Anda di halaman 1dari 30

BAB I

Tinjauan Pustaka
1. Hipokalemia
1.1. Definisi
Disebut hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang dari 3,5
meq/L1,2 yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau
adanya gangguan perpindahan ion kalium ke dalam sel.2 Hipokalemia merupakan
kejadian yang sering dalam klinik. Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai
berikut: asupan kalium yang kurang, pengeluaran kalium yang berlebihan
melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat, kalium masuk ke dalam sel
(translokasi).1

1.2. Gejala Klinis


Kelemahan pada otot, rasa lelah, nyeri otot, ‘restless legs syndrome’
merupakan gejala pada otot yang timbul pada kalium yang kurang dari 3 meq/L.
Penurunan yang lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan atau rabdomiolisis.
Aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrium, takikardia ventrikular merupakan efek
hipokalemia pada jantung. Hal ini terjadi akibat perlambatan repolarisasi
ventrikel pada keadaan hipokalemia yang menimbulkan peningkatan arus re-
entry. Tekanan darah dapat meningkat pada hipokalemia dengan mekanisme
yang tidak jelas. Hipokalemia dapat menimbulkan gangguan toleransi glukosa
dan gangguan metabolisme protein.1
Efek hipokalemia pada ginjal dapat berupa timbulnya vakuolisasi pada
tubulus proksimal dan distal. Juga terjadi gangguan pemekatan urin sehingga
menimbulkan poliuria dan polidipsia. Hipokalemia juga akan meningkatkan
produksi NH4 (amonia) dan produksi bikarbonat di tubulus proksimal yang akan
menimbulkan alkalosis metabolik. Meningkatnya NH4 (amonia) dapat
mencetuskan koma pada pasien dengan gangguan fungsi hati.1

1.3. Diagnosis Hipokalemia


Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada hipokalemia adalah
pemeriksaan kadar elektrolit plasma. Kadar kalium yang kurang dari 3,5 mEq/L
merupakan tanda utama hipokalemia. Pada keadaan normal, hipokalemia akan
menyebabkan ekskresi kalium melalui ginjal turun hingga kurang dari 25 mEq
per hari sedang eksresi kalium dalam urin lebih dari 40 mEq per hari
menandakan adanya pembuangan kalium berlebihan melalui ginjal.1
Penilaian ekskresi kalium dalam urin dapat juga dinilai dengan Trans
Tubular Potassium Concentration Gradient (TTKG). TTKG menunjukkan
estimasi kadar kalium dalam cairan tubulus tepatnya pada akhir duktus
koligentes bagian kortikal. Duktus koligentes bagian kortikal merupakan tempat
paling terakhir sebagai penentu kadar kalium dalam urin. Rumus TTKG adalah
sebagai berikut1
osmolalitas urin
(
TTKG= K urin:
osmolalitas plasma )
: K plasma

Nilai normal TTKG adalah 8 – 9. TTKG > 11 menunjukkan peningkatan


ekskresi kalium urin, sedangkan TTKG < 11 menunjukkan peningkatan ekskresi
kalium ektrarenal pada kasus hipokalemia.1

1.4. Penatalaksanaan
 Penurunan kalium plasma 1 mEq/L sama dengan kehilangan 200 mEq dari
total kalium tubuh.2
 Indikasi koreksi kalium dibagi dalam :1,2
o Indikasi mutlak ; pada pasien sedang dalam pengobatan digitalis,
pasien dengan ketoasidosis diabetik, pasien dengan kelemahan otot
pernafasan dan pasien dengan hipokalemia berat ( < 2 meq/L).
o Indikasi kuat ; kalium harus diberikan dalam waktu yang tidak terlalu
lama yaitu pada keadaan insufisiensi koroner/ iskemia otot jantung,
ensefalopati hepatik, dan pasien menggunakan obat yang dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke intrasel.
o Indikasi sedang ; pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada
hipokalemia ringan ( 3-3,5 meq/l ).
 Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 meq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 meq/L,
sedang pemberian 135-160 meq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 2,5-
3,5 meq/L.1
 Penggantian kalium secara intravena dalam bentuk larutan KCl (rapid
correction): jika hipokalemia berat atau pasien tidak mampu menggunakan
kalium per oral.2 KCL 20 meq dilarutkan dalam 100cc NaCl isotonik.
Pemberian melalui vena besar dengan kecepatan maksimal 10 meq per jam
atau konsentrasi maksimal 30-40 meq/L karena dapat menyebabkan
hiperkalemia yang mengancam hidup. Jika melalui vena perifer, KCL
maksimal 60 meq dilarutkan dalam NaCl isotonik 1000 cc dengan kecepatan
dikurangi untuk mencegah iritasi pembuluh darah.1,2
 Pada keadaan aritmia yang berbahaya atau adanya kelumpuhan otot
pernafasan, kalium intra vena dapat diberikan dengan kecepatan 40-100
meq/jam.2
Gambar 1. Algoritme Penatalaksanaan Hipokalemia2

Gambar 2. Pendekatan Diagnosa Hipokalemia3


2. Bartter Syndrome

2.1. Definisi

Sindrom Bartter adalah kelainan tubulus ginjal herediter yang disebabkan oleh
defek reabsorbsi garam di lengkung Henle asendens yang tebal, yang mengakibatkan
pembuangan garam, hipokalemia, dan alkalosis metabolik. Mutasi beberapa gen yang
mengkode transporter dan saluran yang terlibat dalam reabsorbsi garam di lengkung
Henle asendens menyebabkan berbagai jenis sindrom Bartter. 4
2.2. Epidemiologi
Sindrom Bartter (BS) saat ini diakui sebagai kelainan tubulus ginjal bawaan yang
langka yang mempengaruhi sekitar 1 dari 1.000.000 populasi, yang disebabkan oleh
reabsorpsi garam yang terganggu di lengkung Henle (TAL) yang tebal, yang
mengakibatkan pemborosan garam, hipokalemia , dan alkalosis metabolik dengan
kadar klorida serum yang relatif rendah.4
2.3. Etiologi dan patogenesis
Pada orang dewasa, keberadaan BS atau GS dapat dicurigai setelah penyebab
yang lebih umum seperti penyalahgunaan diuretik dan muntah telah disingkirkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, karakterisasi genetik dan deteksi saluran ion yang
berbeda dan regulasinya yang terlibat dalam penyakit ini membantu dokter untuk
lebih memahami mekanisme yang mendasarinya. Pertama, genotipe yang berbeda
ditemukan dan dianggap mewakili kelompok yang memiliki fenotipe BS yang sama.
Namun, perbedaan klinis dan laboratorium yang penting di antara pasien dalam
kelompok ini telah diungkapkan secara progresif sehingga menghasilkan presentasi
yang berbeda dari entitas yang sama.4,5,6

Gambar 3. Patofisiologi dari sindrom Bartter.5


Gambar 6. Patofisiologi defek gen pada sindrom Bartter.4

Mutasi beberapa gen yang mengkode transporter yang terlibat dalam


reabsorpsi garam di TAL menyebabkan berbagai jenis BS, yang saat ini
diklasifikasikan ke dalam subtipe yang berbeda sesuai dengan mutasi gen yang
terlibat: BS tipe I yang disebabkan oleh mutasi pada NKCC2 (SLC12A1); tipe II BS
dengan mutasi pada ROMK (KCNJ1); BS tipe III dengan mutasi pada CLC-Kb
(CLCNKB); tipe IVa BS dengan mutasi pada barttin (BSND), dan tipe IVb BS
dengan mutasi pada CLC-Ka dan CLC-Kb (CLCNKA dan CLCNKB). Keempat jenis
ini adalah gangguan resesif. Subtipe BS tambahan yang berbeda, dianggap sebagai
BS tipe V oleh banyak peneliti, dianggap berasal dari mutasi fungsi CASR dan
ditandai dengan hiperkalsiuria hipokalsemia dominan autosomal. Baru-baru ini,
mutasi pada antigen terkait melanoma D2 (MAGE-D2) telah terlibat dalam bentuk
sementara BS antenatal, juga disebut sebagai tipe V BS menurut beberapa laporan.
Bentuk BS yang baru dikenali ini pada kebanyakan kasus ditandai dengan
polihidramnion berat yang sangat dini dan resolusi gejala yang lengkap setelah
lahir.4,5,6
2.4. Klasifikasi dan manifestasi klinis 4

Menurut Chunha (2018) dalam kohort Prancis BS tipe III besar, variasi fenotipik
terdiri dari sekitar 30% BS antenatal/neonatal, 45% BS klasik, dan 25% fenotipe
mirip Gitelman.4
2.5. Diagnosis

Gambar 6. Flowchart untuk diagnosis sindrom Bartter pada pasien dewasa.4

Pemeriksaan laboratorium biokimia dasar (termasuk natrium serum, kalium,


glukosa, klorida, bikarbonat, dan kreatinin) adalah inti skrining pada pasien dengan
hipokalemia. Elektrolit urin (kalium dan klorida) dalam pemeriksaan urin berguna
dalam membedakan penyebab hipokalemia ginjal dan non-ginjal. Analisis gas darah
arteri (ABG) harus dilakukan untuk mendeteksi asidosis metabolik atau alkalosis bila
penyebab yang mendasari tidak jelas dari riwayat. Magnesium serum, kadar kalsium
penting untuk menyingkirkan kelainan elektrolit terkait. Ekskresi kalsium urin sangat
penting untuk menilai sindrom Bartter. 7,8,9
Gittelman Sindrome (GS) juga merupakan tubulopati pelepas garam resesif
yang jarang dengan gangguan reabsorpsi garam di DCT, yang mempengaruhi 1 dari
25.000 populasi dan mungkin merupakan gangguan pemborosan garam ginjal yang
paling umum. Temuan klinis yang khas termasuk hipokalemia, alkalosis metabolik,
hipokalsiuria, dan hipomagnesemia. Di masa lalu, BS digunakan untuk membedakan
GS dengan beberapa temuan klinis seperti onset usia dini, keparahan, adanya
hiperkalsiuria, polihidramnion, atau retardasi pertumbuhan. Namun, kemajuan dalam
pengetahuan medis menunjukkan bahwa pasien dengan BS dapat memiliki presentasi
yang terlambat, dan beberapa temuan seperti hiperkalsiuria pada BS tidak selalu ada
pada semua kasus. 4,5

2.6. Terapi

Hipokalemia, sering dalam kisaran 2-3 mmol/L, disebabkan oleh peningkatan


kehilangan kalium urin karena aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan
hiperaldosteronisme sekunder akibat penipisan garam dan air yang disebabkan oleh
ketidakmampuan menyerap kembali natrium di TAL dari lengkung Henle atau DCT.6

Suplemen kalium klorida adalah garam yang lebih disukai karena defisiensi
klorida yang ada pada pasien. Beberapa ratus mmol kalium per hari mungkin
diperlukan untuk memperbaiki hipokalemia. Spironolakton, antagonis aldosteron
spesifik, mengikat secara kompetitif mengikat reseptor yang ada di tempat pertukaran
natrium-kalium yang bergantung pada aldosteron di DCT. Ini meningkatkan ekskresi
air sambil mempertahankan kalium. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor,
seperti kaptopril, enalapril dan lisinopril, memblokir konversi angiotensin I (ANG I)
menjadi ANG II dan mencegah sekresi aldosteron dari adrenal. korteks. Obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID) menurunkan sintesis prostaglandin PGE2, yang
menyebabkan resistensi pressor terhadap ANGII dan norepinefrin, hiperreninemia,
dan peningkatan aktivitas simpatoadrenal. Hipoaldosteronisme hiporeninemia yang
dihasilkan menyebabkan retensi kalium. Obat-obatan termasuk indometasin dan
naproksen yang menurunkan aktivitas enzim siklooksigenase (COX) yang
meningkatkan prostaglandin. perpaduan. Pemberian hormon pertumbuhan (GH)
diperlukan untuk pengobatan perawakan pendek dan kegagalan pertumbuhan, yang
umum terjadi. Jika ada kejang otot atau tetani, suplemen kalsium atau magnesium
mungkin diperlukan.6,10

2.7. Prognosis

Prognosis tergantung pada derajat disfungsi reseptor. Tanpa pengobatan, ada


morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Setelah diobati, kebanyakan pasien
menjalani kehidupan yang cukup normal. Sebagian kecil pasien mengalami
perkembangan yang lambat menjadi gagal ginjal kronis, karena fibrosis interstisial,
dan mungkin memerlukan terapi penggantian ginjal. Nefrokalsinosis dapat terjadi dan
sering dikaitkan dengan hiperkalsiuria. Aritmia jantung, kadang-kadang
menyebabkan kematian mendadak, dapat terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan
elektrolit yang signifikan. Tuli sensorineural, terkait dengan sindrom Bartter IV,
memerlukan pengobatan yang tepat. 10
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 25 tahun di bagian Penyakit


Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 2 September 2021 pukul 19.30
WIB dengan:

Keluhan utama: (autoanamnesis)

Lemah keempat anggota gerak yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:

 Lemah ke empat anggota gerak yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu,
lemah telah dirasakan sejak 1 minggu terutama setelah beraktivitas. Lemah
awalnya dirasakan pada kaki dan semakin lama kelemahan juga dirasakan pada
tangan.
 Mual dan muntah tidak ada
 Penurunan nafsu makan tidak ada
 Penurunan berat badan tidak ada
 Demam tidak ada
 Batuk tidak ada
 Sesak nafas tidak ada
 Jantung berdebar-debar tidak ada
 Buang air kecil warna, frekuensi, dan jumlah biasa, Riwayat kencing
berpasir tidak ada
 Buang air besar warna, konsistensi dan frekuensi biasa
 Riwayat kontak pasien covid 19 tidak ada
 Pasien saat ini menjalani pengobatan TB bulan ke-6
 Riwayat penggunaan insulin tidak ada
 Riwayat penggunaan obat obat diuretic tidak ada
 Penggunaan obat-obat rutin tidak ada
 Pasien pernah mengalami keluhan yang sama 3 minggu yang lalu dan
mendapatkan perawatan di RS. Pasien rutin mengkonsumsi obat Kalium
Slow Release (KSR) 3x600mg dan obat anti tuberculosis bulan ke enam
(INH 1x300mg, rifampisin 1x450mg)

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat Hipertensi tidak ada
 Riwayat DM tidak ada
 Riwayat penyakit ginjal tidak ada
 Riwayat penyakit jantung tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita TB
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita Hipertensi
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita DM
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan:


 Pasien seorang ibu rumah tangga, tinggal bersama suami dan 1 orang anak usia
3 tahun, tinggal dirumah permanen dengan kondisi ventilasi baik.
 Sebelumnya pasien bekerja sebagai petugas rekam medik di sebuah rumah sakit
 Pasien tergolong ekonomi menengah-keatas.
 Riwayat minum alkohol tidak ada.
 Riwayat merokok tidak ada.

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis Cooperative
Tekanan darah : 112/73 mmHg
Nadi : 83 x/menit, kuat angkat, teratur
Nafas : 19x/menit
Suhu : 36,5oC
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 55 kg
BMI : 22.8 kg/m2 (normoweight)
Sianosis : tidak ada
Anemis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Edema : tidak ada
Kulit : Kulit teraba hangat, turgor kulit baik
KGB : Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher,
aksila, dan inguinal
Kepala : normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Wajah : Chovstek’s sign (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), reflex cahaya (+/+),
pupil isokor, diameter 3mm/3mm
Telinga : Aurikula normal
Hidung : Deviasi septum (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-)
Mulut : Caries (-), mukosa mulut basah (-), bercak putih (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
Thoraks : Normochest
Paru :
Paru depan
Inspeksi : statis : normochest, deformitas (-)
dinamis : simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : fremitus normal kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru, batas pekak hepar setinggi
RIC IV
Auskultasi : suara nafas vesikular, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Paru belakang
Inspeksi : statis : simetris kiri dan kanan
dinamis : simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikular, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas atas RIC II, batas kanan LSD, batas kiri 1 jari medial
LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : irama teratur, M1 > M2, P2 < A2, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba,
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Nyeri tekan dan nyeri ketok CVA (-/-)
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anus : Tidak ada kelainan
Anggota gerak : Reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-, pitting
edema-/-, trousseau sign (-)
pemeriksaan Motorik
kekuatan motorik 333/333
333/333
Pemeriksaan sensorik
Ekstremitas atas
Kanan Kiri
Halus ++ ++
Kasar ++ ++
Ekstremitas bawah
Kanan Kiri
Halus ++ ++
Kasar ++ ++

Laboratorium
Darah rutin

Hemoglobin 11,1 gr/dl Basofil 0


Hematokrit 32 % Eosinofil 2
Leukosit 6360/mm3 Netrofil Batang 0
Trombosit 424.000/mm3 Netrofil Segmen 64
LED 2 mm/jam Limfosit 25
Monosit 9
Gambaran darah tepi
Eritrosit : normositik, normokrom
Leukosit : Jumlah cukup, morfologi normal
Trombosit : Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan: hasil dalam batas normal

Urinalisa
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 1-2 Protein Negatif
Kekeruhan Negative Eritrosit 0-1 Glukosa Negatif
BJ 1,010 Silinder negatif Bilirubin Negatif
pH 7,5 Kristal negatif Urobilinogen Positif
Epitel Gepeng (+)
Kesan Urinalisa : Dalam batas normal

Feses rutin
Makroskopis Mikroskopis
Warna Coklat Lekosit 0-1/LPB
Konsistensi Lunak Eritrosit 0-1/LPB
Darah Negative Amuba Negatif
Lendir Negative Telur Cacing Negatif
Tes darah samar Negative
Kesan: feses rutin dalam batas normal

EKG

Irama : Sinus QRS Komplek : 0,08 detik


HR : 88 x/ menit ST Segmen : isoelektrik
Axis : normal Gel T : normal
Gel P : normal SV1+RV5 : <35
PR interval : 0,16 detik R/S V1 : <1
QT interval: 0,6 detik QTc : 727 msec
Kesan : Sinus Rhytm, Hr 80 x/ menit

Keluar nilai kritis pukul 22.00

Kalium 2,4 mmol/L


Kesan: hipokalemia

MASALAH
 lemah
 Hipokalemia
 Long QT
Diagnosis Kerja :

Diagnosis Primer :
 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec renal loss
Diagnosis Sekunder :
 TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis on OAT kategori I fase
lanjutan bulan ke-6
Diagnosis Banding :
 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Gitelman sindrom
 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindromea
 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Renal tubular acidosis
Pemeriksaan anjuran :
 Faal ginjal (Ureum dan Creatinin)
 Elektrolit (Natrium, Chlorida, calcium, magnesium)
 Pemeriksaan Analisa gas darah
 Pemeriksaan elektrolit urin (kalium urin, Chlorida urin, kalsium urin,
osmolaritas urin)
 Pemeriksaan anti-HIV
 EKG ulang
 Pemeriksaan USG ginjal
 Ekspertise rontgen thorak

TERAPI :

 Istirahat/ Diet makanan biasa TKTP 1500 kkal (karbohidrat 900 kkal, protein
225 kkal, lemak 450 kkal)
 IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
 Drip KCL 30 meq dalam 300 cc nacl 0,9% habis dalam 4 jam
 KSR 2 x 600 mg (po)
 Rifampisin 1x450 mg (po)
 INH 1x300mg (po)
 Vitamin B6 1x25mg (po)

FOLLOW UP
Follow up tanggal 3 September 2021

S/ Lemah keempat anggota gerak(+) berkurang

O/

KU Kes TD Nadi Nafas T


Sakit sedang CMC 110/70 mmHg 84x/menit 19 x/menit 36,7
Kekuatan motorik 444/444
444/444
EKG

Irama : Sinus QRS Komplek : 0,08 detik


HR : 79 x/ menit ST Segmen : isoelektrik
Axis : normal Gel T : normal
Gel P : normal SV1+RV5 : <35
PR interval : 0,12 detik R/S V1 : <1
QT interval: 0,40 detik QTc : 456 msec
Kesan : Sinus Rhytm, Hr 79 x/ menit

Keluar Hasil Labor

Natrium : 140 mmol/L Magnesium : 2,0 mg/dl


Kalium : 2,6 mmol/L Ureum : 9 mg/dL
Chlorida : 104 mmol/L Creatinine : 0,4 mg/dL
Calsium : 8,8 mmol/L
Kesan: hipokalemia
Keluar hasil labor Analisa gas darah

Ph : 7,49
pCO2 : 34
pO2 : 119
HCO3- : 25,9 mmol/L
Be : 2,8 mmol/L
SO2 : 99%
Kesan: alkalosis metabolic

Keluar hasil expertise rontgen thorak


Trakea di tengah
Jantung : CTR dan mediastinum superior tidak melebar
Kedua hillus tidak menebal/ melebar
Corakan brokovaskuler dalam batas normal
Tidak tampak infiltrate maupun nodul dikedua lapangan paru
Kedua diafragma licin, kedua sinus costrofrenikus lancip
Tulang intak
Kesimpulan: cor dan pulmo dalam batas normal

Konsul konsultan ginjal dan hipertensi

Kesan:
 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindrome
Diagnosis Banding :
 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Gitelman Sindrome
Advise:
 Drip KCL 30 meq dalam 300 cc nacl 0,9% habis dalam 4 jam
 KSR 3x600mg (po)
 Aspar-K 2x300mg (po)
 Pemeriksaan elektrolit urin (kalium urin, Chlorida urin, kalsium urin,
osmolaritas urin)
 Pemeriksaan USG ginjal

Konsul Konsultan pulmonologi

Kesan :
 TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis on OAT kategori I fase
lanjutan bulan ke-6
Advise :
 Rifampisin 1x450 mg (po)

 INH 1x300mg (po)


 Vitamin B6 1x25mg (po)

A/

 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindrome


 TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis on OAT kategori I fase
lanjutan bulan ke-6

P/

 Istirahat/ Diet makanan biasa TKTP 1500 kkal (karbohidrat 900 kkal, protein
225 kkal, lemak 450 kkal)
 IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
 Drip KCL 30 meq dalam 300 cc nacl 0,9% habis dalam 4 jam
 KSR 3x600mg (po)
 Aspar-K 2x300mg (po)
 Rifampisin 1x450 mg (po)
 INH 1x300mg (po)
 Vitamin B6 1x25mg (po)
 Cek elektrolit urine
 Cek calcium urine
 Cek osmolaritas urine
 USG Ginjal

Follow up tanggal 6 September 2021

S/ Lemah keempat anggota gerak(+) berkurang

O/

KU Kes TD Nadi Nafas T


Sakit sedang CMC 109/72 mmHg 83x/menit 20 x/menit 36,6
Kekuatan motorik 444/444
444/444
Keluar Hasil Labor

Natrium : 137 mmol/L


Kalium : 2,7 mmol/L
Chlorida : 107 mmol/L
Kesan: hipokalemia

USG Ginjal
Ginjal kanan Ginjal kiri:
 Bentuk/ukuran : normal  Bentuk/ukuran : normal
 Tepi : reguler  Tepi : reguler
 Echo densitas : normal  Echo densitas : normal
 Cortex dan medula : dapat  Cortex dan medula : dapat
didiferensiasi didiferensiasi
 Piramida : melebar  Piramida : melebar
 Sistem pelviokalik : tidak ada  Sistem pelviokalik : tidak ada
dilatasi dilatasi
 Batu, kista : tidak ada  Batu, kista : tidak ada
Vesika urinaria
 Bentuk : normal
 Mukosa : regular
 Batu : tidak ada
Kesan: Sonogram kedua ginjal sesuai dengan gambaran ginjal normal.

Konsul konsultan ginjal dan hipertensi

Kesan:

 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindrome

Advise:

 Drip KCL 30 meq dalam 200 cc nacl 0,9% habis dalam 4 jam
 Cek elektrolit urine
 Cek calcium urine
 Cek osmolaritas urin

A/

 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindrome


 TB paru dalam terapi OAT fase lanjutan bulan ke-6

P/

 Istirahat/ Diet makanan biasa TKTP 1500 kkal (karbohidrat 900 kkal, protein
225 kkal, lemak 450 kkal)
 IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
 Drip KCL 30 meq dalam 200 cc nacl 0,9% habis dalam 4 jam
 KSR 2 x 600 mg (po)
 Aspar-K 2x300mg
 Rifampisin 1x450 mg (po)
 INH 1x300mg (po)
 Vitamin B6 1x25mg (po)
 Cek elektrolit urine
 Cek calcium urine
 Cek osmolaritas urine

Follow up tanggal 7 September 2021

S/ Lemah keempat anggota gerak(+) berkurang

O/

KU Kes TD Nadi Nafas T


Sakit sedang CMC 111/74 mmHg 86x/menit 20 x/menit 36,7
Kekuatan motorik 555/555
555/555
Keluar hasil labor

Natrium: 140 mmol/L


Kalium: 2,8 mmol/L
Clorida: 106 mmol/L
Kesan: hipokalemia

Keluar hasil labor elektrolit urine

Kalium urine: 42 mmol/L (N: 25-125 mmol/24jam)


Natrium urine: 155 mmol/L (N: 44-220 mmol/24jam)
Clorida urine: 181 mmol/L L (N: 110-250 mmol/24jam)
Urine osmolality: 261 mOsm/kgH2O
Serum osmolality: 288 mOsm/kgH2O
Kalsium urine: 137,8 mg/24 jam (N: 100-320mg/24 jam)
TTKG = 18
Kesan: kadar kalium urin menurun, TTKG meningkat

Konsul konsultan ginjal dan hipertensi

Kesan:
 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindrome
Advise:
 KSR 2 x 600 mg (po)
 Aspar-K 2x300mg
 Acc rawat jalan

A/

 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindrome


 TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis on OAT kategori I fase
lanjutan bulan ke-6
P/

 Istirahat/ Diet makanan biasa TKTP 1500 kkal (karbohidrat 900 kkal, protein
225 kkal, lemak 450 kkal)
 IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
 KSR 2 x 600 mg (po)
 Aspar-K 2x300mg
 Rifampisin 1x450 mg (po)
 INH 1x300mg (po)
 Vitamin B6 1x25mg (po)
 Rawat jalan
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 25 tahun sejak tanggal 2


September 2021 di bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan
diagnose akhir:
 Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindrome
 TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis on OAT kategori I fase
lanjutan bulan ke-6
Diagnosis Periodik paralisis e.c hipokalemia ec Bartter Sindrome dan TB paru
kasus baru terkonfirmasi bakteriologis on OAT kategori I fase lanjutan bulan ke-6
pada pasien ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan lemah ke empat anggota gerak
yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu, lemah telah dirasakan sejak 1 minggu
terutama setelah beraktivitas. Lemah awalnya dirasakan pada kaki dan semakin lama
kelemahan juga dirasakan pada tangan. Pasien rutin mengkonsumsi obat Kalium Slow
Release (KSR) 3x600mg2 dan pasien saat ini menjalani pengobatan TB bulan ke-6
dan rutin mengkonsumsi obat anti tuberculosis (INH 1x300mg, rifampisin 1x450mg)
pada pemeriksaan penunjang didapatkan pemanjangan interval QT dan pemeriksaan
labor didapatkan nilai kritis kalium 2,4 mmol/L.
Menurut Kardalas (2018), kelemahan otot adalah gejala yang paling umum pada
hipokalemia, kelemahan otot dapat terjadi mulai dari ekstremitas bawah dan naik ke
batang tubuh dan ekstremitas atas. Pada hipokalemia berat, kelemahan otot dapat
berkembang menjadi paralisis flaccid. 8
Menurut Shibli (2015), Hipokalemia kronis menyebabkan kelemahan otot,
kelelahan, pusing, dan kram otot. Hipokalemia dapat menyebabkan rhabdomyolysis,
interval QT yang memanjang, aritmia yang mengancam jiwa, sinkop dan kematian
mendadak. Perubahan EKG bervariasi tergantung pada tingkat keparahan
hipokalemia, Hipokalemia ringan (antara 3,0 mmol/L dan 3,5 mmol/L) jarang
menyebabkan perubahan signifikan pada elektrokardiogram, namun kadar kalium
serum di bawah 3 mmol/L sering kali menyebabkan depresi progresif segmen ST,
penurunan amplitudo gelombang T, dan peningkatan amplitudo gelombang U. 10,11
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kalium 2,4 mmol/L menunjukkan
kondisi hipokalemia. Pemeriksaan fungsi ginjal di dapatkan kadar ureum 9 mg/dl dan
kreatinin 0,4 mg/dl, menunjukkan faal ginjal normal. Pemeriksan analisa gas darah
menunjukkan alkalosis metabolik dengan nilai Ph = 7,49, nilai pCO2 = 34, nilai pO2
= 119, nilai HCO3- = 25,9 mmol/L. Pemeriksaan kalium urin didapatkan kadar
kalium yaitu 42 mmol/hari, osmoralitas urin 261 mOsm/kgH2O pada osmolaritas
serum 288 mOsm/kgH2O, dengan TTKG = 18 yang mengindikasikan bahwa
hipokalemia akibat adanya kebocoran kalium pada ginjal.
Hipokalemia adalah elektrolit yang ditandai dengan konsentrasi kalium serum
yang rendah (kisaran normal: 3,5–5,0mEq/L). Hipokalemia berat dan mengancam
jiwa didefinisikan ketika kadar kalium <2,5mEq/L. Hipokalemia berat relatif jarang
terjadi. Sekitar 80% pasien yang menerima diuretik menjadi hipokalemia, sementara
banyak pasien dengan hipokalemia juga dapat memiliki penyakit sistemik terkait.
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam prevalensi antara laki-laki dan
perempuan. Hipokalemia dapat disebabkan oleh penurunan asupan kalium atau
kehilangan kalium yang berlebihan melalui urin atau melalui saluran cerna. Ekskresi
kalium yang berlebihan dalam urin (kaliuresis) dapat terjadi akibat penggunaan obat
diuretik, penyakit endokrin seperti hiperaldosteronisme primer, kelainan ginjal, dan
sindrom genetik yang memengaruhi fungsi ginjal salah satunya sindroma bartter.7,8
Berdasarkan pendekatan alur hipokalemia dengan kondisi hipokalemia,
alkalosis metabolic, magnesium dan kalsium yang normal, maka ditegakkan pasien
ini dengan diagnosa Bartter syndrome. Setelah hipokalemi dikoreksi lemah pada
kedua tangan dan kaki mengalami perbaikan.
Sebagian besar sindroma Bartter terjadi pada anak-anak dan sangat jarang
terjadi pada usia dewasa dengan prevalensi 1 dalam 1.000.000 populasi, di Indonesia
kasus sindroma bartter pada seorang laki-laki usia 44 tahun di Bali telah dilaporkan
sebelumnya.4,12
Pasien saat ini sedang menjalani pengobatan anti tuberculosis kategori I fase
lanjutan bulan ke enam (INH 1x300mg, rifampisin 1x450mg). Sindroma bartter
pernah dilaporkan pada pasien perempuan berusia 43 tahun yang sedang
mendapatkan terapi TB oleh Amini pada tahun 2020. Sindrom Bartter dapat
disebabkan oleh penggunaan aminoglikosida, sehingga disebut sindrom mirip Bartter.
Hipokalemia telah dilaporkan sebagai efek samping aminoglikosida dalam banyak
penelitian, tetapi sindrom mirip Bartter karena aminoglikosida hanya dilaporkan
dalam beberapa laporan kasus. Semua aminoglikosida dalam penggunaan klinis telah
terlibat, termasuk gentamisin, tobramycin, amikasin, kanamisin, dan kapreomisin.13
Kanamisin dan kapreomisin saat ini menjadi lini pertama pengobatan TB
MDR. Sebuah penelitian retrospektif di Peru menunjukkan bahwa 31% pasien yang
menjalani pengobatan MDR-TB mengalami hipokalemia dengan rata-rata kalium
serum 2,85 mmol/L. Hipomagnesemia terjadi pada 16% pasien, dengan sebagian
besar terjadi bersamaan dengan hipokalemia. Terdapat beberapa penelitian untuk
mengetahui kejadian hipokalemia pada pasien yang mendapat pengobatan TB MDR
di Indonesia. Di RS Hasan Sadikin Bandung, hipokalemia terjadi pada 50% dari 133
pasien yang mendapat kanamisin dan kapreomisin. Pelaporan pada kasus TB yang
menjalani pengobatan kategori I saat ini belum ada. 13
Pada pasien didiagnosa banding dengan sindroma gitelman. Sindrom Bartter dan
Gitelman sebelumnya dianggap sebagai penyakit heterogen genotipik dan fenotipik.
Meskipun mereka berbagi beberapa fitur karakteristik, manifestasi klinis dan
laboratorium mungkin tidak selalu memungkinkan perbedaan di antara mereka.
Mutasi genetik yang berbeda yang menyebabkan gangguan transportasi elektrolit di
berbagai situs nefron telah dilaporkan dalam setiap kondisi. Namun, ada tumpang
tindih yang cukup besar antara genotipe dan fenotipe yang berbeda dua kondisi ini
yang sekarang lebih baik digambarkan sebagai spektrum manifestasi klinis yang
disebabkan oleh mutasi gen yang berbeda. Tes genetik diperlukan untuk menegakkan
diagnosis, tetapi seringkali tidak dilakukan karena keterbatasan fasilitas dan biaya.
10,13

Sebelumnya, terminologi lain telah diusulkan untuk memisahkan BS menjadi "BS


antenatal" (BS tipe I, II, dan IV), terkait dengan presentasi yang lebih parah, dari BS
"klasik" (BS tipe III) dengan presentasi selanjutnya dengan bentuk onset lambat
dengan klinis yang lebih ringan. Namun, temuan terbaru menunjukkan spektrum
keparahan yang luas pada semua bentuk BS: beberapa pasien dengan BS tipe I, II,
atau IV datang dengan bentuk onset lambat, sedangkan beberapa pasien dengan BS
tipe III mungkin muncul dengan presentasi antenatal yang parah. 4,5,10
Menurut Chunha (2018) dalam sebuah studi kohort di Spanyol, kalsium urin
bervariasi dengan hiperkalsiuria terjadi pada 31% pasien dan hipokalsiuria pada 23%,
dan sebagian besar memiliki kalsium yang normal, dalam studi kohort yang sama,
nefrokalsinosis didiagnosis pada 20% pada pasien BS tipe III. Tujuan terapi pada
pasien bartter ini adalah untuk mengatasi hipokalemia dan alkalosis metabolic
pasien.4
Menurut Shibli (2015), tatalaksana hipokalemia secara umum adalah pemberian
kalium oral ataupun intravena. Pasien dengan kadar kalium 2,5–3,5 mEq/L (mewakili
hipokalemia ringan hingga sedang), hanya memerlukan penggantian kalium oral. Jika
kadar kalium kurang dari 2,5 mEq/L, kalium intravena (i.v.) harus diberikan, dengan
tindak lanjut yang ketat, pemantauan EKG terus menerus, dan pengukuran kadar
kalium serial.10
Menurut Tinawi (2020), pasien dengan K+ serum dalam kisaran 3,0-3,5 mEq/l
biasanya diobati dengan garam K+ oral selama mereka dapat minum obat oral. Pasien
dengan K+ serum < 3 mEq/l mungkin memerlukan K+ IV terutama pada keadaan
darurat seperti aritmia, rhabdomyolisis, dan gagal napas. Dalam banyak situasi, baik
garam PO dan IV K+ digunakan bersamaan.7
Pada pasien ini diberikan koreksi secara intravena dengan indikasi hipokalemia
(2,4 mmol/L). pasien mengalami perbaikan bermakna secara klinis, dan laboratorium
setelah pemberian KCl intravena. Pilihan terapi substitusi oral pada pasien diperlukan
untuk menjaga kadar kalium pada pasien agar tetap stabil. Terapi ini diberikan
seumur hidup untuk menghindari episode serangan berulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar. P. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Edisi VI: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta : Interna Publishing; 2017.p2243-59
2. Alwi et all. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam : Panduan Praktik
Klinis. Jakarta : Interna Publishing; 2019. p389-391.
3. Nathania. Maggie. Hipokalemia-Diagnosis dan Tatalaksana. Cermin Dunia
Kedokteran. 2019; 46 (2). 103-8
4. Cunha T, Heilberg IP. Bartter syndrome: causes, diagnosis, and treatment.
International Journal of Nephrology and Renovascular Disease. 2018;11:291–
301.
5. Konrad M , Nijenhuis T, Ariceta G, Thomas AB, Calo LA, Capasso G et all.
Diagnosis and management of Bartter syndrome: executive summary of the
consensus and recommendations from the European Rare Kidney Disease
Reference Network Working Group for Tubular Disorders. Kidney International.
2021; 99:324–335.
6. Konrad M , Nijenhuis T, Ariceta G, Thomas AB, Calo LA, Capasso G et all.
Diagnosis and Management of Bartter syndrome: Consensus and
Recommendations. ERKNet Working Group for Tubular Disorders. 2021:1-17
7. Tinawi M. Hypokalemia: A Practical Approach to Diagnosis and Treatment.
Arch Clin Biomed Res. 2020; 4 (2): 048-066
8. Kardalas E, Stavroula A Paschou SA, Anagnostis P, Muscogiuri G, Siasos G,
Vryonidou A. Hypokalemia: a clinical update. Endocrine Connections. 2018; 7:
135–46
9. Viera AJ, Wouk N. Potassium Disorders: Hypokalemia and Hyperkalemia.
American Family Physician. 2015; 92(6): 487-95
10. Shibli AA, Narchi H. Bartter and Gitelman syndromes: Spectrum of clinical
manifestations caused by different mutations. World J Methodol. 2015; 5(2): 55-
61
11. Trojak B, Astruc K, Pinoit JM, Gelinier C, Ponavoy E, Bonin B, Gisselmann A.
Hypokalemia is associated with lengthening of QT interval in psychiatric patients
on admission. Elsevier. 2009; 169(3): 257-260
12. Prawita AA, Lestari W, Herawati S, Mulyantari NK, Krisnawati NK, Nabu EK,
Sindroma Bartter pada laki-laki berusia 44 tahun: laporan kasus. Intisari Sains
Medis. 2021; 12(2): 568-571
13. Aminy RZ, Mardiana N. Bartter-like Syndrome in a patient receiving
capreomycin for the treatment of multidrug-resistant tuberculosis. Current
Internal Medicine Research And Practice Journal. 2020: 1(2): 38-45

Anda mungkin juga menyukai