1. Definisi Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan (Asuhan Persalinan Normal, 2007). Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul (Prawirohardjo, 2010). 2. Etiologi / Penyebab Asfiksia Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini (Manuaba, 2010) : a. Faktor ibu - Preeklampsia dan eklampsia. - Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta). - Partus lama atau partus macet. - Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV). - Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan). b. Faktor Tali Pusat - Lilitan tali pusat. - Tali pusat pendek. - Simpul tali pusat. - Prolapsus tali pusat. c. Faktor Bayi - Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan). - Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep). - Kelainan bawaan (kongenital). - Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan). Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya tindakan resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali atau (sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu, penolong harus selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan. 3. Perubahan Patofiologis dan Gambaran Klinis Pernafasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode apnu disertai dengan penurunan frekuensi. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan TD. Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya : a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung. b. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot jantung. c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan (Buku Ajar IKA ,2005). Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia (Sarwono, 2010) : 1. Tidak bernafas atau bernafas megap-megap. 2. Warna kulit kebiruan. 3. Kejang. 4. Penurunan kesadaran. 5. DJJ lebih dari 16Ox/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur. 6. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala 4. Diagnosis Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia / hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu (Wiknjosastro, 2008) : a. Denyut jantung janin Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan lebih- lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. b. Mekonium dalam air ketuban Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah. c. Pemeriksaan pH darah janin Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH- nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia. 5. Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi, menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan. Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting, yaitu (Winkjosastro,2008) : a. Penafasan Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan auskultasi jika perlu. Kali adanya pola pernapasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, napas tersenggal, atau mendengur. Tentukan apakah pernapsannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau tidak ada sama sekali. b. Denyut jantung Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasikan denyut aspeks atau merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali permenit. Angka ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan. Catatan : bayi dengan frekuensi jantung <60, khususnya bayi tanpa frekuensi jantung, membutuhkan pendekatan yang lebih darurat. Awalnya, curah jantung mungkin tidak mampu mencukupi perfusi arteri koroner, sampai pada akhirnya tidak mampu sama sekali, walaupun dilakukan ventilasi. c. Warna kulit Kaji bibir dan lidah bayi yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi yang pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi bewarna merah mudah, biru atau pucat. Ketiga observasi ini dikenal sebagai komponen skor APGAR. Dua komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan. 6. Klasifikasi Asfiksia Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan positif (VTP). Aspek yang di nilai SKOR 0 1 2 Apperance (Warna Biru Seluruh Ekstremitas Merah Seluruh Kulit) Kebiruan Pulse (Denyut Nadi) Tidak ada < 100 >100 Grimace (Reflek) Tidak Ada Respon Reflek Menangis Activity (Tonus Otot) Lemah Sedikit Reflek Gerak Aktif Respiration Tidak ada Megap- Menangis Kuat (pernafasan) Megap,Merintih
Klasifikasi Asfiksia menurut Winjaksastro terbagi tiga :
1. Bayi Normal atau tidak asfiksia : Skor APGAR 8-10. Bayi normal tidak memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen secara terkendali. 2. Asfiksia Ringan : Skor APGAR 5-7. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan tindakan istimewa tidak memerlukan pemberian oksigen dan tindakan resusitasi 3. Asfiksia Sedang : Skor APGAR 3-4. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi serta pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas normal. 4. Asfisia Berat : Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus dikalbonas 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan , dan cairan glukosa 40% 1-2ml/kg berat badan, diberikan via vena umbilika . Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. 7. Penatalaksanaan Asfiksia 1) Persiapan resusitasi BBL a. Persiapan tempat resusitasi meliputi : - Gunakan ruang yang hangat dan terang. - Tempat resusitasi hendaknya datar, rata, keras, bersih, kering dan hangat misalnya meja, dipan atau diatas lantai beralas tikar. Sebaiknya dekat pemancar panas dan tidak berangin (jendela atau pintu yang terbuka). Untuk sumber pemancar panas gunakan lampu 60 watt atau lampu petromak. Nyalakan lampu menjelang persalinan. b. Persiapan alat resusitasi - Kain ke-1 untuk mengeringkan bayi. - Kain ke-2 untuk menyelimuti bayi. - Kain ke-3 untuk ganjal bahu bayi. Ganjal bahu bisa dibuat dari kain (kaos, selendang, handuk kecil), digulung setinggi 3 cm dan bisa disesuaikan untuk mengatur posisi kepala bayi agar sedikit tengadah. - Alat penghisap lender De Lee atau Bola karet. - Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup. - Kotak alat resusitasi. - Sarung tangan. - Jam atau pencatat waktu. c. Persiapan Diri - Memakai alat pelindung diri pada persalinan (celemek, masker, penutup kepala, kaca mata dan sepatu tertutup). - Lepaskan perhiasan, cincin dan jam tangan sebelum mencuci tangan. - Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau dengan campuran alkohol dan gliseril. - Keringkan dengan kain atau tisu bersih. - Selanjutnya gunakan sarung tangan sebelum menolong persalinan. 2) Tahap I: Langkah Awal a) Jaga bayi tetap hangat. b) Letakkan bayi diatas kain yang ada diatas perut ibu. c) Selimuti bayi dengan kain tersebut, dada dan perut tetap terbuka, potong tali pusat. d) Pindahkan bayi keatas kain di tempat resusitasi yang datar, rata, keras, bersih, kering dan hangat. e) Jaga bayi tetap diselimuti dan dibawah pemancar panas. f) Atur posisi bayi. g) Baringkan bayi terlentang dengan kepala didekat penolong. h) Posisikan kepala bayi pada posisi menghidu dengan pengganjal bahu, sehingga kepala sedikit ekstensi. i) Isap lender menggunakan selang De Lee mulai dari mulut dengan kedalaman 5cm dan kemudian hidung dengan kedalaman 3cm. j) Keringkan dan rangsang bayi k) Atur kembali posisi bayi l) Lakukan penilaian bayi. Lakukan penilaian apakah bayi bernafas normal, tidak bernafas atau megap-megap. Bila bayi bernafas normal, lakukan asuhan pasca resusitasi. Tapi bila bayi tidak bernafas normal atau megap-megap, mulai lakukan ventilasi bayi. 3) Tahap II: Ventilasi Ventilasi adalah tahapan tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah volume udara ke dalam paru-paru dengan tekanan positif untuk membuka alveoli paru bayi agar bisa bernafas spontan dan teratur. a. Pasang sungkup dengan menutupi dagu, mulut dan hidung. b. Ventilasi 2 kali 1. Lakukan peniupan / pompa dengan tekanan 30 cm air. Tiupan awal tabung- sungkup / pompaan awal balon-sungkup sangat penting untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa mulai bernafas dan menguji apakah jalan nafas bayi terbuka. 2. Lihat apakah dada bayi mengembang. Saat melakukan tiupan atau pompaan perhatikan apakah dada bayi mengembang. Bila tidak mengembang: a) Periksa posisi sungkup dan pastikan tidak ada udara yang bocor. b) Periksa posisi kepala, pastikan posisi sudah ektensi. c) Periksa cairan atau lendir dimulut. Bila ada lendir atau cairan lakukan penghisapan. 3. Lakukan tiupan 2 kali dengan tekanan 30 cm air (ulangan), bila dada mengembang, lakukan tahap berikutnya. c. Ventilasi 20 kali dalam 30 detik Lakukan tiupan dengan tabung dan sungkup atau pemompaan dengan balon dan sungkup sebanyak 20 kali dalam 30 detik sampai bayi mulai menangis dan bernafas spontan, jika bayi mulai bernafas spontan atau menangis, hentikan ventilasi bertahap: 1. Lihat dada apakah ada retraksi dinding dada bawah. 2. Hitung frekuensi nafas permenit a. Jika bernafas >40 per menit dan tidak ada retraksi berat: - Jangan ventilasi lagi. - Letakkan bayi dengan kontak kulit ke kulit pada dada ibu dan lanjutkan asuhan bayi baru lahir. - Pantau setiap 15 menit untuk pernafasan dan kehangatan. - Katakan pada ibu bahwa bayinya kemungkinan besar akan membaik. - Lanjutkan asuhan pasca resusitasi. - Jika bayi megap-megap atau tidak bernafas, lanjutkan ventilasi. d. Ventilasi setiap 30 detik hentikan dan lakukan penilaian ulang nafas. Hentikan ventilasi setiap 30 detik, lakukan penilaian bayi apakah bernafas, tidak bernafas atau megap-megap: - Jika bayi sudah mulai bernafas spontan, hentikan ventilasi bertahap dan lakukan asuhan pasca resusitasi . - Jika bayi megap-megap atau tidak bernafas, teruskan ventilasi 20 kali dalam 30 detik kemudian lakukan penilaian ulang nafas tiap 30 detik. - Siapkan rujukan jika bayi belum bernafas spontan sesudah 2 menit resusitasi. - Lanjutkan ventilasi sambil memeriksa denyut jantung bayi 4) Tahap III: Asuhan Pasca Resusitasi Setelah tindakan resusitasi, diperlukan asuhan pasca resusitasi yang merupakan perawatan instensif selama 2 jam pertam. Penting sekali pada tahap ini dilakukan BBL dan pemantauan sera intensif serta pencatatan. 1. Pemantauan tanda-tanda bahaya pada bayi a. Tidak dapat menyusu. b. Kejang. c. Mengantuk atau tidak sadar. d. Nafas cepat (>60 kali permenit). e. Merintih. f. Retraksi dinding dada bawah. g. Sianosis sentral. 2. Pemantauan dan perawatan tali pusat a. Memantau perdarahan tali pusat. b. Menjelaskan perawatan tali pusat. c. Bila nafas bayi dan warna kulit normal, berikan bayi kepada ibunya. d. Meletakkan bayi di dada ibu (kulit ke kulit), menyelimuti keduanya. e. Membantu ibu untuk menyusui bayi dalam 1 jam pertama. f. Menganjurkan ibu untuk mengusap bayinya dengan kasih saying 3. Pencegahan hipotermi a. Membaringkan bayi dalam ruangan >250 C bersama ibunya. b. Mendekap bayi dengan lekatan kulit ke kulit sesering mungkin. c. Menunda memandikan bayi sampai dengan 6-24 jam. d. Menimbang berat badan terselimuti, kurangi berat selimut e. Menjaga bayi tetap hangat selama pemeriksaan, buka selimut bayi sebagian- sebagian. 8. Komplikas Asfiksia a. Edema otak & Perdarahan otak Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak. b. Anuria atau oliguria Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia padapembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit. c. Kejang Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif. d. Koma Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.