Disusun oleh :
dr. Adita Ayu Aprilia
Pendamping :
dr. Utari, M.M
DPJP :
dr. Ahmad Jalaludinsyah, Sp.JP-FIHA
Seorang pasien perempuan usia 49 tahun datang ke IGD RSI Sunan Kudus di antar oleh
keluarganya dengan keluhan sesak sejak 2 hari yang lalu, sesak dirasakan hilang timbul,
memberat saat pasien beraktifitas berat, dan membaik saat pasien istirahat. Pasien juga
mengaku 2 hari terakhir sulit tidur karena sesak ketika berbaring, sehingga membutuhkan
2-3 bantal untuk mengurangi sesak. Pasien mengeluh kedua kakinya bengkak dalam 1
minggu terakhir. Pasien mengatakan merasa mual dan muntah sebanyak 2x hari ini, berupa
makanan yang baru saja dimakan sehingga nafsu makan pasien menurun.
Dalam 1-2 bulan terakhir, pasien mengakui sering merasa sesak, dada berdebar dan lebih
cepat merasa lelah, keluhan ini dirasakan terutama saat pasien sedang beraktivitas, dimana
dalam sehari pasien biasanya dapat melakukan banyak pekerjaan rumah tangga namun saat
ini pasien harus beristirahat terlebih dahulu baru kemudian melanjutkan kembali
aktivitasnya. Keluhan sesak tidak mempengaruhi posisi tidur pasien, dan tidak ada keluhan
batuk terutama saat malam hari hingga mengganggu tidur.
Pasien menyangkal adanya keluhan nyeri kepala, nyeri dada, kaki bengkak, perut
membuncit, penurunan BB, kulit pucat. Keluhan adanya benjolan pada leher (-), sering
berkeringat, sering lapar, tremor disangkal. Keluhan sesak nafas yang memberat disangkal,
demam (-), batuk dan pilek (-), BAB dan BAK normal tidak ada keluhan. Pasien sudah
berobat ke klinik dekat rumah 3 hari yang lalu dan diberikan obat lambung namun merasa
keluhannya belum membaik. Pasien meminum obat darah tinggi tadi pagi, namun pasien
tidak ingat nama obat darah tinggi yang dikonsumsinya.
3. Riwayat keluarga :
Riwayat DM diakui pada bapak pasien
Riwayat HT diakui pada bapak dan ibu
pasien Riwayat serangan jantung disangkal
Riwayat alergi disangkal
4. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang Ibu rumah tangga. Tinggal bersama suami dan dua orang anak.
Sehari-hari pasien beraktivitas membersihkan rumah, memasak dan mencuci baju. Pasien
tinggal di lingkungan padat penduduk. Pasien menggunakan pembiayaan kesehatan
dengan
BPJS kelas III.
5. Life style:
Pasien makan 3 kali sehari dengan menu makan terdiri dari nasi, sayur mayur dan lauk pauk.
pasien sering makan gorengan. Pasien juga tidak pernah menakar jumlah garam yang
dikonsumsi setiap hari. Pasien menyangkal kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol atau
obat selain dari tenaga medis
PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Vital signs
irregular
STATUS GENERALIS
Kepala : Mesochepal, simetris
Kulit : sianosis (-), petechie (-), purpura (-), ekimosis (-) ikterik (-) ulkus (-) turgor N
Mata : mata cekung (-/-) konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) edem palpebral
(-/-), exoftalmus (-/-), pupil isokor (3 mm/ 3 mm), Refleks cahaya (+/+)
Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), nyeri tekan (-)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-), nekrosis (-), ulserasi (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, Kripte (-), detritus (-) Hiperemis (-), jejas (-)
Leher : simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-), peningkatan JVP (-)
Thorax : simetris, normochest, retraksi (-), jejas (-)
Jantung
Palpasi : Ictus cordis teraba bergeser 2 jari ke lateral dari ICS V Linea midclavicula
sinistra, thrill (-),ventricular lifting (-), vemtricular heaving (-),pulsus deficit (+)
sinistra
Pulmo :
Abdomen
Inspeksi : datar, distended (-), massa (-), scar (-), jejas (-)
Auskultasi : bising usus (+) Normal
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, Nyeri tekan (+)
epigastrium Hepar : tidak teraba pembesaran
Lien : tidak teraba pembesaran
Ekstremitas
Edema - -/- -, Akral dingin - -/- -, Sianosis - -/- -, Capillary refill : <2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
