Anda di halaman 1dari 140

BAB I

LAPORAN KASUS AWAL


1.1

ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama

: Ny. T

Umur

: 57 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Baros RT/RW 04/06 Sukataris, Karang tengah,


Cianjur

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Keluhan Utama

Ny. T 57 tahun datang ke UGD RSUD Sayang Cianjur dengan keluhan


sesak nafas sejak 2 minggu SMRS (sebelum masuk rumah sakit)

Riwayat Penyakit Sekarang :


Os mengeluh sesak sejak 2 bulan dan semakin memberat sejak 2
minggu SMRS, sesak dirasakan terus menerus dan semakin memberat
terutama saat beraktifitas, os mengatakan mudah lelah. Os lebih nyaman
tidur menggunakan 2 bantal. Terbangun saat malam hari karena sesak
disangkal. Batuk (+) tidak berdahak, kadang-kadang demam. Seluruh
badan bengkak, BAK sedikit. Nyeri dada dirasakan menjalar kepunggung.
Mual (+) muntah (+) nyeri perut (+) nafsu makan menurun, perut
terasa kembung. Os mengatakan sudah pernah 2 x cuci darah tetapi tidak
rutin dilakukan. Os mengatakan 3 hari setelah dirawat di RS BAB
mencret 4 kali sehari dalam 3 hari berturut-turut. Os mengatakan sejak 1
minggu yang lalu merasa pusing berputar, dan timbul setiap os berubah
posisi.

Riwayat Penyakit Dahulu

Os punya riwayat Hipertensi sejak 5 tahun dengan pengobatan rutin

Riw. DM disangkal

Riw. Pengobatan paru 6 bulan disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat penyakit yang sama disangkal

Riwayat penyakit DM dan HT disangkal

Riwayat Pengobatan

Os minum almodipin 1 x 5 mg rutin setiap hari dan kontrol ke dokter

Riwayat Alergi

Riw. Alergi makanan dan minuman disangkal

Riw. Alergi obat-obatan disangkal

Riwayat Psikososial :
Os tidak merokok dan tidak minum alkohol. Os mengatakan masih suka
makan makanan yang asin. Os tidak sering mengkonsumsi kopi. Os
istirahat cukup, kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga

1.2

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Delirium (E=3, M=5, V=4)

TTV
TD

: 90/60 mmHg

Nadi

: 88 x/ menit

RR

: 24 x/menit

Suhu

: 36,5C

Status Generalis
Kepala

: Normocephal

Mata

: Pupil Isokor, Reflek cahaya +/+, Konjungtiva anemis (+/


+), Sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Normonasi, napas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)

Telinga: Normotia, sekret (-)


Mulut

: Mukosa mulut sedikit kering, lidah tidak tampak kotor,

tidak
terdapat tanda-tanda perdarahan ginggiva,
Leher

: Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-/-), JVP


(meningkat)

Thorax :
Normo Chest
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Vocal fremitus menurun pada kedua lapang paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar pada ICS VI
dextra
Auskultasi : vesikuler (/), wheezing (+/+), ronkhi (+/+).
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternalis dextra,
batas jantung kiri atas pada ICS III linea parasternalis sinistra, batas kiri
bawah pada ICS V lateral linea midaksillaris sinistra
Auskultasi : BJ I/II reguler murni normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Supel, hepatosplenomegaly (-), nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen


Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas

Atas

Bawah

-/-

-/-

Sianosis

Akral

hangat

hangat

Edema

+/+

+/+

Status Neurologis
Dalam batas normal
1.3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto Hasil Laboratorium

10

Foto Hasil Rontgen Thoraks

Foto Hasil EKG

11

Foto Hasil USG

12

1.4

Kata/Kalimat Kunci :
1. Sesak nafas Memberat saat aktifitas
2. Nyeri dada menjalar kepunggung
3. Batuk
4. Tidur menggunakan 2 bantal
5. Mual
6. Muntah
7. Nyeri perut
8. Napsu makan menurun
9. perut kembung
10. Mencret 4 kali per hari
11. Riw. cuci darah 2 kali
12. Pusing berputar setiap berubah posisi
13. Bengkak seluruh badan (pitting oedema)
14. BAK sedikit
15. Riw. HT 5thn terkontrol
16. Mengkonsumsi makanan yang asin
17. konsumsi amlodipin
18. Konjungtiva anemis
19. JVP meningkat
20. Vocal premitus Dex/Sin menurun

13

21. Rh +/+, Wh +/+


22. Abdomen cembung
23. Nyeri tekan Epigastrium (+)
24. Anemia mikrositik hipokrom
25. Hipokalsemi
26. Leukositosis
27. Trombositopeni
28. Ureum kreatinin meningkat
29. Plebitis
30. Encephalopaty uremikum
31. Efusi pleura bilateral
32. Ascites masif
33. Kardiomegali dengan bendungan paru
34. Kranialisasi (+)
35. Hiperurisemia
36. Hipernatremi
37. Hiperkalemi
38. Hipoalbuminemia

1.5

Daftar Masalah

1. CKD : Reny
2. DC : April

14

3. Gastropati : Erlyn
4. Diare/GEA : Ubis
5. Anemi mikrositik hipokrom : Reyyan
6. Efusi pleura : Veby
7. Ascites : Syaepul
8. Hipertensi : Erlyn
9. Vertigo : Bayu
10. Plebitis : Haikal
11. HAP : Ubis
12. Encephalopaty uremikum : Syaepul
13. Hipokalsemi : April
14. Edema paru : Mayang
15. Sindrom nefrotik : Mayang
16. Hiperurisemia : Haikal
17. Hipernatremi : Reyyan
18. Hiperkalemi : Bayu
19. Hipoalbuminemia : Reny
20. Asidosis metabolik : Veby

15

BAB II
PEMBAHASAN KASUS
2.1

CKD (Chronic Kidney Disease)


CKD merupakan abnormalitas dari struktur ataupun fungsi ginjal yang
terjadi selama > 3 bulan yang mengnggau kesehatan dan diklasifikasikan
menjadi penyebab, kategori GFR dan akategori albuminuria.
Diagnosis

a.
-

Penyebab
Pre renal
Renal
Post renal

b. Kriteria GFR

c. Kriteria Albuminuria

16

Penyebab CKD dikarenakan proses fungsional atau struktural

17

Stadium pada CKD

Prognosis

2.2

DC (Decompensatio Cordis)

18

Definisi
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk
mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi
pompa jantung.
Epidemiologi
20 per 1000 individu berusia 65 - 69 tahun, > 80 per 1000 individu di
antara mereka yang berusia 85 tahun. Sekitar 5,1 juta orang di Amerika
Serikat memiliki gejala gagal jantung. Prevalensi gagal jantung meningkat
menjadi 90 - 121 per 1.000 pada tahun 1994 - 2003.
Etiologi
Menurut penyebabnya gagal jantung dibagi berdasarkan :
1. Myocardial damage
a. Ischemic Heart Disease (IHD) difus atau regional
b. Miokarditis
Viral, demam rematik, bakterial, fungal.
c. Kardiomiopati
Kardiomiopati

iskemik,

kardiomiopati

diabetik,

kardiomiopati

periapartal, kardiomiopati hipertensi (HHD), idiopathic hypertrophic


subortic stenosis.
2. Beban ventrikel yang bertambah
a.

Beban Tekanan / Pressure Overload

19

b.

Hipertensi Sistemik

Koarktasio Aorta

Aorta Stenosis

Pulmonal Stenosis

Hipertensi pulmonal pada ppok atau hipertensi pulmonal primer


Beban Volume / Volume Overload

-Mitral Regurgitasi
-Aorta Regurgitasi
-Ventricular Septal Defect (VSD)
-Atrial Septal Defect (ASD)
-Patent Ductus Arteriosus (PDA)
c.

Restriksi dan Obstruksi Pengisian Ventrikel

-Mitral Stenosis
-Triskupid Stenosis
-Tamponade Jantung
-Atrial Miksoma
-Kardiomiopati Restriktif
-Perikarditis Kontriktif
d.

Kor pulmonal

20

e.

Kelainan Metabolik

-Beri-beri
-Anemia Kronik
-Penyakit Tiroid
f.

Kardiomiopati Toksik

-Alkohol
-Vincristin
-Bir
-Kokain
g.

Trauma

-Miokardial Fibrosis
-Perikardial Kontriktif
h.

Kegananasan

-Limfoma
-Rabdomiosarkoma

Klasifikasi

21

Kapasitas

Klasifikasi New York Heart Association Penilaian

Fungsional

Objektif

Class I

Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan


pada

aktivitas

fisik.

Aktivitas

fisik

biasa

tidak

menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri


angina.
Class II

Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan


keterbatasan aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman
pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa mengakibatkan
kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri angina.

Class III

Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan


keterbatasan bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa
nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik yang lebih
ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi,
sesak, dan nyeri angina.

Class IV

Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan


ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun
tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung atau
sindroma angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat.
Jika aktivitas fisik dilakukan, maka rasa tidak nyaman

semakin meningkat.
Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart
and Blood Vessels: Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston,
Little Brown
Gejala Klinis

22

Diambil dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008
Manifestasi Klinis
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode
yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan
diastolic.

23

Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan


pemeriksaan fisik, yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi
gagal jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar harus dikuasai,
sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail.

Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi (EKG)
Electrocardiography tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH
tetapi hanya merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular
aritmia) sebagai faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi.
Hasil pemeriksaan ECG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal
jantung..

Radiologi (foto thorax)


Foto toraks menunjukkan adanya kardiomegali. Namun kardiomegali
bukan selalu berarti adanya gagal jantung. Selain itu juga dapat
menunjukkan adanya edema paru, atelektasis regional, dan kemungkinan
adanya penyakit penyerta seperti gambaran pneumonia.

Gambaran Radiologis Gagal Jantung Kanan


Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah :
1. Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler
kanan sampai ke atas.
2. Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm.
3. Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral.
4. Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure
minor, bentuknya oval atau elips. Setelah gagal jantung dapat diatasi,

24

maka efusi tersebut menghilang, sehingga dinamakan vanishing lung


tumor sebab bentuknya mirip tumor paru.
5. Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial.

Gambaran Radiologis Gagal Jantung Kiri


1. Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler
paru
2. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan
cabang lurus mendatar ke lateral
3. Batas hilus pulmo terlihat kabur
4. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal.
5. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru
interstitial dan alveolar.

Echocardiography
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes
ini membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi.
Kelemahan echocardiography adalah relative mahal, hanya ada di rumah
sakit dan tidak tersedia untuk pemeriksaan skrining yang rutin untuk
hipertensi pada praktek umum. Ekokardiografi dapat secara nyata
menggambarkan stuktur jantung, data tekanan, dan status fungsional
jantung sehingga dapat mengetahui pembesaran ruang jantung dan
etiologi.

Penatalaksanaan

25

Non medikamentosa
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat,
dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benarbenar dengan tirah baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang
relatif meningkat. Sering tampak gejala gejala jantung jauh berkurang
hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan
rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita dengan
gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan
diberikan sebanyak 80 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
Intervensi Mekanik dan Operasi
Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF
refrakter maka intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan
dukungan sirkulasi yang lebih efektif. Terapi ini termasuk intraaortic
balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi jantung.
Prognosis
Pada bayi dan anak lebih baik daripada orang dewasa bila ditolong dengan
segera. Hal ini disebabkan oleh karena belum terjadi perburukan pada
miokardium. Ada beberapa faktor yang menentukan prognosa, yaitu :
timbul serangan akut atau menahun, derajat beratnya gagal jantung,

26

keadaan paru, cepatnya pertolongan pertama, respons dan lamanya


pemberian digitalisasi, seringnya gagal jantung kambuh
2.3

Gastropati
Gastropati uremik adalah istilah yang umum digunakan untuk
menggambarkan tanda-tanda pencernaan bagian atas dan perubahan
histopatologis terkait dengan uremia pada gagal ginjal. gejala klinis
gangguan saluran cerna atas pada pasien uremik bervariasi, karena
mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat keparahan
gangguan fungsi ginjal, tingkat stres pasien, dan pengobatan.
Perdarahan Gastrointestinal dan gejala dispepsia, seperti anoreksia,
muntah, mulas, dan perut terasa penuh setelah makan, yang umum pada
pasien

ini,

meskipun

mereka

mungkin

tidak

memiliki

gejala.

Hypergastrinemia, dismotilitas gastrointestinal, dan perubahan sekresi


asam

dianggap

sebagai

faktor

kunci

dalam

patofisiologi

lesi

gastrointestinal pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CRF). mekanisme


yang mungkin untuk dismotilitas meliputi peningkatan kadar hormon yang
terlibat

dalam

modulasi

motilitas

gastrointestinal

(misalnya,

cholecystokinin, gastrin, dan neurotensin) dan gangguan humoral lainnya


(Hiperkalsemia, hipokalemia, dan asidosis), yang terutama berasal
clearance ginjal berkurang serta disfungsi sistem saraf otonom.
Pengobatan uremik gastropati tergantung pada kadar uremia, yang
dapat dicapai dengan perawatan medis untuk metabolisme dan kelainan
elektrolit

terkait,

seperti

anemia,

hiperkalemia,

hipokalsemia,

hiperparatiroidisme, dan defisiensi besi. bisa juga diberikan obat-obatan


seperti antasida, sucralfat, reseptor antagonis seperti ranitidin maupun
golongan PPI seperti omepazol maupun lansoprazol. Ketika perawatan ini
gagal, terapi pengganti ginjal dengan hemodialisis, peritoneal dialisis, atau
transplantasi ginjal adalah pengobatan pilihan. intervensi terapi lain
meliputi perubahan pola makan dan prosedur hemostatik, dalam kasus
perdarahan uremik

27

2.4

Diare/GEA(Gastroenteritis Akut)
Acute diarrhea is defined as stool with increased water content,
volume, or frequency that lasts less than 14 days. Pada kasus ini pasien
mengeluhkan BAB cair (mencret) lebih dari 4x sehari sudah terjadi selama
3 hari. Pada pasien ini berdasarkan tabel dibawah termasuk kedalam diare
noninflamatory karena pasien ini BAB nya cair, ada mual dan muntah,
pasien kadang demam dan ditemukan adanya nyeri pada perut, walaupun
pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan feses rutin , tetapi
berdasarkan tabel diatas pasien termasuk kedalam diare noninflamatory.

PHYSICAL EXAMINATION
The primary goal of the physical examination is to assess the
patient's degree of dehydration. Generally ill appearance, dry mucous
membranes, delayed capillary refill time, increased heart rate, and
abnormal orthostatic vital signs can be helpful in identifying more severe
dehydration. Fever is more suggestive of inflammatory diarrhea. The
abdominal examination is important to assess for pain and acute

28

abdominal processes. A rectal examination may be helpful in assessing for


blood, rectal tenderness, and stool consistency.
Pada pemeriksaan fisik pada pasien ini ditemukan adanya tandatanda dehidrasi ringan-sedang yang ditandai dengan capillary refill time >
2 detik sedangkan tanda tanda vital dalam batas normal , tidak
ditemukan adanya tanda-tanda syok seperti aktral dingin dan nadi tidak
teraba. Pada pasien ini tidak dilakukan rectal toucher . untuk lebih pasti
menentukan etiologi dari diare ini perlu dilakuakn pemeriksan feses rutin
sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan feses rutin.
PENATALAKSANAAN
REHYDRATION THERAPY
The first step to treating acute diarrhea is rehydration, preferably
oral rehydration. The accumulated fluid deficit (calculated roughly as the
difference between the patient's normal weight and his or her weight at
presentation with diarrheal illness) must first be addressed. Next, the focus
should turn to the replacement of ongoing losses and the continuation of
maintenance fluids. An oral rehydration solution (ORS) must contain a
mixture of salt and glucose in combination with water to best use the
intestine's sodium-glucose coupled cellular transport mechanism. In 2002,
the World Health Organization endorsed an ORS with reduced osmolarity
(250 mOsm per L or less compared with the prior standard of 311 mOsm
per L). The reduced osmolarity ORS decreases stool outputs, episodes of
emesis, and the need for intravenous rehydration, without increasing
hyponatremia, compared with the standard ORS. A reduced osmolarity
ORS can be roughly duplicated by mixing 1/2 teaspoon of salt, 6
teaspoons of sugar, and 1 liter of water. If oral rehydration is not feasible,
intravenous rehydration may be necessary.
FEEDING
Early refeeding decreases intestinal permeability caused by
infections, reduces illness duration, and improves nutritional outcomes.
This is particularly important in developing countries where underlying

29

preexisting malnutrition is often a factor. Although the BRAT diet


(bananas, rice, applesauce, and toast) and the avoidance of dairy are
commonly recommended, supporting data for these interventions are
limited. Instructing patients to refrain from eating solid food for 24 hours
also does not appear useful.
ANTIDIARRHEAL MEDICATIONS
The antimotility agent loperamide (Imodium) may reduce the
duration by as much as one day and increase the likelihood of clinical cure
at 24 and 48 hours when given with antibiotics for traveler's diarrhea.
A loperamide/simethicone combination has demonstrated faster
and more complete relief of acute nonspecific diarrhea and gas-related
discomfort compared with either medication alone. Loperamide may cause
dangerous prolongation of illness in patients with some forms of bloody or
inflammatory diarrhea and, therefore, should be restricted to patients with
nonbloody stool.40 The antisecretory drug bismuth subsalicylate (PeptoBismol) is a safe alternative in patients with fever and inflammatory
diarrhea. There is inadequate evidence to recommend the use of the
absorbents kaolin/pectin, activated charcoal, or attapulgite (no longer
available in the United States). The antisecretory drug racecadotril, widely
used in Europe but unavailable in the United States, appears to be more
tolerable and as effective as loperamide.
ANTIBIOTIC THERAPY
Because acute diarrhea is most often self-limited and caused by
viruses, routine antibiotic use is not recommended for most adults with
nonsevere, watery diarrhea. Additionally, the overuse of antibiotics can
lead to resistance (e.g., Campylobacter), harmful eradication of normal
flora, prolongation of illness (e.g., superinfection with C. difficile),
prolongation of carrier state (e.g., delayed excretion of Salmonella),
induction of Shiga toxins (e.g., from Shiga toxinproducing E. coli), and
increased cost. However, when used appropriately, antibiotics are effective
for shigellosis, campylobacteriosis, C. difficile, traveler's diarrhea, and

30

protozoal infections. Antibiotic treatment of traveler's diarrhea (usually a


quinolone) is associated with decreased severity of illness and a two-or
three-day reduction in duration of illness. If the patient's clinical
presentation suggests the possibility of Shiga toxinproducing E. coli (e.g.,
bloody diarrhea, history of eating seed sprouts or rare ground beef,
proximity to an outbreak), antibiotic use should be avoided because it may
increase the

risk of hemolytic

uremic

syndrome. Conservative

management without antibiotic treatment is less successful for diarrhea


lasting more than 10 to 14 days, and testing and treatment for protozoal
infections should be considered.
Antibiotics may be considered in patients who are older than 65
years, immunocompromised, severely ill, or septic.
PROBIOTICS
Probiotics are thought to work by stimulating the immune system
and competing for binding sites on intestinal epithelial cells. Their use in
children with acute diarrhea is associated with reduced severity and
duration of illness (an average of about one less day of illness).46
Although many species are generally categorized as probiotics, even
closely related strains may have different clinical effects. Effects of strainspecific probiotics need to be verified in adult studies before a specific
evidence-based recommendation can be made.
ZINC SUPPLEMENTATION
Research in children suggests that zinc supplementation (20 mg per
day for 10 days in children older than two months) may play a crucial role
in treating and preventing acute diarrhea, particularly in developing
countries. Studies demonstrate a decrease in the risk of dehydration, and in
the duration and severity of the diarrheal episode by an estimated 20% to
40%.47 Additional research is needed to evaluate potential benefits of zinc
supplementation in the adult population.
Pada kasus ini untuk penatalaksaan diarenya diberika new diatab 2
tablet setiap setelah mencret dan diberikan zinc 20 mg 1 kali sehari, pasien

31

TEORI
KELOMPOK

KASUS
ini tidak

KRITERIA
ANEMIA (Hb)

Laki-laki dewasa

<13 g/dl

Wanita dewasa

<12 g/dl

tidak hamil
Wanita hamil

Pada kasus Hb =
4.0 g/dl.
Maka pasien

<11 g/dl

didiagnosis
sebagai anemia.

diberikan antibiotik karena belum diketahui pasti penyebab dari diarenya


tetapi dari gejala dan tanda yang ditemukan kemungkinan diare pada
pasien ini disebabkan karena virus karena BAB nya cair tidak berlendir
dan tidak berbau maupun tidak ada darah sehingga cukup dilakukan
rehidrasi cairan, pemberian zinc dan new diatab.

2.5

Anemia Mikrositik Hipokrom

32

TEORI KLASIFIKASI
I.
Anemia hipokromik mikrositer
(bila MCV <80fl dan MCH <27pg)
a.
b.
c.
d.

Anemia defisiensi besi


Thalassemia major
Anemia akibat penyakit kronis
Anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer

I.

(bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg)


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

I.

Anemia pasca perdarahan akut


Anemia aplastik
Anemia hemolitik didapat
Anemia akibat penyakit kronis
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia pada keganasan hematologic

Anemia makrositer
(bila MCV >95)
a. Bentuk megaloblastik

Anemia defisiensi asam folat


Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
a. Bentuk non-megaloblastik

Anemia pada penyakit hati kronis


Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Pada Kasus MCV = 74.4
MCH = 22.2
Maka termasuk anemia mikrositer

33

Pada kasus tidak diperiksa besi serum, maka pendekatan diagnosis


selanjutnya dengan pemeriksaan indeks Mentzer (Mentzer, 1973).
Interpretasi index Mentzer < 13 thalassemia. Interpretasi index Mentzer
> 13 anemia defisiensi besi.
Index Mentzer = MCV : jumlah eritrosit = 74.4 : 1.80 = 41.33 (index
Mentzer > 13 anemia defisiensi besi)
Patofisiologi anemia mikrositik hipokrom tergantung dari penyebabnya
1. Anemia defisiensi besi terjadi dalam 3 tahap
a. Tahap 1 (tahap prelaten), dimana yang terjadi penurunan hanya kadar
feritin (simpanan besi)
b. Tahap 2 (tahap laten), dimana feritin dan saturasi transferin turun
(tetapi Hb masih normal)
c. Tahap 3 (tahap def. besi), dimana feritin, saturasi transferin dan Hb
turun (eritrosit menjadi mikrositik hipokrom)
2. Anemia pada penyakit kronis

34

Anemia ini biasanya bersifat sekunder, dalam arti ada penyakit primer
yang mendasarinya. Perbedaan anemia ini dengan anemia defisiensi besi
tampak pada feritin yang tinggi dan TIBC yang rendah
3.

