Anda di halaman 1dari 32

Irigasi dan Bangunan Air – 2

Bangunan yang terdapat di daerah irigasi, ada dua katagori yaitu Bangunan Utama dan
Bangunan Pelengkap.

2.1. Bangunan Utama

Yang dimaksud bangunan utama adalah semua bangunan yang berguna sebagai sarana
dimana air untuk irigasi diambil.

Yang termasuk bangunan utama antara lain:

1. Waduk
Dari sisi irigasi berfungsi untuk menyimpan air berlebih (musim hujan) untuk
dikeluarkan pada waktu diperlukan (musim kemarau). Jadi fungsi utama waduk
adalah pengatur debit.

2. Bangunan pengelak/Bendung
Bangunan ini melintang dipalung sungai, untuk menaikkan dan membelokkan air
sungai ke jaringan irigasi.Type bangunan ini ada dua

1. Bangunan Bendung Pelimpah/Mercu Tetap


2. Bangunan Bendung Gerak/Karet

Bangunan Pelengkap bendung :


a. Bangunan Pengelak
Selain bangunan pengelak ini berfungsi untuk menaikkan muka air dan
membelokan aliran sungai ke jaringan irigasi. Ada juga yang berfungsi hanya
membelokan air saja, bangunan ini disebut Bottom Rack Weir (Bendung
saringan bawah)

b. Bangunan Pengambilan
Pengambilan merupakan bangunan yang berupa pintu air. Air sungai
dibelokkan ke Jaringan Irigasi lewat pintu ini.

Salamun 3
Irigasi dan Bangunan Air – 2

c. Bangunan Pembilas
Pembilas pada tubuh bendung tepat di hilir pengambilan, dibuat bangunan
pembilas ini guna mencegah masuknya bahan sedimen dasar ke jaringan
irigasi

d. Kantong Lumpur
Kantong lumpur berfungsi untuk pengendapan lumpur yang terbawa oleh air
sungai. Hal ini berguna apabila air sungai mengandung lumpur dengan
diameter d > 0,06 mm.

e. Pengaman Sungai
Pekerjaan pengaman sungai ini khusus di sekitar bendung guna menjaga
bendung tersebut dari penggerusan.

3. Bangunan Pengambilan Bebas


Bangunan pengambilan bebas merupakan bangunan disisi sungai yang berfungsi
membelokkan air sungai kejaringan irigasi tanpa menaikkan muka air sungai.

4. Station Pompa
Bangunan ini apabila pengambilan air sungai tidak mungkin membangun bendung,
maka untuk menaikan muka air sungai kejaringan irigasi digunakan pompa.
Station Pompa ini juga dapat digunakan apabila sumber air irigasi diambil dari air
tanah.

Bangunan-bangunan tersebut selain bangunan pengelak sebenarnya merupakan


bangunan pelengkap bendung.

2.2. Bangunan Pelengkap

2.2.1. Bangunan pengatur aliran/debit

Di setiap areal perlu bangunan Pengatur aliran/debit untuk mendapatkan air yang
proporsional.

Fleksibilitas
Dalam perencanaan bangunan pengatur aliran (bagi, sadap, boks tersier, boks
kuarter) harus mempertimbangkan Fleksibilitas.
Fluktuasi, yaitu perbandingan antara besarnya perubahan debit satu bukaan dengan
besarnya perubahan debit bukaan lainnya.
Salamun 4
Irigasi dan Bangunan Air – 2

dQ1
Q
F 1
dQ2
Q2
dimana
F = Fleksibilitas
Q1 = Debit yang lewat bukaan 1
Q2 = Debit yang lewat bukaan 2

Rumus umum untuk menghitung debit (head discharge) melalui ambang;


Q = C b hn
Dimana
Q = Debit
b = Lebar mercu
h = Kedalaman air diatas mercu
n = Koefisien
Koefisien debit C tergantung pada tipe dan bentuk sisi mercu atau ambang. Dalam
batas-batas penerapan, koefisien ini dipakai untuk ambang lebar yang tidak
dipengaruhi oleh kedalaman air diatas ambang. Tetapi untuk ambang tajam dan
pendek, koefisien tersebut merupakan fungsi kedalaman air h.
Pada umumnya rumus yang dipakai juga Q = C b hn .
Rumus tersebut diturunkan dQ/dh=n.C b hn-1, dan pembagian dengan Q dan Cbhn-1
menghasilkan : dQ/Q = n dh/h. Subtitusi ke persamaan diatas mendapatkan :
n1dh1 .h2
F
n2 dh2 h1
Perubahan muka air dihulu ambang otomatis merubah muka air hilir ambang
sehingga dh1/dh2 = 1
n1 .h2
F
n2 .h1
Agar diperoleh nilai fleksibilitas =1, maka n1/h1 hendaknya sama dengan n2/h2.
Supaya persyaratan ini terpenuhi untuk semua kedalaman air, maka ambang di
kedua bukaan sebaiknya mempunyai tipe dan elevasi yang sama. Dari ketentuan
tersebut lebar pintu sebanding dengan luas areal yang akan diairi. Dan lebar
bukaan pintu minimal 0,20 Cm.

a. Bangunan Bagi
Salamun 5
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Bangunan mengatur aliran dari saluran induk ke saluran sekunder.

