Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS BEDAH

ILEUS OBSTRUKTIF

Disusun oleh :
dr. Yolanda Shinta Palupi Tambunan
Dokter Internsip RSU Islam Harapan Anda

Dokter Pendamping
dr. Agus Priyadi, SpB

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM ISLAM HARAPAN ANDA
KOTA TEGAL
JAWA TENGAH

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan serta disetujui laporan kasus dengan judul:

ILEUS OBSTRUKTIF

Oleh:
dr. Yolanda Shinta Palupi Tambunan
Dokter Internsip RSU Islam Harapan Anda

Program Internsip Dokter Indonesia


Rumah Sakit Umum Islam Harapan Anda
Tegal – Jawa Tengah

Tegal, 23 Mei 2018

Mengetahui,
Pembimbing Dokter Penanggung Jawab

dr. Dyah Ayu Putri Rizki A., Sp.A, M.Kes dr. H. Agus Priyadi, Sp.B

1
BAB I
LAPORAN KASUS

Nama Peserta : Presenter :


dr. Yolanda Shinta Palupi Tambunan dr. Yolanda Shinta Palupi Tambunan
Nama Wahana : Pendamping :
RSU Islam Harapan Anda Tegal 1. dr. Namira
2. dr. Ayu Amelia, Sp. A, M. Kes
Topik : Ileus Obstruktif
Tanggal (Kasus) : 11 Mei 2018
Nama Pasien : Ny. NR No. RM : 444132
Tanggal Presentasi : 23 Mei 2018 Pendamping :
1. dr. Namira
2. dr. Ayu Amelia, Sp. A, M. Kes
Tempat Presentasi : Aula Pertemuan / Ruang MCU RSU Islam Harapan Anda Tegal
OBJEKTIF PRESENTASI
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
Deskripsi :
Seorang wanita berusia 47 tahun datang diantar keluarganya pada hari Jumat, 11 Mei 2018 dengan
keluhan nyeri perut hebat. Keluhan dirasakan 2 hari sebelum pasien masuk IGD RS, dan dirasakan
semakin berat. Pasien juga mengeluh muntah-muntah dan tidak bisa BAB sejak 4 hari sebelumnya.
Pasien memiliki riwayat penyakit lambung dan baru dirawat di RS Islam Harapan Anda dari tanggal
2 Mei 2018 hingga 7 Mei 2018.
Tujuan :
Mengetahui segala aspek tentang penyakit pasien dan penanganannya
Bahan
 Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Bahasan
Cara  Presentasi
 Diskusi  E-mail  Pos
Membahas dan Diskusi

2
HASIL PEMBELAJARAN

A. SUBYEKTIF
1. Keluhan Utama:
Nyeri Perut
2. Keluhan Penyerta:
Muntah-muntah, tidak bisa BAB 4 hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Seorang wanita berusia 47 tahun datang diantar keluarganya pada hari
Jumat, 11 Mei 2018 dengan keluhan nyeri perut hebat. Nyeri perut
dirasakan di seluruh lapang perut, terutama di bagian kanan bawah. Nyeri
dirasakan hilang timbul. Keluhan dirasakan 2 hari sebelum pasien masuk
IGD RS, dan dirasakan semakin berat. Pasien juga mengeluh muntah-
muntah dan tidak bisa BAB sejak 4 hari sebelumnya. Badan pasien juga
terasa lemas. Pasien menyatakan kadang masih bisa kentut.
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Pasien memiliki riwayat dirawat di RS Islam Harapan Anda dari
tanggal 2 Mei 2018 hingga 7 Mei 2018 karena penyakit lambung.
b. Pasien memiliki riwayat sulit BAB dan kadang menggunakan
obatpencahar agar bisa BAB. Riwayat sulit BAB dirasakan sejak 1
bulan sebelum masuk rumah sakit.
c. Pasien memiliki riwayat BAB seperti kotoran kambing sejak 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Riwayat BAB bercambur darah atau
adanya benjolan saat BAB disangkal.
d. Riwayat operasi pada bagian perut disangkal.
e. Riwayat benjolan pada payudara atau penyakit usus lainnya
disangkal.

5. Riwayat Penyakit Keluarga:


a. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
b. Sepupu pasien memiliki riwayat tumor payudara.
c. Riwayat penyakit atau keganasan lainnya disangkal

3
6. Riwayat Pengobatan:
Pasien kadang mengkonsumsi obat-obatan untuk penyakit lambungnya
apabila sedang mengalami keluhan nyeri ulu hati.
7. Sosial Ekonomi:
Dalam kehidupan sosial di masyarakat, pasien dan keluarga pasien dapat
dikatakan mengalami hubungan yang baik dengan masyarakat lainnya.
Pasien masih menjalani aktivitasnya sehari-hari yaitu ibu rumah tangga.

B. OBYEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum: tampak kesakitan
b. Kesadaran: kompos mentis, GCS E4M6V5 = 15
c. Tanda Vital
1) TD : 110/80 mmHg
2) RR : 26 x/menit
3) Nadi : 108 x/menit, regular
4) Suhu : 36,0o C (axiler)
d. Status Generalis
1) Kepala : mesocephal
2) Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
3) Hidung : nasal discharge (-), nafas cuping hidung (-)
4) Mulut : bibir pucat (-), bibir sianosis (-)
5) Telinga : discharge (-)
6) Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)

4
7) Thoraks
a) Inspeksi : simetris, retraksi (-/-)
b) Perkusi
Pulmo : seluruh lapang pulmo sonor
Cor : batas cor dan pulmo
kiri atas SIC II linea parasternal sinistra
kanan atas SIC II linea parasternal dextra
kiri bawah SIC IV linea parasternal sinistra
kanan bawah SIC V linea midclavicula sinistra
c) Palpasi : vocal fremitus simetris, thrill ictus cordis (-)
d) Auskultasi
Pulmo : suara dasar vesikuler +/+ ronki -/- wheezing -/-
Cor : suara I dan II reguler, murmur (-) gallop (-)
8) Abdomen
a) Inspeksi : cembung
b) Auskultasi : bising usus (+) meningkat
c) Perkusi : hipertimpani
d) Palpasi : tegang, nyeri tekan seluruh lapang abdomen.
9) Ekstremitas:
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
Sianosis -/- -/-
Anemis -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Capillary refill <1 detik <1 detik

5
2. Pemeriksaan Penunjang Awal
a. Laboratorium
LABORATORIUM DARAH
11 Mei 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 13,9 g/dl 11,7-15,5
Leukosit 6700 sel/uL 3.600-11.000
Trombosit 340.000 sel/uL 150.000-440.000
Eritrosit 4,85 juta sel/uL 4,4 juta – 5,0 juta
Hematokrit 43,0 % 35-47
Indeks Eritrosit
MCH 28,7 Pg 26-34
MCV 88,7 fL 80-100
MCHC 32,3 g/dL 32-36
Hitung Jenis
Limfosit 15,1 % 20-40
Monosit 11,6 % 0-10
Neutrofil 73,3 % 50-70
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 115 mg/dl 74-100

6
LABORATORIUM DARAH
14 Mei 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Seroimunologi
HBsAg Ultra Negatif No Unit Negative < 0,13
Positive ≥ 0,13
HIV ICT (Rapid) Negatif Negatif
Koagulasi
PT 14,5 Detik 9,9-11,8
INR 1,35 Detik 0,86-1,30
APTT 35,0 Detik 25,0-31,3
Waktu Pembekuan/CT 5,00 Menit 3,00-7,00
Waktu Pendarahan/BT 2,30 Menit 1,00-3,00

b. Elektrokardiografi

c. Radiografi
1. Foto Abdomen 3 Posisi (14 Mei 2018)
Udara Intestine prominen. Distensi (+)
Coil spring (+). Step Ladder app (+)
Udara bebas (-)
Udara colon distal minimal
Pre peritoneal fat line (+)
Kesan: Ileus Obstruktif

7
8
2. Foto Thoraks AP
Cor : Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corakan bronkovaskular tampak meningkat
Tampak bercak pada perihilar dan pericardial kanan
Tak tampak penebalan hilus kanan dan kiri
Sinus costophrenicus kanan kiri tampak lancip
Tak tampak kelainan pada tulang maupun soft tissue
Kesan:
Cor tak membesar
Gambaran bronkopneumonia

9
C. ASSESMENT AWAL
Colic Abdomen

D. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. Ileus Obstruksi
2. Ileus Paralitik
3. Peritonitis

E. PLAN
1. IVFD RL 20 tpm
2. Injeksi Ondansetron 8 mg 2x1 amp IV
3. Injeksi Ranitidine 2x1 amp IV
4. PO Laxadin syr 2x1 cth
5. Konsul dr SpPD

10
F. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
Sabtu,12 Mei 2018 pk. 08.00 - dr. Said SpPD
Subjektif Objektif Assesment Plan
 Nyeri Perut KU/Kes : sakit sedang/CM Colic Abdomen IVFD RL 20 tpm
 Muntah Tanda Vital Inj Ondansetron 2x8 mg IV
TD : 110/80 mmHg HR : 100x/menit ireguler Inj Ranitidin 2x1 amp IV
RR : 24x/menit S : 36oC Inj Ketorolac 2x1 amp IV
Status Generalis PO Laxadyn syr 2x1 cth
Abdomen: Tegang, BU (+), Nyeri tekan (+),
Hipertimpani
Minggu, 13 Februari 2018 pk. 09.00 - dr. Dardiri SpPD
Subjektif Objektif Assesment Plan
 Belum bisa BAB KU/Kes : sakit sedang/CM Meteorismus IVFD RL 20 tpm
 Nyeri perut Tanda Vital Inj Ondansetron 2x8 mg IV
TD : 100/80 mmHg HR : 88x/menit Inj Ranitidin 2x1 amp IV
RR : 22x/menit S : 36oC Inj Ketorolac 2x1 amp IV
Status Generalis PO Laxadyn syr 2x1 cth
Abdomen: Tegang, BU (+), Nyeri tekan (+), PO KSR 2x1 tablet
Hipertimpani
Senin, 14 Februari 2018 pk 08.00 – dr. Said SpPD
Subjektif Objektif Assessment Plan
 Nyeri perut semakin KU/Kes : sakit sedang/CM Colic Abdomen IVFD RL 20 tpm
bertambah Tanda Vital Inj Ondansetron 2x8 mg IV
TD : 100/80 mmHg HR : 88x/menit Inj Ranitidin 2x1 amp IV
RR : 22x/menit S : 36oC Inj Ketorolac 2x1 amp IV
Status Generalis PO Laxadyn syr 2x1 cth
Abdomen: Tegang, BU (+) meningjat, Nyeri tekan (+), PO KSR 2x1 tablet
Hipertimpani
Foto Polos Abdomen 3 Posisi

