ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama
: Ny. T
Umur
: 57 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
Keluhan Utama
Riw. DM disangkal
Riwayat Pengobatan
Riwayat Alergi
Riwayat Psikososial :
Os tidak merokok dan tidak minum alkohol. Os mengatakan masih suka
makan makanan yang asin. Os tidak sering mengkonsumsi kopi. Os
istirahat cukup, kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga
1.2
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
TTV
TD
: 90/60 mmHg
Nadi
: 88 x/ menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 36,5C
Status Generalis
Kepala
: Normocephal
Mata
Hidung
tidak
terdapat tanda-tanda perdarahan ginggiva,
Leher
Thorax :
Normo Chest
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Vocal fremitus menurun pada kedua lapang paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar pada ICS VI
dextra
Auskultasi : vesikuler (/), wheezing (+/+), ronkhi (+/+).
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternalis dextra,
batas jantung kiri atas pada ICS III linea parasternalis sinistra, batas kiri
bawah pada ICS V lateral linea midaksillaris sinistra
Auskultasi : BJ I/II reguler murni normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Supel, hepatosplenomegaly (-), nyeri tekan (-)
Atas
Bawah
-/-
-/-
Sianosis
Akral
hangat
hangat
Edema
+/+
+/+
Status Neurologis
Dalam batas normal
1.3
PEMERIKSAAN PENUNJANG
10
11
12
1.4
Kata/Kalimat Kunci :
1. Sesak nafas Memberat saat aktifitas
2. Nyeri dada menjalar kepunggung
3. Batuk
4. Tidur menggunakan 2 bantal
5. Mual
6. Muntah
7. Nyeri perut
8. Napsu makan menurun
9. perut kembung
10. Mencret 4 kali per hari
11. Riw. cuci darah 2 kali
12. Pusing berputar setiap berubah posisi
13. Bengkak seluruh badan (pitting oedema)
14. BAK sedikit
15. Riw. HT 5thn terkontrol
16. Mengkonsumsi makanan yang asin
17. konsumsi amlodipin
18. Konjungtiva anemis
19. JVP meningkat
20. Vocal premitus Dex/Sin menurun
13
1.5
Daftar Masalah
1. CKD : Reny
2. DC : April
14
3. Gastropati : Erlyn
4. Diare/GEA : Ubis
5. Anemi mikrositik hipokrom : Reyyan
6. Efusi pleura : Veby
7. Ascites : Syaepul
8. Hipertensi : Erlyn
9. Vertigo : Bayu
10. Plebitis : Haikal
11. HAP : Ubis
12. Encephalopaty uremikum : Syaepul
13. Hipokalsemi : April
14. Edema paru : Mayang
15. Sindrom nefrotik : Mayang
16. Hiperurisemia : Haikal
17. Hipernatremi : Reyyan
18. Hiperkalemi : Bayu
19. Hipoalbuminemia : Reny
20. Asidosis metabolik : Veby
15
BAB II
PEMBAHASAN KASUS
2.1
a.
-
Penyebab
Pre renal
Renal
Post renal
b. Kriteria GFR
c. Kriteria Albuminuria
16
17
Prognosis
2.2
DC (Decompensatio Cordis)
18
Definisi
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk
mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi
pompa jantung.
Epidemiologi
20 per 1000 individu berusia 65 - 69 tahun, > 80 per 1000 individu di
antara mereka yang berusia 85 tahun. Sekitar 5,1 juta orang di Amerika
Serikat memiliki gejala gagal jantung. Prevalensi gagal jantung meningkat
menjadi 90 - 121 per 1.000 pada tahun 1994 - 2003.
Etiologi
Menurut penyebabnya gagal jantung dibagi berdasarkan :
1. Myocardial damage
a. Ischemic Heart Disease (IHD) difus atau regional
b. Miokarditis
Viral, demam rematik, bakterial, fungal.
c. Kardiomiopati
Kardiomiopati
iskemik,
kardiomiopati
diabetik,
kardiomiopati
19
b.
Hipertensi Sistemik
Koarktasio Aorta
Aorta Stenosis
Pulmonal Stenosis
-Mitral Regurgitasi
-Aorta Regurgitasi
-Ventricular Septal Defect (VSD)
-Atrial Septal Defect (ASD)
-Patent Ductus Arteriosus (PDA)
c.
-Mitral Stenosis
-Triskupid Stenosis
-Tamponade Jantung
-Atrial Miksoma
-Kardiomiopati Restriktif
-Perikarditis Kontriktif
d.
Kor pulmonal
20
e.
Kelainan Metabolik
-Beri-beri
-Anemia Kronik
-Penyakit Tiroid
f.
Kardiomiopati Toksik
-Alkohol
-Vincristin
-Bir
-Kokain
g.
Trauma
-Miokardial Fibrosis
-Perikardial Kontriktif
h.
Kegananasan
-Limfoma
-Rabdomiosarkoma
Klasifikasi
21
Kapasitas
Fungsional
Objektif
Class I
aktivitas
fisik.
Aktivitas
fisik
biasa
tidak
Class III
Class IV
semakin meningkat.
Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart
and Blood Vessels: Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston,
Little Brown
Gejala Klinis
22
Diambil dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008
Manifestasi Klinis
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode
yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan
diastolic.
23
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi (EKG)
Electrocardiography tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH
tetapi hanya merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular
aritmia) sebagai faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi.
Hasil pemeriksaan ECG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal
jantung..
24
Echocardiography
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes
ini membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi.
Kelemahan echocardiography adalah relative mahal, hanya ada di rumah
sakit dan tidak tersedia untuk pemeriksaan skrining yang rutin untuk
hipertensi pada praktek umum. Ekokardiografi dapat secara nyata
menggambarkan stuktur jantung, data tekanan, dan status fungsional
jantung sehingga dapat mengetahui pembesaran ruang jantung dan
etiologi.
Penatalaksanaan
25
Non medikamentosa
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat,
dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benarbenar dengan tirah baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang
relatif meningkat. Sering tampak gejala gejala jantung jauh berkurang
hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan
rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita dengan
gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan
diberikan sebanyak 80 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
Intervensi Mekanik dan Operasi
Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF
refrakter maka intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan
dukungan sirkulasi yang lebih efektif. Terapi ini termasuk intraaortic
balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi jantung.
Prognosis
Pada bayi dan anak lebih baik daripada orang dewasa bila ditolong dengan
segera. Hal ini disebabkan oleh karena belum terjadi perburukan pada
miokardium. Ada beberapa faktor yang menentukan prognosa, yaitu :
timbul serangan akut atau menahun, derajat beratnya gagal jantung,
26
Gastropati
Gastropati uremik adalah istilah yang umum digunakan untuk
menggambarkan tanda-tanda pencernaan bagian atas dan perubahan
histopatologis terkait dengan uremia pada gagal ginjal. gejala klinis
gangguan saluran cerna atas pada pasien uremik bervariasi, karena
mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat keparahan
gangguan fungsi ginjal, tingkat stres pasien, dan pengobatan.
Perdarahan Gastrointestinal dan gejala dispepsia, seperti anoreksia,
muntah, mulas, dan perut terasa penuh setelah makan, yang umum pada
pasien
ini,
meskipun
mereka
mungkin
tidak
memiliki
gejala.
dianggap
sebagai
faktor
kunci
dalam
patofisiologi
lesi
dalam
modulasi
motilitas
gastrointestinal
(misalnya,
terkait,
seperti
anemia,
hiperkalemia,
hipokalsemia,
27
2.4
Diare/GEA(Gastroenteritis Akut)
Acute diarrhea is defined as stool with increased water content,
volume, or frequency that lasts less than 14 days. Pada kasus ini pasien
mengeluhkan BAB cair (mencret) lebih dari 4x sehari sudah terjadi selama
3 hari. Pada pasien ini berdasarkan tabel dibawah termasuk kedalam diare
noninflamatory karena pasien ini BAB nya cair, ada mual dan muntah,
pasien kadang demam dan ditemukan adanya nyeri pada perut, walaupun
pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan feses rutin , tetapi
berdasarkan tabel diatas pasien termasuk kedalam diare noninflamatory.
PHYSICAL EXAMINATION
The primary goal of the physical examination is to assess the
patient's degree of dehydration. Generally ill appearance, dry mucous
membranes, delayed capillary refill time, increased heart rate, and
abnormal orthostatic vital signs can be helpful in identifying more severe
dehydration. Fever is more suggestive of inflammatory diarrhea. The
abdominal examination is important to assess for pain and acute
28
29
30
risk of hemolytic
uremic
syndrome. Conservative
31
TEORI
KELOMPOK
KASUS
ini tidak
KRITERIA
ANEMIA (Hb)
Laki-laki dewasa
<13 g/dl
Wanita dewasa
<12 g/dl
tidak hamil
Wanita hamil
Pada kasus Hb =
4.0 g/dl.
Maka pasien
<11 g/dl
didiagnosis
sebagai anemia.
2.5
32
TEORI KLASIFIKASI
I.
Anemia hipokromik mikrositer
(bila MCV <80fl dan MCH <27pg)
a.
b.
c.
d.
I.
I.
Anemia makrositer
(bila MCV >95)
a. Bentuk megaloblastik
33
34
Anemia ini biasanya bersifat sekunder, dalam arti ada penyakit primer
yang mendasarinya. Perbedaan anemia ini dengan anemia defisiensi besi
tampak pada feritin yang tinggi dan TIBC yang rendah
3.
Anemia sideroblastik
Terjadi karena adanya gangguan pada rantai protoporfirin. Menyebabkan
besi yang ada di sumsum tulang meningkat sehingga besi masuk ke
dalam eritrosit yang baru terbentuk dan menumpuk pada mitokondria
perinukleus.
4. Thalasemia
Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi
karena sintesis hb yang abnormal dan juga karena berkurangnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang normal
Pengobatan Anemia Mikrositik Hipokrom
1. Anemia defisiensi besi :
a. Terapi besi oral Ferro sulfat, mengandung 67mg besi Ferro
glukonat, mengandung 37 mg besi.
b. Terapi besi parenteral biasa digunakan untuk pasien yang tidak
bisa mentoleransi penggunaan besi oral. Besi-sorbitol-sitrat
diberikan secara injeksi intramuskular Ferri hidroksida-sukrosa
diberikan secara injeksi intravena lambat atau infus
c. Pengobatan Lain Diet, diberikan makanan bergizi tinggi protein
terutama yang berasal dari protein hewani Vitamin C diberikan 3
x 100mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi Transfusi
darah, pada anemia def. Besi dan sideroblastik jarang dilakukan
(untuk menghindari penumpukan besi pada eritrosit)
2. Anemia pada penyakit kronik. Tidak ada pengobatan khusus yang
mengobati penyakit ini, sehingga pengobatan ditujukan untuk
penyakit yang mendasarinya. Jika anemia menjadi berat, dapat
dilakukan transfusi darah dan pemberian eritropoietin.
