Anda di halaman 1dari 24

ASFIKSIA NEONATORUM

I. DEFINISI
Asfiksia berasal dari istilah yunani sphyzein yang berarti ―penghentian
denyut nadi‖ kondisi ini disebabkan oleh kurangnya oksigen, hingga
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Menurut WHO, asfiksia neonatorium
adalah kondisi dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir. Dampak dari asfiksia tersebut adalah hipoksia, hiperkarbia dan
asidemia yang selanjutnya akan meningkatkan pemakaian sumber energi dan
mengganggu sirkulasi bayi. Menurut IDAI, Asfiksia neonatorum adalah
kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat
setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis 2,3,4
Menurut American Academic of pediatricians (AAP) dan American
College of Obstetricians and Gynaecologist (ACOG) tahun 2004 neonatus disebut
mengalami asfiksia berat bila memenuhi kondisi sebagai berikut2,4:
1. Nilai Apgar 0-3 pada menit ke 5.
2. Asidosis metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang jelas
yaitu pH <7, pada sampel darah yang diambil dari umbilikal.
3. Manifestasi neurologi yang terjadi segera seperti kejang, hipotonia, koma
atau hypoxic ischemic encelopathy (HIE).
4. Terjadi disfungsi sistim multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).

II. EPIDEMIOLOGI
Dari data WHO pada tahun 2012, asfiksia menempati penyebab
kematian bayi ke 3 di dunia dalam periode awal kehidupan. Setiap tahunnya kira-
kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta
bayi ini meninggal. Di Negara maju, insiden asfiksia neonatorum hanya berkisar
1/1000 kelahiran hidup, sedangkan di Negara berkembang atau terbelakang angka
kejadiannya dapat mencapai 5-10/1000 kelahiran hidup7.

1
III. ETIOLOGI
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat
bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan
pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun
plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia. Faktor-faktor yang dapat
menimbulkan gawat janin (asfiksia) menurut DepKes RI tahun 2009 antara lain :

a. Faktor ibu
1) Hipertensi dalam kehamilan (preeclampsia, eklampsia, HT kronis),
2) Ketuban pecah dini >18jam,
3) Diabetes mellitus,
4) Pendarahan antepartum (plasenta previa atau solusio plasenta),
5) Partus lama atau partus macet,
6) Demam dan infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV),
7) Korioamnionitis,
8) Penyakit kronis (anemia, PJB sianotik),
9) Konsumsi obat (lithium, magnesium, penghambat adrenergic, narkotika).

b. Faktor Intrapartum
1) Lilitan tali pusat,
2) Tali pusat pendek,
3) Solusio placenta,
4) Prolapsus tali pusat,
5) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep) atau trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya
perdarahan intracranial,
6) Pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara
langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin,

2
7) Air ketuban bercampur meconium,
8) Persalinan lama/kala 2 memanjang,
9) Pola denyut yang meragukan pada CTG.

c. Faktor bayi
1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan) terutama pada bayi-bayi <35
minggu,
2) Postmatur (usia gestasi >41 minggu),
3) Besar masa kehamilan (BMK),
4) Kehamilan multiple (ganda, triplet),
5) Pertumbuhan janin terhambat (IUGR),
6) Gerakan janin berkurang sebelum persalinan,
7) Kelainan bawaan (kongenital) seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis
saluran pernapasan, hypoplasia paru dan lain-lain,
8) Hidrops fetalis,
9) Presentasi bokong,
10) Distosia bahu,
11) Polihidramnion atau oligohidramnion.

IV. PATOFISIOLOGI
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial
rendah.Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang
bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta2.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan
alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen
mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikalis

3
akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan
meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar
oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan
terhadap aliran darah bekurang2.

Gambar 1. Transisi system pernafasan, cairan dalam alveoli digantikan oleh udara

Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,


menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun.Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena
pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung
kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan
keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh
darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami
relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui
duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk
dialirkan ke seluruh jaringan tubuh2.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang
dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru
merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darahparu. Pada saat oksigen masuk
adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru
menjadi kemerahan2.

