Anda di halaman 1dari 21

Portofolio Kasus Medis

HIPERTIROID

OLEH

dr. Gia Fristicha

PENDAMPING

dr. H. Didin Khoerudin

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD TENGKU RAFI’AN
SIAK
2023-2024
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta dr. Gia Fristicha


Nama Wahana RSUD Tengku Rafian

Topik Hipertiroid
Tanggal (kasus) 14 Maret 2023
Nama Pasien Nn. R No.RM 282716
Tanggal Presentasi 28 Juli 2023 Pendamping dr. Didin Khoerudin

Tempat Presentasi RSUD Tengku Rafian

Objektif Presentasi

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka


Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi Pasien datang dengan keluhan berdebar-debar sejak 15 hari SMRS.


Tujuan Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan pada hipertiroid

Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara Membahas Diskusi Presentasi dan Email Pos


Diskusi
Data Pasien Nama : Nn. R 282716

RSUD Tengku Rafian Telp : dr.Didin Khoerudin

BORANG PORTOFOLIO
1. Anamnesis :
 Riwayat Penyakit Sekarang
2.1 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan berdebar-debar sejak 15 hari SMRS.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan berdebar-debar sejak 15 hari SMRS.
Berdebar-debar pada bagian dada yang dirasakan terus-menerus tanpa dipengaruhi
aktivitas dan tidak berkurang dengan isitirahat. Pasien juga mengeluhkan mudah
lelah dan tidak bertenaga walaupun hanya melakukan aktivitas yang sangat ringan
serta sering sesak napas berlebihan pada saat beraktivitas. Pasien lebih nyaman
berada di dalam ruangan dengan suhu yang lebih dingin. Keluhan keringat
berlebihan sering dialami pasien pada saat tidak beraktivitas berat maupun saat
cuaca panas. Pasien mengalami penurunan berat badan kurang lebih 5 kg dalam
15 hari terkahir, namun nafsu makan meningkat.

Kedua telapak tangan pasien juga sering lembab seperti berkeringat dan
sering gemetar terus-menerus. Ibu pasien dan pasien mengatakan bahwa kedua
mata lebih terlihat melotot dibandingkan sebelumnya. Keluhan gangguan
penutupan kelopak mata dan penonjolan massa di leher disangkal. Pasien juga
mengeluhkan muntah setiap kali makan yang berisi makanan yang dimakan
dirasakan dalam 2 hari SMRS. Pasien baru pertama kali mengalami keluhan
seperti ini. Keluhan lain seperti nyeri dada atau dada seperti tertindih beban berat
dan sesak napas yang disertai bunyi “ngik” disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan serupa disangkal.
- Riwayat penyakit metabolik disangkal.
- Riwayat asma, penyakit jantung, penyakit ginjal disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada keluarga pasien dengan keluhan yang sama
- Tidak ada penyakit metabolic, jantung, stroke

2.2 Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
Tekanan Darah : 117/90 mmHg
Nadi : 171 denyut/menit
Nafas : 25 napas/menit
Suhu : 36,7 ºC

b. Status Generalisata
Kepala:
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor, refleks cahaya +/+, eksoftalmus (+/+)
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Benjolan dileher kanan dan kiri, simetris,
konsistensi kenyal, mobile, nyeri tekan (-), bruit (-)
Thoraks:
Paru
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi (-/-)
- Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
- Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari LMCS sinistra RIC V
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ 1 dan 2 normal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
- Inspeksi : Supel, distensi (-), jejas (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)

2.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium Hematologi
Hb : 12,6 gr%
Leukosit : 7.600/mm3
Trombosit : 398.000/mm3
Hematokrit : 37,5 %
Kesan : dalam batas normal

b. Hormon
FT4 : > 60 pg/ml
TSH : < 0,005 µIU/ml
Kesan : FT4 meningkat dan TSH rendah

c. Kimia Darah
Natrium : 142,42 mmol/L
Kalium : 3,36 mmol/L
Klorida : 98,71 mmol/L
Kesan : dalam batas normal

d. Fungsi Ginjal
Ureum : 20 mg/dl
Kreatinin darah : 0,4 mg/dl
Kesan : dalam batas normal

e. Rontgen Thorax (kesan : dbn)

