Disusun Oleh :
Intan Karmila J2214901022
B. Etiologi
Etiologi secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas
atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan
atau segera setelah lahir.
1. Faktor ibu
a. Hipoksi ibu, oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat
hipoventilasi selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal
pernafasan, keracunan karbon monoksida, tekanan darah ibu yang
rendah.
b. Penyakit pembuluh darah yang menganggu aliran darah uterus,
kompresi vena kava dan aorta saat hamil, gangguan kontraksi uterus,
hipotensi mendadak akibat perdarahan, hipertensi pada penyakit
eklampsia.
c. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun Gravida empat
atau lebih.
2. Faktor plasenta
a. Plasenta tipis
b. Plasenta kecil
c. Plasenta tak menempel
d. Solusio plasenta
e. Perdarahan plasenta
3. Faktor janin / neonatus
a. Kompresi umbilikus
b. Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat
c. Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
d. Prematur
e. Gemeli
f. Kelainan congenital
g. Pemakaian obat anestesi
h. Trauma yang terjadi akibat persalinan
4. Faktor persalinan
a. Partus lama
b. Partus tindakan
C. Epidemiologi
Angka kematian bayi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh berat
bayi lahir rendah / BBLR (29%) dan asfiksia (27%). Asfiksia neonatorum
adalah kegagalan bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir
dengan nilai APGAR <7. Asfiksia dapat terjadi akibat BBLR. BBLR beresiko
mengalami kegagalan nafas yang akan menjadi asfiksia neonatorum, hal ini
dikarenakan oleh kurangnya surfaktan berdasarkan rasio lesitin atau
sfingomielin kurang dari 2, disamping itu pada BBLR pertumbuhan dan
perkembangan paru belum sempurna, otot pernafasan yang masih lemah dan
tulang iga yang masih melengkung sehingga bayi akan beresiko mengalami
asfiksia.
D. Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta.
Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional
dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan
terhadap nervus vagus sehingga DJJ terhadap nervus vagus sehingga DJJ
(Denyut Jantung Janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus
berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini
rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya
ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan
bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam
paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak
berkembang. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti,
denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang
secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika
berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan
terluhat lemas (flascid terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin
lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu
sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2)
terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak
akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi
jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.
(Aziz, 2009)
Pathway
E. Manifestasi klinis
1. Pada kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160x/mnt atau kurang dari
100x/mnt, halus dan ireguler adanya pengeluaran meconium.
a. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfksia
b. Jika DJJ 160x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfksia
c. Jika DJJ 100x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
2. Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala
neurologik : kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik / tidak
menangis.
F. Klasifikasi
1. Asfiksia ringan (Vigorous Baby)
Yaitu : APGAR skore : 7-10 dalam hal ini bayi dianggap sehat, tidak
memerlukan tindakan istimewa.
2. Asfiksia sedang (Mibel Moderete Asfiksia)
Yaitu : APGAR skore 4-6 pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung kurang dari 100 x/menit, tonus otot kurang baik, sianosis, refleks
iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia berat
Yaitu : APGAR skore 0-3 pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung <100 x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang pucat,
reflek iritabilitas tidak ada.
G. Farmakoterapi
1. Epinefrin. Pemberian epinefrin akan dilakukan bila frekuensi jantung
kurang dari 60x/mnt setelah melakukan ventilasi tekanan perifer (VTP)
secara efektif selama 30 detik dan dilanjutkan VTP serta kompresi dada
secara terkoordinasi selama 30 detik.
H. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Foto thorax
3. Urine
I. Penatalaksanaan medis
Tindakan untuk mengatasi asfksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru
lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Cara resusitasi dibagi dalam
tindakan umum dan tindakan khusus (Exva, 2009) :
1. Tindakan umum
a. Pengawasan suhu
b. Pembersihan jalan nafas
c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
2. Tindakan khusus
a. Asphyksia berat
Resusitasi akti! harus segera dilaksanakan, langkah utama
memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan dan
intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu diberikan O2
tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir selalu disertai
disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4 mEq/kgBB,
diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4 ml/kgBB.
b. Asfiksia sedang
Stimulasi agar timbul reflex pernafasan dapat dicoba, bila dalam
waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif
harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2
intranasal dengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi
dorsofleksi kepala. Kemudian dilakukan gerakan membuka dan
menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah
dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding
toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan
spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan
jika hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru
dengan tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan,
ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke
mulut atau dari ventilasi ke kantong kantong masker.
J. Komplikasi
Komplikasi ini meliputi beberapa organ :
1. Edema otak dan perdarahan otak
Pada penderita asfksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah
berlarut sehingga terjadi aliran darah ke otak yang menurun. Keadaaan ini
akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya
edema otak. Hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfksia.
Keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya
yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung
akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah
mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
3. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfksia akan mengalami gangguan pertukaran
gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan
kesulitan pengeluaran CO2. Hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak
tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfksia berat segera tidak ditangani akan
menyebabkan koma karena beberapa hal, diantaranya : hipoksemia dan
perdarahan pada otak. Sedangkan akibat tindakan dari pemakaian bag
and mask yang berlebihan dapat menyebabkan pneumotoraks, dimana
pada pengembangan paru yang berlebihan dapat menyebabkan al-eolus
pecah atau robekan pada mediastinum sehinga udara akan mengisi rongga
pleura / mediastinum.
K. Pengkajian fokus
1. Identitas klien
2. Riwayat kesehatan
3. Pemeriksaan fisik
4. Pemeriksaan penunjang
5. Penatalaksanaan medis
6. Analisa data
a. Pola nafas tidak efektif
Gejala dan tanda mayor :
L. Masalah keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif
a. Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x… diharapkan
pola nafas membaik dengan kriteria hasil :
Ventilasi semenit meningkat
Kapasitas vital meningkat
Diameter thorax anterior-posterior meningkat
Tekanan ekspirasi meningkat
Tekanan inspirasi meningkat
Dyspnea menurun
Penggunaan otot bantu nafas menurun
Pemanjangan fase ekspirasi menurun
Ortopnea menurun
Pernafasan pursed-lip menurun
Pernafasan cuping hidung menurun
Frekuensi nafas membaik
Kedalaman nafas membaik
Ekskursi dada membaik
b. Intervensi
Observasi :
Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik :
Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-till dan chin-lift
(jaw-trust jika curiga trauma servikal)
Posisikan fowler atau semi fowler
Berikan minum hangat
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
Keluarkan sumbatan benda padat dengan forcep McGill
Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu
2. Gangguan pertukaran gas
a. Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x… diharapkan
pertukaran gas meningkat dengan kriteria hasil :
Tingkat kesadaran meningkat
Dyspnea menurun
Bunti nafas tambahan menurun
Pusing menurun
Penglihatan kabur menurun
Diaphoresis menurun
Gelisah menurun
Nafas cuping hidung menurun
PCO2 membaik
PO2 membaik
Takikardia membaik
pH arteri membaik
Sianosis membaik
Pola nafas membaik
Warna kulit membaik
b. Intervensi
Observasi :
Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-stokes,biot, ataksik)
Monitor kemampuan batuk efektif
Monitor adanya produksi sputum
Monitor adanya sumbatan jalan nafas
Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Auskultasi bunyi nafas
Monitor saturasi oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray thorax
Terapeutik :
Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3. Termoregulasi tidak efektif
a. Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x… diharapkan
termoregulasi membaik dengan kriteria hasil :
Menggigil menurun
Kulit merah menurun
Kejang menurun
Akrosianosi menurun
Konsumsi oksigen menurun
Piloekresi menurun
Vasokontriksi perifer menurun
Kutis memorata menurun
Pucat menurun
Takikardi menurun
Takipnea menurun
Bradikardi menurun
Dasar kuku sianolik menurun
Hipoksia menurun
Suhu tubuh membaik
Suhu kulit membaik
Kadar glukosa darah membaik
Pengisian kapiler membaik
Ventilasi membaik
Tekanan darah membaik
b. Intervensi
Observasi :
Monitor suhu bayi sampai stabil (36,5 – 37,5 ℃)
Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam, jika perlu
Monitor tekanan darah, frekuensi pernafasan dan nadi
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia atau hipertermia
Terapeutik :
Pasang alat pemantau suhu continue, jika perlu
Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
Bedong bayi segera setelah lahir untuk mencegah kehilangan
panas
Masukan bayi BBLR kedalam plastic segera setelah lahir
Gunakan topi bayi untuk mencegah kehilangan panas pada bayi
baru lahir
Tempatkan bayi baru lahir dibawah radiant warmer
Pertahankan kelembapan incubator 50% atau lebih untuk
mengurangi kehilangan panas karena proses evaporasi
Atur suhu incubator sesuai kebutuhan
Hangatkan terlebih dahulu bahan-bahan yang akan kontak dengan
bayi
Hindari meletakkan bayi didekat jendela terbuka atau diarea
aliran pendingin ruangan atau kipas angin
Gunakan matras penghangat, selimut hangat, dan penghangat
ruangan untuk menaikkan suhu tubuh, jika perlu
Gunakan kasur pendingin, water circulating blankets, ice pack
atau gel ped dan intravascular cooling catheterization untuk
menurunkan suhu tubuh
Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
Edukasi :
Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan heat stroke
Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena terpapar udara dingin
Demonstrasikan teknik perawatan metode kanguru (PMK) untuk
bayi BBLR
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
M. Daftar pustaka
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Satuan Diagnosa Keperawatan Indonesia
cetakan III. Jakarta ; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Satuan Luaran Keperawatan Indonesia
cetakan II. Jakarta ; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Satuan Intervensi Keperawatan Indonesia
cetakan II. Jakarta ; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Ayu Wiadnyani Indah. Lp Asfiksia
Hardiyanti. Laporan pendahuluan Asfiksia