Disusun Oleh:
dr. Jessica Yulianti
Pebimbing:
dr. Mukti F. , Sp.PD
Portofolio ini telah disetujui untuk memperlengkap Program Internsip Dokter Indonesia.
Segala puji dan syukur saya ucapakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan portofolio yang berjudul
“Hipokalemia e.c. Sindroma Bartter”.Portofolio ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan untuk menempuh tercapainya Program Internsip Dokter Indonesia. Penulis menyadari
bahwa banyak pihak yang telah berpartisipasi dan membantu dalam penulisan portofolio ini.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama:
1. dr. Wiweka, MARS, selaku Kepala Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
2. dr. Eko Budi Prasetyo Sp. An, KIC, selaku Wakamed Rumah Sakit Angkatan Laut dr.
Mintohardjo.
3. dr. I Made Sukanta, Sp.B, selaku Wakabin Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
4. dr. Agnes Maria T., selaku dokter pendamping wahana Rumah Sakit Angkatan Laut dr.
Mintohardjo.
5. Seluruh teman-teman medis dan paramedis Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Angkatan Laut
dr. Mintohardjo yang telah memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan portofolio ini.
6. Kepada seluruh sahabat-sahabat internsip saya yang memberikan semangat dan inspirasi
dalam pembuatan mini project ini
Kritik dan saran penulis harapkan guna memperoleh hasil yang lebih baik dalam
menyempurnakan portofolio ini. Semoga portofolio ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan pembaca pada umumnya.
Penulis
KASUS PORTFOLIO
Obyektif Presentasi:
Tujuan:
Mengetahui diagnosis dan tatalaksana Sindroma Bartter
Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
1. Gambaran Klinis
Wanita, 53 tahun, dengan muntah +/- 10 jam sebelum masuk rumah sakit.
2. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah berobat ke klinik 24 jam +/- 3 jam sebelum masuk rumah sakit
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
Riwayat di rumah sakit sebelumnya dirawat karena keluhan serupa, terakhir kali dirawat tahun
2017.
Riwayat hipertensi (+), pasien mendapat pengobatan Captopril 25 mg.
Riwayat diabetes melitus (+), pasien mendapatkan pengobatan Acarbose 1 x 50 mg,
Proglitazone 1 x 15 mg, Glimepirid 1 x 2 mg, dan Metformin 3 x 500 mg.
4. Riwayat Keluarga
• Disangkal
5. Lain-lain: -
Daftar Pustaka
Hasil Pembelajaran
1. Subjektif:
Pasien dibawa ke IGD RSAL dengan keluhan muntah +/- 10 jam sebelum masuk rumah sakit.
Muntah disertai mual, frekuensi muntah lebih dari 10 kali dalam sehari, berisi makanan. Pasien
juga mengeluh pusing berputar sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pusing dialami saat
perubahan posisi. Pasien juga mengeluhkan pandangan seperti berkunang-kunang dan juga lemas.
Pasien sudah berobat ke klinik 24 jam +/- 3 jam sebelum masuk rumah sakit, diberi obat, pasien
diberikan ranitidin, omeprazole, dan vitamin. Keluhan tidak berkurang sesudah pemberian obat.
Keluhan sesak dan nyeri dada disangkal. Keluhan seperti pingsan maupun kelemahan sesisi
disangkal.
Riwayat di rumah sakit sebelumnya dirawat karena keluhan serupa, sebanyak 5 kali, terakhir kali
dirawat tahun 2017.
Riwayat diabetes melitus (+), pasien mendapatkan pengobatan Acarbose 1 x 50 mg, Proglitazone
1 x 15 mg, Glimepirid 1 x 2 mg, dan Metformin 3 x 500 mg.