2.4 Diagnosis Kerja


Hipertiroid ec Susp. Grave Disease

2.5 Tatalaksana
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam
- Inj. Ondansentron 4 mg/12 jam
- PTU 3 x 200 mg
- Propranolol 3 x 40 mg
2.6 Prognosis
a. Quo ad vitam : bonam
b. Quo ad sanam : bonam
c. Quo ad functionam : bonam

2.7 Resume
Berdasarkan anamnesis pada pasien berusia 23 tahun dengan keluhan
berdebar-debar sejak 15 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan mudah lelah, tidak
bertenaga dan sering sesak napas. Pasien lebih nyaman berada di ruangan suhu
dingin. Keluhan keringat berlebihan juga sering dialami. Pasien mengalami
penurunan berat badan dalam 15 hari terkahir, namun nafsu makan meningkat.
Kedua telapak tangan juga sering lembab seperti berkeringat dan sering gemetar
terus-menerus. Kedua mata lebih telihat lebih melotot dibandingkan sebelumnya.
Pasien juga mengeluhkan muntah setiap kali makan dalam 2 hari SMRS.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami takikardi dengan HR


171 denyut/menit. Pemeriksan mata didapatkan eksoftalmus, pada leher
didapatkan pembesaran kelenjar tiroid. Pemeriksaan laboratorium hormonal
didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan TSH
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Tiroid


Kelenjar tiroid adalah struktur endokrin yang yang berperan dalam mengatur
laju metabolisme tubuh. Kelenjar tiroid terletak di leher anterior sepanjang
vertebra C5 – T1. Kelenjar ini terdiri dari lobus kanan dan kiri yang dihubungkan
oleh isthmus sentral dibagian anterior, sehingga berbentuk seperti kupu-kupu.
Lobus kelenjar tiroid mengelilingi kartilago krikoid dan cincin superior trakea.
Kelenjar ini terletak di dalam kompartemen visceral leher bersama dengan trakea,
esofagus dan faring. 9

Gambar 3.1 Anatomi Kelenjar Tiroid 9

Kelenjar tiroid terkait erat dengan banyak struktur lain di leher anterior.
Pada bagian anterior berhubungan dengan otot infrahyoid yang terdiri atas
sternothyroid, superior omohyoid dan sternohyoid. Di bagian lateral berhubungan
dengan selubung karotis yang berisi arteri karotis komunis, vena jugularis interna
dan nervus vagus. Pada bagian medial berhubungan dengan laring, faring, trakea
dan kerongkongan serta nervus laringeal externa dan laringeal rekuren. 9
Gambar 3.2 Anatomi Kelenjar Tiroid 9

Suplai arteri ke kelenjar tiroid melalui dua arteri utama. Arteri pertama
adalah arteri tiroid superior sebagai cabang pertama dari arteri karotis eksternal
yang terletak di dekat cabang eksternal nervus laringeal superior. Arteri kedua
adalah arteri tiroid inferior yang berasal dari trunkus tiroservikal (cabang dari
arteri subklavia) yang terletak di dekat nervus laringeal rekuren. Sekitar 10%
populasi memiliki arteri tambahan, yaitu arteri ima tiroid yang berasal dari
trunkus brakiosefalika dan memperdarahi permukaan anterior dan isthmus
kelenjar tiroid. Pembuluh vena disuplai oleh vena tiroid superior, media dan
inferior yang membentuk pleksus vena di sekitar kelenjar tiroid. Vena superior
dan media mengalir ke vena jugularis interna dan inferior bermuara ke vena
brakiosefalika. Kelenjar tiroid dipersarafi oleh cabang yang berasal dari
persarafan simpatis. 9

3.2 Fisiologi Tiroid


Kelenjar tiroid memiliki fungsi utama sebagai sintesis dan pelepasan dua
hormon tiroid yang bekerja untuk mengatur laju metabolisme tubuh, yaitu
triiodothyronine (T3) dan tetraiodothyronine (T4). T4 lebih banyak dikenal
sebagai tiroksin. 5Thyrotropin-releasing hormone (TRH) dilepaskan dari hipotalamus
dan dibawa kedalam sirkulasi hipofisis. Di kelenjar hipofisis anterior, TRH
merangsang tirotrof untuk melepaskan Thyroid-realizing hormone (TSH). TSH akan
bersirkulasi secara sistemik menuju tiroid sebagai oragn targetnya yang akan memicu

