Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

ACUTE CORONARY SYNDROME DAN HEART


FAILURE

Disusun oleh:
Fildza Awwalia, dr.

Dibimbing oleh:
Zainuddin, dr., Sp.JP., FIHA, FAsCC

INTERNSIP RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI ASIH


PERIODE DESEMBER 2021 – FEBRUARI 2022
KOTA TANGERANG
PIDI PROVINSI BANTEN
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. AS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir/Usia : 21 Desember 1976 / 44 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Jalan Gotong Royong 5 002/001
Tanggal Masuk RS : 4 Desember 2021
No. Rekam Medik : 000575112

1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dan alloanamnesa dengan
pasien dan keluarga pasien pada 4 Desember 2021 di IGD RS Bhakti Asih
 Keluhan Utama:
Sesak nafas sejak beberapa jam sebelum masuk IGD RS.
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak beberapa jam
sebelum masuk IGD RS. Keluhan disertai adanya mudah lelah saat
beraktivitas, pasien mudah terbangun malam hari karena sesak dan tidur
dengan 2 bantal. Keluhan disertai adanya dada yang terasa panas pada
bagian tengah dada dan tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Keluhan
nyeri dada membaik ketika pasien beristirahat sejenak, namun kembali
terasa panas apabila beraktivitas. Tidak ada keluhan batuk, demam,
nyeri dada seperti ditekan dan menjalar ke pundak maupun lengan kiri,
bengkak kaki, mual, muntah, mulut pahit, kulit/mata yang menguning,
perubahan pada BAB/BAK maupun penurunan kesadaran.

2
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan tekanan darah
tinggi namun tidak mengingat obat-obat yang dikonsumsi.
 Riwayat Penyakit Keluarga:
Anggota keluarga tidak ada yang memiliki penyakit serupa
namun ibu pasien memiliki riwayat penyakit diabetes.
 Riwayat Pola Hidup:
Pasien makan 3 kali sehari berupa nasi dengan lauk pauk
ikan/ayam/daging dan sayur. Pasien memiliki kebiasaan mengonsumsi
makanan berkolesterol tinggi dan mengandung banyak garam serta
riwayat merokok >10 tahun.
Kesan: kuantitas makanan cukup baik, namun kualitas makanan masih
mengonsumsi makanan yang menimbulkan risiko untuk penyakit yang
dideritanya.
 Riwayat Sosial dan Ekonomi:
Pasien merupakan pegawai swasta. Pasien tinggal bersama
dengan istri dan ketiga anaknya. Ventilasi di rumah pasien cukup,
terdiri dari 4 jendela di ruang tamu dan 3 jendela di kamar tidur pasien.
Sinar matahari dapat masuk ke rumah pasien. Konsumsi air bersih
sehari hari menggunakan galon. Air bersih didapatkan dari PAM.
Pasien berobat dengan BPJS PBI.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : sakit berat
Kesadaran : E4 M6 V5 (compos mentis)
Tanda Vital
 Tekanan darah : 160/100 mmHg
 Laju nadi : 98 x/menit
 Laju nafas : 26 x/menit

3
 Suhu : 36.6 °C
 SpO2 : 99% room air

Antropometri dan Status Gizi


 Berat badan : 82 kg
 Tinggi badan : 167 cm
 BMI : 29.4
 Kesan : obese I
Status Generalis
 Kepala
Normocephal, distribusi rambut merata dan tidak mudah rontok
 Mata
Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor 2mm/2mm,
reflex cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+,
hiperemis -/-
 Telinga
Otorhea -/-, otalgia -/-, nyeri tekan tragus -/-, hiperemis -/-
 Hidung
Secret -/-, epistaksis -/-, nyeri tekan (-), pernapasan cuping hidung (-),
septum tidak ada kelainan
 Mulut dan tenggorok
Bibir simetris, sianosis bibir (-), lidah kotor (-), ulkus (-), stomatitis (-),
mukosa lembab, berwarna merah muda, bau pernafasan normal, tonsil
T1-T1, detritus (-), faring dan tonsil tidak hiperemis.
 Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), nuchal rigidity (-), tiroid tidak
membesar, JVP meningkat
 Thorax
Bentuk dan gerak simetris, retraksi dinding dada (-), iktus cordis tidak
terlihat dan teraba, ekspansi dada simetris, vocal fremitus kanan = kiri,

4
sonor kanan = kiri, suara nafas vesikuler kanan = kiri, rhonchi +/+,
wheezing -/-, bunyi jantung S1 S2 murni regular, murmur (-), gallop (-).

 Abdomen
Perut cembung, lembut/supel, diskolorasi (-), benjolan pada perut (-),
bising usus (+) normal, shifting dullness/ascites (-), defans muscular (-),
hepatosplenomegaly (-), nyeri tekan (-)
 Ekstremitas
Deformitas, akral hangat, CRT <2”, arteri dorsalis pedis teraba kuat,
sianosis -/-/-/-, edema -/-/-/-

1.4. Pemeriksaan Penunjang


EKG

Kesan: ST depresi lead I dan aVL

Pemeriksaan Darah

Hasil Nilai Referensi


Hemoglobin 14.2 10.7-14.7
Hematokrit 43.3 31-43
Leukosit 17.33 5.5-15.5
Platelet 291.000 150.000-450.000
Creatinine 1.21 1.3
e-GFR 72
Natrium 143 135-147
Kalium 3.38 3.5-5.5
Chlorida 97 95-105

5
Troponin T 1.013 <40

Rontgen Thorax

Kesan: CTR 0.6

Kesan: pemeriksaan EKG ditemukan adanya ST depresi pada lead I dan


aVL kesan UAP dd/ NSTEMI. Pada pemeriksaan darah didapatkan leukosit
yang meningkat serta pemeriksaan darah lanjutan di ruang perawatan
ditemukan adanya hipokalemia dan peningkatan Troponin T sebagai marka
jantung sehingga kesan menjadi NSTEMI.