Riwayat kebiasaan
Tanda vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 76 x/menit, regular, teraba kuat
Suhu : 36,3 oC
Respirasi : 19 x/menit
Status generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam distribusi merata
Wajah : simetris, oedem (-)
Mata : oedem palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, exoftalmus -/-,
odema palpebral -/-
Telinga : nyeri tarik aurikula -/-, nyeri tekan tragus -/-, sekret -/-
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret -/-
Mulut : mukosa bibir tidak sianosis, tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis, terdapat gigi
berlubang
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar, JVP 5+2 cm,
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas jantung ICS III parasternalis sinistra
Batas kiri jantung ICS V linea axilaris anterior sinistra
Batas kanan jantung ICS III hingga V linea parasternalis dexra
Auskultasi : SI/SII regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : pergerakan tidak simetris, dada kiri tertinggal, retraksi suprasternal
Palpasi : Vocal Fremitus kanan-kiri tidak dapat dilakukan
Perkusi : Sonor pada paru kanan dan redup pada basal paru kiri
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Rhonkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus 8x/menit
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+), undulasi (-), shifting dullness (-),
hepatosplenomegali (-)
Perkusi : timpani
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
25/3/2018
Hematologi
-Darah Lengkap
Variable Hasil Nilai Normal
Hemoglobin (g/dL) 10.9 14-16
Eritrosit (juta/uL) 4.50 4.20-6.20
Hematokrit (%) 33 42.0-48.0
Jumlah Leukosit (/uL) 8920 5.000-10.000
Jumlah Trombosit (/uL) 268.000 150.000-450.000
-Kimia Klinik
Variable Hasil Nilai Normal
Glukosa Darah 283 <200
Sewaktu (mg/dl)
-Elektrolit
Variable Hasil Nilai Normal
Natrium (mmol/L) 115 134-146
Kalium (mmol/L) 1.17 3.4-4.5
Klorida (mmol/L) 74 96-108
-Fungsi Ginjal
Variable Hasil Nilai Normal
Ureum (mg/dl) 18 17-43
Kreatinin (mg/dl) 0.9 0.6-1.1
Hasil Radiologi
Deskripsi Radiologis
Kesan: tidak tampak kelainan
1. Assessment :
Resume: Pasien dibawa ke IGD RSAL dengan keluhan muntah +/- 10 jam sebelum masuk
rumah sakit. Muntah disertai mual, frekuensi muntah lebih dari 10 kali dalam sehari, berisi
makanan. Pasien juga mengeluh pusing berputar sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pusing dialami saat perubahan posisi. Pasien juga mengeluhkan pandangan seperti berkunang-
kunang dan juga lemas. Pasien sudah berobat ke klinik 24 jam +/- 3 jam sebelum masuk rumah
sakit, diberi obat, pasien diberikan ranitidin, omeprazole, dan vitamin.
Riwayat di rumah sakit sebelumnya dirawat karena keluhan serupa, sebanyak 5 kali, terakhir kali
dirawat tahun 2017.
Riwayat diabetes melitus (+), pasien mendapatkan pengobatan Acarbose 1 x 50 mg, Proglitazone
1 x 15 mg, Glimepirid 1 x 2 mg, dan Metformin 3 x 500 mg.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
tanda-tanda vital: tekanan darah 140/90 mmHg, nadi: 76 x/menit, suhu: 36,3 oC dan respirasi: 19
x/menit. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan epigastrium. Pemeriksaan fisik lain
dalam batas normal.
Diagnosis Kerja:
Observasi vomitus dehidrasi ringan sedang
Hiponatremia
Hipokalemia
Diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol
Hipertensi tidak terkontrol
o Plan
Tatalaksana:
Tatalaksana medikamentosa
3.1 Hipokalemia
3.1.1 Definisi
Hipokalemia didefinisikan sebagai kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/L. Hipokalemia dapat terjadi
akibat asupan yang kurang, perpindahan kalium ke dalam sel atau kehilangan kalium renal maupun
non renal.
3.1.2 Etiopatofisiologi
Insulin dan katekolamin adrenergik akan meningkatkan ambilan kalium ke dalam sel melalui
stimulasi Na+/K+-ATP aseyang terdapat padamembran sel. Insulin menyebabkan umpan balik,
hiperkalemia akan menstimulasi sekresi insulin dan hipokalemia akan menghambat sekresi kalium.
Hal ini tidak terjadi pada stimulasi adrenergik, namun blokade adrenergik akan meningkatkan
kalium serum dan agonis adrenergik akan menurunkan kalium serum.
Sintesis N+/K+ ATP ase juga distimulasi oleh hormon tiroid yang berperan pada kejadian
hipokalemia pada kondisi Hipertiroidisme. Pemberian alkali menyebabkan kalium masuk ke dalam
sel. Pada gagal ginjal kronik, pemberian bikarbonat hanya sedikit mempengaruhi distribusi kalium
transsellular.
Peran aldosteron dalam distribusi kalium transselular masih belum jelas, namun hormon ini
merupakan regulator mayor cadangan kalium tubuh melalui eksresi kalium di ginjal. Deplesi kalium
atau hipokalemia juga dapat terjadi karena asupan makanan yang mengandung kalium yang rendah.