Ke saluran sekunder

Sal induk Ke Saluran Sekunder/Primer

Ke saluran Sekunder

Gambar 2.1 Denah Bangunan Bagi

b. Bangunan Sadap.
Bangunan mengatur aliran dari saluran sekunder ke saluran tersier.

c. Bangunan Bagi Sadap


Bangunan ini selain mengatur aliran dari saluran induk ke saluran sekunder juga
disadap untuk sawah didekatnya. Sebetulnya hal ini tidak boleh namun demi
keamanan dan menjaga kerusakan yang lebih parah, maka bangunan ini
difungsikan juga sebagai bangunan sadap.

d. Bangunan Sadap Corongan


Sal Sekunder
Stop kran

Sawah A < 10 Ha

Pipa pralon  10 cm

 Gambar 2.2. Sadap corongan

Bangunan ini mengatur aliran dari saluran induk maupun sekunder ke areal
irigasi yang akan diairi luasnya kurang dari 10 Ha. Hal ini hampir sama dengan
Bangunan Bagi Sadap, namun lokasi bangunan ini di saluran, baik di saluran
induk maupun sekunder.

2.2.2. Pengukur debit dan muka air


Pengukur debit.
Salamun 6
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Setiap bangunan bagi, sadap, box tertier maupun box kuarter seharusnya dilengkapi
dengan bangunan ukur debit. Hal ini agar pengelolaan air irigasi menjadi efektif
Dalam perencanaan bangunan ukur debit harus mempertimbangkan :
- Kecocokkan bangunan untuk mengukur debit
- Ketelitian pengukuran di lapangan
- Kokoh, sederhana dan teliti
- Exploitasi dan pembacaan papan duga/mistar ukur mudah
- Pemeliharaan sederhana dan murah
- Cocok dengan kondisi setempat dan dapat diterima petani

Pengukur debit yang umum dipakai di Irigasi al:

a. Ambang lebar
Ambang Lebar merupakan alat ukur yang memerlukan alat pengatur, alat
pengatur ini berupa pintu sorong. Sebetulnya pintu sorong juga dapat digunakan
sebagai alat ukur, namun bukaan pintu ini dibawah sehingga sering tertutup oleh
sampah atau kotoran sehingga menjadi tidak akurat ukurannya. Bila alat terpaksa
dipakai sebagai alat ukur karena ssuatu maka formulanya sebagai berikut;

Rumus umum pintu sorong

Q=BH 2 gz

Dimana
Q = Debit (m3/dt)
 = Koefisien debit
H = Tinggi bukaan pintu (m)
g = Gravitasi bumi
B = Lebar alat ukur (m)
Z = Beda tinggi air hulu dan hilir pintu (m)

Jika digunakan ambang lebar, maka pintu sorong tersebut digunakan sebagai
pengatur bukaan Pintu
saja. Alat ukur ambang lebar ini sangat baik untuk mengukur
Sorong
debit dan dianjurkan untuk dipakai karena Mistar
konstruksinya
Ukur kokoh dan mudah
dibuat.

Salamun h1 7

p
L

> H1 2 - 3H1
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Gambar 2.3. Sket alat ukur ambang lebar

Perencanaan hidrolis Ambang lebar


Q = Cd.Cv. 2/3 2
3 g .b.h3/2
Dimana
Q = Debit (m3/dt)
Cd = Koefisien debit = 0,93 + 0,10 H1/L ; untuk 0,1 < H1 /L < 1,0
Cv = Koefisien kecepatan datang
H1 = Tinggi energi hulu (m) = h1 + v2/2g
L = Panjang mercu ( m) > 1,75 H1
g = Gravitasi bumi
b = Lebar alat ukur (m)
h1 = Kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur (m)
Untuk mendapatkan tinggi h1 disebelah hulu dilengkapi dengan pintu sorong.

b. Pintu Romijn
Romijn sama dengan ambang lebar, perbedaannya hanya pada meja ambang
yang dapat digerakkan naik turun. Kegunaan meja ini untuk mengatur debit.

Gambar 2.4. Sket alat ukur Romijn


Perencanaan hidrolis
Q = Cd.Cv. 2/3 2
3 g .b.h3/2

Salamun 8
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Dimana
Q = Debit yang lewat pintu
Cd = Koefisien debit
Cv = Koefisien kecepatan datang
.g = Percepatan gravitasi
.b = Lebar pintu
.h = Tinggi air diatas meja Romijn

1,20
Koefisien Kecepatan Cv

1,15

1,10

1,05

1,00 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

Gambar 6.5. Grafik Koefisien Cv


Keterangan
Pengontrol segiempat  = 1,50
Pengontrol Parabolic/Trapesium  = 2,00
Pengontrol segi empat  = 1,50
Untuk dilapangan pada umumnya debit yang
Perbandingan lewat
luas Cd. diatas ambang baik di pintu
A /A x 1
Romijn maupun Ambang Lebar memakai rumus.

Q = 1,71 B.h3/2
Dimana
Q = Debit yang lewat pintu
B = Lebar pintu
h = Tinggi air diatas Ambang
c. Cipoletty

Salamun 9
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Alat ukur ini sangat baik apabila digunakan di daerah pegunungan. Hal ini
dikarenakan membutuhkan peluapan yang sempurna.

B > 3h L > 2h

>3 H

.h<60 Cm
.t < 0,1 h > 5 cm
Lubang penguras
.p >3h

Gambar 2.6. Sket alat ukur Cipoletty

Perencanaan Hidrolis
Q = 1,86 B . h3/2
Dimana
Q = Debit yang lewat pintu
B = Lebar pintu
h = Tinggi air di atas pisau Cipoletty

Pengatur muka air.


