobutamin dan
dopamin bekerja dengan merangsang reseptor B adrenergik sehingga
meningkatkan kontraktilitas miokard dan cardiac output (Perki 2015).
5) Glikosida Digoksin
Diberikan pada pasien gagal jantung dan atrial fibrilasi dimana digoksin
digunakan untuk mengurangi frekuensi jantung. Digoksin bekerja dengan
menghambat kerja sodium – potassium ATPase. Blokade terhadap enzim ini
berhubungan dengan:
Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi
ventrikel kiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Mengurangi sekresi renin dari ginjal.
Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
aktifitas vagal.
Pemberian digoksin pada pasien dewasa dengan gagal jantung dan fungsi ginjal
normal dengan dosis 0,25 mg. Pada pasien tua dan adanya gangguan ginjal dosis
dikurangi menjadi 0,0625 mg sampai 0,125 mg. Efek samping obat ini dapat
berupa blok sinoatrial dan AV, aritmia serta tanda – tanda toksisitas seperti mual,
anoreksia, pusing dan gangguan penglihatan warna (Perki 2015).
6) Beta Bloker
Beta bloker menghambat efek sistemik saraf simpatis yang dimediasi
melalui reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-1 pada otot jantung. Manfaat dari
pemberian B-bloker adalah :
Mengurangi frekuensi jantung dimana memperlambat pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard
Meningkatkan LVEF (left ventricualr ejection fraction).
Carvedilol bekerja dengan menghambat reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-1.
Sementara itu bisoprolol, nebivolol dan metaprolol merupakan antagonis
selektif beta-1.
41
Beta bloker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup (Perki 2015).
Gambar 10. Tatalaksana Gagal Jantung berdasarkan Derajat Penyakit (Hunt et al.,
2005).
di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal
pasien AMI (Kosowsky, 2009).
Konsensus internasional mendefenisikan keadaan infark miokard akut
digunakan apabila terdapat bukti nekrosis otot jantung dengan tampilan klinis
yang konsisten dengan keadaan iskemik miokard. WHO memberikan panduan
penegakkan diagnosis infark miokard jika terdapat kombinasi 2 dari 3 keadaan
berikut:
a. Gejala khas infark (nyeri dan rasa tidak nyaman yang tipikal pada dada)
b. Pola EKG yang tipikal (gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal
pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan
ekstremitas)
c. Peningkatan serum enzim biomarker jantung
Dikatakan STEMI (ST Elevasi Miokard Infark) jika pada pasien dapat
ditegakkan infark dengan pola ST Elevasi pada EKG.
3.2.2 Epidemiologi
Dari beberapa penelitian dan statistik, gejala infark miokard akut lebih
sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun atau usia lanjut (>75 tahun),
wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, dan demensia. Menurut The
American Heart Association, diabetes merupakan 1 dari 7 faktor utama terjadinya
penyakit kardiovaskular.
Infark miokard akut lebih sering terjadi pada laki-laki (70,8%)
dibandingkan pada perempuan. Laki-laki lebih banyak yang mengalami infark
miokard dari pada perempuan (25,1%) Cipto, 2015).
3.2.3 Etiologi
1) Level lipid yang abnormal dalam sirkulasi (dislipidemia),
2) Hipertensi
Hipertensi sistemik menyebabkan meningkatnya afterload yang secara tidak
langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan
43
3.2.4 Patofisiologi
Abnormalitas fungsi endotel dan sel otot polos vaskular, diakibatkan
thrombosis, berkontribusi terhadap aterosklerosis dan komplikasinya. Sel endotel,
44
dengan posisi anatomi yang strategis diantara sirkulasi darah dan dinding
pembuluh darah, mengatur fungsi dan struktur vaskular. Pada sel endotel normal,
substansi aktif biologis disintesis dan dilepaskan untuk mempertahankan
homeostasis vaskular, menjaga aliran darah yang adekuat dan pengantaran zat
nutrien, disamping mencegah thrombosis dan diapedesis leukosit. Molekul
penting yang disintesis oleh sel endotel yaitu nitrit oksida (NO), yang
dihasilkan oleh endothelial NO sintase (eNOS) melalui oksidasi 5-elektron dari
ujung guanidine-nitrogen dari L-arginine. NO menghasilkan vasodilatasi dengan
aktivasi guanilil siklasie pada sel otot polos vaskular. Sebagai tambahan, NO
melindungi pembuluh darah dari kerusakan endogen, seperti aterosklerosis,
dengan memperantarai sinyal molekular yang mencegah interaksi trombosit
dan leukosit dengan dinding vaskular dan menghambat proliferasi dan migrasi sel
otot polos vaskular.
