OLEH
KELOMPOK: 3
2022
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah suatu kondisi yang terjadi ketika bayi
tidak mendapatkan cukup oksigen selama proses kelahiran (Mendri &
Sarwo Prayogi, 2017).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat
bernapas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin
meningkatnya CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan
lebih lanjut (Jumiarni & Mulyati, 2016).
Asfiksia neonatorum merupakan kegagalan bayi baru lahir
untuk memulai dan melanjutkan pernafasan secara spontan dan
teratur. Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan hipoksia,
hiperkarbia dan asidosis. Asfiksia dapat terjadi karena kurangnya
kemampuan organ pernapasan bayi dalam menjalankan fungsinya, seperti
mengembangkan paru (Sudarti dan fauziah, 2013).
2. Etiologi
Pengembangan paru-paru neonatus terjadi pada menit-menit
pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernapasan teratur, bila
terjadi gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke
janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul
pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah kelahiran. Penyebab
kegagalan pernapasan pada bayi yang terdiri dari beberapa faktor, sebagai
berikut (Jumiarni & Mulyati, 2016) :
1. Faktor Ibu
Terdapat gangguan pada aliran darah uterus sehingga menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering dijumpai
pada gangguan kontraksi uterus misalnya preeklamsia dan eklamsi,
perdarahan abnormal (plasenta previa dan solusio plasenta), partus lama
atau partus macet, demam selama persalinan, infeksi berat (malaria, sifilis,
TBC, HIV), kehamilan postmatur (setelah usia kehamilan 42
minggu), penyakit ibu.
2. Faktor Plasenta
Faktor yang dapat menyebabkan penurunan pasokan oksigen ke bayi
sehingga dapat menyebabkanasfiksia pada bayi baru lahir antara lain
lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, prolapsus tali pusat.
3. Faktor Fetus
Gangguan ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbang,
tali pusat melilit leher, meconium kental, prematuritas, persalinan ganda.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi
dikarenakan oleh pemakaian obat seperti anestesi atau analgetika yang
berebihan pada ibu yang secara langsung dapat menimbulkan depresi
pada pusat pernapasan janin. Asfiksia yang dapat terjadi tanpa didahului
dengan tanda gejala gawat janin antara lain bayi prematur (sebelum 37
minggu kehamilan), persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi
kembar, distoria bahu), kelainan kongenital, air ketuban bercampur
mekonium.
3. Patofisiologi
Pembuluh darah arteriol yang ada di paru-paru bayi masih dalam
keadaan kontraksi dan hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat
melalui paru-paru sehingga darah dialirkan melalui duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta namun suplai oksigen melalui plasenta ini
terputus ketika bayi memasuki kehidupan ekstrauteri (Masruroh, 2016).
Hilangnya suplai oksigen melalui plasenta pada masa ekstrauteri
menyebabkan fungsi paru neonatus diaktifkan dan terjadi perubahan pada
alveolus yang awalnya berisi cairan kemudian digantikan oleh oksigen.
Proses penggantian cairan tersebut terjadi akibat adanya kompresi dada
(toraks) bayi pada saat persalinan kala II dimana saat pengeluaran kepala,
menyebabkan badan khususnya dada (toraks) berada dijalan lahir sehingga
terjadi kompresi dan cairan yang terdapat dalam paru dikeluarkan.
Setelah toraks lahir terjadi mekanisme balik yang menyebabkan
terjadinya inspirasi pasif paru karena bebasnya toraks dari jalan lahir,
sehingga menimbulkan perluasan permukaan paru yang cukup untuk
membuka alveoli. Besarnya tekanan cairan pada dinding alveoli membuat
pernapasan yang terjadi segera setelah alveoli terbuka relatif lemah, namun
karena inspirasi pertama neonatus normal sangat kuat sehingga mampu
menimbulkan tekanan yang lebih besar ke dalam intrapleura sehingga
semua cairan alveoli dapat dikeluarkan (Hall & Guyton, 2014). Selain itu,
pernapasan pertama bayi timbul karena ada rangsangan-rangsangan seperti
penurunan PO2 dan pH, serta peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan
pada sirkulasi plasenta, redistribusi curah jantung sesudah talipusat diklem,
penurunan suhu tubuh dan berbagai rangsangan taktil. Namun apabila
terjadi gangguan pada proses transisi ini, dimana bayi tidak berhasil
melakukan pernapasan pertamanya maka arteriol akan tetap dalam
vasokontriksi dan alveoli akan tetap terisi cairan. Keadaan dimana bayi
baru lahir mengalami kegagalan bernapas secara spontan dan teratur
segera setelah dilahirkan disebut dengan asfiksia neonatorum (Fida &
Maya, 2012). Gagal napas terjadi apabila paru tidak dapat memenuhi
fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan
pembuangan karbon dioksida. Proses pertukaran gas terganggu apabila
terjadi masalah pada difusi gas pada alveoli. Difusi gas merupakan
pertukaran antara oksigen dengan kapiler paru dan CO2 kapiler dengan
alveoli, proses difusi gas pada alveoli dipengaruhi oleh luas permukaan
paru, tebal membrane respirasi/ permeabelitas membran, perbedaan
tekanan dan konsentrasi oksigen dan afinitas gas.
4. Klasifikasi
Tabel APGAR SCORE
Klinis Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2
Warna Kulit Seluruh badan Warna kulit tubuh Warna kulit, tubuh
(Appearance) biru dan pucat normal merah muda, tangan dan kakik
tetapi tangan dan normal merah muda
kaki kebiruan tidak ada sianosis
Denyut jantung Tidak ada <100 x/menit >100 x/menit
(Pulse)
Respon reflex Tidak ada respon Meringis atau Meringis atau bersin
(Grimace) terhadap stimulasi menangis lemah atau batuk saat
ketika distimulasi stimulasi saluran
nafas
Tonus otot Lemah atau tidak Sedikit gerakan Bergerak aktif
(Activity) ada
Pernapasan Tidak ada Lemah atau tidak Merah seluruh
(Respiration) teratur tubuh, menangis
kuat, pernafasan
baik dan teratur.
Pemantauan nilai APGAR pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai APGAR 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5
menit sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir
bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor APGAR).
Asfiksia neonatorum di klasifikasikan (Fida & Maya, 2012) :
1). Asfiksia Ringan (vigorus baby)
Skor APGAR 7-10, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100 x/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
2). Asfiksia Sedang (mild moderate asphyksia)
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100 x/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3). Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung kurang dari 100 x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan
kadangkadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada asfiksia dengan
henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10
menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post
partum, pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat.
Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Asfiksia biasanya merupakan akibat dari hipoksia janin yang
menimbulkan tanda :
a. Denyut jantung janin lebih dari 100x/menit atau dari 100
x/menit
b. Apnea
c. Pucat
d. Sianosis
e. Penurunan terhadap stimulus
5. Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum
Selain dari beberapa kondisi yang telah disebutkan, terdapat faktor
risiko lain yang perlu diketahui dan diwaspadai, yaitu antara lain
1. Bayi prematur.
2. Bayi yang lahir dari ibu penderita preeklampsia atau diabetes mellitus.
3. Berat lahir bayi yang rendah.
4. Faktor usia sang ibu (di bawah 16 tahun atau di atas 40 tahun).
5. Akses perawatan prenatal dan postnatal yang kurang seperti di negara-
negara berkembang.
6. Pathway
Menghambat
pertukaran gas antara
ibu dan janin
ASFIKSIA
Risiko
Perfusi Cedera
perifer tidak
efektif
7. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis pada asfiksia adalah sebagai berikut :
1) Pada kehamilan
Denyut jantung lebih cepat dari 100 x/ menit atau kurang dari 100
x/menit, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran meconium
a. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
b. Jika DJJ 160 x/menit ke atas dan ada mekonium : janin
sedang asfiksia
c. Jika DJJ 100 x/menit ke bawah ada mekonium : janin dalam
gawat
2) Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolic dan respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multi organ
g. Jika sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala
neurologic seperti kejang, nistagmus, menangis kurang baik atau
tidak menangis
h. Bayi tidak bernapas, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit
sianosis, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap reflex
rangsangan.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) pemeriksaan diagnostik yang
dilakukan pada pasien asfiksia berupa pemeriksaan :
1). Analisa Gas Darah (AGD).
2). Elektrolit Darah.
3). Gula Darah.
4). Baby gram (RO dada).
5). USG (kepala).
9. Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada asfiksia neonatorum:
1) Membersihkan jala nafas dengan menghisap lendir dengan
menggunakan kasa steril.
2) Potong tali pusat dengan teknik aseptik dan antiseptik.
3) Apabila bayi tidak menangis lakukan rangsangan tartil dengan
cara menepuk nepuk kaki, mengelus-elus dada, perut atau punggung.
Jika bayi masih belum menangis setelah dilakukan rangsangan tartil
maka lakukan nafas buatan mulut ke mulut atau dengan ventilasi
tekanan positif. Dengan langkah – langkah ventilasi :
a. Pasangan sungkup, perhatikan lekatan.
b. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada
bayi.
c. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali
dengan tekanan 20 cm air dalam 30 detik.
d. Penilaian apakah bayi menangis atau bernapas spontar teratur atau
tidak.
4) Pertahankan suhu tubuh agar tidak memperburuk keadaan
asfiksia dengan cara:
a. Membungkus bayi dengan kain hangat.
b. Badan bayi harus dalam keadaan kering.
5) Jangan mandikan bayi dengan air dingin, gunakan minyak atau
baby oil untuk membersihkan tubuhnya.
6) Kepala bayi ditutup dengan kain
7) Apabila nilai apgar pada menit ke lima sudah baik (7-10) lakukan
perawatan selanjutnya, yaitu dengan cara :
a. Membersihkan badan bayi
b. Perawatan tali pusat.
c. Pemberian ASI sedini mungkin dan adekuat.
d. Memasang pakaian bayi.
e. Memasang penenang (tanda pengenal) bayi
Penanganan asfiksia neonatorum, ada beberapa metode yang dapat
dilakukan baik sebelum persalinan berlangsung atau sesudahnya :
1. Pemberian Oksigen Tambahan
Pada ibu hamil sebelum persalinan akan diberikan oksigen tambahan yang
bertujuan agar oksigenasi bayi dapat meningkat sebelum kelahirannya.
2. Operasi Caesar
Untuk mencegah persalinan yang memakan waktu lama atau menghindari
kesulitan pada proses ini, dokter akan sangat merekomendasikan prosedur
bedah caesar.
3. Ventilator
Bantuan pernafasan berupa ventilator akan membantu bayi untuk bernafas
dengan lebih baik. Jika masih memungkinkan, dokter segera
memasangnya pada bayi yang baru lahir dengan kondisi positif asfiksia
neonatorum
4. Resusitasi Neonatus
Metode menghangatkan bayi, kemudian mengeringkannya atau
memberikan rangsang taktil adalah salah satu cara memberikan
pertolongan bagi bayi dengan gejala asfiksia neonatorum. Bayi yang
mendapatkan kehangatan cukup maka akan terhindar dari gejala dan
komplikasi yang lebih buruk.
5. Pemantauan Tekanan Darah dan Asupan Cairan
Pemantauan terhadap tekanan darah bayi tetap , mengawasi kecukupan
asupan cairan pada bayi di mana kedua cara ini adalah sebagai cara
memastikan apakah bayi memperoleh oksigen memadai.
6. Perawatan Pencegah Kejang
Asfiksia neonatorum pun dapat mengakibatkan bayi mengalami kejang
sehingga menghindarkan risiko kejang dengan beberapa metode
penanganan. Pemberian magnesium, obat anti-inflamasi, allopurinal (obat
penurun kadar asam dalam tubuh), hingga vitamin tertentu akan
dilakukan.
10. Komplikasi
Dampak asfiksia berat pada organ adalah sebagai akibat dari
vasokonstriksi setempat untuk mengurangi aliran darah ke organ yang
kurang vital seperti saluran cerna, ginjal, otot, dan kulit agar penggunaan
oksigen berkurang, sedangkan aliran darah ke organ vital seperti otak dan
jantung meningkat. Organ yang mengalami kerusakan adalah:
a. Susunan saraf pusat
ditandai gelisah, iritabel, tonus otot masih normal, hiperrefleksi,
takikardi, sekresi saluran napas berkurang, motilitas gastrointestinal
menurun, pupil dilatasi, belum terjadi kejang. Stadium 2 (sedang)
ditandai letargi, hipotoni, refleks melemah, kelemahan otot daerah
proksimal, bradikardi, sekresi saluran napas berlebihan, motilitas
gastrointestinal meningkat, pupil miosis, dan terjadi kejang. Pada
stadium 3 (berat) ditandai stupor dan flaksid, hiporefleksi, refleks
moro menghilang, pupil anisokor, refleks pupil menurun, suhu tidak
stabil, dan kejang berulang.
b. Sistem Pernapasan
Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita
asfiksia neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa
teori mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung
hipoksia dan iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya
disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas
oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi
mekonium.
c. Sistem kardiovaskular
Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi
miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi
miokardium terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan
kerusakan sel miokard terutama di daerah subendokardial dan otot
papilaris kedua bilik jantung. Pada penelitian terhadap 72 penderita
asfiksia hanya 29% bayi yang menderita kelainan jantung. Kelainan
yang ditemukan bersifat ringan berupa bising jantung akibat
insufisiensi katup atrioventrikuler dan kelainan ekokardiografi khas
yang menunjukkan iskemia miokardium. Kelainan jantung lain yang
mungkin ditemukan pada penderita asfiksia berat antara lain gangguan
konduksi jantung, aritmia, blok atrioventrikuler dan fixed heart rate.
d. Sistem urogenital
Perinatal hipoksemia menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal
akibat vasokonstriksi renal dan penurunan laju filtrasi glomerulus.
Selain itu juga terjadi aktivasi sistem renin angiotensin-aldosteron dan
sistem adenosin intrarenal yang menstimulasi pelepasan katekolamin
dan vasopresin. Semua ini akan mengganggu hemodinamik
glomerular.
e. Sistem gastrointestinal
Kelainan saluran cerna ini terjadi akibat radikal bebas oksigen yang
terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan
koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus.
Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang
bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan intoleransi
makanan, atau adanya darah dalam residu lambung sampai kelainan
perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikan, kolestasis dan
nekrosis hepar.
11. Pencegahan
1) Pencegahan secara Umum
Pencegahan terjadinya asfiksia neonatorum adalah dengan
menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia.
Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi
saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Dibutuhkan
kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait karena
upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan
satu intervensi saja. Penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita adalah
akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah,
kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya.
2) Pencegahan saat persalinan
Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus adalah
penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Yang harus diperhatikan antara lain:
a. Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit, serta
pemberian pituitarin dalam dosis tinggi.
b. Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan berikan
oksigen dan darah segar.
c. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan jangan
menunggu lama pada kala II
Fida, & Maya. (2012). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak (1st ed; V. Hany, Ed.).
Yogyakarta: Diva Press.
Hall, & Guyton. (2014). Huyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (M
Widjajakusumah & Antonia Tanzil, Ed.). Elsevier (Singapore): Pte Ltd.
Masruroh. (2016). Buku Ajar Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal (1st ed.).
Yogyakarta: Nuha Medika.
Mendri, N. K., & Sarwo Prayogi, A. (2017). Asuhan Keperawatan pada Anak
Sakit dan Bayi Resiko Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press
Sembiring. (2017). Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah.
Yogyakarta: Deepublish.
Sudarti & Fauziah, A. 2013. Asuhan Kebidanan Neonatus Risiko Tinggi dan
Kegawatan.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia