Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Penderita Right Heart Failure Susp. Atrial Septal Defect (ASD) +


Pulmonary Hypertension (PH) pada Pasien post Partus

Oleh

Nuno Febrian Probosutiksna


NIM 152011101055

Dokter Pembimbing:
dr. Pipiet W. Sp. JP., FIHA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER SMF/LAB. ILMU


PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
1

LAPORAN KASUS

Penderita Right Heart Failure Susp. Atrial Septal Defect (ASD) +


Pulmonary Hypertension (PH) pada Pasien post Partus

Oleh

Nuno Febrian Probosutiksna


NIM 152011101055

Dokter Pembimbing:
dr. Pipiet W., Sp. JP., FIHA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER SMF/LAB. ILMU


PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Pulmonar Hypertension (PH) merupakan suatu sindroma penyakit dengan


sifat progresif kronis yang disertai adanya peningkatan resistensi vaskular
pulmonal dan penurunan fungsi ventrikel kanan akibat afterload cairan pada
ventrikel kanan. Secara umum, penyakit ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu (1)
penyakit paru obstruktif kronis/menahun; (2) emfisema; (3) obstruksi anatomik
pembuluh darah seperti emboli paru, kompresi perivaskular, kanker paru, dan atau
destruksi jaringan paru; (4) hipertensi pulmonar primer/idiopatik (HPP); dan (5)
vasokontriksi pulmonal menyeluruh akibat hipoksia, adanya shunt atau hubungan
intra pulmonar dari kanan ke kiri. Hipertensi Pulmonal Pimer (HPP)/idiopatik
sering didapatkan pada usia muda dan pertengahan pada wanita dibanding pria.
Kasus ini memiliki prevalensi rendah dengan 2-3 kasus per 1 juta penduduk dan
survival rate 2-3 tahun. Penegakan kasus PH merujuk pada kriteria National
Institute of Health (NIH) tentang PH yaitu adanya peningkatan rerata tekanan
sistolik >30 mmHg saat beraktivitas dan >25 mmHg saat beristirahat.
Pulmonal Hypertension dapat terjadi melalui proses perusakan dan
perbaikan vaskuler pulmonal disertai dengan penurunan elastisitas pembuluh
darah seiring peningkatan usia seseorang atau diinduksi oleh beberapa hal seperti
kondisi imunosupresif (penderita HIV/AIDS), efek samping terapi medikamentosa
(L-tryptophan, bahan pelarut inhaler, ekstrak monokotalie), dan herediter pada
kelainan kromosom 2 (q31). Kerusakan pembuluh darah pulmonal memicu
gangguan mediator vaskuler berupa peningkatan endothelin-1 sebagai
vasokontriktor dan Nitric Oxide (NO) sebagai vasodilator dengan hasil akhir
penurunan diameter pembuluh darah. Penyempitan vaskuler pulmonal selanjutnya
memicu timbulnya peningkatan tekanan darah pada vaskuler dan berakhir sebagai
pulmonal hypertension. Tata laksana kasus PH berupa medikamentosa dan
pembedahan. Terapi medikamentosa diberikan menggunakan golongan
vasodilator, prostanoid, Nitric Oxide (NO), Phosphodiesterase inhibitor,
endothelin antagonist receptor, dan antikoagulan. Terapi pembedahan berupa
atrial septostomy, pulmonary thromboenarterectomy, dan transplantasi paru.
2

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. D
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Karangtemplek RT001/RW021, Andongsari, Jember
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Buruh cuci
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status Pelayanan : BPJS NPBI
No. RM : 250034
Tanggal MRS : 25 Maret 2019
Tanggal KRS : 27 Maret 2019

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan keluarga
pada tanggal 27 Maret 2019 (H3MRS) di Ruang Adn RSDS Jember.
2.2.1 Keluhan Utama
Nyeri dada berdebar + sesak
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri dada berdebar disertai sesak ± 1 hari sebelum dirujuk ke
ruang Adn/III. Rasa nyeri di dada kiri dirasakan pasca melahirkan namun tidak
menjalar ke punggung. Nyeri disertai sesak yang memburuk saat pasien tidur
terlentang dan keringat dingin khususnya pada kedua telapak tangan. Bengkak
pada kedua kaki pasca melahirkan.
Rasa berdebar pada dada kiri membaik saat berada di ruang adenium (H2MRS)
namun sesak nafas tetap memberat. Sesak mereda pada pemeriksaan terakhir (27 maret
2019,12.46). Keluhan ini tidak pernah dirasakan oleh pasien sebelumnya.
3