9
pelepasan hormon tiroid T3 dan T4. Hormon tiroid akan bersirkulasi menuju jaringan
perifer dengan sejumlah T4 akan dideiodinasi menjadi T3 yang lebih aktif. Melalui
umpan balik negatif pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis anterior, hormon tiroid
akan menghambat sekresi TRH dan TSH lebih lanjut. 10

Gambar 3.3 Fisiologi Kelenjar Tiroid 10

Hormon tiroid memiliki fungsi masing-masing tergantung pada organ target.


Beberapa fungsi tiroid adalah menstimulasi pengembangan sistem saraf pusat pada
bayi, mempertahankan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia, memiliki
efek kronotropik dan inotropik pada jantung (detak jantung dan kontraktilitas),
merangsang reseptor LDL di hepar, meningkatkan motilitas traktus digestivus dan
penyerapan karbohidrat, menstimulasi lipolisis di jaringan adiposa, menstimulasi
pemecahan protein dalam otot, menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan tulang
normal pada anak-anak serta menstimulasi konsumsi oksigen di banyak jenis
jaringan. Hormon tiroid juga berhubungan dengan sistem saraf simpatik dengan
meningkatkan jumlah dan sensitivitas reseptor beta adrenergik. 10

10
3.3 Hipertiroid
2.1.1 Definisi
Istilah 'hipertiroidisme' dan 'tirotoksikosis' sering digunakan secara
bersamaan, namun hipertiroidisme merupakan keadaan hipermetabolik akibat
produksi dan sekresi T3 dan T4 dari kelenjar tiroid yang tidak proporsional
dengan kebutuhan tubuh. 4,5,11 Sedangkan tirotoksikosis adalah manifestasi
sindroma klinis dari gejala akibat sekresi T3 dan T4 yang berlebihan di jaringan
perifer. 2,5

2.1.2 Etiologi
Hipertiroidisme terjadi karena tingginya sintesis dan sekresi hormon tiroid
yang tidak tepat oleh tiroid. Hormon tiroid akan meningkatkan thermogenesis
jaringan dan tingkat metabolisme basal serta mengurangi kadar kolesterol serum
dan resistensi pembuluh darah sistemik. 6

Graves disease (GD) adalah penyebab paling umum dari hipertiroidisme


yang muncul akibat produksi abnormal imunoglobulin G (IgG) yang dimediasi
autoimun yang menempati dan mengaktifkan reseptor TSH dari folikel tiroid
sehingga merangsang sekresi T3 dan T4 yang abnormal. 4–6 Predisposisi genetik
terhadap GD dengan tingkat konkordansi pada kembar monozigot adalah 17 –
35%. Gen yang terlibat dalam GD adalah gen pengatur imun (HLA, CD40,
CTLA4, PTPN22, dan FCRL3) dan autoantigen tiroid seperti gen reseptor
tiroglobulin dan TSH. Faktor risiko non-genetik untuk perkembangan GD
diantaranya stres psikologis, merokok dan jenis kelamin wanita. Prevalensi GD
yang lebih tinggi pada wanita dihubungkan dengan hormon seks dan faktor
kromosom, seperti inaktivasi kromosom X. Faktor lainnya adalah infeksi
(terutama oleh Yersinia enterocolitica, karena mekanisme mimikri molekuler
dengan reseptor TSH), defisiensi vitamin D dan selenium, kerusakan tiroid dan
obat imunomodulasi. 4

Penyebab tersering kedua dari hipertiroidisme adalah penyakit nodular tiroid


yang menyebabkan pembengkakan atau pembentukan benjolan di bagian depan
leher. 4,5 Nodul tiroid menjadi otonom dan menghasilkan hormon tiroid terlepas
dari stimulasi sinyal TSH atau antibodi reseptor TSH. 4 Tirotoksikosis dapat timbul