35
Efusi Pleura
Efusi Pleura merupakan akumulasi cairan di antara pleura parietalis
dan pleura visceralis. Dalam keadaan normal cairan dapat memasuki ruang
pleura melalui kapiler yang berasal dari pleura parietalis dan di reabsorbsi
oleh sistem limfatik di pleura parietalis. Akumulasi cairan juga dapat
berasal dari jaringan interstisial paru melalui pleura visceralis atau dari
peritonial melalui lubang kecil pada diafragma. Untuk menegakan
diagnosis efusi pleura perlu untuk membedakan jenis cairan efusi, apakah
cairan merupakan hasil proses transudasi atau eksudasi. Proses transudasi
terjadi apabila proses sistemik mempengaruhi terjadinya akumulasi cairan,
seperti pada kegagalan ventrikel kiri dan pada sirosis.
Sedangkan proses eksudasi terjadi apabila faktor lokal yang
mempengaruhi terjadinya efusi seperti pneumonia, TBC paru, malignansi,
embori paru dan lainnya.
Penyebab efusi adalah sama dengan yang menyebabkan terjadinya
edema pada jaringan lain (1) Hambatan drainase limfatik dari rongga
pleura (2) pada gagal jantung yaitu disebabkan oleh tekanan kapiler perifer
dan paru yang meningkat sehingga menyebabkan transudasi cairan yang
berlebihan kedalam rongga pleura (3) tekanan osmotik koloid plasma yang
menurun, sehingga memungkin transudasi cairan yang berlebihan dan (4)
infeksi atau setiap penyebab peradangan lainnya pada permukaan rongga
36
Analisis Kasus :
37
Pemeriksaan Penunjang
1. Imaging
Ketika curiga terjadinya efusi pleura maka perlu untuk melakukan
rontgen thorak dalam mengkonfirmasi diagnosis. Abnormalitas pada
rontgen thorak akibat efusi pleura dapat dideteksi pada posisi foro
posteroanterior apabila jumalah akumulasi cairan 200mL, dan pada foto
lateral sudah mulai terdeteksi adanya akumlasi cairan dengan jumlah
cairan sekitar 50mL
Apabila dengan fotothorak tidak meyakinkan, maka dapat
dilakukan pemeriksaan USG. USG dapat lebih akurat dalam mendeteksi
efusi pleura dibansingkan pemeriksaan aukultasi ataupun rontgen
thorak dan lebih sensitif dalam mendeteksi terjadinya akumulasi cairan
di pleura yang bersepta.USG dapat mendeteksi efusi pleura dalam
jumlah yang kecil
38
Analisis kasus :
Pada pemeriksaan rontgen thorak ternyata didapatkan adanya
penumpulan pada sinus costo phrenicus kanan dan kiri yang
mengindikasikan telah terjadinya efusi pleura bilateral. Adapun pada
pemeriksaan fisik tidak terdeteksi bisa disebabkan oleh karena
minimalnya akumulasi cairan di pluera kanan.
2. Thorakosentesis
Aspirasi cairan pelura berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapetik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pad sela iga garis axilaris
posterior dengan memakai jarum abocath 14 atau 16. Penegeluaran
cairan sebaikanya tidak melebihi 1000-1500cc pada setiap kali
aspirasi. Sebaiknya aspirasi dikerjakan berulang-ulang daripada
sekaligus untuk mengindarkan terjadinya edema paru akut. Edema
terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat , hal ini diduga
sebagai akibat terjadinya tekanan intrapelura
transudasi,
sehingga
dapat
lebih
mengarahkan
pada
39
40
2.7
Ascites
Definisi
secara dini yang tidak dapat Asites adalah akumulasi cairan patologis dalam
rongga perut. Kata "ascites" itu berasal dari kata Yunani "askos," berarti yang tas
atau karung.
Etiologi
Liver Disease:
80-85%
Cirrhosis
41
10%
Hepatoma
Liver, peritoneal or lymphatic metastases
Lymphoma with Lymph Obstruction
Pseudomyxoma peritonei
Meigs Syndrome (Ovarian Fibroid)
Heart Failure:
3%
1%
<1%
Budd-Chiari Syndrome
Veno-occlusive disease \\
Dialysis Related
Nephrotic Syndrome
42
Inflammatory:
<1%
Pancreatitis
Bile Peritonitis
Chronic lymphatic inflammation/fibrosis
Connective Tissue Disease
Trauma:
<1%
Ruptured Viscus
Trauma to the abdominal cysterna chyli
Nutritional:
<1%
Marasmus
Kwashiokor
Endocrine:
<1%
Myxedema
Endometriosis
Klasifikasi Ascites:
Menurut EASL 2010:
1. Uncomplicated ascites
Kira-kira 75% pasien ascites di Eropa Barat atau AS mengalami sirosis sebagai
penyebabnya. Pada pasien lain, ascites disebabkan oleh keganasan, gagal jantung,
tuberculosis, penyakit pancreas, atau penyebab lain yang tidak diketahui.
43
Definisi
Terapi
distensi
abdomen
simetris
3
intake
natrium dan
diuretik
restriksi
ntake
natrium
dan
diuretik
(kecuali
ascites)
2. Refractory ascites
Berdasarkan kriteria the International Ascites Club, refractory ascites
didefinisikan sebagai ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali
secara dini dimana (contoh: setelah LVP) tidak dapat dicegah secara memuaskan
dengan terapi medis. Sekali ascites tidak mempan terhadap pengobatan, rata-rata
ketahanan pasien kira-kira 6 bulan. Konsekuensinya, pasien dengan ascites
refrakter harus dipertimbangkan transplantasi hepar.
dicegah karena kekurangan
44
akibat
diuretic
yang
mengganggu
penggunaan
dosis efektif diuretic
Syarat
1.
Durasi terapi
2.
Kurangnya respon
3.
Rekurensi
dini
4.
Komplikasi
diuretic
45
46
47
HRS tipe 1 adalah infeksi bakteri, dan fungsi renal dapat ditingkatkan dengan
terapi obat.
Sirosis dengan ascites
Serum kreatinin >1.5 mg/dL (133mol/L) Tidak ada shock
Tidak ada hipovolemia yang didefinisikan dengan tidak adanya perkembangan
berkelanjutan fungsi renal (penurunan kreatinin hingga <133mol/L) diikuti
setidaknya 2 hari withdrawal diuretic (jika menggunakan diuretic), dan ekspansi
volume dengan albumin 1 g/kg/hari
hingga maksimum 100g/hari
Tidak ada terapi dengan obat nephrotoxic
Tidak ada penyakit parenkim ginjal yang didefinisikan dengan proteinuria <0.5
g/hari, tidak mikrohematuria (<50 sel darah merah/ LPB), dan USG ginjal normal
Patofisiologi
Terdapat 3 teori mengenai pembentukan asites, yaitu : teori underfilling,
overflow, dan vasodilatasi arteri perifer.
Teori underfilling menunjukkan bahwa kelainan utama adalah penyerapan
cairan dalam pembuluh darah splenikus yang tidak baik karena hipertensi porta
dan penurunan volume darah yang beredar efektif. Ini mengaktivasi plasma
renin, aldosteron, dan sistem saraf simpatik, sehingga terjadi retensi natrium dan
air pada ginjal.
48
49
50
Pada penderita ascites harus ditanyakan gejala penyakit atau faktor risiko dari
penyakit yang dipikirkan merupakan penyebab timbulnya ascites. Pada penyakit
hati, harus ditanyakan kebiasaan mengkonsumsi alkohol, penggunaan jarum
suntik bergantian, riwayat transfusi, serta riwayat hepatitis. Untuk cardiac ascites
harus ditanyakan riwayat penyakit jantung atau penyakit pericardial. Riwayat
keganasan mengarah ke malignant ascites, terutama keganasan payudara, saluran
pencernaan, ovarium, atau lymphoma. Untuk negara berkembang, harus juga
dipikirkan kemungkinan tuberculosis, harus disertai demam dan gejala konstitusi
dari tuberculosis. Mungkin juga terjadi pancreatic ascites, pada pasien dengan
riwayat pancreatitis kronis. Harus diingat bahwa pada seorang pasien mungkin
ditemukan lebih dari satu faktor predisposisi.
Pemeriksaan Fisik
Ascites harus dibedakan dengan pembesaran perut lainya, misalnya obesitas,
dispepsia, obstruksi usus, serta massa atau kista abdomen. Pada ascites dalam
jumlah besar, ascites mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, untuk ascites
dalam jumlah sedang atau kecil, ketepatan pemeriksaan fisik hanya mencapai
50%. Pemeriksaan fisik untuk ascites berupa, flank dullness (90% positif pada
pasien dengan ascites), sifting dullness, fluid wave, serta puddle sign, bila jumlah
cairan ascites < 120 ml. fluid wave dapat juga positif untuk kista ovarium yang
besar dan kehamilan dengan polihidramnion.
Pemeriksaan fisik juga dapat digunakan sebagai petunjuk etiologi ascites. Pada
penyakit hati kronis mungkin ada palmar eritem, spider naevi, jaundice, dll.
Splenomegaly dan
51
pelebaran vena merupakan tanda hipertensi porta. Pada pasien dengan cardiac
ascites akan ditemukan peningkatan JVP. Perbesaran KGB mengarah ke
tuberculosis atau lymphoma.
Pemeriksaan Penunjang
Parasintesis abdomen
Dulu, parasintesis dilakukan diantara pubis dan umbilicus, karena merupakan
daerah avascular. Saat ini, karena parasintesis juga ditujukan untuk pengambilan
cairan dalam jumlah besar, dan peningkatan persentase orang orang dengan
obesitas, yang menyebabkan penebalan dinding abdomen, kuadran kiri bawah
lebih direkomendasikan, karena dinding abdomen pada kuadran kiri bawah, 2 jari
caudal dan 2 jari medial SIAS lebih tipis, serta cairan lebih terakumulasi di daerah
tersebut dibanding di daerah umbilicus. Kuadran kanan bawah kurang optimal
karena sering kali ada scar post appendectomy, lokasi antara pubis dan SIAS harus
dihindari karena ada arteri epigastric inferior. Bila lokasi ascites sulit ditentukan
karena obesitas atau jumlah yang kecil, dapat digunakan bantuan USG.