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Melalui anamnesis, keluarga pasien mengaku bahwa Ny. D tidak memiliki riwayat
penyakit jantung, hipertensi, DM, maupun asma.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga memiliki riwayat hipertensi dari ayah dan DM tipe II dari ibu.
2.2.5 Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah menjalani pengobatan atau kontrol poliklinis jantung untuk
penyakit jantung atau karena keluhan nyeri dada.
2.2.6 Riwayat Sosial, Lingkungan, dan Ekonomi
• Community
Pasien tinggal di dalam rumah bersama suami dan dua orang anak (salah satu
bayi).
• Home
Pasien tinggal di rumah berukuran 9 x 6 m dengan 3 kamar tidur, 1 ruang tamu
dan 1 dapur dan 1 kamar mandi. Menggunakan air sumur untuk kebutuhan mandi,
cuci, kakus. Air minum berasal dari air sumur yang direbus.
• Occupational
Pasien bekerja sebagai buruh cuci dengan penghasilan ± Rp 400.000-500.000
perbulan.
• Personal habit
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan tertentu.
• Biaya pengobatan
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah kebawah. Status
pembiayaan kesehatan pasien yaitu BPJS PBI.
2.2.7 Riwayat Gizi
Sehari pasien makan 2-3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah nasi, ayam,
daging, tempe, tahu, kadang-kadang sayur, ikan.
BB : 40 kg
TB : 150 cm

IMT : Berat Badan (kg)/Tinggi Badan(m)2= 40/(1,5)2=17,4 kg/m2


Kesan : Riwayat gizi normal
4

2.2.8 Anamnesis Sistem


a. Sistem serebrospinal : pusing (+), mereda sejak masuk ruang Adn/III
b. Sistem kardiovaskular : rasa nyeri di dada kiri, tidak menjalar ke punggung
c. Sistem respirasi : sesak napas (+), batuk (-)
d. Sistem gastrointestinal : nyeri ulu hati (-), mual (-), nafsu makan menurun,
BAB (+) sesak apabila mengejan
e. Sistem urogenital : BAK (+) lancar
f. Sistem muskuloskeletal : kelemahan pada kedua ekstremitas (-),
edema (-/-), atrofi (-), deformitas (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 27 Maret 2019)


2.3.1 Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum : baik
b. Kesadaran : 4-5-6 / Compos mentis
c. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 76 x/menit regular, kuat angkat
Respiration rate : 18 x/menit
Tax : 36,8 oC
d. Pernapasan : sesak (-), batuk (-), dypsneu (-)
e. Kulit : edema (-), sianosis (-), ikterus (-), anemis (-)
f. Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran kelejar tiroid (-)
g. Ekstremitas : akral hangat (+) pada ekstremitas superior dan inferior,
edema (-) pada ekstremitas superior dan inferior.Tidak
ditemukan deformitas dan krepitasi
h. Status gizi:
BB : 40 kg
TB : 150 cm
IMT : 17,4 kg/m2
5

2.3.2 Pemeriksaan Khusus


a. Kepala
1) Bentuk : lonjong, simetris
2) Rambut : hitam, lurus, panjang, tidak mudah rontok
3) Mata : konjungtiva anemis: -/- sklera ikterus: -/-
eksoftalmus : -/-
refleks cahaya : +/+
mata berkunang: -/-
4) Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-), perdarahan (-)
5) Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
6) Mulut : mukosa bibir sianosis (-), bau (-), luka (-)
b. Leher
KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
JVP : peningkatan 5 cm
c. Dada
1) Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tampak
 Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V AAL Sin
 Perkusi :
Batas kanan atas : redup pada ICS II PSL Dex
Batas kanan bawah : redup pada ICS V PSL Dex
Batas kiri atas : redup pada ICS II PSL Sin
Batas kiri bawah : redup pada ICS V AAL Sin
 Auskultasi : S1S2 splitting, reguler, e/g/m -/-/katup trikuspid
2) Paru
 Inspeksi : simetris +/+, ketertinggalan gerak -/-, retraksi -/-
 Palpasi : fremitus raba normal/ normal
 Perkusi : sonor/ sonor
 Auskultasi : vesikuler +/+ menurun pada kedua lobus inferior,
wheezing -/-, rhonki -/-
6

d. Abdomen
 Inspeksi : Flat
 Auskultasi : bising usus (+), 7 x/menit, scratching sign hepar DBN
 Palpasi : soepel, hepatomegali (-), splenomegali (-),
nyeri tekan abdomen (-)
 Perkusi : timpani di keempat regio abdomen
e. Anggota Gerak
 Superior : akral hangat +/+, edema -/-
 Inferior : akral hangat +/+, edema -/-

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan tanggal 25 Maret 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi Lengkap

Hemoglobin 14,4 13,5 - 17,5


gr/dL
Leukosit 19,8 4,5 - 11,0 x
109/L
Hematokrit 38 41 - 53%

Trombosit 251 150 - 450 x 109


/L
Gula Darah

GDS 112 < 200 mg/dL

Faal Ginjal

Kreatinin 0,6 0,6 - 1.3 mg/dL

BUN 5 6 – 20 mg/dL
Tabel 2.1 Hasil Laboratorium Pasien
7

2.4.2 Foto Thorax

Gambar 2.1 Foto Thorax tanggal 25 Maret 2019

a. Bacaan thorax foto : Kardiomegali (righy ventricular) segment pulmonal


menonjol dengan pulmonary hypertension, dan gambaran edema pulmonal.
b. Informasi thorax foto :
1. Identitas pasien :
Nama : Ny. D
Usia : 36 tahun
2. Tanggal pengambilan foto : 25/3/2019
3. Posisi foto : Anteroposterior (AP)
4. Cor : Apeks bergeser ke lateral dan Conus pulmonalis kanan melebar
membentuk inverted coma sign.
8