11
sementara sebagai tiroiditis akibat respons terhadap peradangan autoimun akut
yang menghancurkan folikel tiroid. Peningkatan hormon tiroid terjadi akibat
pelepasan T3 dan T4 yang disimpan ketika folikel tiroid rusak. Tiroiditis dapat
sembuh secara spontan dalam waktu kurang dari enam bulan tanpa dampak
signifikan pada fungsi tiroid. 5

Hipertiroidisme juga dapat diinduksi oleh pengobatan. Amiodarone sebagai


antiaritmia dapat menyebabkan hipo dan hipertiroidisme karena kesamaan
strukturalnya dengan iodium. Selain itu, pasien dengan hipotiroidisme yang
diobati dengan levothyroxine juga dapat mengalami tirotoksikosis jika dosis
pengobatan terlalu tinggi. 5 Penyebab hipertiroidisme yang kurang umum adalah
tirotoksikosis yang diinduksi tirotropin dan tumor trofoblas dimana reseptor TSH
distimulasi oleh kelebihan TSH dan human chorionic gonadotropin. 4

2.1.3 Patofisiologi
Hormon tiroid mempengaruhi diferensiasi, pertumbuhan dan metabolisme
energi hampir pada semua sel dan jaringan. Kelenjar tiroid menghasilkan 2 hormon:
tiroksin (T4) dan triiodothyronine (T3). T4 adalah hormon yang paling banyak
diproduksi dan disekresikan dari kelenjar tiroid. Afinitas reseptor tiroid untuk T3
lebih besar 10 kali daripada reseptor tiroid untuk T4. 13

Axis tiroid dibentuk dan diatur oleh jalur umpan balik negatif yang
melibatkan hipotalamus, kelenjar pituitari dan kelenjar tiroid. Hipotalamus
mengeluarkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang menstimulasi kelenjar
hipofisis untuk melepaskan thyroid-stimulating hormone (TSH). TSH akan
mengaktifkan kelenjar tiroid untuk memproduksi dan melepaskan tiroksin (T4)
dan triiodothyronine (T3). Peningkatan produksi hormon tiroid biasanya
menghambat sekresi TRH dan TSH di hipotalamus dan kelenjar hipofisis. 1,13
Gangguan pada sistem ini akan menyebabkan peningkatan sekresi dan pelepasan
hormon tiroid. 1

Tirotoksikosis terjadi ketika folikel otonom menghasilkan lebih banyak


hormon tiroid daripada yang dibutuhkan. Sekresi hormon tiroid tergantung pada
kadar iodium. Iodida yang berasal dari makanan akan dibawa menuju sel dan

12
diubah menjadi iodium. Iodium kemudian melekat pada tiroglobulin dengan
enzim tiroid peroksidase dan selanjutnya akan membentuk monoiodotyrosine
(MIT) dan diiodotyrosine (DIT). MIT dan DIT bergabung membentuk T4 dan T3.
T3 selanjutnya aktif secara biologis. Di dalam serum, hormon tiroid biasanya
melekat pada protein dan tidak aktif. Setiap proses yang meningkatkan jumlah
hormon tiroid yang tidak terikat (bebas) memiliki potensi untuk menyebabkan
tirotoksikosis. 1

Mekanisme kerja hormon tiroid pada sel jantung dapat diklasifikasikan


menjadi 2 kategori, yaitu genomik dan nongenomik. Genomik dimediasi oleh T3
yang mengikat reseptor hormon tiroid di daerah promotor gen target. Dengan
pengikatannya ke T3, reseptor menginduksi atau menekan transkripsi beberapa
gen pada sel jantung. Gen yang diatur oleh hormon tiroid melibatkan protein
struktural dan pengatur fungsi jantung. Paparan jangka panjang terhadap kadar T3
yang tinggi dapat meningkatkan sintesis protein jantung, sehingga memicu
terjadinya hipertrofi dan disfungsi jantung. 13