4
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian.
Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung kepada berat
dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu
(Primany apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi akan
memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan
teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada tingkat ini
ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah2.
Pada asfiksia terjadi hipoksia dan asidosis yang menyebabkan pembuluh
darah arteriole di paru tetap dalam kondisi kontriksi dan duktus arteriosus tetap
terbuka.Dengan demikian sirkulasi sistemik janin tetap dipertahankan tetapi hal
tersebut mnyebabkan aliran darah ke paru tetap minimal. Pada asfiksia sedang, kadar
oksigen dalam darah dan pH darah hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
bayi sehat sehingga peningkatan perfusi paru masih dimungkinkan dengan
melakukan resusitasi dengan oksigen 100%. Pada asfiksia berat, terjadi hipoksia dan
asidosis berat yang tidak akan membaik dengan pernapasan buatan saja. Kombinasi
antara oksigenasi dan koreksi asidosis diharapkan dapat membuka arteriole
pulmonalis dan meningkatkan perfusi paru. Asfiksia berat dapat terjadi mulai dari
intrauterine atau durante partum. Dengan resusitasi jantung dan paru diharapkan
dapat terjadi perbaikan jika dilakukan sedini mungkin7.
Pada saat terjadi kontriksi arteriole paru pada fase awal asfiksia, terjadi
pula kontriksi arteriole di colon, ginjal, dan otot. Keadaaan ini menyebabkan re-
distribusi aliran darah yang membantu mempertahankan fungsi jantung dan
mengalirkan oksigen dan bahan lain yang diperlukan oleh jantung dan otak. Jika
asfiksia berlangsung lama, maka kondisi kompensasi dan redistribusi darah
tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan terjadi penurunan fungsi otot jantung
dan terjadi penurunan curah jantung dan dengan sendirinya akan kekurangan
oksigen pada setiap organ yang menyebabkan kegagalan multiorgan. Asidosis dan
gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel

5
otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbuikan kematian atau gejala sisa pada
kehidupan bayi selanjutnya2,7.

V. MEKANISME DIAGNOSIS2,3
1. Anamnesis
 Gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir dan lahir tidak
bernafas/menangis
 Adanya faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum
2. Pemeriksaan Fisik
 Dini :
o Pemeriksaan DJJ < 120x/menit atau >160 x/menit (tanda-tanda ada
gawat janin)
o Gerak janin berkurang (Normal : >10x/hari)
o Air ketuban mekonium dalam pada presentasi kepala: gangguan
oksigenasi namun pada presentasi sungsang tidak ada artinya
 Post natal : Nilai APGAR
Pada pemeriksaan fisik, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia. Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat
vitalitas bayi adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial
dan kompleks untuk kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut
jantung, sirkulasi darah dan refleks-refleks primitif seperti mengisap dan
mencari puting susu, salah satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan
nilai apgar.
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir.Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah
bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian
pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus
dilakukan segera.Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi
bayi baru lahir dan menentukan prognosis bukan untuk memulai resusuitasi
karena resusitasi dimulai 30 detik setelah bayi lahir apabila tidak menangis

6
(bukan 1 menit seperti penilaian pada apgar score). Kelambatan tindakan akan
membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.
Skor 0 1 2
Frekuensi Tidak ada <100x/menit >100x/menit
jantung
Usaha pernafasan Tidak ada Tidak teratur, Teratur, menangis
lambat
Tonus otot Lemah Beberapa Semua tungkai fleksi
tungkai fleksi
Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis
Warna kulit Pucat Biru Merah muda
 Nilai 0-3 Asfiksia berat;
 Nilai 4-6 Asfiksia sedang;
 Nilai 7-10 Normal
Klasifikasi Asfiksia berdasarkan Apgar Score:
a. Normal. Apgar score 7-10 (Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap
sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa
b. Asfiksia sedang (Mild-moderate asphyxia). Apgar score 4-6. Pada
pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
c. Asfiksia berat. Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat
frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat,
dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
Skor down digunakan untuk menilai usaha nafas bayi, sebagai berikut:
Gejala 0 1 2
Frekuensi Napas <60 x/m 60-80 x/m >80 x/m
Retraksi (-) Ringan Berat
Sianosis (-) Hilang dg O2 Menetap dg O2
Air Entry (+) ↓ (-)
(+) dengan
Merintih (-) (+) tanpa stetoskop
stetoskop
 Skor <4 : Distress pernafasan ringan
 Skor 4-5 : Distres pernafasan sedang
 Skor ≥ 6 : Distres pernafasan berat

7
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Analisa gas darah, menunjukkan hasil :
 Pa O2 < 50 mm H2O
 PaCO2> 55 mm H2O
 pH < 7,30
b) Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi
 Darah perifer lengkap
 Analisis gas darah sesudah lahir
 Gula darah sewaktu
 Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
 Ureum kreatinin
 Laktat
 Pemeriksaan radiologi/foto dada
 Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
 Pemeriksaan EEG
 CT scan kepala

VI. PENATALAKSANAAN
Sebagian bayi baru lahir (10%) memerlukan bantuan untuk memulai
pernafasan sedangkan hanya 1% bayi yang memerlukan resusitasi lebih lanjut.
Langkah-langkah resusitasi pada bayi baru lahir dapat dilihat pada bagan.
Masing-masing langkah dilakukan selama 30 detik dan harus senantiasa dinilai
serta dilakukan tindakan sesuai hasil penilaian tersebut. Perpindahan langkah baru
dilakukan apabila langkah sebelumnya telah efektif dilakukan. Tujuan utama
mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul dikemudian hari. Alur
resusitasi bayi sebagai berikut :

8
ALUR RESUSITASI
Konsultasi Antenatal
Briefing tim resusitasi
Cek peralatan yang diperlukan

Ya Perawatan rutin (dengan ibu) :


Bernapas atau menangis?
Pastikan bayi tetap hangat
Tonus baik?
Keringkan bayi
Tidak Lanjutkan observasi

PADA SETIAP LANGKAH TANYAKAN: APAKAH ANDA MEMBUTUHKAN BANTUAN?


pernapasan, laju denyut
Langkah awal: (nyalakan pencatat waktu) jantung, dan tonus
Pastikan bayi tetap hangat
Atur posisi dan bersihkan jalan napas (bila diperlukan) Keterangan:
Keringkan dan stimulasi Pada bayi dengan berat
Posisikan kembali ≤ 1500 gram, bayi langsung
dibungkus plastik bening tanpa
60 detik

dikeringkan terlebih dahulu


Observasi usaha napas dan laju denyut jantung (LDJ) kecuali wajahnya, kemudian
dipasang topi. Bayi tetap dapat
distimulasi walaupun dibungkus
Tidak bernapas/ megap- Bernapas spontan plastik
megap, dan atau
LDJ < 100x/ menit

Distres napas Sianosis sentral persisten


(Takipnu, retraksi, atau Tanpa distres napas
Ventilasi tekanan positif merintih)
(VTP)
Pertimbangkan
Pemantauan SpO2 Continuous positive airway suplementasi oksigen
Pertimbangkan pressure (CPAP)
penggunaan EKG PEEP 5-8 cmH2O Pemantauan SpO2
Pemantauan SpO2

Bila LDJ tetap Keterangan:


Gagal CPAP Apabila LDJ > 100 kali per menit dan
< 100 kali/ menit
PEEP 8 cmH2O target saturasi oksigen tercapai:
FiO2 > 40% Tanpa alat Lanjutkan ke
Dengan distres napas perawatan observasi
Pengembangan dada adekuat? Dengan alat Lanjutkan ke
Pertimbangkan intubasi
perawatan paska-resusitasi
Ya Tidak

Waktu dari Target SpO2


Dada mengembang Bila dada tidak Lahir Preduktal
adekuat mengembang adekuat
Evaluasi: 1 menit 60-70%
namun LDJ < 60x/ menit
Posisi kepala bayi 2 menit 65-85%
Lakukan Intubasi atau LMA Obstruksi jalan
napas 3 menit 70-90%
VTP (O2 100%) + Kebocoran sungkup
4 menit 75-90%
kompresi dada Tekanan puncak
(3 kompresi tiap 1 napas) inspirasi cukup atau 5 menit 80-90%
tidak
Observasi LDJ dan usaha 10 menit 85-90%
napas tiap 60 detik

Keterangan:
Intubasi endotrakea/ LMA dapat
LDJ < 60/ menit?
dipertimbangkan pada langkah ini apabila VTP
tidak efektif

Pertimbangkan pemberian obat dan cairan intravena


Pikirkan pneumotoraks

9
1) Persiapan Alat Resusitasi
Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia di
dalam kamar bersalin dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi
memerlukan resusitasi maka peralatan harus siap digunakan. Peralatan yang
diperlukan pada resusitasi neonatus adalah sebagai berikut
1. Tim resusitasi
Terdiri dari pemimpin, asisten sirkulasi dan asisten obat dan peralatan
2. Perlengkapan penghisap
 Balon penghisap (bulb syringe)
 Penghisap mekanik dan tabung
 Kateter penghisap
 Pipa lambung
3. Peralatan balon dan sungkup
 Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen
90% sampai 100%, dengan volume balon resusitasi ± 250 ml
 Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang bulan
(dianjurkan yang memiliki bantalan pada pinggirnya)
 Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10
L/m) dan tabung.
4. Peralatan intubasi
 Laringoskop
 Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila
tersedia) yang cocok dengan pipa endotrakeal yang ada
5. Obat-obatan
 Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) – 3 ml atau ampul 10 ml
 Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk
penambah volume—100 atau 250 ml.
 Natrium bikarbonat 4,2% (5 mEq/10 ml)—ampul 10 ml.
 Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml atau 1,0 mg/ml

10
 Dextrose 10%, 250 ml
 Kateter umbilical

6. Lain-lain
 Alat pemancar panas (radiant warmer) atau sumber panas
lainnya
 Monitor jantung dengan probe serta elektrodanya (bila tersedia
di kamar bersalin)
 Oropharyngeal airways
 Selang orogastrik
7. Untuk bayi sangat prematur
 Sumber udara tekan (CPAP, neopuff)
 Blender oksigen
 Oksimeter
 Kantung plastik makanan (ukuran 1 galon) atau pembungkus
plastik yang dapat ditutup
 Alas pemanas
 Inkubator transport untuk mempertahankan suhu bayi bila
dipindahkan ke ruang perawatan.

11
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 2
pertanyaan, yaitu :
- Apakah bayi bernapas atau menangis
- Apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ‖ya‖ maka bayi dapat langsung dimasukkan
dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi
dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen
kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ‖tidak‖ dari salah satu
pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan
resusitasi berikut ini secara berurutan:
a) Pre Resusitasi
1) Mencegah Kehilangan Panas Tubuh
Mengeringkan tubuh bayi dengan linen dari cairan ketuban dan darah
dan mengganti dengan linen yang kering dan bayi diletakkan di bawah
infant warmer agar tetap
hangat.Tindakan ini bertujuan
untuk mencegah hipotermi. Suhu
bayi dijaga agar mencapai 36,5-
37,5OC. Teknik penghangatan
dengan plastic digunakan untuk
bayi dengan BBL ≤ 1500gr.

2) Posisi Resusitasi

Gambar 6.1: Posisi resusitasi yang benar dan salah

12
Meletakkan bayi dalam posisi resusitasi merupakan upaya membuka
jalan napas untuk memasukkan oksigen dan mngeluarkan CO 2 dengan
melalui pipa pernapasan. Jika terjadi obstruksi karena leher tertekuk,
lidah yang jatuh ke belakang, sekret, atau benda asing lainnya, maka
upaya resusitasi akan gagal. Pada neonatus bentuk laring seperti
corong yang cenderung menyempit ke bawah dengan os krikoid yang
besar.Diameter saluran napas juga sempit dan jika terjadi edema
walaupun ringan sudah mnyebabkan obstruksi lebih berat.Berdasarkan
hal tersebut, posisi yang ideal adalah terlentang dengan sedikit
tengadah. Posisi yang dihindari adalah leher menekuk (flexi) atau
terlalu tengadah (over ekstensi)
3) Bersihkan Jalan Napas
Pembersihan jalan napas bertujuan membuka jalan
napas.Pembersihan jalan napas sangat tergantung pada kekentalan
ketuban yang ada di rongga mulut atau hidung .Jika ketuban encer,
pembersihan cukup di sekitar rongga mulut atau hidung saja. Bila
terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi
mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi
jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea
sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi
mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan
laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan
kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glottis.
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk
memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan
sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka
perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil

13
telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau
ekstremitas bayi.
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada
hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu
sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi
pernapasan. Rangsang taktil hanya boleh dilakukan 1-2 kali saja dan
jika sesudahnya bayi belum dapat bernapas spontan dan adekuat, maka
harus dimulai bantuan pernapasan dengan VTP.

Hisap lendir dari mulut kemudian hidung. Membersihkan mulut dulu


sebelum hidung supaya sekret tidak diaspirasi waktu bernafas ketika
dilakukan penghisapan hidung. Penghisapan mulut dgn kateter tidak
boleh terlalu dalam → merangsang refleks vagus → bradikardi dan
apneu. Kemudian lakukan perangsangan taktil.

14
b) Ventilasi Tekanan Positif
Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah
resusitasi lanjutan bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi
bernapas atau frekuensi jantungnya tetap kurang dari 100x/menit.Sebelum
melakukan VTP harus dipastikan tidak ada kelainan congenital seperti
hernia diafragmatika, karena bayi dengan hernia diafragmatika harus
diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP. Bila bayi diperkirakan
akan mendapat VTP dalam waktu yang cukup lama, intubasi endotrakeal
perlu dilakukan atau pemasangan selang orogastrik untuk menghindari
distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan ventilasi tekanan positif
adalah hernia diafragma.
Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi 40-60 kali
per menit untuk mencapai dan mempertahakan frekuensi denyut jantung >
100 per menit. Pemompaan dengan frekuensi > 40-60 x/menit tidak
diperkenankan karena akan menguras kadar CO2 dari darah dan hal ini
justru akan menghilangkan stimulant pernapasan spontan bayi.

Gambar 6.2 : Ritme VTP dengan Balon Resusitasi


Untuk neonatus balon resusitasi harus disesuaikan dengan
volume paru neonatus.Penggunaan balon yang terlalu besar berisiko
menyebabkan pneumothorax akibat hembusan udara yang melebihi
kapasitas paru.Balon resusitasi dihubungkan dengan tabung oksigen
dengan aliran oksigen 5-10 liter/menit.

15
Sungkup ada 2 macam, berbentuk bulat dan sungkup yang sesuai
dengan anatomis .Sungkup yang digunakan harus disesuaikan dengan
ukuran neonatus dan harus menutup rapat hidung dan mulut. Penggunaan
sungkup yang terlalu besar akan mengiritasi mata dan kornea yang bisa
menyebabkan kekeringan kornea hingga kekeruhan dan bahkan kebutaan.

Gambar 6.3 :Pemilihan Sungkup yang Benar dan Salah

c) Kompresi Dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari
60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30
detik.Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri dari kompresi
yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke arah tulang
belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi
darah ke seluruh organ vital tubuh.K ompresi dada hanya bermakna jika
paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2 orang untuk melakukan
kompresi dada yang efektif—satu orang menekan dada dan yang lainnya
melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan
frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan
positif.Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara bergantian. Cara
melakukan pijat jantung :
a) Tentukan tempat pijat jangtung dengan menarik garis lurus antara
papilla mamae dan garis vertical sepanjang sternum, titik potong
antar garis horizontal dan vertical merupakan tempat pemijatan.
Jangan menekan pada costa, perbatasan os costae, dan os xyphoideus

16
karena akan menyebabkan fraktur. Penekanan dilakukan pada os
sternum.
b) Cara melakukan pijat jantung

Gambar 6.4 : Teknik kompresi Dada


 Dua tangan dengan telapak tangan melingkari dada pasien
dengan ibu jari berdampingan atau ibu jari saling menumpuk
tergantung besar jari penolong pada sternum. Jika ibu jari
penolong terkesan besar, lakukan dengan menumpuk ibu jari,
tetapi sebaliknya jika ibu jari penolong kecil dapat
mendampingkan kedua ibu jarinya.
 Satu tangan dengan menekan dada dengan jari ke 2 dan ke 3
c) Jika menggunakan dua tangan, penekanan hanya sebatas
menggerakkan ibu jari saja bukan meremas dengan menggunakan
kekuatan tangan sepenuhnya karena akan menyebabkan fraktur dan
jangan menekan pada perbatasan os costae dan sternum.
d) Jika menggunakan satu tangan, penekanan hanya sedalam 1-2 cm
e) Ritme pemijatan disesuaikan dengan ritme VTP dengan 1 VTP
diikuti dengan 3 pijat jantung.
d) Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)

17
3) Medikamentosa
Obat-obatan jarang diberikan pada resusitasi bayi baru
lahir.Bradikardi pada bayi baru lahir biasanya disebabkan oleh
ketidaksempurnaan pengembangan dada atau hipoksemia, dimana kedua hal
tersebut harus dikoreksi dengan pemberian ventilasi yang adekuat.Namun bila
bradikardi tetap terjadi setelah VTP dan kompresi dada yang adekuat, obat-
obatan seperti epinefrin, atau volume ekspander dapat diberikan.Obat yang
diberikan pada fase akut resusitasi adalah epinefrin. Obat-obat lain digunakan
pada pasca resusitasi atau pada keadaan khusus lainnya.

(1) Epinefrin
Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari
60x/menit setelah dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi
selama 30 detik. Epinefrin tidak boleh diberikan sebelum melakukan
ventilasi adekuat karena epinefrin akan meningkatkan beban dan
konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan 0,1-0,3 ml/kgBB
larutan 1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau
melalui selang endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara
intravena bila frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal
diberikan jika pemberian dilakukan melalui selang endotrakeal.
(2) Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru
lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada
respon dengan resusitasi. Hipovolemia kemungkinan akibat adanya
perdarahan atau syok.Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi
kecil atau lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat.Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit.Dapat
diulang sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan yang diberikan
dapat berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) atau
tranfusi golongan darah O negatif jika diduga kehilangan darah banyak

18
(3) Natrium Bikarbonat
Indikasi penggunaannatrium bikarbonat adalah asidosis metabolik pada
bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan
sirkulasi sudah baik.Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis
metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas
darah dan kimiawi. Dosis yang digunakan adalah 2 mEq/kg BB atau 4
ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya terdapat BicNat
dengan konsetrasi 7,4 % maka diencerkan dengan aquabides atau
dekstrosa 5% sama banyak. Pemberian secara intra vena dengan kecepatan
tidak melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit.
Meylon dapat berbahaya jika diberikan terlalu cepat pada waktu resusitasi.
Meylon diberikan jika ventilasi paru adekuat. Meylon bersenyawa dgn
asam → CO2 → Harus cukup waktu untuk ventilasi guna mengeluarkan
CO2.
(4) Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan dengan
indikasi depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya
menggunakan narkotik dalam waktu 4 jam sebelum melahirkan. Sebelum
diberikan nalokson ventilasi harus adekuat dan stabil. Jangan diberikan
pada bayi baru lahir yang ibunya dicurigai sebagai pecandu obat
narkotika, sebab akan menyebabkan gejala putus obat pada sebagian bayi.
Cara pemberian intravena atau melalui selang endotrakeal.Bila perfusi
baik dapat diberikan melalui intramuskuler atau subkutan. Dosis yang
diberikan 0,1 mg/kg BB, perlu diperhatikan bahwa obat ini tersedia dalam
2 konsentrasi yaitu 0,4 mg/ml dan 1 mg/ml