Elevasi muka air irigasi sangat mutlak diperlukan, hal ini terkait dengan elvasi
sawah yang akan diairi. Pada bangunan yang mengalami fluktuasi muka air yang
menyebabkan perbedaan tinggi muka air dengan elevasi sawah perlu pengatur
muka air. Dengan adanya pengatur muka air kebutuhan air di sawah akan terjamin
volumenya. Termasuk disini bangunan-bangunan karena keadaan medan seperti
terjun, got miring, pelimpah dll.

a. Skotbalk

Salamun 10
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Dari segi konstruksi skotbalk merupakan peralatan yang sederhana. Balok-


balok profil segiempat disusun disesuaikan dengan kebutuhan muka air.
Sehingga Skotbalk ini merupakan mercu yang tidak tetap dan dapat diatur.

1,30

1,20
Koefisien debit Cd

1,10

1,00

L
0,90 H1 b
h1
h1
0 0.5 1.0 2.0 2.5 3.0
p

Jika h1/(h1+p)<3,5
Perencanaan
H1  h1 hidrolis

Q =2/3 Cd. Cv. b. h1,5. 2


3 g
20 cm
Dimana
Q = Debit m3/detik 15 cm <b< 20 cm b < 15 cm
Cd = Koefisien debit (lihat grafik)
Cv = Koefisien kecepatan datang (untuk segiempat Cv = 1)
.b = Lebar normal2.8. Grafik Nilai banding H1/L
Gambar

.h = Tinggi air diatas skotbalk

b. Gorong-gorong

Bangunan ini melintas dibawah bangunan lain (jalan, saluran lain) dengan sifat
aliran nya bebas dan bertekanan (pressure flow). Untuk aliran bebas hidroliknya
seperti pada saluran.
Hf1 Hf2 Hf3

Salamun 11
L
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Gambar 2.8. Sket Gorong-gorong

Perhitungan hidrolis untuk gorong-gorong yang sifat alirannya bertekanan


berdasar pada kehilangan energi.

V2 L.V 2 V2
Hf = Hf1 + Hf2 + Hf3 = 0,5 + f +
2g 2 g .d 2g

Hf
V  2g
L
1,5  f .
d
Q=AxV
Hf = Beda tinggi (m)
V = Kecepatan aliran dalam gororng-gorong (m/dt)
A = Luas penampang gorong-gorong (m2)
Q = Debit yang lewat gorong-gorong (m3/dt)
f = Kekasaran dinding gorong-gorong

c. Talang

Bangunan ini melintas diatas bangunan lain (jalan, saluran lain) dengan sifat
aliran nya bebas. Sistem hidraulikanya sama dengan aliran dalam saluran.

 

Gambar 2.9. Sket Talang


d. Syphon

Salamun 12
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Bangunan ini melintas dibawah bangunan lain (jalan, saluran lain) dengan sifat
alirannya tertekan. Perencanaan hidrolis bangunan syphon ini harus
mempertimbangkan kecepatan aliran, kehilangan pada peralihan masuk,
kehilangan akibat gesekan, kehilangan pada bagian siku syphon serta
kehilangan pada peralihan keluar.

Disamping itu perlu mempertimbangkan pemeliharaan syphon dengan diameter


sipon minimal 0,60 m. Bangunan syphon tidak baik dipakai untuk saluran
pembuang. Untuk menghindari sampah yang masuk kedalam syphon dihulu
syphon diberi saringan dengan memasang kisi-kisi penyaring (trash rack).

Syphon yang panjangnya lebih 100 m harus diberi manhole untuk


pemeliharaan/pemeriksaan dan pintu pembuang. Yang perlu diperhatikan dalam
perencanaan syphon adalah kecepatan didalam syphon minimal 1,5 – 2,5 m/dt.
Hal ini untuk menghindari terjadinya pengendapan sedimen didasar syphon.

Perencanaan Hidrolis

Aliran dalam Syphon adalah aliran bertekanan, sehingga perhitungan dengan


memperhitungkan kehilangan energi yaitu :

1. Kehilangan energi pada kisi-kisi


V2
Hf  C dan
2g
4/3
s
C    sin 
b
dimana
Hf = Kehilangan tinggi energi
V = Kecepatan melalui kisi-kisi
C = Koefisien
 = Faktor bentuk (1,8 untuk bulat 2,4 untuk persegi)
s = Tebal jeruji,
b = Jarak jeruji
 = Sudut kemiringan dengan bidang horizontal
g = Gravitasi bumi

Salamun 13
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Misal tebal jeruji s = 10 mm dan jarak jeruji kisi-kisi b =100 mm dan sudut
kemiringan dengan bidang horizontal  = 750 serta bentuk jeruji bulat 
=1,8. kecepatan dalam syphon V = 2 m/dtk maka

C = 1,8 (0,1)4/3 sin 750 = 0,081

Hf = 0,081 x 22/(2x9,81) = 0,016 m

Disamping itu kedalaman (D) syphon untuk mendapatkan keamanan


konstruksi al:

Dengan jalan minimal 0,60 m


Dengan Saluran pasangan minimun 0,30 m
Dengan Saluran tanah minimum 0,60 m
Dengan Sungai minimum 1,0 m

