Anda di halaman 1dari 9

PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar


yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia
dengan berbagai indikasi (Anand et al, 2004).
1. Farmakologi
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
Fereous Sulfate
Carbonyl Iron
Iron Dextran Complex
Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif
dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada
penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat
membantu dalam mencegah atau mengurangi transfusi (Anand et al, 2004).
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,
Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.
Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik.
Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi
fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan harapan
hidup pada pasien yang berhasil transplantasi (Maakaron, 2013).
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh
karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein yang
adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan
manusia dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul
esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein
berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena
itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan
yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak
mengandung zat besi. (Gallagher ML, 2008)

b. Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari
tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan
suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate
selama 12 minggu dapat meningkatkan rata rata kadar hemoglobin
sebanyak 7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia dari 54% menjadi
38%. (Zimmermann MB et.al, 2011)
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat membantu
absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan eritrosit. Rendahnya
status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan
untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan -karoten akan
membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut
dalam lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan
vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan derajat
infeksi yang selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin
kembali normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di
tempat penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis
(Subagio HW, 2008).
Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumber-
sumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani diantaranya
susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber makanan nebati seperti
papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran seperti wortel. (Michael J et al,
2008)
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan
antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya
bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C maka
kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti kejadian anemia
semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin C dapat
meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh. (Agus, 2004)
Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang
sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C
juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam
plasma ke feritin hati. (Gallagher, 2008)
Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk
sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan anemia misalnya
buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan lain dan sayuran
hijau. (Marshall, 2004)
d. Zat Besi

Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai


faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang
disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk
zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total
besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu
mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan
tubuh (Provan, 2004).
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-
kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam
makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks heme-
protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber zat
besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya
(Mozzafari et al, 2009).
e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut
dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para-
aminobenzoat dan asam glutamat (Wardhini & Rosmiati, 2003). Sumber
makanan asam folat banyak terdapat pada hewan, buah-buahan, gandum,
dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna hijau.

Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan


DNA inti sel dan penting dalam pembentukan myelin yang berperan
penting dalam maturasi inti sel dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast.
Akibat dari sefisiensi asam folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti
eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya
kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar (megaloblast)
(Underwood, 2003). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg
(Matizih, 2007).

6) Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan
bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari
1000. Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),
keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu.
Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu
hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-
masing terikat pada cobal (Robert & Brown, 2003).
Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua
reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk
enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-CoA mutase
membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-
CoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA diperlukan untuk sintesis
hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai
pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi
vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-
CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic
acid oleh suatu enzim hydrolase (Gibson, 2005).
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan
sel-sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan
cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang
bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi defisiensi
vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak
normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi
anemia (Carmel, 2006).
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil.
Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 g/hari,
pada usia 4 12 tahun sekitar 1 1,8 g/hari dan bagi usia 13 tahun
sampai dewasa 2,4 g/hari. Sedangkan ibu hamil dan menyusui
memerlukan tambahan masing-masing 0,2 g/hari dan 0,4 g/hari.
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,
susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain (Setiawan & Rahayuningsih, 2004).
5. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian anemia
dapat disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed rest, terapi
dapat dilakukan untuk pasien dengan anemia yang dapat disembuhkan
(misalnya anemia pernisiosa).
KOMPLIKASI
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat
berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental. Ada
bukti menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan
pada perilaku dan fungsi intelektual anak (Lissauer, 2007). Anemia gravis
akibat defisiensi besi menyebabkan gangguan perkembangan neurologik pada
bayi dan menurunkan prestasi belajar pada anak usia sekolah karena zat besi
telah dibuktikan berperan penting dalam fungsi otak dan penelitian pada
hewan coba menunjukkan berlakunya perubahan perilaku dan fungsi
neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan
bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu perkembangan
psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak yang
diberikan suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka
untuk berkonsentrasi semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ
(Intelligent Quotient) pada anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan
dengan jelas lebih rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia
defisiensi besi (WHO, 2001).
Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif
pada anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan pembentukan
myelin. Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung
baik bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin mengalami
kekurangan besi. Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang.
Penyebab yang kedua ialah gangguan metabolisme neurotransmitter. Hal ini
terjadi karena gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi
dan kontrol motorik. Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme energi
protein. Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada
ribonukleotida reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak
dan energi otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia dan semakin
luas otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin
permanen dan sulit diperbaiki (Lubis, 2008).
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL
mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah
menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan
dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya faktor hemodinamik yaitu cardiac
output dan distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen di darah yaitu
konsentrasi hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi
oksigen antara darah arteri dan vena (Dyer & Fifer, 2003).
Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan
hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin.
Mekanisme nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi
eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen
extraction. Ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor
nonhemodinamik berperan dan terjadi peningkatan cardiac output serta aliran
darah sebagai kompensasi terhadap hipoksia jaringan. (Done & Foley, 2002)
Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara lain
terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vaskular sistemik,
peningkatan preload akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi
ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatetik dan
faktor inotropik. Pada anemia kronik, terjadi peningkatan kerja jantung
menyebabkan pembesaran jantung dan hipertrofi ventrikel kiri. (Bridges,
2008)
Data longitudinal menunjukkan bahwa anemia merupakan predisposisi
terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi yang dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi sistolik. Manifestasi kardiovaskular pada
pasien dengan anemia kronis yang berat tidak terlihat jelas kecuali pada
pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien biasanya mengalami pucat,
bisa terlihat kuning, denyut jantung saat istirahat cepat, prekordial aktif dan
dapat terjadi murmur sistolik. Pada keadaan anemia, venous return jantung
akan meningkat. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri, dengan
miofibril jantung yang memanjang dan ventrikel kiri dilatasi, akibatnya akan
memperbesar stroke volume sesuai dengan mekanisme Starling. (Brannon,
1945)

Secara fisiologis akibat dari hal ini terjadi dilatasi ventrikel khususnya
terjadi peningkatan tekanan dinding jantung yang mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap terjadi dilatasi
yang progresif dinding ventrikel kiri menebal yang disebut dengan eccentric
hipertrofi yang bermanfaat sebagai mekanisme adaptasi untuk melindungi
jantung dari peningkatan tahanan dinding jantung. (Zilberman, 2007)

3. Hipoksia Anemik
Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen
(dan substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil metabolik
lain) dari sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada
sistem respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang
diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat. Perubahan teganagan oksigen
dan karbon diaoksida serta perubahan konsentrasi intraeritrosit dari komponen
fosfat organik, terutama asam 2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran
kurva disosiasi oksigen. Bila hasil hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan,
PaCO2 biasanya meningkat dan kurva disosiasi bergeser kekanan. Dalam
kondisi ini, persentase saturasi hemoglobin dalam darah arteri pada kadar
penurunan tegangan oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan. (Baliwati, 2004)
Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan penurunan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2 tetap normal, tetapi
jumlah absolut oksigen yang diangkut perunit volume darah akan berkurang.
Ketika darah yang anemik melintas lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah
yang normal dikeluarkan dari dalam darah tersebut, maka PaCO2 di dalam
darah vena akan menurun dengan derajat penurunan yang lebih besar daripada
yang seharusnya terjadi dalam keadaan normal. (Almatsier, 2004)

Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.p.75, 185-188, 249-254.
Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to
clinical outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149154.

Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Jakarta.
Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias And Other Red Cell Disorders. New York:
Mc Graw-Hill
Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC,
Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Ed
ke-10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.
Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University
Press.
Matizih, 2007. Diet Atkins. Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Mozaffari-Khosravi H, Noori-Shadkam M, Fatehi F, Naghiaee Y. Once Weekly
Low-Dose Iron Supplementation Effectively Improved Iron Status In
Adolescent Girls. Biol Trace Elem Res. Aug 4 2009;epub ahead of print.
Setiawan B dan Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan Gizi di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakart: LIPI.
World Health Organization., 2006. Worldwide Prevalence Of Anaemia 1993-2005.
World Health Organization global database on anaemia. Atlanta

Anda mungkin juga menyukai