52
Fig. 1. Diagram of the abdomen showing the three usual sites for abdominal
paracentesis. The author prefers the left lower quadrant site. Reproduced from
Thomsen TW, Shaffer RW, White B, Setnik GS. Paracentesis. N Engl J Med
2006;355:e21, with permission from the Massachusetts Medical Society(2006)
Massachusetts Medical Society.
Analisis Cairan Ascites
53
Penatalaksanaan
54
55
tanpa oedem perifer dan 1 kg/hari pada pasien dengan oedem perifer, hal ini untuk
menghindari gagal ginjal terkait pemberian diuretik dan/atau hiponatremia.
Grade 3. Ascites dalam jumlah yang besar yang ditandai dengan distensi
abdomen. Paracentesis volume besar (Large-volume Paracentesis, LVP)
merupakan pilihan terapi dimana penelitian menunjukkan (1) LVP yang
dikombinasi dengan albumin lebih efektif ketimbang diuretik dan secara nyata
mempersingkat durasi rawat inap di RS. (2) LVP dengan albumin lebih aman
ketimbang diuretik dalam frekuensi kejadian hiponatremia, gagal ginjal, dan
ensefalopati hepatik. (3) Tidak ada perbedaan yang menjamin rawat ulang maupun
angka keberhasilan antara keduanya. (4) LVP adalah prosedur yang aman dengan
resiko komplikasi lokal seperti perdarahan atau perforasi usus yang rendah.
Ketika ascites kurang dari 5 liter dikurangi, pemberian dextran-70 maupun
polygeline setara dengan pemberian albumin, tetapi pemberian albumin lebih
bermakna pada penarikkan cairan ascites yang lebih dari 5 liter. Hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya disfungsi dari sirkulasi setelah LVP.
b.Prognosis
Perkembangan ascites pada cirrhosis mengindikasikan prognosis yang buruk.
Angka kematian diperkirakan mencapai 40% pada tahun pertama dan 50% pada
tahun kedua. Faktor lain yang menentukan prognosis yang buruk, antara lain :
hiponatremia, tekanan arterial yang rendah, peningkatan serum kreatinin, dan
kadar natrium yang rendah dalam urine.
Pada pasien dengan ascites grade 2 dan 3, transplantasi liver dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan terapi yang potesial.
2.Ascites Refrakter
56
57
cephalosporin, diberikan secara luas pada pasien dengan SBP karena dapat
mengatasi kebanyakan organisme yang menjadi penyebab. Angka kesembuhan
ditemukan pada 77-98% pasien dengan dosis 4 mg/hari sama efektif dengan dosis
8 mg/hari dan terapi selama 5 hari sama efektifnya dengan terapi selama 10 hari.
Alternatif lain, Amoxicillin / asam Clavulanat yang pertama-tama diberikan secara
IV kemudian per oral memberi hasil serupa dengan angka kesembuhan dan angka
kematian dibandingkan dengan cefotaxime dan tentu dengan harga yang lebih
murah. Ciprofloxacin diberikan selama 7 hari IV; ataupun 2 hari IV dan diikuti 5
hari per oral memberi hasil serupa dalam angka kesembuhan dibanding
cefotaxime, tetapi dengan harga yang lebih mahal.
Jika pada hitung jenis neutrofil yang didapat dari cairan ascites tidak berkurang
kurang dari 25% dibanding nilai sebelum terapi setelah pemberian terapi
antibiotik selama 2 hari, kemungkinan besar terapi gagal dan diperkirakan infeksi
yang terjadi disebabkan bakteri yang resisten terhadap terapi antibiotik.
Albumin IV pada pasien SBP tanpa syok septik.Hepatorenal Syndrome (HRS)
terjadi pada sekitar 30% pasien dengan SBP yang menerima terapi antibiotik
tunggal memiliki prognosis yang buruk. Pemberian albumin (1,5 g/kg pada saat
didiagnosis dan 1 g/kg pada hari ketiga) menurunkan frekuensi HRS dan terbukti
meningkatkan angka keberhasilan.
b.Pencegahan
Agen profilaksis yang ideal harus aman, terjangkau, dan efektif dalam
menurunkan jumlah organisme ini di usus. Tiga populasi pasien beresiko tinggi
yang perlu dikenali, antara lain : (1) pasien dengan perdarahan GIT akut, (2)
pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah dan tidak
memiliki riwayat SBP sebelumnya, (3) pasien dengan riwayat SBP sebelumnya.
(1)Pasien dengan perdarahan GIT akut. Infeksi bakterial termasuk SBP
merupakan masalah serius pada pasien cirrhosis dan perdarahan GIT akut yang
58
terjadi antara 25% dan 65% pada pasien dengan perdarahan GIT. Pada hasil metaanalisis didapatkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis terbukti menurunkan
insidensi perburukan infeksi dan angka kematian.
Pada pasien dengan perdarahan GIT dan penyakit liver yang berat ceftriaxone
merupakan pilihan antibiotik profilaksis. Namun, apabila pasien dengan penyakit
liver yang tidak terlalu berat dapat diberikan norfloxacin per oral maupun
kuinolon untuk mencegah perburukan dari SBP.
(2)pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah dan tidak
memiliki riwayat SBP sebelumnya. Pada pasien dengan penyakit liver sedang
dengan konsentrasi protein dalam cairan ascites kurang dari 15 g/liter dan tanpa
riwayat SBP sebelumnya, efektivitas kuinolon dalam mencegah SBP atau
membuktikan angka keberhasilan profilaksis tidak terlalu terbukti.
(3)pasien dengan riwayat SBP sebelumnya. Pasien yang dalam masa pemulihan
dari SBP memiliki resiko tinggi terjadinya SBP berulang. Pemberian antibiotik
profilaksis mengurangi resiko terjadinya SBP berulang. Norfloxacin (400 mg/hari,
per oral) merupakan pilihan terapi. Pilihan lainnya termasuk Ciprofoxacine (750
mg sekali seminggu, per oral) atau Co-trimoxazole (800 mg Sulfamethoxazole
dan 160 mg Trimethroprim per hari, per oral) tetapi efek yang didapatkan tidak
sebaik Norfloxacin.
4.Hiponatremia
Hiponatremia pada pasien cirrhosis didefinisikan ketika konsentrasi natrium
serum dibawah 130 mmol/L, tetapi reduksi di bawah 135 mmol/L perlu disadari
sebagai hiponatremia pada populasi pasien secara umum.
a.Penatalaksanaan
Terapi untuk hiponatremi hipovolemik adalah dengan pemberian natrium
bersamaan dengan identifikasifaktor penyebabnya (biasanya disebabkan karena
59
pemberian diuretik berlebih). Kunci dari terapinya adalah membuat balance air
negatif dengan meningkatkan total cairan tubuh, dimana hasil yang diharapkan
untuk mengembalikan keadaan natrium.
Pemberian natrium klorida yang hipertonis sering digunakan untuk keadaan
hiponatremia hipervolemik yang berat. Efektivitasnya partial, seringkali bertahan
sementara, dan meningkatkan jumlah ascites dan oedem. Pemberian albumin
nampaknya lebih terbukti memperbaiki konsentrasi natrium serum, tetapi masih
dibutuhkan lebih banyak bukti penunjang. Pengunaan obat-obatan secara dini
seperti demeclocycline atau -opioid antagonist kurang berhasil dikarenakan efek
samping yang ditimbulkannya. Beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan
penelitian mengenenai vaptans, obat yang diberikan secara aktif per oral dan
menyebabkan blok selektif terhadap reseptor-V2 dari AVP pada sel prinsipal dari
ductus coligens. Obat ini terbukti efektif dalam memperbaiki konsentrasi natrium
serum pada kondisi dengan level vasopresin yang tinggi, seperti syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH), gagal jantung, atau
cirrhosis. Hasil penelitian dengan pemberian vaptan untuk periode singkat (1
minggu sampai 1 bulan) menunjukkan peningkatan volume urine dan ekskresi
cairan bebas, serta memperbaiki level natrium serum yang rendah pada 45-82%
pasien. Vaptan tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan kesadaran
(seperti ensefalopati) yang tidak dapat meminum cukup cairan karena beresiko
terjadinya dehidrasi dan hipernatremia. Vaptan dimetabolisme oleh nzim CYP3A
di liver, tetapi pemberian obat-obatan kuat CYP3A-inhibitor seperti ketoconazole,
jus anggur, dan clarithromycin yang diberikan secara bersamaan dapat
meningkatkan efek dari vaptan dalam meningkatkan konsentrasi natrium serum
dalam jumlah yang besar. Namun, obat-obatan seperti rifampin, barbiturat, dan
phenytoin dapat mengurangi efektivitas dari vaptan.
Di Amerika pemberian tolvaptan telah diakui sebagai terapi untuk hiponatremi
hipervolemik berat (<125 mmol/L) yan terkait dengan cirrhosis, ascites, gagal
jantung, dan SIADH. Conivaptan juga diterima di Amerika untuk terapi singkat (5
60
hari) dengan pemberian secara IV. Pemberian tolvaptan dimulai dengan dosis 15
mg/hari dan di titrasi sampai 30 dan 60 mg/hari. Pada penelitian berbeda
dilaporkan meningkatkan kejadian perdarahan GIT dengan pemberian tolvaptan.
5.Sindroma hepatorenal (HRS)
HRS didefinisikan sebagai kejadian gagal ginjal pada pasien dengan penyakit
liver dimana penyebab gagal ginjalnya tidak diketahui.
a.Penatalaksanaan
Terapi suportif termasuk pengawasan ketat terhadap tanda-tanda vital, fungsi liver
dan ginjal, dan evaluasi tanda klinis dari komplikasi cirrhosis. Pemberian cairan
berlebihan harus dihindari untuk mencegah overload cairan dan progresivitas dari
hiponatremia.
Diuretik rendah kalium tidak boleh diberikan karena beresiko terjadinya
hiperkalemia berat.
Terapi spesifik dapat diberikan obat-obatan dengan efek vasokonstriktor.
Penggunaan vasokonstriktor secara luas diberikan obat dengan sifat vasopresin
analog seperti terlipressin. Terapi ini cukup efektif 40-50% pasien. Umumnya,
terlipressin dimulai dengan dosis 1 mg/4-6 jam dan dinaikkan sampai dosis
maksimum 2 mg/4-6jam jika tidak didapatkan penurunan kadar kreatinin serum
setidaknya sebanyak 25% terhadap nilai awal pada hari ketiga terapi. Terapi
dipertahankan sampai kreatinin serum turun di bawah 1,5 mg/dL (133 mol/L),
biasanya sekitar 1-1,2 mg/dL (88-106 mol/L).
TIPS. TIPS juga memperlihatkan memperbaiki fungsi ginjal dan mengontrol
ascites pada pasien HRS.