Obat obat yang memiliki aktifitas simpatomimetik adalah decongestan, bronkhodilator dan
penghambat kontraksi rahim. Albuterol inhalasi dengan dosis standar mampu menurunkan kalium
serum. Pseudoefedrin akan menyebabkan hipokalemia berat.Ritodrin, terbutalin dan penghambat
kontraksi uterus akan meurunkan kalium setelah 4-6 jam pemberian obat tersebut secara
intravena.Teofilin dan caffein bukan merupakan obat obat simpatomimetik, namun obat obat ini
mampu menstimulasi pelepasan simpatetik amin dan mampu meningkatkan aktivitas Na-K-ATP ase
melalui hambatan cellular phosphodiesterase.
Meskipun Calcium channel bloker mampu meningkatkan ambilan kalium ke dalam sel,
namun obat ini tidak mempengaruhi kadar kalium serum. Pemberian verapamil dosis tinggi akan
mmenyebabkan hipokalemia berat. Klorokuin dosis tinggi mampu menurunkan kalium . Insulin
mampu memindahkan kalium ke dalam sel, sehingga pemberian insulin mampu menurunkan
konsentrasi kalium serum, namun tidak terlalu bermakna secara klinis kecuali pemberian insulin
dosis tinggi pada Ketoasidosis Diabetikum.
Diuretik
Tiazid dan loop diuretik akan memblock khlorida yaitu melalui hambatan reabsorbsi (menghambat
different membrane-transport protein) akibatnya hantaran natrium ke collecting tubulus terganggu,
reabsorbsi natrium akan menyebabkan perubahana gradien elektrokimia pada sekresi kalium.
Derajat hipokalemia pada pemberian tiazid secara langsung terkait dosis dan akan meningkat
dengan asupan natrium yang berlebih.
Fludrocortison, prednison dan hidrokortison mampu meningkatkan sekresi kalium secara tidak
spesifik sejalan dengan peningkatan laju filtrasi dan hantaran natrium di tubulus distal. Gossypol
(menyebabkan hambatan spermatogenesis yang diberikan secara oral), carbenoxolone dan licirice
mampu menyebabkan hipokalemia melalui hambatan enzym.
Antibiotik
Penicillin dan derivat sintetis yang diberikan secara intravena dengan dosis besar akan
meningkatkan ekskresi kalium ginjal melalui peningkatan hantaran natrium di distal nefron.
Aminoglycoside, cisplatin, dan foscarnet menginduksi deplesi magnesium. Amfoterisin B
menyebabkan hambatan sekresi ion hidrogen pada sel ductus collecting bersamaan dengan kejadian
deplesi magnesium.
Hipokalemia berat dapat terjadi pada hipertiroidisme yang ditandai dengan kelemahan otot yang
berat. Familial hipokalemi periodik paralisis merupakan kelainan genetika outosom dominan,
berkaitan dengan mutasi gen encoding reseptor dehidroperidin, voltage-gated calcium channel,
ditandai dengan serangan kelemahan otot mendadak akibat penurunan kalium serum < 2,5 mmol/L,
dicetuskan oleh asupan makanan kaya akan karbohidrat atau natrium, latihan berlebihan dan
umunya timbul spontan dalam waktu 24 jam. Pencegahan yang dapat dilakukan dapat berupa
pemberian spironolakton, triamteren dan acetazolamid.
Senyawa barium yang terhirup juga dapat meyebabkan hipokalemia melalui hambatan
pengeluaran kalium dari sel dan pada kondisi berat dapat menyebabkan kelemahan otot, paralisis
dan rhabdomiolisis. Barium juga menyebabkan muntah dan diare, hal ini juga menyebabkan
perburukan hipokalemia.
Pengobatan anemia pernisiosa berat dengan vitamin B dapat pula menyebabkan penurunan
kalium serum secara cepat akibat ambilan kalium secara cepat olel sel yang baru terbentuk.
Hipokalemia juga terjadi setelah transfusi washed red cell beku akibat ambilan kalium oleh sel.
Asupan kalium yang kurang dari 1 gram per hari (25 mmol per hari), deplesi kalium dan
hipokalemia akibat ekskresi kalium ginjal.
Konsentrasi kalium dalam feses berkisar 80-90 mmol per liter, namun karena kadar air dalam feses
yang sangat rendah sehingga kehilangan kalium dalam feses hanya 10 mmol per hari. Pada kondisi
diare, kadar kalium dalam feses akan menurun, namun jumlah feses yang yang banyak akan
menyebabkan hipokalemia. Volume feses akan meningkat akibat diare dengan infeksi, kemoterapi
pada kanker.
Alkalosis metabolik akan menginduksi deplesi khlorida akibat muntah atau drainase
lambung. Hipokalemia berlangsung selama induksi, alkalosis sebagai akibat kehilangan kalium
melalui ginjal. Pada kondisi chloride-sensitive form of metabolic alkalosis, pemberian chlorida akan
memperbaiki alkalosis dan perbaikan kondisi hipokalemia. Alkalosis metabolik dengan deplesi
chlorida saja jarang terjadi. Alkalosis metabolik paling sering terjadi karena primary
hyperaldosteronisme. Hipokalemia pada Cushing’s syndrome lebih ringan dibandingkan pada
hyperaldosteronisme. Abnormalitas genetik akan mempengaruhi aktivitas transporter ion pada
ginjal, namun merupakan penyebab alkalosis metabolik yang jarang dan jarang menyebabkan
hipokalemia. Liddle’s syndrome dan 11 43-46 -hydroxysteroid dehydrogenase deficiency akan
menstimulasi reabsorbsi natrium melalui duktus colecting dan menyebabkan syndrome
mineralocorticoid excess. Abnormalitas ini menyebabkan hipertensi dan hipokalemia namun
aldosteron serum lebih rendah. Pada Barter Syndrome (inaktivasi transpoter natrium chlorida di
loop henle) dan Gitelman sindrome (kelainan pada tubulus distal) akan menyebabkan alkalosis
metabolik dan hipokalemia namun tanpa menyebabkan hipertensi.
Gambaran klinis deplesi kalium sangat bervariasi, dan berat ringannya tergantung derajat
hipokalemia. Gejala jarang terjadi kecuali kalium kurang dari 3 mEq/L. Mialgia, kelemahan atau
kram otot ektremitas bawah merupakan keluhan yang sering. Hipokalemia yang lebih berat dapat
menyebabkan kelemahan progresif, hipoventilasi dan paralisis komplit. Deplesi kalium yang berat
dapat meningkatkan resiko aritmia dan rabdomiolisis. Fungsi otot polos juga dapat terganggu
dengan gambaran klinis ileus paralitik.
Pada hipokalemia berat terdapat keluhan lemas dan konstipasi. Pada kondisi kalium < 2,5
mmol/L, akan terjadi nekrosis otot dan pada kondisi kalium < 2 mmol/L akan terjadi ascending
paralise, bahkan mempengaruhi otot pernafasan. Keluhan yang terjadinya sejalan dengan kecepatan
penurunan kadar kalium serum. Pada pasien tanpa penyakit jantung, dapat terjadi abnormalitas
konduksi otot jantung yang tidak lazim walaupun denngan kadar kalium kurang 3 mmol/L. Pada
pasien dengan iskemia, gagal jantung atau hipertropi ventrikel kiri, hipokalemia ringan atau sedang
mampu mencetuskan aritmia. Kondisi hipokalemia akan memicu efek aritmogenik pada digoxin.
Deplesi kalium dan hipokalemia mampu meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik
walaupun pada kondisi tanpa restriksi garam, kondisi ini mampu mencetuskan retensi garam oleh
ginjal.
Perubahan EKG akibat hipokalemia tidak sesuai dengan konsentrasi kalium plasma.
Perubahan awal berupa mendatarnya atau inversi gelombang T, gelombang U prominen, depresi
segmen Stdan pemenjangan interval QT. Deplesi kalium berat dapat menyebabkan pemanjangan
intervalPR, lowvoltage, dan pelebaran QRS dan meningkatkan risioko aritmia ventrikel.
Hipokalemia dapat meningkatkan toksisitas digitalis.
Setelah ekskresi kalium urin dapat diukur, beberapa kemungkinan diagnosis harus
dipertimbangakn pada pasien hipokalemia dengan penyebab yang belum jelas:
• Nefropati dengan kebocoran garam juga dapat menghasilkan temuan yang sama,
seperti insufisiensi ginjal bertanggung jawab terhadap asidemia.
• Alkalosis metabolik dengan ekskresi kalium rendah disebabkan oleh karena vomitus
(sering pada bulimia yang berusaha untuk menurunkan berat badan) atau penggunaan
diuresis (di mana koleksi urin diperoleh setelah efek diuresis sudah hilang).
• Alkalosis metabolik dengan kebocoran kalium dan tekanan darah normal seringkali
disebabkan oleh vomitus, diuretik atau sindroma Bartter. Pada keadaan ini, pengukuran
kadar klorida urin seringkali membantu, rendah pada vomitus saat ekskresi natrium dan
kalium urin secara relatif tinggi oleh karena kebutuhan mempertahankan elektronetralitas
saat kelebihan bikarbonat diekskresi. Kemungkinan ini dapat ditentukan di sisi tempat tidur
dengan kadar pH yang lebih dari 7,0 apabila terdapat bikarbonaturia signifikan.
3.1.7 Tatalaksana
3.1.7.1. Evaluasi
Penilaian pasien, memantau EKG dan kekuatan otot diindikasikan untuk menilai akibat
fungsional hipokalemia. Pada kadar kalium di bawah 2,5 mEq/L, kelemahan otot berat atau
perubahan elektrokardiografik signifikan dapat mengancam jiwa dan memerlukan terapi segera.
Terapi segera diindikasikan apabila terdapat perubahan EKG atau kelainan neuromuskular perifer.
Defisit kalium, tidak terdapat perbedaan jelas antara konsentrasi kalium serum dengan
cadangan kalium tubuh total, sehingga defisit kalium total pada pasien hipokalemia oleh karena
kehilangan kalium hanya dapat diperkirakan. Pada pasien dengan hipokalemia kronik, defisit kalium
200 – 400 mEq diperlukan untuk menurunkan kadar kalium serum sebesar 1 mEq/L. Pada saat
kadar kalium jatuh sampai kurang lebih 2 mEq/L, kehilangan kalium lebih jauh tidak akan
mengakibatkan hipokalemia lebih jauh oleh karena adanya pelepasan kalium dari cadangan selular.
Perkiraan ini mengasumsikan bahwa terdapat distribusi normal kalium di antara sel dan cairan
ekstraselular, dengan kata lain tidak ada kelainan asam basa bersamaan. Keadaan paling sering di
mana perkiraan ini tidak berlaku adalah ketoasidosis diabetikum atau hiperglikemia nonketotik dan
pada keadaan lain seperti paralisis hipokalemik periodik.
Pada ketoasidosis diabetikum, hiperosmolaritas, defisiensi insulin dan mungkin juga
asidemia menyebabkan pergerakan kalium keluar dari sel. Sebagai akibatnya, pasien dengan
kelainan ini mungkin mempunyai kadar kalium total meningkat atau normal pada saat presentasi,
meskipun memiliki defisit kalium berat oelh karena kehilangan dari urin dan saluran cerna. Pada
keadaan ini, suplementasi kalium biasanya dimulai pada saat konsentrasi kalium serum mencapai
4,5 mEq/L atau lebih rendah, mengingat pemberian insulin dan cairan seringkali menyebabkan
penurunan kadar kalium serum secara cepat.
3.1.7.2. Terapi
Hipokalemia ringan sedang, sebagian besar pasien mempunyai konsentrasi kalium serum
antara 3,0 sampai 3,5 mEq/L; pada derajat penurunan kalium seperti ini biasanya tidak memberikan
gejala apapun, keculai untuk pasien dengan penyakit jantung (terutama bila mendapatkan digitalis
atau bedah jantung) atau pada pasien-pasien dengan sirosis lanjut.
Terapi pada keadaan ini ditujukan ke arah penggantian kalium yang hilang dan menangani
permasalahan mendasar (seperti vomitus dan diare). Pengobatan biasanya dimulai dengan 10-20
mEq/L kalium klorida diberikan 2 – 4 kali perhari (20-80 mEq/hari), tergantung kepada keberatan
hipoklaemia dan juga apakah akut atau kronik. Pemantauan kalium serial penting untuk menentukan
apakah diperlukan terapi lanjut, dengan frekuensi pemantauan tergantung derajat keberatan
hipokalemia.
Hipokalemia berat, kalium harus diberikan lebih cepat pada pasien dengan hipokalemia berat
(kadar kaliun <2,5 sampai 3,0 mEq/L) atau simtomatik (aritmia, kelemahan otot berat). Meskipun
demikian, kehati-hatian harus dilakukan pada saat memberikan kalium pada pasien dengan kelainan
penyerta, yang akan membuat kalium masuk ke dalam sel dan memperberat hiperglikemia. Dua
contoh utama adalah terapi insulin pada ketoasidosis diabetik atau hiperglikemia nonketotik dan
terapi bikarbonat pada asidosis metabolik.
Terapi kalium paling mudah diberikan peroral. Konsentrasi kalium serum dapat naik dengan
cepat sekitar 1-1,5 mEq/L setelah dosis oral 40-60 mEq/L dan sekitar 2,5-3,5 mEq/L setelah terapi
135-160 mEq/L; kadar kalium kemudian akan turun kembali ke arah nilai dasar oleh karena
sebagian besar kalium eksogen akan diambil oleh sel. Pasien dengan kadar kalium serum 2 mEq/L
sebagai contoh, mungkin memiliki defisit kalium antara 400-800 mEq/L.
Oleh karenanya, kalium klorida dapat diberikan secara oral dengan dosis 40-60 mEq/L, tiga
sampai empat kali sehari. Apabila dapat ditoleransi, harus diberikan terus menerus sampai
konsentrasi kalium serum terus berada di atas 3,0 sampai 3,5 mEq/L dan/atau gejala membaik;
selanjutnya dosis dan frekuensi pemberian dapat dikurangi untuk mencegah iritasi lambung. Selama
koreksi, pemantauan kadar kalium serum diperlukan untuk memastikan suplementasi kalium
dilanjutkan sampai cadangan tubuh dipenuhi dan menghindari hiperkalemia. Selama terapi kronik,
kadar kalium serum harus dipantau antara 3 sampai 4 bulan atau bila diperlukan secara klinis.
Terapi intravena, kalium klorida dapat diberikan intravena sebagai tambahan terapi
pengganti oral pada pasien dengan hipokalemia berat simtomatik. Keterbatasan utama untuk terapi
intravena termasuk risiko kelebihan cairan pada pasien risiko tinggi dan hiperkalemia karena
koreksi berlebih.
Perlunya terapi kalium intravena agresif terutama pada pasien-pasien dengan ketoasidosis
atau hiperkalemia nonketotok yang datang dengan hipokalemia oleh karena kehilangan kalium
berat. Terapi dengan kalium dan insulin akan memperberat hipokalemia. Sisi baiknya, pada pasien-
pasien ini juga mempunyai kekurangan cairan, sehingga terapi kalium klorida 40-60 mEq/L dalam
½ NS dapat diberikan untuk perbaikan cairan dan kalium, dengan risiko rendah kongesti pulmonar
pada keadaan ini.
Pemantauan efek fisiologis hipokalemia berat (kelainan EKG, kelemahan otot atau paralisis)
penting, terutama apabila koreksi cepat digunakan (lebih dari 20 mEq/jam). Segera setelah
permasalahan ini tidak lagi berat, laju penggantian kalium harus diturunkan (10 sampai 20
meQ/jam) atau diganti hanya dengan koreksi oral, bahkan bila terjadi hipokalemia persisten.
Pemberian kalium intravena secara cepat mempunyai potensi bahaya. Pada keadaan
redistribusi kalium, bahkan dengan laju pemberian lambat dapat menyebabkan hiperkalemia. Suatu
laporan pada pasien dengan paralisis periodik tirotoksik (kadar kalium dasar 2,0 mEq/L) pada 40%
pasien, pemberian kalium dengan laju 10 mEq/jam (80 mEq/L) menyebabkan terjadinya
hiperkalemia (>5,5 mEq/L) pada 40% pasien, yang dikomplikasi dengan perubahan EKG pada
separuh pasien.
3.1.8.1. Definisi
Sindrom Bartter dan Gitelman berbeda dengan aldosteronisme primer dalam dua cara:
pasien tidak hipertensif dan aktivitas plasma renin meningkat, tidak tersupresi dengan ekspansi
volume terkait aldosteron. Prevalensi berkisar antara 1 per 1.000.000 untuk Bartter dan 1 per 40.000
untuk Gitelman. Meskipun demikian prevalensi heterozigot bisa sebesar 1% populasi.
3.1.8.3. Patogenesis dan manifestasi klinis
Defek primer pada sindrom Bartter dan Gitelman adalah gangguan salah satu transporter
yang terlibat pada reabsorpsi natrium klorida pada ansa Henle dan tubulus distal (tabel 1). Bukti tak
langsung mendukung hipotesis ini diperoleh dari pengawatan bahwa kemampuan untuk mendilusi
urin secara seragam menurun pada pasien-pasien ini, sedangkan kemampuan untuk mengonsentrasi
lebih baik pada pasien dengan sindrom Gitelman. Baik tungkai asendens anse Henle maupun
tubulus distal sama-sama mengabsorpsi natrium klorida tanpa air, sehingga menurunkan osmolalitas
cairan tubular di bawah plasma; ekskresi cairan dilut ini memerlukan ketiadaan ADH untuk
mencegah reabsorpsi air di tubulus koligentes.
Defek tubular pada transpor natrium klorida dipikirkan memulai sekuens berikut ini, yang
hampir sama dengan yang dilihat pada asupan kronik diuretik ansa atau tipe tiazid. Kehilangan
garam awal menghasilkan kekurangan cairan, kemudian mengaktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Kombinasi hiperaldosteronisme dan peningkatan aliran distal (oleh karena defek
reabsorptive) meningkatkan sekresi kalium dan hidrogen pada lokasi sekretorik pada tubulus
koligentes, kemudian menyebabkan hipokalemia dan alkalosis metabolik.
Tabel 1. Perbedaan antara sindrom Gitelman dan Bartter.
Oleh karena adanya kecenderungan kebocoran garam ginjal, pasien dengan sindrom Bartter
dan Gitelman mempunyai tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum.
Penyebab lain dari tekanan darah rendah pada sindrom Bartter adalah pelepasan prostaglandin
vasodilator (prostaglandin E2 dan prostasiklin). Tekanan darah yang lebih rendah juga dilihat pada
bentuk heterozigot kedua kelainan.
Sindrom Bartter klasik umumnya timbul pada usia dini, seringkali namun tidak selalu,
dikaitkan dengan retardasi pertumbuhan dan mental. Sebagai tambahan hipokalemia dan alkalosis
metabolik, kelainan seperti poliuria, polidipsia dan penurunan kemampuan konsentrasi juga sering
didapatkan. Ekskresi kalsium urin juga sering meningkat dan konsentrasi magnesium plasma juga
antara normal atau menurun ringan pada sebagian besar pasien. Temuan-temuan urin ini sesuai
dengan defek prime reabsorpsi natrium klorida pada tungkai asendesn ansa Henle; segmen ini
memainkan peranan sentral untuk menciptakan gradien arusbalik yang diperlukan untuk
mengekskresikan urin terkonsentrasi dan juga kalsium serta magnesium yang direabsorpsi secara
pasif pada daerah ini.
Pengamatan tidak langsung ini dikonfirmasikan dengan temuan defek genetik pada sindrom
Bartter utamanya melibatkan banyak transporter pada tungkai asendens tebal. Proses transpor aktif
natrium klorida pada segmen ini dimediasi pada mebran luminal oleh kotransporter Na-K-2Cl
sensitif terhadap diuretik ansa, yang menyebabkan masuknya natrium klorida ke dalam sel tubular
dan oleh kanal kalium yang menyebabkan kalium tereabsorpsi kembali bocor ke dalam lumen untuk
kotranspor Na-K-2Cl lanjutan; pada membran basolaterla, kanal klorida mengijinkan klorida yang
telah masuk ke dalam sel untuk keluar dan kembali ke dalam sirkulasi sistemik.
Sindrom Bartter dapat terjadi sebagai akibat defek gen dari salah satu tansporter ini,
menggambarkan pentingnya fungsi terintegrasi dalam transpor ansa. Kelainan pada kotransporter
Na-K-2Cl, kanal kalium luminal dan kanal klorida membran basolateral dikenal sebagai sindrom
Bartter tipe I,II dan III.
3.1.8.4. Diagnosis
Diagnosis pada keadaan yang kurang lebih sama ini berdasarkan pada eksklusi kelainan lain.
Vomitus dan penggunaan diuretik berlebihan adalah dua sebab utama lainnya dari hipokalemia dan
alkalosis metabolik pada pasien normotensif. Pengukuran kadar renin dan aldosteron tidak berguna,
karena pada semua kondisi ini terdapat hiperksekresi renin. Meskipun demikian, vomitus dikaitkan
dengan kadar klorida urin yang rendah (<20 mEq/L, baik oleh karena hipovolemia dan
hipokloremia) dan pada beberapa pasien terdapat temuan klinis karakteristik seperti jaringan ikat
pada punggung tangan dan erosi gigi oleh karena paparan terhadap asam lambung.
Diagnosis penyalahgunaan diuretik dapat dikonfirmasi (saat tidak ada riwayat positif) hanya
dengan pemeriksaan urin untuk diuretik. Konsentrasi klorida urin bervariasi, tinggi apabila diuretik
masih aktif sampai rendah bila sudah tidak bekerja. Pasien dengan sindrom Bartter atau Gitelman
cenderung euvolemik, dengan ekskresi klorida sesuai dengan asupan. Efek netto dari konsentrasi
klorida urin adalah di atas 40 mEq/L.
Kemampuan untuk membedakan beberapa tipe sindrom Gitelman dari Bartter dapat sulit,
oleh karena adanya variasi fenotip klinis dan tumpang tindih usia presentasi klinis. Oleh karena gen-
gen penyebab sindrom Gitelman dan Bartter telah ditemukan dan digambarkan, maka diagnosis
genetik dari kedua kelainan ini mungkin. Meskipun demikian, analisis demikian hanya terdapat
pada beberapa laboratorium penelitian oleh karena besarnya ukuran sebagian besar gen yang
bertanggung jawab, banyaknya mutasi yang dikenali dan ketiadaan penanda spesifik gen,
heterogenesitas intrafamilial serta harganya yang mahal.
3.1.8.5. Terapi
Kelainan tubular pada sindrom Bartter dan Gitelman tidak dapat diperbaiki, sebagai
akibatnya terapi harus seumur hidup dan bertujuan untuk meminimalkan peningkatan prostaglandin
aldosteron sekunder. Kombinasi antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan diuretik hemat kalium
(spironolakton atau amilorid, dengan dosis 300-400 mg per hari untuk menyekat sempurna sekresi
kalium distal) dapat meningkatkan konsentrasi kalium plasma ke arah normal, mengkoreksi
alkalosis metabolik dan hipomagnesemia secara parsial.
Perbaikan yang sama pada gambaran keadaan elektrolit dapat dicapai dengan penggunaan
penyekat ACE yang menurunkan produksi angiotensin II dan aldosteron. Meskipun demikian,
penurunan akut kadar angiotensin II dapat menyebabkan hipotensi simtomatik pada beberapa kasus,
permasalahan ini seringkali sementara dan dapat diminimalisasi dengan penggunaan dosis awal
rendah.
Sebagian besar pasien membutuhkan suplementasi kalium dan magnesium oral, oleh karena
terapi obat biasanya tidak efektif penuh. Meskipun demikian, pemulihan kadar magnesium dan
kalium normal seringkali sulit dicapai. Diare seringkali membatasi dosis magnesium yang dapat
diberikan dan magnesium yang diserap cenderung untuk kembali diekskresikan di urin. Sebagai
tambahan, pasien dengan gangguan transpor pada ansa Henle mempunyai reabsorpsi kalium dan
juga natrium serta klorida pada lokasi tersebut. Pada keadaan ini, menyekat sekresi kalium distal
dengan amilorid dan atau penyekat ACE tidak akan membalikan permasalahan reabsortif di ansa,
menyebabkan kebocoran kalium persisten. Hipomagnesemia juga dapat berperan terhadap
kehilangan kalium lewat suatu mekanisme yang belum pasti.
3.1.8.6. Komplikasi
Prognosis hipokalemia tergantung pada penyebabnya. Serangan akut oleh karena diare
mempunyai prognosis yang baik. Sedangkan hipokalemia karena kelainan kongenital mempunyai
prognosis yang jauh lebih buruk oleh karena seringkali terapi tidak berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lederer E, Ouseph R, Ford L. Hypokalemia. Available from: www.medscape.com
[Accessed April 1st, 2018]
2. Nuwin R, Luf FC, Shirley G, Pathophysiology and Management Hypokalemia : Clinical
Perspective, 2011;7:75-84
3. Plamondon I, Leblanc M, Diorder of Potassium Balance. Critical Care Nephrology. 2nd ed.
Saunder Philadelpia. 2009. 522-28.
4. Bartter FC, Pronove P, Gill JR. Hyperplasia of the juxtaglomerular complex with
hyperaldosteronism and hypokalemic alkalosis. American Journal of Medicine. 1962.
33:811-828.
5. Gennari, FJ. Hypokalemia. N Engl J Med 1998; 339:451.
6. Assadi F. Diagnosis of hypokalemia: a problem-solving approach to clinical cases. Iran J
Kidney Dis. 2008 Jul. 2(3):115-22.
7. Bokhari SRA, Mansur A. Bartter Syndrome. 2017 Jun.
8. Fremont OT, Chan JC. Understanding Bartter syndrome and Gitelman syndrome. World J
Pediatr. 2012 Feb. 8 (1):25-30.
9. Seys E, Andrini O, Keck M, Mansour-Hendili L, Courand PY, et al. Clinical and Genetic
Spectrum of Bartter Syndrome Type 3. J Am Soc Nephrol. 2017 Aug. 28 (8):2540-2552.
10. Madrigal G, Saborio P, Mora F, Rincon G, Guay-Woodford LM. Bartter syndrome in Costa
Rica: a description of 20 cases. Pediatr Nephrol. 1997 Jun. 11(3):296-301.
11. Matsunoshita N, Nozu K, Shono A, Nozu Y, Fu XJ, Morisada N, et al. Differential diagnosis
of Bartter syndrome, Gitelman syndrome, and pseudo-Bartter/Gitelman syndrome based on
clinical characteristics. Genet Med. 2015 Apr 16.
12. Narayan R, Peres M, Kesby G. Diagnosis of antenatal Bartter syndrome. Clin Exp Obstet
Gynecol. 2016. 43 (3):453-4.
13. Kurtz, I. Molecular pathogenesis of Bartter's and Gitelman's syndromes. Kidney Int 1998;
54:1396.
14. Rose BD. Gitelman and Bartter Syndromes. In: Post TW, Stern RH - Up To Date 17.1, 2009.
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO