Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM

HEPATORENAL SYNDROME

Pembimbing :
dr. Herjunianto, SpPD , MMRS
Kolonel Laut (K) NRP . 11300/P

Penyusun :
Jesselyn Kristanti 2015.04.2.0077
Achmad Faisal Arganata 2015.04.2.0001
Ade Maulana A. 2015.04.2.0002
Aditya Kurniasari Agustin 2015.04.2.0004

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

Pasien dengan sirosis dan asites sering berkembang menjadi gagal


ginjal yang bersifat khusus, yang lebih dikenal dengan nama sindrom
hepatorenal (SHR). Sindrom ini disebabkan oleh terjadinya vasokonstriksi
pada sirkulasi dalam ginjal. Gambaran histologi pada pasien seperti ini
biasanya normal, dan ginjal akan kembali menjadi normal atau mendekati
normal fungsinya setelah transplantasi hati. (Setiawan, 2009)

Di samping perubahan pada fungsi ginjal, pasien dengan SHR juga


menunjukkan kelainan mencolok dari sirkulasi pembuluh nadi sistemik dan
aktivitas sistem vasoaktif endogen, yang mungkin memegang peranan
yang sangat penting untuk timbulnya hipoperfusi ginjal. (Setiawan, 2009)

Pasien penyakit hati yang berat misalnya sirosis hati (SH)


dekompensata, yang sering mengalami gangguan fungsi ginjal ini,
umumnya akan memperburuk prognosis pasien. Gangguan fungsi ginjal
pada pasien SH ini dapat disebabkan adanya gangguan hemodinamik,
terutama vasodilatasi perifer, yang akan diikuti aktivasi hormon
vasokonstriksi, sistem neurohormonal seperti renin aldosteron,
vasopresin, endotelin dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis.
Gangguan ini akan memicu retensi air dan natrium di ginjal, dan
penurunan laju filtrasi glomerulus ginjal (LFG). Kelainan fungsi ginjal pada
pasien sirosis hepatis ini bersifat fungsional, yaitu tanpa disertai
perubahan morfologis ginjal. (Setiawan, 2009)

Pada stadium awal gangguan fungsi ginjal ini bersifat reversibel,


yaitu dapat membaik dengan intervensi medis. Stadium ekstrim dari
gangguan fungsi ginjal ini adalah sindrom hepatorenal (SHR) yang
umumnya bersifat ireversibel. Sekitar 20 % pasien SH dengan asites
disertai fungsi ginjal normal, akan mengalami SHR setelah 1 tahun, dan

2
39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Prognosis SHR umumnya
buruk. Tanpa transplantasi hati atau pengobatan dengan vasokonstriktor
yang tepat rerata angka ketahanan hidup kurang dari 2 minggu. (Gines et
al, 1993)

Insidensi tahunan SHR pada pasien dengan sirosis dan asites


diperkirakan mencapai 8%. SHR dibagi menjadi 2 tipe, yaitu SHR Tipe 1
dan Tipe 2. Tanpa manajemen yang baik SHR Tipe 1 merupakan
komplikasi dari sirosis dengan prognosis yang paling buruk, dimana rata-
rata penderita SHR Tipe 1 hanya dapat bertahan hidup 2 minggu setelah
onset kegagalan ginjal. (Arroyo et al, 2008)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindroma Hepatorenal (SHR) adalah suatu bentuk gagal ginjal
fungsional tanpa adanya perubahan patologis pada ginjal, yang
terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis yang sudah lanjut
atau gagal hati akut (Bacon, 2008). Sindroma hepatorenal
merupakan komplikasi serius pada pasien dengan sirosis dan
asites, yang dikarakteristikkan oleh adanya azotemia yang
memburuk disertai peningkatan retensi natrium dan oliguria tanpa
adanya penyebab spesifik disfungsi renal yang dapat diidentifikasi.
(Chung & Podolsky, 2005)

Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsi ginjal


sekunder pada penyakit hati tingkat berat baik yang akut maupun
kronis. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu
gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya
hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya perbaikan volume plasma
saja ternyata tidak dapat memperbaiki gangguan fungsi ginjal ini.
(Arroyo et al, 1996)

Definisi sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International


Ascites Club adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien
penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal
yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang
nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoaktif endogen.
Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi
glomerulus rendah, dimana sirkulasi di luar ginjal terdapat
vasodilatasi arteriol yang luas menyebabkan penurunan resistensi
vaskuler sistemik total dan hipotensi. (Arroyo et al,1996)

4
2.2 Etiologi
SHR terjadi hampir secara eksklusif pada pasien dengan asites.
(Lata, 2012).Pasien dengan sirosis dan asites mengalami penurunan
perfusi ginjal akibat vasokonstriksi pembuluh darah, yang menjadi
faktor predisposisi terjadinya SHR. Tidak terdapat hubungan yang
linear antara keparahan kegagalan liver dengan insidensi SHR,
namun SHR pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit
liver dan hipertensi portal tahap lanjut (Turban et al, 2007). Sindroma
ini dapat terjadi secara spontan maupun dicetuskan oleh faktor-faktor
yang menyebabkan hipoperfusi ginjal. Infeksi bakteri, terutama
spontaneous bacterial peritonitis (SBP) merupakan faktor pencetus
yang paling sering ditemukan pada pasien dengan SHR (Arroyo et
al, 2008).

2.3 Epidemiologi
Insidensi SHR pada pasien dengan 234 non-azotemic pasien
dengan penyakit liver serta asites dan sirosis, 18% diantaranya
mengalami SHR setelah 1 tahun, dan 39% diantaranya mengalami
SHR setelah 5 tahun (Turban et al, 2007).

2.4 Patogenesis
Patogenesis SHR sampai sekarang belum secara lengkap
diketahui. Hipotesis patogenesis SHR adalah akibat sirosis hati (SH)
atau penyakit hati tingkat berat dan bersama-sama dengan
hipertensi portal akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi arteri
splankhnik. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan hipovolemia arterial
sentral, sehingga merangsang aktivasi sistem saraf simpatis, renin
angiotensin aldosteron, dan hormon antidiuretik yang secara
keseluruhan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal. Di ginjal seharusnya akan terjadi mekanisme kompensasi,
namun dengan alasan yang belum jelas justru terjadi
ketidakseimbangan mekanisme kompensasi ini, yaitu meningkatnya
vasokonstriktor disertai penurunan vasodilat

5
Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien
sirosis hepatis dengan sindrom hepatorenal sebagai berikut

a. Hati
Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen
Penurunan pemecahan renin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin,
dan vasopresin
b. Plasma
Peningkatan kadar renin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin,
noradrenalin, vasopresin, endotelin 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4,
kalsitonin peptida dan hormon antidiuretik.
Penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial.
c. Urin atau ginjal
Peningkatan renin, angiotensin II, aldosteron, edotelin, tromboksan
A2, leukotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin.

Fakta hasil studi di atas kiranya menunjukkan betapa pada pasien SHR
terjadi vasokonstriksi ginjal dengan segala akibatnya dengan mekanisme
atau patogenesis yang sangat kompleks. Studi lain menyatakan bahwa
terjadi penurunan sintesis nitrit oksida yang merupakan vasodilator kuat,
pada pasien sirosis hepatis dan sindroma hepatorenal.(Gines et al
,1993)

6
Gambar 2.1 Pathogenesis Sindroma Hepatorenal (Devuni dkk, 2015)

2.5 Patofisiologi
Ciri khas dari sindrom hepatorenal adalah adanya
vasokonstriksi dari pembuluh darah ginjal, walaupun
patogenesisnya tidak sepenuhnya dimengerti (Devuni dkk, 2015)

Beberapa mekanisme yang mungkin terkait dan termasuk


hubungan antara sistem hemodinamik, aktivasi dari sistem
vasokonstriktor, dan reduksi dari aktivitas sistem vasodilator. Pola
hemodinamik dari pasien dengan sindrom hepatorenal
dikarakteristikkan dengan peningkatan cardiac output, tekanan
arteri yang rendah dan penurunan resistensi vaskular sistemik.
Vasokonstriksi renal terjadi tanpa adanya pengurangan cardiac
output dan volume darah, yang mana bertentangan dengan

7
kebanyakan keadaan klinis yang berhubungan dengan hipoperfusi
renal.(Devuni dkk, 2015)

Walupun pola dari peningkatan resistensi vaskuler renal dan


penurunan resistensi perifer adalah karakter dari sindrom
hepatorenal, hal ini juga terjadi pada keadaan yang lain, seperti
pada anafilaksis dan sepsis. Studi doppler pada arteri brachial ,
cerebral media, dan arteri femoralis mengindikasikan bahwa
resistensi ekstrarenal meningkat pada pasien dengan sindrom
hepatorenal dimana sirkulasi splanknik bertanggunng jawab untuk
vasodilatasi arteri dan penurunan resistensi vaskular sistemik total.
(Devuni dkk, 2015)

RAAS dan sistem saraf simpatik adalah sistem yang


dominan untuk vasokonstriksi renal. Aktivitas dari kedua sistem
meningkat pada pasien dengan sirosis dan asites dan efek ini
menjadi berlipat ganda pada sindrom hepatorenal. Sebaliknya,
hubungan terbalik terjadi antara kedua sistem ini dan aliran plasma
renal (RPF) dan laju filtrasi glomerulus (LFG). Endotelin adalah
vasokonstriktor renal lain yang meningkat konsentrasinya pada
sindrom hepatorenal, meskipun perannya pada patogenesis dari
sindroma ini belum diketahui. Adenosin juga memiliki sifat
vasodilator, meskipun dia bertindak sebagai vasokonstriktor pada
paru dan ginjal. Peningkatan level dari adenosin lebih umum pada
pasien dengan peningkatan aktivitas RAAS dan mungkin bersinergi
dengan angiotensin II untuk menghasilkan vasokonstriksi renal
pada sindroma hepatorenal. Efek ini juga dideskripsikan oleh
voskonstriktor renal yang kuat , leukotrien E4.(Devuni dkk, 2015)

Efek vasokonstriksi dari berbagai macam sistem ini


diantagonis oleh faktor vasodilator lokal dari ginjal, yang paling
penting diantaranya adalah prostaglandin. Mungkin bukti paling
kuat yang mendukung perannya adalah ditandai dengan penurunan
aliran plasma ginjal dan laju filtrasi glomerulus ketika pengobatan

8
nonsteroid yang diketahui mengurangi level prostaglandin secara
signifikan diberikan. (Devuni dkk, 2015)

Nitrit oksida (NO) adalah vasodilator lain yang memerankan


peran penting dalam perfusi renal. Dalam percobaan pada hewan
mendemonstrasikan bahwa produksi NO meningkat pada pasien
dengan sirosis walaupun inhibisi NO tidak menghasilkan
vasokonstriksi renal sebagai kompensasi dari sintesis
prostaglandin. Bagaimanapun ketika produksi NO dan PG
diinhibisi, vasokonstriksi renal yang bermakna terjadi.(Devuni dkk,
2015)

Temuan ini mendemonstrasikan bahwa vasodilatasi renal


memainkan peran yang penting dalam mempertahankan perfusi
ginjal., terutama dengan keberadaan overaktivitas dari
vasokonstriktor renal. Bagaimanapun apakah aktivitas
vasokonstriktor menjadi sistem dominan pada sindrom hepatorenal
ataukah pengurangan aktivitas dari sistem vasodilator yang
berkontribusi masih perlu dibuktikan. (Devuni dkk, 2015)

2.6 Klasifikasi
Sindroma hepatorenal dibedakan menjadi 2 tipe (Fernandez et al,
2008)
SHR tipe 1
SHR tipe 1 merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana
terjadi peningkatan serum kreatinin dua kali lipat (nilai awal serum
kreatinin lebih dari 2,5 mg/dl) atau penurunan bersihan kreatinin
50% dari nilai awal hingga mencapai 20 ml/menit dalam waktu
kurang dari 2 minggu. Prognosis umumnya sangat buruk, yaitu
sekitar 80% akan meninggal dalam waktu 2 minggu, dan hanya
10% yang bisa bertahan lebih dari 3 bulan. Penyebab kematian
adalah karena gagal sirkulasi, gagal hati, gagal ginjal, dan
ensefalopati hepatik.

9
SHR tipe 2
SHR tipe 2 merupakan bentuk kronis SHR, ditandai dengan
penurunan LFG yang lebih lambat. Kondisi klinis pasien biasanya
lebih baik dibanding SHR tipe 1, dengan angka harapan hidup yang
lebih lama. Prognosis SHR tipe 2 umumnya buruk, yaitu angka
harapan hidup 5 bulan sekitar 50% dan 1 tahun sebesar 20%. SHR
tipe 2 dapat berkembang menjadi SHR tipe 1.

2.7 Manifestasi Klinis


Pada pasien sirosis hati, 80% kasus SHR disertai asites, 75%
disertai ensefalopati hepatik, dan 40% disertai ikterus. Pada pasien
sebelumnya tidak pernah menderita penyakit ginjal.

Faktor resiko terjadinya SHR antara lain : kondisi malnutrisi,


volume hati yang mengecil, infeksi, pendarahan saluran cerna,
adanya varises esofagus, terapi diuretika, gangguan elektrolit, obat-
obatan nefrotoksis, peningkatan tekanan intra abdominal oleh
karena asites yang masif.

Kebanyakan orang yang dengan hepatorenal sindrom (HRS)


mengalami sirosis sebelumnya, dan mungkin memiliki tanda dan
gejala yang sama, yaitu penyakit kuning, perubahan status mental,
bukti penurunan gizi, dan adanya asites. Secara khusus, terjadinya
asites yang resisten dengan penggunaan obat diuretik adalah
karakteristik dari HRS tipe 2. Oliguria, yang merupakan penurunan
volume urin, dapat terjadi sebagai akibat dari gagal ginjal, namun,
beberapa orang dengan HRS terus menghasilkan jumlah urin secara
normal. (Arroyo et al, 1996)

2.8 Diagnosa
Menurut The International Ascites Club, kriteria untuk
menegakkan diagnosis SHR terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria

10
tambahan. Diagnosis SHR dapat dibuat bila ditemukan seluruh
kriteria mayor. (Arroyo et al, 1996)

Kriteria Mayor

1. Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan
hipertensi portal
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) yang rendah, kreatinin serum >1,5
mg/dl (130 mmol/l) atau bersihan kreatinin <40 ml/menit
3. Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian
obat-obatan nefrotoksik ( misalnya OAINS atau aminoglikosida)
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum <1,5
mg/dl atau peningkatan bersihan kreatinin .40 ml/menit) sesudah
pemberian cairan isotonik salin 1,5 liter.
5. Proteinuria <500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih atau
penyakit ginjal pada pemeriksaan USG.

Kriteria Tambahan (tidak harus ada untuk menegakkan diagnosis)

1. Volume urin <500 ml/hari


2. Natrium urin <10 mEq/liter
3. Osmolaritas urin > osmolaritas plasma
4. Eritrosit urine <50 per lapangan pandang ( high power field )
5. Natrium serum <130 mEq/liter
(Arroyo et al,1996)

SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan


dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa
keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan
(ruled out) Pseudo-hepatorenal Syndrome. Pseudo-hepatorenal
Syndrome adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal
bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan
satu sama lain.

Beberapa penyebab Pseudo-hepatorenal Syndrome adalah

1. Penyakit kongenital (misalnya penyakit polikista gnjal dan hati)

11
2. Penyakit metabolik (diabetes melitus, amyloidosis, Penyakit Wilson)
3. Penyakit sistemik (SLE, artitis rematoid, sarkoidosis)
4. Penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus, dan
lain-lain)
5. Gangguan sirkulasi ( syok, insufiensi jantung)
6. Intoksikasi ( endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar, dan
lain-lain)
7. Medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol,
tetrasiklin, iproniazid)
8. Tumor (hipernefroma, metastasis)
9. Eksperimenta (defisiensi kolin, dan lain-lain) (Arroyo et al, 1996)

2.9 Diagnosa Banding

Diagnosa sindroma hepatorenal adalah salah satu pengecualian,


dipikirkan setelah penyebab lain dari gagal ginjal akut telah
disisihkan. Glomerulonefritis dan vaskulitis dapat terjadi dan patut
dicurigai pada pasien dengan sedimen sel darah merah pada urin.
Differential diagnosis dari sindroma hepatorenal adalah acute tubular
necrosis dan penyebab pre-renal lainnya (Rose & Runyon, 2006).

A. Acute Tubular Necrosis : Pasien dengan sirosis hepatis mungkin


bisa disertai dengan ATN setelah pengobatan dengan
aminoglikosida, pemberian agen radiokontras, dan sepsis atau
perdarahan. Terjadinya ATN dapat diperkirakan berdasar
riwayat penyakit dan peningkatan progresif dari konsentrasi
kreatinin plasma. Gangguan yang tidak terselesaikan yang
menyebabkan iskemik pre-renal yang berkepanjangan pada
sindroma hepatorenal dapat menyebabkan ATN (Rose &
Runyon, 2006).
B. Penyakit pre-renal : sindroma hepatorenal adalah penyakit pre-
renal, dibuktikan dengan penelitian ginjal yang secara histologi
normal dan sukses ditransplantasikan ke orang dengan hepar
yang normal. Penurunan perfusi renal dapat disebabkan oleh
gangguan atau perdarahan pada GI tract, terapi dengan NSAID
atau diuretik. Diagnosa sindroma hepatorenal membutuhkan

12
bukti tidak adanya perbaikan renal setelah pemberhentian
nefrotoxin dan pemenuhan kebutuhan cairan (Rose & Runyon,
2006).

2.10 Manajemen / Penatalaksanaan


Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR,
oleh karena itu pencegahan terjadinya SHR harus mendapat
perhatian yang utama. (Arroyo, 2007)

Penatalaksanaan umum

SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan


elektrolit pasien SH. Oleh karena pasien SH sangat sensitif dengan
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, maka hindari
pemakaian diuretik agresif, parasintesis asites, dan restriksi cairan
yang berlebihan. (Arroyo, 2007)

Terapi suportif berupa diet tinggi kalori dan rendah protein


Koreksi keseimbangan asam basa
Hindari pemakaian OAINS
Peritonitis bakterial spontan pada sirosis hepatis harus segera diobati
sedini dan seadekuat mungkin
Pencegahan ensefalopati hepatik juga harus dilakukan dalam rangka
mencegah terjadinya SHR
Hemodialisis belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR,
namun tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping tindakan
cukup berat, misalnya hipotensi, koagulopati, sepsis, dan pendarahan
saluran cerna.

Pengobatan medikamentosa (Arroyo, 2007)

Vasodilator dopamin secara luas digunakan untuk mengatasi


vasokonstriksi ginjal, namun belum ada bukti pemberian dopamin
ini secara bermakna bermanfaat pada SHR.
Vasokonstriktor
Rasionalisasi penggunaan vasokonstriktor adalah untuk
mengatasi vasodilatasi splanknik ( yang merupakan salah satu

13
hipotesis terjadinya sindrom hepatorenal). Pemberian
vasokonstriktor akan memberikan dampak positif terutama bila
dikombinasi dengan pemberian infus albumin atau koreksi
albumin serum. Terlipressin merupakan vasokonstriktor yang baik
pada kasus SHR. Oktreotid merupakan vasokonstriktor alternatif
bila terlipressin belum atau tidak tersedia

Tindakan invasive (Arroyo, 2007)

Transplantasi hati. Angka harapan hidup SHR tipe 1 umumnya


pendek yaitu dari beberapa hari atau kurang dari 2 minggu,
sehingga transplantasi hati pada SHR tipe 1 sulit dilaksanakan.
Pada SHR tipe 2, transplantasi hati terbukti bermanfaat pada 90%
kasus dengan angka ketahanan hidup yang lebih kurang sama
dengan transplantasi hati pada pasien tanpa SHR
TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt).TIPS dapat
memperbaiki perfusi ginjal dan menurunkan aktivitas aksis RAAS.
Pada pasien SHR yang tanpa transplantasi hati TIPS bermanfaat
pada 75% kasus dengan angka ketahanan hidup SHR tipe 2 lebih
baik dibanding tipe 1 ( 70% vs 20%). (Arroyo, 2007)
Extracorporeal albumin dialysis. Metode ini adalah modifikasi
dialisis dengan menggunakan albumin untuk mengikat dialisat.
Metode ini dikenal sebagai MARS ( Molecular Absorbent
Recirculating System). Penelitian masih dilakukan terbatas, dan
pada SHR tampaknya cukup bermanfaat dan umumnya digunakan
untuk persiapan transplantasi hati. (Arroyo, 2007)

2.11 Prognosis
Buruk (Charles dkk, 2007) pada pasien dengan asites dan sirosis.
Sementara angka kelangsungan hidup pada pasien dengan sirosis
kompensasi sekitar 9 tahun, segera setelah dekompensasi terjadi,
angka kelangsungan hidup menurun hingga 1,6-1,8 tahun ;bersama
asites, angka kematian sekitar 20% per tahun (Sherlocks, 2011).

2.12 Preventif

14
Pada pasien dengan spontaneous bacterial peritonitis,
pemberian albumin dapat mencegah disfungsi sirkulasi dan
perkembangan SHR lebih lanjut. Albumin dapat mencegah
kurangnya pengisian arteri dan aktivasi system vasokonstriktor lebih
lanjut selama terjadinya infeksi. Pada pasien dengan acute alcoholic
hepatitis, penggunaan pentoxifylline, yang merupakan inhibitor TNF,
menunjukkan menurunnya angka kejadian dan mortalitas SHR
dibandingkan dengan kelompok control (Charles dkk, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

1. Arroyo V, Fernandez J, Gines P. 2008. Pathogenesis and


Treatment of Hepatorenal Syndrome. Semin Liver Dis
2008;28:81-95.
2. Arroyo V, Gins P, Gerbes AL, et al. (1996). "Definition and
diagnostic criteria of refractory ascites and hepatorenal
syndrome in cirrhosis. International Ascites
Club". Hepatology 23 (1): 16476.
3. Arroyo V, Gins P, Gerbes AL, et al. (2007). "Diagnosis,
Prevention of Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis.Gut,
2007;56:1310-1318.
4. Bacon BR. 2008. Sirosis and its complications. Dalam Fauci AS,
et al, Editors. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine
17th Edition. The McGraw-Hill Companies, USA.

15
5. Charles dkk, 2007. Mini Review: Hepatorenal Syndrome,
Clinical Biochemistry Rev, vol. 28, pp. 14-15
6. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. Dalam
Kasper DL, et al. 2005, Editors. Harrisons Principles of Internal
Medicine 16th Edition. The McGraw-Hill Companies, USA.
7. Devuni dkk, 2015. Hepatorenal Syndrome,
emedicine.medscape.com
8. Lata J, 2012. Hepatorenal Syndrome, World Journal of
Gastroenterology, vol.18. pp 4978 4984.
9. Turban S et al. 2007. Hepatorenal Syndrome. World J
Gastroenterol 2007;13(30):4046-4055.
10. Rose BD, Runyon BA, 2006, Diagnosis and Treatment of
hepatorenal
syndrome,http://www.uptodate.com/contents/hepatorenal-
syndrome#references
11. Setiawan dan Kusumobroto, 2009, dalam Sudoyo dkk, 2009.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sindrom Hepatorenal, Edisi V,
Pusat Penerbitan Departemen Imu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pusat.
12. Sherlock S, Dooley J. Disease of the liver and biliary system.
12th edition. Oxford; Blackwell Sci Ltd ; 2011.p. 228.

16

Anda mungkin juga menyukai