VII. KOMPLIKASI2,8
Hampir 90 % bayi yang memerlukan resusitasi akan membaik
setelah diberikan VTP yang adekuat, sementara 10 % bayi memerlukan kompresi
dada dan obat-obatan, atau meninggal. Pada sebagian bayi yang tetap tidak

19
membaik walau telah dilakukan resusitasi mungkin mengalami komplikasi
kelahiran atau komplikasi resusitasi.Bayi yang memerlukan VTP
berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi dada sangat mungkin mengalami
stress berat dan berisiko mengalami kerusakan fungsi organ multipel yang tidak
segera tampak.
Gambaran klinis komplikasi yang terlihat pada berbagai organ tubuh
sangat bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, waktu hipoksia akut terjadi,
masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal, serta faktor lingkungan penderita
termasuk faktor sosial ekonomi.Beberapa penelitian melaporkan, organ yang
paling sering mengalami gangguan adalah susunan saraf pusat.Pada asfiksia
neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan
gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure). Kelainan susunan
saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ lain, hampir pasti
penyebabnya bukan asfiksia perinatal.
Berikut adalah tabel gambaran klinis komplikasi yang terlihat pada
berbagai organ tubuh:
Tabel 7.1 Tabel organ-organ yang dapat mengalami komplikasi
Sistem Pengaruh
Sistem saraf pusat HIE,infrak,perdarahanintrakranial,kejang,edema
otak,hipotonia,hipertonia
Kardiovaskuler Iskemia miokardium,kontraktilitas jelek,bising jantung, insufiensi
trikuspidalis dan hipotensi
Pulmonal Sirkulasi janin persistens, perdarahan paru,sindrom kegawatan nafas.
Ginjal Nekrosis tubular akut atau korteks
Adrenal Perdarahan adrenal
Saluran cerna Perforasi,ulserasi,nekrosis
Metabolik Sekresi ADH yang tidak
sesuai,hiponatremia,hipoglikemia,hipokalsemia, dan mioglobulinemia.
Kulit Nekrosis lemak subkutan.
Hematologi Koagulasi intravaskuler tersebar.

20
7.1.1 Sistem susunan saraf pusat.
Hypocix ischemic enshefalophaty (HIE) adalah terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan kelainan neuropatologis dan
klinis yang diperkirakan terjadi pada bayi baru lahir akibat asfiksia.
Hypocix ischemic enshefalophaty (HIE) merupakan kelainan
neuropatologis yang paling sering ditemukan pada bayi yang mengalami
asfiksia.
Asfiksia yang terjadi pada saat kelahiran merupakan
konsekuensi dari hipoksia intrapartum dimana bayi membutuhkan
resusitasi yang lebih lanjut dan berlanjut pada keadaan HIE. HIE muncul
pada 1-2 kasus pada setiap 1000 kelahiran. Bayi yang dilahirkan setelah
hipoksia intrapartum memiliki gambaran yang khas.Bayi menjadi
bradikardi, pucat, lemas, dan apneu, dan mengalami asidosis metabolik
yang parah, yang telah terakumulasi selama periode glikolisis
anaerob.Keadaan ini memerlukan tindakan resusitasi segera. Berdasarkan
berat ringannya HIE dibedakan menjadi tiga yang dapat dilihat pada table
dibawah ini. Tabel derajat HIE sebagai berikut.

Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3


Ringan Sedang Berat
Tingkat kesadaran Waspada berlebih Letargi Koma
Tonus otot Normal/hipertonia Hipotonia Flacid
Refleks tendon Meningkat Meningkat Tertekan/tidak ada
Mioklonus Ada Ada Tidak ada
Kejang Tidak ada Sering Sering
Refleks kompleks
- Menghisap Aktif Lemah Tidak ada
- Moro Berlebih Tidak komplet Tidak ada
- Menggenggam Normal-berlebih Berlebihan Tidak ada
- Okulosefalik Normal Sangat aktif Berkurang/tidak ada
Fungsi otonom
- Pupil Dialatasi,reaktif Konstriksi/reaktif Bervariasi/terfiksasi
- Pernafasan Teratur Periodik Ataksik,apneik
- Denyut jantung Normal/takikardi Bradikardi Bradikardi
- EEG Normal Periodik voltase Periodik/isoelektrik
rendah/paroksismal
Prognosis Baik Bervariasi Mortalitas dan disabilitas
neurologik tinggi

21
7.1.2 Sistem kardiovaskular.
Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi
miokardium yang dapat berakhir dengan payah jantung.Disfungsi
miokarduim terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan
kerusakan sel miokardium terutama di daerah sub-endokardial dan otot
papilaris di kedua bilik jantung.

7.1.3 Ginjal.
Asfiksia berat dapat menyebabkan perfusi ginjal menurun,
hipoksia yang berlangsung lama akan menyebabkan iskemia ginjal dan
dapat berlanjut menjadi Gagal Ginjal Akut instrinsik (GGA).

7.1.4 Pulmonal.
Dampak asfiksia terhadap paru adalah hipertensi pulmonal
persiten. Hal ini terjadi karena aliran dari kiri ke kanan melalui duktus
arteriosus paten dan foramen ovale setelah lahir disebabkan oleh
tahanan vaskuler pulmonal yang sangat tinggi.Tahanan vaskuler
pulmonal janin biasanya meningkat relatif terhadap tekanan sistemik
atau pulmonal setelah jalan lahir.Keadaan janin ini memungkinkan
aliran darah vena umbilikalis yang teroksigenasi keatrium kiri dan
otak melalui voramen ovale dan langsung menuju paru melalui duktus
arteriosus ke aorta desendens. Sesudah lahir tahanan vaskuler
pulmonal secara normal menurun dengan cepat sebagai akibat
,vasodilatasi karena udara mengisi paru, kenaikan pada PaO 2 , kenaikan
pH dan pelepasan bahan-bahan vasoaktif. Kenaikan tahanan vaskuler
pulmonal pada neonatus dapat berupa:
1. Maladaptive karena jejas akut misalnya ; tidak memperlihatkan
vasodilatasi yang normal pada respons terhadap kenaikan oksigen
dan perubahan lain sesudah lahir.

22
2. Akibat dari bertambah tebalnya otot tunika media arteri pulmonalis
dan perluasan lapisan otot polos kedalam lapisan yang biasanya
nonmuskular, arteri pulmonalis yang lebih perifer dalam responnya
terhadap hipoksia janin yang kronis.
3. Karena hipoplasia pulmonal.
4. Obstruktif karena polisitemia atau anomali total muara vena
pulmonalis.

VIII. PROGNOSIS
Pada asfiksia sedang prognosis ditentukan dari cepatnya penanganan yang
dilakukan.Semakin cepat penanganan, semakin baik pronosisnya.Sedangkan
pada asfiksia berat prognosisnya cenderung prognosisnya buruk dan sering
meninggalkan gejala sisa.2,4,5

23
DAFTAR PUSTAKA

1) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015. Profil kesehatan Indonesia


tahun 2007
2) Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan
penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum
3) Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III 2008
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya
4) Buku Ajar Neonatologi.2009. Ikatan Dokter Anak Indonesia
5) Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir untuk Bidan. 2010. Kemenkes RI.
6) Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. 2008. Jakarta : Salemba Medika
7) Dr. dr. Erny. 2015. Buku Panduan Teknik Resusitasi Neonatus, Bayi, dan
Anak.
8) Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1. Jakarta
: EGC.
9) American Heart Association. Web-based Integrated Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care – Part 13:
Neonatal Resuscitation. 2015.

24

Anda mungkin juga menyukai