Mekanisme nongenomik menyebabkan perubahan cepat pada beberapa


saluran membran ion miosit (natrium, kalium, kalsium) dalam laju polimerisasi
aktin dan beberapa jalur pensinyalan intraseluler jantung dan sel otot polos
pembuluh darah. T3 juga dapat meningkatkan laju depolarisasi dan repolarisasi
nodus sinoatrial, sehingga meningkatkan denyut jantung. Sehingga, hormon tiroid
memiliki efek inotropik dan kronotropik positif pada jantung. Kedua mekanisme
(genomik dan nongenomik) bekerja sama untuk mempertahankan fungsi jantung
dan keseimbangan hemodinamik. Namun, paparan hormon tiroid yang meningkat
dan berkepanjangan akan menyebabkan ketidakseimbangan pada
kardiovaskular. 13

2.1.4 Manifestasi Klinis


Kelebihan hormon tiroid mempengaruhi banyak sistem organ yang berbeda.
Karena hipertiroidisme menyebabkan peningkatan laju metabolisme, gejala
tirotoksikosis seringkali sekunder akibat peningkatan stimulasi reseptor β-

13
adrenergik jantung. Penyakit Graves dapat muncul dengan gejala spesifik
oftalmopati, sedangkan gejala seperti suara serak atau disfagia dapat muncul
karena kompresi dari tiroid yang membesar. Selama serangan tiroiditis akut,
pasien dapat mengalami nyeri leher atau nyeri spesifik pada tiroid. 5

Skoring penyakit hipertiroid paling sering digunakan berdasarkan gejala dan


keluhan yang dialami pasien dengan menggunakan skoring Index Wayne. Pada
index Wayne di dapatkan rentang skoring +45 hingga –25. Skor >19 di
interpretasikan sebagai hipertiroid toksik, sedangkan skor <11 dikatakan eutiroid.
Kondisi equivocal apabila skoring bernilai antara 11 – 19. Penggunaan index
Wayne bertujuan untuk penegakkan diagnosis hipertiroid dengan kondisi
keterbatasan pemeriksaan lengkap lebih lanjut. 1,2,4

Gejala-gejala tirotoksikosis terdiri atas sesak napas, jantung berdebar,


mudah lelah, intoleransi panas, penurunan berat badan bersamaan dengan nafsu
makan yang meningkat, tangan berkeringat berlebihan dan gugup. Tanda-tanda
fisik tirotoksikosis melibatkan pembesaran pada kelenjar tiroid, adanya bruit pada
kelenjar tiroid, eksoftalmus, retraksi kelopak mata dan tertinggalnya kelopak mata
atas di belakang bola mata saat menatap ke bawah (lid lag), tremor, telapak tangan
hangat dan lembab, takikardia saat istirahat hingga atrial fibrilasi. 1,2,4

Gambar 3.8 Index Wayne 5

14
Gambaran klinis lain menunjukkan penyebab spesifik. GD ditandai dengan
struma difus, bruit tiroid, tanda inflamasi/kongestif pada mata (proptosis, edema
periorbital, kemosis, disfungsi otot ekstraokular), miksedema pretibial dan
akropak tiroid (pembesaran jaringan lunak dan jari tabuh). Diagnosis struma
multinodular toksik atau adenoma toksik didukung oleh palpasi beberapa nodul
tiroid atau nodul soliter. Nyeri leher anterior, malaise, demam dan sakit
tenggorokan merupakan karakteristik dari tiroiditis subakut. 2,4 Selain penggunaan
index Wayne, index New Castle juga dapat digunakan sebagai metode skoring
lainnya untuk menilai hipertiroidisme.

2.1.5 Penatalaksanaan
Tujuan terapi hipertiroidisme adalah menormalkan produksi hormon tiroid;
meminimalkan gejala dan konsekuensi jangka panjang; memberikan terapi
individual berdasarkan jenis dan keparahan penyakit, usia dan jenis kelamin
pasien dan respons terhadap terapi sebelumnya. 1 Tatalaksana awal pasien yang
mengalami tirotoksikosis adalah peringanan gejala dengan cara menghambat
aktivitas adrenergik melalui penggunaan obat β-blocker serta intervensi yang
lebih definitif untuk mengobati penyebab yang mendasarinya. Intervensi dapat
berupa farmakologis dengan penggunaan obat anti-tiroid (thionamides) yang
menghambat sintesis hormon tiroid atau secara ablatif melalui ablasi iodium
radioaktif (I-131) atau tiroidektomi. 1,4,5,12