Anemia sideroblastik
Terjadi karena adanya gangguan pada rantai protoporfirin. Menyebabkan
besi yang ada di sumsum tulang meningkat sehingga besi masuk ke
dalam eritrosit yang baru terbentuk dan menumpuk pada mitokondria
perinukleus.
4. Thalasemia
Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi
karena sintesis hb yang abnormal dan juga karena berkurangnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang normal
Pengobatan Anemia Mikrositik Hipokrom
1. Anemia defisiensi besi :
a. Terapi besi oral Ferro sulfat, mengandung 67mg besi Ferro
glukonat, mengandung 37 mg besi.
b. Terapi besi parenteral biasa digunakan untuk pasien yang tidak
bisa mentoleransi penggunaan besi oral. Besi-sorbitol-sitrat
diberikan secara injeksi intramuskular Ferri hidroksida-sukrosa
diberikan secara injeksi intravena lambat atau infus
c. Pengobatan Lain Diet, diberikan makanan bergizi tinggi protein
terutama yang berasal dari protein hewani Vitamin C diberikan 3
x 100mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi Transfusi
darah, pada anemia def. Besi dan sideroblastik jarang dilakukan
(untuk menghindari penumpukan besi pada eritrosit)
2. Anemia pada penyakit kronik. Tidak ada pengobatan khusus yang
mengobati penyakit ini, sehingga pengobatan ditujukan untuk
penyakit yang mendasarinya. Jika anemia menjadi berat, dapat
dilakukan transfusi darah dan pemberian eritropoietin.

35

3. Anemia sideroblastik. Penatalaksanaan anemia ini dapat dilakukan


dengan veneseksi dan pemberian vit b6 (pyridoxal fosfat). Setiap unit
darah yang hilang pada veneseksi mengandung 200-250 mg besi.
4. Thalasemia. Transfusi darah dapat dilakukan untuk mempertahankan
kadar Hb >10 g/dL. Tetapi transfusi darah yang berulang kadang
mengakibatkan penimbunan besi, sehingga perlu dilakukan terapi
kelasi besi
2.6

Efusi Pleura
Efusi Pleura merupakan akumulasi cairan di antara pleura parietalis
dan pleura visceralis. Dalam keadaan normal cairan dapat memasuki ruang
pleura melalui kapiler yang berasal dari pleura parietalis dan di reabsorbsi
oleh sistem limfatik di pleura parietalis. Akumulasi cairan juga dapat
berasal dari jaringan interstisial paru melalui pleura visceralis atau dari
peritonial melalui lubang kecil pada diafragma. Untuk menegakan
diagnosis efusi pleura perlu untuk membedakan jenis cairan efusi, apakah
cairan merupakan hasil proses transudasi atau eksudasi. Proses transudasi
terjadi apabila proses sistemik mempengaruhi terjadinya akumulasi cairan,
seperti pada kegagalan ventrikel kiri dan pada sirosis.
Sedangkan proses eksudasi terjadi apabila faktor lokal yang
mempengaruhi terjadinya efusi seperti pneumonia, TBC paru, malignansi,
embori paru dan lainnya.
Penyebab efusi adalah sama dengan yang menyebabkan terjadinya
edema pada jaringan lain (1) Hambatan drainase limfatik dari rongga
pleura (2) pada gagal jantung yaitu disebabkan oleh tekanan kapiler perifer
dan paru yang meningkat sehingga menyebabkan transudasi cairan yang
berlebihan kedalam rongga pleura (3) tekanan osmotik koloid plasma yang
menurun, sehingga memungkin transudasi cairan yang berlebihan dan (4)
infeksi atau setiap penyebab peradangan lainnya pada permukaan rongga

36

pleura yang merusak membran kapiler yang memungkinkan terjadinya


kebocoran protein plasma dan cairan kedalam roangga secara cepat.
a. Diagnosis
- Anamnesis & Pemeriksaan Fisik

Analisis Kasus :

37

Pada pasien didapatkan adanya penurunan vocal premitus pada lapang


paru kanan dan kiri, disertai adanya perkusi yang redup setinggi ICS 6
pada lapang paru kanan dan kiri disertai adanya penurunan bunyi paru
kanan dan kiri, hal ini mengindikasikan adanya kecurigaan adanya efusi
pleura bilateral berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis yang
menyebutkan bahwa pasien mengalami sesak dan batuk.
-

Pemeriksaan Penunjang
1. Imaging
Ketika curiga terjadinya efusi pleura maka perlu untuk melakukan
rontgen thorak dalam mengkonfirmasi diagnosis. Abnormalitas pada
rontgen thorak akibat efusi pleura dapat dideteksi pada posisi foro
posteroanterior apabila jumalah akumulasi cairan 200mL, dan pada foto
lateral sudah mulai terdeteksi adanya akumlasi cairan dengan jumlah
cairan sekitar 50mL
Apabila dengan fotothorak tidak meyakinkan, maka dapat
dilakukan pemeriksaan USG. USG dapat lebih akurat dalam mendeteksi
efusi pleura dibansingkan pemeriksaan aukultasi ataupun rontgen
thorak dan lebih sensitif dalam mendeteksi terjadinya akumulasi cairan
di pleura yang bersepta.USG dapat mendeteksi efusi pleura dalam
jumlah yang kecil

38

Analisis kasus :
Pada pemeriksaan rontgen thorak ternyata didapatkan adanya
penumpulan pada sinus costo phrenicus kanan dan kiri yang
mengindikasikan telah terjadinya efusi pleura bilateral. Adapun pada
pemeriksaan fisik tidak terdeteksi bisa disebabkan oleh karena
minimalnya akumulasi cairan di pluera kanan.
2. Thorakosentesis
Aspirasi cairan pelura berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapetik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pad sela iga garis axilaris
posterior dengan memakai jarum abocath 14 atau 16. Penegeluaran
cairan sebaikanya tidak melebihi 1000-1500cc pada setiap kali
aspirasi. Sebaiknya aspirasi dikerjakan berulang-ulang daripada
sekaligus untuk mengindarkan terjadinya edema paru akut. Edema
terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat , hal ini diduga
sebagai akibat terjadinya tekanan intrapelura

yang tinggi yang

menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeablitas kapiler


yang abnormal. Aspirasi sebaiknya tidak dilakukan pada efusi pleura
bilateral karena secara klinis sangat kuat mengarah pada akumulasi
cairan yang bersifat transudasi.
Kecuali ada beberapa hal seperti adanya demam, pleuritic pain,
efusi dengan ukuran yang berbeda dan tidak respon terhadap
pengobatan.
Aspirasi efusi pleura sebaiknya digunakan metode guide USG
untuk meningkatkan keberhadilan dan menurunkan terjadinya risiko
penumotorak adan mencederai organ seperti paru. Pemeriksaan
aspirasi ini sebainya dilakukan uji diagnostik dengan mencantumkan
beberapa pemeriksaan cairan efusi seperti LDH, pewarnaan gram,
sitologi dan mikrobiologi. Dengan pemeriksaan cairan pelura dapat
ditentukan apakan efusi yang terjadi merupakan suatu proses eksudasi
ataupun

transudasi,

sehingga

dapat

lebih

mengarahkan

pada

39

differential diagnosis yang lebih mengerucut. Ketika dilakukan aspirasi


maka harus diperhtikan warna cairan dan bau dari cairan pleura
tersebut.

Warna cairan efusi dapat kekuning-kuningan (serous-santokrom),


warna darah dan purulen. Cairan seeprti susu sebaiknya dilakukan
sentrifugasi untuk membedakan anatara empiema dan lemak. Bau yang
tidak enak mengindikasikan telah terjadinya proses infeksi dan dianjurkan
untuk pemberian antibiotik, efusi dengan bau amonia dapat dicurigai
terjadinya urinothorak. Warna cairan efusi merah darah dapat dicurigai
terjadinya malignansi, emboli paru dengan infaksi, trauma, pleural
asbestos benigna dan post traumatik jantung.

40

Beberapa alur diagnosis Work up Pasien dengan Efusi Pleura :

2.7

Ascites
Definisi

secara dini yang tidak dapat Asites adalah akumulasi cairan patologis dalam
rongga perut. Kata "ascites" itu berasal dari kata Yunani "askos," berarti yang tas
atau karung.
Etiologi
Liver Disease:

80-85%

Cirrhosis

41

Fulminant Hepatic Failure


Fatty liver of pregnancy
Neoplasms:

10%

Hepatoma
Liver, peritoneal or lymphatic metastases
Lymphoma with Lymph Obstruction
Pseudomyxoma peritonei
Meigs Syndrome (Ovarian Fibroid)
Heart Failure:

3%

Cor pulmonal heart disease & COPD


ASHD or VHD with biventricular CHF
Constrictive Pericarditis
Infections:
Tuberculosis

1%

Spontaneous Bacterial Peritonitis


Pelvic Inflammatory Disease (Chlamydia)
HIV
Venous occlusion:
Supradiaphragmatic IVC Occlusion

<1%

Budd-Chiari Syndrome
Veno-occlusive disease \\
Dialysis Related
Nephrotic Syndrome

42

Inflammatory:

<1%

Pancreatitis
Bile Peritonitis
Chronic lymphatic inflammation/fibrosis
Connective Tissue Disease
Trauma:

<1%

Ruptured Viscus
Trauma to the abdominal cysterna chyli
Nutritional:

<1%

Marasmus
Kwashiokor
Endocrine:

<1%

Myxedema
Endometriosis

Klasifikasi Ascites:
Menurut EASL 2010:
1. Uncomplicated ascites
Kira-kira 75% pasien ascites di Eropa Barat atau AS mengalami sirosis sebagai
penyebabnya. Pada pasien lain, ascites disebabkan oleh keganasan, gagal jantung,
tuberculosis, penyakit pancreas, atau penyebab lain yang tidak diketahui.

43

Sehingga evaluasi inisial pada pasien dengan ascites meliputi anamnesis,


pemeriksaan fisik, USG abdominal, pemeriksaan laboratorium fungsi hepar,
fungsi renal, elektrolit serum dan urine, kemudian analisis cairan ascites.
Tabel grading ascites dan terapi yang sesuai
Grade
ascites
1

Definisi

Terapi

Ascites ringan, hanya terdeteksi Tidak ada terapi


dengan USG

Ascites moderatdiketahui denganRestriksi


adanya

distensi

abdomen

simetris
3

intake

natrium dan

diuretik

Ascites besar atau gross dengan Paracentesis volume besar dengan


distensi abdomen terbatas

restriksi

ntake

natrium

dan

diuretik
(kecuali

pada pasien refractory

ascites)
2. Refractory ascites
Berdasarkan kriteria the International Ascites Club, refractory ascites
didefinisikan sebagai ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali
secara dini dimana (contoh: setelah LVP) tidak dapat dicegah secara memuaskan
dengan terapi medis. Sekali ascites tidak mempan terhadap pengobatan, rata-rata
ketahanan pasien kira-kira 6 bulan. Konsekuensinya, pasien dengan ascites
refrakter harus dipertimbangkan transplantasi hepar.
dicegah karena kekurangan

44

respon terhadap restriksi natrium dan terapi diuretic


Ascites sulit diatasi diuretik

Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul


kembali
secara dini yang tidak dapat dicegah karena
perkembangan
komplikasi

akibat

diuretic

yang

mengganggu

penggunaan
dosis efektif diuretic
Syarat
1.

Durasi terapi

Pasien harus mendapatkan terapi diuretic intensif


(spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160
mg/hari)
setidaknya 1 minggu dan pada diet rendah garam
kurang dari
90 mmol/hari

2.

Kurangnya respon

Penurunan berat badan rata-rata <0.8 kg lebih dari 4


hari dan
natrium urine kurang dari intake

3.

Rekurensi
dini

ascitesKemunculan kembali ascites grade 2 atau 3 antara 4


minggu
pertama mobilisasi

4.

Komplikasi
diuretic

akibat Hepatic ensefalopati akibat diuretic adalah timbulnya


ensefalopati tanpa factor presipitasi lain
Kerusakan renal akibat diuretic adalah peningkatan
kreatinin

45

serum >100% hingga nilai >2 mg/dL (177mol/L)


pada
pasien ascites yang respon terhadap terapi
Hiponatremia akibat diuretic didefinisikan sebagai
penurunan serum natrium >10 mmol/L hingga
natrium serum
<125 mmol/L
Hipo atau hiperkalemia akibat diuretic didefinisikan
sebagai
perubahan kalium serum <3mmol/L atau >6mmol/L
menggunakan pengukuran yang tepat

3. Spontaneous bacterial peritonitis


SBP merupakan infeksi bakteri yang paling umum pada pasien dengan sirosis dan
asites. Saat pertama kali dideskripsikan, angka mortalitasnya lebih dari 90% tapi
turun hingga sekitar
20% dengan diagnosis dan terapi dini. Diagnosis SBP berdasarkan diagnosis
paracentesis. Semua pasien dengan sirosis dan ascites beresiko SBP dan
prevalensi SBP pada pasien rawat jalan adalah 1.5-3.5% dan sekitar 10% pada
pasien rawat.
4. Hiponatremia
Hiponatremia umum pada pasin dengan sirosis dekompensata dan berkaitan
dengan ketidakseimbangan solution air bebas sekunder terhadap hipersekresi
vasopressin non- osmotik (anti diuretic hormone), yang mengakibatkan

46

ketidakproporsionalan retensi air relative terhadap retensi natrium. Hiponatremia


pada sirosis secara sepihak didefinisikan ketika konsentrasi natrium serum
menurun hingga di bawah 130 mmol/L, namun reduksi di bawah 135 mmol/L
juga dikatakan sebagai hiponatremia, tergantung panduan hiponatremia pada
populasi umum pasien yang ada.
Pasien dengan sirosis dapat mengembangkan 2 tipe hiponatremia: hipovolemik
dan hipervolemik. Hipervolemik hiponatremia adalah yang paling umum dan
dikarakteristikkan dengan rendahnya level natrium serum dengan ekspansi
volume cairan ekstraseluler, dengan ascites dan edema. Kondisi ini dapat muncul
secara spontan atau sebagai konsekuensi kelebihan cairan hipotonik (contoh:
dextrose 5% ) atau komplikasi sekunder sirosis, sebagian akibat infeksi bakteri.
Hipovolemik hiponatremia jarang terjadi dan dikarakteristikkan dengan
rendahnya level natrium serum dan tidak adanya ascites dan edema, dan paling
sering terjadi sekunder dari terapi diuretic berlebih.
Konsentrasi natrium serum adalah penanda penting prognosis sirosis dan adanya
hiponatremia dikaitkan dengan ketidakmampuan bertahan hidup. Lebih jauh lagi,
hiponatremia juga dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, sebagian komplikasi
neurologis, dan penurunan kemungkinan hidup setelah transplantasi, meskipun
hasil penelitian menunjukkan ketidaksesuaian dengan harapan hidup.
5. Hepatorenal syndrome

Hepatorenal syndrome (HRS) didefinisikan sebagai kemunculan gagal ginjal pada


pasien dengan penyakit hepar berat dengan tidak adanya penyebab gagal ginjal
yang dapat diidentifikasi. Diagnosis ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab
gagal ginjal lain.
Pada kondisi ini, vasodilatasi terutama terjadi pada arteri splanchnicus, sehingga
cardiac output pasien HRS dapat rendah atau normal (sedikit meningkat), namun
tidak mencukupi kebutuhan pasien, dimana pemicu paling penting perkembangan

47

HRS tipe 1 adalah infeksi bakteri, dan fungsi renal dapat ditingkatkan dengan
terapi obat.
Sirosis dengan ascites
Serum kreatinin >1.5 mg/dL (133mol/L) Tidak ada shock
Tidak ada hipovolemia yang didefinisikan dengan tidak adanya perkembangan
berkelanjutan fungsi renal (penurunan kreatinin hingga <133mol/L) diikuti
setidaknya 2 hari withdrawal diuretic (jika menggunakan diuretic), dan ekspansi
volume dengan albumin 1 g/kg/hari
hingga maksimum 100g/hari
Tidak ada terapi dengan obat nephrotoxic
Tidak ada penyakit parenkim ginjal yang didefinisikan dengan proteinuria <0.5
g/hari, tidak mikrohematuria (<50 sel darah merah/ LPB), dan USG ginjal normal

Patofisiologi
Terdapat 3 teori mengenai pembentukan asites, yaitu : teori underfilling,
overflow, dan vasodilatasi arteri perifer.
Teori underfilling menunjukkan bahwa kelainan utama adalah penyerapan
cairan dalam pembuluh darah splenikus yang tidak baik karena hipertensi porta
dan penurunan volume darah yang beredar efektif. Ini mengaktivasi plasma
renin, aldosteron, dan sistem saraf simpatik, sehingga terjadi retensi natrium dan
air pada ginjal.

48

Teori overflow menunjukkan bahwa kelainan utama adalah terjadinya retensi


natrium dan air pada ginjal padahal tidak terdapat penurunan volume vaskular.
Teori ini dikembangkan karena pada pengamatan pasien dengan sirosis memiliki
hipervolemia intravaskular daripada hipovolemia.
Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer. Sirosis (pembentukan
jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid.
Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada
hipertensi porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed
(pembuluh darah splanknik) akibat adanya vasodilator endogen (seperti NO,
calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan adanya vasodilatasi
splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan peningkatan aliran darah yang
justru akan membuat hipertensi porta menjadi semakin menetap. Hipertensi porta

49

tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid dan


kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya
menyebabkan asites.
Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan
mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan
penurunan volume efektif darah (underfilling relatif) arteri. Sebagai respons
terhadap perubahan ini, tubuh akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik
dan sumbu sistem renin- angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin.
Semuanya itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan
diikuti dengan reabsorpsi air (H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan
yang terkumpul di rongga tubuh.
Komplikasi
Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi yaitu
spontaneus bacterial peritonitis (mengancam nyawa), sindrom hepatorenal
(vasokonstriksi renal akibat
aktivitas penarikan garam dan cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati,
serta komplikasi lain yang dikaitkan dengan penyakit penyebab asites.
Dasar Diagnosis
Anamnesis
Ascites bisa timbul mendadak atau perlahan lahan tergantung pada
penyebabnya. Ascites ringan mungkin tidak bergejala, moderate ascites mungkin
memberi gejala peningkatan berat badan dan rasa berat di perut, ascites dalam
jumlah besar juga memberi gejala rasa tidak nyaman di perut, dapat menimbulkan
hernia umbilicalis, serta menyebabkan elevasi dari diafragma yang akan
menimbulkan gejala sesak napas.

50

Pada penderita ascites harus ditanyakan gejala penyakit atau faktor risiko dari
penyakit yang dipikirkan merupakan penyebab timbulnya ascites. Pada penyakit
hati, harus ditanyakan kebiasaan mengkonsumsi alkohol, penggunaan jarum
suntik bergantian, riwayat transfusi, serta riwayat hepatitis. Untuk cardiac ascites
harus ditanyakan riwayat penyakit jantung atau penyakit pericardial. Riwayat
keganasan mengarah ke malignant ascites, terutama keganasan payudara, saluran
pencernaan, ovarium, atau lymphoma. Untuk negara berkembang, harus juga
dipikirkan kemungkinan tuberculosis, harus disertai demam dan gejala konstitusi
dari tuberculosis. Mungkin juga terjadi pancreatic ascites, pada pasien dengan
riwayat pancreatitis kronis. Harus diingat bahwa pada seorang pasien mungkin
ditemukan lebih dari satu faktor predisposisi.
Pemeriksaan Fisik
Ascites harus dibedakan dengan pembesaran perut lainya, misalnya obesitas,
dispepsia, obstruksi usus, serta massa atau kista abdomen. Pada ascites dalam
jumlah besar, ascites mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, untuk ascites
dalam jumlah sedang atau kecil, ketepatan pemeriksaan fisik hanya mencapai
50%. Pemeriksaan fisik untuk ascites berupa, flank dullness (90% positif pada
pasien dengan ascites), sifting dullness, fluid wave, serta puddle sign, bila jumlah
cairan ascites < 120 ml. fluid wave dapat juga positif untuk kista ovarium yang
besar dan kehamilan dengan polihidramnion.
Pemeriksaan fisik juga dapat digunakan sebagai petunjuk etiologi ascites. Pada
penyakit hati kronis mungkin ada palmar eritem, spider naevi, jaundice, dll.
Splenomegaly dan

51

pelebaran vena merupakan tanda hipertensi porta. Pada pasien dengan cardiac
ascites akan ditemukan peningkatan JVP. Perbesaran KGB mengarah ke
tuberculosis atau lymphoma.
Pemeriksaan Penunjang
Parasintesis abdomen
Dulu, parasintesis dilakukan diantara pubis dan umbilicus, karena merupakan
daerah avascular. Saat ini, karena parasintesis juga ditujukan untuk pengambilan
cairan dalam jumlah besar, dan peningkatan persentase orang orang dengan
obesitas, yang menyebabkan penebalan dinding abdomen, kuadran kiri bawah
lebih direkomendasikan, karena dinding abdomen pada kuadran kiri bawah, 2 jari
caudal dan 2 jari medial SIAS lebih tipis, serta cairan lebih terakumulasi di daerah
tersebut dibanding di daerah umbilicus. Kuadran kanan bawah kurang optimal
karena sering kali ada scar post appendectomy, lokasi antara pubis dan SIAS harus
dihindari karena ada arteri epigastric inferior. Bila lokasi ascites sulit ditentukan
karena obesitas atau jumlah yang kecil, dapat digunakan bantuan USG.

52

Fig. 1. Diagram of the abdomen showing the three usual sites for abdominal
paracentesis. The author prefers the left lower quadrant site. Reproduced from
Thomsen TW, Shaffer RW, White B, Setnik GS. Paracentesis. N Engl J Med
2006;355:e21, with permission from the Massachusetts Medical Society(2006)
Massachusetts Medical Society.
Analisis Cairan Ascites

53

Penatalaksanaan

54

Penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan pada ascites menurut European


Association for the Study of the Liver (EASL) dibagi berdasarkan penyakit yang
menyertai timbulnya ascites, antara lain :
1.Ascites tanpa komplikasi
Pasien dengan cirrhosis dan ascites merupakan resiko tinggi untuk komplikasi lain
dari penyakit liver, termasuk ascites berulang, peritonis bakterialis spontan
(spontaneous bacterial peritonitis, SBP), hiponatremia, maupun sindroma
hepatorenal (HRS). Ascites tanpa komplikasi didefinisikan sebagai ascites yang
bukan disebabkan komplikasi tersebut di atas.
a.Penatalaksanaan
Grade 1. Ascites hanya terdiagnosis dengan USG. Untuk grade ini, tidak
dilakukan terapi apapun.
Grade 2. Ascites sedang yang ditandai dengan distensi abdomen yang simetris.
Pasien seperti ini dapat diterapi sebagai pasien rawat jalan dan tidak dilakukan
opname kecuali pada pasien tersebut ditemukan komplikasi lain dari cirrhosis.
Terapi yang diberikan bertujuan untuk meniadakan retensi natrium dan
menghasilkan keseimbangan natrium negatif. Hal ini dilakukan dengan
mengurangi asupan natrium dan meningkatkan ekskresi natrium dengan diuretik.
-Pembatasan natrium, rekomendasi untuk asupan natrium adalah 80-120
mmol/hari atau setara dengan 4,6-6,9 gram garam / hari.
-Diuretik yang dapat diberikan antara lain Furosemid (dimulai dengan dosis 40
mg/hari dinaikkan setiap 7 hari sampai dengan 160 mg/hari), maupun
Spironolakton (100 mg/hari, dimana jika tidak responsif dapat dinaikkan setiap 7
hari sampai mencapai 400 mg/hari). Pemberian diuretik ini diberikan hingga
didapatkan penurunan berat badan harian tidak lebih dari 0,5 kg/hari pada pasien

55

tanpa oedem perifer dan 1 kg/hari pada pasien dengan oedem perifer, hal ini untuk
menghindari gagal ginjal terkait pemberian diuretik dan/atau hiponatremia.
Grade 3. Ascites dalam jumlah yang besar yang ditandai dengan distensi
abdomen. Paracentesis volume besar (Large-volume Paracentesis, LVP)
merupakan pilihan terapi dimana penelitian menunjukkan (1) LVP yang
dikombinasi dengan albumin lebih efektif ketimbang diuretik dan secara nyata
mempersingkat durasi rawat inap di RS. (2) LVP dengan albumin lebih aman
ketimbang diuretik dalam frekuensi kejadian hiponatremia, gagal ginjal, dan
ensefalopati hepatik. (3) Tidak ada perbedaan yang menjamin rawat ulang maupun
angka keberhasilan antara keduanya. (4) LVP adalah prosedur yang aman dengan
resiko komplikasi lokal seperti perdarahan atau perforasi usus yang rendah.
Ketika ascites kurang dari 5 liter dikurangi, pemberian dextran-70 maupun
polygeline setara dengan pemberian albumin, tetapi pemberian albumin lebih
bermakna pada penarikkan cairan ascites yang lebih dari 5 liter. Hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya disfungsi dari sirkulasi setelah LVP.
b.Prognosis
Perkembangan ascites pada cirrhosis mengindikasikan prognosis yang buruk.
Angka kematian diperkirakan mencapai 40% pada tahun pertama dan 50% pada
tahun kedua. Faktor lain yang menentukan prognosis yang buruk, antara lain :
hiponatremia, tekanan arterial yang rendah, peningkatan serum kreatinin, dan
kadar natrium yang rendah dalam urine.
Pada pasien dengan ascites grade 2 dan 3, transplantasi liver dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan terapi yang potesial.
2.Ascites Refrakter

56

Ascites refrakter didefinisikan sebagai ascites yang tidak dapat dimobilisasi


ataupun berulang dengan segera setelah LVP yang tidak dapat dicegah dengan
pengobatan.
a.Penatalaksanaan
Large-volume Paracentesis. Merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman.
Pemberian albumin mencegah disfungsi sirkulasi yang terkait LVP.
Diuretik. Pada sekitar 90% pasien, pemberian diuretik tidak cukup efektif untuk
mencegah maupun memperlambat rekurensi ascites setelah LVP. Diuretik harus
dihentikan secara permanen pada pasien dengan komplikasi terkait permberian
diuretik (ensefalopati hepatik, gagal ginjal, maupun kelainan elektrolit).
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS). TIPS terbukti efektif dalam
mengendalikan ascites berulang. Efek jangka pendek dari TIPS adalah
meningkatkan cardiac output, tekanan atrial kanan, dan tekanan arteri pulmonal
yang mengurangi resistensi pembuluh darah sistemik dan volume darah arteri
menjadi efektif. Efek yang menguntungkan pada fungsi ginjal termasuk
meningkatkan ekskresi natrium dan GFR. TIPS juga memiliki keuntungan dalam
menjaga keseimbangan nitrogen dan berat badan.
3.Peritonitis Bakterialis Spontan (SBP)
SBP sering ditemukan pada pasien dengan cirrosis dan ascites, dimana terjadi
peningkatan angka kematian mencapai 90% yang dapat ditekan hingga 20%
dengan diagnosis dan terapi dini.
a.Penatalaksanaan
Terapi antibiotik empiris.Terapi dengan antibiotik empiris perlu segera diberikan
setelah SBP didiagnosis, tanpa menunggu hasil kultur cairan ascites. Antibiotik
yang berpotensi nefrotoksik (seperti aminoglikosida) tidak boleh diberikan
sebagai terapi empiris. Cefotaxime yang merupakan generasi ketiga dari

57

cephalosporin, diberikan secara luas pada pasien dengan SBP karena dapat
mengatasi kebanyakan organisme yang menjadi penyebab. Angka kesembuhan
ditemukan pada 77-98% pasien dengan dosis 4 mg/hari sama efektif dengan dosis
8 mg/hari dan terapi selama 5 hari sama efektifnya dengan terapi selama 10 hari.
Alternatif lain, Amoxicillin / asam Clavulanat yang pertama-tama diberikan secara
IV kemudian per oral memberi hasil serupa dengan angka kesembuhan dan angka
kematian dibandingkan dengan cefotaxime dan tentu dengan harga yang lebih
murah. Ciprofloxacin diberikan selama 7 hari IV; ataupun 2 hari IV dan diikuti 5
hari per oral memberi hasil serupa dalam angka kesembuhan dibanding
cefotaxime, tetapi dengan harga yang lebih mahal.
Jika pada hitung jenis neutrofil yang didapat dari cairan ascites tidak berkurang
kurang dari 25% dibanding nilai sebelum terapi setelah pemberian terapi
antibiotik selama 2 hari, kemungkinan besar terapi gagal dan diperkirakan infeksi
yang terjadi disebabkan bakteri yang resisten terhadap terapi antibiotik.
Albumin IV pada pasien SBP tanpa syok septik.Hepatorenal Syndrome (HRS)
terjadi pada sekitar 30% pasien dengan SBP yang menerima terapi antibiotik
tunggal memiliki prognosis yang buruk. Pemberian albumin (1,5 g/kg pada saat
didiagnosis dan 1 g/kg pada hari ketiga) menurunkan frekuensi HRS dan terbukti
meningkatkan angka keberhasilan.
b.Pencegahan
Agen profilaksis yang ideal harus aman, terjangkau, dan efektif dalam
menurunkan jumlah organisme ini di usus. Tiga populasi pasien beresiko tinggi
yang perlu dikenali, antara lain : (1) pasien dengan perdarahan GIT akut, (2)
pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah dan tidak
memiliki riwayat SBP sebelumnya, (3) pasien dengan riwayat SBP sebelumnya.
(1)Pasien dengan perdarahan GIT akut. Infeksi bakterial termasuk SBP
merupakan masalah serius pada pasien cirrhosis dan perdarahan GIT akut yang

58

terjadi antara 25% dan 65% pada pasien dengan perdarahan GIT. Pada hasil metaanalisis didapatkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis terbukti menurunkan
insidensi perburukan infeksi dan angka kematian.
Pada pasien dengan perdarahan GIT dan penyakit liver yang berat ceftriaxone
merupakan pilihan antibiotik profilaksis. Namun, apabila pasien dengan penyakit
liver yang tidak terlalu berat dapat diberikan norfloxacin per oral maupun
kuinolon untuk mencegah perburukan dari SBP.
(2)pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah dan tidak
memiliki riwayat SBP sebelumnya. Pada pasien dengan penyakit liver sedang
dengan konsentrasi protein dalam cairan ascites kurang dari 15 g/liter dan tanpa
riwayat SBP sebelumnya, efektivitas kuinolon dalam mencegah SBP atau
membuktikan angka keberhasilan profilaksis tidak terlalu terbukti.
(3)pasien dengan riwayat SBP sebelumnya. Pasien yang dalam masa pemulihan
dari SBP memiliki resiko tinggi terjadinya SBP berulang. Pemberian antibiotik
profilaksis mengurangi resiko terjadinya SBP berulang. Norfloxacin (400 mg/hari,
per oral) merupakan pilihan terapi. Pilihan lainnya termasuk Ciprofoxacine (750
mg sekali seminggu, per oral) atau Co-trimoxazole (800 mg Sulfamethoxazole
dan 160 mg Trimethroprim per hari, per oral) tetapi efek yang didapatkan tidak
sebaik Norfloxacin.
4.Hiponatremia
Hiponatremia pada pasien cirrhosis didefinisikan ketika konsentrasi natrium
serum dibawah 130 mmol/L, tetapi reduksi di bawah 135 mmol/L perlu disadari
sebagai hiponatremia pada populasi pasien secara umum.
a.Penatalaksanaan
Terapi untuk hiponatremi hipovolemik adalah dengan pemberian natrium
bersamaan dengan identifikasifaktor penyebabnya (biasanya disebabkan karena

59

pemberian diuretik berlebih). Kunci dari terapinya adalah membuat balance air
negatif dengan meningkatkan total cairan tubuh, dimana hasil yang diharapkan
untuk mengembalikan keadaan natrium.
Pemberian natrium klorida yang hipertonis sering digunakan untuk keadaan
hiponatremia hipervolemik yang berat. Efektivitasnya partial, seringkali bertahan
sementara, dan meningkatkan jumlah ascites dan oedem. Pemberian albumin
nampaknya lebih terbukti memperbaiki konsentrasi natrium serum, tetapi masih
dibutuhkan lebih banyak bukti penunjang. Pengunaan obat-obatan secara dini
seperti demeclocycline atau -opioid antagonist kurang berhasil dikarenakan efek
samping yang ditimbulkannya. Beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan
penelitian mengenenai vaptans, obat yang diberikan secara aktif per oral dan
menyebabkan blok selektif terhadap reseptor-V2 dari AVP pada sel prinsipal dari
ductus coligens. Obat ini terbukti efektif dalam memperbaiki konsentrasi natrium
serum pada kondisi dengan level vasopresin yang tinggi, seperti syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH), gagal jantung, atau
cirrhosis. Hasil penelitian dengan pemberian vaptan untuk periode singkat (1
minggu sampai 1 bulan) menunjukkan peningkatan volume urine dan ekskresi
cairan bebas, serta memperbaiki level natrium serum yang rendah pada 45-82%
pasien. Vaptan tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan kesadaran
(seperti ensefalopati) yang tidak dapat meminum cukup cairan karena beresiko
terjadinya dehidrasi dan hipernatremia. Vaptan dimetabolisme oleh nzim CYP3A
di liver, tetapi pemberian obat-obatan kuat CYP3A-inhibitor seperti ketoconazole,
jus anggur, dan clarithromycin yang diberikan secara bersamaan dapat
meningkatkan efek dari vaptan dalam meningkatkan konsentrasi natrium serum
dalam jumlah yang besar. Namun, obat-obatan seperti rifampin, barbiturat, dan
phenytoin dapat mengurangi efektivitas dari vaptan.
Di Amerika pemberian tolvaptan telah diakui sebagai terapi untuk hiponatremi
hipervolemik berat (<125 mmol/L) yan terkait dengan cirrhosis, ascites, gagal
jantung, dan SIADH. Conivaptan juga diterima di Amerika untuk terapi singkat (5

60

hari) dengan pemberian secara IV. Pemberian tolvaptan dimulai dengan dosis 15
mg/hari dan di titrasi sampai 30 dan 60 mg/hari. Pada penelitian berbeda
dilaporkan meningkatkan kejadian perdarahan GIT dengan pemberian tolvaptan.
5.Sindroma hepatorenal (HRS)
HRS didefinisikan sebagai kejadian gagal ginjal pada pasien dengan penyakit
liver dimana penyebab gagal ginjalnya tidak diketahui.
a.Penatalaksanaan
Terapi suportif termasuk pengawasan ketat terhadap tanda-tanda vital, fungsi liver
dan ginjal, dan evaluasi tanda klinis dari komplikasi cirrhosis. Pemberian cairan
berlebihan harus dihindari untuk mencegah overload cairan dan progresivitas dari
hiponatremia.
Diuretik rendah kalium tidak boleh diberikan karena beresiko terjadinya
hiperkalemia berat.
Terapi spesifik dapat diberikan obat-obatan dengan efek vasokonstriktor.
Penggunaan vasokonstriktor secara luas diberikan obat dengan sifat vasopresin
analog seperti terlipressin. Terapi ini cukup efektif 40-50% pasien. Umumnya,
terlipressin dimulai dengan dosis 1 mg/4-6 jam dan dinaikkan sampai dosis
maksimum 2 mg/4-6jam jika tidak didapatkan penurunan kadar kreatinin serum
setidaknya sebanyak 25% terhadap nilai awal pada hari ketiga terapi. Terapi
dipertahankan sampai kreatinin serum turun di bawah 1,5 mg/dL (133 mol/L),
biasanya sekitar 1-1,2 mg/dL (88-106 mol/L).
TIPS. TIPS juga memperlihatkan memperbaiki fungsi ginjal dan mengontrol
ascites pada pasien HRS.
Terapi transplantasi ginjal. Terapi sebaiknya segera dilakukan pada keadaan
hiperkalemia berat, asidosis metabolik, dan overload cairan pada pasien HRS
stadium dini.

61

Transplantasi liver. Merupakan terapi pilihan yang dapat meningkatkan angka


keberhasilan sampai 65% pada pasien HRS
b.Pencegahan
Pasien dengan SBP perlu diterapi dengan albumin IV menunjukkan penurunan
insidensi HRS dan terbukti meningkatkan angka keberhasilan.
Pada kasus: USG Abdomen didapatkan :

Proses ginjal bilateral tahap lanjut yang di tandai ginjal yang mengecil,
echogenital

parenkim

meningkat

echocompleks

kabur.

Sistem

pelviocalises dan ureter paroksismal tidak melebar


Bladder oliguri
Vessika urinaria: sedikit oliguria, bentuk, posisi, dinding, tidak tampak

adanya batu/ massa.


Efusi pleura bilateral.
Ascites masif

2.8

Hipertensi

2.9

Vertigo

62

Vertigo berasal dari bahasa latin vertere= memutar. Vertigo ialah


adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar)
tanpa sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa
berputar (vertigo objektif) atau badan yang berputar (vertigo subjektif).
Vertigo termasuk kedalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan
sebagai pusing, pening, sempoyangan, rasa seperti melayang atau dunia
seperti berjungkir balik.
Anatomi labirin
Vestibulum yang terdapat di dalam labirin, telinga bagian dalam,
mempunyai andil 55% dalam patofisiologi alat keseimbangan tubuh
(AKT). Ada dua jenis organ (reseptor) sensoris di dalam labirin, yaitu
pendengaran dan keseimbangan yang merupakan sel berambut (hair cells).
Kedua jenis sel ini terbenam di dalam cairan endolimf, sehingga bila ada
aliran / gelombang endolimf akibat rangsangan bunyi (pendengaran) atau
gerakan (keseimbangan), rambut sel menekuk kearah tertentu dan
mengubah transmisi impuls sensoris.
Organ untuk pendengaran ini disebut organ corti, sedangkan untuk
keseimbangan disebut organ vestibulum. Vestibulum dibedakan atas crista
dan macula yang masing-masing sensitive terhadap rangsangan gerakan
sirkuler dan linier.
Neurofisiologi Alat Keseimbangan Tubuh
Alur perjalanan informasi berkaitan dengan fungsi AKT melewati tahapan
sebagai berikut :
Tahap Transduksi.
Rangsangan gerakan diubah reseptor (R) vestibuler (hair ceel), R. visus
(rod dan cone cells) dan R proprioseptik, menjadi impuls saraf. Dari ketiga
R tersebut, R vestibuler menyumbang informasi terbesar disbanding dua R
lainnya, yaitu lebih dari 55%. Mekanisme transduksi hari cells vestibulum
berlangsung ketika rangsangan gerakan membangkitkan gelombang pada

63

endolyimf yang mengandung ion K (kalium). Gelombang endolimf akan


menekuk rambut sel (stereocilia) yang kemudian membuka/menutup kanal
ion K bila tekukan stereocilia mengarah ke kinocilia (rambut sel terbesar)
maka timbul influks ion K dari endolymf ke dalam hari cells yang
selanjutnya akan mengembangkan potensial aksi. Akibatnya kanal ion Ca
(kalsium) akan terbuka dan timbul ion masuk ke dalam hair cells. Influks
ion Ca bersama potensial aksi merangsangn pelepasan neurotransmitter
(NT) ke celah sinaps untuk menghantarkan (transmisi) impuls ke neuron
berikutnya, yaitu saraf aferen vestibularis dan selanjutnya menuju ke pusat
AKT.
Tahap Transmisi
Impuls yang dikirim dari haircells dihantarkan oleh saraf aferen
vestibularis menuju ke otak dengan NT-nya glutamate
A. Normal synoptic transmition
B. Iduktion of longtem potentiation
Tahap Modulasi
Modulasi dilakukan oleh beberapa struktur di otak yang diduga pusat
AKT, antara lain

Inti vestibularis
Vestibulo-serebelum
Inti okulo motorius
Hiptotalamus
Formasio retikularis
Korteks prefrontal dan imbik
Struktur tersebut mengolah informasi yang masuk dan memberi respons
yang sesuai. Manakala rangsangan yang masuk sifatnya berbahaya maka
akan disensitisasi. Sebaliknya, bila bersifat biasa saja maka responsnya
adalah habituasi.
Tahap Persepsi
Tahap ini belum diketahui lokasinya

64

FISIOLOGI
Informasi yang berguna untuk alat keseimbangan tubuh akan
ditangkap oleh respetor vestibuler visual dan propioseptik. Dan ketiga
jenis reseptor tersebut, reseptor vestibuler yang punya kontribusi paling
besar, yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang
paling kecil konstibusinya adalah propioseptik.
Arus informasi berlangusng intensif bila ada gerakan atau
perubahan gerakan dari kepala atau tubuh, akibat gerakan ini
menimbulkan perpindahan cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya
bulu (cilia) dari sel rambut ( hair cells) akan menekuk. Tekukan bulu
menyebabkan permeabilitas membran sel berubah sehingga ion Kalsium
menerobos masuk kedalam sel (influx). Influx Ca akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi dan juga merangsang pelepasan NT eksitator
(dalam hal ini glutamat) yang selanjutnya akan meneruskan impul sensoris
ini lewat saraf aferen (vestibularis) ke pusat-pusat alat keseimbangan
tubuh di otak.
Pusat Integrasi alat keseimbangan tubuh pertama diduga di inti
vertibularis menerima impuls aferen dari propioseptik, visual dan
vestibuler. Serebellum selain merupakan pusat integrasi kedua juga diduga
merupakan pusat komparasi informasi yang sedang berlangsung dengan
informasi gerakan yang sudah lewat, oleh karena memori gerakan yang
pernah dialami masa lalu diduga tersimpan di vestibuloserebeli. Selai
serebellum, informasi tentang gerakan juga tersimpan di pusat memori
prefrontal korteks serebri.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi vertigo (BPPV) di amerika adalah 64 orang tiap
100.000, dengan wanita lebih banyak daripada pria. BPPV sering terdapat
pada usia yanglebih tua yaitu di atass 50 tahun.
PEMBAGIAN

65

Asal terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem


keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik,
toksik, vaskular, atau autoimun. Sistem keseimbangan tubuh kita dibagi
menjadi 2 yaitu sistem vestibular (pusat dan perifer) serta non vestibular
(visual [retina, otot bola mata], dan somatokinetik [kulit, sendi, otot]).
Sistem vestibular sentral terletak pada batang otak, serebelum dan
serebrum. Sebaliknya, sistem vestibular perifer meliputi labirin dan saraf
vestibular. Labirin tersusun dari 3 kanalis semisirkularis dan otolit (sakulus
dan utrikulus) yang berperan sebagai reseptor sensori keseimbangan, serta
koklea sebagai reseptor sensori pendengaran. Sementara itu, krista pada
kanalis semisirkularis mengatur akselerasi angular, seperti gerakan
berputar, sedangkan makula pada otolit mengatur akselerasi linear.
Segala input yang diterima oleh sistem vestibular akan diolah.
Kemudian, diteruskan ke sistem visual dan somatokinetik untuk merespon
informasi tersebut. Gejala yang timbul akibat gangguan pada komponen
sistem keseimbangan tubuh itu berbeda-beda. [Tabel 1 dan 2]
Tabel 1. Perbedaan Vertigo Vestibular dan Non Vestibular
Gejala
Vertigo Vestibular
Sifat vertigo
rasa berputar

Vertigo Non Vestibular


melayang,
hilang

Serangan

episodik

keseimbangan

Mual/muntah

kontinu

Gangguan pendengaran

+/-

Gerakan pencetus

gerakan kepala

Situasi pencetus

gerakan obyek visual


keramaian, lalu lintas

Tabel 2. Perbedaan Vertigo Vestibular Perifer dan Sentral


Gejala
Vertigo Vestibular Perifer
Bangkitan vertigo
lebih mendadak

Vertigo Vestibular Sentral


lebih lambat

Derajat vertigo

berat

ringan

Pengaruh gerakan kepala

++

+/-

66

Gejala

otonom

(mual, ++

muntah, keringat)
Gangguan

pendengaran +

(tinitus, tuli)
Tanda fokal otak

Berdasarkan awitan serangan, vertigo dibedakan menjadi 3


kelompok yaitu paroksismal, kronik, dan akut. Serangan pada vertigo
paroksismal terjadi mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, lalu
menghilang sempurna. Suatu saat serangan itu dapat muncul lagi. Namun
diantara serangan, pasien sama sekali tidak merasakan gejala. Lain halnya
dengan vertigo kronis. Dikatakan kronis karena serangannya menetap lama
dan intensitasnya konstan. Pada vertigo akut, serangannya mendadak,
intensitasnya perlahan berkurang namun pasien tidak pernah mengalami
periode bebas sempurna dari keluhan. Demikian papar Abdulbar. [Tabel 3]
Jenis

Vertigo Disertai

Keluhan Tidak

Berdasarkan Awitan Telinga


Serangan
Vertigo paroksismal

Penyakit

Keluhan Telinga

Karena

Perubahan Posisi

Meniere, TIA arteri vertebro- Benign paroxysmal

tumor fossa cranii basilaris,


posterior,

Disertai Timbul

epilepsi, positional

vertigo

transient vertigo akibat lesi (BPPV)

ischemic

attack lambung

(TIA)

arteri

vertebralis
Vertigo kronis

Otitis media kronis, Kontusio


meningitis
tuberkulosa,

sindroma
tumor komosio,

serebelo-pontine,

paska vertigo servikalis


multiple

sklerosis,

lesi labirin akibat intoksikasi


zat ototoksik

serebri, Hipotensi ortostatik,

obat-

obatan

67

Vertigo akut

Trauma

labirin, Neuronitis

herpes zoster otikus, vestibularis,


labirinitis

akuta, ensefalitis

perdarahan labirin

vestibularis,
multipel sklerosis

Vertigo dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebabnya, yaitu :


1. Vertigo laryngea, yaitu pusing karena serangan batuk.
2. Vertigo nocturna, yaitu rasa seolah-olah akan terjatuh pada permulaan
tidur.
3. Vertigo ocularis, yaitu pusing karena penyakit mata, khususnya karena
kelumpuhan atau ketidakseimbangan kegiatan otot-otot bola mata.
4. Vertigo rotatoria, yaitu pusing seolah-olah semua di sekitar badan
berputar-putar.