1.5. Resume
Pasien laki-laki berusia 44 tahun datang ke IGD RSU Bhakti Asih
dengan keluhan sesak nafas sejak beberapa jam sebelum masuk RS.
Keluhan disertai adanya mudah lelah saat beraktivitas, pasien mudah
terbangun malam hari karena sesak dan tidur dengan 2 bantal. Keluhan
disertai adanya dada yang terasa panas pada bagian tengah dada dan tidak
dapat ditunjuk dengan satu jari. Keluhan nyeri dada membaik ketika pasien
beristirahat sejenak, namun kembali terasa panas apabila beraktivitas. Tidak
ada keluhan batuk, demam, nyeri dada seperti ditekan dan menjalar ke
pundak maupun lengan kiri, bengkak kaki, mual, muntah, mulut pahit,

6
kulit/mata yang menguning, perubahan pada BAB/BAK maupun penurunan
kesadaran. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung namun tidak
mengingat obat-obatan apa saja yang dikonsumi. Orang tua pasien memiliki
riwayat diabetes.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah meningkat,
peningkatan laju nafas, JVP meningkat, rhonchi pada kedua lapang paru,
akral hangat, CRT<2” dan tidak ada edema pada kedua tungkai. Pada
pemeriksaan EKG ditemukan adanya ST depresi pada lead I dan aVL. Pada
pemeriksaan darah rutin dalam batas normal sedangkan pada pemeriksaan
darah lanjutan menunjukkan adanya hipokalemia dan peningkatan marka
jantung Troponin T.

1.6. Diagnosis
Diagnosis Kerja : Acute Decompensated Heart Failure Wet and Warm
pada Congestive Heart Failure ec susp. CAD + HHD
+ NSTEMI + Hipokalemia
Diagnosis Banding : 1. Acute Decompensated Heart Failure Wet and
Warm pada Congestive Heart Failure ec susp.
CAD + HHD + NSTEMI + Hipokalemia
2. Acute Decompensated Heart Failure Wet and
Warm pada Congestive Heart Failure ec susp.
CAD + HHD + UAP + Hipokalemia

1.7. Tatalaksana
Non-medikamentosa:
o Rawat inap
o Evaluasi keadaan umum dan tanda vital tiap 2 jam
o Pasien dengan gagal jantung disarankan untuk memodifikasi gaya
hidup, termasuk penurunan berat badan jika kelebihan berat badan,
melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Appraches to
Stop Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil

7
sama dengan 2,4 gram /hari (6 gram/hari NaCl) serta melakukan
aktivitas fisik seperti aerobik
o Saat ini pasien disarankan untuk istirahat total dan mengurangi aktivitas
fisik agar serangan jantung tidak terjadi kembali.
Medikamentosa:
Tatalaksana di IGD:
o O2 non-rebreathing mask 10 lpm
o Lasix/furosemide 20mg/2mL ampule 1x2, IV
o Ranitidin 50mg/2mL ampule 1x1, IV

Advis untuk Tatalaksana di Ruang Perawatan:

o Bed rest dengan posisi semifowler


o O2 nasal canule 3 lpm, prn jika sesak
o ISDN 5 mg sublingual -> cedocard drips 2 mg/jam sampai diastole
turun 30 mmHg
o Lasix/furosemide 20 mg/2mL ampule extra 1x2, IV -> furosemide drips
5 mg/jam
o Clopidogrel 75 mg tablet 1x1
o Atorvastatin 20 mg tablet 1x1
o Spironolactone 20 mg tablet 1x1
o Levofloxacin 750 mg 1x1, IV

1.8. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

8
1.9. Follow-up

5/12/2021 6/12/2021
S: S:
o Sesak masih dirasakan o Sesak berkurang
o Nyeri dada (-)
O:
o KU : tampak sakit sedang O:
o Kesadaran: compos o KU : tampak sakit sedang
mentis (E4M6V5) o Kesadaran:
o Tanda vital : T: 118/85 mmHg compos mentis
o Status generalis : JVP (E4M6V5)
meningkat, Rh +/+, akral hangat, o Tanda vital : T: 108/88
CRT<2”, pitting edema tungkai mmHg
-/- o Status generalis : JVP
o EKG: ST depresi lead I dan aVL tidak meningkat, Rh +/+
minimal, pitting edema
tungkai -/- akral hangat
o Trop T: 1.013
o K+: 3.38
A: ADHF wet and warm pada CHF ec
susp CAD + HHD + UAP dd/ NSTEMI A: ADHF wet and warm pada CHF ec
susp CAD + HHD + NSTEMI +
Hipokalemia
P:
Non Medikamentosa
P:
o Rawat inap dan tatalaksana lanjutan

9
oleh Sp.JP Non Medikamentosa
o Monitor KU dan tanda vital per 4
o Monitor KU dan tanda vital per 4 jam
jam
o Monitor balance cairan
o Monitor balance cairan

Medikamentosa
Medikamentosa
o O2 NRM 10 lpm
o O2 NRM 10 lpm o Miniaspi 80 mg tablet 1x1
o Furosemide drips 5 mg/jam o Clopidogrel 75 mg tablet 1x1
o Clopidogrel 75 mg tablet 1x1 o Atorvastatin 20 mg tablet 1x1
o Atorvastatin 20 mg tablet 1x1 o Furosemide drips 5 mg/jam
o Spironolactone 20 mg tablet 1x1 o Arixtra 2.5 mg 1x1 inj subcutan
o Levofloxacin 750 mg 1x1, IV o Nitrokaf 2.5 mg tablet 2x1
o Laxadin syr 1xC1
o Diazepam 5 mg tablet 1x1
o Ramipril 2.5 mg tablet 1x1
o KSR 600 mg 3x1
o Spironolactone 20 mg tablet 1x1 ->
STOP
o Levofloxacin 750 mg 1x1, IV