Q = 1,44 m3/dtk Jalan/bangunan lain


V = 0,56 m/dtk Q = 1,44 m3/dtk
V = 0,56 m/dtk

L 1 =19,40 m L3 = 22,25 m

L2 = 17,40 m

Gambar 2.10. Sket Syphon

2. Kehilangan energy akibat gesekan

Kehilangan energy akibat gesekan dapat dipakai rumus aliran dalam pipa,

V 2L
Hf 
K 2R4/3
dimana
Hf = Kehilangan energy akibat gesekan, m
V = Kecepatan aliran dalam syphon , m/dtk
L = Panjang syphon, m
K = Koefisien kekasaran Stirckler, m1/2.dtk
R = Jari-jari hidraulik, m
Salamun 14
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Untuk syphon dengan panjang (L1 + L2 + L3) = 59,05 m dari beton


dengan K = 70 m1/3/dtk, penampang seluas A = 0,72 m2 dan berbentuk
seperti gambar dengan H=B = 0,90 m

0,25 H
H=B

A = 0,90 x 0,90 – 4(0,5 x 0,25 x 0,25) = 1,44 m2


O = 4 x (H – 2 x 0,25 H) + 8 x (0,25 H)2
= 2 H + 1,4 H = 2 x 0,90 +1,4 x 0,90 = 3.06 m
R = A/O = 1,44/3.06 = 0.23 m
22 x50,05
Hf   0.34 m
7020.234 / 3

2. Kehilangan energy belokan


V2
Hf  Kb.
2g

dimana
Hf = Kehilangan energy akibat gesekan, m
V = Kecepatan aliran dalam syphon, m/dtk
Kb = Koefisien akibat belokan.
g = Gravitasi bumi, m2/dtk

Untuk talang seperti gambar belokan pertama sudutnya 16,500 ; kedua 150.

Dari daftar belokan untuk sudut 16,500 Kb = 0,042 ; sudut 150 Kb = 0,04.

22
Hf  (0,042  0,04).  0,017 m
2 x9,81

4. Kehilangan energy akibat peralihan

Kehilangan energy akibat peralihan dimaksudkan peralihan dari aliran bebas


(free flow) pada saat masuk dan keluar dari Syphon.

Pada saat masuk Syphon Hmasuk = masuk(Va – V1)2/2g


Salamun 15
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Pada saat keluar Syphon Hkeluar = keluar(V2 – Va)2/2g

dimana
Va = Kecepatan didalam syphon
V2 = Kecepatan setelah syphon
V1 = Kecepatan sebelum masuk syphon
masuk = 0,20;

keluar = 0,40

Pada saat masuk Hmasuk = 0,20x(2– 0,56)2/(2x9,81) = 0,024m


Pada saat keluar Hkeluar = 0,40x(0,56 - 2)2/(2x9,81) = 0,048 m

Total kehilangan energy pada syphon


Hf = 0,016 + 0,34 + 0,017 + 0,024 + 0,048 = 0,45 m

e. Jembatan
Bangunan ini melintang diatas saluran/sungai yang berfungsi untuk sarana transportasi.
Perencanaan Jembatan sesuai dengan peraturan Bina marga mengenai klas jembatannya.
Perencanaan hidrolis seperti saluran kecuali kalau abutmen mempersempit saluran.

e. Bangunan Terjun

Bangunan terjun atau got miring diperlukan apabila kemiringan tanah lebih curam
daripada kemiringan maksimum saluran. Bangunan ini ada 4 bagian yang perlu mendapat
perhatian antara lain:

1) Bagian hulu pengontrol, dimana aliran masuk menjadi super kritis.


2) Bagian di mana aliran air dialirkan ke yang lebih rendah
3) Bagian tepat disebelah hilir potongan U, dimana energi diredam
4) Bagian peralihan saluran perlu lindungan untuk mencegah erosi.

1. Bagian pengontrol

Bagian pengontrol ini merupakan bagian pertama yaitu untuk mengontrol aliran diatas
ambang. Hubungan tinggi energi yang memakai ambang sebagai acuan.

Salamun 16
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Pengontrol Aliran Pembawa Peredam Peralihan

H1
penurunan grs energi
h1 tirai luapan
.y1
.p

Z
Hd Yd .y2

Lp Lj
Panjang kolam LB

Gambar 2.11. Sket Bangunan Terjun


Keuntungan dari gabungan bangunan ini yaitu pada bagian bangunan pengontrol tidak
menyebabkan kurve pengempangan yang menyebabkan terjadinya sedimentasi atau
menurunnya muka air (erosi) disaluran hulu.
Y1=kedalaman

H1=tinggi energi

Harga antara aliran operasional

p Gambar 2.12. Grafik Kurva Q - h


Pada waktu menentukan bagian pengontrol, kurve Q - h dapat diplot pada grafik diatas.
0 20 100 120%
Terjun ada dua yaitu terjun tegak dan terjun miring

a). Terjun tegak


Bangunan terjun tegak dipakai apabila tinggi terjun < 1,50 m. Diharapkan dengan
terjun tegak ini luapan yang jatuh bebas akan mengenai lantai terjun.

Perencanaan Hidrolis

Salamun 17
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Z = (H + Hd) - H1
Hd = 1,67 H1
Vu = 2 gz ; Yu = q/vu
vu
Fr 
gy u

Dimana
H1 = Tinggi energi dimuka ambang
H = Perubahan tinggi energi pada bangunan
Hd = Tinggi energi dihilir pada kolam olak
q = Debit persatuan lebar ambang
n = Tinggi ambang pada ujung kolam olak.

2. Terjun Miring
Terjun miring apabila tinggi terjun > 1,50 m. Hal ini untuk menghilangkan
pemisahan aliran pada sudut miring.