FAKTOR RESIKO
Vertigo terjadi bukan karena faktor keturunan, namun ada beberapa
faktor yang menyebabkan vertigo seperti karena serangan migren, radang pada
leher, mabuk kendaraan, infeksi bakteri pada telinga dan kekurangan asupan
oksigen ke otak.
Penyebab yang lain lebih dijelaskan pada penyebab vertigo.
PENYEBAB
Vertigo berbeda dengan dizziness, suatu pengalaman yang mungkin
pernah kita rasakan, yaitu kepala terasa ringan saat akan berdiri. Sedangkan
vertigo bisa lebih berat dari itu, misalnya dapat membuat kita sulit untuk

68

melangkah karena rasa berputar yang mempengaruhi keseimbangan tubuh.


Adanya penyakit vertigo menandakan adanya gangguan system deteksi
seseorang. (Anonim. 2006. Diagnosis dan Tatalaksana Kedaruratan Vertigo)
Asal terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem
keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik,
toksik, vaskular, atau autoimun. Sistem keseimbangan tubuh kita dibagi
menjadi 2 yaitu sistem vestibular (pusat dan perifer) serta non vestibular
(visual [retina, otot bola mata], dan somatokinetik [kulit, sendi, otot).
Kemungkinan penyebab vertigo yaitu:

Infeksi virus seperti common cold atau influenza yang menyerang area
labirin

Infeksi bakteri yang mengenai telinga bagian tengah

Radang sendi di daerah leher

Serangan migren

Sirkulasi darah yang berkurang dapat menyebabkan aliran darah ke pusat


keseimbangan otak menurun

Mabuk kendaran

Alkohol dan obat-obatan tertentu .


VERTIGO

69

Vertigo paling berat jika disebabkan adanya tumor pada otak kecil
atau dekat organ telinga. Vertigo yang dirasakan sesuai dengan
pertumbuhan tumor. Semakin besar tumor semakin berat rasa sakitnya.
Adakalanya diikuti dengan gejala telinga mendengung. Sebagai upaya
penanggulangan satu-satunya cara operasi dan penyinaran untuk
menyingkirkan tumor.
Namun, adakalanya vertigo hanya disebabkan oleh stres. Meski
penderita mengalami gejala kepala berputar tujuh keliling dan bahkan
sampai muntah-muntah, namun begitu stres dapat ditanggulangi vertigo
pun menghilang. Vertigo pada umumnya bukan gangguan kesehatan
serius. Akan tetapi semakin dini penanganannya vertigo akan semakin
cepat dapat diatasi.
Beberapa kelainan metabolik dapat menyebabkan vertigo, seperti
tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, diabetes, penyakit tiroid, anemia,
dan gangguan kalsium. Penyebab autoimun juga dapat menyebabkan
timbulnya keluhan ini, antara lain arthritis rheumatoid (rematik), lupus,
sarcoid, dan berbagai penyakit lain yang jarang. Penyakit infeksi seperti

70

sifilis juga dapat menyebabkan vertigo. Penyebab-penyebab di atas dapat


diketahui dengan pemeriksaan laboratorium.
Sementara itu, viral labyrinthitis (organ di telinga dalam)
merupakan reaksi peradangan yang dapat terjadi setelah influenza. Vertigo
yang timbul dapat hilang secara spontan, namun dapat juga baru hilang
beberapa bulan kemudian. Infeksi bakteri pada labyrinthitis merupakan
infeksi yang mengancam jiwa, yang biasanya diikuti dengan vertigo yang
hebat, muntah, dan suhu badan yang tinggi. Kondisi ini memerlukan
perawatan di rumah sakit.
Neuroma akustik merupakan tumor jinak pada saraf pendengaran
atau saraf keseimbangan yang terletak di antara telinga dan otak. Ini
biasanya dapat disembuhkan dengan operasi dan dapat membahayakan
jiwa jika tidak diobati. Tes pendengaran dan keseimbangan dapat
mengidentifikasi

tumor

ini,

sementara

MRI

diperlukan

untuk

mengkonfirmasi letak tumor.


Vertigo ringan akibat perubahan posisi merupakan penyebab
tersering vertigo. Hal ini disebabkan karena pergerakan kepala yang
mendadak, seperti bangun tidur dan hanya timbul beberapa detik.
Sindrom Meniere merupakan kondisi dimana terdapatnya cairan di
telinga bagian dalam yang menyebabkan vertigo yang hilang timbul, rasa
penuh di telinga, dan berkurangnya pendengaran yang juga berfluktuasi
serta telinga berdengung. Vertigo biasanya hilang dalam beberapa jam.
Pada sebagian kasus hilangnya pendengaran dapat makin parah.
Alergi, khususnya terhadap makanan dapat menyebabkan terkumpulnya
cairan dalam telinga dalam dan gejalanya mirip dengan Sindrom Meniere.
Identifikasi dan pengobatan alergi biasanya mengurangi gejala.
Berbagai masalah neurologi, seperti multiple sklerosis, infeksi otak
dan tumor otak dapat menyebabkan vertigo. Tes keseimbangan akan
membedakan apakah penyebab berasal dari telinga dalam atau dari
susunan saraf pusat.

71

PATOGENESIS
BPPV terjadi akibat dari perubahan posisi kepala yang cepat dan
tibat-tiba, biasanya akan dirasakan pusing yang sangat berat, yang
berlangsung bervariasi di semua orang, bisa lama atau hanya beberapa
menit sasja. Penderita kadang merasakan lebih baik jika berbaring diam
saja. Vertigo dapat berlangsung selama berhari-hari dan disertai dengan
mual muntah. Hasilnya pendertia akan merasa amat sangat panic dan
segera melarikan diri untuk berobat, tak jarang pasien seperti ini
ditemukan di unit gawat darurat. BPPV disebabkan oleh pengendapan
kalsium di dalam salah satu alat penyeimbangan di dalam telinga, tetapi
sebagian besar penyebabnya belum dikethui hingga sekarang. Beberapa
dugaan yang dikemukakan oleh para ahli adalah, trauma pada alat
keseimbangan, infeksi, sisa pembedangan telinga, degenerative karena
usai dan kelainan pembuluh darah. Vertigo berbeda dengan dizziness, suatu
pengalaman yang mungkin pernah kita rasakan, yaitu kepala terasa ringan
saat akan berdiri. Sedangkan vertigo bisa lebih berat dari itu, misalnya
dapat membuat kita sulit untuk melangkah karena rasa berputar yang
mempengaruhi

keseimbangan

tubuh.

Adanya

penyakit

vertigo

menandakan adanya gangguan system deteksi seseorang

MANIFESTASI KLINIS

72

Gejala vertigo dapat bervariasi tergantung berat ringannya. Gejala


yang dapat dirasakan antara lain:

Tempat anda berpijak terasa berputar atau bergerak-gerak

Mual

Muntah

Sulit berdiri atau berjalan

Sensasi kepala terasa ringan

Tak dapat memfokuskan pandangan


Fungsi keseimbangan tubuh terdiri dari tiga sistem, yaitu sistem

vestibular, sistem visual, dan sistem somatosensorik atau proprioseptik.


Vertigo muncul jika ada gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga
sistem keseimbangan itu. Sistem vestibular bertanggung jawab untuk
mengintegrasikan rangsangan terhadap indera dengan pergerakan tubuh
serta menjaga agar suatu obyek berada dalam fokus penglihatan saat tubuh
bergerak.
Saat kepala bergerak, informasi disampaikan ke labirin, suatu
organ di telinga bagian dalam berupa tiga saluran berbentuk setengah
lingkaran yang dikelilingi cairan. Labirin lantas menyalurkan informasi
gerakan ke saraf vestibular atau nervus VIII yang kemudian membawa
informasi ke batang otak, dilanjutkan sampai ke serebelum (bagian otak
yang mengontrol koordinasi, keseimbangan, pergerakan, tekanan darah,
dan kesadaran).
Jika ada gangguan pada sistem ini, yang lazim disebut vertigo
vestibular, dunia akan terasa seperti berputar. Serangan vertigo jenis ini
umumnya terjadi secara mendadak, bersifat datang-pergi (episodik),
disertai rasa mual/muntah, kadang-kadang ada denging di telinga.
Pencetus serangan ini adalah gerakan kepala.
Vertigo vestibular dibedakan menjadi tipe sentral, gangguan terjadi
pada batang otak sampai otak besar.

73

Yang kedua adalah tipe perifer, gangguan terletak pada batang otak
sampai labirin di telinga bagian dalam. Penyebab vertigo vestibular antara
lain trauma kepala, infeksi otak, tumor, infeksi sekitar sinus atau lainnya
(flu, pilek, diare), remote efek (reaksi terhadap infeksi yang menyebabkan
vertigo). Gejala vertigo vestibular perifer adalah pandangan kabur, letih,
lesu, sakit kepala, detak jantung cepat, kehilangan keseimbangan,
kehilangan konsentrasi, nyeri otot terutama di leher dan punggung, mual,
muntah, kemampuan kognitif menurun, serta sensitif terhadap cahaya dan
bunyi. Adapun gejala vertigo vestibular sentral antara lain diplopia
(pandangan ganda), sakit kepala hebat, gangguan kesadaran, koordinasi
tubuh menurun, mual dan muntah, serta lemas.
Pada vertigo nonvestibular, sensasi yang dirasakan penderita
adalah melayang, bergoyang, atau sempoyongan. Serangan biasanya
terjadi terus-menerus, tetapi tidak ada mual maupun muntah. Vertigo
akibat gangguan sistem visual biasanya dicetuskan oleh situasi yang ramai,
banyak

orang

atau

benda

lalu

lalang.

Pada

gangguan

sistem

somatosensorik/proprioseptik atau gangguan pada saraf sumsum tulang


belakang, misalnya gangguan pada saraf tepi berupa kaki baal atau pundak
kaku, impuls gerakan terlambat diterima otak besar. Akibatnya,
keseimbangan penderita terganggu dan termanifestasi sebagai vertigo.
Gangguan baal biasanya dialami penderita diabetes. Adapun leher kaku
(cervical tension) umumnya dialami mereka yang bekerja di belakang
meja.
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis BPPV ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan THT, uji posisi dan uji kalori. Pada anamnesis, pasien
mengeluhkan kepala terasa pusing berputar pada perubahan posisi kepala
dengan posisi tertentu. Secara klinis vertigo terjadi pada perubahan posisi
kepala dan akan berkurang serta akhirnya berhenti secara spontan setelah

74

beberapa waktu. Pada pemeriksaan THT secara umum tidak didapatkan


kelainan berarti, dan pada uji kalori tidak ada paresis kanal.
Uji posisi dapat membantu mendiagnosa BPPV, yang paling baik
adalah dengan melakukan manuver Hallpike : penderita duduk tegak,
kepalanya dipegang pada kedua sisi oleh pemeriksa, lalu kepala dijatuhkan
mendadak sambil menengok ke satu sisi. Pada tes ini akan didapatkan
nistagmus posisi dengan gejala :
1. Mata berputar dan bergerak ke arah telinga yang terganggu dan mereda
setelah 5-20 detik.
2. Disertai vertigo berat.
3. Mula gejala didahului periode laten selama beberapa detik (3-10
detik).
4. Pada uji ulangan akan berkurang, terapi juga berguna sebagai cara
diagnosis yang tepat.
Pemeriksaan fisis dasar dan neurologis sangat penting untuk
membantu menegakkan diagnosis vertigo. Pemeriksaan fisis dasar yang
terutama adalah menilai perbedaan besar tekanan darah pada perubahan
posisi. Secara garis besar, pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai
fungsi vestibular, saraf kranial, dan motorik-sensorik.
Sistem vestibular dapat dinilai dengan tes Romberg, tandem gait
test, uji jalan di tempat (fukuda test) atau berdiri dengan satu atau dua
kaki. Uji-uji ini biasanya berguna untuk menilai stabilitas postural jika
mata ditutup atau dibuka. Sensitivitas uji-uji ini dapat ditingkatkan dengan
teknik-teknik tertentu seperti melakukan tes Romberg dengan berdiri di
alas foam yang liat.
Pemeriksaan saraf kranial I dapat dibantu dengan funduskopi untuk
melihat ada tidaknya papiledema atau atrofi optik. Saraf kranial III, IV dan
VI ditujukan untuk menilai pergerakan bola mata. Saraf kranial V untuk
refleks kornea dan VII untuk pergerakan wajah. Fungsi serebelum tidak
boleh luput dari pemeriksaan. Untuk menguji fungsi serebelum dapat
dilakukan past pointing dan diadokokinesia.

75

Pergerakan (range of motion) leher perlu diperhatikan untuk


menilai rigiditas atau spasme dari otot leher. Pemeriksaan telinga
ditekankan pada pencarian adanya proses infeksi atau inflamasi pada
telinga luar atau tengah. Sementara itu, uji pendengaran diperiksa dengan
garputala dan tes berbisik.
Pemeriksaan selanjutnya adalah menilai pergerakan mata seperti
adakah nistagmus spontan atau gaze-evoked nystagmus dan atau
pergerakan abnormal bola mata. Penting untuk membedakan apakah
nistagmus yang terjadi perifer atau sentral. Nistagmus sentral biasanya
hanya vertikal atau horizontal saja dan dapat terlihat dengan fiksasi visual.
Nistagmus perifer dapat berputar atau rotasional dan dapat terlihat dengan
memindahkan fiksasi visual. Timbulnya nistagmus dan gejala lain setelah
pergerakan kepala yang cepat, menandakan adanya input vestibular yang
asimetris, biasanya sekunder akibat neuronitis vestibular yang tidak
terkompensasi atau penyakit Meniere.
Uji fungsi motorik juga harus dilakukan antara lalin dengan cara
pasien menekuk lengannya di depan dada lalu pemeriksa menariknya dan
tahan hingga hitungan ke sepuluh lalu pemeriksa melepasnya dengan tibatiba dan lihat apakah pasien dapat menahan lengannya atau tidak. Pasien
dengan gangguan perifer dan sentral tidak dapat menghentikan lengannya
dengan cepat. Tetapi uji ini kualitatif dan tergantung pada subjektifitas
pemeriksa, kondisi muskuloskeletal pasien dan kerjasama pasien itu
sendiri.
Pemeriksaan khusus neuro-otologi yang umum dilakukan adalah
uji Dix-Hallpike dan electronystagmography (ENG). Uji ENG terdiri dari
gerak sakadik, nistagmus posisional, nistagmus akibat gerakan kepala,
positioning nystagmus, dan uji kalori.
Pada dasarnya pemeriksaan penunjang tidak menjadi hal mutlak
pada vertigo. Namun pada beberapa kasus memang diperlukan.
Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap dapat memberitahu ada
tidaknya proses infeksi. Profil lipid dan hemostasis dapat membantu kita

76

untuk menduga iskemia. Foto rontgen, CT-scan, atau MRI dapat


digunakan untuk mendeteksi kehadiran neoplasma/tumor. Arteriografi
untuk menilai sirkulasi vertebrobasilar.
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada:
1. Fungsi vestibuler/serebeler
a. Uji Romberg
penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata
terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik.
Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya
dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya
pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah
kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak.
Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada
mata terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Tandem Gait: penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan
pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti.Pada kelainan vestibuler
perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebeler penderita akan
cenderung jatuh.
c. Uji Unterberger.
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan
mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler
posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti
orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan
bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik.
Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi

77

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan fisik :

Pemeriksaan mata

Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh

Pemeriksaan neurologik

78

Pemeriksaan otologik

Pemeriksaan fisik umum.

2) Pemeriksaan khusus :

ENG

Audiometri dan BAEP

Psikiatrik

3) Pemeriksaan tambahan:

Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan


pemeriksaan lain sesuai indikasi.

Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).

Neurofisiologi:Elektroensefalografi(EEG),Elektromiografi (EMG),
Brainstem Auditory Evoked Pontential (BAEP)

Pencitraan: CT Scan, Arteriografi, Magnetic Resonance Imaging


(MRI).

B. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi 3 bagian utama yaitu kausal,
simtomatik dan rehabilitatif. Sebagian besar kasus vertigo tidak diketahui
kausanya sehingga terapi lebih banyak bersifat simtomatik dan rehabilitatif. Terapi
simtomatik bertujuan meminimalkan 2 gejala utama yaitu rasa berputar dan gejala
otonom. Untuk mencapai tujuan itu digunakanlah vestibular suppresant dan
antiemetik. Beberapa obat yang tergolong vestibular suppresant adalah
antikolinergik, antihistamin, benzodiazepin, calcium channel blocker, fenotiazin,
dan histaminik.
Antikolinergik bekerja dengan cara mempengaruhi reseptor muskarinik.
Antikolinergik yang dipilih harus mampu menembus sawar darah otak (sentral).
Idealnya, antikolinergik harus bersifat spesifik terhadap reseptor vestibular agar
efek sampingnya tidak terlalu berat. Sayangnya, belum ada.

79

Benzodiazepin termasuk modulator GABA yang bekerja secara sentral untuk


mensupresi repson dari vestibular. Pada dosis kecil, obat ini bermanfaat dalam
pengobatan vertigo. Efek samping yang dapat segera timbul adalah terganggunya
memori, mengurangi keseimbangan, dan merusak keseimbangan dari kerja
vestibular.
Antiemetik digunakan untuk mengontrol rasa mual. Bentuk yang dipilih
tergantung keadaan pasien. Oral untuk rasa mual ringan, supositoria untuk muntah
hebat atau atoni lambung, dan suntikan intravena pada kasus gawat darurat.
Contoh antiemetik adalah metoklorpramid 10 mg oral atau IM dan ondansetron 48 mg oral.
Terapi rehabilitasi bertujuan untuk membangkitkan dan meningkatkan
kompensasi sentral dan habituasi pada pasien dengan gangguan vestibular.
Mekanisme kerja terapi ini adalah substitusi sentral oleh sistem visual dan
somatosensorik untuk fungsi vestibular yang terganggu, mengaktifkan kendali
tonus inti vestibular oleh serebelum, sistem visual dan somatosensorik, serta
menimbulkan habituasi, yaitu berkurangnya respon terhadap stimulasi sensorik
yang diberikan berulang-ulang.
Tabel 4. Terapi Obat Antivertigo
Golongan
Dosis oral Antiemetik

Sedasi

Mukosa

Ekstrapiramidal

Flunarisin

1x5-10

Kering
-

Sinarizin

mg

Prometasin

3x25 mg

++

++

Difenhidrinat

3x25-50

Skopolamin

mg

+++

Atropin

3x50 mg

+++

Amfetamin

3x0,6 mg

Efedrin

3x0,4 mg

Proklorperasin

3x5-10

+++

++

Klorpromasin

mg

++

+++

+++

80

Diazepam

3x25 mg

+++

Haloperidol

3x3 mg

++

+++

++

Betahistin

3x25 mg

Carvedilol

3x2-5 mg

Karbamazepin

3x0,5-2

Dilantin

mg

3x8 mg
Sedang
diteliti
3x200 mg
3x100 mg
Beberapa terapi yang dapat diberikan adalah terapi dengan obat-obatan, terapi
fisik / latihan dan olah raga. Dan jika keduat terapi di atas tidak dapat mengatasi
kelainan yang diderita dianjurkan untuk terapi bedah.
Obat-obatan yang biasanya digunakan adalah
1. Antikolinergik / parasimpatolik
2. Antihistamin
3. Penenang minor dan Mayor
4. Simpatomimetik
5.

Kombinasi tersebut di atas.


Berdasarkan hipotesis Kanalolithiasis, Dapat digunakan teknik pley yaitu

posisi kepala 45 derajat menoleh ke arah telinga yang sakit, kemudian pasien
digerakkan dari posisi duduk ke posisi Hallpike dengan telinga sakit di bawah.
Pasien dapat dipertahankan dengan posisi ini selama 3 menit dan kemudian kepala
dengan lambat dirotasikan ke arah berlawanan dan dipertahankan 4 menit lalu
pasien didudukkan.
C. PROGNOSIS

81

Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik,


dapat terjadi remisi sempurna. Sebaliknya pada tipe sentral, prognosis tergantung
dari penyakit yang mendasarinya. Infark arteri basilar atau vertebral, misalnya,
menandakan prognosis yang buruk. Semoga dengan kemajuan ilmu bedah saraf di
masa yang akan datang, vertigo tak lagi menjadi momok.
D. PENCEGAHAN
Langkah-langkah berikut ini dapat meringankan atau mencegah gejala vertigo:

Tidurlah dengan posisi kepala yang agak tinggi

Bangunlah secara perlahan dan duduk terlebih dahulu sebelum kita berdiri
dari tempat tidur

Hindari posisi membungkuk bila mengangkat barang

Hindari posisi mendongakkan kepala, misalnya untuk mengambil suatu


benda dari ketinggian

Gerakkan kepala secara hati-hati jika kepala kita dalam posisi datar
(horisontal) atau bila leher dalam posisi mendongak.

Benign positional vertigo adalah bentuk vertigo yang menyerang dalam jangka
waktu pendek namun berulang-ulang. Gejalanya hanya dalam hitungan detik
tetapi bisa cukup berat, seringkali muncul setelah kita terserang infeksi virus atau
adanya peradangan dan kerusakan di daerah telinga tengah. Gejalanya bisa
muncul jika kita menggerakkan kepala tiba-tiba, misalnya saat menoleh dengan
gerakan yang cepat.
2.10

Plebitis
Definisi
Thrombophlebitis septic adalah suatu kondisi yang ditandai dengan

thrombosis pembuluh darah vena, inflamasi, dan bakteriemi.

82

Gejala klinis thrombophlebitis septic bervariasi dari ringan, di mana hanya


pembuluh darah vena terlokalisasi yang terkena dan mereda spontan hanya
dengan intervensi minimal, hingga berat, di mana terjadi syok berat yang refrakter
terhadap manajemen baik operatif maupun perawatan intensif.
Trombosis dan infeksi dapat terjadi pada pembuluh darah vena di seluruh
tubuh, baik superficial maupun profunda, seperti pada pembuluh darah vena
perifer, pelvis, vena porta (pylephlebitis), vena cava superior, vena cava inferior,
vena jugularis interna (Lemierre Syndrome), sinus dural.
Terapi pada thrombophlebitis septic tergantung pada struktur yang terkena,
etiologi yang mendasari, organism penyebab, dan keadaan fisiologik pasien.

Etiologi
Etiologi dari phlebitis perifer, vena cava superior, dan vena cava inferior
meliputi :

Venipuncture

Kateterisasi vena sentral dan

Penggunaan obat-obatan intravena

Abrasi dan laserasi

Infeksi jaringan lunak

Hiperkoagulasi darah

Luka bakar

Pemasangan kateter intravascular adalah faktor penyebab utama pada


perkembangan phlebitis dan thrombophlebitis septic. Infeksi dapat berawal saat
pemasangan kateter atau bakteri dapat berkolonisasi dahulu pada pangkal kateter

83

kemudian berlanjut ke lumen kateter sebelum memasuki ruang intravaskuler.


Setelah bakteri mamsuki sistem pembuluh darah vena, bakteri dapat berproliferasi
menyebabkan kerusakan endotel, inflamasi local, serta thrombosis.
Organisme penyebab bervariasi, termasuk pathogen pada kulit dan
jaringan subkutan, bakteri enteric, serta floraa penyebab infeksi pada traktus
genitourinarius. Organisme tersering adalah Staphylococcus aureus, namun juga
bisa disebabkan oleh staphylococcus koagulase negatif, basilus enteric gram
negatif, serta enterokokus.
Mekanisme pertahanan lokal yang terganggu, seperti hilangnya kulit
secara luas pada pasien luka bakar meningkatkan suseptibilitasi pasien untuk
terjadinya thrombophlebitis. Seringkali terjadi infeksi polimikroba pada pasien
luka bakar. Penggunaan steroid serta obat injeksi adalah faktor risiko yang
penting.

Gejala Klinis
Thrombophlebitis Septik superficial paling sering diawali oleh adanya
keretakan kulit local, seperti pada pemasangan kateter intravena, luka tusukan,
gigitan serangga, tindakan phlebotomy, atau injeksi intravena. Nyeri dan eritem
seringkali timbul pada lokasi awal infeksi. Pintu masuk awal infeksi dapat
menjadi kabur seiring berjalannya waktu, akibat nyeri, bengkak, dan kemerahan
menyebar di seluruh pembuluh darah yang terinfeksi.
Pada penelitian oleh Baker et al pada 100 pasien dengan phlebitis septic
perifer, 83% mengeluhkan nyeri, 44% mengalami demam, 37% mengalami
pembengkkan, dan 9% mengalami keluarnya pus secara spontan dari pintu masuk
infeksi. Pelaku penyalahgunaan obat-obatan terlarang mengalami selulitis local
hingga abses pada lokasi injeksi.

84

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Umum
Complete Blood Count (CBC) : ditemukan leukositosis.
Pemeriksaan Kimia : Pada infeksi berat ditemukan asiosis dan ketidakseimbangan
elektrolit.
Pemeriksaan fungsi hepar : Dilakukan jika adanya kecurigaan pylephlebitis
(Phlebitis vena porta hepatica)
Prothrombin Time (PT) : Jika ada indikasi terapi antikoagulan

Kultur Mikroba
Semua pasien dengan suspek phlebitis septic harus diperiksa kultur darah.
Pada kasus thrombophlebitis akibat pemasangan kateter intravena, harus dibuat
kultur dengan sampel dari lokasi sentral dan perifer sebagai perbandingan.
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis thrombophlebitis akibat pemasangan
kateter intravena secara spesifik seringkali menggunakan kultur ujung kateter.
Namun kateter tidak boleh diangkat di Instalasi Gawat Darurat jika ada
kecurigaan adanya thrombus yang melekat pada kateter intravena. Material
purulen dari jaringan lunak perifer diperika dnegn apewarnaan gram serta
dikultur.

Pemeriksaan Pencitraan
CT Scan dengan kontras
CT Scan dengan kontras secara umum diterima sebagai pemeriksaan
pilihan pada sebagian besar trombophlebitis septic, memberikan gambaran filling

85

defect pada pembuluh darah yang bermasalah. CT scan dapat menggambarkan


proses inflamasi yang sedang berlangsung.
MRI
MRI secara umum diterima sebagai modalitas diagnostic pada sebagian
besar thrombophlebitis septic. MRI dapat memvisualisasi trombophlebitis intra
abdominal dengan baik, memperlihatkan thrombus intraluminal dan penebalan
dinding pembuluhdarah yang abnormal.

Ultrasonography
Ultrasonography dapat mendeteksi thrombus pembuluh darah vena dan
merupakan pemriksaan diagnostic pada kasus thrombophlebitis dengan hasil
kultur darah yang positif. Ultrasound juga dapat memdeteksi abses pada jaringan
lunak di sekitar pembuluh darah vena yang bermasalah. Namun ultrasonography
tidak adekuat untuk menjadi pemeriksaan diagnostic pada trombophlebitis septic
pelvis serta thrombosis vena dura.

Angiography
Angiography berguna untuk menegakkan diagnosis thrombophlebitis
akibat pemasangan kateter intravena karena dapat mendemonstrasikan lapisan
fibrin yang menempel pada ujung kateter.

Diagnosis Banding
Diagnosis Banding pada phlebitis perifer, vena cava superior, dan vena
cava inferior adalah :

Selulitis

86

Thrombosis Vena Dalam

Terapi
Kateter intravena perifer harus segera dilepaskan sejak ada tanda2 eritema,
indurasi atau edema. Bila phlebitis sudah menjadi supuratif, pelepasan kanula
tidak lagi berguna. Perlu diberikan antibiotic broad spectrum untuk mengatasi
S.aureus, streptococci, dan enterobacteriaceae. Vankomisin juga dapat digunakan
untuk mengatasi MRSA atau MSSA dan streptokokus. Durasi pemberian terapi
intravena sekitar 7 hari, setelah itu dilanjutkan dengan antibiotic oral.

Terapi Medikamentosa
Prinsip Terapi Medikamentosa:
Antibiotik dipilih di awal secara empiris dan berdasarkan lokasi infeksi.
Antibiotik spectrum luas digunakan sebelum adanya hasil pemeriksaan kultur
darah. Karena banyaknya infeksi yang disebabkan S. Aureus, terapi antibiotik
untuk MRSA sebaiknya dilakukan secara rutin.
Antikoagulan dapat dipertimbangkan berdasarkan lokasi thrombus yang
terinfeksi, dan fibrinolisis lokal dapat diberikan pada kasus thrombophlebitis
akibat pemasangan kateter vena sentral.

Terapi Antibiotik

Vancomycin
Ceftriaxone (Rocephin)
Cefepime (Maxipime)
Clindamycin (Cleocin)

87

Ampicillin-sulbactam (Unasyn)
Ampicillin-sulbactam (Unasyn)
Piperacillin and tazobactam sodium (Zosyn)
Piperacillin and tazobactam sodium (Zosyn)
Imipenem-cilastatin (Primaxin)
Metronidazole (Flagyl)
Fluconazole (Diflucan)
Amphotericin B liposomal (AmBisome)

Terapi Fibrinolitik (Thrombolitik)


Tujuan terapi fibrinolitik adalah untuk melarutkan selaput fibrin atau
thrombus yang terinfeksi yang dapat menjadi sumber infeksi resisten serta
penyebab emboli septic. Agen fibrinolitik yang diinjeksikan dengan panduan
kateter lebih aman dibandingkan regimen fibrinolitik sistemik karena jarang
menimbulkan lisis sistemik.
Obat-obatan Terapi Fibrinolitik (Thrombolitik):

Reteplase (Retavase)
Alteplase (Activase)

Terapi Antikoagulan, Kardiovaskuler


Antikoagulan heparin penting untuk pasien dengan phlebitis septic, namun
monoterapi antikoagulan tidak menjanjikan kesuksesan terapi. Progresi penyakit
dapat terjadi meski telah dilakukan terapi efektif menggunakan antikoagulan
heparin. Warfarin tidak digunakan pada terapi phlebitis septik akut, karena
berisiko meningkatkan thrombogenesis.

Obat-obatan Terapi Fibrinolitik (Thrombolitik):

Heparin
Enoxaparin (Lovenox)

88

Terapi Operatif
Pada

phlebitis

superficial,

walaupun

supuratif

sebenarnya

tidak

memerlukan konsultasi. Namun, pasien dengan phlebitis supuratif yang sudah


menyebar ke vena profunda memerlukan konsultasi ke bedah vascular. Sebagai
tambahan, expertise dari dokter bedah umum, ginekolog, tht, atau bedah syaraf
dapat diperlukan, tergantung dari focus infeksi pasien.
2.11

HAP(Hospital Acquaired Pneumonia)


PNEUMONIAE

Pada
kasus
ini,
pasien

mengeluhkan batuk tapi tidak berdahak , pasien juga sesak serta demam dan
berkeringat, pada saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan adanya rhonki
basah hampir diseluruh lapang paru terutama di bagian media dan bagian basal,
pada pemeriksaan rontgen thorax juga menyokong adanya gambaran pnemoniae
yang ditandai dengan adanya perselubungan opak , gejala dan tanda yang
ditemukan pada pasien ini mendukung ke arah pneumoniae. Pneumoniae dibagi
menjadi community acquired dan nosokomial pneumoniae, pada pasien ini

89

keluhan diatas mulai dirasakan leh pasien saat pasien 3 hari dirawat di rumah
sakit, sehingga community acquired dapat disingkirkan sehingga disimpulkan
bahwa pasien ini terkena nosokomial pneumoniae.

Nosokomial
pneumoniae terbagi lagi menjadi HAP,HCAP dan VAP. VAP pada kasusu inin
dapat disingkirkan karena pasien dirawta di ruangan biasa dan tidak
menggunakan ventilator dan HCAP juga dapat disingkirkan karena sebelumnya
pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelum dirawat di RSUD cianjur
( pasien tidak mengonsumsi antibiotik sebelumnya) sehingga keluhan batuk yang
sekarang pasien rasakan bukan merupakan kelanjutan dari keluhan pasien
sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini merupakan Hospital
Acquired Pneumoniae (HCAP) , karena keluhan batuk dirasakan oleh pasien saat
pasien sudah dirawat 3 hari di RS dan untuk kemungkinan penyebab infeksi yang
lain berhubungan dengan keluhan batuk sudah dsingkirkan seperti untuk TB hasil

90

sputum BTA negatif dan rontgen thorax tidak menunjukan adanya TB, serta
PPOK juga disingkirkan karena pasien tidak merokok.

Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta),


diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :
1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit
dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu
masuk rumah sakit
2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :

Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif

Ditambah 2 diantara kriteria berikut:

Suhu tubuh > 38oC

Sekret purulen

Leukositosis

Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS


1. Dirawat di ruang rawat intensif
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 >
35 % untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %
3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau
kaviti dari infiltrat paru
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan
atau disfungsi organ yaitu :

Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)

Memerlukan vasopresor > 4 jam

Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam

91

Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis

5. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau
aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi: Dua set kultur
darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan
kanan) sebanyak 7 ml. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting
untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia
nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak
yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan
yaitu bila ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel
epitel < 10 / lpk.
6. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit
7. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka
dilakukan pemeriksaan secara invasif: bronchoalveolar lavage (BAL) /
aspirasi transtorakal.
Pada kasus ini pasien di rawat di ruang biasa, tidak ditemukan
adanya tanda-tanda sepsis berat dan gambaran rontgen tidak menunjukan
penumonia multilobar, pasien merupakan pasien CKD, tetapi untuk HAP
nya berdasarkan kriteria ATS diatas , pasien bukan termasuk kedalam
pneumoniae berat dan tidak memerlukan intensive care unit untuk
pneumoniaenya.

Pada pasien ini untuk antibiotiiknya diberikan Levofloxacin 1 x 750 mg (IV) dan
ceftazidine 3 x 1 (g) dan terapi simptomatiknya diberikan Paracetamol 3 x 500 mg
untuk febrisnya dan diberikan ambroxol syr 3 x 10 cc untuk batuknya

92

2.12

Encephalopaty Uremikum
Definisi
Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun
subakut yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik.
Biasanya dengan nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di
bawah 15 mL/mnt. Sebutan uremic encephalopathy sendiri memiliki arti
gejala neurologis non spesifik pada uremia. 2,3

Epidemiologi4
Prevalensi internasional tidak diketahui. Di Amerika Serikat, prevalensi UE
sulit ditentukan. UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan end-stage
renal disease (ESRD),dan secara langsung tergantung pada jumlah pasien
tersebut. Pada 1990an, lebih dari 165,000 orang diobati untuk ESRD. Pada

93

tahun 1970an, jumlahnya 40,000. Dengan bertambahnya jumlah pasien


dengan ESRD, diasumsikan jumlah kasus UE juga bertambah.

Gambar 2. Insidens ESRD


Mortalitas
Gagal ginjal fatal jika tidak ditangani

UE menunjukkan fungsi ginjal yang memburuk. Jika tidak ditangani, UE


dapat menyebabkan koma dan kematian.

Pasien memerlukan penanganan agresif untuk mencegah komplikasi dan


menjaga homeostasis yang tergantung pada intensive care dan dialisis. Di AS,
lebih dari 200.000 pasien menjalani hemodialisa.
Ras
Gagal ginjal lebih sering pada ras Afrika Amerika dibandingkan ras lainnya.

94

Jenis Kelamin
Insidens pada pria dan wanita sama banyak.
Usia
Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih
progresif pada usia lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.
Patofisiologi
Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar
darah otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa
dijadikan satu-satunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena
jumlah ureum dan kreatinin tidak berhubungan dengan tingkat penurunan
kesadaran ataupun adanya asterixis dan myoclonus.5
Perubahan yang ditemukan pada mayat pasien dengan chronic kidney
disease biasanya ringan, tidak spesifik dan lebih berhubungan dengan
penyakit yang menyertainya. Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir
dua kali lipat dari nilai normal. Peningkatan jumlah kalsium ini mungkin
diperantarai oleh aktivitas hormon Paratiroid. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian pada anjing yang mengalami gagal ginjal akut maupun kronik,
EEG dan abnormalitas kalsium dapat dicegah dengan dilakukannya
paratiroidektomi. Pada manusia dengan gagal ginjal, EEG dan gangguan
psikologik juga dapat membaik dengan paratiroidektomi.6
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga
menyebabkan rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang
memungkinkan pada perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter,
menyebabkan aktivitas metabolik berkurang. Pompa Na/K ATPase
mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting dalam menjaga gradien
kalsium 10 000:1 (di luardi dalam sel). Dengan adanya uremia, terdapat
peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi menyatakan bahwa
aktivitas pompa Na/K ATPase ouabain-sensitif menurun pada keadaan

95

uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan
neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu
menjelaskan gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi
neurotransmitter yang ditemukan pada tikus yang mengalami uremi. 6
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan
jumlah glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi
perubahan metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan
gejala awal berupa clouded sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat
gangguan fungsi sinaps yaitu adanya studi bahwa dengan memburuknya
uremia, terjadi akumulasi komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic
acid, yang meningkat pada otak dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek
inhibisi pada pelepasan -aminobutyric acid (GABA) dan glisin pada
binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA). Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan neurotransmitter
dengan cara menghambat channel klorida pada membran neuronal. Hal ini
dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan,
methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8

Gambar 3. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat

96

Kontribusi aluminium pada UE kronik masih belum jelas diketahui.


Sumber alumunium diperkirakan dari diet dan obat-obatan terikat fosfat.
Transpor aluminium menuju otak hampir pasti melalui reseptor transferin
pada permukaan luminal pada sel endotel kapiler otak. Jika sudah melewati
otak, aluminium dapat mempengaruhi ekspresi A4 protein prekursor yang
melalui proses kaskade menyebabkan deposisi ekstraselular dari A4 protein.
Secara ringkas, patofisiologi dari UE adalah kompleks dan mungkin
multifaktorial.6

Gejala klinis
Apatis, fatig, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi,
gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat
berfluktuasi dari hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa
pasien, terutama pada pasien anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat
hingga koma. Pada pasien lain, halusinasi visual ringan dan gangguan
konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa minggu.
Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai
gangguan motorik, yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien
mulai kedutan, jerk dan dapat kejang. Twitch dapat meliputi satu bagian otot,
seluruh otot, atau ekstremitas,aritmik, asinkron pada kedua sisi tubuh pada
saat bangun ataupun tidur. Pada beberapa waktu bisa terdapat fasikulasi,
tremor aritmik, mioklonus, khorea, asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi
phenomena motorik yang tidak terklasifikasi, yang disebut uremic twitchconvulsive syndrome.

97

Gambar 4. Asterixis

Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan


koma. Jika asidosis metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi
pernapasan Kussmaul yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan
Cheyne-Stokes.9

Tabel 1. Gejala dan Tanda Ensefalopati Uremikum10


Ringan
Anoreksia
Mual

Sedang
Muntah
Lamban

Berat
Gatal
Gangguan

Insomnia
restlessness
Kurang atensi
Tidak mampu

Mudah lelah
Mengantuk
Perubahan pola tidur
Emosional

orientasi
Kebingungan
Tingkah laku aneh
Bicara pelo
Hipotermia

98

menyalurkan ide
Penurunan libido

Paranoia
Penurunan kognitif
Penurunan abstraksi
Penurunan

Mioklonus
Asterixis
Kejang
Stupor

kemampuan seksual

Koma

Diagnosis
Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan
kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan
laboratorium pada UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum,
kreatinin, fungsi hati dan amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang
tinggi. Darah lengkap diperiksa untuk melihat adanya anemia karena dapat
berperan dalam beratnya perubahan status mental. Sementara jika ditemukan
leukositosis menunjukkan adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa
diperiksa untuk menyingkirkan penyebab ensefalopati lainnya.
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan
infeksi. Pada ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala
menunjukan pleositosis ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya
konsentrasi protein (biasanya <100mg/dl).
EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan
dengan gejala klinis. Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan
penyebab lain dari konfusi seperti infeksi dan abnormalitas struktural.
Gambaran EEG yang sering ditemukan adalah perlambatan secara general.
Ritme tetha pada frontal yang intermiten dan paroksisimal, bilateral, high
voltage gelombang delta juga sering ditemukan. Kadangkala kompleks spikewave bilateral atau gelombang trifasik pada regio frontal dapat terlihat. 3,11,12

99

Gambar 5. Hasil elektroensefalografi pada pasien uremic encephalopathy,


didapatkan perlambatan general dengan gelombang delta dan theta dan spikes
bilateral12

Pencitraan otak seperti CT scan atau MRI dilakukan untuk


menyingkirkan adanya hematom subdural, stroke iskemik. Namun biasanya
menunjukkan atrofi serebri dan pelebaran ventrikel pada pasien dengan
chronic kidney disease.11
Diagnosis Banding
Diagnosis banding UE antara lain ensefalopati hipertensif, ensefalopati
hepatikum, sindrom respons inflamasi sistemik pada pasien sepsis, vaskulitis
sistemik, neurotoksisitas akibat obat (opioid, benzodiazepin, neuroleptik,
antidepresan), cerebral vascular disease, hematom subdural. Kejang dapat
terjadi pada UE, ensefalopati hipertensif, emboli serebral, gangguan elektrolit
dan asam-basa, tetanus.9,11

Penatalaksanaan

100

Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi


sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis
buruk tanpa dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana dengan
hemodialisis atau peritoneal dialisis, walaupun biasanya dibutuhkan waktu 1
sampai 2 hari dibutuhkan untuk mengembalikan status mental. Kelainan
kognitif dapatmenetap meskipun setelah dialisis. Kerugian dari dialisis adalah
sifat non-spesifik sehingga dialisis juga dapat menghilangkan komponen
esensial. Transplantasi ginjal juga dapat dipertimbangkan.12
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan
fungsi renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau
dengan pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk
menurunkan toksin uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian
prebiotik.atau probiotik seperti bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal
juga penting untuk eliminasi toksin uremik.12
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine
untuk kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau
absens; ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk
status epileptikus konvulsif.13 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk
kejang myoklonik pada end stage renal disease. 14
Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas
GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA A, sehingga
memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya
BZD menyebabkan peningkatan frekuensi terbukanya channel klorida,
menghasilkan hiperpolarisasi membran yang menghambat eksitasi selular.15

101

Gambar 6. Mekanisme kerja Benzodiazepine15

Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialisis


dengan target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan meningkatnya
fungsi kognitif dan menurunkan perlambatan pada EEG.11

Prognosis
Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah. Dengan
pengenalan terhadap dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat
keparahan dari UE dapat dikurangi.

2.13

Hipokalsemia
Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan

dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dL darah.

102

Penyebab Hipokalsemia
Penyebab

Keterangan
Biasanya terjadi setelah kerusakan kelanjar paratiroid

Kadar hormon

atau karena kelenjar paratiroid secara tidak sengaja

paratiroid rendah

terangkat pada pembedahan untuk mengangkat tiroid

Kekurangan
kelenjar paratiroid

Penyakit keturunan yg jarang atau merupakan bagian

bawaan

dari sindroma DiGeorge

Pseudo
hipoparatiroidism
e

Penyakit keturunan yg jarang;


kadar hormon paratiroid normal tetapi respon tulang &
ginjal terhadap hormon menurun
Biasanya disebabkan oleh asupan yg kurang,
kurang terpapar sinar matahari (pengaktivan vitamin D
terjadi jika kulit terpapar sinar matahari),
penyakit hati,
penyakit saluran pencernaan yg menghalangi
penyerapan vitamin D,

Kekurangan

pemakaian barbiturat & fenitoin, yg mengurangi

vitamin D

efektivitas vitamin D

Kerusakan ginjal

Mempengaruhi pengaktivan vitamin D di ginjal

Kadar magnesium
yg rendah

Menyebabkan menurunnya kadar hormon paratiroid

Asupan yg kurang
atau malabsorbsi

Terjadi dengan atau tanpa kekurangan vitamin D

Pankreatitis

Terjadi jika kelebihan asam lemak dalam darah karena

103

cedera pada pankreas, bergabung dengan kalsium


Mengurangi jumlah kalsium yg terikat dengan albumin
Kadar albumin yg

tetapi biasanya tidak menyebabkan gejala, karena

rendah

jumlah kalsium bebas tetap normal

GEJALA

Hipokalsemia bisa tidak menimbulkan gejala.

Seiring dengan berjalannya waktu, hipokalsemia dapat mempengaruhi


otak dan menyebabkan gejala-gejala neurologis seperti:

kebingungan

kehilangan ingatan (memori)

delirium (penurunan kesadaran)

depresi

halusinasi.

Gejala-gejala tersebut akan menghilang jika kadar kalsium kembali


normal.

Kadar kalsium yang sangat rendah (kurang dari 7 mgr/dL) dapat


menyebabkan nyeri otot dan kesemutan, yang seringkali dirasakan di bibir,
lidah, jari-jari tangan dan kaki.

Pada kasus yang berat bisa terjadi kejang otot tenggorokan (menyebabkan
sulit bernafas) dan tetani (kejang otot keseluruhan).

Bisa terjadi perubahan pada sistem konduksi listrik jantung, yang dapat
dilihat pada pemeriksaan EKG.

Penatalaksanaan
Dibedakanmenjadi 2 bagian, yaitu penatalaksanaan pada kondisi akut dankronis.
Pada kondisi akut, dimana pasien datang dengan kejang, penurunan kesadaran,
spasme otot,

104

kegawatan sistim pernapasan dan kardiovaskular, walaupun hipokalsemia yang


terjadi bersifat ringan (7-8 mg/dL) maka penatalaksanaan hipokalsemia
harusdilakukan secara agresif dengan kalsium glukonas intravena.
Kalsium glukonas intravena diberikan sebagai berikut, 1 sampai 2 ampul (90-180
elemental calcium) dilarutkan dalam 50-100 mL larutan dextrose-5%, yang
kemudian diberikan dalam 10 menit. dapat diulang sampai gejala klinis membaik.
Pada keadaan hipokalsemia persisten, pemberian kalsium glukonas dalam waktu
yang lebih lama dimungkinkan. Target koreksi kalsium di sin adalah untuk
meningkatkan konsentrasi kalsium serum 2-3 mg/dL dengan pemberian 15 mg/kg
elemental calcium dalam waktu 4-6 jam. Kalsium serum selanjutnya harus
dipertahankan dalam batas normalnya, dengan infus 0,5-1,5mg/kg berat
badan/jam selama 24-48 jamdan diikuti oleh suplementasi kalsiumper oral,
dimulai dari 1-2 gram elemental calcium dan bila memungkinkan, bersama 1,25OH2 D3.
2.14

Edema Paru
Definisi
Ekstravasasi cairan yang berasal dari vascular paru masuk ke
dalam interstitium dan alveoli paru. Edema paru adalah kegawatdaruratan
medis yang membutuhkan penanganan segera
Etiologi

Edema paru kardiak


Edema paru non kardiak

Diagnosis
Anamnesis

Sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat(jam atau hari),
disertai ortopneu

Kadang dapat ditemui gejala batuk dengan sputum berbusa kemerahan

Pada pasien dengan edema paru kardiak dapat ditemukan adanya riwayat
penyakit atau keluhan jantung sebelumnya (aritmia, kelainan katup, infark
jantung)

105

Pemeriksaan Fisik

Ronkhi

Wheezing

Pada edema paru kardiak, ditemukan tanda-tanda peningkatan intrakardiak


seperti gallop, JVP, edema perifer, hipertensi, hepatomegaly,
Pemeriksaan Penunjang
Tanda edema paru pada rontgen thoraks

Penebalan Peribronkial

corakan vascular (gambaran kranialisasi)

Adanya garis kerley B

Pada edema paru yang berat, tampak gambaran opasitas alveolar dengan
batas tidak tegas

Bisa disertai dengan efusi pelura

Pada edema paru kardiak, ditemukan juga pembesaran ruang jantung

106

Analisis Kasus :

Pasien terdapat edema paru kardiak, akibat gagal jantung kiri sehingga
tekanan end-diastolic ventrikel meningkat. Sebagai akibatnya tekanan
hidrostatik vena pulmonalis dan kapiler paru juga akan meningkat dan
terjadi ekstravasasi cairan ke jaringan.

2.15

Sindrom Nefrotik

Klasifikasi
Kriteria
Usia
Fungsi ginjal
Hematuria

Typical SN
1-11 tahun
kreatinin normal
Mikroskopis

Atypical SN
<1 atau >11 tahun
peningkatan kreatinin
Mungkin terjadi makroskopis

107

Hipertensi

Biasanya

normotensi
Riwayat keluarga Biasanya tidak ada

Meningkat
Mungkin ada

dengan SN

2.16

Hiperurisemia

108

Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat darah lebih dari


normal. Asam urat merupakan hasil akhir metabolisme purin dalam tubuh. Dalam
keadaan normal terjadi keseimbangan antara pembentukan dan degradasi
nukleotida purin serta kemampuan ginjal dalam mengekskresikan asam urat.
Apabila terjadi kelebihan pembentukan (overproduction) atau penurunan ekskresi
(underexcretion) atau keduanya maka akan terjadi peningkatan kadar asam urat
darah yang disebut dengan hiperurisemia. Dikatakan hiperurisemia bila asam urat
serum lebih dari 7 mg/dL (lebih dari 0,42 mmol/l) pada pria dan lebih dari 5.7
mg/dL (lebih dari 0,34 mmol/l) pada wanita. Kadar asam urat normal pada pria
adalah 3.4-7.0 mg/dL, dan pada wanita adalah 2.4-5.7 mg/dL.4
Hiperurisemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan penyakit Gout atau
pirai, namun tidak semua hiperurisemia akan menimbulkan kelainan patologik
berupa Gout. Gout adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh respon peradangan
akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan. Penyakit Gout terdiri dari
Gout artritis, pembentukan tophus, kelainan ginjal berupa nefropati asam urat dan
pembentukan batu pada saluran kemih. Gout merupakan diagnosis klinis
sedangkan hiperurisemia adalah keadaan biokimia darah.4
1.1 Purin
Purin adalah inti dari senyawa komponen molekul nukleotida asam nukleat
RNA dan DNA. Nukleotida purin merupakan senyawa kecil mengandung nitrogen
yang berperan sangat penting pada peranan biologik. Diantara senyawa-senyawa
lain, nukleotida berperan sebagai karier metabolisme energi (misalnya ATP),
sebagai substrat sintesis RNA dan DNA, sebagai komponen-komponen enzim
(misalnya NAD), dan sebagai pengatur alosterik aktivitas enzimatik.5
Purin termasuk komponen non-esensial bagi tubuh, artinya purin dapat diproduksi
oleh tubuh sendiri. Apabila kita mengkonsumsi makanan yang mengandung purin, maka purin
tersebut akan langsung dikatabolisme oleh usus.5
Urat (bentuk ion dari asam urat), hanya dihasilkan oleh jaringan tubuh yang
mengandung xantin oxidase terutama dihati dan usus. Produksi urat bervariasi
tergantung konsumsi makanan mengandung purin, kecepatan pembentukan, biosintesis

109

dan penghancuran purin di tubuh. Normalnya, 2/3 -3/4 urat di ekskresi oleh ginjal
melalui urin. Sisanya melalui saluran cerna.5

Gambar 1 Proses pemecahan protein


Sumber : Toha5
1.2 Epidemiologi Hiperurisemia
Angka kejadian hiperurisemia dan Gout berdasarkan berbagai kepustakaan
sangat bervariasi, diperkirakan antara 2.3-17.6%. Menurut Vazquez dkk. pada
tahun 2004 hiperurisemia terjadi pada 5-30% populasi umum dan prevalensinya
dapat lebih tinggi pada kelompok etnik tertentu. Prevalensi hiperurisemia pada
saat ini menunjukkan peningkatan di seluruh dunia, diduga karena peningkatan
prevalensi hipertensi dan penggunaan obat-obatan.
Data yang dikemukakan oleh Luk AJ dkk. pada tahun 2005, prevalensi Gout
bervariasi yaitu dari 0,2-10 % di Eropa dan Amerika Serikat. Kejadian
hiperurisemia dan Gout banyak dijumpai pada penduduk Filipina, Samoan, Maori,
dan penduduk di daerah Pasifik Selatan lainnya dibandingkan bangsa Eropa. Hal
tersebut diduga karena asupan makanan tinggi purin seperti ikan laut dan faktor
genetik.
1.3 Etiologi Hiperurisemia
Berdasarkan penyebabnya, hiperurisemia dapat diklasifikasikan menjadi :

Hiperurisemia primer

110

Hiperurisemia primer merupakan hiperurisemia yang tidak disebabkan


oleh penyakit lain. Biasanya berhubungan dengan kelainan molekuler

yang belum jelas dan adanya kelainan enzim.6


Hiperurisemia sekunder
Hiperurisemia sekunder merupakan hiperurisemia yang disebabkan
oleh penyakit atau penyebab lain. Hiperurisemia jenis ini dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan

de novo biosynthesis, peningkatan degradasi ATP, dan underexcretion.6


Hiperurisemia idiopatik
Hiperurisemia idiopatik merupakan jenis hiperurisemia yang tidak jelas
penyebab primernya dan tidak ada kelainan genetik, fisiologi serta anatomi
yang jelas.6

1.4 Faktor Risiko Terjadinya Hiperurisemia


Peningkatan kadar asam urat dalam darah dapat terjadi karena interaksi
berbagai faktor risiko. Keadaan hiperurisemia tidak selalu tampak dari gejala
klinis sehingga mempunyai risiko yang besar untuk terjadinya berbagai
komplikasi terutama di ginjal.7 Mekanisme beberapa faktor risiko terjadinya
hiperurisemia dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2 Faktor Risiko Terjadinya Hiperurisemia


Sumber : Roddy E7

111

2.1.4.1 Nutrisi
Purin adalah salah satu senyawa basa organik yang menyusun asam nukleat
dan termasuk dalam kelompok asam amino yang berguna untuk pembentukan
protein. Makanan dengan kadar purin tinggi (150 180 mg/100 gram) antara lain
jeroan, daging sapi, babi, kambing atau makanan dari hasil laut (sea food),
kacang-kacangan, bayam, jamur, kembang kol, sarden, dan kerang. Konsumsi
makanan tinggi purin dapat menimbulkan penyakit asam urat. Dengan demikian
pada penderita radang sendi tanpa mengetahui penyebabnya, selalu berupaya
menghindari makanan tinggi purin.7
1.4.2 Obat- obatan
Penggunaan obat-obatan tertentu juga dapat memicu peningkatan kadar asam
urat atau membantu dalam mengekskresikan asam urat. Salah satu jenis obat yang
membantu proses ekskresi asam urat yaitu probenesid dan sulfinpirazon. Untuk
memperoleh hasil yang diinginkan maka ketika menggunakan obat tersebut
diperlukan minum air putih yang banyak supaya dapat menurunkan tingkat
saturasi asam urat sehingga dapat diekskresikan dengan mudah.8
Aspirin dapat menghambat proses ekskresi asam urat sehingga memperparah
keadaan hiperurisemia. Begitu juga dengan obat antihipertensi yang memiliki
dampak hampir sama dengan jenis aspirin. Obat antihipertensi memiliki efek
samping yaitu menghambat metabolisme lipid dalam tubuh. Timbunan lipid di
dalam tubuh dapat mengganggu proses ekskresi asam urat melalui urin. Salah satu
obat antihipertensi yang memiliki efek peningkatan kadar asam urat tersebut
adalah tiazid.8
1.4.3 Usia dan Jenis Kelamin
Hiperurisemia sering dijumpai pada lanjut usia (lansia) yaitu rata-rata lebih dari
50 tahun. Akan tetapi tidak semua lansia dapat mengalami hiperurisemia. Hal ini
disebabkan karena pada sebagian lansia masih diproduksi steroid seks dalam
jumlah yang cukup. Steroid seks ini akan memproduksi androgen, estrogen dan
progesteron. Adanya hormon estrogen ini yang akan membantu pengeluaran asam
urat melalui urin.3

112

Penderita lansia yang mengalami hiperurisemia disebabkan penurunan


produksi beberapa enzim dan hormon di dalam tubuh yang berperan dalam proses
ekskresi asam urat. Wanita memiliki hormon estrogen. Produksi hormon ini akan
meningkat ketika pada usia pubertas, sehingga wanita sangat jarang mengalami
hiperurisemia. Hormon estrogen ini berfungsi untuk membantu ekskresi asam
urat. Pada wanita menopause, cenderung lebih sering mengalami hiperurisemia
yang disebabkan penurunan hormon estrogen tersebut.3
1.4.4 Hipertensi
Hipertensi akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah
sehingga terjadi penurunan aliran darah glomerulus. Hal ini akan mengaktivasi
sistem renin-angiotensin yang menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium.
Pada prinsipnya air selalu mengikuti gerak dari natrium sehingga pada saat terjadi
reabsorpsi natrium maka air akan mengalami reabsorpsi pula. Pada saat terjadi
resistensi natrium dan air

maka ekskresi asam urat dapat terhambat. Selain

menyebabkan penurunan aliran darah glomerulus, hipertensi juga berdampak pada


terjadinya kerusakan pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah mengakibatkan
iskemia pada jaringan yang akan meningkatkan produksi laktat sehingga ekskresi
asam urat berkurang dan mengakibatkan asam urat dalam darah meningkat.9
1.4.5 Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit menahun yang ditandai dengan kadar
glukosa

darah

melebihi

normal

(hiperglikemia)

dan adanya

gangguan

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh defisiensi


insulin secara relatif atau absolut. Hiperglikemia dapat menginduksi pembentukan
stres oksidatif yaitu dengan pembentukan reactive oxygen species (ROS) akibat
peningkatan respirasi pada mitokondria dan peningkatan aktivitas enzim xantin
oksidase sehingga dapat meningkatkan produksi asam urat.10
1.4.6 Gagal Ginjal

113

Pasien dengan gagal ginjal mengakibatkan tubuh gagal mengeluarkan


timbunan asam urat melalui urin. Semakin lama timbunan asam urat ini akan
menyebabkan hiperurisemia dan berbagai komplikasi antara lain batu urat dalam
ginjal. Kecenderungan penderita gagal ginjal akan mengalami hiperurisemia
sebesar 47-67 %.11
1.4.7 Obesitas
Pada obesitas, lemak banyak disimpan di jaringan adiposa dalam bentuk
trigliserida. Selain itu timbunan kolesterol pada obesitas juga banyak. Pada kadar
normal kolesterol merupakan salah satu bahan untuk membentuk hormon seks
steroid (estrogen, progesteron, androgen) akan tetapi jika produksinya berlebih
kolesterol tersebut akan menumpuk di endotel pembuluh darah dan terjadi plak
sehingga menghalangi darah maupun senyawa lain termasuk asam urat untuk
bersirkulasi.7
1.4.8 Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol berpengaruh pada kejadian hiperurisemia. Alkohol memicu
peningkatan produksi asam urat karena kandungan etanol dan purin yang terdapat
dalam alkohol. Selain itu produk sampingan dari alkohol adalah asam laktat.
Produk asam laktat ini juga akan menghambat pengeluaran asam urat melalui urin
sehingga terjadi hiperurisemia. Konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan
perlemakan di dalam hati. Perlemakan hati akibat alkohol bersifat reversible.
Perlemakan hati terjadi pada individu yang mengonsumsi lebih dari 60 gram
alkohol per hari. Mekanisme alkohol menginduksi perlemakan hati yaitu terjadi
peningkatan glycerol 3-phosphate yang menyebabkan peningkatan esterifikasi
asam lemak dan menyebabkan peningkatan lipolisis melalui stimulasi langsung
aksis adrenal-pituitary serta menyebabkan inhibisi oksidasi asam lemak dan
melepaskan VLDL ke dalam darah sehingga terjadi hiperlipidemia. Terjadinya
hiperlipidemia akan menyebabkan terbentuknya plak pada endotel pembuluh
darah sehingga dapat menyebabkan hiperurisemia.12

114

1.2 Metabolisme Asam Urat


Asam urat merupakan hasil akhir metabolisme purin. Proses pembentukan
asam urat sebagian besar berasal dari metabolisme nukleotida purin endogen,
guanylic acid (GMP), inosinic acid (IMP), dan adenylic acid (AMP). Perubahan
intermediet hypoxanthine dan guanine menjadi xanthine dikatalisis oleh enzim
xanthine oxidase dengan produk akhir asam urat. Sintesis purin melibatkan dua
jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway) yang dapat
dilihat pada gambar 2.2.13

Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat melalui
prekursor nonpurin. Substrat awalnya adalah ribosa-5-fosfat, yang diubah
melalui serangkaian zat antara menjadi nukleotida purin (asam inosinat,
asam guanilat, asam adenilat). Jalur ini dikendalikan oleh serangkaian
mekanisme yang kompleks, dan terdapat beberapa enzim yang
mempercepat reaksi yaitu: 5-fosforibosilpirofosfat (FRPF) sintetase dan
amidofosforibosiltransferase (amido-FRT). Terdapat suatu mekanisme
inhibisi umpan balik oleh nukleotida purin yang terbentuk, yang fungsinya
untuk mencegah pembentukan yang berlebihan.13

Jalur penghematan adalah jalur pembentukan nukleotida purin melalui


basa purin bebasnya, pemecahan asam nukleat, atau asupan makanan.
Jalur ini tidak melalui zat-zat perantara seperti pada jalur de novo. Basa
purin bebas (adenin, guanin, hipoxantin) berkondensasi dengan FRPF
untuk membentuk prekursor nukleotida purin dari asam urat. Reaksi ini
dikatalisis oleh dua enzim yaitu hipoxantin guanin fosforibosiltransferase
(HGFRT) dan adenin fosforibosiltransferase (AFRT).13

115

Gambar 3 Metabolisme Asam Urat


Sumber : Rodwell13
1.3 Patofisiologi Hiperurisemia Menyebabkan Kerusakan Ginjal
Asam urat adalah mediator penting terjadinya kerusakan ginjal. Peningkatan
kadar asam urat serum memiliki efek pada ginjal dan pembuluh darah.
Hiperurisemia menyebabkan inflamasi vaskuler dan proliferasi otot polos,
penurunan NO dan peningkatan ROS, peningkatan produksi renin, serta lesi
vaskuler pada ginjal.14
Proliferasi otot polos terjadi akibat aktivasi mitogen spesifik oleh asam urat.
Walaupun otot polos tidak memiliki reseptor untuk asam urat, asam urat tetap
dapat masuk ke dalam sel dengan bantuan organic anion transporter (OAT).
Setelah masuk ke dalam sel otot polos, asam urat mengaktifkan protein kinase
(Erk 1/2). Selanjutya Erk 1/2 akan menginduksi sintesis de novo dari COX-2 dan
tromboksan lokal serta mengatur regulasi platelet derived growth factor A
(PDGF A). Hasil akhir proses tersebut adalah aktivasi mitogen spesifik yang
menyebabkan proliferasi sel.14
Penelitian Kang dkk. menunjukkan bahwa peningkatan kadar asam urat dapat
menyebabkan proses inflamasi pada human vascular smooth muscle cells

116

(HVSMC) dan human umbilical vein endothelial cells (HUVEC) sehingga


menstimulasi terbentuknya C-reactive protein (CRP). Peningkatan terbentuknya
CRP bertanggung jawab terhadap proliferasi dan migrasi sel. Asam urat
meningkatkan migrasi HVSMC namun menghambat migrasi HUVEC. Pada
HUVEC asam urat menghambat pembebasan nitric oxide (NO) sehingga akan
lebih mudah terbentuknya aterosklerosis pembuluh darah.14
Asam urat juga menyebabkan akumulasi kristal urat di sekitar plak
aterosklerosis yang telah terbentuk. Kristal urat tersebut dapat mengaktifkan
komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen mengakibatkan berbagai
efek biologis seperti inflamasi, kemotaksis, opsonisasi, dan aktivitas sitolitik.
Asam urat juga menstimulasi sintesis monocyte chemoattractant protein-1
(MCP-1) pada otot polos tikus dengan mengaktivasi p38 MAP kinase, faktor
transkripsi nuklear, NF-KB, dan AP-1. Monocyte chemoattractant protein-1
merupakan kemokin yang berperan penting dalam penyakit vaskular dan
aterosklerosis. Selanjutnya akan terjadi peningkatan produksi sitokin proinflamasi
seperti TNF-, IL-1, dan IL-6. Interleukin-6 yang juga dikenal sebagai
hepatocyte stimulating factor merangsang hepatosit untuk memproduksi CRP.
C-reactive protein yang terbentuk menurunkan produksi NO dengan cara
menghambat enzim nitrit oksidase sintase (eNOS).14
Pada tahun 2003 Johnson dkk. melakukan percobaan pada tikus dan tidak
menemukan terjadinya penimbunan kristal urat di ginjal namun ditemukan adanya
peningkatan tekanan darah. Hipertensi yang terjadi berkaitan dengan penurunan
produksi NO oleh apparatus jukstaglomerulus. Tikus tersebut juga menderita
vaskulopati berat pada arteri interlobularis dan arteriol afferen akibat peningkatan
COX-2 dan renin. Kadar NO yang rendah semakin memperparah disfungsi
endotel yang terjadi.14
Salah satu peran asam urat adalah mengaktivasi sistem renin-angiotensin,
mediator penting pada gangguan ginjal lewat efek hemodinamik yang
meningkatkan tekanan sistemik pada glomerular, serta efek fibrogenik pada sel
ginjal dan vaskular. Pada percobaan tikus, peningkatan kadar asam urat
meningkatkan

ekspresi

renin

jukstaglomerular

dan

pemberian

enalapril

117

mengendalikan tekanan darah, memperbaiki arteriopati serta mencegah kerusakan


ginjal. Pemberian alopurinol dan benziodaron untuk mencegah hiperurisemia
menurunkan kadar renin yang mengurangi kerusakan ginjal. Pada hewan
percobaan, hiperurisemia mengakibatkan terjadi vaskulopati preglomerular berat,
terlihat adanya penebalan dan peningkatan jumlah sel otot polos vaskuler serta
infiltrasi makrofag pada subendotel, media dan adventisia. Perubahan ini
menimbulkan arteriopati obliterasi yang memperberat kerusakan ginjal karena
iskemia sirkulasi postglomerular. Menyempitnya lumen juga meningkatkan
ekskresi renin dan menyebabkan hipertensi.14 Mekanisme vaskulopati yang
diakibatkan oleh hiperurisemia dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 4 Vaskulopati yang Diakibatkan Hiperurisemia