Hilangnya endothelium-penghasil NO memberikan peningkatan aktivitas
faktor transkripsi proinflamasi nuclear faktor kappa B (NF-κB), yang
mengakibatkan ekspresi adesi molekul leukosit dan produksi sitokin dan
kemokin. Hal ini meningkatkan migrasi monosit dan sel otot polos vaskular
kedalam intima dan pembentukan sel foam makrofag, yang merupakan penanda
awal morfologik pembentukan aterosklerosis. Banyak dari gangguan metabolik
muncul pada diabetes, termasuk hiperglikemia, pembentukan asam lemak
bebas berlebihan, dan resistensi insulin, menyebabkan abnormalitas fungsi sel
endotel dengan mempengaruhi sintesis dan degradasi NO.
Selama puluhan tahun, aterogenesis, yang dikarakteristik dengan
remodeling arteri dan menimbulkan akumulasi subendotel komponen lemak
(plak), telah diketahui sebagai penyakit progresif dari dinding pembuluh darah,
yang menyebabkan reduksi diameter lumen hingga pada suatu kondisi dimana
beberapa platelet aktif cukup untuk menutup pembuluh darah dan menghasilkan
infark miokard akut. Perkembangan lesi aterogenesis ini dipertimbangkan
meliputi proses inflamasi yang kompleks.
Tahap awal perkembangan plak dikenal dengan disfungsi endotel, dimana
hiperglikemia merupakan salah satu faktor resiko, selain interaksi langsung dari
45
3.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Sifat
nyeri dada angina sebagai berikut :
1. Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
2. Sifat nyeri : rasa sakit,seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3. Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
5. Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Tampak cemas
2. Tidak dapat istirahat (gelisah)
3. Ekstremitas pucat disertai keringat dingin
4. Takikardia dan/atau hipotensi
5. Brakikardia dan/atau hipotensi
6. S4 dan S3 gallop
7. Penurunan intensitas bunyi jantung pertama
8. Split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
9. Peningkatan suhu sampai 38ºC dalam minggu pertama
c. Elektrokardiogram
Gambaran khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi
segmen ST dan inversi gelombang T. Walaupun mekanisme pasti dari
perubahan EKG ini belum diketahui, diduga perubahan gelombang Q
disebabkan oleh jaringan yang mati, kelainan segmen ST disebabkan oleh
injuri otot dan kelainan gelombang T karena iskemia.
47
d. Laboratorium
1. CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari.
2. cTn : ada dua jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
3. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4- 8 jam.
4. Creatinine kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
48
5. Lactate dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.
3.2.7 Tatalaksana
a. Tatalaksana Farmakologi
1. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
3. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan
dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total
20 mg.
4. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang
emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
5. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik.
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai
terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk
PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
49
b. Tatalaksana Nonfarmakologi
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
50
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, W.T., Acker, M.A., Ackerman, M.J., Ades. P.A., Antman, E.M.,
Anversa P, et al. 2012. Braunwald Heart Disease. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier.
Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R., Kurniawan, J., and Tahapany, D.L. 2016. Panduan
Praktik Klinis Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Alwi I. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi
B, Setiani S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006: hal. 1615-25.
American Heart Association. 2010. Heart Disease & Stroke Statistics. 2010-
update. Dallar, Texas: American Heart Association.
Chakinata, M. and Mann, L.D. 2015. Heart Failure: Pathophysiology and
Diagnosis dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine ed.19th. USA:
McGraw Hill Education.
Harun S. Infark Miokard Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi B, Setiani S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; : hal. 1090-1108.
Irmalita. Infark Miokard. Dalam Rilantono LI, Baraas F, Karo karo S, Roebianto
PS. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Peneribatan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2004: hal. 173-81.
Katz, A.M. 2000. Heart failure : pathophysiology, molecular biology and clinical
management. Lippincott Williams and Wilkins.
Kosowsky, Joshua M. Yiadom, Maame. 2009. The Diagnosis And Treatment of
STEMI In The Emergency Department. Emergency Medicine Practice.
Diambil dari: http://www.EBMedicine.net
Lilly, L.S. 2011. Patophysiology of heart disease. 5ed. Philadelphia: Lippincott
William&Wilkins.
52