H1 Yc
Loncat air H
Hu
Z

H2 Y2
Yu n

Panjang kemiringan Potongan U


Lj
Gambar 2.13. Terjun Miring
Kemiringan terjun minimal 1:2. Kolam olak disesuaikan dengan harga Yu dan Hu.

g. Got Miring

Bangunan ini untuk mengatasi perbedaan elevasi seperti pada terjun namun panjang
salurannya cukup panjang. Permasalahan yang timbul adalah aliran dalam got miring
adalah superkritis dan bagian peralihannya harus licin dan berangsur agar tidak terjadi
gelombang.

Perencanaan hidrolis

Salamun 18
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Dalam perncanaan hidrolis got miring dibagi dalam 4 kondisi yaitu:


1. Bagian peralihan masuk
2. Bagian Normal
3. Bagian peralihan keluar
4. Bagian kolam olak

Bagian peralihan masuk


L


peralihan masuk

Gambar 2.14. Peralihan Masuk Bagian normal

Menurut USBR (1978) perencanaan geometri mengikuti aturan sbb:

1. Kotangen sudut lentur muka air tidak boleh


lebih kecil dari 3,375 kali bilangan Froud (Fr). Sebaiknya sudut pelenturan
maksimum peralihan masuk 30o, sudut peralihan keluar 25o.

Cot  < 3,375 .Fr

Dimana
V
Fr 
(1  K ) g .d .Cot

Fr = Bilangan Froude di pangkal & ujung peralihan luas potongan.


D = Luas potongan/lebar atas potongan (m)
K = Faktor kecepatan
V = Kecepatan aliran pada titik yang bersangkutan
 = Sudut kemiringan lantai yang bersangkutan.

Salamun 19
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Faktor kecepatan K sangat tergantung pada lengkung lantai


K = 0 untuk lantai peralihan sebidang (tdk ada peralihan horizontal)
V2
K   lantai peralihan pada kurve bulat
g .r , Cos
(Tg L  Tg 0 )2hv.Cos 2 0
K   lantai peralihan kurva parabola
L
dimana
hv = Tinggi kecepatan pada pangkal/permulaan kurve, (m)
r = Jari-jari lengkung lantai (m)
V = Kecepatan pada titik yang bersangkutan (m/dt)
 = Kemiringan sudut lantai
L = Kemiringan sudut lantai diujung/diakhir kurve
0 = Kemiringan sudut lantai pada pangkal kurve
L = Panjang peralihan

USBR membatasi harga K < 0,50 hal ini untuk menjamin tekanan positif pada
lantai tetap ada.

2. Peralihan masuk non simetris dan perubahan


pada trace tepat didepan bangunan harus dihindari, hal ini akan menyebabkan
terjadinya gelombang silang dalam got miring.

Bagian masuk ini dapat dianggap mercu ambang lebar sehingga rumus ambang lebar
dapat dipakai pada bagian masuk ini.

Bagian normal
Bagian ini diperoleh aliran yang seragam. Namun karena adanya penyerapan udara.
Formula pada saluran tidak dapat dipakai disini.

V = kt Rb2/3 sin1/2
Q = n.hb2 kt Rb2/3 sin1/2
Dimana
n = b/hb = Perbandingan kedalaman dan lebar
Rb = Fb/Ob = Jari-jari hidraulik total
Fb = n.hb2 = Luas penampang basah total
Ob = (n+2).hb = Keliling basah total
Ko = Koefisien kekasaran Strickler
kt = k0(1-sin) = Koefisien yang telah disesuaikan
Salamun 20
Irigasi dan Bangunan Air – 2

 = Kemiringan got miring


b = Lebar dasar got miring
hb = Kedalaman total air

Tinggi maksimum got miring ditentukan dari tinggi air (ho) ditambah tinggi jagaan
atau 0,4 kali kedalaman kritis ditambah tinggi jagaan, dipilih dimana yang lebih
besar.

Tabel 2.1. Tinggi Jagaan (w) minimum Got Miring

Kapasitas (m3/dtk) Tinggi Jagaan (m)


Q < 3,50 0,30
3,50 < Q < 17,00 0,40
Q > 17,00 0,50

Bila kecepatan aliran di got miring > 9 m/dtk kemungkinan terjadi penambahan
volume air akibat adanya penghisapan udara.

Bila got miring panjangnya lebih 30 meter kemungkinan bahaya ketidak stabilan
aliran akan timbul, sering disebut dengan aliran getar (slug/pulsating). Maka harus
dicek dengan cara menghitung bilangan “Vedernikov” ( V ) dan “Montouri” (M)
sbb;

2bv v2
V  M 
3P gdCos gILCos
dimana
Bilangan Verdenikiv (V)

V = Bilangan Vedernikov
M = Bilangan Montouri
.b = Lebar dasar potongan got miring (m)]
.v = Kecepatan di got miring (m/dtk)
P = Keliling basah got miring (m)
.d = Kedalaman air rata-rata di got miring (m)
I = Kemiringan rata-rata, gradien energy = tan 
Daerah dengan aliran getar
L = Panjang got miring (m)

Salamun Daerah tanpa aliran getar 21

Bilangan Montouri (M2)


Irigasi dan Bangunan Air – 2

0 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9


2
Gambar 2.15. Grafik V terhadap M
d/P

0.2

0.1

Daerah tanpa aliran getar

0 0 0.1 0.2
Kemiringan x0.3tan  0.4

Daerah
Gambardengan aliran
2.16. Faktor getar
bentuk

Bagian Peralihan keluar

Bagian peralihan

Bagian normal lengkungan

Gambar 2.17. Sket Peralihan keluar

Panjang peralihan dihitung dengan rumus berikut:


v 2  v1  m 2 gH

Salamun 22
Irigasi dan Bangunan Air – 2

dimana
v1 = Kecepatan aliran di bagian pemasukkan
v2 = Kecepatan aliran di bagian got miring
m = 0,80 – 0,90
Panjang Bagian peralihan L = H/I

Bagian Kolam Olak

Yang terpenting disini adalah peredam gelombang yang dapat dihitung dengan rumus
Q   .F 2 gz

Didalam kolam olak ini ditentukan dengan besarnya nilai bilangan Froude :
1. Bila Fr < 1,7 tidak diperlukan kolam olak
2. Bila 1,7 < Fr < 2,5 kolam olak diperlukan untuk meredam energi secara
efektif.

3. Bila 2,5 < Fr < 4,5 ini menyebabkan beberapa kondisi baik loncatan air
dsb. Kalau dapat Fr dikurangi dengan merubah geometrinya. Kalau
tidak dapat diubah memakai type USBR IV.

4. Bila Fr > 4,5 mendapatkan kolam olak yang paling ekonomis.

Kolam olak yang ada dilapangan untuk got miring

Dasar saluran

Kolam II

Kolam I

Gambar 2.18. Kolam dengan kecepatan air besar

Kolam II
Salamun 23
Saluran setelah got
Kolam I miring
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Gambar 2.19. Kolam dengan kecepatan air kecil

h. Pelimpah Samping

Bangunan ini terletak ditanggul saluran untuk mengurangi debit/elevasi air akibat adanya
debit pembuang yang masuk ke saluran di sebelah hulunya. Sering disebut dengan
bangunan lindung karena untuk melindungi saluran dan bangunan dari debit yang
berlebihan. Sebetulnya bangunan lindung ini ada 4 macam al:

1. Saluran Pelimpah
2. Syphon Pelimpah
3. Pintu Otomatis
4. Cross drain

Bangunan tersebut berguna untuk membuang kelebihan air yang terjadi akibat adanya
debit yang masuk ke saluran selain debit kebutuhan Irigasi, seperti pembuangan air
berlebih dari sawah diatasnya atau lahan lainnya.

Debit yang dijinkan untuk dimensi saluran setelah pelimpah sebesar 120% debit rencana.
Sehingga kapasitas bangunan pelimpah ini harus memenuhi elevasi dari mercu pelimpah,
dimana mercu ini sanggup melimpahkan air kelebihan tersebut.

Sifat aliran yang lewat pelimpah samping ini tidak seragam yaitu “Gradually varied flow”
atau aliran tetap berubah beraturan. Tergantung dari debit yang lewat diatas mercu.

Menurut Smitch ada 4 aliran sbb:

Salamun 24
d1
h1 d2
C Ic>Ikr
Irigasi dan Bangunan Air – 2

a)

Aliran Super kritis

b) d1 h2
h1 C Ic < Ikr

Sub Kritis Kritis Sub Kritis

c) h2
h1
C Ic < Ikr

Sub Kritis Super Kritis Sub Kritis

d) h1
h2
C Ic < Ikr

Sub Kritis Super Kritis Sub Kritis

Dimana;
Ic = Kemiringan dasar saluran
Ikr = Kemiringan kritis
C = Tinggi mercu pelimpah
.h1 = Tinggi air dekat ujung hulu pelimpah
.h2 = Tinggi air dekat ujung hilir pelimpah
.d1 = Kedalaman air diatas mercu hulu
.d2 = Kedalaman air diatas mercu hilir

Methode Perhitungan

Salamun 25
Irigasi dan Bangunan Air – 2

a. Methode Analitis
Garis energy
V 2
2g
V2
H 2g
Ho
.ho
.h .hx
C

O
Potongan memanjang X

Potongan melintang
.h
C

Gambar 2.20. Pelimpah Samping

Vo 2
1. Tinggi energy saluran sebelah hilir pelimpah Ho  h 
2

2g
2. Jarak X dari ujung pelimpah tinggi energy juga Ho
Vx 2
Hx  h 2  Qx =Q0 + qx
2g
Qx
2 Qx = debit lewat pelimpah sepanjang x
Hx  h 2 
2 gX

qx =.x. 2g . {(ho – C)3/2 +(hx – C)3/2}/2

Jika h0 = hx maka qx =.x 2g . (ho – C)3/2


Qx =Q0 + qx
2 Qx diketahui hx dapat dihitung
Qx
hx  H x 
2 gX
Perhitungan dilanjutkan sampai Qnx sama dengan debit yang di sebelah hulu
bangunan pelimpah. Sehingga debit lewat pelimpah q = Qnx - Qo . Koefisien 
diambil lebih kecil 5% dari mercu tegak lurus arah aliran.

b. Methode Grafis
Salamun 26
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Methode grafis ini menggabungkan dua grafik yaitu:


a. Grafik debit yang lewat diatas mercu pelimpah sebagai fungsi dari h
Q =  (h) = A 2 g ( H  h)

Dimana
H = Tinggi energi diujung pelimpah
A = Luas potongan penampang basah saluran dengan kedalaman air h

b. Grafik debit saluran

Q =  (h) = C RI atau k.R2*6 I1/2

Q =  (h) Q =(h) Q= (h-c)2/3 (2g)

.h Qo

Q2
Q1
.q
.h0
H .h2 .hc C
.h1

Gambar 2.21. Grafik Pelimpah samping


Dimana ;
q = Debit persatuan panjang
.c = Tinggi mercu
.h = Kedalaman air di saluran
.g = Gravitasi bumi
 = Koefisien debit (95% dari koefisien debit pelimpah tegak)

Contoh Perhitungan ;

Data-data saluran
Ruas K mKi m Ka Lbar Tnggi K bsh Kmrgn Pn Bsh Kec Debit Db renc
b h p I A v Q Qr
Saluran (Q100) 35 0 0,50 1,00 0,490 2,038 0,0057 0,551 1,105 0,609 0,598
Saluran (QT) 35 0 0,50 1,00 0,640 2,356 0,0057 0,720 1,224 0,881 0,850

Salamun 27
Irigasi dan Bangunan Air – 2

Saluran (Q1.2) 35 0 0.50 1,00 0,560 2,186 0,0057 0,630 1,153 0,726 0,718

Debit Drainase/Pembuang
Debit Drain Qsal 1,2 Qren hren ho Tgg mercu
0,500 0,609 0,731 0,560 0,640 0,560

Perhitungan pelimpah
Delta X Qo Ho ho ho-c qx Qo+qx Px Ax Vx hx delta X
2 0,609 0,716 0,640 0,080 0,076 0,685 2,712 0,742 1,114 0,669 2
2 0,685 0,716 0,669 0,109 0,122 0,807 3,016 0,781 1,074 0,664 2
2 0,807 0,716 0,664 0,104 0,112 0,920 3,297 0,774 1,006 0,656 2
2 0,920 0,716 0,656 0,096 0,100 1,019 3,546 0,763 0,949 0,648 2
1 1,019 0,716 0,648 0,088 0,044 1,064 3,656 0,753 0,922 0,644 1
0,5 0,920 0,716 0,656 0,096 0,025 0,945 3,359 0,763 0,984 0,653 0,5
0,3 0,945 0,716 0,653 0,093 0,014 0,959 3,395 0,760 0,974 0,652 0,3
0,2 0,959 0,716 0,652 0,092 0,009 0,968 3,418 0,758 0,968 0,651 0,2
Jumlah 0,503 >0,50 OK 10.00
Lebar pelimpah 10 m dengan tinggi mercu 0,560 m, debit yang dapat dilimpahkan
0,503 m3/dt > 0,50 m3/dt OK

2.3. Bangunan Pembawa

Bangunan pembawa sangat penting dalam pengelolaan irigasi. Adapun bangunan


pembawa disini yang utama adalah saluran. Pada umumnya saluran yang ada berupa
saluran terbuka. Tidak selamanya saluran terbuka terletak didaerah datar. Untuk
menyesuaikan elevasi muka air. Maka diperlukan suatu bangunan pembawa air.

Ada dua kelompok bangunan ini yaitu:


a) Bangunan dengan aliran sub kritis
Bangunan termasuk sub kritis : Gorong-gorong, Talang, Flum dan Syphon.

b) Bangunan dengan aliran superkritis


Bangunan termasuk superkritis : Pengukur Debit, Terjun, Got Miring dll

Aliran dinamakan subkritis apabila nilai bilangan Froude kurang dari 1 (Fr<1). Pada
umumnya aliran pada bangunan ini dibuat lebih cepat daripada sebelah hulu dan sebelah
hilir dari bangunan.

Untuk menghindari terjadinya gelombang tegak lurus permukaan air dan mencegah agar
aliran tidak menjadi kritis, disarankan bilangan Froude untuk aliran yang dipercepat tidak
boleh lebih dari 0,50.

Salamun 28
Irigasi dan Bangunan Air – 2

VA
Fr   0,50
g. A
B
Dengan : VA = Kecepatan rerata di bangunan
A = Luas penampang aliran
B = Lebar permukaan

Kehilangan akibat gesekan


V 2 L 2 gL V 2
Hf   
C 2 R C 2 R 2g
Dengan : Hf = Kehilangan akibat gesekan
V = Kecepatan di bangunan
L = Panjang bangunan
R = Jari-jari hidraulik
C = Koefisien kekasaran Chezy ( = k R1/6)

2.3.1. Kantong Lumpur

Telah dijelaskan didepan bila diameter sedimen > 0,60 mm, maka sebelum masuk saluran
irigasi perlu dibuatkan saluran pengendap.
A V


w 
V
w H H

Lumpur

L B

Gambar 2.24. Sket Kantong Lumpur

Partikel yang masuk ke kantong lumpur pada titik A, dengan kecepatan endap partikel (W)
dan kecepatan air (V) harus mencapai dasar pada titik C. Ini berarti bahwa partikel
tersebut mencapai dasar (kedalaman H) selama waktu (H/W), akan berjalan (berpindah)
secara horisontal sepanjang L selama (L/V).
Jadi H/W = L/V dengan V = Q/HB.
Dimana

H = Kedalaman aliran di saluran, m.

Salamun 29
Irigasi dan Bangunan Air – 2

W = Kedepatan endap partikel sedimen, m/dt.


L = Panjang kantong lumpur, m.
B = Lebar kantong lumpur, m.
V = Kecepatan aliran, m/dt.
Q = Debit kebutuhan, m3/dt.

Sebaiknya dimensi kantong lumpur memnuhi kaidah L > 8 x B, hal ini untuk menghindari
aliran agar tidak “meander” di dalam kantong disamping untuk memudahkan pengurasan.
Bila kaidah ini tidak terpenuhi akibat kondisi topografi dapat dibuat dengan dinding
pemisah (devider wall) sehingga kaidah L dan B terpenuhi.

Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan kantong lumpur al:

a. Volume kantong lumpur

Volume kantong lumpur ditentukan dari lama waktu pengurasan, dan kandungan
lumpur yang terbawa oleh air 0,05%, maka;

V = 0,0005 Qn T
Dimana
V = Volume kantong lumpur.
Qn = Debit kebutuhan.
T = Jangka pengurasan.
Jika debit rencana kebutuhan air irigasi Qn = 10,90 m3/dtk, pengurasan seminggu
sekali maka volume kantong lumpur dapat dihitung sbb;
V = 0,0005 x 10,90 x 7 x 24 x 3600 = 3290 m3

b. Panjang dan lebar kantong lumpur

Dengan diketahui partikel yang terbawa oleh air sungai ke saluran dan waktu
pengurasan, dapat ditentukan besar volume kantong lumpur.
Qn
L.B 
W
dimana
L = Panjang kantong lumpur.
B = Lebar rerata kantong lumpur.
Qn = Kebutuhan air rencana.
Salamun 30
Irigasi dan Bangunan Air – 2

W = Kecepatan endap partikel.

Gambar 2.25 Grafik Kecepatan Jatuh (W) Partikel

Di Indonesia suhu air 20o C dan diameter lumpur 0,007 m, kecepatan endap W=
0,04 m/dt. Panjang kantong minimum 8 kali lebar (L > 8 x B).
Qn
L.B  = 10,90/0,04 = 2725 m2
W
Ambil B = 18,50 m maka L = 2725/18,50 = 147,30 m (minimum)

c. Menentukan Kemiringan/energy kantong saat operasional (In)


Besarnya kecepatan di kantong lumpur sangat menentukan kebrehasilan pengendapan
lumpur. Kecepatan yang terlalu tinggi menyebabkan lumpur yang mengendap
berkurang oleh karena itu kecepatan aliran (Vn) di kantong lumpur seyogyanya
diambil < 0,40 m/dt. Dengan diketahui debit yang lewat Qn dan kecepatan Vn maka
penampang basah (An) dapat diketahui.

Dengan rumus Manning atau Strikler dapat dicari In.


Qn 10,90
Ambil Vn = 0,40 m, maka An  Vn  0,40  27,75 m2

Salamun 31
Irigasi dan Bangunan Air – 2

An 27,75
Dengan B rerata 18,50 m, maka hn  B  18,50  1,47 m

hn =1,47m
1:2

.hs = 0,56 m
15,56 m

18,50 m

Gambar 2.26 Potongan melintang

Keliling basah On menjadi


On = 15,56 + 2 x 1,47 (1  2 2 = 22,13 m
An 27,75
Rn    1,23 m
On 22,13
Vn 2 0,40 2
In    0,00006
( Rn 2 / 3 xK ) 2 (1,232  45) 2

Sebenarnya In ini kurang tepat untuk seluruh penampang kantong lumpur luasnya
akan bertambah ke arah hilir. Namun perbedaan elevasi sangat kecil maka boleh
diabaikan.

d. Menentukan Kemiringan energy kantong saat pengurasan (Is).


Kecepatan bilas (Vs) harus dapat menggelontor sedimen yang diendapkan di kantong
lumpur. Namun demikian kecepatan ini harus lebih kecil dari kecepatan kritis, hal ini
dikarenakan kecepatan kritis atau super kritis akan mengurangi efektifitas pembilasan.

Dari KP – 02 disarankan
Untuk sedimen pasir halus Vs = 1,00 m/dt
Untuk sedimen pasir kasar Vs = 1,50 m/dt
Untuk sedimen pasir kasar dan kerikil Vs = 2,00 m/dt
Debit penguras diambil Qs = 1,2 x Qn = 1,2 x 10,90 = 13,10 m3/dtk
Qs 13,10
As    8,75 m2
Vs 1,50

Lebar dasar kantong lumpur b = 15,56 m


As = b x hs
As 8,75
hs    0,56 m (lihat gambar 2.26)
b 15,56

Salamun 32
Irigasi dan Bangunan Air – 2

As 87,75
Rs    0,52 m
Os 15,56  2 x 0,56

Untuk pembilasan koefisien kekasaran Ks diambil 40 m1/3/dtk.


Vs 2 1,50 2
Is    0,0336
( Rs 2 / 3 xKs) 2 (0,52 2 x 40) 2

Cek bilangan Froude agar pembilasan dapat berjalan dengan baik maka Fr<1
atau aliran sub kritis
Vs 1,50
Fr    0,64  1  ok
gd 9,8 x 0,56

Gambar 2.27 Diagram Shield

Diameter yang dapat terbilas


 = g hs Is = 1 x 9,80 x 0,56 x 0,0336 = 18,86 mm
Diameter < 18,86 mm dapat terbilas

e. Panjang Kantong Lumpur

Volume Kantong lumpur yang diperlukan adalah 3.300 m3

In = 0,00006

Is = 0,0336 0,50 m

0,78 m
L = 240 m
Gambar 2.28. Sket Panjang kantong lumpur

Salamun 33
Irigasi dan Bangunan Air – 2

V = 0,50 x h x L + 0,50 x( Is - In) x L2 x h


3300 = 7,78 L + 0,025 L2
L = 240 m > 147 m  Ok.

f. Menentukan elevasi saluran penguras di sungai.

Untuk menjamin terjaminnya pengurasan dan agar air sungai tidak masuk ke kantong
lumpur menurut KP – 02 disyaratkan elevasi dasar saluran pembilas di pertemuan
dengan sungai harus lebih tinggi dari elevasi air banjir sungai dengan debit rencana
lima tahunan (Q5)

H untuk Q5

Gambar 2.29. Sket Pertemuan sungai dengan saluran Bilas

Salamun 34

Anda mungkin juga menyukai