HEPATORENAL SYNDROME
Pembimbing :
dr. Herjunianto, SpPD , MMRS
Kolonel Laut (K) NRP . 11300/P
Penyusun :
Jesselyn Kristanti 2015.04.2.0077
Achmad Faisal Arganata 2015.04.2.0001
Ade Maulana A. 2015.04.2.0002
Aditya Kurniasari Agustin 2015.04.2.0004
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Prognosis SHR umumnya
buruk. Tanpa transplantasi hati atau pengobatan dengan vasokonstriktor
yang tepat rerata angka ketahanan hidup kurang dari 2 minggu. (Gines et
al, 1993)
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma Hepatorenal (SHR) adalah suatu bentuk gagal ginjal
fungsional tanpa adanya perubahan patologis pada ginjal, yang
terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis yang sudah lanjut
atau gagal hati akut (Bacon, 2008). Sindroma hepatorenal
merupakan komplikasi serius pada pasien dengan sirosis dan
asites, yang dikarakteristikkan oleh adanya azotemia yang
memburuk disertai peningkatan retensi natrium dan oliguria tanpa
adanya penyebab spesifik disfungsi renal yang dapat diidentifikasi.
(Chung & Podolsky, 2005)
4
2.2 Etiologi
SHR terjadi hampir secara eksklusif pada pasien dengan asites.
(Lata, 2012).Pasien dengan sirosis dan asites mengalami penurunan
perfusi ginjal akibat vasokonstriksi pembuluh darah, yang menjadi
faktor predisposisi terjadinya SHR. Tidak terdapat hubungan yang
linear antara keparahan kegagalan liver dengan insidensi SHR,
namun SHR pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit
liver dan hipertensi portal tahap lanjut (Turban et al, 2007). Sindroma
ini dapat terjadi secara spontan maupun dicetuskan oleh faktor-faktor
yang menyebabkan hipoperfusi ginjal. Infeksi bakteri, terutama
spontaneous bacterial peritonitis (SBP) merupakan faktor pencetus
yang paling sering ditemukan pada pasien dengan SHR (Arroyo et
al, 2008).
2.3 Epidemiologi
Insidensi SHR pada pasien dengan 234 non-azotemic pasien
dengan penyakit liver serta asites dan sirosis, 18% diantaranya
mengalami SHR setelah 1 tahun, dan 39% diantaranya mengalami
SHR setelah 5 tahun (Turban et al, 2007).
2.4 Patogenesis
Patogenesis SHR sampai sekarang belum secara lengkap
diketahui. Hipotesis patogenesis SHR adalah akibat sirosis hati (SH)
atau penyakit hati tingkat berat dan bersama-sama dengan
hipertensi portal akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi arteri
splankhnik. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan hipovolemia arterial
sentral, sehingga merangsang aktivasi sistem saraf simpatis, renin
angiotensin aldosteron, dan hormon antidiuretik yang secara
keseluruhan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal. Di ginjal seharusnya akan terjadi mekanisme kompensasi,
namun dengan alasan yang belum jelas justru terjadi
ketidakseimbangan mekanisme kompensasi ini, yaitu meningkatnya
vasokonstriktor disertai penurunan vasodilat
5
Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien
sirosis hepatis dengan sindrom hepatorenal sebagai berikut
a. Hati
Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen
Penurunan pemecahan renin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin,
dan vasopresin
b. Plasma
Peningkatan kadar renin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin,
noradrenalin, vasopresin, endotelin 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4,
kalsitonin peptida dan hormon antidiuretik.
Penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial.
c. Urin atau ginjal
Peningkatan renin, angiotensin II, aldosteron, edotelin, tromboksan
A2, leukotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin.
Fakta hasil studi di atas kiranya menunjukkan betapa pada pasien SHR
terjadi vasokonstriksi ginjal dengan segala akibatnya dengan mekanisme
atau patogenesis yang sangat kompleks. Studi lain menyatakan bahwa
terjadi penurunan sintesis nitrit oksida yang merupakan vasodilator kuat,
pada pasien sirosis hepatis dan sindroma hepatorenal.(Gines et al
,1993)
6
Gambar 2.1 Pathogenesis Sindroma Hepatorenal (Devuni dkk, 2015)
2.5 Patofisiologi
Ciri khas dari sindrom hepatorenal adalah adanya
vasokonstriksi dari pembuluh darah ginjal, walaupun
patogenesisnya tidak sepenuhnya dimengerti (Devuni dkk, 2015)
7
kebanyakan keadaan klinis yang berhubungan dengan hipoperfusi
renal.(Devuni dkk, 2015)
8
nonsteroid yang diketahui mengurangi level prostaglandin secara
signifikan diberikan. (Devuni dkk, 2015)
2.6 Klasifikasi
Sindroma hepatorenal dibedakan menjadi 2 tipe (Fernandez et al,
2008)
SHR tipe 1
SHR tipe 1 merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana
terjadi peningkatan serum kreatinin dua kali lipat (nilai awal serum
kreatinin lebih dari 2,5 mg/dl) atau penurunan bersihan kreatinin
50% dari nilai awal hingga mencapai 20 ml/menit dalam waktu
kurang dari 2 minggu. Prognosis umumnya sangat buruk, yaitu
sekitar 80% akan meninggal dalam waktu 2 minggu, dan hanya
10% yang bisa bertahan lebih dari 3 bulan. Penyebab kematian
adalah karena gagal sirkulasi, gagal hati, gagal ginjal, dan
ensefalopati hepatik.
9
SHR tipe 2
SHR tipe 2 merupakan bentuk kronis SHR, ditandai dengan
penurunan LFG yang lebih lambat. Kondisi klinis pasien biasanya
lebih baik dibanding SHR tipe 1, dengan angka harapan hidup yang
lebih lama. Prognosis SHR tipe 2 umumnya buruk, yaitu angka
harapan hidup 5 bulan sekitar 50% dan 1 tahun sebesar 20%. SHR
tipe 2 dapat berkembang menjadi SHR tipe 1.
2.8 Diagnosa
Menurut The International Ascites Club, kriteria untuk
menegakkan diagnosis SHR terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria
10
tambahan. Diagnosis SHR dapat dibuat bila ditemukan seluruh
kriteria mayor. (Arroyo et al, 1996)
Kriteria Mayor
1. Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan
hipertensi portal
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) yang rendah, kreatinin serum >1,5
mg/dl (130 mmol/l) atau bersihan kreatinin <40 ml/menit
3. Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian
obat-obatan nefrotoksik ( misalnya OAINS atau aminoglikosida)
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum <1,5
mg/dl atau peningkatan bersihan kreatinin .40 ml/menit) sesudah
pemberian cairan isotonik salin 1,5 liter.
5. Proteinuria <500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih atau
penyakit ginjal pada pemeriksaan USG.
11
2. Penyakit metabolik (diabetes melitus, amyloidosis, Penyakit Wilson)
3. Penyakit sistemik (SLE, artitis rematoid, sarkoidosis)
4. Penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus, dan
lain-lain)
5. Gangguan sirkulasi ( syok, insufiensi jantung)
6. Intoksikasi ( endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar, dan
lain-lain)
7. Medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol,
tetrasiklin, iproniazid)
8. Tumor (hipernefroma, metastasis)
9. Eksperimenta (defisiensi kolin, dan lain-lain) (Arroyo et al, 1996)
12
bukti tidak adanya perbaikan renal setelah pemberhentian
nefrotoxin dan pemenuhan kebutuhan cairan (Rose & Runyon,
2006).
Penatalaksanaan umum
13
hipotesis terjadinya sindrom hepatorenal). Pemberian
vasokonstriktor akan memberikan dampak positif terutama bila
dikombinasi dengan pemberian infus albumin atau koreksi
albumin serum. Terlipressin merupakan vasokonstriktor yang baik
pada kasus SHR. Oktreotid merupakan vasokonstriktor alternatif
bila terlipressin belum atau tidak tersedia
2.11 Prognosis
Buruk (Charles dkk, 2007) pada pasien dengan asites dan sirosis.
Sementara angka kelangsungan hidup pada pasien dengan sirosis
kompensasi sekitar 9 tahun, segera setelah dekompensasi terjadi,
angka kelangsungan hidup menurun hingga 1,6-1,8 tahun ;bersama
asites, angka kematian sekitar 20% per tahun (Sherlocks, 2011).
2.12 Preventif
14
Pada pasien dengan spontaneous bacterial peritonitis,
pemberian albumin dapat mencegah disfungsi sirkulasi dan
perkembangan SHR lebih lanjut. Albumin dapat mencegah
kurangnya pengisian arteri dan aktivasi system vasokonstriktor lebih
lanjut selama terjadinya infeksi. Pada pasien dengan acute alcoholic
hepatitis, penggunaan pentoxifylline, yang merupakan inhibitor TNF,
menunjukkan menurunnya angka kejadian dan mortalitas SHR
dibandingkan dengan kelompok control (Charles dkk, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
15
5. Charles dkk, 2007. Mini Review: Hepatorenal Syndrome,
Clinical Biochemistry Rev, vol. 28, pp. 14-15
6. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. Dalam
Kasper DL, et al. 2005, Editors. Harrisons Principles of Internal
Medicine 16th Edition. The McGraw-Hill Companies, USA.
7. Devuni dkk, 2015. Hepatorenal Syndrome,
emedicine.medscape.com
8. Lata J, 2012. Hepatorenal Syndrome, World Journal of
Gastroenterology, vol.18. pp 4978 4984.
9. Turban S et al. 2007. Hepatorenal Syndrome. World J
Gastroenterol 2007;13(30):4046-4055.
10. Rose BD, Runyon BA, 2006, Diagnosis and Treatment of
hepatorenal
syndrome,http://www.uptodate.com/contents/hepatorenal-
syndrome#references
11. Setiawan dan Kusumobroto, 2009, dalam Sudoyo dkk, 2009.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sindrom Hepatorenal, Edisi V,
Pusat Penerbitan Departemen Imu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pusat.
12. Sherlock S, Dooley J. Disease of the liver and biliary system.
12th edition. Oxford; Blackwell Sci Ltd ; 2011.p. 228.
16