5. Sudut costophrenicus : Sinus costofrenikus paru kanan dan kiri tajam


6. Diafragma kanan cembung, diafragma kiri cembung dan bersinggungan dengan
jantung.
7. Corakan bronkovaskular dalam batas normal
8. Cardio thoracic ratio (CTR) : 52 % (kardiomegali)
9. Tulang-tulang tampak baik.
2.4.3 EKG basal
A. 26 Maret 2019 pukul 05.00 WIB
9

Gambar 2.2 Hasil Pemeriksaan EKG pada 26 Maret 2019

Bacaan ECG 26 Maret 2019 :


1. Pemeriksaan ECG dilakukan pada kalibrasi 25 mm/s
2. Irama sinus dengan setiap gelombang P diikuti kompleks QRS
3. Heart rate : 50-60 bpm
4. Perubahan axis vertikal dengan Right Atrium Disease (RAD)
5. Gelombang P dengan tinggi <2,5 mm dan lebar <0,12 s, pada batas normal. Tidak
ditemukan gelombang p pulmonale. Ditemukan P mitrale.
6. Kompleks QRS melebar ≥ 0,12 s. Hipertrofi ventrikel kanan dengan rasio R/S >1
pada lead V1 dan rasio R/S <1 pada lead V6. Tidak ditemukan hipertrofi ventrikel
kiri.
7. Ditemukan RBBB.

B. 27 Maret 2019 pukul 05.00


10

Gambar 2.3 Hasil Pemeriksaan EKG tanggal 27 Maret 2019


11

Bacaan ECG 27 Maret 2019:


1. Pemeriksaan ECG dilakukan pada kalibrasi 25 mm/s.
2. Irama sinus dengan setiap gelombang P diikuti kompleks QRS.
3. Heart rate : 70-80 bpm.
4. Perubahan axis vertikal dengan RAD.
5. Gelombang P dengan tinggi <2,5 mm dan lebar <0,12 s, dalam batas normal pada
lead I,II, aVL, V1, dan V6. Tidak ditemukan gelombang p pulmonale maupun p
mitrale.
6. Kompleks QRS melebar ≥ 0,12 s. Hipertrofi ventrikel kanan tipe C (disertai
incomplete RBBB) dengan rasio R/S >1 pada lead V1 dan rasio R/S <1 pada lead
V6. Tidak ditemukan hipertrofi ventrikel kiri
7. Right Branch Bundle Block (RBBB) incomplete dengan gelombang S melebar
pada lead I dan lebar kompleks QRS pada lead V1 = 0,10 – 0,12 s. Tidak
ditemukan LBBB.

Resume
Temporary Problem List
1) Anamnesis
a. Perempuan usia 36 tahun
b. Sesak
2) Pemeriksaan Fisik
a. IC bergeser ke lateral, teraba pada ICS V AAL Sin
b. Batas jantung bergeser ke lateral, suara vesikuler normal, whezing -/-, Rhonki -/-
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Thorax: cardiomegaly, right ventricular hyperthrophy, enlargement
pulmonal artery
b. EKG 26 Maret 2019 : Sinus rythm, HR = 50-60 bpm, ditemukan RAD, hipertrofi
ventrikel kanan, tidak ditemukan hipertrofi ventrikel kiri.
c. EKG 27 Maret 2019 : Sinus rythm, HR = 70-80 bpm, hipertrofi veentrikel kanan,
tidak ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, dan ditemukan Right Branch Bundle
Block (RBBB).
12

2.4.4 Permanent Problem List


1) Kardiomegali (pada right ventricular hypertrophy)
2) Prominentia Truncus pulmonal dengan kecurigaan Pulmonary hypertension.

2.5 Diagnosis Kerja


Right heart failure + Susp. Atrial Septal Defect (ASD) + Pulmonary Hypertension
(PH)

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Planning Diagnostik
1) Pemeriksaan Lab
2) Echocardiography
3) Angiografi-gold standard
2.6.2 Planning Terapi
1. Infus PZ 500 mL 7 tpm
2. Inj Furosemid 20 mg/12 jam
3. P/o Dorner 3x1
4. P/o Concor 2,5 mg 0-1-0
5. Spironolactone 25 mg 1-0-0
6. P/O cefadroxil tab 500 mg 3x1
7. P/O As. Mefenamat 500 mg 3x1
2.6.3 Planning Monitoring
1) Observasi keluhan utama dan tanda vital secara periodik
2.6.4 Planning Edukasi
1) Istirahat cukup dengan menghindari aktivitas berat. Pelatihan kesehatan mental.
2) Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga penyebab,
perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta usaha pencegahan
komplikasi.
3) Mengedukasi pasien untuk selalu kontrol ke poli jantung terkait penyakit yang
diderita pasien.
4) Menjaga kondisi lingkungan sekitar pasien agar mendukung penyembuhan pasien.
13

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

2.8 Follow Up

27/3/2019
Kondisi Pasien Baik
Keluhan TAA
Tekanan Darah 120/90 mmHg
Nadi 76x/ menit
Respiratory Rate 16x/menit
Suhu Tubuh 36,8°C
Kepala dan Leher a/i/c/d : -/-/-/-

Cor I Ictus cordis tampak


P iktus kordis teraba di ICS V AAL Sin
P Redup, batas jantung bergeser ke lateral
A S1 S2 splitting, e/g/m -/-/+, katup trikuspid
Pulmo I Simetris
P Fremitus raba +/+
P Sonor +/+
A Vesikuler +/+
Rhonki -/- Wheezing -/-
Abdomen I Flat
A Bising usus normal pada keempat region
P Timpani pada keempat region
P Soepel, nyeri tekan (-)
14

Ekstermitas
Akral Hangat
Superior +/+
Inferior +/+
Edema
 Superior -/-
 Inferior -/-
Diagnosis Right heart failure + susp. Atrial Septal Defect (ASD) +
Pulmonary Hypertension
Terapi  Infus PZ 500 ml kecepatan 7 tpm
 Inj. Furosemide 20mg/12 jam
 P/O Bisoprolol 25 mg 1-0-0
 P/O Spironolactone 25 mg 1-1-0 PC
 P/O Natrium Beraphrost (Dorner) 3x20 mcg
 P/O Cefadroxil tab 3x500 mg
 P/O Asam Mefenamat 3x500 mg

BAB 3. PEMBAHASAN

Textbook Pasien
Pulmonary hypertension
Anamnesis
 Kelelahan +
 Nyeri kepala -
 Sesak nafas +
 Nyeri dada kiri +
Pemeriksaan fisik
- Distensi Vena Jugularis +, 5 cm
- Impuls ventrikel kanan dominan -
- Komponen katup paru menguat +
15

- S3 jantung kanan -
- Murmur trikuspid +
- Hepatomegali -
- Edema perifer +
EKG
 Sinus rythm, HR = 78 bpm +
 Strain ventrikel kanan -
 Hipertrofi ventrikel kanan +

 Pergeseran aksis ke kanan +


 ST depresi dan T inversi kompleks ventrikel +
kiri
+
Right Branch Buncle Block (RBBB)

3.3 Pulmonal hypertension


3.1.1 Definisi
Merupakan suatu penyakit atau sindroma yang komplek, memerlukan
pendekatan multidisiplin dan jarang didapat, namun bersifat progresif karena
adanya peningkatan resistensi vaskular pulmonal yang lebih lanjut menyebabkan
penurunan fungsi ventrikel kanan oleh karena overload cairandi ventrikel kanan.
Penyakit ini dapat disertai dengan hipertrofi dan atau dilatasi ventrikel kanan akibt
gangguan fungsi maupun struktur paru.
3.1.2 Klasifikasi Pulmonary Hipertension update 2014
a. Pulmonary Arterial Hypertension (PAH)
Pada 80% kasus Pulmonary Arterial Hypertension, didapatkan mutasi dari
protein reseptor tulang morphogenic tipe-2 (BMPR-2) dan peningkatan produksi
mediator Tumor Growth Factor (TGF-β). Pada penderita PAH ditemukan pula
mutasi dari gen caveolin-1 (CAV1) yang menyebabkan penumpukan endotel pada
parenkim paru, dan gen KCNK3 yang berperan dalam pembentukan kanal
potasium pada otot polos pembuluh darah pulmonal. PAH dapat diinduksi sebagai
efek samping terapi medikamentosa seperti penggunaan Benfluorex (turunan
fenfluramine), kondisi imunosupresan pada penderita HIV/AIDS, anemia
16

