2. Etiologi
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah
uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam
rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru
lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi berikut ini:
a. Faktor ibu
1) Preeklampsia dan eklampsia
2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
3) Partus lama atau partus macet
4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
b. Faktor Tali Pusat
1) Lilitan tali pusat
2) Tali pusat pendek
3) Simpul tali pusat
4) Prolapsus tali pusat
c. Faktor Bayi
1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
3) vakum, ekstraksi forsep)
4) Kelainan bawaan (kongenital)
5) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi untuk
menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka hal itu harus
dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya tindakan
resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali atau (sepengetahuan
penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu, penolong harus
selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan.
3. Patofisiologi
Segera setelah lahir bayi akan menarik napas yang pertama kali (menangis), pada saat ini
paru janin mulai berfungsi untuk resoirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan
cairan yang ada didalam alveoli akan meninggalkan alveli secara bertahap. Bersamaan dengan
ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah ke dalam paru meningkat secara memadai.
Bila janin kekurangan O₂ dan kadar CO₂ bertambah , maka timbullah rangsangan terhadap
nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O₂ terus
berlangsung maka nervus vagus tidak dapat di pengaruhi lagi. Timbullah kini rangsangan dari
nervu simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan akhirnya ireguler dan menghilang.
Janin akan mengadakan pernapasan intrauterine dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak
air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin
lahir, alveoli tidak berkembang.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernapasan yang dalam, denyut jantung terus
menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas. Pernapasan
makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu
sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O₂ dalam darah (PaO₂) terus menurun. Bayi
sekarang tidak dapat bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya
pernapasan secara spontan.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantungcmulai menurun
sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki
periode apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut
jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas
(flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki perioode apneu
sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah
(PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan
menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan
pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.
4. Klasifikasi Asfiksia
Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration) asfiksia
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu (Nurarif & Kusuma, 2013):
a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-32.
b. Asfiksia sedang dengan nilai APGAR 4-63.
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia (asfiksia ringan) dengan nilai APGAR 7-9
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
5. Manifestasi Klinis
a. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt, halus dan
ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
lOMoARcPSD|25621182
Tanda 0 1 2 Jumlah
Frekuensi Tidak ada Kurang dari Lebih dari
jantung 100 x/menit 100 x/menit
Usaha bernafas Tidak ada Lambat, Menangis
tidak teratur kuat
Tonus otot Lumpuh Ekstremitas Gerakan
/lemas fleksi sedikit aktif
Refleks Tidak ada Gerakan Menangis
respon sedikit batuk
Warna Biru / Tubuh: Tubuh dan
pucat kemerahan, ekstremitas
ekstremitas: kemerahan
biru
Keterangan:
Apgar Skor : 7-10; bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan Tindakan istimewa
Apgar Skor 4-6; (Asfiksia Neonatorum sedang); pada pemeriksaan fisik akan terlihat
frekuensi jantung lebih dari 100 X / menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek
iritabilitas tidak ada
Apgar Skor 0-3 (Asfiksia Neonatorum berat); pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung kurang dari 100 X / menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang
pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan O2 selama kehamilan/persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian.
Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat badan dan
lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan suatu periode appnoe,
disertai penurunan frekuensi jantung.
6. Komplikasi
a. Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga
terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan
ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema
otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
b. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini
dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan
perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke
organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan
pengeluaran urine sedikit.
c. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran
CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak
efektif.
d. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menye- babkan koma
karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari :
1) Hb (normal 15-19 gr%), biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb cenderung turun
karena O2 dalam darah sedikit.
2) Leukositnya lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct) karena bayi
preterm imunitas masih rendah sehingga resiko tinggi.
3) Trombosit (normal 350 x 10 gr/ct).
4) Distrosfiks pada bayi preterm dengan pos asfiksi cenderung turun karena sering
terjadi hipoglikemi.
b. Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksi terdiri dari :
1) pH (normal 7,36-7,44). Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis metabolik.
2) pCO2 (normal 35 – 45 mmHg). Kadar pCO2 pada bayi post asfiksia cenderung
naik sering terjadi hiperapnea.
3) pO2 (normal 75-100 mmHg). Kadar pO2 bayi post asfiksia cenderung turun
karena terjadi hipoksia progresif.
4) HCO3 (normal 24-28 mEq/L)
c. Urine
1) Nilai serum elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :
2) Natrium (normal 134-150 mEq/L)
3) Kalium (normal 3,6-5,8 mEq/L)
4) Kalsium (normal 8,1-10,4 mEq/L)
d. Foto thorax
1) Pulmonal tidak tampak gambaran, jantung ukuran normal.
8. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi suportif
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang
bertujuan untuk rnempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa
yang mungkin muncul. Tindakan resusiksi bayi baru tahir mengikuti tahap tahapan-
tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi :
1) Memastikan saluran nafas terbuka :
a. Meletakkan bayi pada posisi yang benar.
b. Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trakea
c. Bila perlu masukkan ET untuk memastikan pernafasan terbuka
2) Memulai pernapasan :
a. Lakukan rangsangan taktil
b. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
c. Mempertahankan sirkulasi darah (Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah
dengan cara kompresi dada atau bila perlu menggunakan obatobatan)
d. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah elektrolit) Cara resusitasi
dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus :
1) Tindakan Umum
a. Pengawasan suhu
b. Pembersihan jalan nafas
c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
2) Tindakan Khusus
Tindakan ini dikerjakan setelah tindakan umum diselenggarakan tanpa hasil
prosedur yang dilakukan disesuaikan dengan beratnya asfiksia yang timbul pada
bayi, yang dinyatakan oleh tinggi-rendahnya Apgar.
a. Asfiksia berat (nilai Apgar 0 – 3)
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan langkah utama memperbakti
ventilasi paru dengan pemberian 02 dengan tekanan dan intemitery cara terbaik
dengan intubasi endotrakeal lalu diberikan 02 tidak lebih dari 30 mmHg. Asfikasi
berat hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4
mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4 mEq/kgBB Kedua
obat ini disuntikan ke dalam intra vena perlahan melalui vena umbilikatis, reaksi
obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung.
Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3
kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan. Pernapasan atau
frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan & frekuensi
80-I00/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1 : 3
yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding torak.
Jika tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikorekrsi atau
gangguan organik seperti hernia diaftagmatika atau stenosis jalan nafas.
b. Asfiksia ringan – sedang (nilai Apgar 4 – 6)
Stimulasi agar timbul reflek pernafasan dapat dicoba bila dalam waktu 30-60
detik tidak timbul pernapaan spontary ventilasi aktif harus segera dilakukan.
Ventilasi sederhana dengan kateter 02 intranasal dengan filtrat 1-2 x/mnt, bayi
diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala. Kemudian dilakukan gerakan
membuka dan menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan
kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding
torak dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan spontan,
usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihehtikan jika hasil tidak dicapai
dalam 1-2 menit sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif secara tidak
langsung segera dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari
mulut ke rnulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventitasi dari mulut
ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan 02, ventilasi dilahirkan
dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang
mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhak jika setelah dilekukan
berberapa saat terjadi penurunan frekuensi jantung atau perbaikan tonus otot
intubasi endotrakheal harus segera dilahirkan, bikarbonas natrikus dan glukosa
dapat segera diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan
pernapasan teratur meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat.
b. Terapi Medikamentosa
1) Epinefrin
Indikasi:
a. Denyut jantung bayi < 60x/menit setelah paling tidak 30 detik dilakukan
ventilasi adekuat dan kompresi dada belun ada respon.
b. Sistotik
Dosis : 0,1-0,3 ml / kgBB dalam lanrtan I : 10.000 (0,1 mg – 0,03 mg / kgBB).
Cara : i.v atau endotakheal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu
2) Volume Ekspander
Indikasi:
a. Bayi baru lahir yang dilahirkan resusitasi rnengalami hipovolernia dan tidak
ada respon dengan resueitasi.
b. Hipovolemi kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis
diitandai dangan adanya pucat perfusi buruk, nadi kecil / lemah dan pada
resusitasi tidak memberikan respons yang adekuat.
Jenis Cairan :
a. Larutan laistaloid isotonis (NaCL 0,9, Ringer Laktat).
Dosis : dosis awal 10 ml / kgBB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat
diulang sampai menunjukkan respon klinis.
b. Transfursi darah gol O negatif jika diduga kehilangn darah banyak.
3) Bikarbonat
Indikasi:
a. Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahiryang mendapatkan resusitasi.
b. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
c. Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemi,
Harus disertai dengan pemerIksaan analisa gas darah dan kimia.
d. Dosis : 1-2 mEq/keBB atau 2 ml/kgBB (4,2%) atau 1 ml/kgBB (7’4%).
e. Cara : diencerkan dengan aqua bidest dan destrosa 5% sama banyak
diberikan secara i.v dengan kecepaten min 2 menit.
f. Efek sarnping : pada keadaan hiperosmolarita, dan kandungan CO2 dari
bikarbonat merusak furgsi miokardium dan otak.
4) Nalokson
Nalokson Hidroklorida adalah antagonis narkotik yang tidak rnenyebabkan
depresi pernapasan.
Indikasi:
a. Depresi psmapa$an pada bayi bam lahir yang ibunya menggunakan narkotik
4 jam sebelurn pmsalinan.
b. Sebelum diberikan nalokson, ventilasi harus adekuat dan stabil.
c. Jangan diberilm pada bayi brug lahir yang ibrmya baru dicurigai sebagai
pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanpa with drawl tiba-tiba
pada sebagian bayi.
d. Dosis : 0,1 mg/kgBB ( 0,4 mg/ml atau lmg/ml)
e. Cara : i.v endotrakheal atau bila perfusi baik diberikan i.m atau s.c
2. Penyimpangan KDM
Tali pusat
Plasenta (degenerasi (kompresi, lilitan
Maternal (hipotensi syok, anemia vaskuler, solusio tali pusat,
Uterus (aktivitas plasenta, pertumbuhan
maternal, penekanan hilangnya jelly
kontraksi, gangguan hypoplasia primer)
respirasi,malnutrisi, asidosis, wharton)
vaskuler)
Janin
(infeksi,anemia
janin,
sungsang)
Kerusakan otak
DJJ & TD ↓ sianosis
Daya tahan tubuh Napas cuping hidung,
masih rendah sianosis, hipoksia
Kematian bayi
GANGGUAN
Proses keluarga terhenti PERTUKARAN GAS
RISIKO
INFEKSI
RISIKO
Akral dingin RISIKO CEDERA
POLA NAPAS TERMOREGULASI
TIDAK TIDAK EFEKTIF
EFEKTIF
3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Pertukaran Gas
b. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
c. Pola Napas Tidak Efektif
d. Risiko Termoregulasi Tidak Efektif
e. Risiko Infeksi
f. Risiko Cedera
4. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan
karbondioksida pada membran 1. Dispnea menurun hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
2. Bunyi napas tambahan menurun 3. Monitor kemampuan batuk efektif
alveolus-kapiler.
3. Takikardia menurun 4. Monitor adanya produksi sputum
4. PCO2 membaik 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
Penyebab :
5. PO2 membaik 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
1. Ketidakseimbangan ventilasi-
6. pH arteri membaik 7. Auskultasi bunyi napas
perfusi
8. Monitor saturasi oksigen
2. Perubahan membran alveolus-
9. Monitor nilai analisa gas darah
kapiler.
10. Monitor hasil x-ray thoraks
Gejala tanda mayor Terapeutik :
Subjektif: 1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
1. Dispnea 2. Dokumentasikan hasil pemantaua
Objektif Edukasi :
1. PCO2 meningkat / menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. PO2 menurun 2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
3. Takikardia.
4. pH arteri meningkat/menurun.
5. Bunyi napas tambahan.
2. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas
keperawatan selama .... jam, maka Observasi
Definisi: Ketidakmampuan bersihan jalan napas meningkat 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
membersihkan sekret atau obstruksi dengan kriteria hasil: 2. Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling,
jalan nafas untuk mempertahankan jalan 1. Batuk efektif meningkat mengi, wheezing, ronchi kering)
nafas tetap paten. 2. Produksi sputum menurun 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
3. Mengi menurun Terapeutik
Penyebab : 4. Wheezing menurun 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
Fisiologis 5. Mekonium (pada neonatus) chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
1. Spasme jalan napas. menurun 2. Posisikan semi-fowler atau fowler
2. Hipersekresi jalan napas. 3. Berikan minum hangat
3. Disfungsi neuromuskuler. 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
4. Benda asing dalam jalan napas. 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
5. Adanya jalan napas buatan. 6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
6. Sekresi yang tertahan. endotrakeal
7. Hiperplasia dinding jalan napas. 7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
8. Proses infeksi . 8. Berikan oksigen, jika perlu
9. Respon alergi. Edukasi
10. Efek agen farmakologis (mis. 1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada
anastesi). kontraindikasi
Situasional 2. Ajarkan Teknik batuk efektif
1. Merokok aktif. Kolaborasi
2. Merokok pasif. 1. Kolaborasipemberian bronkodilator, ekspektoran, mukol
3. Terpajan polutan. itik, jika perlu.
3. Pola Napas Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas
keperawatan selama .... jam, maka Observasi
Definisi: Inspirasi dan/atau ekspirasi pola napas membaik dengan kriteria 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
yang tidak memberikan ventilasi hasil: 2. Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling,
adekuat 1. Dispnea menurun mengi, wheezing, ronchi kering)
2. Penggunaan otot bantu napas 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Penyebab : menurun Terapeutik
1. Depresi pusat pernapasan 3. Pemanjangan fase ekspirasi 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
2. Hambatan upaya napas (mis. nyeri menurun chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
saat bernapas, kelemahan otot 4. Frekuensi napas membaik 2. Posisikan semi-fowler atau fowler
pernapasan 5. Kedalaman napas membaik 3. Berikan minum hangat
3. Deformitas dinding dada. 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
4. Deformitas tulang dada 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
5. Gangguan neuromuskular. 6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
6. Gangguan neurologis (mis 7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
elektroensefalogram [EEG] positif, 8. Berikan oksigen, jika perlu
cedera kepala ganguan kejang). Edukasi
7. maturitas neurologis. 1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada
8. Penurunan energi. kontraindikasi
9. Obesitas 2. Ajarkan Teknik batuk efektif
10. Posisi tubuh yang menghambat Kolaborasi
ekspansi paru. 1. Kolaborasipemberian bronkodilator, ekspektoran, mukol
11. Sindrom hipoventilasi. itik, jika perlu.
12. Kerusakan inervasi diafragma
(kerusakan saraf CS ke atas).
13. Cedera pada medula spinalis.
14. Efek agen farmakologis.
15. Kecemasan.
Objektif
1. Penggunaan otot bantu pernapasa
2. Fase ekspirasi memanjang.
3. Pola napas abnormal (mis.
takipnea. bradipnea, hiperventilasi
kussmaul cheyne-stokes).
Gejala tanda minor
Subjektif:
1. Ortopnea
Objektif:
1. Pernapasan pursed-lip.
2. Pernapasan cuping hidung.
3. Diameter thoraks anterior—
posterior meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi menurun
8. Ekskursi dada berubah
4. Risiko Termoregulasi Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan Edukasi Pengukuran Suhu Tubuh
keperawatan selama .... jam, maka Observasi
Definisi: Beresiko mengalami termoregulasi membaik dengan 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
kegagalan mempertahankan suhu tubuh kriteria hasil: informa)
dalam rentang normal. 1. Menggigil menurun Terapeutik
2. Suhu tubuh membaik 1. Sediakan materi dan media Pendidikan Kesehatan
Faktor Risiko 3. Suhu kulit membaik 2. Jadwalkan Pendidikan Kesehatan sesuai kesepakatan
1. Cedera otak akut 3. Berikan kesempatan untuk bertanya
2. Dehidrasi 4. Dokumentasikan hasil pengukuran suhu
3. Pakaian yang tidak sesuai untuk Edukasi
suhu lingkungan 1. Jelaskan prosedur pengukuran suhu tubuh
4. Peningkatan area permukaan 2. Anjurkan terus memegang bahu dan menahan dada saat
tubuh terhadap rasio berat badan pengukuran aksila
5. Kebutuhan oksigen meningkat 3. Ajarkan memilih lokasi pengukuran suhu oral atau
6. Perubahan laju metabolisme aksila
7. Proses penyakit (mis: infeksi) 4. Ajarkan cara meletakkan ujung thermometer di bawah
8. Suhu lingkungan ekstrem blidah atau di bagian tengah aksila
9. Suplai lemak subkutan tidak 5. Ajarkan cara membaca hasil thermometer raksa dan/atau
memadai elektronik
10. Proses penuaan
11. Berat badan ekstrem
12. Efek agen farmakologis (mis:
sedasi)
2. Perubahan orientasi afektif 6. Sediakan pispot dan urinal untuk eliminasi di tempat
pertahanan tubuh 10. Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam kondisi
terkunci
8. Malnutrisi
11. Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan
9. Perubahan fungsi psikomotor
kebijakan fasilitas pelayanan Kesehatan
10. Perubahan fungsi kognitif
12. Pertimbangkan penggunaan alarm elektronik pribadi
atau alarm sensor pada tempat tidur atau kursi
13. Diskusikan mengenai latihan dan terapi fisik yang
diperlukan
14. Diskusikan mengenai alat bantu mobilitas yang sesuai
(mis: tongkat atau alat bantu jalan)
15. Diskusikan Bersama anggota keluarga yang dapat
mendampingi pasien
16. Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien,
sesuai kebutuhan
Edukasi
1. Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien
dan keluarga
2. Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk
selama beberapa menit sebelum berdiri
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Ners Indonesia. (2016). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Asfiksia Neonatorum.
Tersedia di https://ikatannersindonesia.wordpress.com/. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2018
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil, Edisi 1.
Jakarta : DPP PPNI.