ASFIKSIA NEONATORUM
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. IDAI (Ikatatan Dokter Anak Indonesia)
dalam Prambudi (2013) menjelaskan bahwa asfiksia pada bayi baru lahir (BBL)
merupakan kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa
saat setelah lahir. Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin
akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan
keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes
RI, 2009).
B. Etiologi
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang
yang mengakibatkan hipoksia bayi di dalam rahim dan dapat berlanjut menjadi asfiksia
bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah (Gomella, 2009):
1. Faktor ibu
a. Pre-eklampsi dan eklampsi
b. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
c. Partus lama (rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
d. Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu
sirkulasi darah ke plasenta.
e. Perdarahan banyak: plasenta previa dan solutio plasenta
f. Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
2. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat
3. Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).
1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala
akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian
obat analgetika atau anestesia dalam.
b. Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula
ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan:
1) Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat
2) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
3) Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lainlain
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam
pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor neonatus
Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal,
yaitu:
1) Pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung
dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin
2) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intracranial
3) Kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia diafragmatika, atresia/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasia paru dan lain-lain
C. Patofisiologi
Oksigen sangat penting bagi kehidupan sebelum dan setelah persalinan. Selama
di dalam Rahim, janin mendapatkan oksigen dan nutrisi dari ibu melalui mekanisme
difusi melalui plasenta yang berasal dari ibu diberikan kepada darah janin. Sebelum
lahir, alveoli paru bayi menguncup dan berisi cairan. Paru janin tidak berfungsi sebagai
sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan CO2 (karbon dioksida) sehingga paru
tidak perlu diperfusi atau dialiri darah dalam jumlah besar.
Setelah lahir, bayi tidak berhubungan dengan plasenta lagi sehingga akan
bergantung kepada paru sebagai sumber utama oksigen. Oleh karena itu, beberapa saat
setelah lahir paru harus segera terisi oksigen dan pembuluh darah paru harus berelaksasi
untuk memberikan perfusi pada alveoli dan menyerap oksigen untuk diedarkan ke
seluruh tubuh. 2
Biasanya BBL akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru hal
ini menyebabkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan interstisial di paru, sehingga
oksigen dapat diantarkan ke arteri pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika
keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap konstriksi dan pembuluh
darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen sehingga tidak dapat memberikan perfusi
ke organ-organ tubuh yang penting seperti otak jantung, ginjal, dan lain-lain. Bila
keadaan ini berlangsung lama maka akan menyebabkan kerusakan jaringan otak dan
organ lain yang dapat menyebabkan kematian atau kecacatan.
Transisi dari kehidupan janin intrauterin ke kehidupan bayi ekstrauterin,
menunjukkan perubahan sebagai berikut. Alveoli paru janin dalam uterus berisi cairan
paru. Pada saat lahir dan bayi mengambil nafas pertama, udara memasuki alveoli paru
dan cairan paru diabsorbsi oleh jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya, udara
yang masuk ke dalam alveoli bertambah banyak dan cairan paru diabsorbsi sehingga
kemudia seluruh alveoli berisi udara dan mengandung oksigen. Aliran darah paru
meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan oleh ekspansi paru yang membutuhkan
tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru
dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya menyebabkan penurunan resistensi
vaskuler paru dan peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan
ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus.
Kegagalan penurunan resistensi vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal
persisten pada BBL (Persistent Pulmonary Hypertension of the Neonate), dengan aliran
darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relative. Ekspansi paru yang inadekuat
menyebabkan gagal napas.
Pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika BBL kekurangan
oksigen. Pada periode awal, bayi akan mengalami pernapasan cepat (rapid breathing)
yang disebut gasping primer. Setelah periode awal ini akan diikuti dengan keadaan
bayi tidak bernapas (apnoe) yang disebut apnoe primer. Pada saat ini frekuensi jantung
mulai menurun, namun tekanan darah masih tetap bertahan.