11
Senin, 14 Februari 2018 pk 11.00 via telepon - dr. Said SpPD
Subjektif Background Assesment Recommendation
 Melaporkan hasil Colic Abdomen BNO 3 Posisi Terapi lanjut
radiologi Konsul segera dr SpB

Senin, 14 Februari 2018 pk. 11.30 via telepon - dr. Agus SpB
Subjektif Background Assesment Recommendation
 Nyeri Perut Colic Abdomen KU/Kes : sakit sedang/CM Cek Laboratorium CT, BT, HBsAg,
 Sulit BAB Tanda Vital Anti HIV
 Muntah TD : 100/80 mmHg HR : Rencana visit
88x/menit
RR : 22x/menit S:
36oC
BNO 3 Posisi: Ileus
Obstruktif
Laboratorium: Leu: 6700,
Hb: 13,9, GDS 115
Selasa, 15 Februari 2018 pk 19.00 – dr. Agus, SpB
Subjektif Objektif Assessment Plan
 Nyeri perut KU/Kes : sakit sedang/CM Observasi Ileus Obstruktif IVFD RL 20 tpm
 Kentut 1x Tanda Vital Pasang NGT  alirkan dan lapor
 BAB 1x sedikit TD : 120/80 mmHg HR : 88x/menit Terapi tunda
RR : 24x/menit S : 36oC
Status Generalis
Abdomen:Tegang, BU (+) meningkat, Nyeri tekan (+),
Hipertimpani

12
Rabu, 16 Februari 2018 pk 07.00 via telepon - dr. Agus SpB
Subjektif Background Assesment Recommendation
 Nyeri Perut Observasi Ileus Obstruktif TD 110/70, HR 80x/menit, Persiapan operasi
Advis dr Agus SpB 15 Mei 2018: RR 20x/menit, S 36 oC Ro Thorax AP
Pasang NGT  alirkan  warna kekuningan Konsul anestesi
bercampur kotoran, volume > 1L.

13
G. Laporan Operasi
Tanggal Operasi : 16 Mei 2018
Jam Operasi Dimulai : pk 14.45
Jam Operasi Selesai : pk 16.30
Diagnosa Pre-Operasi : Ileus obstruksi
Diagnosa Post-Operasi : Ileus obstruksi e.c tumor cecum
Nama Tindakan Bedah : Laparotomi + Reseksi tumor cecum +
Anastomosis ileocolic
Hasil Temuan Operasi : Ditemukan Tumor Cecum dengan dilatasi ileum

H. Instruksi Pasca Operasi


1. Infus Futrolit: D10% 20 tpm
2. Inj Cefoperazone 2x1 gr IV
3. Inj Ranitidin 3x1 amp IV
4. Drip Tramadol 3x1 amp
5. Diit  Puasa 3 hari
6. Mobilisasi segera
7. Cek ulang darah rutin 17 Mei 2018

I. Pemeriksaan Penunjang Pasca Operasi


1. Laboratorium
LABORATORIUM DARAH
17 Mei 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 12,4 g/dl 11,7-15,5
Leukosit 16.500 sel/uL 3.600-11.000
Trombosit 316.000 sel/uL 150.000-440.000
Eritrosit 4,33 juta sel/uL 4,4 juta – 5,0 juta
Hematokrit 37,5 % 35-47
Indeks Eritrosit
MCH 28,6 Pg 26-34
MCV 86,6 fL 80-100
MCHC 33,1 g/dL 32-36

14
2. Patologi Anatomi
Tanggal order : 16 Mei 2018 17:29
Tanggal terima : 16 Mei 2018 17:30
Tanggal pelaporan : 18 Mei 2018 13:02

Makroskopis Histologi:
Diterima sebuah usus ukuran panjang 22 cm, diameter 3-5cm. Pada
lamelasi 4 cm dari salah satu ujung tampak massa ukuran 4x4x3 cm.
Ditemukan 3 buah kelenjar getah bening terbesar ukuran diameter 3 cm
dan terkecil diameter 1 cm.

Mikroskopis Histologi:
Sediaan dilapisi epitel torak bergoblet yang berubah menjadi sel-sel tumor
bentuk bulat oval yang membentuk kelenjar. Inti hiperkromatis. Stroma
jaringan ikat di sekitarnya bersebukan sel radang limfosit. Tunika
muskularis edematous dan diinfiltrasi sel tumor ganas. Tunika serosa
edematous. 3 buah kelenjar getah bening yang ditemukan dilapisi kapsul
jaringan ikat, subkapsuler tampak folikel limfoid yang diinfiltrasi sel
ganas dan tampak massa musin ekstraseluler. Batas sayatan dekat dan
jauh dilapisi epitel torak bergoblet. Inti dalam batas normal. Subepitel
tampak stroma jaringan ikat dan kripta dalam batas normal. Tunika
muskularis fibrosis. Tunika serosa edematous.

Kesimpulan:
Adenokarsinoma ileocaecal berdiferensiasi baik yang bermetastasis
ke 3 buah kelenjar getah bening regional (pT2N1bMx pathology
stage IIIA).
3.

15
J. Catatan Perkembangan Pasien Pasca Operasi
Kamis, 17 Mei 2018 pk 18.30 – dr. Agus, SpB
Subjektif Objektif Assesment
 Nyeri perut bekas KU/Kes : sakit sedang/CM Laparotomi + Reseksi
operasi Tanda Vital Tumor Cecum +
TD : 110/80 mmHg HR : 100x/menit ireguler Anastomosis Ileocolic H-1
RR : 20x/menit S : 36,5oC
Status Generalis
Abdomen: Abdomen: datar, BU (+) N, Timpani, supel,
NT (+).
Jumat, 18 Mei 2018 – dr. Agus, SpB
Subjektif Objektif Assesment
 Nyeri perut KU/Kes : sakit sedang/CM Laparotomi + Reseksi
berkurang Tanda Vital Tumor Cecum +
 Kentut + TD : 100/70 mmHg HR : 84x/menit Anastomosis Ileocolic H-2
RR : 22x/menit S : 36,8oC
Status Generalis
Abdomen: datar, BU (+) N, Timpani, supel, NT (+)
berkurang
Sabtu, 19 Mei 2018 – dr. Agus, SpB
Subjektif Objektif Assessment
 Kentut + KU/Kes : sakit sedang/CM Laparotomi + Reseksi
 Badan lemas Tanda Vital Tumor Cecum +
TD : 120/80 mmHg HR : 86x/menit Anastomosis Ileocolic H-3
RR : 20x/menit S : 36,2oC
Status Generalis
Abdomen: datar, BU (+) N, Timpani, supel, NT (+)
berkurang

16
Minggu, 20 Mei 2018 – dr. Agus, SpB
Subjektif Objektif Assesment
 Nyeri Perut KU/Kes : sakit sedang/CM Laparotomi + Reseksi
berkurang Tanda Vital Tumor Cecum +
TD : 110/80 mmHg HR : 100x/menit ireguler Anastomosis Ileocolic H-4
RR : 24x/menit S : 36oC
Status Generalis
Abdomen: datar, BU (+) N, Timpani, supel, NT (+)
berkurang

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ileus merupakan keadaan absennya motilitas fisiologi dari usus yang
menyebabkan terjadinya gangguan pasase isi usus dalam traktus gastrointestinal
(Dhupar & Ochoa, 2012). Ileus merupakan keadaan oklusi atau paralisis dari usus
yang mencegah pergerakan dari isi usus, menyebabkan adanya akumulasi di bagian
proksimal sumbatan. Kedua tipe ileus, baik obstruktif atau paralisis menyebabkan
akumulasi cairan dan gas yang mengakibatkan tekanan intra abdomen meningkat,
disfungsi mikrosirkulasi dari dinding usus, dan adanya disrupsi dari barrier mukosa.
Hal ini dapat menyebabkan perpindahan cairan, peritonitis transmigrasi dan
hipovolemik (Viz, et al., 2017).

B. Klasifikasi
Ileus secara umum diklasifikasikan sebagai dinamik (obstruktif atau
mekanik) dan adinamik (paralitik atau pseudo-obstruktif). Obstruksi atau mekanis
ditandai dengan adanya sumbatan dari usus yang menyebabkan meningkatnya
kontraktilitas usus sebagai respon fisiologis untuk mengeluarkan sumbatan. Paralitik
atau pseudo-obstruktif ditandai dengan tidak adanya kontraktilitas usus, sering
dikaitkan dengan menurunnya atau ketiadaan motilitas dari usus halus dan lambung
(Fry, et al., 2016).
Ileus obstruktif dibedakan kembali berdasarkan onset, lokasi obstruksi, dan
bentuk dari obstruksi (Ellis, et al., 2016):
1) Onset
Onset dari ileus obstruktif dibedakan menjadi akut, kronis, atau acute on
chronic. Pada obstruksi akut, onset cepat dan gejala yang muncul berat. Pada
obstruksi kronis, gejala muncul secara progresif lambat (mis. karsinoma colon).
Obstruksi kronis dapat menyebabkan munculnya gejala akut apabila obstruksi
menjadi komplit secara tiba-tiba. Hal ini yang disebut dengan obstruksi acute
on chronic.
2) Lokasi

18
Lokasi obstruksi dibedakan menjadi obstruksi letak tinggi dan letak rendah.
Obstruksi letak tinggi terjadi pada usus halus, sedangkan obstruksi letak rendah
terjadi pada usus besar atau colon.
3) Bentuk
Bentuk dari obstruksi dibedakan menjadi simpel atau strangulasi. Obstruksi
simpel terjadi tanpa adanya kerusakan atau penurunan suplai darah. Sedangkan
obstruksi strangulasi terjadi ketika suplai darah dari segmen usus yang
mengalami obstruksi mengalami penurunan atau sama sekali tidak mendapatkan
suplai darah. Obstruksi strangulasi terjadi pada kasus hernia strangulasi,
volvulus, intususepsi, atau adanya lilitan. Obstruksi strangulasi dapat menjadi
gangren apabila tidak ditangani segera.
Selain simpel atau strangulasi, bentuk obstruksi juga dapat dibedakan menjadi
parsial atau komplit. Cairan dan gas masih dapat melewati obstruksi parsial,
sedangkan pada obstruksi komplit terjadi hambatan total dari isi usus.

C. Etiologi
Obstruksi pada saluran apapun dalam tubuh, etiologi dibagi ke dalam tiga
kelompok antara lain (Ellis, et al., 2016):
1) Luminal
Impaksi feses, ileus ‘gallstone’, bolus makanan, parasite (mis. cacing ascaris
dalam usus halus), intususepsi.
2) Mural
Atresia kongenital, Crohn’s disease, tumor, diverkulitis dari colon, karsinoma
colon.
3) Ekstramural
Hernia strangulasi, volvulus, obstruksi karena adesi atau adanya lilitan.
Etiologi obstruksi saluran cerna juga dibagi berdasarkan kelompok usia,
antara lain (Ellis, et al., 2016):
1) Neonatus
Atresia kongenital, stenosis, anus imperforate, volvulus neonatorum,
Hirschprung’s disease, dan ileus meconium.
2) Infan
Intususepsi, Hirschprung’s disease, hernia strangulasi, dan diverticulum Meckel.
3) Dewasa
Hernia strangulasi, adesi dan lilitan, Crohn’s disease

19
4) Lanjut usia
Hernia strangulasi, karsinoma colon, diverticulitis kolon, impaksi feses.

D. Penegakkan Diagnosis
1) Anamnesis
Empat gejala kardinal dari obstruksi saluran cerna antara lain nyeri perut
yang bersifat colic, adanya distensi, konstipasi, dan muntah. Tidak semua gejala
muncul bersamaan pada kasus obstruksi saluran cerna (Ellis, et al., 2016).
a) Nyeri Abdomen
Nyeri merupakan gejala pertama dari obstruksi saluran cerna dan pada
umumnya bersifat colic. Pada obstruksi letak tinggi, nyeri umumnya terjadi
di regio periumbilical, dan pada obstruksi letak rendah, lebih ke arah nyeri
suprapubik (Ellis, et al., 2016)
b) Distensi
Distensi usus terutama terjadi pada obstruksi letak rendah yang bersifat
kronis, dan juga pada volvulus di colon sigmoid. Pada obstruksi letak tinggi,
hanya sebagian kecil usus yang berada di proksimal obstruksi, dan umumnya
distensi tidak terlalu jelas (Elli, et al., 2016).
c) Konstipasi
Konstipasi terjadi akibat kegagalan menyalurkan flatus atau feses. Meskipun
konstipasi merupakan tanda umum dari obstruksi akut, obstruksi kronik atau
parsial dapat disertai dengan adanya flatus meskipun jarang. Konstipasi
absolut merupakan gejala awal dari obstruksi letak rendah, tetapi merupakan
gejala akhir dari obstruksi letak tinggi (Ellis, et al., 2016)
d) Muntah
Muntah terutama terjadi di awal pada obstruksi letak tinggi, tetapi pada
obstruksi letak rendah jarang terjadi atau bahkan mungkin tidak ada gejala
muntah. Pada fase akhir dari obstruksi saluran cerna, muntah bersifat
faeculent tetapi bukan feses. Muntah faeculent ini terjadi karena
dekomposisi bakteri dari isi usus yang stagnan dan adanya peningkatan flora
usus. Muntah feses hanya terjadi pada pasien dengan fistula gastrocolic (mis.
pada karsinoma gaster, karsinoma colon, atau ulkus gaster yang mencapai
colon) (Ellis, et al., 2016).
Selain gejala atau keluhan yang dirasakan, riwayat adanya neoplasia pada
abdomen, hernia atau operasi hernia, dan adanya penyakit usus lainnya harus

20
ditanyakan, karena kondisi-kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya
obstruksi karena kemungkinan adanya adesi atau lilitan pasca operasi (Stoffels, et
al., 2017).
2) Pemeriksaan Fisik
Distensi abdomen ditemukan pada 60% pasien dengan ileus obstruktif
letak tinggi. Obstruksi pada bagian proksimal usus halus atau duodenum kurang
mengalami distensi jika dibandingkan dengan obstruksi di bagian distal.
Auskultasi abdomen akan ditemukan bunyi peristaltik yang meningkat sebagai
usaha untuk mengeluarkan obstruksi. Bunyi peristaltik usus yang menurun
menandai fase akhir dari perjalanan penyakit (Ramnarine, 2017).
Pada ileus obstruktif letak rendah, distensi abdomen menjadi tanda yang
dominan. Palpasi abdomen dapat ditemukan adanya nyeri tekan. Adanya demam,
nyeri tekan, dan dinding yang tegang menandakan peritonitis sekunder akibat
perforasi. Perforasi cenderung sering terjadi di daerah cecum karena diameter
yang lebar dan dinding yang tipis.
Pada pemeriksaan rektal dapat ditemuan adanya darah atau bekuannya,
yang menandakan adanya strangulasi atau keganasan, selain itu dapat ditemukan
juga adanya massa, yang menandakan hernia obturator. Selain itu perlu dicari
tanda iskemik atau strangulasi usus, seperti adanya demam, takikardi, dan tanda
peradangan peritoneum seperti dinding abdomen yang tegang, rebound
tenderness, nyeri seluruh lapang (Ramnarine, 2017).

21
Gambar 1. Gambaran kontur usus pada pasien suspek ileus obstruktif.

3) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dari pasien yang dicurigai obstruksi harus
meliputi pemeriksaan darah rutin dan metabolik. Alkalosis metabolic karena
hipokalemik, hipokloremik dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi muntah
yang parah. Pasien dengan dehidrasi dapat ditemukan peningkatan kadar nitrogen
urea darah, juga peningkatan hemoglobin dan level hematokrit. Jumlah leukosit
dapat meningkat apabila bakteri usus mengalami translokasi ke dalam aliran
darah, menyebabkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) atau
sepsis. Adanya kondisi asidosis metabolic disertai dengan peningkatan kadar
laktat serum dapat menandai adanya iskemia usus (Jackson & Raiji, 2011).
4) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan awal dari pasien dengan tanda dan gejala ileus obstruktif
harus meliputi foto polos abdomen. Radiografi dapat dengan cepat menentukan
apakah perforasi usus telah terjadi, dengan ditemukannya udara bebas di atas
hepar, pada posisi erect atau pada posisi left lateral decubitus. Radiografi dapat
mendiagnosis secara akurat pada 60% kasus. Tetapi pada obstruksi di duodenum
atau jejunum, hasil pemeriksaan dapat ditemukan normal. Oleh sebab itu, ketika
pemeriksaan radiologi menunjukkan hasil negatif pada pasien dengan kecurigaan
ileus obstruksi, harus dilakukan pemeriksaan CT-scan tanpa kontras (Jackson &
Raiji, 2011).
Pada pasien dengan ileus obstruksi letak tinggi, dari posisi supine dapat
ditemukan dilatasi dari usus halus, dan colon yang kosong tanpa udara.
Sedangkan pada pasien dengan ileus obstruksi letak rendah akan tampak dilatasi
colon, dengan dekompresi usus halus pada pasien dengan katup ileocecum yang
kompeten. Posisi erect atau left lateral decubitus dapat ditemukan gambaran air
fluid level yang bertingkat (Jackson & Raiji, 2011).
Pemeriksaan CT-scan merupakan pemeriksaan lanjutan pada pasien yang
dicurigai ileus obstruksi tetapi pemeriksaan foto polos abdomen belum dapat
menegakkan diagnosis. CT-scan sensitive untuk mendeteksi ileus obstruksi
hingga 90%, dan memiliki keuntungan tambahan untuk mengidentifikasi sebab
dan level obstruksi. Pemeriksaan CT-scan juga dapat memberikan gambaran
penyebab seperti volvulus atau strangulasi. Hasil temuan CT-scan pada pasien
dengan obstruksi usus meliputi dilatasi usus proksimal dari lokasi obstruksi,
dengan dekompresi usus bagian distal. Adanya gambaran lokasi transisional

22
dapat menjadi panduan dalam tindakan operatif. Pada CT-scan dengan kontras,
ketiadaan kontras di rektum juga menjadi tanda dari obstruksi total (Jackson &
Raiji, 2011).
Meskipun CT-scan sangat sensitif dan spesifik untuk obstruksi komplit,
tetapi CT-scan kurang baik mendeteksi obstruksi parsial. Pada pasien obstruksi
parsial, bahan kontras dapat melewati usus dan mencapai rektum, dan tidak
tampak lokasi transisional. Obstruksi parsial lebih bagus jika dideteksi dengan
fluoroskopi (Jackson & Raiji, 2011).
Pemeriksaan fluoroskopi berguna untuk mendiagnosis obstruksi parsial
pada pasien yang stabil secara klinis. Penggunaan materi kontras laarut air tidak
hanya untuk fungsi diagnostik, tetapi juga memiliki fungsi terapetik pada ileus
obstruksi letak tinggi yang parsial (Jackson & Raiji, 2011).
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) memiliki sensitifitas yang cukup
tinggi dalam mendeteksi obstruksi komplit, mencapai 85%. Pemeriksaan USG
terutama digunakan untuk pasien yang tidak stabil dan pada pasien yang
dikontraindikasikan terkena paparan radiasi seperti wanita hamil (Jackson &
Raiji, 2011).
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) lebih sensitif
dibandingkan dengan CT-scan dalam evaluasi obstruksi. Tetapi pemeriksaan CT-
scan lebih mudah dan lebih murah, sehingga CT-scan lebih direkomendasikan
dibandingkan MRI.

Gambar 2. Dilatasi usus pada pasien ileus obstruktif, posisi supine

23
Gambar 3. Air fluid level multiple pada posisi left lateral decubitus.

Gambar 4. Gambaran CT-scan potongan aksial pada ileus obstruktif.

24
Gambar 5. Dilatasi pada colon.

Gambar 6. Dilatasi colon dan ileum karena tumor colon distal.


E. Patofisiologi
Obstruksi usus terjadi karena adanya sumbatan, dan usus di bagian distal
sumbatan akan menjadi kosong dan kolaps. Usus di atas sumbatan akan mengalami
dilasi, sebagian oleh gas dan sebagian oleh cairan yang dihasilkan oleh sekresi
gaster, bilier, pankreas dan dinding usus yang meningkat. Adanya obstruksi juga

25
akan menyebabkan meningkatnya peristalsis sebagai usaha untuk mengeluarkan
sumbatan, yang muncul sebagai nyeri colic. Karena usus yang mengalami dilasi,
suplai darah ke bagian usus yang mengalami distensi akan terganggu, dan pada
beberapa kasus dapat menyebabkan terjadinya ulserasi mukosa yang berujung pada
perforasi. Perforasi juga dapat terjadi karena adanya tekanan dari lilitan yang
menyebabkan nekrosis akibat iskemik lokal, atau dari tekanan dalam lumen usus,
misal oleh massa feses (ulserasi sterkoral) (Ellis, et al., 2016).
Pada obstruksi strangulasi, integritas dari barrier mukosa hilang karena
adanya iskemia yang progresif, sehingga bakteria dan toksin tidak lagi berada di
dalam lumen. Terjadi transudasi organisme ke dalam peritonium secara cepat, yang
menyebabkan peritonitis sekunder. Strangulasi usus yang tidak ditangani
menyebabkan terjadinya gangren dari usus yang iskemik dengan perforasi. Toksemia
terjadi karena migrasi toksin dan bakteri usus ke dalam kavitas peritoneum, baik
melalui usus yang intak tapi iskemik, atau melalui usus yang perforasi (Ellis, et al.,
2016).
Dampak berbahaya dari obstruksi usus akibat dari adanya deplesi cairan dan
elektrolit karena adanya muntah yang terus-menerus. Tekanan intra abdomen yang
meningkat juga berpengaruh pada turunnya absorpsi air dan natrium di lumen usus
sehingga terjadi penumpukan air, natrium dan kalium di lumen usus. Selain itu
terjadi edema dari dinding usus dan kebocoran protein dari sel-sel epitel usus.
Kondisi dehidrasi pada tubuh akibat muntah dan penurunan absorpsi usus, disertai
dengan kondisi usus yang stasis dapat menyebabkan overgrowth dari flora usus
sehingga terjadi feculent emesis (Jackson & Raiji, 2011).

F. Tatalaksana
1) Resusitasi Cairan
Pasien dengan ileus obstruktif sering mengalami hipovolemik, sehingga
perlu diberikan resusitasi cairan. Apabila pasien mengalami muntah, kehilangan
cairan dan elektrolit yang dialami pasien semakin parah, dan pemasangan nasal-
gastric tube(NGT) harus dipertimbangkan. Resusitasi dan terapi suportif harus
dilakukan segera setelah pasien masuk, meskipun belum ada diagnosis kerja
(Yeo & Lee, 2013).
Pemasangan NGT berguna untuk dekompresi, dan juga untuk
kepentingan diagnostik, untuk melihat isi lambung, dan juga untuk mencegah
terjadinya pneumonia aspirasi. Adanya cairan NGT yang bersifat faeculent

26
merupakan ciri khas dari ileus obstruktif letak tinggi bagian distal. Selain itu
dilakukan pemasangan kateter urin untuk memonitor output urin. Output urin
yang kurang dari 0,5 ml/kg/jam menandakan adanya dehidrasi dan resusitasi
cairan yang kurang adekuat (Yeo & Lee, 2013).
2) Tindakan operatif
Ileus obstruksi letak tinggi parsial hampir 90% sembuh spontan dengan
terapi konservatif. Pasien dengan obstruksi akut dari Crohn’s disease sering
mengalami perbaikan klinis dengan terapi konservatif. Obstruksi yang berasal
dari impaksi makanan, bezoar, corpus alienum atau batu empedu dapat diterapi
dengan endoskopi, ketika sumber obstruksi dapat dijangkau oleh alat endoskopi
dan didorong ke dalam usus yang lebih distal. Obstruksi mekanik kurang dari 30
hari setelah operasi biasanya disebabkan oleh adesi dan dapat ditangani secara
konservatif karena adesi post-operatif cenderung tipis dan dapat hilang dengan
sendirinya (Cappell & Batke, 2011).
Jika obstruksi letak tinggi tidak membaik dalam 24-48 jam setelah terapi
konservatif, maka obstruksi cenderung lebih parsial dan laparotomi
diindikasikan. Menunda tindakan operatif lebih dari 24 jam pada pasien dengan
gejala strangulasi akan meningkatkan risiko mortalitas tiga kali lipat (Cappell &
Batke, 2011)
Pasien dengan tanda-tanda perforasi, iskemik, atau peritonitis
membutuhkan tindakan laparotomi segera. Beberapa persiapan pre-operatif
harus dilakukan seperti resusitasi cairan, dan pemberian antibiotik profilaksis
yang mencakup bakteri aerobik dan gram negatif (Yeo &Lee, 2013).

27
Gambar 7. Algoritma Ileus Obstruktif Letak Tinggi

Gambar 7. Teknik Operatif untuk Ileus Obstruktif Letak Rendah.

28
G. Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas dari ileus obstruktif sering terkait dengan tindakan
operatif dan penyakit yang menyebabkan kondisi obstruksi. Komplikasi yang dapat
terjadi antara lain (Hopkins, 2017):
1) Perforasi
2) Peritonitis sekunder akibat perforasi usus
3) Sepsis
4) Abses intra abdomen akibat kebocoran anastomosis
5) Pneumonia aspirasi terutama saat muntah
6) Dehidrasi
7) Gangguan elektrolit
8) Kematian.

29
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,


pasien ini didiagnosis sebagai Ileus Obstruksi. Terapi suportif awal yang dilakukan adalah
pemasangan NGT yang bertujuan untuk dekompresi dan mencegah aspirasi ketika operasi.
Kemudian dilakukan tindakan operatif eksplorasi laparotomi, dan ditemukan adanya tumor
cecum sebagai sumber obstruksi, dilanjutkan dengan reseksi tumor cecum dan anastomosis
ileocolic. Dari hasil pemeriksaan patologi anatomi didapatkan gambaran Adenokarsinoma
Stadium IIIA. Kondisi pasien setelah operasi membaik, dan diperbolehkan pulang pada
Senin, 21 Mei 2018.

30
DAFTAR PUSTAKA

Cappell MS, Batke M. Mechanical Obstruction of the Small Bowel and Colon. Medical
Clinics of North America 2011 pp: 575-597.
Dhupar R, Ochoa JB. 2012. Ileus and Mechanical Bowel Obstruction. In: Textbook of
Critical Care 6th edition. Edited by: Vincent JL, Abraham E, Moore FA,
Kochanek PM, Fink MP. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Ellis H, Calne SR, Watson C. 2016. General Surgery Lecture Notes. Oxford: Willey
Blackwell.
Fry RD, Mahmoud NN, Maron DJ, Bleier JIS. 2016. Colon and Rectum. In: Sabiston
Textbook of Surgery 20th edition. Edited by: Townsend CM, Beauchamp RD,
Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Hopkins C. 2017. Large-Bowel Obstruction. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/774045-overview (Diakses pada: 20 Mei
2018).
Jackson PG, Raiji M. Evaluation and Management of Intestinal Obstruction. American
Family Physician 2011 Volume 83 Number 2 pp: 159-165.
Ramnarine M. 2017. Small-Bowel Obstruction. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/774140-overview (Diakses pada: 21 Mei
2018).
Viz TO, Stoffels B, Strassburg C, Schild HH, Kalff JC. Ileus in Adults: Pathogenesis,
Investigation and Treatment. Dutch Arzteblatt International 2017 Volume 114
pp: 508-518.
Yeo HL, Lee SW. Colorectal Emergencies: Review and Controversies in the
Management of Large Bowel Obstruction. Journal of Gastrointestinal Surrgeon
2013 Volume 17 pp: 2007-2012.

31

Anda mungkin juga menyukai