Sumber : Zoccali C14
Angiotensin II juga menyebabkan proliferasi dan hipertrofi sel otot polos
vaskular serta mengaktivasi sel radang sehingga dapat menyebabkan vaskulopati.
Vaskulopati yang terjadi akibat hiperurisemia dapat dicegah dengan cara
menghambat sistem renin-angiotensin, proliferasi sel otot polos vaskular dan
dengan blockade reseptor anti thrombin-1 (AT-1). Hiperurisemia dapat
menyebabkan iskemia pada jaringan sehingga memobilisasi endothelial

118

progenitor cells (EPC) untuk memperbaiki vaskular yang rusak. Namun pada
keadaan hiperurisemia kronik terjadi penurunan mobilisasi EPC dengan
mekanisme yang belum jelas.15
Lebih jauh lagi hiperurisemia akan menyebabkan perubahan mikrovaskuler
pada ginjal yang mirip dengan gambaran arteriosklerosis pada hipertensi esensial.
Lesi vaskuler tersebut menyebabkan iskemia. Selanjutnya iskemia menyebabkan
pelepasan laktat dan peningkatan produksi asam urat. Laktat sendiri bersifat
menghambat sekresi asam urat dengan cara blockade OAT. Peningkatan produksi
asam urat terjadi karena iskemia menyebabkan pemecahan ATP menjadi adenosin
dan xanthine. Hal tersebut menciptakan suatu lingkaran setan. Kondisi
hiperurisemia meningkatkan aktivitas enzim xanthine oksidase. Padahal enzim
tersebut juga membentuk superoksida sebagai akibat langsung aktivitasnya.
Peningkatan jumlah oksidan menyebabkan stress oksidatif yang semakin
menurunkan produksi NO dan memperparah disfungsi endotel yang terjadi. Lesi
pada vaskuler ginjal ini akan memicu terjadinya salt sensitive hypertension yaitu
peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi pada konsumsi jumlah natrium yang
sama.15 Mekanisme hiperurisemia menyebabkan kerusakan ginjal dapat dilihat
pada gambar 2.4

119

Gambar 5 Patofisiologi Hiperurisemia Menyebabkan Kerusakan Ginjal


Sumber : Watanabe dkk15
1.4 Nefropati Urat
Penyakit ginjal yang disebabkan oleh asam urat atau penumpukan kristal urat
disebut nefropati urat dan terbagi menjadi tiga jenis yaitu nefropati asam urat
akut, nefropati urat kronik dan nefrolitiasis asam urat.2
1.4.1 Nefropati Asam Urat Akut
Kelebihan asam urat terjadi terutama ketika terjadi percepatan kerusakan
jaringan. Nefropati asam urat akut adalah istilah yang diterapkan untuk gagal
ginjal akut yang disebabkan obstruksi tubulus ginjal oleh kristal asam urat dan
urat. Hal ini diamati pada keganasan terutama lekemia dan limfoma dengan
perputaran sel cepat atau terjadi lisis sel akibat obat kemoterapi atau terapi
radiasi.2
Pelepasan nukleotida intraseluler menyebabkan hiperurisemia parah. Ketika
urat disaring pada konsentrasi yang sangat tinggi dari plasma dan lebih
terkonsentrasi di tubular, pH menjadi lebih asam, dapat mengakibatkan obstruksi
tubulus, duktus koledokus, dan bahkan pelvis dan ureter. Pada hewan percobaan
pengendapan asam urat dan urat terjadi terutama dalam sistem duktus koledokus
dan di dalam vasa recta.2
Penumpukan kristal menyebabkan tekanan tubular dan intrarenal meningkat
sehingga mengakibatkan kompresi ekstrinsik pembuluh vena ginjal yang
berdiameter kecil dan menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah ginjal
dan penurunan aliran darah ginjal. Tekanan tubular tinggi dan penurunan aliran
darah ginjal menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus dan dapat menyebabkan
gagal ginjal akut.2
1.4.2 Nefropati Asam Urat Kronis
Nefropati urat kronik atau Gouty nefropati adalah suatu keadaan penumpukan
asam urat atau kristal urat pada parenkim dan lumen tubulus yang secara

120

independen dapat menyebabkan cedera langsung pada ginjal sehingga


menyebabkan gagal ginjal. Nefropati urat kronik adalah suatu bentuk penyakit
ginjal kronik yang diinduksi oleh penumpukan monosodium urat pada interstitial
medulla, yang menyebabkan respons inflamasi kronik dan serupa dengan yang
terjadi pada pembentukan mikrotopus pada bagian tubuh lain, yang berpotensi
menyebabkan fibrosis interstitial dan gagal ginjal kronik. Penimbunan kristal urat
dan serangan yang berulang akan menyebabkan terbentuknya endapan seperti
kapur putih yang disebut tofi/tofus (tophus). Pada tempat tersebut endapan akan
memicu reaksi peradangan granulomatosa, yang ditandai dengan massa urat amorf
(kristal) dikelilingi oleh makrofag, limfosit, fibroblas, dan giant cell.2
Penelitian Heinig dkk. pada binatang pengerat membuktikan bahwa
hiperurisemia

meningkatkan

tekanan

darah,

menimbulkkan

lesi

pada

mikrovaskuler ginjal, glomerular dan tubulointerstitial, namun mekanismenya


masih belum diketahui. Penelitian lain pada otopsi 79-99% pasien Gout
menunjukkan lesi histologis pada nefropati urat kronik berupa glomerulosklerosis,
fibrosis interstitial, arteriosklerosis dan sering kali disertai penumpukan kristal
urat interstitial fokal. Penelitian Domrong dkk. menunjukkan bahwa odds ratio
(OR) terjadinya penurunan fungsi ginjal adalah 1.82 kali pada kadar asam urat
lebih dari 6.29 mg/dL dibandingkan dengan kadar asam urat kurang dari
4.5mg/dL. Pada penelitian ini hiperurisemia bukan merupakan hasil dari
penurunan fungsi ginjal, karena semua pasien yang diteliti memiliki GFR lebih
dari 60 ml/min/1.73 m2, dengan kesimpulan hiperurisemia merupakan faktor
independen pada gagal ginjal. Penelitian Marcelo dkk didapatkan bahwa
hiperurisemia berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit ginjal, dan
hubungan ini terganggu oleh beberapa keadaan seperti sindrom metabolik dan
faktor pengganggu lainnya. Penelitian Obermayr dkk mendapatkan, kadar asam
urat serum yang dapat mengakibatkan penyakit ginjal yaitu pada wanita 6-7
mg/dl, dan 7-8 mg/dl pada pria. Selanjutnya didapatkan peningkatan OR sebesar
25% pada kadar asam urat serum lebih dari 9.0 mg/dl dengan GFR kurang dari
60 ml/min/1.73 m2. Peningkatan kadar asam urat serum berhubungan dengan
terganggunya transportasi asam urat pada nefron ketika fungsi ginjal sedang

121

buruk, dengan hasil yang menunjukkan langsung atau tidak langsung efek toksik
dari asam urat sehingga mengakibatkan terjadinya gagal ginjal kronik.2
1.4.3 Nefrolitiasis Asam urat
Pembentukan batu merupakan proses dinamik yang melibatkan bahan-bahan
kimia dari urin. Patofisiologi terbentuknya batu diawali dari stasis urin pada
saluran kemih yang mengakibatkan penumpukan bahan-bahan organik dan
anorganik, selanjutnya terjadi presipitasi kristal dan terbentuknya inti batu,
beragregasi dan membentuk kristal yang besar. Kemudian akan menempel pada
saluran kemih dan akan beragregasi kembali sehingga membentuk batu yang lebih
besar.16
Berdasarkan data dari WHO, prevalensi penderita nefrolitiasis asam urat di
Amerika serikat yaitu 5-10 %, India kurang dari 1 %, Swedia 4 %, Jepang 15 %,
Jerman 17 %, dan Israel 40 %. Pembentukan batu asam urat ini tergantung pada
beberapa faktor diantaranya jenis kelamin, usia, herediter, kondisi geografis,
iklim, diet dan pekerjaan. Sedangkan etiologi dari pembentukan batu asam urat ini
adalah karena pH urin yang rendah, dehidrasi, dan hiperurikosuria. 16 Skema
pembentukan batu asam urat dapat dlihat pada Gambar 2.5 di bawah ini.

Gambar 6 Patofisiologi Pembentukan Batu Asam Urat


Sumber : Ngo dkk15

122

Batu asam urat dapat dihasilkan secara kongenital, didapat, atau idiopatik.
Kelainan kongenital yang berhubungan dengan batu asam urat melibatkan
transpor urat di tubulus ginjal atau metabolisme asam urat menyebabkan
hiperurikosuria. Kelainan didapat dapat berupa diare kronik, turunnya volume
urin, penyakit-penyakit myeloproliferatif, tingginya konsumsi protein hewani, dan
obat-obatan.16
Proses pembentukan batu asam urat yang diakibatkan karena pH urin yang
rendah dapat dijelaskan dengan reaksi asam dan basa. Ketika nitrogen dilarutkan
ke dalam air dan urat menerima proton bebas maka akan terbentuk asam urat dan
selanjutnya akan membentuk urat kembali. Reaksi tersebut dapat kita lihat pada
persamaan di bawah ini :
Urat + H+ Asam Urat
Dalam keadaan pH urin rendah yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan
mudah terbentuk endapan dan kristal sehingga terbentuknya batu asam urat.16
Dehidrasi dapat mengakibatkan peningkatan larutan lithogenic di dalam urin.
Karena kelarutan asam urat terbatas, tingginya kadar urat mengakibatkan
pengendapan asam urat dan menghasilkan monosodium urat. Penelitian mengenai
terbentuknya batu asam urat di daerah tropis dan lingkungan yang panas
mendukung hipotesis ini.16
Hiperurikosuria adalah ekskresi urat di dalam urin dengan jumlah lebih dari
800 mg/hari pada pria dan lebih dari 750 mg/hari pada wanita, dan dapat menjadi
faktor penyebab terjadinya pembentukan batu asam urat. Hiperurikosuria menjadi
faktor penyebab pembentukan batu karena menyebabkan hipersaturasi urin.
Menariknya pada pasien hiperurikosuria masih dapat membentuk batu asam urat
walaupun pH urin normal. Hiperurikosuria dapat disebabkan oleh diet yang tidak
benar dan mutasi di transporter URAT-1.16
1.5 Diagnosis Nefropati Urat
Penegakan diagnosis nefropati urat meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.4

123

1.5.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis ditemukan rasa nyeri pada sendi yang spesifik dan timbul secara
mendadak, rasa nyeri ini paling sering timbul pada malam hari atau pagi dini hari.
Tidak didapatkan riwayat pernah terbentur sebelumnya. Riwayat keturunan pada
anggota keluarga yang juga mengalami hiperurisemia. Usia dan jenis kelamin juga
dapat mempengaruhi faktor resiko terkena hiperurisemia.4
Pemeriksaan fisik pada penderita hiperurisemia bisa ditemukan bengkak
kemerahan pada sendi yang terkena, terdapat krepitasi pada sendi yang timbul
nyeri.4
1.5.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk memastikan diagnosis nefropati
urat. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan asam
urat serum, pemeriksaan urin rutin, dan kristal asam urat cairan sendi.4
1.5.2.1 Pemeriksaan Asam Urat Serum
Asam urat merupakan hasil akhir metabolisme purin. Pengukuran kadar asam
urat digunakan sebagai parameter diagnostik dan penanganan gangguan
metabolisme purin. Kadar Asam urat meningkat pada gagal ginjal, penyakit Gout,
lekemia, psoriasis, dan penderita yang mendapat sitostatika.4
Metode pemeriksaan asam urat darah adalah enzimatik kolorimetri dengan
prinsip pemeriksaan yaitu terbentuknya asam urat melalui reaksi dengan urikase.

H2O2 yang terbentuk dengan asam 3,5-dikloro-2-hidroksibenzenesulfonik


(DCHBS) dan 4-aminofenazone (PAP) dikatalisasi oleh peroksidase membentuk
quinoneimine yang berwarna merah keunguan sebagai indikator.

Intensitas warna larutan yang terbentuk sebanding dengan kadar asam urat
serum yang ditentukan berdasarkan peningkatan absorbansi larutan. Nilai rujukan

124

normal asam urat serum pada pria yaitu 3.4-7.0 mg/dl atau 200-420 umol/l dan
pada wanita 2.4-5.7 mg/dl atau 140-340 umol/l.4
1.5.2.2 Pemeriksaan Urin Rutin
Urinalisis atau pemeriksaan urin dapat digunakan untuk mengevaluasi
gangguan organ atau keadaan tertentu salah satunya adalah gangguan ginjal
dan keadaan hiperurisemia. Pemeriksaan urin ini meliputi pemeriksaan
makroskopis urin, kimia urin, dan mikroskopis urin.3
Makroskopis urin yang mendukung gangguan di ginjal yaitu ditemukannya
kekeruhan pada urin. Pada kimia urin dapat ditemukan bahan-bahan seperti
glukosa, protein dan lain-lain. Sedangkan pada mikroskopis urin dapat
ditemukan sedimen dan kristal. Pada keadaan hiperurisemia dan gangguan
ginjal dapat ditemukan kristal asam urat.3
1.5.2.3 Kristal Asam Urat Cairan Sendi
Asam urat merupakan produk metabolisme dari pemecahan protein, yang
terdapat pada cairan sendi dalam konsentrasi ekstraseluler yang tinggi dan
umumnya menghasilkan struktur kristal. Kristal urat berbentuk seperti jarum dan
ditemukan bebas dalam cairan atau dalam lekosit. Pemeriksaan cairan sendi
merupakan pemeriksaan untuk melihat deposit kristal asam urat pada sendi yang
mengalami peradangan (Gout).17
Metode pemeriksaan ini adalah pemeriksaan manual dengan prinsip yaitu
kristal asam urat akan mengendap bila dilakukan sentrifugasi. Bahan pemeriksaan
untuk pemeriksaan ini adalah cairan sendi. Prosedur pemeriksaan kristal asam urat
ini adalah sebagai berikut : 17

Tabung sentrifuge diisi dengan 10 cc cairan sendi

Tabung sentrifuge diletakkan ke dalam alat sentrifugasi dan tabung lain


di letakkan pada arah yang berlawanan dan sudah diisi air 10 cc (untuk
keseimbangan)

Alat sentrifugasi diputar dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit

Seluruh supernatan dituang

125

Posisi tabung ditegakkan kembali sehingga sisa-sisa supernatan yang


tidak tertuang bercampur dengan sedimen

Pada kaca obyek ditetes sedimen dan kaca penutup dipasang

Lihat di bawah mikroskop dengan pembesaran lensa objektif 10 kali.

Kondensor diturunkan kemudian lihat dengan pembesaran lensa


objektif.

2.17

Hipernatremia
Gejala & tanda tanda :

1.
2.
3.
4.
5.

Tanda tanda dehidrasi


Orthostatic hipotensi
Oliguria
Delirium koma
Lab :
a. Osmolalitas urin >400 mOsm/kg
i. Non renal : terjadi apabila penyerapan air gagal dalam
menangani keadaan hipotonis akibat keringat berlebihan,
kehilangan cairan melalui traktus respiratorius, atau melalui
cairan dari feses.
ii. Renal
:
hiperglikemia

diabetikum

menyebbkan

pseudohiponatremia, penurunan volume progresif akibat


osmosis diuretik menyebabkan keadaan hipernatremia
b. Osmolalitas urin <250 mOsm/kg
Karakteristik pada central dan diabetes insipidus nefrogenik
Tatalaksana :
Penyebab kehilangan cairan serta penggantian caran dan elektrolit yang
hilang
Terapi cairan harus dilaksanakan lebih dari 48 jam dengan tujuan
menurunkan kadar Na serum 1 mEq/L/jam
Pilihan terapi pengganti cairan :
1. Hipernatremia dengan hipovolemia

126

NaCl 0,9% untuk mengganti defisit volume cairan dan mengkoreksi


hiperosmolalitas diteruskan dengan NaCl 0,45% untuk mengganti air.
Defisit volume yang lebih banyak bisa menggunakan NaCl 0,45% dan
Destrose 5% dalam cairan
2. Hipernatremia dengan euvolemia
Minum air atau dextrose 5% dan cairan melalui intravaskular
pengeluaran Na yang berlebih melalui urin
3. Hipernatremia dengan hipervolemia
Dextrose 5% dalam cairan untuk mengurangi hiperosmolalitas tetapi akan
meningkatkan volume vaskular
Penghitungan cairan pengganti
1. Hipernatremia akut : Dextrose 5% dilanjutkan dengan cairan NaCl
0,45% (+) D5%
2. Hipernatremia kronik :
Cairan pengganti (L) = total body water (TBW) x [Na] 140
140
TBW = 0,4 0,6 dari BB

2.18

Hiperkalemi
Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah
yang naiknya secara abnormal. Tingkat potassium dalam darah yang
normal adalah 3.5- 5.0 milliequivalents per liter (mEq/L). Tingkat-tingkat
potassium antara 5.1 mEq/L sampai 6.0 mEq/L mencerminkan
hyperkalemia yang ringan. Tingkat- tingkat potassium dari 6.1 mEq/L
sampai 7.0 mEq/L adalah hyperkalemia yang sedang, dan tingkat-tingkat
potassium diatas 7 mEq/L adalah hyperkalemia yang berat/parah.
(Dawodu, S 2004)
Gejala-Gejala Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat menjadi asymptomatic, yang berarti bahwa ia
tidak menyebabkan gejala-gejala. Adakalanya, pasien-pasien dengan
hyperkalemia melaporkan gejala-gejala yang samar-samar termasuk:

mual

127

lelah
kelemahan otot
perasaan kesemutan
Gejala-gejala hyperkalemia yang lebih serius termasuk denyut

jantung yang perlahan dan nadi yang lemah. Hyperkalemia yang parah
dapat berakibat pada berhentinya jantung yang fatal. Umumnya, tingkat
potassium yang naiknya secara perlahan (seperti dengan gagal ginjal
kronis) ditolerir lebih baik daripada tigkat-tingkat potassium yang
naiknya tiba-tiba. Kecuali naiknya potassium adalah sangat cepat, gejalagejala dari hyperkalemia adalah biasanya tidak jelas hingga tingkattingkat potassium yang sangat tinggi (secara khas 7.0 mEq/l atau lebih
tinggi). (Dawodu S, 2004)
Penyebab Hyperkalemia
Penyebab-penyebab utama dari hyperkalemia adalah disfungsi
ginjal,penyakit-penyakit dari kelenjar adrenal, penyaringan potassium
yang keluar dari sel-sel kedalam sirkulasi darah, dan obat-obat. (Dawodu
S, 2004)
Disfungsi ginjal
Potassium nornmalnya disekresikan (dikeluarkan) oleh ginjalginjal, jadi penyakit-penyakit yang mengurangi fungsi ginjal-ginjal dapat
berakibat pada hyperkalemia. Ini termasuk:

AKI dan CKD


Glumerulonefritis
Lupus
penolakn transplntasi
Lebih jauh, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal

terutama adalah sensitif pada obat-obat yang dapat meningkatkan


tingkat-tingkat potassium darah. Contohnya, pasien-pasien dengan
disfungsi-disfungsi

ginjal

hyperkalemia

diberikan

jika

dapat

mengembangkan

pengganti-pengganti

perburukan
garam

yang

mengandung potassium, jika diberikan suplemen-suplemen potassium


(secara oral atau intravena), atau obat-obat yang dapat meningkatkan

128

tingkat- tingkat potassium darah. Contoh-contoh dari obat-obat yang


dapat meningkatkan tingkat-tingkat potassium darah termasuk:

2.19

ACE inhibitor
Arb
Deuretik hemat kalium
Nsaid

Hipoalbuminemia
Tiga protein yang terdapat dalam plasma adalah albumin, globulin dan

fibrinogen. Fungsi utama albumin adalah membentuk tekanan osmotik koloid


didalam plasma, yang akan mencegah hilangnya plasma dari kapiler. Globulin
terutama berperan pada imunitas alamiah tubuh dan imunitas tubuh yang dapat
melawan invasi organisme. Fibrinogen berpolimerasi menjadi fibrin selama
proses koagulasi darah. Dengan demikian terbentuk bekuan darah yang akan
membantu memperbaiki kebocoran sistem sirkulasi. Albumin memiliki jumlah
yang paling besar dari berbagai jenis protein plasma
Albumin memiliki beberapa fungsi diantaranya :
- Mempertahankan tekanan osmotik kapiler darah. Apabila terjadi
ketidakseimbangan anatara tekanan osmotik dan hidrostatik maka akan
menyebabkan terjadinya edema
- Albumin mentranspor berbagai macam zat-zat didalam tubuh seperti
bilirubin, asam lemak, hormor dan beberapa obat. Apabila terjadi
penurunan jumlah albumin didalam darah maka akan meningkatkan kadar
obat didalam darah melebihi dosis yang diharapakan sehingga dapat
menimbulkan bahaya.
- Acid base balance, antioksidan dan antikoagulan
Kadar albumin normal 3.5-4.5g/dL, disintesisi oleh hepar dalam jumalah
15g/hari dan daat bervariasi tergantung respon fisiologis yang dihadapi.
Sedangkan waktu paruh albumin kira-kira 21 hari dengan rata-rata degradasi
4%/hari. Hipoalbumin dapat terjadi pada masalah penyakit kronis maupun
akut dan dapat terjadi pada kasu-kasus seperti sindrom nefrotik, sirosis
hepatik, gagal jantung dan malnutrisi berat. Penyabab terbanyak terjadinya
hipoalbuminemia adalah adanya respon inflamasi yang akut maupun kronis.

129

Hipoalbuminemia dapat terjadi oleh karena adanya gangguan dalam


sintesis, sekresi, transfor dan degradasi albumin. Albumin disekresi oleh hati
dan tidak dilakukan penyimpanan di hati. Kira-kira 30-40% ditemukan pada
kompartmen vaskular yaitu otot, kulit, hati, saluran pencernaan dan jaringan
lainnya. Waktu paruh albumin kira-kira 16 jam dan akan di metabolisme
didalam intravaskular, namun pada keadaan-keadaan tertentu dapat terjadi
peningkatan kehilangan albumin seperti nephrosis, limfedema, dan edema.
Proses degradasi albumin masih belum jelas, disebutkan bahwa albumin
didegradasi pada bagian kapiler, sumsum tulang dan sinuses liver
Kapiler glomerulus cukup impermeabel terhadap protein , sehingga cairan
hasil filtrasi pada dasarnya bersifat bebas protein dan tidak mengandung
elemen seluler termasuk sel darah merah. Membran kapiler glomerulus mirip
dengan membran kapiler yang lainnyakeculai bahwa membran tersebut
memiliki tiga lapisan (1) endotelitum kapiler (2) membarn dasar dan (3)
lapisan sel epitelial (podosit). Lapisan ini membentuk sawar filtrasi yang
dapat menyaring air dan zat terlarut. Membran kapiler glomerulus juga
normalnya mencegah filtrasi protein plasma, bahkan pada laju filtrasi yang
tinggi, karena sel endotel ini kaya akan muatan negatif tertentu yang
menhambat aliran protein plasma. Protein dalam plasma menyebabkan
tekanan osmotik koloid plasma. Hanya molekul atau ion yang tidak dapat
melalui pori-pori membran semipermeabel yang dapat menimbulkan tekanan
osmotik.
Prognosis
Setiap penurunan albumin 10g/L, mortali atas meningkat 137% dan
morbiditas 89%
Analisis kasus :
Pada pasien ditemukan terdapat adanya kadar albumin darah yang
menurun, hal ini dapat disebabkan karena suatu proses pre renal yang cukup
lama yaitu hipertensi dan decom sehingga perfusi ke ginjal menurun yang
menyebabkan rusaknya sawar filtrasi glomerulus, sehingga albumin dapat
lolos dan dikeluarkan melalui urin dalam jumlah yang cukup banyak

130

2.20

Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan penurunan utama dalam konsentrasi

serum bikarbonat (HCO3-), penurunan sekunder dalam arteri tekanan parsial


karbon dioksida (PaCO2), dan penurunan pH darah. asidosis metabolik sering
terjadi sebagai bagian dari gangguan asam basa campuran, terutama di kalangan
sakit kritis. asidosis metabolik dapat akut (berlangsung menit sampai beberapa
hari) atau kronis (berlangsung minggu untuk tahun) dalam durasi.
Penurunan HCO3- dengan asidemia.
Diklasifikasikan ke dalam peningkatan asidosis anion gap dan normal anion gap
asidosis.
Asidosis laktat, ketoasidosis, dan racun menghasilkan asidosis metabolik dengan
kesenjangan anion terbesar.
Normal gap anion asidosis terutama disebabkan oleh kehilangan HCO3gastrointestinal atau RTA. gap anion kemih dapat membantu membedakan antara
penyebab ini.
gap anion serum
Kesenjangan serum anion, didefinisikan sebagai [Na +] - ([Cl -] + [HCO3-]),
adalah alat diagnostik yang berharga sebagai berbagai gangguan yang
menghasilkan asidosis metabolik dapat mempengaruhi serum anion gap berbeda.
Tidak ada perubahan dalam gap anion diamati di beberapa gangguan (gap anion
normal atau asidosis hiperkloremik), sedangkan pada gangguan lain kesenjangan
serum anion meningkat (gap anion tinggi asidosis metabolik) . Mixed normal dan
tinggi anion pola gap juga umum. Kisaran normal untuk gap serum anion relatif
lebar (6-10 mmol / l), sebuah temuan yang mencerminkan variabilitas biologis
konstituennya. Selain itu, nilai rata-rata dari laboratorium klinis yang berbeda
bervariasi: berarti gap anion serum adalah 11 2,5 mmol / l dalam satu
laboratory34 dan 6 3 mmol / l di another. nilai rata-rata yang lebih rendah hasil
dari tinggi serum konsentrasi Cl- diperoleh jika menggunakan sebuah
Pengetahuan electrode. ionspecific dari mean dan rentang nilai normal untuk gap

131

serum anion untuk laboratorium tertentu dan nilai dasar dari gap anion individu
karena itu diperlukan untuk interpretasi yang optimal dari perubahan nilai.
Beberapa faktor dapat mengubah gap serum anion. Parameter ini dikurangi
dengan ~ 2.3 mmol / l untuk setiap 10 g / l penurunan konsentrasi serum albumin.
Akumulasi paraproteins kationik, bromida, atau iodida dalam serum dapat
menurunkan anion gap atau bahkan membuat itu negative. Sebaliknya, akumulasi
protein para anion atau pengembangan hyperphosphatemia dapat menaikkan gap.
serum anion memang, sebagian besar kasus kesenjangan anion serum sangat
tinggi (yaitu, nilai-nilai> 45 mmol / l) berhubungan dengan hyperphosphatemia.
parah Namun, penyebab paling umum dari kesenjangan serum anion tinggi adalah
akumulasi anion organik atau anorganik di asidosis metabolik.
Dampak dari akumulasi asam pada gap anion telah dikonseptualisasikan sebagai
berikut. Jika asam terakumulasi dalam darah adalah asam klorida, maka tidak ada
perubahan dalam gap anion akan diharapkan (gap anion normal atau hiper asidosis
metabolik chloremic) karena ditahan Cl adalah stoikiometri setara dengan HCO3dititrasi dengan proton dipertahankan. Kesenjangan serum anion dalam jenis
asidosis benar-benar dapat jatuh sedikit karena titrasi asam protein beredar.
Di sisi lain, jika asam mengumpulkan mengandung anion selain Cl- (seperti
halnya dengan betahydroxybutyrate, misalnya), maka penurunan konsentrasi
serum HCO3- dikaitkan dengan ketinggian di gap anion (anion gap tinggi
metabolik asidosis) 0,33 ketika konsentrasi HCO3- melebihi anion gap, kita
dapat menyimpulkan bahwa hidup bersama hiper asidosis chloremic hadir.
Namun, jika konsentrasi HCO3- lebih rendah dari anion gap , alkalosis hidup
bersama metabolik (atau gangguan hyperbicarbonatemic lainnya) dianggap
present.
Seperti dibahas secara rinci di tempat lain, evolusi hubungan antara gap anion
dan konsentrasi HCO3- dengan asidosis organik lebih kompleks daripada yang
disarankan oleh analisis ini. Faktor yang terlibat dalam menentukan hubungan ini
mencakup ruang distribusi yang terlibat anion / s dan proton, tingkat ekskresi

132

anion kemih dan generasi ginjal HCO3-, dan kuantitas infus fluids. Cl yang
mengandung Sebagai konsekuensinya, gap anion konsentrasi / HCO3biasanya 1: 1 pada pasien dengan ketoasidosis, seringkali lebih besar dari 1: 1
(dan dapat setinggi 1,6-1,8: 1) pada pasien dengan asidosis laktat, dan biasanya
kurang dari 1: 1 pada pasien dengan toluena keracunan dan dalam beberapa kasus
ketoacidosis diabetes.
Karakterisasi pola gap anion memiliki implikasi untuk tidak hanya diagnosis,
tetapi juga untuk mengobati ment. Peningkatan dalam gap serum anion terkait
dengan akumulasi anion organik merupakan sumber potensial dari dasar. Setelah
gangguan metabolik adalah cor rected, akumulasi anion akan dikonversi ke equiva
meminjamkan jumlah dasar dan harus diperhitungkan selama pengobatan (lihat di
bawah).
studi diagnostik tambahan
Box 1 menunjukkan studi yang harus dilakukan dalam evaluasi baik anion tinggi
dan anion gap yang normal asidosis metabolik. Pengukuran serum dan urine
keton, serum laktat, kreatinin serum, salisilat serum, osmolalitas serum dan
kesenjangan osmolal, dan dalam beberapa kasus, tingkat serum alkohol beracun
dan konsentrasi urin asam organik, akan mendeteksi lebih dari 90% dari penyebab
anion gap tinggi osis asam metabolik. Dalam beberapa kasus, sifat asam
terakumulasi akan menentang penelitian bahkan canggih, seperti kinerja tinggi
chromatography.
Pengukuran serum dan urin keton biasanya akan mengidentifikasi ketoasidosis,
tetapi tes untuk keton hanya mengakui asetoasetat. Dengan demikian, dalam
alkohol keto asidosis atau dalam kasus di mana berdampingan asidosis laktat
(yaitu, pada gangguan yang mendukung betahydroxybutyrate forma tion), jejak
positif atau bahkan pembacaan negatif dapat diperoleh. Sebuah serum laktat
konsentrasi> 5 mmol / l akan mengidentifikasi pasien dengan tipe klasik A osis
asam laktat. Namun, tes rutin untuk laktat mendeteksi hanya lisomer tersebut; tes
khusus diperlukan untuk mendeteksi hadir disomer di acidosis acid.

133

Metabolit alkohol beracun tertentu menghasilkan asidosis metabolik meta.Seperti


alkohol ini memiliki berat molekul rendah (mulai dari 32kDa ke 106kDa), tion
accumula mereka secara substansial mengangkat serum osmolalitas dan
menyebabkan perbedaan antara estimasi dan diukur osmolalitas serum, disebut
kesenjangan osmolal. Osmolalitas serum dapat diperkirakan dengan menggunakan
rumus berikut:
Osmolalitas serum (mOsm / l) = 2 [Na +] (mmol / l) + [urea nitrogen darah] (mg
/ dl) /2.8 + [glukosa] (mg / dl) / 18
Biasanya, perbedaan antara taksiran osmolalitas serum dan yang diukur dengan
titik beku depres sion adalah 10 mOsm / l (10 mmol / kg). Sebuah peningkatan
kecil di celah osmolal dapat dilihat pada ketoasidosis, asidosis laktat, dan failure.
ginjal kronis Namun, kesenjangan serum osmolal> 20mOsm / l (> 20mmol / kg)
Cates selalu indi akumulasi salah satu alkohol beracun atau ethanol. Khususnya,
tidak adanya kenaikan dalam osmolalitas serum tidak mengecualikan beracun
alkohol Inges tion. Jika waktu yang cukup telah berlalu untuk sebagian besar
alkohol orangtua untuk dimetabolisme menjadi asam organik, osmolalitas serum
hanya bisa minimal perturbed. Pengukuran etanol, metanol, etilena glikol, dietilen
glikol, dan dalam beberapa kasus propilen glikol, adalah ditunjukkan dengan
adanya peningkatan kesenjangan serum osmolal atau ketika keracunan alkohol
beracun adalah sus pected atas dasar temuan klinis. pemeriksaan mikroskopik dari
urin untuk kristal kalsium oksalat atau penggunaan pemeriksaan lampu kayu
untuk mendeteksi fluores cence urin dapat membantu dalam kasus-kasus di mana
keracunan etilena glikol dicurigai, meskipun metode ini memiliki keterbatasan,
termasuk potensi hasil falsenegative dan falsepositive.

Anion gap tinggi asidosis metabolik


Kedua cedera ginjal akut dan CKD dapat menyebabkan asidosis metabolik,
gangguan terakhir menjadi penyebab paling umum dari ketoasidosis diabetes.
Asidosis metabolik kronis dan asidosis laktat adalah penyebab paling umum dari

134

asidosis metabolik meta akut: bersama-sama mereka account untuk sekitar 85%
dari kasus ketika asam basa metabolik parah (pH darah <7,1). Beralkohol
ketoasidosis merupakan penyebab yang kurang sering asidosis metabolik akut dan
yang paling sering diamati setelah pesta minuman keras. Asidosis lactic adalah
kelainan langka biasanya ditemukan di idividu dengan short bowel syndrome.
Kehadiran tanda-tanda neurologis dan gejala, seperti ataksia dan bicara cadel.
Keracunan salisilat yang paling umum terjadi pada individu yang mencoba bunuh
diri atau pada pasien yang lebih tua mengambil terapi untuk pengobatan rheumatic
disorders. Dengan tidak adanya riwayat konsumsi salisilat, kehadiran alkalosis
pernapasan merupakan petunjuk penting untuk diagnosis salisilat kemabukan.
alkohol beracun, termasuk methanol, ethylene glycol, dietil ene glikol, dan
propilen glikol, adalah penyebab umum dari acidosis. metabolik Asidosis
metabolik yang disebabkan oleh methanol, etilena glikol dan dietilen glikol intoxi
kation memiliki risiko kematian yang tinggi, jika tidak diakui awal. Propylene
glycol, pengencer yang biasa digunakan dalam beberapa obat termasuk
benzodiazepin, dapat menyebabkan asidosis laktat pada pasien yang menerima
dosis tinggi tions medica ini intravenously. Penyebab yang jarang asidosis
metabolik adalah akumulasi asam pyroglutamic yang dihasilkan dari konsumsi
berlebihan acetaminophen. akhirnya, puasa, terutama jika berkepanjangan, dapat
menyebabkan ketoasidosis ringan.

TERAPI
Pengobatan yang paling baik untuk asidosis adalah mengoreksi keadaan
yang menyebabkan kelainan, sering kali pengobatan ini menjadi sulit
terutama pada penyakit kronis yang menyebabkan gangguan fungsi paru atau
gagal ginjal. U n t u k m e n e t r a l k a n k e l e b i h a n a s a m s e j u m l a h b e s a r
n a t r i u m b i k a r b o n a t d a p a t diserap melalui mulut. Natrium bikarbonat
diabsorbsi

dari

traktus

gastroinstestinal

kedalam

darah

dan

meningkatkan bagian bikarbonat pada sistem penyangga bikarbonat

135

sehingga meningkatkan pH menuju normal. Natrium bikarbonat dapat


juga diberikansecara intravena. Untuk pengobatan asidosis respiratorik
dapat diberikan O2 d a n j u g a obat-obatan yang bersifat bronkodilator.
Sementara ini penanganan gagal ginjal baru sebatas terapi
u n t u k m e n g o n t r o l tingkat keasaman darah, yaitu dengan memberikan
obat yang mengandung zat bersifat basa (alkalis) secara berkala (periodik),
sehingga tercapai tingkat keasaman netral, seperti pada orang normal. Zat basa ini
mengandung bahan aktif natrium bikarbonat (biknat).

Daftar Pustaka
1.

New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels:
Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown

2.

ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008

3.

Wortmann RL. 2005. Gout and Other Disorders of Purine Metabolism. Dalam:
Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, editor. Harrisons Principles of Internal
Medicine Edisi ke-16. New York: McGraw Hill.

4.

Obermayr RP, Temml C, Gutjahr G, Knechtelsdorfer M, Oberbauer R,

et al.

2008. Elevated Uric Acid Increases the Risk for Kidney Disease. J Am Soc
Nephro
5.

[Guideline] Mermel LA, Allon M, Bouza E, et al. Clinical practice guidelines


for the diagnosis and management of intravascular catheter-related infection: 2009
Update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2009 Jul 1.
49(1):1-45.

6.

Leonard JD, Printen KJ. Thrombophlebitis in the elderly. Am Surg. 1980 Aug.
46(8):441-3.

7.

Baker CC, Petersen SR, Sheldon GF. Septic phlebitis: a neglected disease. Am

136

J Surg. 1979 Jul. 138(1):97-103.


8.

Pruitt BA Jr, McManus WF, Kim SH, Treat RC. Diagnosis and treatment of
cannula-related intravenous sepsis in burn patients. Ann Surg. 1980 May.
191(5):546-54.

9.

Strinden WD, Helgerson RB, Maki DG. Candida septic thrombosis of the
great central veins associated with central catheters. Clinical features and
management. Ann Surg. 1985 Nov. 202(5):653-8

10.

Verghese

A,

Widrich

WC,

Arbeit

RD.

Central

venous

septic

thrombophlebitis--the role of medical therapy.Medicine (Baltimore). 1985 Nov.


64(6):394-400.
11.

Sinave CP, Hardy GJ, Fardy PW. The Lemierre syndrome: suppurative
thrombophlebitis of the internal jugular vein secondary to oropharyngeal
infection. Medicine (Baltimore). 1989 Mar. 68(2):85-94.

12.

Moore-Gillon J, Lee TH, Eykyn SJ, Phillips I. Necrobacillosis: a forgotten


disease. Br Med J (Clin Res Ed). 1984 May 19. 288(6429):1526-7.

13.

Chirinos JA, Lichtstein DM, Garcia J, Tamariz LJ. The evolution of Lemierre
syndrome: report of 2 cases and review of the literature. Medicine (Baltimore).
2002 Nov. 81(6):458-65.

14.

Garcia

J, Aboujaoude

R, Apuzzio

J, Alvarez

JR.

Septic

pelvic

thrombophlebitis: diagnosis and management.Infect Dis Obstet Gynecol. 2006.


2006:15614.
15.

Southwick FS, Richardson EP Jr, Swartz MN. Septic thrombosis of the dural
venous sinuses. Medicine (Baltimore). 1986 Mar. 65(2):82-106.

16.

Khardori N, Yassien M. Biofilms in device-related infections. J Ind Microbiol.


1995 Sep. 15(3):141-7.

17.

Arnow PM, Quimosing EM, Beach M. Consequences of intravascular catheter


sepsis. Clin Infect Dis. 1993 Jun. 16(6):778-84.

18.

Brown CE, Stettler RW, Twickler D, Cunningham FG. Puerperal septic pelvic
thrombophlebitis: incidence and response to heparin therapy. Am J Obstet
Gynecol. 1999 Jul. 181(1):143-8

19.

Plemmons RM, Dooley DP, Longfield RN. Septic thrombophlebitis of the

137

portal vein (pylephlebitis): diagnosis and management in the modern era. Clin
Infect Dis. 1995 Nov. 21(5):1114-20.
20.

Meda MS, Lopez AJ, Guyot A. Candida inferior vena cava filter infection and
septic thrombophlebitis. Br J Radiol. 2007 Feb. 80(950):e48-9.

21.

Lee BK, Lopez F, Genovese M, Loutit JS. Lemierre's syndrome. South Med J.
1997 Jun. 90(6):640-3.

22.

David H. A 21-year-old man with fever and abdominal pain after recent
peritonsillar abscess drainage. Am J Emerg Med. 2009 May. 27(4):515.e3-4.

23.

Cannon ML, Antonio BL, McCloskey JJ, Hines MH, Tobin JR, Shetty AK.
Cavernous sinus thrombosis complicating sinusitis. Pediatr Crit Care Med. 2004
Jan. 5(1):86-8.

24.

Watkins LM, Pasternack MS, Banks M, Kousoubris P, Rubin PA. Bilateral


cavernous sinus thromboses and intraorbital abscesses secondary to Streptococcus
milleri. Ophthalmology. 2003 Mar. 110(3):569-74.

25.

Richet H, Hubert B, Nitemberg G, et al. Prospective multicenter study of


vascular-catheter-related complications and risk factors for positive centralcatheter cultures in intensive care unit patients. J Clin Microbiol. 1990 Nov.
28(11):2520-5.

26.

Maki DG, Kluger DM, Crnich CJ. The risk of bloodstream infection in adults
with different intravascular devices: a systematic review of 200 published
prospective studies. Mayo Clin Proc. 2006 Sep. 81(9):1159-71.

27.

Hagelskjaer LH, Prag J, Malczynski J, Kristensen JH. Incidence and clinical


epidemiology of necrobacillosis, including Lemierre's syndrome, in Denmark
1990-1995. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 1998 Aug. 17(8):561-5.

28.

Riordan T, Wilson M. Lemierre's syndrome: more than a historical curiosa.


Postgrad Med J. 2004 Jun. 80(944):328-34.

29.

Cooley K, Grady S. Minimizing catheter-related bloodstream infections: one


unit's approach. Adv Neonatal Care. 2009 Oct. 9(5):209-26; quiz 227-8.

30.

Garrison

RN,

Richardson

JD,

Fry

DE.

Catheter-associated

septic

thrombophlebitis. South Med J. 1982 Aug. 75(8):917-9.


31.

[Guideline] Larsen JW, Hager WD, Livengood CH, Hoyme U. Guidelines for

138

the diagnosis, treatment and prevention of postoperative infections. Infect Dis


Obstet Gynecol. 2003. 11(1):65-70.
32.

Kagel EM, Rayan GM. Intravenous catheter complications in the hand and
forearm. J Trauma. 2004 Jan. 56(1):123-7.

33.

Ames JT, Federle MP. Septic thrombophlebitis of the portal venous system:
clinical and imaging findings in thirty-three patients. Dig Dis Sci. 2011 Jul.
56(7):2179-84.

34.

Bogue CO, Leahy TR, Rea DJ, et al. Idiopathic suppurative pylephlebitis:
interventional radiological diagnosis and management. Cardiovasc Intervent
Radiol. 2009 Nov. 32(6):1304-7.

35.

Mori H, Fukuda T, Isomoto I, Maeda H, Hayashi K. CT diagnosis of catheterinduced septic thrombus of vena cava. J Comput Assist Tomogr. 1990 Mar-Apr.
14(2):236-8.

36.

Linn J, Ertl-Wagner B, Seelos KC, et al. Diagnostic value of multidetectorrow CT angiography in the evaluation of thrombosis of the cerebral venous
sinuses. AJNR Am J Neuroradiol. 2007 May. 28(5):946-52.

37.

Twickler DM, Setiawan AT, Evans RS, et al. Imaging of puerperal septic
thrombophlebitis: prospective comparison of MR imaging, CT, and sonography.
AJR Am J Roentgenol. 1997 Oct. 169(4):1039-43.

38.

Sashi R, Ito I, Watarai J, Miura K, Horie Y. Thrombophlebitis of the inferior


vena cava involving the retroperitoneum with Crohn's disease: MR demonstration.
Magn Reson Imaging. 1997. 15(9):1099-101.

39.

Picardi M, Pagliuca S, Chiurazzi F, Iula D, Catania M, Rossano F, et al. Early


ultrasonographic finding of septic thrombophlebitis is the main indicator of
central venous catheter removal to reduce infection-related mortality in
neutropenic patients with bloodstream infection. Ann Oncol. 2012 Mar 2.

40.

Mertz D, Khanlari B, Viktorin N, Battegay M, Fluckiger U. Less than 28 days


of intravenous antibiotic treatment is sufficient for suppurative thrombophlebitis
in injection drug users. Clin Infect Dis. 2008 Mar 1. 46(5):741-4.

41.

Golpe R, Marn B, Alonso M. Lemierre's syndrome (necrobacillosis). Postgrad


Med J. 1999 Mar. 75(881):141-4.

139

42.

Josey WE, Staggers SR Jr. Heparin therapy in septic pelvic thrombophlebitis:


a study of 46 cases. Am J Obstet Gynecol. 1974 Sep 15. 120(2):228-33

140

Anda mungkin juga menyukai