Terapi transplantasi ginjal. Terapi sebaiknya segera dilakukan pada keadaan
hiperkalemia berat, asidosis metabolik, dan overload cairan pada pasien HRS
stadium dini.
61
Proses ginjal bilateral tahap lanjut yang di tandai ginjal yang mengecil,
echogenital
parenkim
meningkat
echocompleks
kabur.
Sistem
2.8
Hipertensi
2.9
Vertigo
62
63
Inti vestibularis
Vestibulo-serebelum
Inti okulo motorius
Hiptotalamus
Formasio retikularis
Korteks prefrontal dan imbik
Struktur tersebut mengolah informasi yang masuk dan memberi respons
yang sesuai. Manakala rangsangan yang masuk sifatnya berbahaya maka
akan disensitisasi. Sebaliknya, bila bersifat biasa saja maka responsnya
adalah habituasi.
Tahap Persepsi
Tahap ini belum diketahui lokasinya
64
FISIOLOGI
Informasi yang berguna untuk alat keseimbangan tubuh akan
ditangkap oleh respetor vestibuler visual dan propioseptik. Dan ketiga
jenis reseptor tersebut, reseptor vestibuler yang punya kontribusi paling
besar, yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang
paling kecil konstibusinya adalah propioseptik.
Arus informasi berlangusng intensif bila ada gerakan atau
perubahan gerakan dari kepala atau tubuh, akibat gerakan ini
menimbulkan perpindahan cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya
bulu (cilia) dari sel rambut ( hair cells) akan menekuk. Tekukan bulu
menyebabkan permeabilitas membran sel berubah sehingga ion Kalsium
menerobos masuk kedalam sel (influx). Influx Ca akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi dan juga merangsang pelepasan NT eksitator
(dalam hal ini glutamat) yang selanjutnya akan meneruskan impul sensoris
ini lewat saraf aferen (vestibularis) ke pusat-pusat alat keseimbangan
tubuh di otak.
Pusat Integrasi alat keseimbangan tubuh pertama diduga di inti
vertibularis menerima impuls aferen dari propioseptik, visual dan
vestibuler. Serebellum selain merupakan pusat integrasi kedua juga diduga
merupakan pusat komparasi informasi yang sedang berlangsung dengan
informasi gerakan yang sudah lewat, oleh karena memori gerakan yang
pernah dialami masa lalu diduga tersimpan di vestibuloserebeli. Selai
serebellum, informasi tentang gerakan juga tersimpan di pusat memori
prefrontal korteks serebri.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi vertigo (BPPV) di amerika adalah 64 orang tiap
100.000, dengan wanita lebih banyak daripada pria. BPPV sering terdapat
pada usia yanglebih tua yaitu di atass 50 tahun.
PEMBAGIAN
65
Serangan
episodik
keseimbangan
Mual/muntah
kontinu
Gangguan pendengaran
+/-
Gerakan pencetus
gerakan kepala
Situasi pencetus
Derajat vertigo
berat
ringan
++
+/-
66
Gejala
otonom
(mual, ++
muntah, keringat)
Gangguan
pendengaran +
(tinitus, tuli)
Tanda fokal otak
Vertigo Disertai
Keluhan Tidak
Penyakit
Keluhan Telinga
Karena
Perubahan Posisi
Disertai Timbul
epilepsi, positional
vertigo
ischemic
attack lambung
(TIA)
arteri
vertebralis
Vertigo kronis
sindroma
tumor komosio,
serebelo-pontine,
sklerosis,
obat-
obatan
67
Vertigo akut
Trauma
labirin, Neuronitis
akuta, ensefalitis
perdarahan labirin
vestibularis,
multipel sklerosis
FAKTOR RESIKO
Vertigo terjadi bukan karena faktor keturunan, namun ada beberapa
faktor yang menyebabkan vertigo seperti karena serangan migren, radang pada
leher, mabuk kendaraan, infeksi bakteri pada telinga dan kekurangan asupan
oksigen ke otak.
Penyebab yang lain lebih dijelaskan pada penyebab vertigo.
PENYEBAB
Vertigo berbeda dengan dizziness, suatu pengalaman yang mungkin
pernah kita rasakan, yaitu kepala terasa ringan saat akan berdiri. Sedangkan
vertigo bisa lebih berat dari itu, misalnya dapat membuat kita sulit untuk
68
Infeksi virus seperti common cold atau influenza yang menyerang area
labirin
Serangan migren
Mabuk kendaran
69
Vertigo paling berat jika disebabkan adanya tumor pada otak kecil
atau dekat organ telinga. Vertigo yang dirasakan sesuai dengan
pertumbuhan tumor. Semakin besar tumor semakin berat rasa sakitnya.
Adakalanya diikuti dengan gejala telinga mendengung. Sebagai upaya
penanggulangan satu-satunya cara operasi dan penyinaran untuk
menyingkirkan tumor.
Namun, adakalanya vertigo hanya disebabkan oleh stres. Meski
penderita mengalami gejala kepala berputar tujuh keliling dan bahkan
sampai muntah-muntah, namun begitu stres dapat ditanggulangi vertigo
pun menghilang. Vertigo pada umumnya bukan gangguan kesehatan
serius. Akan tetapi semakin dini penanganannya vertigo akan semakin
cepat dapat diatasi.
Beberapa kelainan metabolik dapat menyebabkan vertigo, seperti
tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, diabetes, penyakit tiroid, anemia,
dan gangguan kalsium. Penyebab autoimun juga dapat menyebabkan
timbulnya keluhan ini, antara lain arthritis rheumatoid (rematik), lupus,
sarcoid, dan berbagai penyakit lain yang jarang. Penyakit infeksi seperti
70
tumor
ini,
sementara
MRI
diperlukan
untuk
71
PATOGENESIS
BPPV terjadi akibat dari perubahan posisi kepala yang cepat dan
tibat-tiba, biasanya akan dirasakan pusing yang sangat berat, yang
berlangsung bervariasi di semua orang, bisa lama atau hanya beberapa
menit sasja. Penderita kadang merasakan lebih baik jika berbaring diam
saja. Vertigo dapat berlangsung selama berhari-hari dan disertai dengan
mual muntah. Hasilnya pendertia akan merasa amat sangat panic dan
segera melarikan diri untuk berobat, tak jarang pasien seperti ini
ditemukan di unit gawat darurat. BPPV disebabkan oleh pengendapan
kalsium di dalam salah satu alat penyeimbangan di dalam telinga, tetapi
sebagian besar penyebabnya belum dikethui hingga sekarang. Beberapa
dugaan yang dikemukakan oleh para ahli adalah, trauma pada alat
keseimbangan, infeksi, sisa pembedangan telinga, degenerative karena
usai dan kelainan pembuluh darah. Vertigo berbeda dengan dizziness, suatu
pengalaman yang mungkin pernah kita rasakan, yaitu kepala terasa ringan
saat akan berdiri. Sedangkan vertigo bisa lebih berat dari itu, misalnya
dapat membuat kita sulit untuk melangkah karena rasa berputar yang
mempengaruhi
keseimbangan
tubuh.
Adanya
penyakit
vertigo
MANIFESTASI KLINIS
72
Mual
Muntah
73
Yang kedua adalah tipe perifer, gangguan terletak pada batang otak
sampai labirin di telinga bagian dalam. Penyebab vertigo vestibular antara
lain trauma kepala, infeksi otak, tumor, infeksi sekitar sinus atau lainnya
(flu, pilek, diare), remote efek (reaksi terhadap infeksi yang menyebabkan
vertigo). Gejala vertigo vestibular perifer adalah pandangan kabur, letih,
lesu, sakit kepala, detak jantung cepat, kehilangan keseimbangan,
kehilangan konsentrasi, nyeri otot terutama di leher dan punggung, mual,
muntah, kemampuan kognitif menurun, serta sensitif terhadap cahaya dan
bunyi. Adapun gejala vertigo vestibular sentral antara lain diplopia
(pandangan ganda), sakit kepala hebat, gangguan kesadaran, koordinasi
tubuh menurun, mual dan muntah, serta lemas.
Pada vertigo nonvestibular, sensasi yang dirasakan penderita
adalah melayang, bergoyang, atau sempoyongan. Serangan biasanya
terjadi terus-menerus, tetapi tidak ada mual maupun muntah. Vertigo
akibat gangguan sistem visual biasanya dicetuskan oleh situasi yang ramai,
banyak
orang
atau
benda
lalu
lalang.
Pada
gangguan
sistem
74
75
76
77
A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan neurologik
78
Pemeriksaan otologik
2) Pemeriksaan khusus :
ENG
Psikiatrik
3) Pemeriksaan tambahan:
Neurofisiologi:Elektroensefalografi(EEG),Elektromiografi (EMG),
Brainstem Auditory Evoked Pontential (BAEP)
B. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi 3 bagian utama yaitu kausal,
simtomatik dan rehabilitatif. Sebagian besar kasus vertigo tidak diketahui
kausanya sehingga terapi lebih banyak bersifat simtomatik dan rehabilitatif. Terapi
simtomatik bertujuan meminimalkan 2 gejala utama yaitu rasa berputar dan gejala
otonom. Untuk mencapai tujuan itu digunakanlah vestibular suppresant dan
antiemetik. Beberapa obat yang tergolong vestibular suppresant adalah
antikolinergik, antihistamin, benzodiazepin, calcium channel blocker, fenotiazin,
dan histaminik.
Antikolinergik bekerja dengan cara mempengaruhi reseptor muskarinik.
Antikolinergik yang dipilih harus mampu menembus sawar darah otak (sentral).
Idealnya, antikolinergik harus bersifat spesifik terhadap reseptor vestibular agar
efek sampingnya tidak terlalu berat. Sayangnya, belum ada.
79
Sedasi
Mukosa
Ekstrapiramidal
Flunarisin
1x5-10
Kering
-
Sinarizin
mg
Prometasin
3x25 mg
++
++
Difenhidrinat
3x25-50
Skopolamin
mg
+++
Atropin
3x50 mg
+++
Amfetamin
3x0,6 mg
Efedrin
3x0,4 mg
Proklorperasin
3x5-10
+++
++
Klorpromasin
mg
++
+++
+++
80
Diazepam
3x25 mg
+++
Haloperidol
3x3 mg
++
+++
++
Betahistin
3x25 mg
Carvedilol
3x2-5 mg
Karbamazepin
3x0,5-2
Dilantin
mg
3x8 mg
Sedang
diteliti
3x200 mg
3x100 mg
Beberapa terapi yang dapat diberikan adalah terapi dengan obat-obatan, terapi
fisik / latihan dan olah raga. Dan jika keduat terapi di atas tidak dapat mengatasi
kelainan yang diderita dianjurkan untuk terapi bedah.
Obat-obatan yang biasanya digunakan adalah
1. Antikolinergik / parasimpatolik
2. Antihistamin
3. Penenang minor dan Mayor
4. Simpatomimetik
5.
posisi kepala 45 derajat menoleh ke arah telinga yang sakit, kemudian pasien
digerakkan dari posisi duduk ke posisi Hallpike dengan telinga sakit di bawah.
Pasien dapat dipertahankan dengan posisi ini selama 3 menit dan kemudian kepala
dengan lambat dirotasikan ke arah berlawanan dan dipertahankan 4 menit lalu
pasien didudukkan.
C. PROGNOSIS
81
Bangunlah secara perlahan dan duduk terlebih dahulu sebelum kita berdiri
dari tempat tidur
Gerakkan kepala secara hati-hati jika kepala kita dalam posisi datar
(horisontal) atau bila leher dalam posisi mendongak.
Benign positional vertigo adalah bentuk vertigo yang menyerang dalam jangka
waktu pendek namun berulang-ulang. Gejalanya hanya dalam hitungan detik
tetapi bisa cukup berat, seringkali muncul setelah kita terserang infeksi virus atau
adanya peradangan dan kerusakan di daerah telinga tengah. Gejalanya bisa
muncul jika kita menggerakkan kepala tiba-tiba, misalnya saat menoleh dengan
gerakan yang cepat.
2.10
Plebitis
Definisi
Thrombophlebitis septic adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
82
Etiologi
Etiologi dari phlebitis perifer, vena cava superior, dan vena cava inferior
meliputi :
Venipuncture
Hiperkoagulasi darah
Luka bakar
83
Gejala Klinis
Thrombophlebitis Septik superficial paling sering diawali oleh adanya
keretakan kulit local, seperti pada pemasangan kateter intravena, luka tusukan,
gigitan serangga, tindakan phlebotomy, atau injeksi intravena. Nyeri dan eritem
seringkali timbul pada lokasi awal infeksi. Pintu masuk awal infeksi dapat
menjadi kabur seiring berjalannya waktu, akibat nyeri, bengkak, dan kemerahan
menyebar di seluruh pembuluh darah yang terinfeksi.
Pada penelitian oleh Baker et al pada 100 pasien dengan phlebitis septic
perifer, 83% mengeluhkan nyeri, 44% mengalami demam, 37% mengalami
pembengkkan, dan 9% mengalami keluarnya pus secara spontan dari pintu masuk
infeksi. Pelaku penyalahgunaan obat-obatan terlarang mengalami selulitis local
hingga abses pada lokasi injeksi.
84
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Umum
Complete Blood Count (CBC) : ditemukan leukositosis.
Pemeriksaan Kimia : Pada infeksi berat ditemukan asiosis dan ketidakseimbangan
elektrolit.
Pemeriksaan fungsi hepar : Dilakukan jika adanya kecurigaan pylephlebitis
(Phlebitis vena porta hepatica)
Prothrombin Time (PT) : Jika ada indikasi terapi antikoagulan
Kultur Mikroba
Semua pasien dengan suspek phlebitis septic harus diperiksa kultur darah.
Pada kasus thrombophlebitis akibat pemasangan kateter intravena, harus dibuat
kultur dengan sampel dari lokasi sentral dan perifer sebagai perbandingan.
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis thrombophlebitis akibat pemasangan
kateter intravena secara spesifik seringkali menggunakan kultur ujung kateter.
Namun kateter tidak boleh diangkat di Instalasi Gawat Darurat jika ada
kecurigaan adanya thrombus yang melekat pada kateter intravena. Material
purulen dari jaringan lunak perifer diperika dnegn apewarnaan gram serta
dikultur.
Pemeriksaan Pencitraan
CT Scan dengan kontras
CT Scan dengan kontras secara umum diterima sebagai pemeriksaan
pilihan pada sebagian besar trombophlebitis septic, memberikan gambaran filling
85
Ultrasonography
Ultrasonography dapat mendeteksi thrombus pembuluh darah vena dan
merupakan pemriksaan diagnostic pada kasus thrombophlebitis dengan hasil
kultur darah yang positif. Ultrasound juga dapat memdeteksi abses pada jaringan
lunak di sekitar pembuluh darah vena yang bermasalah. Namun ultrasonography
tidak adekuat untuk menjadi pemeriksaan diagnostic pada trombophlebitis septic
pelvis serta thrombosis vena dura.
Angiography
Angiography berguna untuk menegakkan diagnosis thrombophlebitis
akibat pemasangan kateter intravena karena dapat mendemonstrasikan lapisan
fibrin yang menempel pada ujung kateter.
Diagnosis Banding
Diagnosis Banding pada phlebitis perifer, vena cava superior, dan vena
cava inferior adalah :
Selulitis
86
Terapi
Kateter intravena perifer harus segera dilepaskan sejak ada tanda2 eritema,
indurasi atau edema. Bila phlebitis sudah menjadi supuratif, pelepasan kanula
tidak lagi berguna. Perlu diberikan antibiotic broad spectrum untuk mengatasi
S.aureus, streptococci, dan enterobacteriaceae. Vankomisin juga dapat digunakan
untuk mengatasi MRSA atau MSSA dan streptokokus. Durasi pemberian terapi
intravena sekitar 7 hari, setelah itu dilanjutkan dengan antibiotic oral.
Terapi Medikamentosa
Prinsip Terapi Medikamentosa:
Antibiotik dipilih di awal secara empiris dan berdasarkan lokasi infeksi.
Antibiotik spectrum luas digunakan sebelum adanya hasil pemeriksaan kultur
darah. Karena banyaknya infeksi yang disebabkan S. Aureus, terapi antibiotik
untuk MRSA sebaiknya dilakukan secara rutin.
Antikoagulan dapat dipertimbangkan berdasarkan lokasi thrombus yang
terinfeksi, dan fibrinolisis lokal dapat diberikan pada kasus thrombophlebitis
akibat pemasangan kateter vena sentral.
Terapi Antibiotik
Vancomycin
Ceftriaxone (Rocephin)
Cefepime (Maxipime)
Clindamycin (Cleocin)
87
Ampicillin-sulbactam (Unasyn)
Ampicillin-sulbactam (Unasyn)
Piperacillin and tazobactam sodium (Zosyn)
Piperacillin and tazobactam sodium (Zosyn)
Imipenem-cilastatin (Primaxin)
Metronidazole (Flagyl)
Fluconazole (Diflucan)
Amphotericin B liposomal (AmBisome)
Reteplase (Retavase)
Alteplase (Activase)
Heparin
Enoxaparin (Lovenox)
88
Terapi Operatif
Pada
phlebitis
superficial,
walaupun
supuratif
sebenarnya
tidak
Pada
kasus
ini,
pasien
mengeluhkan batuk tapi tidak berdahak , pasien juga sesak serta demam dan
berkeringat, pada saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan adanya rhonki
basah hampir diseluruh lapang paru terutama di bagian media dan bagian basal,
pada pemeriksaan rontgen thorax juga menyokong adanya gambaran pnemoniae
yang ditandai dengan adanya perselubungan opak , gejala dan tanda yang
ditemukan pada pasien ini mendukung ke arah pneumoniae. Pneumoniae dibagi
menjadi community acquired dan nosokomial pneumoniae, pada pasien ini
89
keluhan diatas mulai dirasakan leh pasien saat pasien 3 hari dirawat di rumah
sakit, sehingga community acquired dapat disingkirkan sehingga disimpulkan
bahwa pasien ini terkena nosokomial pneumoniae.
Nosokomial
pneumoniae terbagi lagi menjadi HAP,HCAP dan VAP. VAP pada kasusu inin
dapat disingkirkan karena pasien dirawta di ruangan biasa dan tidak
menggunakan ventilator dan HCAP juga dapat disingkirkan karena sebelumnya
pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelum dirawat di RSUD cianjur
( pasien tidak mengonsumsi antibiotik sebelumnya) sehingga keluhan batuk yang
sekarang pasien rasakan bukan merupakan kelanjutan dari keluhan pasien
sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini merupakan Hospital
Acquired Pneumoniae (HCAP) , karena keluhan batuk dirasakan oleh pasien saat
pasien sudah dirawat 3 hari di RS dan untuk kemungkinan penyebab infeksi yang
lain berhubungan dengan keluhan batuk sudah dsingkirkan seperti untuk TB hasil
90
sputum BTA negatif dan rontgen thorax tidak menunjukan adanya TB, serta
PPOK juga disingkirkan karena pasien tidak merokok.
Sekret purulen
Leukositosis
Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
91
5. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau
aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi: Dua set kultur
darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan
kanan) sebanyak 7 ml. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting
untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia
nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak
yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan
yaitu bila ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel
epitel < 10 / lpk.
6. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit
7. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka
dilakukan pemeriksaan secara invasif: bronchoalveolar lavage (BAL) /
aspirasi transtorakal.
Pada kasus ini pasien di rawat di ruang biasa, tidak ditemukan
adanya tanda-tanda sepsis berat dan gambaran rontgen tidak menunjukan
penumonia multilobar, pasien merupakan pasien CKD, tetapi untuk HAP
nya berdasarkan kriteria ATS diatas , pasien bukan termasuk kedalam
pneumoniae berat dan tidak memerlukan intensive care unit untuk
pneumoniaenya.
Pada pasien ini untuk antibiotiiknya diberikan Levofloxacin 1 x 750 mg (IV) dan
ceftazidine 3 x 1 (g) dan terapi simptomatiknya diberikan Paracetamol 3 x 500 mg
untuk febrisnya dan diberikan ambroxol syr 3 x 10 cc untuk batuknya
92
2.12
Encephalopaty Uremikum
Definisi
Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun
subakut yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik.
Biasanya dengan nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di
bawah 15 mL/mnt. Sebutan uremic encephalopathy sendiri memiliki arti
gejala neurologis non spesifik pada uremia. 2,3
Epidemiologi4
Prevalensi internasional tidak diketahui. Di Amerika Serikat, prevalensi UE
sulit ditentukan. UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan end-stage
renal disease (ESRD),dan secara langsung tergantung pada jumlah pasien
tersebut. Pada 1990an, lebih dari 165,000 orang diobati untuk ESRD. Pada
93
94
Jenis Kelamin
Insidens pada pria dan wanita sama banyak.
Usia
Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih
progresif pada usia lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.
Patofisiologi
Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar
darah otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa
dijadikan satu-satunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena
jumlah ureum dan kreatinin tidak berhubungan dengan tingkat penurunan
kesadaran ataupun adanya asterixis dan myoclonus.5
Perubahan yang ditemukan pada mayat pasien dengan chronic kidney
disease biasanya ringan, tidak spesifik dan lebih berhubungan dengan
penyakit yang menyertainya. Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir
dua kali lipat dari nilai normal. Peningkatan jumlah kalsium ini mungkin
diperantarai oleh aktivitas hormon Paratiroid. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian pada anjing yang mengalami gagal ginjal akut maupun kronik,
EEG dan abnormalitas kalsium dapat dicegah dengan dilakukannya
paratiroidektomi. Pada manusia dengan gagal ginjal, EEG dan gangguan
psikologik juga dapat membaik dengan paratiroidektomi.6
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga
menyebabkan rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang
memungkinkan pada perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter,
menyebabkan aktivitas metabolik berkurang. Pompa Na/K ATPase
mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting dalam menjaga gradien
kalsium 10 000:1 (di luardi dalam sel). Dengan adanya uremia, terdapat
peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi menyatakan bahwa
aktivitas pompa Na/K ATPase ouabain-sensitif menurun pada keadaan
95
uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan
neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu
menjelaskan gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi
neurotransmitter yang ditemukan pada tikus yang mengalami uremi. 6
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan
jumlah glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi
perubahan metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan
gejala awal berupa clouded sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat
gangguan fungsi sinaps yaitu adanya studi bahwa dengan memburuknya
uremia, terjadi akumulasi komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic
acid, yang meningkat pada otak dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek
inhibisi pada pelepasan -aminobutyric acid (GABA) dan glisin pada
binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA). Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan neurotransmitter
dengan cara menghambat channel klorida pada membran neuronal. Hal ini
dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan,
methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8
Gambar 3. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat
96
Gejala klinis
Apatis, fatig, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi,
gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat
berfluktuasi dari hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa
pasien, terutama pada pasien anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat
hingga koma. Pada pasien lain, halusinasi visual ringan dan gangguan
konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa minggu.
Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai
gangguan motorik, yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien
mulai kedutan, jerk dan dapat kejang. Twitch dapat meliputi satu bagian otot,
seluruh otot, atau ekstremitas,aritmik, asinkron pada kedua sisi tubuh pada
saat bangun ataupun tidur. Pada beberapa waktu bisa terdapat fasikulasi,
tremor aritmik, mioklonus, khorea, asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi
phenomena motorik yang tidak terklasifikasi, yang disebut uremic twitchconvulsive syndrome.
97
Gambar 4. Asterixis
Sedang
Muntah
Lamban
Berat
Gatal
Gangguan
Insomnia
restlessness
Kurang atensi
Tidak mampu
Mudah lelah
Mengantuk
Perubahan pola tidur
Emosional
orientasi
Kebingungan
Tingkah laku aneh
Bicara pelo
Hipotermia
98
menyalurkan ide
Penurunan libido
Paranoia
Penurunan kognitif
Penurunan abstraksi
Penurunan
Mioklonus
Asterixis
Kejang
Stupor
kemampuan seksual
Koma
Diagnosis
Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan
kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan
laboratorium pada UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum,
kreatinin, fungsi hati dan amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang
tinggi. Darah lengkap diperiksa untuk melihat adanya anemia karena dapat
berperan dalam beratnya perubahan status mental. Sementara jika ditemukan
leukositosis menunjukkan adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa
diperiksa untuk menyingkirkan penyebab ensefalopati lainnya.
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan
infeksi. Pada ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala
menunjukan pleositosis ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya
konsentrasi protein (biasanya <100mg/dl).
EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan
dengan gejala klinis. Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan
penyebab lain dari konfusi seperti infeksi dan abnormalitas struktural.
Gambaran EEG yang sering ditemukan adalah perlambatan secara general.
Ritme tetha pada frontal yang intermiten dan paroksisimal, bilateral, high
voltage gelombang delta juga sering ditemukan. Kadangkala kompleks spikewave bilateral atau gelombang trifasik pada regio frontal dapat terlihat. 3,11,12
99
Penatalaksanaan
100
101
Prognosis
Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah. Dengan
pengenalan terhadap dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat
keparahan dari UE dapat dikurangi.
2.13
Hipokalsemia
Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dL darah.
102
Penyebab Hipokalsemia
Penyebab
Keterangan
Biasanya terjadi setelah kerusakan kelanjar paratiroid
Kadar hormon
paratiroid rendah
Kekurangan
kelenjar paratiroid
bawaan
Pseudo
hipoparatiroidism
e
Kekurangan
vitamin D
efektivitas vitamin D
Kerusakan ginjal
Kadar magnesium
yg rendah
Asupan yg kurang
atau malabsorbsi
Pankreatitis
103
rendah
GEJALA
kebingungan
depresi
halusinasi.
Pada kasus yang berat bisa terjadi kejang otot tenggorokan (menyebabkan
sulit bernafas) dan tetani (kejang otot keseluruhan).
Bisa terjadi perubahan pada sistem konduksi listrik jantung, yang dapat
dilihat pada pemeriksaan EKG.
Penatalaksanaan
Dibedakanmenjadi 2 bagian, yaitu penatalaksanaan pada kondisi akut dankronis.
Pada kondisi akut, dimana pasien datang dengan kejang, penurunan kesadaran,
spasme otot,
104
Edema Paru
Definisi
Ekstravasasi cairan yang berasal dari vascular paru masuk ke
dalam interstitium dan alveoli paru. Edema paru adalah kegawatdaruratan
medis yang membutuhkan penanganan segera
Etiologi
Diagnosis
Anamnesis
Sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat(jam atau hari),
disertai ortopneu
Pada pasien dengan edema paru kardiak dapat ditemukan adanya riwayat
penyakit atau keluhan jantung sebelumnya (aritmia, kelainan katup, infark
jantung)
105
Pemeriksaan Fisik
Ronkhi
Wheezing
Penebalan Peribronkial
Pada edema paru yang berat, tampak gambaran opasitas alveolar dengan
batas tidak tegas
106
Analisis Kasus :
Pasien terdapat edema paru kardiak, akibat gagal jantung kiri sehingga
tekanan end-diastolic ventrikel meningkat. Sebagai akibatnya tekanan
hidrostatik vena pulmonalis dan kapiler paru juga akan meningkat dan
terjadi ekstravasasi cairan ke jaringan.
2.15
Sindrom Nefrotik
Klasifikasi
Kriteria
Usia
Fungsi ginjal
Hematuria
Typical SN
1-11 tahun
kreatinin normal
Mikroskopis
Atypical SN
<1 atau >11 tahun
peningkatan kreatinin
Mungkin terjadi makroskopis
107
Hipertensi
Biasanya
normotensi
Riwayat keluarga Biasanya tidak ada
Meningkat
Mungkin ada
dengan SN
2.16
Hiperurisemia
108
109
dan penghancuran purin di tubuh. Normalnya, 2/3 -3/4 urat di ekskresi oleh ginjal
melalui urin. Sisanya melalui saluran cerna.5
Hiperurisemia primer
110
111
2.1.4.1 Nutrisi
Purin adalah salah satu senyawa basa organik yang menyusun asam nukleat
dan termasuk dalam kelompok asam amino yang berguna untuk pembentukan
protein. Makanan dengan kadar purin tinggi (150 180 mg/100 gram) antara lain
jeroan, daging sapi, babi, kambing atau makanan dari hasil laut (sea food),
kacang-kacangan, bayam, jamur, kembang kol, sarden, dan kerang. Konsumsi
makanan tinggi purin dapat menimbulkan penyakit asam urat. Dengan demikian
pada penderita radang sendi tanpa mengetahui penyebabnya, selalu berupaya
menghindari makanan tinggi purin.7
1.4.2 Obat- obatan
Penggunaan obat-obatan tertentu juga dapat memicu peningkatan kadar asam
urat atau membantu dalam mengekskresikan asam urat. Salah satu jenis obat yang
membantu proses ekskresi asam urat yaitu probenesid dan sulfinpirazon. Untuk
memperoleh hasil yang diinginkan maka ketika menggunakan obat tersebut
diperlukan minum air putih yang banyak supaya dapat menurunkan tingkat
saturasi asam urat sehingga dapat diekskresikan dengan mudah.8
Aspirin dapat menghambat proses ekskresi asam urat sehingga memperparah
keadaan hiperurisemia. Begitu juga dengan obat antihipertensi yang memiliki
dampak hampir sama dengan jenis aspirin. Obat antihipertensi memiliki efek
samping yaitu menghambat metabolisme lipid dalam tubuh. Timbunan lipid di
dalam tubuh dapat mengganggu proses ekskresi asam urat melalui urin. Salah satu
obat antihipertensi yang memiliki efek peningkatan kadar asam urat tersebut
adalah tiazid.8
1.4.3 Usia dan Jenis Kelamin
Hiperurisemia sering dijumpai pada lanjut usia (lansia) yaitu rata-rata lebih dari
50 tahun. Akan tetapi tidak semua lansia dapat mengalami hiperurisemia. Hal ini
disebabkan karena pada sebagian lansia masih diproduksi steroid seks dalam
jumlah yang cukup. Steroid seks ini akan memproduksi androgen, estrogen dan
progesteron. Adanya hormon estrogen ini yang akan membantu pengeluaran asam
urat melalui urin.3
112
darah
melebihi
normal
(hiperglikemia)
dan adanya
gangguan
113
114
Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat melalui
prekursor nonpurin. Substrat awalnya adalah ribosa-5-fosfat, yang diubah
melalui serangkaian zat antara menjadi nukleotida purin (asam inosinat,
asam guanilat, asam adenilat). Jalur ini dikendalikan oleh serangkaian
mekanisme yang kompleks, dan terdapat beberapa enzim yang
mempercepat reaksi yaitu: 5-fosforibosilpirofosfat (FRPF) sintetase dan
amidofosforibosiltransferase (amido-FRT). Terdapat suatu mekanisme
inhibisi umpan balik oleh nukleotida purin yang terbentuk, yang fungsinya
untuk mencegah pembentukan yang berlebihan.13
115
116
ekspresi
renin
jukstaglomerular
dan
pemberian
enalapril
117
118
progenitor cells (EPC) untuk memperbaiki vaskular yang rusak. Namun pada
keadaan hiperurisemia kronik terjadi penurunan mobilisasi EPC dengan
mekanisme yang belum jelas.15
Lebih jauh lagi hiperurisemia akan menyebabkan perubahan mikrovaskuler
pada ginjal yang mirip dengan gambaran arteriosklerosis pada hipertensi esensial.
Lesi vaskuler tersebut menyebabkan iskemia. Selanjutnya iskemia menyebabkan
pelepasan laktat dan peningkatan produksi asam urat. Laktat sendiri bersifat
menghambat sekresi asam urat dengan cara blockade OAT. Peningkatan produksi
asam urat terjadi karena iskemia menyebabkan pemecahan ATP menjadi adenosin
dan xanthine. Hal tersebut menciptakan suatu lingkaran setan. Kondisi
hiperurisemia meningkatkan aktivitas enzim xanthine oksidase. Padahal enzim
tersebut juga membentuk superoksida sebagai akibat langsung aktivitasnya.
Peningkatan jumlah oksidan menyebabkan stress oksidatif yang semakin
menurunkan produksi NO dan memperparah disfungsi endotel yang terjadi. Lesi
pada vaskuler ginjal ini akan memicu terjadinya salt sensitive hypertension yaitu
peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi pada konsumsi jumlah natrium yang
sama.15 Mekanisme hiperurisemia menyebabkan kerusakan ginjal dapat dilihat
pada gambar 2.4
119
120
meningkatkan
tekanan
darah,
menimbulkkan
lesi
pada
121
buruk, dengan hasil yang menunjukkan langsung atau tidak langsung efek toksik
dari asam urat sehingga mengakibatkan terjadinya gagal ginjal kronik.2
1.4.3 Nefrolitiasis Asam urat
Pembentukan batu merupakan proses dinamik yang melibatkan bahan-bahan
kimia dari urin. Patofisiologi terbentuknya batu diawali dari stasis urin pada
saluran kemih yang mengakibatkan penumpukan bahan-bahan organik dan
anorganik, selanjutnya terjadi presipitasi kristal dan terbentuknya inti batu,
beragregasi dan membentuk kristal yang besar. Kemudian akan menempel pada
saluran kemih dan akan beragregasi kembali sehingga membentuk batu yang lebih
besar.16
Berdasarkan data dari WHO, prevalensi penderita nefrolitiasis asam urat di
Amerika serikat yaitu 5-10 %, India kurang dari 1 %, Swedia 4 %, Jepang 15 %,
Jerman 17 %, dan Israel 40 %. Pembentukan batu asam urat ini tergantung pada
beberapa faktor diantaranya jenis kelamin, usia, herediter, kondisi geografis,
iklim, diet dan pekerjaan. Sedangkan etiologi dari pembentukan batu asam urat ini
adalah karena pH urin yang rendah, dehidrasi, dan hiperurikosuria. 16 Skema
pembentukan batu asam urat dapat dlihat pada Gambar 2.5 di bawah ini.
122
Batu asam urat dapat dihasilkan secara kongenital, didapat, atau idiopatik.
Kelainan kongenital yang berhubungan dengan batu asam urat melibatkan
transpor urat di tubulus ginjal atau metabolisme asam urat menyebabkan
hiperurikosuria. Kelainan didapat dapat berupa diare kronik, turunnya volume
urin, penyakit-penyakit myeloproliferatif, tingginya konsumsi protein hewani, dan
obat-obatan.16
Proses pembentukan batu asam urat yang diakibatkan karena pH urin yang
rendah dapat dijelaskan dengan reaksi asam dan basa. Ketika nitrogen dilarutkan
ke dalam air dan urat menerima proton bebas maka akan terbentuk asam urat dan
selanjutnya akan membentuk urat kembali. Reaksi tersebut dapat kita lihat pada
persamaan di bawah ini :
Urat + H+ Asam Urat
Dalam keadaan pH urin rendah yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan
mudah terbentuk endapan dan kristal sehingga terbentuknya batu asam urat.16
Dehidrasi dapat mengakibatkan peningkatan larutan lithogenic di dalam urin.
Karena kelarutan asam urat terbatas, tingginya kadar urat mengakibatkan
pengendapan asam urat dan menghasilkan monosodium urat. Penelitian mengenai
terbentuknya batu asam urat di daerah tropis dan lingkungan yang panas
mendukung hipotesis ini.16
Hiperurikosuria adalah ekskresi urat di dalam urin dengan jumlah lebih dari
800 mg/hari pada pria dan lebih dari 750 mg/hari pada wanita, dan dapat menjadi
faktor penyebab terjadinya pembentukan batu asam urat. Hiperurikosuria menjadi
faktor penyebab pembentukan batu karena menyebabkan hipersaturasi urin.
Menariknya pada pasien hiperurikosuria masih dapat membentuk batu asam urat
walaupun pH urin normal. Hiperurikosuria dapat disebabkan oleh diet yang tidak
benar dan mutasi di transporter URAT-1.16
1.5 Diagnosis Nefropati Urat
Penegakan diagnosis nefropati urat meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.4
123
Intensitas warna larutan yang terbentuk sebanding dengan kadar asam urat
serum yang ditentukan berdasarkan peningkatan absorbansi larutan. Nilai rujukan
124
normal asam urat serum pada pria yaitu 3.4-7.0 mg/dl atau 200-420 umol/l dan
pada wanita 2.4-5.7 mg/dl atau 140-340 umol/l.4
1.5.2.2 Pemeriksaan Urin Rutin
Urinalisis atau pemeriksaan urin dapat digunakan untuk mengevaluasi
gangguan organ atau keadaan tertentu salah satunya adalah gangguan ginjal
dan keadaan hiperurisemia. Pemeriksaan urin ini meliputi pemeriksaan
makroskopis urin, kimia urin, dan mikroskopis urin.3
Makroskopis urin yang mendukung gangguan di ginjal yaitu ditemukannya
kekeruhan pada urin. Pada kimia urin dapat ditemukan bahan-bahan seperti
glukosa, protein dan lain-lain. Sedangkan pada mikroskopis urin dapat
ditemukan sedimen dan kristal. Pada keadaan hiperurisemia dan gangguan
ginjal dapat ditemukan kristal asam urat.3
1.5.2.3 Kristal Asam Urat Cairan Sendi
Asam urat merupakan produk metabolisme dari pemecahan protein, yang
terdapat pada cairan sendi dalam konsentrasi ekstraseluler yang tinggi dan
umumnya menghasilkan struktur kristal. Kristal urat berbentuk seperti jarum dan
ditemukan bebas dalam cairan atau dalam lekosit. Pemeriksaan cairan sendi
merupakan pemeriksaan untuk melihat deposit kristal asam urat pada sendi yang
mengalami peradangan (Gout).17
Metode pemeriksaan ini adalah pemeriksaan manual dengan prinsip yaitu
kristal asam urat akan mengendap bila dilakukan sentrifugasi. Bahan pemeriksaan
untuk pemeriksaan ini adalah cairan sendi. Prosedur pemeriksaan kristal asam urat
ini adalah sebagai berikut : 17
125
2.17
Hipernatremia
Gejala & tanda tanda :
1.
2.
3.
4.
5.
diabetikum
menyebbkan
126
2.18
Hiperkalemi
Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah
yang naiknya secara abnormal. Tingkat potassium dalam darah yang
normal adalah 3.5- 5.0 milliequivalents per liter (mEq/L). Tingkat-tingkat
potassium antara 5.1 mEq/L sampai 6.0 mEq/L mencerminkan
hyperkalemia yang ringan. Tingkat- tingkat potassium dari 6.1 mEq/L
sampai 7.0 mEq/L adalah hyperkalemia yang sedang, dan tingkat-tingkat
potassium diatas 7 mEq/L adalah hyperkalemia yang berat/parah.
(Dawodu, S 2004)
Gejala-Gejala Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat menjadi asymptomatic, yang berarti bahwa ia
tidak menyebabkan gejala-gejala. Adakalanya, pasien-pasien dengan
hyperkalemia melaporkan gejala-gejala yang samar-samar termasuk:
mual
127
lelah
kelemahan otot
perasaan kesemutan
Gejala-gejala hyperkalemia yang lebih serius termasuk denyut
jantung yang perlahan dan nadi yang lemah. Hyperkalemia yang parah
dapat berakibat pada berhentinya jantung yang fatal. Umumnya, tingkat
potassium yang naiknya secara perlahan (seperti dengan gagal ginjal
kronis) ditolerir lebih baik daripada tigkat-tingkat potassium yang
naiknya tiba-tiba. Kecuali naiknya potassium adalah sangat cepat, gejalagejala dari hyperkalemia adalah biasanya tidak jelas hingga tingkattingkat potassium yang sangat tinggi (secara khas 7.0 mEq/l atau lebih
tinggi). (Dawodu S, 2004)
Penyebab Hyperkalemia
Penyebab-penyebab utama dari hyperkalemia adalah disfungsi
ginjal,penyakit-penyakit dari kelenjar adrenal, penyaringan potassium
yang keluar dari sel-sel kedalam sirkulasi darah, dan obat-obat. (Dawodu
S, 2004)
Disfungsi ginjal
Potassium nornmalnya disekresikan (dikeluarkan) oleh ginjalginjal, jadi penyakit-penyakit yang mengurangi fungsi ginjal-ginjal dapat
berakibat pada hyperkalemia. Ini termasuk:
ginjal
hyperkalemia
diberikan
jika
dapat
mengembangkan
pengganti-pengganti
perburukan
garam
yang
128
2.19
ACE inhibitor
Arb
Deuretik hemat kalium
Nsaid
Hipoalbuminemia
Tiga protein yang terdapat dalam plasma adalah albumin, globulin dan
129
130
2.20
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan penurunan utama dalam konsentrasi
131
serum anion untuk laboratorium tertentu dan nilai dasar dari gap anion individu
karena itu diperlukan untuk interpretasi yang optimal dari perubahan nilai.
Beberapa faktor dapat mengubah gap serum anion. Parameter ini dikurangi
dengan ~ 2.3 mmol / l untuk setiap 10 g / l penurunan konsentrasi serum albumin.
Akumulasi paraproteins kationik, bromida, atau iodida dalam serum dapat
menurunkan anion gap atau bahkan membuat itu negative. Sebaliknya, akumulasi
protein para anion atau pengembangan hyperphosphatemia dapat menaikkan gap.
serum anion memang, sebagian besar kasus kesenjangan anion serum sangat
tinggi (yaitu, nilai-nilai> 45 mmol / l) berhubungan dengan hyperphosphatemia.
parah Namun, penyebab paling umum dari kesenjangan serum anion tinggi adalah
akumulasi anion organik atau anorganik di asidosis metabolik.
Dampak dari akumulasi asam pada gap anion telah dikonseptualisasikan sebagai
berikut. Jika asam terakumulasi dalam darah adalah asam klorida, maka tidak ada
perubahan dalam gap anion akan diharapkan (gap anion normal atau hiper asidosis
metabolik chloremic) karena ditahan Cl adalah stoikiometri setara dengan HCO3dititrasi dengan proton dipertahankan. Kesenjangan serum anion dalam jenis
asidosis benar-benar dapat jatuh sedikit karena titrasi asam protein beredar.
Di sisi lain, jika asam mengumpulkan mengandung anion selain Cl- (seperti
halnya dengan betahydroxybutyrate, misalnya), maka penurunan konsentrasi
serum HCO3- dikaitkan dengan ketinggian di gap anion (anion gap tinggi
metabolik asidosis) 0,33 ketika konsentrasi HCO3- melebihi anion gap, kita
dapat menyimpulkan bahwa hidup bersama hiper asidosis chloremic hadir.
Namun, jika konsentrasi HCO3- lebih rendah dari anion gap , alkalosis hidup
bersama metabolik (atau gangguan hyperbicarbonatemic lainnya) dianggap
present.
Seperti dibahas secara rinci di tempat lain, evolusi hubungan antara gap anion
dan konsentrasi HCO3- dengan asidosis organik lebih kompleks daripada yang
disarankan oleh analisis ini. Faktor yang terlibat dalam menentukan hubungan ini
mencakup ruang distribusi yang terlibat anion / s dan proton, tingkat ekskresi
132
anion kemih dan generasi ginjal HCO3-, dan kuantitas infus fluids. Cl yang
mengandung Sebagai konsekuensinya, gap anion konsentrasi / HCO3biasanya 1: 1 pada pasien dengan ketoasidosis, seringkali lebih besar dari 1: 1
(dan dapat setinggi 1,6-1,8: 1) pada pasien dengan asidosis laktat, dan biasanya
kurang dari 1: 1 pada pasien dengan toluena keracunan dan dalam beberapa kasus
ketoacidosis diabetes.
Karakterisasi pola gap anion memiliki implikasi untuk tidak hanya diagnosis,
tetapi juga untuk mengobati ment. Peningkatan dalam gap serum anion terkait
dengan akumulasi anion organik merupakan sumber potensial dari dasar. Setelah
gangguan metabolik adalah cor rected, akumulasi anion akan dikonversi ke equiva
meminjamkan jumlah dasar dan harus diperhitungkan selama pengobatan (lihat di
bawah).
studi diagnostik tambahan
Box 1 menunjukkan studi yang harus dilakukan dalam evaluasi baik anion tinggi
dan anion gap yang normal asidosis metabolik. Pengukuran serum dan urine
keton, serum laktat, kreatinin serum, salisilat serum, osmolalitas serum dan
kesenjangan osmolal, dan dalam beberapa kasus, tingkat serum alkohol beracun
dan konsentrasi urin asam organik, akan mendeteksi lebih dari 90% dari penyebab
anion gap tinggi osis asam metabolik. Dalam beberapa kasus, sifat asam
terakumulasi akan menentang penelitian bahkan canggih, seperti kinerja tinggi
chromatography.
Pengukuran serum dan urin keton biasanya akan mengidentifikasi ketoasidosis,
tetapi tes untuk keton hanya mengakui asetoasetat. Dengan demikian, dalam
alkohol keto asidosis atau dalam kasus di mana berdampingan asidosis laktat
(yaitu, pada gangguan yang mendukung betahydroxybutyrate forma tion), jejak
positif atau bahkan pembacaan negatif dapat diperoleh. Sebuah serum laktat
konsentrasi> 5 mmol / l akan mengidentifikasi pasien dengan tipe klasik A osis
asam laktat. Namun, tes rutin untuk laktat mendeteksi hanya lisomer tersebut; tes
khusus diperlukan untuk mendeteksi hadir disomer di acidosis acid.
133
134
asidosis metabolik meta akut: bersama-sama mereka account untuk sekitar 85%
dari kasus ketika asam basa metabolik parah (pH darah <7,1). Beralkohol
ketoasidosis merupakan penyebab yang kurang sering asidosis metabolik akut dan
yang paling sering diamati setelah pesta minuman keras. Asidosis lactic adalah
kelainan langka biasanya ditemukan di idividu dengan short bowel syndrome.
Kehadiran tanda-tanda neurologis dan gejala, seperti ataksia dan bicara cadel.
Keracunan salisilat yang paling umum terjadi pada individu yang mencoba bunuh
diri atau pada pasien yang lebih tua mengambil terapi untuk pengobatan rheumatic
disorders. Dengan tidak adanya riwayat konsumsi salisilat, kehadiran alkalosis
pernapasan merupakan petunjuk penting untuk diagnosis salisilat kemabukan.
alkohol beracun, termasuk methanol, ethylene glycol, dietil ene glikol, dan
propilen glikol, adalah penyebab umum dari acidosis. metabolik Asidosis
metabolik yang disebabkan oleh methanol, etilena glikol dan dietilen glikol intoxi
kation memiliki risiko kematian yang tinggi, jika tidak diakui awal. Propylene
glycol, pengencer yang biasa digunakan dalam beberapa obat termasuk
benzodiazepin, dapat menyebabkan asidosis laktat pada pasien yang menerima
dosis tinggi tions medica ini intravenously. Penyebab yang jarang asidosis
metabolik adalah akumulasi asam pyroglutamic yang dihasilkan dari konsumsi
berlebihan acetaminophen. akhirnya, puasa, terutama jika berkepanjangan, dapat
menyebabkan ketoasidosis ringan.
TERAPI
Pengobatan yang paling baik untuk asidosis adalah mengoreksi keadaan
yang menyebabkan kelainan, sering kali pengobatan ini menjadi sulit
terutama pada penyakit kronis yang menyebabkan gangguan fungsi paru atau
gagal ginjal. U n t u k m e n e t r a l k a n k e l e b i h a n a s a m s e j u m l a h b e s a r
n a t r i u m b i k a r b o n a t d a p a t diserap melalui mulut. Natrium bikarbonat
diabsorbsi
dari
traktus
gastroinstestinal
kedalam
darah
dan
135
Daftar Pustaka
1.
New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels:
Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown
2.
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008
3.
Wortmann RL. 2005. Gout and Other Disorders of Purine Metabolism. Dalam:
Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, editor. Harrisons Principles of Internal
Medicine Edisi ke-16. New York: McGraw Hill.
4.
et al.
2008. Elevated Uric Acid Increases the Risk for Kidney Disease. J Am Soc
Nephro
5.
6.
Leonard JD, Printen KJ. Thrombophlebitis in the elderly. Am Surg. 1980 Aug.
46(8):441-3.
7.
Baker CC, Petersen SR, Sheldon GF. Septic phlebitis: a neglected disease. Am
136
Pruitt BA Jr, McManus WF, Kim SH, Treat RC. Diagnosis and treatment of
cannula-related intravenous sepsis in burn patients. Ann Surg. 1980 May.
191(5):546-54.
9.
Strinden WD, Helgerson RB, Maki DG. Candida septic thrombosis of the
great central veins associated with central catheters. Clinical features and
management. Ann Surg. 1985 Nov. 202(5):653-8
10.
Verghese
A,
Widrich
WC,
Arbeit
RD.
Central
venous
septic
Sinave CP, Hardy GJ, Fardy PW. The Lemierre syndrome: suppurative
thrombophlebitis of the internal jugular vein secondary to oropharyngeal
infection. Medicine (Baltimore). 1989 Mar. 68(2):85-94.
12.
13.
Chirinos JA, Lichtstein DM, Garcia J, Tamariz LJ. The evolution of Lemierre
syndrome: report of 2 cases and review of the literature. Medicine (Baltimore).
2002 Nov. 81(6):458-65.
14.
Garcia
J, Aboujaoude
R, Apuzzio
J, Alvarez
JR.
Septic
pelvic
Southwick FS, Richardson EP Jr, Swartz MN. Septic thrombosis of the dural
venous sinuses. Medicine (Baltimore). 1986 Mar. 65(2):82-106.
16.
17.
18.
Brown CE, Stettler RW, Twickler D, Cunningham FG. Puerperal septic pelvic
thrombophlebitis: incidence and response to heparin therapy. Am J Obstet
Gynecol. 1999 Jul. 181(1):143-8
19.
137
portal vein (pylephlebitis): diagnosis and management in the modern era. Clin
Infect Dis. 1995 Nov. 21(5):1114-20.
20.
Meda MS, Lopez AJ, Guyot A. Candida inferior vena cava filter infection and
septic thrombophlebitis. Br J Radiol. 2007 Feb. 80(950):e48-9.
21.
Lee BK, Lopez F, Genovese M, Loutit JS. Lemierre's syndrome. South Med J.
1997 Jun. 90(6):640-3.
22.
David H. A 21-year-old man with fever and abdominal pain after recent
peritonsillar abscess drainage. Am J Emerg Med. 2009 May. 27(4):515.e3-4.
23.
Cannon ML, Antonio BL, McCloskey JJ, Hines MH, Tobin JR, Shetty AK.
Cavernous sinus thrombosis complicating sinusitis. Pediatr Crit Care Med. 2004
Jan. 5(1):86-8.
24.
25.
26.
Maki DG, Kluger DM, Crnich CJ. The risk of bloodstream infection in adults
with different intravascular devices: a systematic review of 200 published
prospective studies. Mayo Clin Proc. 2006 Sep. 81(9):1159-71.
27.
28.
29.
30.
Garrison
RN,
Richardson
JD,
Fry
DE.
Catheter-associated
septic
[Guideline] Larsen JW, Hager WD, Livengood CH, Hoyme U. Guidelines for
138
Kagel EM, Rayan GM. Intravenous catheter complications in the hand and
forearm. J Trauma. 2004 Jan. 56(1):123-7.
33.
Ames JT, Federle MP. Septic thrombophlebitis of the portal venous system:
clinical and imaging findings in thirty-three patients. Dig Dis Sci. 2011 Jul.
56(7):2179-84.
34.
Bogue CO, Leahy TR, Rea DJ, et al. Idiopathic suppurative pylephlebitis:
interventional radiological diagnosis and management. Cardiovasc Intervent
Radiol. 2009 Nov. 32(6):1304-7.
35.
Mori H, Fukuda T, Isomoto I, Maeda H, Hayashi K. CT diagnosis of catheterinduced septic thrombus of vena cava. J Comput Assist Tomogr. 1990 Mar-Apr.
14(2):236-8.
36.
Linn J, Ertl-Wagner B, Seelos KC, et al. Diagnostic value of multidetectorrow CT angiography in the evaluation of thrombosis of the cerebral venous
sinuses. AJNR Am J Neuroradiol. 2007 May. 28(5):946-52.
37.
Twickler DM, Setiawan AT, Evans RS, et al. Imaging of puerperal septic
thrombophlebitis: prospective comparison of MR imaging, CT, and sonography.
AJR Am J Roentgenol. 1997 Oct. 169(4):1039-43.
38.
39.
40.
41.
139
42.
140