1. Irama : asinus
2. Heart rate : R-R interval iregular, rate 140x/m
3. Aksis : normoaxis
4. Gelombang P : sulit dinilai
5. PR interval : sulit dinilai
6. Kompleks QRS : 0,08
detik 7. R/S V1 : <1
8. RV5 + SV2 : < 35
9. ST – T change : Tidak ditemukan
10. Kesan : Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response, Rate 140x/m
Rontgen thorax
TERAPI
- Infus RL 10 tpm
- Inj ranitidin 1 amp
- Inj ondansentron 1 amp
- Digoxin tabet 0,25 mg
- Lapor dr. Jalal, Sp.JP
A: Atrial Fibrilasi
Congestive Heart Failure
Dispepsia
23 S: keluhan nyeri dada hilang timbul, sesak (-), P:
Desember keringat dingin (-), demam (-), mual & nyeri - Infus NS 20 cc per jam
(Saad) ulu hati (+), sedikit pusing, dada berdebar (-) - Inj furosemid 20 mg per 8 jam
18.00 - Inj omeperazole 40 mg/12 jam
- Spironolakton 1x25 mg
O : TD : 109/79 mmHg (MAP: 89)
- Simvastatin 1x20 mg
N: 100x/menit
- Simarc 1x 2mg
RR :
- Ramipril 1x10 mg
20x/menit S:
36,2 C
Terapi tambahan:
SaO2 : 99%
- Digoxin P.O 1x 0,25 mg
Mata: iskokor, 3mm, RC +/+
- Posisi head up
Cor: BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-),
pulsus deficit (-), kesan batas jantung
melebar
Pulmo: vesikuler +/+, ronkhi basah halus di
basal paru +/+
Abdomen: BU (+), supel, NT (+)
epigastrium, timpani
Ext: akral hangat ++/++, edema --/--
Urine output: 0,8 cc/kgBB/jam
A: Atrial Fibrilasi
Congestive Heart Failure
Dispepsia
24 S: nyeri dada sudah mulai berkurang, nyeri ulu P:
November hati (+), mual & muntah 2x setelah makan, - Infus NS 20 cc per jam
2020 jumlah tidak terlalu banyak, pusing hilang - Inj furosemid 20 mg per 8 jam
timbul. Dada berdebar (-), keluhan sesak (-), - Inj omeperazole 40 mg/12 jam
kaki bengkak disangkal. - Spironolakton 1x25 mg
- Simvastatin 1x20 mg
- Simarc 1x 2mg
O : TD : 118/83 mmHg (MAP: 94)
- Ramipril 1 x 10mg (0-0-1)
N: 98x/menit
- Digoxin P.O 1x 0,25 mg
RR :
21x/menit S:
36,2 C
SaO2 : 99% Terapi tambahan:
Mata: iskokor, 3mm, RC +/+ - Inj ondansentron 1 amp/8 jam
Cor: BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-), - Sukralfat 3x 1C
pulsus deficit (-), kesan batas jantung - Aff DC
melebar
Pulmo: vesikuler +/+, ronkhi basah halus di
basal paru -/-
Abdomen: BU (+), supel, NT (+)
epigastrium, timpani
Ext: akral hangat ++/++, edema --/--
Urine output: 0,8 cc/kgBB/jam
A: Atrial Fibrilasi
Congestive Heart Failure
Dispepsia
25 S: nyeri dada (-), muntah (-), dada berdebar (-), P: pasien boleh pulang, obat
Desember mual dan nyeri ulu hati hilang timbul namun pulang:
2020 membaik setelah pemberian obat - Ramipril 1x 10 mg
(ruangan) - Spironolakton 1x 25 mg
- Simarc 1x2 mg
O : TD : 117/75 mmHg (MAP: 89)
- Digoxin 1 x 0,25 mg
N: 96x/menit
- Furosemid 1x 40 mg (pagi)
RR : 20x/menit S: 36,1 C
- Sukralfat 3x1C
SaO2 : 100%
- Kontrol poli jantung tanggal
Mata: iskokor, 3mm, RC +/+
29 Desember
Cor: BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-),
pulsus deficit (-), kesan batas jantung
melebar
Pulmo: vesikuler +/+, RBB +/+
Abdomen: BU (+), supel, NT (-), timpani
Ext: akral hangat ++/++, edema --/--
ATRIAL FIBRILASI
1. Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum didapatkan. Ditandai
dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium sebesar 350-650 x/menit sehingga
atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh
periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel
yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi
secara permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol
2. Epidemiologi
Atrial fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari.
Prevalensi AF mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang.
Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan
5209 subjek penelitian sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa
dalam periode 20 tahun, angka kejadian AF adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.
Sementara itu data dari studi observasional MONICA (multinational MONItoring of trend and
determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta menemukan angka
kejadian AF sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2.4 Selain itu, karena terjadi
peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-
2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), maka angka kejadian AF juga akan
meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data di
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa persentase
kejadian AF pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010,
meningkat menjadi 9,0% (2011),
9,3% (2012) dan 9,8% (2013).
Atrial fibrilasi menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke, gagal
jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan AF memiliki risiko stroke 5 kali lebih
tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa AF. Stroke merupakan
salah satu komplikasi AF yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh AF
mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat AF ini mengakibatkan
kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat.
Atrial fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal
jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan
seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart
Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien AF, namun sebaliknya AF dapat
terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu
sendiri. Atrial fibrilasi dapat menyebabkan gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan
atrium, peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang
kronis. Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan AF seperti yang terjadi pada pasien penyakit
katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek septal atrium. Sekitar 20%
populasi pasien AF mengalami penyakit jantung koroner meskipun keterkaitan antara AF itu
sendiri dengan perfusi koroner masih belum jelas
3. Faktor Risiko
- usia > 50 tahun
- Kelainan jantung lainnya:
• Penyakit Jantung Koroner
• Kardiomiopati (Dilatasi & Hipertrofik)
• Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik
• Aritmia Jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus
syndrome.
• Perikarditis
- Kelainan di luar Jantung:
• Diabetes militus
• Hipertiroidisme
• Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal, emboli paru akut
• Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan AF pada pasien sensitif melalui
peninggian tonus vagal atau adrenergic
4. Etiologi
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi beberapa faktor-
faktor, diantaranya yaitu:
a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium: Hipertrofi jantung, Kardiomiopati , Hipertensi
pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor pulmonary chronic), Tumor
intracardiac
b. Proses Infiltratif dan Inflamasi: Pericarditis atau myocarditis, Amiloidosis dan sarcoidosis
c. Kelainan Endokrin: Hipertiroid, Feokromotisoma
d. Neurogenik: Stroke, Perdarahan Subarachnoid
e. Iskemik Atrium ec Infark miocardial
f. Obat-obatan (Alkohol, Kafein)
g. Faktor Genetik
5. Klasifikasi
Secara klinis AF dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan durasinya,
yaitu:
1. AF yang pertama kali terdiagnosis
Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis AF, tanpa
memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. AF paroksismal
adalah AF yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7
hari.
3. AF persisten
adalah AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau AF yang memerlukan
kardioversi dengan obat atau listrik.
4. AF persisten lama (long standing persistent)
adalah AF yang bertahan hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. AF permanen
merupakan AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi
kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan
maka AF masuk ke kategori AF persisten lama.
Klasifikasi AF seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain. Artinya, seorang pasien
mungkin dapat mengalami beberapa episode AF paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang
AF persisten, atau sebaliknya. Untuk itu, secara praktis, pasien dapat dimasukkan ke salah satu
kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan.
Gambar 1. Klasifikasi AF berdasarkan onset dan durasinya
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan durasi
episodenya, terdapat beberapa kategori AF tambahan menurut ciri-ciri dari pasien:
a. AF sorangan (lone): AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti
pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
b. AF non-valvular: AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
c. AF sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu AF,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme,
emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan AF sekunder yang
berkaitan dengan penyakit katup disebut AF valvular.
Respon ventrikel terhadap AF, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi dan jaringan
konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi tambahan,
dan reaksi obat. Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat
dibedakan menjadi:
1. AF dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit
2. AF dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit
3. AF dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit
Gambar 2. Klasifikasi AF berdasaran laju ventrikel (atas: NVR, tengah: RVR, bawah: SVR)
6. Patomekanisme
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi fokal dan
multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal
atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium
kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik
yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang
dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA).
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan
melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak tergantung
pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit
banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Timbulnya gelombang yang menetap
dari depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas
aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit
banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang
atrium dan
kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan
disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga
faktor tersebut yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan
depolarisasi serta mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi.
Mekanisme atrial fibrilasi identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya
ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering
menimbulkan atrial fibrilasi adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah
atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel
dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan
menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi
lambat, yang keduanya merupakan Faktor predisposisi bagi atrial fibrilasi.
Atrium tidak akan memompa darah selama AF berlangsung. Oleh karena itu atrium tidak berguna
sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui
atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %.
Oleh karena itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup
selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan atrial fibrilasi, walaupun timbul penurunan
efisiensi dari seluruh daya pompa jantung
7. Diagnosis
A. Anamnesis
Spektrum presentasi klinis AF sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga syok
kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode AF tidak menyebabkan
gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara
lain:
- Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan gendering atau gemuruh
Guntur di dalam dada.
- Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
- Presinkop atau sinkop
- Kelemahan umum, pusing
Baru-baru ini dikenalkan skor simtom yang disebut skor EHRA (European Heart Rhythm
Association). Skor ini adalah alat klinis sederhana yang dapat digunakan untuk menilai
perkembangan gejala selama penanganan AF. Skor klinis ini hanya memperhitungkan derajat
gejala yang benar-benar disebabkan oleh AF, dan diharapkan skor tersebut dapat berkurang
seiring dengan konversi ke irama sinus atau dengan kendali laju yang efektif.
Gambar 4. Klasifikasi EHRA untuk Atrial Fibrilasi
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway), pernafasan
(Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk mengarahkan tindak lanjut
terhadap AF. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab dan
gejala sisa dari AF.
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen sangat penting
dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat pada FA. Pada
pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi
jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung
(digitalis) dapat mengalami bradikadia.
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran tiroid,
peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis mengindikasikan
penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung koroner.
Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya ronki, efusi
pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya penyakit paru kronik yang
mungkin mendasari terjadinya AF (misalnya PPOK, asma)
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien AF. Palpasi dan
auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup atau
kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung tambahan (S3)
mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2)
yang
mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih
jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien AF.
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri kuadran kiri atas,
mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema.
Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer.
Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung
yang menurun.
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular terkadang dapat
ditemukan pada pasien AF. Peningkatan refleks dapat juga ditemukan pada hipertiroidisme.
C. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
- Darah lengkap (anemia, infeksi)
- Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
- Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai pencetus AF)
- Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi dengan AF.
Level plasma dari peptida natriuretic tersebut meningkat pada pasien dengan AF
paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama
sinus
- D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
- Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
- Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
- Uji toksikologi atau level etanol
D. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram (EKG)
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis AF dan biasanya mencakup laju
ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang
F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula. Manifestasi EKG
lainnya yang dapat menyertai AF antara lain:
- Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit.
- Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus interval R-R
panjang-pendek (fenomena Ashman)
- Sindrom Preeksitasi
- Hipertrofi ventrikel kiri
- Blok berkas cabang
- Tanda infark akut/lama
EKG juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari pasien yang mendapatkan
terapi antiaritmia untuk AF
b. Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat ditemukan bukti
gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli paru,
pneumonia).
c. Uji latih atau uji berjalan enam-menit
Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi kendali
laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah berjalan 6-menit). Uji latih
dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat antiaritmia kelas 1C dan dapat
digunakan juga untuk mereproduksi AF yang dicetuskan oleh aktivitas fisik
d. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi trombus
di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah modalitas terpilih untuk tujuan ini.
Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk :
- Evaluasi penyakit jantung katup
- Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
- Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
- Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
- Evaluasi penyakit perikardial
e. Monitor Holter atau event recording
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan diagnosis AF
paroksismal, dimana pada saat presentasi, AF tidak terekam pada EKG. Selain itu, alat ini
juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali laju atau kendali irama
8. Tatalaksana
Tata Laksana pada Fase Akut
Kendali laju fase akut
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol respon
ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin oral dapat
digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil. CCB non-dihidropiridin hanya boleh
dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat intravena
mempunyai respon yang lebih cepat untuk mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau
amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan AF dan gagal
jantung atau adanya hipotensi. Namun pada AF dengan preeksitasi obat terpilih adalah
antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang
menghambat AV node tidak boleh digunakan pada kondisi AF dengan preeksitasi karena dapat
menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100 kpm.
Atrial fibrilasi dengan respon irama ventrikel yang lambat biasanya membaik dengan
pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin pasien masih
simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung sementara
2. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau berdasarkan gejala yang
berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA. Gagal jantung sering juga diklasifikasikan sebagai
gagal jantung dengan penurunan fungsi sistolik (fraksi ejeksi) atau dengan gangguan fungsi
diastolik (fungsi sistolik atau fraksi ejeksi normal), yang selanjutnya akan disebut sebagai Heart
Failure with Preserved Ejection Fraction (HFPEF). Selain itu, myocardial remodeling juga akan
berlanjut dan menimbulkan sindroma klinis gagal jantung.
4. Penegakan Diagnosis
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya gagal
jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel
mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung. Pada penderita gagal jantung
kongestif, hampir selalu ditemukan :
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer
3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, sampai delirium.
Elektrokardiogram (EKG)
Abnormalitas yang umum ditemukan pada gagal jantung
- Sinus takikardia / bradikardia
- Atrial takikardia/flutter/fibrilasi
- Aritmia ventrikel
- Iskemia/infark, gelombang Q
- Hipertrofi ventrikel kiri
- AV block
- Durasi QRS > 0,12 detik dengan morfologi LBBB
Foto thorax
Foto thorax merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, hipertrofi ventrikel, kongesti paru, efusi pleura dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR),
glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis.
Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.Gangguan hematologis
atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang
yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan
fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik
dan/atau ACEI, ARB atau antagonis aldosterone
Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan
ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal
jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan
pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung dengan fraksi
ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi ejeksi > 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal / kekakuan diastolik)
5. Tatalaksana
a. Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume berlebihan
seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan volume plasma selanjutnya
menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan juga
menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.
b. Antagonis aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik
berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Antagonis aldosterone mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup
c. B-blocker
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup. B blocker dapat dimulai sebelum pulang dari RS pada
pasien dekompensasi. Penggunaan B-blocker dimulai dari dosisi rendah kemudian dinaikan
secara titrasi setelah 2-4 minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung,
hipotensi simtomatik atau bradikardi <50x/m
d. Inhibitor ACE dan ARB
Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi aldosteron
sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ini juga menurunkan retensi
vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan peningkatan curah jantung.3 Kecuali
kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri
≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hyperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien
dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal. Kecuali kontraindikasi, ARB
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang
tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga
mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatifpada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB
mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular
e. Vasodilator (ISDN)
Pemberian ISDN dapat dipertimbangkan sebagai pengganti ACEI atau ARB, bila inteoleran,
untuk menurunkan risiko hospitalisasi dan kematian prematur dengan pada pasien dengan EF ≤
45% dengan dilatasi ventrikel kiri (atau EF ≤ 35%). Atau jika gejala pasien menetap walaupun
sudah diterapi dengan ACEI, b blocker, dan ARB atau antagonis alodosteron
Inisiasi pemberian kombinasi ISDN dengan Dosis awal: hydralazine 12,5 atau ISDN 10 mg
2- 3x/hari. Naikan dosis secara titrasi, dipertimbangkan setelah 2-4 minggu, jangan naikkan
dosis jika terjadi hipotensi simtomatik, dan jika toleransi baik dosis dapat dititrasi naik sampai
dosis target (hydralazine 50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4x/hari)
f. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan
irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan
hidup
Gambar 8. Dosis obat yang umumnya dipakai untuk gagal jantung
1. PERKI. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium Edisi Pertama. Jakarta: Centra Communications.
2014
2. Go AS, Hylek EM, Phillips KA, et al. Prevalence of diagnosed atrial fibrillation in adults: national
implications for rhythm management and stroke prevention: the Anticoagulation and Risk Factors
in Atrial Fibrillation (ATRIA) Study. JAMA: the journal of the American Medical Association
2001;285:2370-5.
3. Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical arrhythmology an
electrophysiology: a companion to Braunwald’s heart disease. 2nd ed: Saunders; 2012.
4. Iwasaki, Yu-ki. Nishida, Kunihiro, et al. Atrial Fibrillation Pathophysiology: Implications for
Management. 2011. Available from:
https://www.ahajournals.org/doi/full/10.1161/circulationaha.111.019893
5. Atrial Fibrillation Clinical Presentation. 2013. (Accessed Sep 27, 2013, at
http://emedicine.medscape.com/article/151066-clinical.)
6. Camm AJ, Lip GY, De Caterina R, et al. 2012 focused update of the ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the management of
atrial fibrillation. Developed with the special contribution of the European Heart Rhythm
Association. European heart journal 2012; 33:2719-47.
7. Banerjee A, Taillandier S, Olesen JB, et al. Ejection fraction and outcomes in patients with atrial
fibrillation and heart failure: the Loire Valley Atrial Fibrillation Project. European journal of heart
failure 2012;14:295-301.
8. Practical Rate and Rhythm Management of Atrial Fibrillation: Heart Rhythm Society; 2010.
9. PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Edisi Pertama. Jakarta: sekretariat PP PERKI. 2015
10. McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment
of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136
11. Sugumar, Hariharan et al. Patophysiology of Atrial Fibrillation and Heart Failure: Dangerous
Interactions. 2019. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30926014/
12. Anter, Elad. Jessup, Mariell, et al. Atrial Fibrillation and Heart Failure: Treatment Considerations
for a Dual Epidemic. 2019. Availble from:
https://www.ahajournals.org/doi/full/10.1161/circulationaha.108.821306