hemolitik kronik, dan schistosomiasis. PAH kembali dibagi menjadi beberapa


klasifikasi sebagai berikut : (a) PAH idiopatik; (b) PAH heritable seperti BMPR-
2, ALK-1, dan idiopatik; (3) Induksi paparan obat dan racun; (4) connective tissue
disease; (5) Infeksi HIV; (6) Hipertensi porta; (7) congenital heart disease; (8)
Schistosomiasis.
b. Pulmonary hypertension akibat Left Heart Disease (LHD)
Kasus PH dapat disebabkan oleh: (1) Defek fase sistolik pada ventrikel kiri;
(2) Defek fase diastolik pada ventrikel kiri; (3) Ganggunan pada katup jantung; (4)
Terjadi karena proses kongenital.
c. Pulmonary hypertension akibat penyakit paru/hipoksia kronis.
Kasus PH akibat penyakit paru kronis dapat disebabkan oleh: (1) PPOK; (2)
Penyakit pada interstisil parenkim paru; (3) Penyakit paru lainnya dengan pola
restriktif dan obstruktif; (4) Gangguan proses respirasi saat tidur yang berlangsung
kronis; (5) Alveolar hypoventilation disorder.
d. Pulmonary hypertension akibat penyakit tromboembolis kronis
e. Pulmonary hypertension tanpa mekanisme yang jelas
Kasus PH tanpa proses terjadi yang jelas dapat disebabkan oleh: (1) Gangguan
hematologik seperti anemia hemolitik kronis, myeloproliferative kronis, efek samping
splenectomy; (2) Gangguan metabolik seperti gangguan penyimpanan glikogen, penyakit
Gaucher, dan gangguan kelenjar tiroid; (3) obstruksi metastasis tumor dan penyakit ginjal
kronis.
3.1.3 Epidemiologi
Penyakit/sindroma ini lebih sering didapatkan pada wanita daripada pria
dengan perbandingan 2:1 pada usia muda dan menengah. Insidensi kasus
Pulmonal Hypertension (PH) yaitu 2-3 kasus per 1 juta penduduk per tahun,
dengan rerata kemungkinan untuk bertahan hidup dari onset sampai timbulnya
gejala sekitar 2-3 tahun.
3.1.4 Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis PH dilakukan melalui pemeriksaan fisik dan penunjang
sesuai kriteria diagnosis yang dikeluarkan oleh National Institute of Health (NIH)
yaitu didapatkan reratan tekanan sistolik pada arteri pulmonalis ≥ 30 mmHg saat
17

berakitivitas dan ≥ 25 mmHg saat berisitirahat, dan tidak didapatkan adanya


kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit jantung kongenital, penyakit paru,
dan penyakit jaringan ikat maupun tromboemboli kronik apabila termasuk
hipertensi pulmonal primer.
3.1.5 Etiologi/Penyebab
Hipertensi pulmonal dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya 1)
penyakit paru obstruksi menahun/ PPOK; 2) emfisema; 3) obstruksi anatomik
pembuluh darah akibat emboli paru atau destruksi jaringan paru, granulomatosis,
dan kanker paru; 4) hipertensi pulmonal primer; 5) vasokontriksi pulmonal
menyeluruh akibat hipoksia dan shunt inrapulmoner.
3.1.6 Patogenesis dan Patologi
Beberapa etiologi hipertensi pulmonal termasuk hipertensi pulmonal primer
memberikan dampak berupa vasokontriksi dan hipertrofi tunika media pada
pembuluh darah arteri pulmonalis sebagai proses awal terbentuknya HPP.
Keadaan ini terjadi sebagai dampak kerusakan sel-sel endotelial akibat shear
stress yang besar pada pembuluh darah. Kerusakan sel-sel endotel mengakibatkan
penurunan mediator vasodilator dan peningkatan mediator vasokontriktor.
Endothelial NO synthetase (Enos dan NOS III) termasuk salah satu mediator
vasodilator arteri pulmonalis yang menurun sedangkan endothelin-1 sebagai
vasokonstriktor pulmonal meningkat.
Kerusakan kanal ion otot polos berperan pada peningkatan vasokontriksi
pembuluh darah yang selanjutnya berperan dalam proses terbentuknya penyakit.
Peningkatan ion kalsium intraseluler memperantarai timbulnya vasokontriksi
arteri pulmonal dan proliferasi pembuluh darah yang berujung pada proses
remodeling vaskular. Pada kondisi ini, jantung akan bekerja lebih keras dalam
memompa darah masuk ke alveolus melalui saluran pembuluh darah yang
menyempit. Vasokontriksi pembuluh dapat diikuti oleh proliferasi dan fibrosis
intima, trombosis in situ, dan perubahan pleksogenik. Peningkatan ekspresi
Vascular Endothelin Growth Factor (VEGF) oleh makrofag dapat
mempertahankan proses remodeling vaskular tetap terjadi.
Arteri pulmonal dalam keaadan normal dibentuk dengan sebagian kecil serat
18

otot sehingga dapat berperan sebagai vascular bed dengan tekanan rendah dan
aliran yang tinggi (low pressure and high flow). Pada penderita PH, terjadi
remodelling arteri pulmonal seperti hiperplasia otot polos vaskular, hiperplasia
tunika intima, dan trombosis insitu. Secara patologik, HPP dapat dikelompokkan
menjadi 3 sub-tipe, diantaranya 1) Fleksogenik arteriopati primer; 2) Arteriopati
tromboembolik; 3) Oklusif Vena Pulmonal.
3.1.7 Gejala dan Tanda
Hipertensi pulmonal tidak menunjukkan gejala spesifik pada tahap awal
penyakit. Gejala yang timbul bersifat gradual/bertahap dan didominasi oleh gejala
etiologis. Hingga penyakit sampai pada tahap akhir, gejala yang nampak adalah
dyspneu saat beraktivitas, mudah lelah dan pingsan, adanya ketidakmampuan
jantung dalam meningkatkan stroke volume/curah jantung saat berpindah dari
kondisi istirahat menuju aktivitas. Gejala nyeri dada/angina dapat muncul pada
beberapa kasus akibat vasodilatasi artei pulmonal atau iskemik ventrikel kanan.
Batuk darah/haemoptisis menandakan adanya kemungkinan pembuluh darah
pulmonal yang pecah dan menujukkan keadaan yang berbahaya.
Pemeriksaan fisik tidak sensitif dalam penegakan kasus hipertensi
pulmonal namun dapat digunakan untuk menyingkirkan berbagai penyebab lain
pada kasus hipertensi pulmonal primer. Pemeriksaan fisik pada hipertensi primer
umumnya memberikan auskultasi yang bersih (tidak terdapat rhnonki maupun
wheezing). Pada stadium lanjut, dapat ditemukan gallop pada ventrikel kanan,
distensi vena jugularis, pembesaran hepar atau limpa, asites atau edema perifer.
Gejala Tanda
Dyspneu saat beraktivitas Distensi vena jugularis/ JVP meningkat
Fatigue Impuls ventrikel kanan dominan
Sincope Peningkatan katup pulmonal
Nyeri dada/angina S3 pada jantung kanan
Haemoptisis Murmur trikuspid
Raynaud’s phenomenon Hepatomegali
Edema perifer
Tabel 3.1 Gejala dan tanda pada Hipertensi pulmonal
19

3.1.8 Pemeriksaan penunjang


Penegakan diagnosis pulmonal hypertension dapat dilakukan dengan
beberapa pemeriksaan penunjang seperti berikut :
a. Elektrokardiografi
Merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pada pasien yang dicurigai HPP
meskipun tidak spesifik untuk HPP. Gambaran tipikal pada EKG berupa strain
ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kanan dan pergeseran aksis kekanan dapat
membantu menegakkan diagnosis.
b. Pemeriksaan Thorax Foto
Foto toraks dapat membantu menegakkan diagnosis Pulmonal Hypertension
dan dapat membantu menemukan penyakit paru lain yang mendasari penyakit
hipertensi. Gambaran khas foto thoraks pada hipertensi pulmonal ditemukan
pembesaran hilus, bayangan arteri pulmonalis dan pada foto toraks lateral
pembesaran ventrikel kanan.
c. Echocardiografi
Pada pasien secara klinis dengan kecurigaan hipertensi pulmonal,
echocardiography dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa dengan
sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi. Ekokardiografi digunakan untuk
menetapkan etiologi dan mengetahui prognosis akibat hipertensi pulmonal. Hasil
yang didapatkan berupa kelainan katup, disfungsi ventrikel kiri, shunt/pintas
jantung. Menilai tekanan sistolik ventrikel kanan dengan ekokardiogram harus ada
regugitasi trikuspid sebagai tanda kuantitatif. Tanda-tanda kualitatif berupa
pembesaran atrium dan ventrikel kanan dan septum yang cembung/rata. Adanya
efusi perikardium menunjukkan berstnys penyakit dan prognosis yang kurang
baik.
d. Angiografi
Katerisasi jantung merupakan gold standard dalam penegakan diagnosis
hipertensi arteri pulmonal. Tes vasodilator dengan obat kerja singkat
(menggunakan adenosin, inhalasi nitric oxide atau epoprostenol) dapat dilakukan
selama katerisasi. Respon vasodilatasi dikatakan positif bila didapatkan penurunan
tekanan arteri pulmonalis dan resistensi vaskular 20 % dari tekanan semula.
20

3.1.9 Tata laksana


Tata laksana kasus hipertensi pulmonal yang dapat diberikan berupa terapi
medikamentosa dan intervensi bedah.
A. Terapi medikamentosa
a. Terapi vasodilator
Penggunaan penghambat kalsium memberikan perbaikan signifikan pada
kasus hipertensi pulmonal dengan perbaikan terjadi pada kira-kira 25-30% kasus
terutama pada tes vasodilator akut positif. Nifedipin 120-240 mg/hari atau
diltiazem 540-900 mg/hari merupakan agen yang sering digunakan. Vasodilator
laiin yang dapat digunakan berupa Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor
(ACE-I) walaupun tidak bermanfaat secara signifikan.
b. Prostanoid
Treprostinil merupakan golongan prostanoid memiliki waktu paruh lebih
lama dan digunakan secara subkutan. Melalui penelitian ROVITAL didapatkan
perbaikan gejala pada kasus hipertensi pulmonal derajat NYHA II (12%), NYHA
(81%), dan NYHA IV(7%). Perbaikan berupa indeks hemodinamik dan kapasitas
latihan yang diukur dengan katerisasi dan latihan berjalan 6 menit. Efek samping
berupa rasa nyeri pada tempat suntikan sehingga membatasi penggunaan obat
pada pasien tertentu.
c. Nitric Oxide
Termasuk vasodilator pulmonal selektif yang diberikan secara inhalasi
dengan waktu paruh singkat. Pada pemberian tunggal, terapi ini lebih digunakan
sebagai screening vasodilator pada pengobatan hipertensi pulmonal.
d. Phosphodiesterase Inhibitor
Mekanisme kerja obat ini dengan memodulasi cyclic guanosine 3’-5’
monophospate (cGMP) didalam otot polos vaskular dalam meregulasi tonus,
pertumbuhan, dan struktur vaskuler. Efek vasodilator NO tergantung pada
kemampuannya meningkatkan isi cGMP didalam otot polos vaskular. Intake NO
berperan langsung dalam mengaktifkan soluble guanylate cyclase yang
meningkatkan produksi cGMP, kemudian cGMP mengaktifkan cGMP kinase,
membuka kanal potassium yang berakibat pada vasorelaksasi. Efek cGMP
21

bertahan singkat dan mudah didegradasi oleh phospodiesterase. Enzim ini dapat
dihambat oleh phosphodiesterase inhibitor sehingga NO dapat bertahan lebih
lama dan vasorelaksasi dapat terjadi. Penghambatan secara selektif cGMP-spesific
phospodiesterase type 5 inhibitor dapat meningkatkan respon vaskular terhadap
NO inhalasi dan endogen pada hipertensi pulmonal.
Sildenafil termasuk golongan phospodiesterase type 5 inhibitor yang poten
dan sangat spesifik. Pemberian sildenafil pada kasus hipertensi dapat menurunkan
rerata tekanan arteri pulmonalis dan memberikan efek hemodinamik dengan efek
samping minimal. Pemberian sildenafil bersama NO memberikan onset kerja lebih
lama sehingga dapat mencegah vaskokontriksi berulang pada kasus hipertensi
pulmonal.
e. Antagonis Reseptor Endostatin
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat endothelin-1 yang meningkat
pada proses terbentuknya hipertensi pulmonal. Hambatan pada endothelin-1 dapat
menurunkan vasokontriksi arteri pulmonal.
B. Pembedahan/invasif
1. Atrial septostomy
Blade ballon atrial septostomy dilakukan pada pasien dengan tekanan
ventrikel kanan yang tinggi disertai overload cairan refrakter dengan terapi
medikamentosa maksimal. Terapi pembedahan ini bertujuan untuk memberikan
efek dekompresi jantung kanan akibat kelebihan cairan/overload dan perbaikan
output sistemik ventrikel kiri. Hasil tindakan berupa perbaikan fungsi latihan
dengan fasilitas yang mumpuni dan operator yang berpengalaman.
2. Pulmonary Thromboenarterectomy
Tindakan thromboenarterectomy dilakukan pada kasus hipertensi pulmonal
yang terjadi akibat penyakit tromboembolik kronik. Tindakan ini dilakukan
melalui median sternotomy pada cardiopulmonary

3.4 Atrial Septal Defect


Merupakan suatu penyakit kongenital pada jantung yang ditandai dengan
defek persisten pada Intra Atrium Septum (IAS) sehingga beberapa volume darah
22

yang terdapat pada atrium kiri dapat berpindah menuju atrium kanan saat fase
diastolik jantung. Insidensi ASD sebesar 22-30% seluruh penyakit jantung bawaan
(PJB) yang terjadi yang dapat bertahan hingga penderita menginjak usia dewasa.
ASD dapat terjadi sendiri tanpa diikuti PJB lain atau sebaliknya.
3.4.1 Klasifikasi ASD
Berdasarkan bentuk dan luas defek, ASD dapat dibagi menjadi (1)
secundum, (2) primum (bentuk atriventricula defect yang tidak lengkap), (3) sinus
venosus, dan (4) unroofed coronary sinus defect.

Gambar 3.1 Klasifikasi ASD


3.4.2 Patolofisiologi ASD
Proses perjalan penyakit dimulai dengan luas diameter defek yang
terbentuk antara rongga atrium kanan – kiri dan kemampuan organ jantung dalam
mengisi rongga atrium tersebut. Semakin luas defek dan tinggi kemampuan
jantung dalam memompa maka semakin besar volume darah yang berpindah dari
atrium kiri menuju atrium kanan. Perpindahan terjadi dari atrium kiri menuju
atrium kanan dikarenakan otot jantung (miokard) bagian kiri secara anatomis lebih
tebal dibandingkan otot jantung pada bagian kanan. Apabila proses ini tidak
dikoreksi melalui tindakan operasi, maka jumlah volume darah yang berpindah
menuju rongga jantung kanan akan lebih besar. Keadaan overload volume ini
menyebabkan hipertrofi miokard pada bagian jantung kanan (right atrium dan
23

right ventricular hypertrophy). Pada ruang ventrikel kanan jantung dengan


miokard yang lebih tipis dibandingkan ruang ventrikel kini, terdapat remodelisasi
dari ventrikel kanan yang berakibat pada penurunan compliance jantung kanan.
Kondisi ini berakibat pula pada pembuluh darah yang berhubungan langsung
dengan ventrikel kanan yaitu vaskuler pulmonalis. Kelainan yang timbul berupa
peningkatan tekanan darah yang melewati arteri pulmonal, menyebabkan
kerusakan vaskular, dan menjadi salah satu etiologi terbentuknya pulmonal
hypertension pada penderita ASD. Gejala yang sering dialami berupa sesak nafas dan
cyanosis.
3.4.3 Pemeriksaan
a. Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan yang ditemukan tergantung pada luas defek pada septum
atrium. Semakin luas septum yang terbentuk, semakin besar volume darah yang
berpindah dari atrium kiri menuju atrium kanan yang berakibat perfusi jaringan yang
tidak adekuat sehingga menimbulkan keluha sesak. Pada usia yang semakin dewasa, luas
defek semakin membesar sehingga menimbulkan keluhan berupa fatigue, sesak hingga
cyanosis.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
dapat ditemukan tanda berupa : (1) Penonjolan fase sistolik jantung pada batas
bawah sternum bagian kiri; (2) Pengangkatan batas ventrikel kanan jantung; (3)
Suara ganda/splitting pada suara ke-2 jantung dengan amplitudo meningkat; (4)
Ditemukan suara tambahan berupa murmur pada katup pulmonal (ICS 2 PSL
dextra) akibat stenosis pulmonal; (5) Ditemukan suara tambahan berupa murmur
pada ICS 5 PSL Sinistra akibat regugitasi katup trikuspid yang terjadi karena
hipertrofi atrium kanan.
c. Pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis ASD berupa : EKG,
Thoraks Foto, dan Echocardiography.
24

(a) Hasil TF Penderita ASD

(b) Hasil EKG Penderita ASD

(c) Hasil echocardiography pendertia ASD


(d) Gambar 3.2 Hasil Pemeriksaan Penunjang pada penderita ASD
25

3.4.4 Penegakan diagnosis ASD


Penegakan diagnosis ASD dengan gold standard menggunakan
pemeriksaaan penunjang echocardiography yaitu : (1) Terdapat hubungan/shunt
yang spesifik dari atrium kiri menuju kanan dengan rasio Qp>Qs : 1:5; (2) ASD
dengan luas 10-15 mm dengan overload volume pada ventrikel kanan; (3) Aritmia
pada EKG; dan (4) Terdapat emboli sistemik paradoksal dengan
echocardiography kontras.
3.4.5 Tata Laksana
Dilakukan menggunakan pendekatan tindakan bedah dengan pemasangan
Amplatzer Septal Occluder Device.

Gambar 3.3 Amplatzer Septal Occluder


26

DAFTAR PUSTAKA

Berghausen, E. M., Feik, L., Zierden, M., Vantler, M., dan Rosenkranz, S. 2019.
Key inflammatory pathways underlying vascular remodeling in pulmonary
hypertension. Herz: 1-8.

Diah, M., Ali G. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Edisi
6 (1):1243-1252.

Driscoll, D. J. 2016. Clinical Presentation and Therapy of Atrial Septal Defect.


In Congenital Heart Diseases: The Broken Heart. Springer, Vienna. pp. 273-
277.

Galiè, N., Humbert, M., Vachiery, J. L., Gibbs, S., Lang, I., Torbicki, A., dan
Ghofrani, A. 2016. 2015 ESC/ERS Guidelines for the Diagnosis and
Treatment of Pulmonary Hypertension. Revista espanola de cardiologia
(English ed.). 69(2): 177.

Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar & Klinik. Penerbit Buku Kedokteran


EGC. Jakarta. (10):161-184.

Maron, B. A., dan Galiè, N. 2016. Diagnosis, treatment, and clinical management
of pulmonary arterial hypertension in the contemporary era: a review. JAMA
cardiology. 1(9): 1056-1065.

McLaughlin, V. V., Shah, S. J., Souza, R., dan Humbert, M. 2015. Management
of pulmonary arterial hypertension. Journal of the American College of
Cardiology. 65(18): 1976-1997.

Nyboe, C., Karunanithi, Z., Nielsen-Kudsk, J. E., & Hjortdal, V. E. 2017. Long
term mortality in patients with atrial septal defect: a nationwide cohort-
study. European heart journal. 39(12): 993-998.

Price, Wilson. 2002. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes.


Edisi 6. Elsevier Science.
27

Rasad, S., Iwan E. 2009. Radiologi Diagnostik Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. (2):165-200.

Rosenkranz, S., Gibbs, J. S. R., Wachter, R., De Marco, T., Vonk-Noordegraaf,


A., dan Vachiery, J. L. 2015. Left ventricular heart failure and pulmonary
hypertension. European heart journal. 37(12): 942-954.

Simonneau, G., Galiè, N., Rubin, L. J., Langleben, D., Seeger, W., Domenighetti,
G., dan Rich, S. 2004. Clinical classification of pulmonary
hypertension. Journal of the American College of Cardiology. 43(12): S5-
S12.

Simonneau, G., Robbins, I. M., Beghetti, M., Channick, R. N., Delcroix, M.,
Denton, C. P., dan Krowka, M. J. 2009. Updated clinical classification of
pulmonary hypertension. Journal of the American College of
Cardiology. 54(1): S43-S54.s

Tuder, R. M. 2017. Pulmonary vascular remodeling in pulmonar


hypertension. Cell and tissue research. 367(3): 643-649.

Webb, G., & Gatzoulis, M. A. 2006. Atrial septal defects in the adult: recent
progress and overview. Circulation. 114(15): 1645-1653.

Anda mungkin juga menyukai