7/12/2021
S: P:
o Sesak membaik Non Medikamentosa
o Nyeri dada (-) o Monitor KU dan tanda vital per 4 jam

o Monitor balance cairan


O:
Medikamentosa
o KU : tampak sakit sedang

10
o Kesadaran: compos mentis o O2 nasal canule 3 lpm
(E4M6V5) o Miniaspi 80 mg tablet 1x1
o Tanda vital : T: 110/70 mmHg o Clopidogrel 75 mg tablet 1x1
o Status generalis : JVP tidak o Atorvastatin 20 mg tablet 1x1
meningkat, Rh +/+ berkurang, o Furosemide drips 5 mg/jam
ascites (-), pitting edema tungkai o Arixtra 2.5 mg 1x1 inj subcutan
-/-, akral hangat o Nitrokaf 2.5 mg tablet 2x1 -> STOP
o Laxadin syr 1xC1
A: ADHF perbaikan + NSTEMI +
o Diazepam 5 mg tablet 1x1
Hipokalemia
o Ramipril 2.5 mg tablet 1x1
o KSR 600 mg 3x1
o Levofloxacin 750 mg 1x1, IV

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindroma Koroner Akut


2.1.1. Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) adalah gabungan gejala klinik yang
menandakan iskemia miokard akut, terdiri dari infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction=STEMI),
infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation
myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pektoris tidak stabil
(unsatble angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat,
berbeda hanya dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan
miokardium yang mengalami nekrosis.

12
2.1.2. Epidemiologi
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan penyakit paling sering,
serus dan mengancam jiwa di Amerika Serikat, dimana 13 juta orang
memiliki SKA dengan >6 juta orang mengalami kejadian angina pektoris
dan >7 juta orang memiliki infark miokard (STEMI/NSTEMI). Di Indonesia
dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi)
merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni
sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang
disebabkan oleh kanker (6%). Faktor genetik, diet tinggi kalori dan lemak,
kegemukan, resistensi insulin, merokok dan pola hidup tidak sehat memiliki
hubungan kuat dengan kejadian SKA.

2.1.3. Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya SKA dapat dikelompokkan kedalam dua
kelompok yaitu fakor risiko yang dapat di modifikasi dan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Sedangkan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi yaitu merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, dan
obesitas.
a) Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
- Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun.
Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya
mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap faktor-
faktor aterogenik.
- Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita
sampai menopause, setelah menopause kerentanannya menjadi sama
dengan pria. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause.

13
- Ras
Orang Amerika-Afrika lebih rentan tehadap aterosklerosis
daripada orang kulit putih.
- Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung
koroner (yaitu saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini
sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya
aterosklerosis prematur. Besarnya pengaruh genetik dan lingkungan
belum diketahui. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa
bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya,
seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat
pula mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya
hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.
b) Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
1) Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek
langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat
menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebakan
mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit
dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan
glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif
dinding arteri.
2) Dislipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam
lemak bebas) berasal dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak
endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipid yang
relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan
aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut
dalam plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama
lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling
tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya

14
akan trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL.
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya
risiko penyakit jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner,
sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik.
Rasio kadar LDL dan HDL dalam darah mempunyai makna klinis
untuk terjadinya aterosklerosis.
3) Diabetes mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL
dari sirkulasi akan di bawa ke hepar. Pada penderita diabetes
mellitus, degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi kolagen
meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang
berikatan dengan dinding vaskuler.
4) Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja
jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel
untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel
untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi
akhirnya terlampaui , terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi
semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan
oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak
mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung
lama bisa menjadi infark. Disamping itu, hipertensi dapat
meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekana
tinggi yang lama (endothelial injury).
5) Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor risiko yang berdiri sendiri,
karena pada umumnya selalu diikuti oleh faktor risiko lainnya.

15
c) Faktor pencetus
1) Hipertensi
Hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh
darah akibat tekanan tinggi yang lama dan kemungkinan terjadinya
rupturnya plak pada pembuluh darah.
2) Anemia
Anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke
jaringan, termasuk ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan
oksigen, jantung dipacu untuk meningkatkan cardiac ouput. Hal ini
mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung meningkat.
Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan
gangguan pada jantung.
3) Kerja fisik/olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen
terhadap jaringan dan miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis
mengakibatkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya
mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi infark.

2.1.4. Patogenesis
Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh
aterosklerosis arteri koroner. Untuk memahaminya secara komprehensif
diperlukan pengetahuan tentang patofisiologi iskemia miokardium. Iskemia
miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai
oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada arteri
koroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium. Contoh
lain, pada pasien dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan
frekuensi denyut jantung dapat menyebabkan terjadinya iskemi karena
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium, tanpa diimbangi kemampuan
untuk meningkatkan suplai oksigen ke miokardium. Jika terjadi

16
penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang
awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang
terkena, karena berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin
parah, akan terjadi kerusakan sel miokardium. Infark miokardium adalah
nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark miokardium dapat terjadi
nontransmural (terjadi pada sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada
semua lapisan).

Pembentukkan Plak Aterosklerotik


Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan
proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui
bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses
pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-
faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-
sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen
pembuluh darah.
1) Inisiasi proses aterosklerosis
Peran endotel aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak
di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung
terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA.
Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan
endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam
tunika intima, respons inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis.
Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses
aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan
merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan
kerusakan endotel. Faktor-faktor risiko ini dapat menyebabkan
kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel.
Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses
aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan

17
proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya
menyebabkan pertumbuhan plak.

Endotel yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai


berikut:
a) Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi
endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis
vaskuler
b) Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin,
molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah,
seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM-1])2,8 c.
Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa
substansi aktif lokal.

2) Proses aterosklerosis
Peran proses inflamasi Jika endotel rusak, sel-sel infl amatorik,
terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara
berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada
lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi
makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga
berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan
selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini
melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte
chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40,

18
dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan
merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh
darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat
terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika
media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk
kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti
lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks
metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler
dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.

3) Stabilisasi plak dan kecenderungan mengalami rupture


Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel
otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas
plak dan kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang
termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons
inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak
migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami
modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan
memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di
sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk
kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis
menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah
terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan
terbentuknya bekuan. Proses proinflamatorik ini menyebabkan

19
pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses
antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung
stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi
proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang
seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser
ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak
semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan
mengalami ruptur.

4) Disrupsi plak, thrombosis dan SKA


Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan
seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul
bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi
karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan
hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak
yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul
fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi
untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi
endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi.
Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan
agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan
dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan
trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi

20
plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini
diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi
trombosit.

2.1.5. Tanda dan Gejala


SKA merupakan suatu kontinuum. Gejala muncul apabila terjadi
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen jantung.
Angina stabil ditandai dengan adanya plak ateroskerosis dengan stenosis
permanen. Gejala klinis muncul apabila kebutuhan oksigen melebihi suplai
oksigen ke jantung (latihan, stres). Jika terjadi dalam jangka waktu lama,

21
biasanya didapatkan aliran darah kolateral yang signifikan. Angina tak-
stabil terjadi karena menurunnya perfusi ke jantung (disrupsi plak
menyebabkan terbentuknya trombus dan penurunan perfusi) atau
peningkatan kebutuhan oksigen (oxygen mismatch). Trombus biasanya
bersifat labil dengan oklusi tidak menetap. Pada angina tak stabil,
miokardium mengalami stres tetapi bisa membaik kembali. NSTEMI terjadi
bila perfusi miokardium mengalami disrupsi karena oklusi trombus
persisten atau vasospasme. Adanya trombolisis spontan, berhentinya
vasokonstriksi, atau adanya sirkulasi kolateral membatasi kerusakan
miokardium yang terjadi. Sedangkan STEMI terjadi bila disrupsi plak dan
trombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi iskemia transmural dan
nekrosis.

2.1.6. Diagnosis
a) Anamnesis
- Nyeri, yang biasanya digambarkan sebagai rasa berat, tekanan,
peras, atau sensasi terbakar di prekordium dan dapat menyebar ke
leher, bahu, rahang, punggung, perut bagian atas, atau kedua lengan.
Nyeri yang tidak dapat ditunjuk dengan satu jari melainkan
gambaran tangan atau genggaman tangan di dada (Levine’s sign).
- Nyeri bertahan selama >10 menit
- Onset yang baru terjadi (<2 minggu)
- Palpitasi
- Dispnea atau angina exertional dan emosional yang sembuh dengan
nyeri atau istirahat
- Mual akibat stimulasi vagal
- Memiliki faktor risiko yang mungkin mencetuskan SKA
b) Pemeriksaan fisik
- Hipotensi: Menunjukkan disfungsi ventrikel akibat iskemia miokard,
infark miokard (MI), atau disfungsi katup akut.

22
- Hipertensi: adanya angina atau mencerminkan kadar catecholamine
yang meningkat karena kegelisahan atau stimulasi sympathomimetic
eksogen.
- Diaphoresis
- Edema paru dan tanda-tanda gagal jantung kiri lainnya
- Distensi vena jugularis
- Kulit dingin, kulit keruh dan diaphoresis pada pasien dengan syok
kardiogenik
- Suara jantung ketiga (S3) dan, yang sering terdengar suara jantung
keempat (S4)
- Murmur sistolik berhubungan dengan penyumbatan dinamis saluran
keluar ventrikel kiri
- Rales pada pemeriksaan paru (sugestif disfungsi ventrikel kiri atau
regurgitasi mitral)
c) Pemeriksaan penunjang
- EKG: perubahan pada ST segment dan gelombang T
menggambarkan adanya gangguan pada ritme jantung atau konduksi
intraventrikel dan pembengkakan ventrikel kiri yang sugestif
mengarah kepada SKA. ST segment respon terhadap kondisi
iskemik menunjukkan adanya ST depresi flat atau downsloping
>0.1mV dibawah baseline. ST segmen upsloping atau junctional
tidak dipertimbangkan sebagai karakteristik iskemik. Ada pula pada
kejadian STEMI, pada tahap awal oklusi total akan memberikan
gambaran ST segment yang mengalami elevasi yang selanjutnya
akan menyebabkan evolusi gelombang Q.

23
- Laboratorium: memeriksakan faktor risiko seperti kadar kolesterol,
glukosa, kreatinin, tiroid dan lain-lain serta memeriksakan marka
jantung.

24
- Diagnositic imaging modalities: cardiac imaging (echocardiography)
apabila EKG resting/exercise tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan penjelasan diatas, perlu dibedakan untuk membedakan SKA


dengan infark miokard lama. Untuk mendiagnosa SKA diperlukan adanya
bukti adanya nekrosis miokardium dengan kriteria sebagai berikut.

25
2.1.7. Stratifikasi Risiko
Kemungkinan suatu keluhan atau gejala disebabkan oleh sindroma koroner
akut:

26
Kemungkinan besar Kemungkinan sedang Kemungkinan rendah (3)
(1) (2)
Terdapat salah satu di Tidak ada tanda (1), tapi Tidak ada tanda (1) dan
bawah ini terdapat hal di bawah ini (2), tapi terdapat hal di
bawah ini
Riwaya  Nyeri/rasa tidak  Nyeri atau rasa tidak  Keluhan yang mungkin
t enak di dada/tengah enak di dada atau disebabkan iskemia
kiri, pada penderita lengan kiri pada penderita yang
yang telah diketahui  Umur >70 tahun tidak menampakkan
angina infark  Laki-laki tanda-tanda
 Riwayat PJK,  Diabetes mellitus kemungkinan
termasuk infark menderita PJK
miokard akut  Baru menggunakan
kokain
Fisik Bising MR transient, Terdapat penyakit Nyeri dada pada palpasi
hipotensi, keringat vaskuler ekstra kardiak
banyak, edema paru, (karotis, aortik, perifer)
atau ronkhi basah
EKG Deviasi segmen ST Gelombang Q yang tetap T datar atau terbalik pada
(>0,05 mV) atau gel.T Segmen ST atau gel. T sadapan dengan R yang
terbalik (>0,2 mV) yang abnormal yang telah ada tinggi
baru atau diduga baru sebelumnya
yang disertai adanya
keluhan
Marka Meningkat Normal Normal
jantung

Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan


dan penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan
ini memerlukan terapi awal yang segera. Beberapa pendekatan untuk
stratifikasi telah tersedia. Salah satu sistem skoring yang sering digunakan
adalah TIMI Score (Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI). Skor
TIMI berbeda antara kasus STEMI (ST-elevation myocardial infarction)
dengan kasus NSTEMI (non ST-elevation myocardial infarction).

Pada kasus N-STEMI, sebelumnya kita perlu perhatikan tanda dan


gejala berupa: nyeri dada iskemi pada saat istirahat dalam 24 jam terakhir,
dengan disertai bukti penyakit jantung koroner (dapat berupa deviasi
segmen ST atau peningkatan penanda enzim jantung). Dalam menentukan
skor TIMI untuk kasus N-STEMI, informasi yang perlu digali adalah
sebagai berikut.

27
Sementara itu, untuk skoring TIMI pada kasus STEMI, kriteria sedikit
berbeda, yaitu: (sebelumnya, pertimbangkan tanda & gejala seperti: nyeri
dada >30 menit, ST elevasi, onset <6jam)

2.1.8. Tatalaksana
Tatalaksana meliputi komponen-komponen berikut.

28
1) Penjelasan mengenai keadaan dan rencana tatalaksana yang akan
dilakukan;
2) Identifikasi dan pengobatan mengenai faktor yang memperberat seperti
obesitas, hipertensi, hipertiroid, anemia maupun penyakit paru bertujuan
untuk mengatur kebutuhan dan suplai oksigen ke jantung;
3) Menyarankan untuk adaptasi aktivitas sesuai kondisi saat ini
4) Tatalaksana faktor risiko seperti diabetes melitus, hipertensi,
hyperlipidemia, obesitas, merokok dan lainnya;
5) Pertimbangan revaskularisasi

Terapi yang akan diberikan, sebagai berikut.


 Nitrat
Berperan dalam dilasi vascular dan mengurangi tekanan dan volume
end-diastolic dari ventrikel kiri sehingga mengurangi ketegangan
dinding miokardium dan mengurangi kebutuhan oksigen serta
meningkatkan aliran darah ke pembuluh darah collateral. Absorpsi
nitrat cepat dan sempurna melalui membrane mukosa, demikian alasan
nitrogliserin diberikan sublingual.

29
 β-adrenergic blocker
β-adrenergic blocker berperan dalam mengurangi kebutuhan oksigen
miokardium dengan menghambat peningkatan denyut jantung, tekanan
arteri dan kontraktilitas miokardium karena aktivasi adrenergik.

Dengan efek samping di atas, kontraindikasi diberikannya β-adrenergic


blocker apabila pasien memiliki riwayat asma, bradikardia, gangguan
atrioventricular, raynauld’s phenomenon, maupun riwayat depresi.
Apabila efek samping mulai muncul pengurangan dosis maupun
pemberhentian dapat dipertimbangkan namun pemberhentian β-
adrenergic blocker secara tiba-tiba dapat memperberat iskemik
sehingga dosis perlu dikurangi perlahan selama 2 minggu.

30
 Calcium channel blocker
Calcium channel blocker berperan dalam vasodilator dan mengurangi
kebutuhan oksigen, kontraktilitas dan tekanan arterial. CCB indikasi
diberikan ketika β-adrenergic blocker kontraindikasi diberikan,
toleransi rendah maupun inefektif. Namun pemberian CCB seperti
verapamil dan diltiazem juga dapat menimbulkan gangguan konduksi
jantung dan bradikardia serta memungkinkan memperburuk kegagalan
ventrikel kiri terutama dengan pasien disfungsi ventrikel kiri dan
menggunakan β-adrenergic blocker.

31
Pilihan antara β-adrenergic blocker dan CCB yang akan diberikan
kepada pasien dengan SKA sebagai inisial terapi yaitu β-adrenergic
blocker dimana menunjukkan meningkatkan life expectancy.
 Antiplatelet
Aspirin merupakan irreversible inhibitor untuk platelet cyclooxygenase
dan menghambat aktivasi platelet. Pemberian dalam enteric-coated
dengan dosis 81-162 mg/hari, pemberian obat ini dipertimbangkan pada
pasien SKA tanpa riwayat perdarahan gastrointestinal, dispepsia dan
alergi. Clopidogrel (300-600 mg loading dan 75 mg/hari) sebagai
penghambat P2Y12 ADP receptor yang memediasi agregasi platelet.
Pemberian clopidogrel dan aspirin mengurangi angka kematian dan
efek iskemik pada penderita SKA dan mengurangi risiko pembentukkan
thrombus pada pasien yang terpasang stent pada arteri coroner.
 Lainnya
- ACE-inhibitors
Penggunaan ACE-I digunakan pada survivor infark miokardium,
hipertensi, kronik SKA dan diabetes. Manfaat ACE-I paling jelas
pada SKA dengan risiko tinggi terutama dengan diabetes maupun
disfungsi ventrikel kiri, terutama belum mencapai target tekanan
darah dengan β-adrenergic blocker dan statins.

32
- Statin
Pemberian statin seperti atorvastatin 80 mg/hari dapat mengurangi
komplikasi dan rekurensi SKA.
- Antikoagulan
Empat opsi antikoagulan dapat ditambahkan kedalam terapi
antiplatelet seperti unfractionated heparin (UFH), low molecular-
weight heparin (LMWH), bivalirudin dan fondaparinux. LMWH
dikenal dapat mengurangi serangan jantung berulang namun
meningkatkan kejadian perdarahan, bivalirudin memberikan efek
yang sama dengan UFH maupun LMWH dan mengurangi kejadian
perdarahan berlebih dan sering digunakan sebelum atau saat
berlangsungnya PCI serta fondaparinux yang memberikan risiko
terendah untuk menimbulkan perdarahan. Pemberian antikoagulan
dan antiplatelet perlu diperhatikan terkait dosis, berat badan,
kreatinin dan riwayat perdarahan.

33
Pasien dengan STEMI, tatalaksana yang diperlukan
1) Waktu adalah emas

2) Percutaneous Coronary Intervention (Primary PCI)


a. ‘Call to balloon time’ dalam 120 menit
b. Memerlukan clopidogrel 600 mg loading dose
c. Rescue PCI setelah gagal thrombolisis
3) Thrombolysis: dalam 12 jam onset, apabila ‘call to ballon time’ >90
menit
a. Streptokinase / alteplase / tenecteplase
b. Contraindications
c. Clopidogrel 600mg loading dose dan LMWH
4) Beta blocker i.e. Atenolol

34
5) ACE inhibitor i.e. Lisinopril

2.1.9. Komplikasi
Dalam <72 jam
•Kematian
•Syok kardiogenik
•Gagal jantung
•Ventricular arrhythmia
•Myocardial rupture
•Thromboembolism
Late
•Ventricular wall rupture
•Valvular regurgitation
•Ventricular aneurysms
•Cardiac tamponade

2.2. Gagal Jantung


2.2.1. Definisi
Gagal jantung merupakan kegagalan fungsi jantung untuk memompa
darah dalam memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Jantung mampu
memompa darah sesuai dengan kebutuhan metabolic jaringan hanya dengan
peningkatan tekanan pengisian.

2.2.2. Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan
angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara
berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung
relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan
klinis yang lebih berat. Menurut studi yang dilakukan Framingham, insiden
tahunan pada laki–laki dengan gagal jantung (per 1000 kejadian) meningkat
dari 3 pada usia 50 - 59 tahun menjadi 27 pada usia 80 – 89 tahun,

35
sementara wanita memiliki insiden gagal jantung yang relatif lebih rendah
dibanding pada laki–laki (wanita sepertiga lebih rendah).

2.2.3. Klasifikasi
i. Berdasarkan waktu
- Gagal jantung akut
Gagal jantung yang memiliki tanda dan gejala dan
dikaakteristikan dengan onset cepat atau gradual serta
memerlukan perawatan urgent yang tidak terencana di rumah
sakit.
- Gagal jantung kronik
Sindroma klinis yang merupakan hasil dari disfungsi jantung
yaitu kelainan kemampuan dari ventrikel memompakan darah
yang menghasilkan gejala manifestasi dari gagal jantung.
ii. Berdasarkan lokasi
- Gagal jantung kiri
Kelemahan ventrikel kiri yang menyebabkan peningkatan
tekanan vena pulmonalis dan paru sehingga timbul manifestasi
dyspnea on effort, paroxysmal nocturnal dyspnea dan ortopnea.
- Gagal jantung kanan
Kelemahan ventrikel kanan yang menyebabkan kongesti vena
sistemik sehingga timbul manifestasi edema perifer,
hepatomegali dan distensi vena jugular.
- Gagal jantung kanan dan kiri
iii. Ejeksi fraksi
- Gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun
Ditandai dengan disfungsi sistolik (fraksi ejeksi <40%) +
disfungsi diastolik
- Gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal
Ditandai dengan fungsi sistolik normal (fraksi ejeksi >50%) +
disfugsi diastolik

36
iv. Berdasarkan mekanisme
- Forward failure
Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keluar pada
kecepatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
dari tubuh.
- Backward failure
Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keluar pada
kecepatan yang cukup dikarenakan tekanan pengisian jantung
yang abnormal tinggi.
- High output failure
Ketidakmampuan jantung untuk mensuplai tubuh dengan nutrisi
dalam darah secara adekuat walaupun volume darah cukup dan
normal atau kontraktilitas jantung telah meningkat ec anemia,
septicemia, hipertiroidism dan beri-beri.

2.2.4. Tanda dan Gejala


1) Gangguan respirasi
Dyspnea (terutama dyspnea on effort), ortopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea, tachypnea dan kemampuan beraktivitas menurun.
2) Gejala abdominal
Abdominal pain (terutama kuadran kanan atas) akibat kongesti hepar,
hilang nafsu makan/cepat merasa kenyang, mual, kembung dan perut
terasa penuh.
3) Ganggua serebral
Gangguan status mental berupa bingung, sulit berkonsetrasi, cepat
lupa, insomnia, ansietas, penurunan kesadaran dapat terjadi akibat
hipoperfusi otak)
4) Lain-lain
Edema, penambahan/penurunan berat badan.

37
2.2.5. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus memenuhi kriteria berikut.
Framingham Criteria (2 major atau 1 major + 2 minor)

Pemeriksaan Penunjang
1) Foto toraks
Menunjukkan pembesaran jantung (mengukur cardiothoracic ratio)
atau oedem paru
2) EKG
3) Echocardiography
Pemeriksaan vital pada pasien gagal jantung untuk menilai struktur
jantung (ketebalan dinding, kelainan katup dan lainnya) serta fraksi
ejeksi.
4) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, kimia darah (glukosa, profil lipid, ureum,
kreatinin, elektrolit, hormone tiroid, fungsi hepar), Brain Natriuretic
Peptide (BNP) disekresikan sebagai respon overload tekanan dan
volume dari ruangan jantung serta urinalisis.

38
2.2.6. Tatalaksana
1) Perubahan gaya hidup
- Batasi intake sodium sebanyak 1.500mg/hari pada pasien stage A
dan B. Pada stage C dan D belum ada rekomendasi yang jelas
mengenai jumlah sodium yang boleh dikonsumsi pasien.
- Berhenti merokok
- Batasi konsumsi alkohol berlebih
- Turunkan berat badan pada pasien obesitas
- Lakukan aktivitas fisik dan cardiac rehabilitation pada pasien
yang stabil secara klinis
2) Terapi berdasarkan AHA/ACCF

39
3) Terapi gagal jantung akut

40
BAB III

ANALISIS KASUS

Diagnosa Acute Coronary Syndrome (ACS) atau Sindroma Koroner Akut


dan gagal jantung dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. ACS diharuskan memenuhi 2 dari 3 kriteria dari
anamnesis, EKG dan marka jantung. Gagal jantung memenuhi kriteria
Framingham dengan 2 kriteria major atau 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.

Hal yang akan dibahas lebih dahulu yaitu mengenai ACS. Berdasarkan
Harrison’s Internal Medicine ed. 21st, sesuai dengan gejala yang timbul pada
pasien. Pasien mengeluhkan adanya nyeri pada tengah dada dan tidak dapat
ditunjuk dengan satu jari. Keluhan nyeri dada bersifat atypical, pasien merasa
nyeri yang terasa panas bukan ditekan maupun diremas, sehingga masih dapat
dicurigai akibat refluks asam lambung. Pada pasien ini masih memiliki dua
diagnosis banding, akibat gangguan jantung maupun lambung.

Keluhan nyeri dada dirasa membaik apabila pasien beristirahat dan


berlangsung selama >10 menit. Keluhan disertai adanya sesak nafas. Tidak ada
keluhan mual, muntah, mulut pahit, nyeri dada menjalar ke pundak maupun
lengan kiri, berkeringat banyak, maupun nyeri perut. Berdasarkan dari hasil
anamnesis, diagnosa ACS masih menjadi diagnosa utama dengan GERD sebagai
diagnosa banding, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis.

Pada anamnesis pasien mengatakan memiliki riwayat tekanan darah


tinggi dan riwayat penyakit jantung sebelumnya. Pasien sebelumnya juga
merokok selama >10 tahun. Tidak ada riwayat penyakit diabetes maupun riwayat
kolesterol tinggi. Ditemukan adanya faktor risiko pembentukkan atheroma pada
pembuluh darah yang dapat menyebabkan oklusi sebagian atau menyeluruh dari
pembuluh darah jantung yang menyebabkan suplai oksigen ke jantung berkurang
(iskemia).

41
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital dalam batas normal dan
kesadaran compos mentis, ditemukan juga peningkatan tekanan vena jugular, rales
ditemukan pada kedua lapang paru, akral hangat dan tidak ada edema pada kedua
kaki. Keluhan diatas mengarahkan kepada komplikasi iskemia kemungkinan
adanya gagal jantung yang akan dibahas selanjutnya. Diagnosa banding belum
dapat disingkirkan namun diagnosa utama menjadi semakin kuat ditegakkan
dengan pemeriksaan fisik diatas.

Pemeriksaan selanjutnya untuk menegakkan diagnosa dilakukan


pemeriksaan penunjang dengan elekrokardiogram atau EKG. Semua pasien
dengan keluhan nyeri dada atau keluhan yang mengarahkan kepada iskemia harus
melakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan segera setelah sampai di IGD.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, salah satunya yang ditemukan pada kasus ini. Ditemukan adanya
depresi segmen ST (flat) pada sadapan I dan aVL. Anamnesis dan EKG menjadi
penegak diagnosa ACS pada pasien ini. ACS terbagi menjadi tiga tipe yaitu infark
miokardium dengan elevasi segmen ST (STEMI), infark miokardium tanpa
elevasi segmen ST (NSTEMI) dan angina pectoris tidak stabil (UAP) Pada kasus
ini, EKG menunjukkan adanya depresi segmen ST sehingga diagnosa ditegakkan
UAP dd/ NSTEMI. Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukosit
yang meningkat serta pemeriksaan darah lanjutan di ruang perawatan ditemukan
adanya hipokalemia dan peningkatan Troponin T sebagai marka jantung sehingga
diagnosa NSTEMI dapat ditegakkan.

Diagnosis banding pada kasus ini adalah GERD (Gastroesophageal


Reflux Disease) karena keluhan nyeri dada yang terasa panas. Keluhan tidak
disertai adanya keluhan lain seperti nyeri ulu hati, nyeri yang membaik apabila
makan, mual, muntah maupun mulut yang terasa pahit. Keluhan juga tidak
didukung dengan hasil pemeriksaan fisik. Untuk menyingkirkan diagnosis GERD
secara pasti diperlukan pemeriksaan standar melalui pemeriksaan endoskopi.

Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien ini di ruang gawat darurat
memperbaiki perfusi dan suplai oksigen ke miokardium. Pemberian nitrat

42
diperlukan sebagai vasodilator, mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkatkan
aliran darah ke miokardium ISDN 5 mg sublingual. Pemberian antiplatelet juga
diberikan untuk menghambat pembentukkan thrombus, namun pemberian ini
perlu diperhatikan adanya keluhan nyeri dada atypical yang terasa panas, risiko
perdarahan gastrointestinal apabila pasien memiliki riwayat dyspepsia, terapi yang
dipilih berupa Clopidogrel yang memiliki risiko lebih rendah untuk kejadian
perdarahan gastrointestinal. Clopidogrel diberikan dengan dosis 75 mg dengan
pertimbangan kemungkinan adanya dyspepsia pada pasien. Selain kedua hal
tersebut diatasi, perhatikan faktor risiko yang mungkin menyebabkan kejadian
iskemia, sehingga pemberian Statin juga dapat dipertimbangkan.

Pada tatalaksana di ruang gawat darurat, pasien memberikan respon


positif terhadap pemberian ISDN sublingual dan mengurangi keluhan nyeri dada
yang dirasakan, sehingga di ruang perawatan dipertimbangkan memberikan
kombinasi antiplatelet Aspirin dan Clopidogrel. Pemberian antikoagulan juga
dapat dipertimbangkan apabila diagnosa venous thromboembolism sudah
ditegakkan, perlu memperhatikan fungsi ginjal dan adanya riwayat perdarahan,
pada pasien ini tidak ada riwayat perdarahan dan pemeriksaan kreatinin dalam
batas normal. Antikoagulan yang diberikan yaitu Arixtra dengan dosis 2.5 mg
diberikan subkutan. Pemberian ACE-I juga diberikan pada pasien ini mengingat
ACE-I memiliki efek proteksi vaskuler, antiproliferatif dan antiatherogenic.

Penjelasan selanjutnya mengenai diagnosa gagal jantung. Berdasarkan


Harrison’s Internal Medicine ed. 21st dan Pedoman Gagal Jantung oleh Perki
sesuai dengan gejala yang timbul pada pasien. Pasien mengeluhkan adanya sesak
nafas sejak tadi malam sebelum masuk IGD RS. Keluhan disertai adanya mudah
lelah saat beraktivitas, pasien mudah terbangun malam hari karena sesak dan tidur
dengan 2 bantal. Keluhan tidak disertai adanya batuk, bengkak kaki, kulit/mata
yang menguning, perubahan pada BAB/BAK maupun penurunan kesadaran.
Berdasarkan hasil ananesis diatas, kemungkinan sesak akibat gangguan fungsi
organ baik jantung, paru, ginjal maupun hati masih dapat dipertimbangkan
sebagai diagnosis banding.

43
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital dalam batas normal dan
kesadaran compos mentis, ditemukan juga peningkatan tekanan vena jugular, rales
ditemukan pada kedua lapang paru, akral hangat dan tidak ada edema pada kedua
kaki. Keluhan diatas dipertimbangkan adanya gangguan fungsi jantung. Kriteria
Framingham diperhatikan pada keluhan ini. Pasien memiliki 3 kriteria major dan
1 kriteria minor, sehingga memenuhi untuk diagnosa gagal jantung. Pemeriksaan
selanjutnya untuk menegakkan diagnosa dilakukan pemeriksaan penunjang
dengan foto rontgen thorax. Ditemukan adanya kardiomegali dengan CTR >0.5,
sehingga menambah poin kriteria major pada Framingham.

Diagnosis banding pada pasien ini adanya gangguan fungsi paru, ginjal
maupun liver. Tidak ada keluhan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pada pasien yang mengarahkan kepada gangguan fungsi ketiga organ tersebut.
Sesak diakibatkan adanya overload cairan yang diakibatkan gangguan fungsi
jantung.

Pasien didiagnosa gagal jantung akut, sehingga tatalaksana


mempertimbangkan kondisi kongesti dan perfusi perifer. Tatalaksana yang
diberikan pada pasien ini di ruang gawat darurat karena overload cairan diberikan
Lasix atau Furosemide bolus per IV. Tujuan pemberian diuretic adalah untuk
mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis serendah mungkin.
Dosis awal yang diperlukan pemberian Furosemide yaitu 20-40 mg selanjutnya
40-240 mg per hari. Pemberian diuretik diberikan dengan secara kombinasi,
namun perlu mempertimbangkan elektrolit dan fungsi ginjal.

Pada ruang perawatan, pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya


kondisi hipokalemia, sehingga pemberian kombinasi diuretik perlu pertimbangan
ulang. Hipokalemia mendapatkan terapi tambahan untuk perbaikan kalium dengan
KSR. Tatalaksana gagal jantung memiliki 3 pilar utama yaitu ACE-I/ARB, β-
adrenergic blocker dan mineraloreseptor antagonis. ACE-I memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. β-
adrenergic blocker belum diberikan pada pasien ini mengingat tekanan darah

44
sistolik pada rentang 100-110 mmHg, dengan adanya efek samping β-adrenergic
blocker menyebabkan hipotensi sehingga perlu dipertimbangkan.

Pasien diperbolehkan pulang apabila sudah keluhan nyeri sudah tidak


dirasakan dan mencapai status euvolemia. Selama perawatan di rumah, pasien
disarankan untuk mengurangi aktivitas berat (mengangat beban, mengedan,
mengendarai kendaraan, menaiki tangga dan lainnya), pengaturan diet (konsumsi
makanan rendah lemak, rendah kolesterol, banyak serat, karbohidrat kompleks
dan makanan siap saji), pengobatan yang sudah diresepkan harus rutin
dikonsumsi, mengurangi stress dan pola hidup sehat.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci dkk. Harrison’s Manual Medicine: Common Patient Presentations.


21st ed. Amerika Serikat: McGraw Hill; 2020.
2. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: Acute Coronary Syndrome.
5thed. Philadelphia: Lippincott Willams&Wilkins; 2011
3. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ. The TIMI risk score for unstable
angina/non-ST Elevation MI: A method for prognostication and therapeutic
decision making. JAMA. 2000 Aug 16; 284(7):835-42
4. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et. al. TIMI risk score for ST-
elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for
risk assessment at presentation: An intravenous nPA for treatment of
infarcting myocardium early II trial substudy. Circulation. 2000 oct
24;102(17):2031-7
5. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Penyakit
Jantung Koroner. 2nd Ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia; 2009.
6. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Gagal Jantung.
2nd Ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia;
2020.
7. Boudonas GE. β-Blockers in coronary artery disease management.
Hippokratia. 2010 Oct;14(4):231-5. PMID: 21311628; PMCID:
PMC3031314.
8. McQuaid KR, Laine L. Systematic review and meta-analysis of adverse
events of low-dose aspirin and clopidogrel in randomized controlled trials.
Am J Med. 2006 Aug;119(8):624-38. doi: 10.1016/j.amjmed.2005.10.039.
PMID: 16887404.
9. A Pocket Guide for The Clinician: Management of Anticoagulation
Therapy. Washington DC: American Society of Hematology Clinical
Practice Guideline Venous Thromboembolism. 2019.

46
10. Robert-Ebadi H, Le Gal G, Righini M. Use of anticoagulants in elderly
patients: practical recommendations. Clin Interv Aging. 2009;4():165-77.
doi: 10.2147/cia.s4308. Epub 2009 May 14. PMID: 19503778; PMCID:
PMC2685237.
11. Coppola G, Romano G, Corrado E, Grisanti RM, Novo S. Peripheral artery
disease: potential role of ACE-inhibitor therapy. Vasc Health Risk Manag.
2008;4(6):1179-87. doi: 10.2147/vhrm.s3096. PMID: 19337531; PMCID:
PMC2663435.

47

Anda mungkin juga menyukai