a. Obat Antitiroid
Obat antitiroid adalah pengobatan lini pertama yang biasa digunakan
karena remisi yang tahan lama tanpa perlu penggantian hormon tiroid seumur
hidup. Pasien dengan hipertiroidisme ringan, pemebsaran tiroid minimal,
dan/atau kadar TRAb yang sedikit meningkat dapat diberikan terapi anti tiroid. 12
Obat methimazole dan propiltiourasil (PTU) sama efektifnya dalam mengobati
hipertiroidisme. Obat ini membutuhkan waktu hingga 6 – 8 minggu untuk
menunjukkan manfaat klinis yang bekerja dengan mencegah sintesis hormon
tiroid dengan menghambat oksidasi ion iodium yang diperlukan untuk produksi
T3 dan T4, tetapi tidak memengaruhi kadar T3 dan T4 yang ada. Methimazole

15
adalah pengobatan lini pertama yang paling umum digunakan, karena koreksi
hipertiroidisme lebih cepat dan efek samping yang minimal. 1,2,5,6,8
Dosis awal methimazole tergantung pada kadar FT4 awal. Ketika kadar
FT4 meningkat 1 – 1,5 x di atas batas normal, dosis awal methimazole adalah 5
– 10 mg sekali sehari; kadar FT4 meningkat 1,5 – 2 x, dosis awal adalah 10 – 20
mg sekali sehari; dan kadar FT4 meningkat 2 – 3 x, dosis awal adalah 30 – 40
mg sekali sehari atau dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tingkat TSH, FT3 dan
FT4 harus diperiksa setiap 6 minggu sampai gejala hilang dan kadar hormon
tiroid berada dalam batas normal. Kadar TSH membutuhkan waktu 4 – 8
minggu untuk kembali normal. TFT harus dipantau setidaknya setiap tiga bulan
setelah terapi stabil. Methimazole dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan hepar berat, kelainan darah yang sudah ada sebelumnya (misalnya
anemia) dan memiliki riwayat pankreatitis. Hal ini tidak dianjurkan pada
trimester pertama kehamilan karena kekhawatiran akan teratogenisitas. 1,2,5,6,8

Propylthiouracil digunakan untuk pasien yang menderita reaksi obat


yang merugikan dengan methimazole, memiliki riwayat pankreatitis dan pada
kehamilan. Dosis awalnya adalah 300 mg setiap hari dalam 3 dosis terbagi
dengan interval 8 jam. Untuk kasus yang berat atau struma yang sangat besar,
dapat dimulai dengan dosis 400 mg setiap hari dan dosis 600 – 900 mg setiap
hari mungkin diperlukan dalam beberapa kasus, tergantung pada keparahan
gejala pasien sampai eutiroidisme tercapai hingga dosis secara bertahap
dikurangi menjadi dosis pemeliharaan 50 – 150 mg setiap hari. 1,2,5,6,8

Click or tap here to enter text.

Sebagian besar pasien dapat mencapai eutiroidisme dalam 3 – 4 minggu


pengobatan dan mencapai remisi dalam 12 – 18 bulan. Methimazole adalah
thionamide yang disukai dibandingkan PTU, karena memiliki efek yang lebih
kuat, hanya membutuhkan dosis yang lebih sedikit (sekali atau dua kali sehari)
dan memiliki hepatotoksisitas yang lebih rendah. Namun, PTU lebih disukai
selama trimester pertama kehamilan dan dalam pengobatan badai tiroid karena
menghambat konversi T4 menjadi T3. PTU juga dapat digunakan untuk pasien
dengan efek samping terhadap carbimazol. 2,6,8,12

16
Efek samping ringan dari methimazole dan PTU adalah ruam
maculopapular, pruritus, artralgia, demam dan leukopenia (<4.000/mm3). Efek
samping utama meliputi agranulositosis (demam, malaise, gingivitis, infeksi
orofaringeal dan jumlah granulosit <250/mm3), polimiositis, intoleransi GI,
hepatotoksisitas dan hipoprotrombinaemia. 1,6 Penting pasien diberi konseling
dengan tepat tentang risiko obat-obatan ini. Kasus fatal agranulositosis yang
diinduksi thionamide dapat terjadi sebagi efek samping pengobatan, oleh karena
itu sebelum pemberian obat anti-tiroid, pemeriksaan darah lengkap dan tes
fungsi hati harus didapatkan. Jika seorang pasien sedang merencanakan
kehamilan, hal ini harus didiskusikan dengan spesialisnya tentang pengobatan
yang akan digunakan. 5,8,12

Selain obat golongan methimazole dan PTU, dapat diberikan obat-


obatan antitoroid lainnya sesuai kondisi pasien. Obat tersebut adalah kalium
perklorat, β-blocker, litium karbonat dan glukokortikoid.

Kalium perklorat dapat digunakan dalam penatalaksanaan tirotoksikosis


akibat kelebihan iodium eksogen, khususnya pada tirotoksikosis yang diinduksi
amiodaron. Dosis awal adalah 250 mg setiap 6 jam dengan pemberian oral. Efek
samping utamanya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berdampak pada
aplasia meduler. Efek samping perklorat lainnya adalah iritasi gastrointestinal,
ruam, demam, limfadenopati, sindrom nefrotik dan agranulositosis. 1

β-blocker dapat mengendalikan gejala hipertiroidisme seperti


berkeringat, cemas, tremor dan palpitasi. Propranolol dapat diberikan dengan
dosis 20 – 40 mg setiap 6 jam. Pemberian propranolol dalam dosis relatif tinggi
lebih dari 160 mg per hari dapat menekan transformasi T4 menjadi T3.
Pemberian beta blocker seperti atenolol 50 – 100 mg atau nadolol 40 – 80 mg
sekali sehari dapat digunakan untuk memperbaiki kepatuhan pengobatan. 1,6
Kardioselektif β-blocker dengan efek kardioprotektif yang lebih tinggi dan
superior untuk pencegahan fibrilasi atrium merupakan pilihan alternatif,
terutama pada pasien yang disertai dengan asma. 6 β-blocker biasanya digunakan
sebagai terapi tambahan untuk tatalaksana graves disease atau nodul toksik,
persiapan operasi dan badai tiroid. β-blocker dikontraindikasikan pada pasien

17
sinus bradikardia, gagal jantung dekompensasi, pengobatan yang bersamaan
dengan antidepresan trisiklik dan hipoglikemia. Efek samping beta blocker
termasuk reaksi hipersensitivitas (ruam kulit, demam, rinitis, konjungtivitis),
pembengkakan kelenjar ludah "iodisme" (rasa logam, mulut dan tenggorokan
terbakar, sakit gigi dan gusi, gejala sakit kepala dan sakit perut serta diare) dan
ginekomastia. 1,6

Litium karbonat dapat menekan sintesis hormon tiroid. Litium bukan


penatalaksanaan utama hipertiroidisme karena reaksi obat yang merugikan dan
rentang terapeutik yang sempit. Namun, dapat digunakan untuk mengontrol
hipertiroidisme sementara pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat
tioamida. Litium juga dapat digunakan sebagai penatalaksanaan pilihan pada
badai tiroid. Dosis lithium adalah 300 – 450 mg setiap 8 jam secara oral. Efek
samping lithium karbonat adalah gejala keracunan kronis. Gejala toksisitas
ringan (tingkat lithium 1,5 – 2 mEq/L) meliputi mual, muntah, diare, tremor
tangan dan kantuk, sedangkan gejala toksisitas sedang (tingkat 2 – 2,5 mEq/L)
meliputi kedutan mioklonik, nistagmus, disartria, ataksia dan kebingungan.
Gejala toksik yang berat (tingkat > 2,5 mEq/L) adalah gagal ginjal, penurunan
kesadaran, kejang, koma dan kematian. 1,5

Glukokortikoid menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer.


Glukokortikoid digunakan pada fase awal tiroiditis subakut atau pada
tirotoksikosis yang diinduksi amiodaron tipe-2. Efek glukokortikoid ada dua,
tindakan anti-inflamasi dan penurunan transformasi perifer T4 menjadi T3.
Dosis metilprednisolon yang dapat diberikan adalah 20 – 40 mg atau
deksametason dengan dosis 3 – 6 mg. Dapat mencapai eutiroidisme umumnya
dalam 1 – 3 minggu. 1

b. Pembedahan
Intervensi bedah untuk tirotoksikosis melibatkan pengangkatan sebagian
atau seluruh kelenjar tiroid. Hal ini dikenal sebagai hemitiroidektomi atau total
tiroidektomi, tergantung pada jumlah jaringan yang direseksi. Tiroidektomi
diindikasikan untuk struma besar yang menyebabkan kompresi hingga

18
menimbulkan gejala disfagia atau kesulitan bernapas yang parah, pasien yang
tidak respon dengan thionamides atau yang menolak terapi radioiodine, 5 graves
orbitopati sedang hingga berat, wanita yang menginginkan kehamilan dalam 6 –
12 bulan ke depan dan kecurigaan pada keganasan tiroid. 2,6,8,12
Pembedahan tiroid sangat cepat dan efektif tetapi bersifat invasif dan
mahal. Pasien harus eutiroid sebelum operasi. Prosedur ini menyebabkan
hipotiroidisme permanen dan hipokalsemia sementara pada pasien sehingga
membutuhkan suplemen kalsium. Komplikasi bedah yang dapat terjadi adalah
cedera pada nervus laringeus rekuren dan hipoparatiroidisme permanen. Karena
efektivitas obat antitiroid dan terapi iodium radioaktif, pembedahan lebih jarang
dilakukan. Jika tiroidektomi direncanakan, PTU atau methimazol biasanya
diberikan sampai pasien eutiroid dan ditambah dengan iodida (500 mg/hari)
selama 10 sampai 14 hari sebelum pembedahan untuk menurunkan vaskularisasi
kelenjar. Propranolol dapat digunakan selama beberapa minggu sebelum operasi
dan 7 – 10 hari setelah operasi untuk mempertahankan denyut nadi < 90
kali/menit. 1,2,6,8

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Bereda G. Hyperthyroidism: Definition, Causes, Pathophysiology and Management.


Journal of Biomedical and Biological Sciences. 2022;2(1):1-11.

2. McDemort M. Hyperthyroidism. American College of Physicians. Published online


January 1, 2020:1-19.

3. Yanai H. Differential Diagnosis of Thyrotoxicosis. J Endocrinol Metab.


2019;9(5):127-32.

4. De Leo S, Lee SY, Braverman LE. Hyperthyroidism. The Lancet.


2016;388(10047):906-18.

5. Heppel M. Thyrotoxicosis and hyperthyroidism: causes, diagnosis and management.


Pharmaceutical Journal. Published online 2021:1-19.

6. Kahaly GJ, Bartalena L, Hegedüs L, Leenhardt L, Poppe K, Pearce SH. 2018


European thyroid association guideline for the management of graves’
hyperthyroidism. Eur Thyroid J. 2018;7(4):167-86.

7. Kementerian Kesehatan. Angka Kejadian Hipertiroidisme. Riset Kesehatan Dasar.


2013.

8. Abdi H, Amouzegar A. Management of graves’ hyperthyroidism: More than a


century of progression. Int J Endocrinol Metab. 2020;18:1-6.

9. Jones O. The Thyroid Gland. Teachme Anatomy. Published 2023. Accessed March
11, 2023. https://teachmeanatomy.info/neck/viscera/thyroid-gland/

10. Ditki. Thyroid gland. Medical and Bilogical Science. Published 2023. Accessed
March 11, 2023. https://www.drawittoknowit.com/course/
pathology/glossary/pathophysiologic-disorder/thyroid-gland-pathophysiology

11. LiVolsi VA, Baloch ZW. The Pathology of Hyperthyroidism. Front Endocrinol
(Lausanne). 2018;9(737):1-8.

20
12. Hughes K. Thyroid disease. AJGP. 2021;50(1-2):36-42.

13. Navarro-Navajas A, Cruz JD, Ariza-Ordoñez N, et al. Cardiac manifestations in


hyperthyroidism. Rev Cardiovasc Med. 2022;23(4):1-14.

14. Deng D. Primary hyperthyroidism:pathogenesis and clinical findings. Calgary


Guide. Published online 2018.

21

Anda mungkin juga menyukai