Bila keadaan ini berlangsung lama dan tidak dilakukan pertolongan pada BBL,
maka bayi akan melakukan usaha napas megap-megap yang disebut gasping sekunder,
dan kemudian masuk dalam periode apnoe sekunder. Pada saat ini frekuensi jantung
semakin menurun dan tekanan darah semakin menurun dan dapat menyebabkan
kematian bila bayi tidak segera ditolong. Sehingga setiap menjumpai kasus dengan
apnoe, harus dianggap sebagai apnoe sekunder dan segela dilakukan reusitasi.
D. Manifesstasi Klinis
Depkes (2007) dalam Prihantoro (2014) menjelaskan bahwa asfiksia biasanya
merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda klinis pada janin atau
bayi berikut ini:
1. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
2. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
3. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain
4. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
5. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot-
otot jantung atau sel-sel otak
6. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan
darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama
proses persalinan
7. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau nafas
tidak teratur/megap-megap
8. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah
9. Penurunan terhadap spinkters
10. Pucat
E. Komplikasi
Puspitasari & Ayu (2017) menjelaskan bahwa asfiksia neonatorum dapat
menyebabkan komplikasi pasca hipoksia, diantaranya:
1. Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ
vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih
banyak dibandingkan organ lain. Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena
penurunan resistensi vascular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya
asistensi vascular di perifer.
2. Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi vascular antara lain
timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai saraf
simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan vasopressin.
3. Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan energy
bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis an aerobik.
Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruverat) menimbulkan
peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah sehingga
terjadilah asidosis metabolic. Perubahan sirkulasi dan metabolisme ini secara
bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik sementara ataupun menetap.
F. Pemeriksaan Penunjang
Aminullah (2002) menjelaskan bahwa diagnosis gawat-janin sangat penting
untuk dapat menyelamatkan bayi. Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan
tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga perlu
diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut. Untuk dapat menegakkan
gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada
darah tali pusat: PaO2 < 50 mm H2O PaCO2 > 55 mm H2 pH < 7,30.
2. Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa:
a) Darah perifer lengkap
b) Pemeriksaan radiologi/foto dada
c) Analisis gas darah sesudah lahir
d) Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
e) Gula darah sewaktu
f) Pemeriksaan USG Kepala
g) Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
h) Pemeriksaan EEG
i) Ureum kreatinin
j) CT scan kepala
k) Laktat
G. Penatalaksanaan
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam mengatasi
transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil membutuhkan berbagai
derajat resusitasi. Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3
pertanyaan, yaitu:
Bayi yang memerlukan VTP berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi dada
sangat mungkin mengalami stress berat dan berisiko mengalami kerusakan fungsi organ
multipel yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih lanjut, bayi dirawat
di ruang rawat lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital, dan antisipasi terhadap
komplikasi.
5. Obat-obatan dan cairan:
a. Epinefrin
1) Indikasi:
a) Denyut jantung janin <60x/menit setelah paling tidak 30 detik dilakukan
ventilasi adekuat dan kompresi dada belum ada respon
b) Asistolik
2) Dosis: 0,1-0,3 ml/ kgBB dalam larutan 1:10.000 (0,001-0,003 mg/ kgBB)
3) Cara: IV dan endotrakeal, dapat diulang setiap 3-5 kali bila perlu.2
b. Cariran penganti volume darah
1) Indikasi: Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hypovolemia
dan tidak ada respon dengan resusitasi. Hypovolemia kemungkinan akibat
adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk,
nadi kecil/ lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat
2) Jenis cairan:
a) Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer laktat)
b) Tranfusi darah golongan O negative jika diduga kehilangan darah
banyak dan bila fasilitas tersedia
3) Dosis: dosis awal 10 ml/ KgBB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang
sampai menunjukkan respon klinis.
c. Natrium Bikarbonat
1) Indikasi:Asidosis metabolik secara klinis (napas cepat dalam, sianosis)
2) Persyaratan: bayi telah dilakukan ventilasi secara efektif
3) Dosis: 2 mEq/KgBB atau 2 ml/ KgBB (4,2%) atau 1 ml/ KgBB (8,4%)
4) Cara: diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak
diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit yaitu 1mEq/
kgBB/ menit
5) Efek samping: pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari
bikarbonan merusak fungsi miokardium dan otak.
d. Nalokson
1) Indikasi:
a) Bila bayi tetap mengalami depresi napas setelah frekuensi jantung dan
warna kulit menjadi normal
b) Ibu mendapat obat narkotika pada 4 jam sebelum persalinan
2) Kontraindikasi: Bayi dari ibu yang diduga menggunakan narkotik karena
dapat menimbulkan withdrawl sign
3) Dosis: 0,1 mg/ kgBB diberikan secara intravena atau intramuscular. Setiap
bayi yang diberi nalokson karena depresi napas karena narkotik dimonitor
ketat beberapa jam.4
H. Pencegahan
1. Pencegahan secara umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau
meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,
khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan
melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin
dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya derajat kesehatan
wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah,
kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan kerjasama
banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait.
Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga
obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang
tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota tim
persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkan
kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat.14 Pada bayi
dengan prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas
paru janin.
2. Antisipasi dini perlunya dilakukan resusitasi pada bayi yang dicurigai mengalami
depresi pernapasan untuk mencegah morbiditas dan mortilitas lebih lanjut
Pada setiap kelahiran, tenaga medis harus siap untuk melakukan resusitasi pada
bayi baru lahir karena kebutuhan akan resusitasi dapat timbul secara tiba-tiba.
Karena alasan inilah, setiap kelahiran harus dihadiri oleh paling tidak seorang
tenaga terlatih dalam resusitasi neonatus, sebagai penanggung jawab pada
perawatan bayi baru lahir. Tenaga tambahan akan diperlukan pada kasus-kasus
yang memerlukan resusitasi yang lebih kompleks. Dengan pertimbangan yang baik
terhadap faktor risiko, lebih dari separuh bayi baru lahir yang memerlukan resusitasi
dapat diidentifikasi sebelum lahir, tenaga medis dapat mengantisipasi dengan
memanggil tenaga terlatih tambahan, dan menyiapkan peralatan resusitasi yang
diperlukan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik fisik, mental,
sosial dan lingkungan.Terdapat beberapa hal yang perlu dikaji untuk merusmuskan
masalah keperawatan yang tepat pada kasus asfiksia neonatorum, diantaranya:
a. Sirkulasi
1) Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt.
2) Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik).
3) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di
kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.
4) Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
5) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
b. Eliminasi
1) Dapat berkemih saat lahir.
c. Makanan/ cairan
1) Berat badan : 2500-4000 gram
2) Panjang badan : 44 - 45 cm
3) Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)
d. Neurosensori
1) Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
2) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama
setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding,
edema, hematoma).
3) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan
abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)
e. Pernafasan
1) Skor APGAR : 1 menit s/d 5 menit dengan skor optimal harus antara 7-10.
2) Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
3) Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik
thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
f. Keamanan
1) Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan distribusi
tergantung pada usia gestasi).
2) Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah
muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor
(misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie
pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan
kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak
mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama
punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada
(penempatan elektroda internal)
g. Analisa Data
1) Data Subyektif
a) Biodata atau identitas pasien : Bayi meliputi nama tempat tanggal lahir jenis
kelamin
b) Orangtua meliputi : nama (ayah dan ibu, umur, agama, suku atau kebangsaan,
pendidikan, penghasilan pekerjaan, dan alamat.
c) Riwayat kesehatan ibu dan janin
Riwayat antenatal a) Keadaan ibu selama hamil dengan anemia,
hipertensi, gizi buruk, merokok ketergantungan
obat-obatan atau dengan penyakit seperti
diabetes mellitus, kardiovaskuler dan paru.
b) Kehamilan dengan resiko persalinan preterm
misalnya kelahiran multipel, inkompetensia
serviks, hidramnion, kelainan kongenital,
riwayat persalinan preterm.
c) Pemeriksaan kehamilan yang tidak
kontinyuitas atau periksa tetapi tidak teratur dan
periksa kehamilan tidak pada petugas
kesehatan.
d) Gerakan janin selama kehamilan aktif atau
semakin menurun.
e) Hari pertama hari terakhir tidak sesuai dengan
usia kehamilan (kehamilan postdate atau
preterm).
Riwayat Natal a) Kala I: ketuban keruh, berbau, mekoneal,
perdarahan antepartum baik solusio plasenta
maupun plasenta previa
b) Kala II: persalinan lama, partus kasep, fetal
distress, ibu kelelahan, persalinan dengan
tindakan (vacum ekstraksi, forcep ektraksi).
Adanya trauma lahir yang dapat mengganggu
sistem pernafasan. Persalinan dengan tindakan
bedah caesar, karena pemakaian obat penenang
(narkose) yang dapat menekan sistem pusat
pernafasan
Riwayat Post Natal a) Apgar skor bayi baru lahir 1 menit pertama dan
5 menit kedua AS (0-3) asfiksia berat, AS (4-6)
asfiksia sedang, AS (7-10) asfiksia ringan.
b) Berat badan lahir : kurang atau lebih dari normal
(2500-4000 gram). Preterm/BBLR < 2500
gram, untu aterm 2500 gram lingkar kepala
kurang atau lebih dari normal (34-36 cm).
c) Adanya kelainan kongenital : Anencephal,
hirocephalus anetrecial aesofagal.
2) Pola nutrisi
Bayi dengan post asfiksia berat gangguan perlu dikaji terkait absorbsi
gastrointentinal, muntah aspirasi, kelemahan menghisap sehingga perlu
diberikan cairan parentral atau personde sesuai dengan kondisi bayi untuk
mencukupi kebutuhan elektrolit, cairan, kalori dan juga untuk mengkoreksi
dehidrasi, asidosis metabolik, hipoglikemi disamping untuk pemberian obat
intravena.
Dan untuk tiap harinya sampai mencapai 180 – 200 cc/kg BB/hari
3) Pola eliminasi
a) BAB : frekwensi, jumlah, konsistensi.
b) BAK : frekwensi, jumlah
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan cairan pada
paru
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan asidosis respiratorik
c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penyakit asfiksia
d. Resiko ketiakseimbangan suhu tubuh
e. Resiko syok
3. Rencana/Intervensi Keperawatan
No Diagnosa keperawatan NOC NIC
1 Ketidakefektifan bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas:
napas berhubungan dengan eksudat selama …x 24 jam, diharapkan a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
dalam alveoli ketidakefektifan bersihan jalan napas b. Pemberian CPAP
dapat diatasi dengan kriteria hasil sebagai c. Posisikan untuk mengurangi sesak napas
berikut: d. Monitor status pernapasan, oksigenasi, sebagaimana
Status Pernapasan: kepatenan jalan mestinya
napas
a. Frekuensi pernapasan dalam batas Penghisapan lendir:
normal a. Tentukan perlunya suction mulut atau trakea
b. Irama pernapasan dalam batas normal b. Auskultasi suara napas sebelum dan setelah tindakan
c. Sekret dapat berkurang suction
c. Berikan sedative sebagaimana mestinya
d. Masukkan nasopaharingeal airway untuk melakukan
suction nasotracheal
e. Biarkan pasien tersambung ke ventilator selama
prosedur suksion jika menggunakan suksion tertutup
dan jika perangkat adaptor insulflasi oksigen sedang
digunakan
f. Monitor adanya nyeri
g. Monitor status oksigenasi pasien, status neurologis,
status mental, tekanan intracranial, tekanan perfusi
serebral dan status hemodinamik
h. Lakukan suction ororfaring setelah menyelesaikan
suction trachea
i. Monitor dan catat warna, jumlah dan konsitensi
secret
2 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Asam Basa: Alkalosis Respiratorik
berhubungan dengan selama ..x 24 jam, diharapkan ganguan a. Pertahankan jalan napas
ketidakseimbangan ventilasi- pertukaran gas dapat diatasi dengan b. Monitor pola napas
kriteria hasil sebagai berikut: c. Pertahankan akses intravena
perfusi
Status pernapasan: pertukaran gas d. Sediakan sungkup oksigen untuk membuat pasien
a. pH arteri dalam batas normal hiperventilasi, sesuai dengan kebutuhan
b. Saturasi oksigen dalam batas normal e. Kelola cairan parenteral untuk mengurangi HCO 3
c. PO2 (tekanan parsial oksigen dalam letola mengoreksi penyebab alkalosis respiratorik
darah) dalam baras normal sesuai dengan kebutuhan
d. PCO2 (tekanan parsial karbondioksida f. Monitor kecenderungan pH arteri, PaCO2, dan
dalam darah) dalam batas normal HCO3
g. Monitor AGD dan kadar elektrolit darah dan urin,
sebagaimana mestinya.
h. Monitor cairan masuk dan keluar (Balance Cairan)
i. Sediakan terapi oksigen jika diperlukan
Terapi Oksigen
a. Pertahankan kepatenan jalan napas
b. Siapkan peralatam oksigen dan berikan melalui
humidifier
c. Berikan oksigen tambahan sesuai yang
diperintahkan
d. Monitor aliran oksigen
e. Monitor posisi perangkat (alat) pemberian oksigen
f. Monitor efektivitas pemberian terapi oksigen
(misalnya, tekanan oksimetri, ABGs) dengan tepat
g. Pantau adanya tanda-tanda keracunan oksigen dan
kejadian ateletaksis
h. Sediakan oksigen ketika bayi dipindahkan
3 Ketidakefektifan pola napas Setelah dilakukan intervensi selama 4x24 Manajemen jalan napas:
jam nyeri berkurang atau teratasi dengan
kriteria hasil: a. buka jalan napas dengan teknik chin lift atau jaw
a. frekuensi pernapasan dalam batas thrust, sebagai mana mestinya
normal b. posisiskan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
b. irama pernapasan dalam batas normal c. identifikasi kebutuhan actual/potensial pasien untuk
c. kedalaman inspirasi dalam batas
memasukan alat membuka jalan napas
normal
d. suara auskultasi nafas dalam batas d. masukkan alat nasopharyngeal airway (NPA) atau
normal orpharyngeal airway (OPA), sebagaimana mestinya
e. kepatenan jalan napas e. lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya
f. volume tidal f. buang sekret dengan memotivasi pasien untukk
g. pencapaian tingkatt insentif spinometri melakukan batuk atau menyedot lender
h. kapasitas vital g. motivasi pasien untuk bernapas pelan, dalam,
i. saturasi oksigen dalam batas normal
berputar, dan batuk
j. tes faal paru
h. instruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk
efektif
i. bantu dengan dorongan spirometer, sebagaimana
mestinya
j. auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya
menurun atau tidak ada dan adanya suara tambahan
k. lakukan penyedotan melalui endotrakea atau
nasotrakea, sebagaimana mestinya\
l. kelola pemberian bronkodilator, sebagaimana
mestinya
m. ajarkan pasien bagaimana menggunakan inhaler
sesuai resep, sebagaimana mestinya
n. kelola pengobatan aerosol, sebagaimana mestinya
o. kelola nebulizer ultrasonik, sebagaimana mestinya
p. regulasi asupan cairan untukk mengoptimalkan
keseimbangan cairan
q. posisikan untuk meringankan sesak napas
r. monitor status pernapasan dan oksigen,
sebagaimana mestinya
Monitor pernapasan
a. monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan
bernapas
b. catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan,
penggunaan otot-otot bantu napas, dan retraksi pada
otot supraclaviculas dan interkosta
c. monitor suara napas tambahan seperti ngorok atau
mengi
d. Monitor pola napas (misalnya, bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, pernapasan kusmaul, pernapasan 1:1,
apneustik, respirasi biot, dan pola ataxic)
e. monitor saturasi oksigen pada pasien yang tersedasi
(seperti, SaO2, SvO2, SpO2) sesuai dengan protokol
yang ada
f. pasang sensor pemantauan oksigen non-invasif
(misalnya, pasang alat pada jari, hidung, dan dahi)
dengan mengatur alarm pada pasien berisiko tinggi
(misalnya, pasien yang obesitas, melaporkan pernah
mengalami apnea saat tidur, mempunyai riwayat
penyakit dengan terapi oksigen menetap, usia
ekstrim) sesuai dengan prosedur tetap yang ada
g. palpasi kesimetrisan ekspansi paru
h. perkusi torak anterior dan posterior, dari apeks ke
basis paru, kanan dan kiri
i. catat lokasi trakea
j. auskultasi suara napas, catat area dimana terjadi
penurunan atau tidak adanya ventilasi dan
keberadaan suara napas tambahan
k. kaji perlunya penyedotan, pada jalan napas dengan
auskultasi suara napas ronki di paru
l. auskultasi suara napas setelah tindakan, untuk dicatat
m. monitor nilai fungsi paru, terutama kapasitas vital
paru, volume inspirasi maksimal, volume ekspirasi
maksimal selama 1 detik (FEVI) dan FEVI/FVC
sesuai dengan data yang tersedia
n. monitor hasil pemeriksaan ventilasi mekanik, catat
peningkatan kelelahan, kecemasan, dan kekurangan
udara pada pasien
o. catat perubahan pada saturasi O2, volume tidal akhir
CO2, dan perubahan nilai analisa gas darah dengan
tepat
p. monitor kemampuan batuk efektif pasien
q. catat onset, karakteristik, dan lamanya batuk
r. monitor sekresi pernapasan pasien
s. monitor secara ketat pasien-pasien yang berisiko
tinggi mengalami gangguan respirasi (misalnya,
pasien dengan terapi opioid, bayi baru lahir, pasien
dengan ventilasi mekanik, pasien dengan luka bakar
wajah dan dada, gangguan neuromuscular)
t. monitor keluhan sesak napas pasien, termasuk
kegiatan yang meningkatkan atau memperburuk
sesak napas tersebut
u. monitor suara serak dan perubahan suara tersebut
setiap jam pada pasien luka bakar
v. monitor suara krepitasi pada pasien
w. monitor hasil foto thoraks
x. buka jalan napas dengan menggunakan maneuver
chin lift atau jaw thrust dengan tepat
y. posisikan pasien miring kesamping,, sesuai indikasi
untuk mencegah aspirasi, lakukan teknik log roll,
jika pasien diduga mengalami cedera leher
z. berikan bantuan resusitasi jika diperlukan
aa. berikan bantuan terapi napas jika diperlukan
(misalnya, nebulizer)
Aminullah, A. 2002. Asfiksia Neonatorum. Dalam; Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, Jakarta, hal. 711.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: Elsevier.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses: Defenitions
and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). United States of America: Elsevier
Prihantoro, F. H. (2014). Hubungan kehamilan lewat waktu dan bayi prematur dengan
kejadian asfiksia neonatorum di Ruang Kebidanan RSUD Dr Arief Dadi Tjokrodipo
Bandar Lampung. Lampung: Universitas Lampung.
Puspitasari & Ayu, M. (2017) Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Bayi Baru Lahir Pada
Bayi. Ny. M Dengan Asfiksia Sedang Di Rs. Roemani Semarang. Diploma thesis,
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Tasmono, H. (2007). Distribusi Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya yang Diperiksa di
Instalasi Kedokteran Forensik RSSA. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang.