Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

HEPATOMA, IKTERIK, DAN MELENA

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSD dr. Soebandi Jember
Oleh:

Safiya Rachmawati
NIM 132011101053

Dokter Pembimbing:
dr. Sugeng Budi Rahardjo, Sp. PD

KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2018

1
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB 2. LAPORAN KASUS .................................................................................3
2.1.Identitas penderita .......................................................................................3
2.2.Anamnesis ...................................................................................................3
2.3.Pemeriksaan fisik ........................................................................................5
2.4.Pemeriksaan penunjang ...............................................................................8
2.5.Resume ......................................................................................................10
2.6.Diagnosis kerja ..........................................................................................10
2.7.Penatalaksanaan ........................................................................................11
2.8.Prognosis ...................................................................................................11
BAB 3. PEMBAHASAN ......................................................................................12
3.1 Definisi .....................................................................................................15
3.2 Epidemiologi ............................................................................................15
3.3 Faktor Risiko ............................................................................................15
3.4 Patogenesis ...............................................................................................15
3.5 Manifestasi Klinis ....................................................................................16
3.6 Diagnosis..................................................................................................18
3.7 Penatalaksanaan ......................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................30

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hepatoseluler karsinoma (hepatoma) merupakan tumor ganas hati primer


yang berasal dari hepatosit dan meliputi 5,6% dari seluruh kasus keganasan pada
manusia. Hepatoma menempati urutan ketiga mortalitas akibat keganasan di
seluruh dunia. Sekitar 80% kasus keganasan hati berada di negara berkembang
dengan prevalensi hepatitis yang tinggi, termasuk Indonesia. Hepatoma seringkali
terdiagnosis pada keadaan yang sudah lanjut sehingga menyebabkan semakin
tingginya angka mortalitas akibat penyakit ini.(1)
Manifestasi klinis pada hepatoma yang khas adalah nyeri perut kuadran
kanan atas, penurunan berat badan, anoreksia, serta peningkatan enzim
transaminase. Hepatoma juga dapat menimbulkan manifestasi ekstrahepatik atau
sindrom paraneoplastik, yaitu gejala yang dihasilkan akibat keberadaan kanker
dalam tubuh, bukan karena sel kanker lokal. Sindrom paraneoplastik disebabkan
oleh faktor imunitas humoral (hormon atau sitokin) yang dikeluarkan oleh sel
kanker atau melalui respon imunitas melawan kanker. Prevalensi kejadian
sindrom paraneoplastik pada hepatoma bervariasi dan cukup sering, yaitu
mencapai 50%.(1)
Sindrom paraneoplastik yang dapat ditemukan pada hepatoma antara lain
eritrositosis, hipoglikemia, hiperkalsemia, hiperkolesterolemia, porfiria,
disfibrinogenemia, dan kriofibrinogenemia. Sindrom paraneoplastik berhubungan
dengan menurunnya kesintasan. Median kesintasan hepatoma dengan sindrom
paraneoplastik lebih rendah (12,4 vs 18,3 minggu) walaupun bukan faktor risiko
independen.(1)

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 58 th
Jenis kelamin : Laki
Alamat : Tapen Bondowoso
Status : BPJS NPBI
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Buruh Tani
Suku : Madura
Agama : Islam
Tanggal MRS : 20 September 2018
Tanggal pemeriksaan : 21 September 2018
Tanggal KRS : 22 September 2018 (pasien meninggal)
No. RM : 229306

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan kepada pasien dan keluarga pasien pada tanggal 21
September 2018 di Ruang Adenium RSD dr. Soebandi Jember.

2.2.1 Keluhan Utama


BAB berwarna hitam

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rujukan dari Rumah Sakit Bayangkara Bondowoso, datang dengan
keluhan BAB berwarna hitam sejak tanggal 16 September 2018. Sejak
satu minggu yang lalu, pasien mengeluh perutnya kembung, keras, dan
semakin membesar, yang disertai nyeri. Pasien mulai tidak bisa kentut
sejak satu hari yang lalu Sejak beberapa minggu yang lalu, pasien tampak

4
kuning yang semakin lama semakin jelas terlihat pada mata. Selain itu,
pasien juga mengeluh mual dan nafsu makan menurun. Muntah (-). Pasien
dirujuk ke RSD dr. Soebandi karena dari hasil USG Abdomen pada
tanggal 19 September 2018 menunjukkan suspek Hepatoma dd Abses
Hepar.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi dan diabetes disangkal

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak didapatkan keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang sama

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien mendapatkan terapi infus PZ 20 tpm, injeksi santagesik 3 x 1 gram,
dan injeksi omeprazole 2 x 4 mg pada saat di RS Bayangkara Bondowoso
sebelum dirujuk.
.
2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi
Pasien tinggal di Tapen Bondowoso bersama istri dan anaknya. Pasien
tinggal di sebuah rumah yang bertembok batu bata, berlantai semen yang
terdiri dari 2 kamar tidur, dapur, dan ruang tamu. Kamar mandi berada di
luar rumah yang dipakai bersama. Setiap ruangan tidak memiliki cukup
ventilasi. Pasien bekerja sebagai buruh tani/kebun dengan penghasilan
yang tidak pasti, rata-rata 500-600 ribu per bulan.

2.2.7 Anamnesis Sistem


- Sistem serebrospinal : pusing (-), demam (-), penurunan
kesadaran (-)
- Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-)
- Sistem pernapasan : sesak napas (+), batuk(-), pilek (-),
pernafasan cuping hidung (-), retraksi

5
dinding dada (-), tidak ada ketertinggalan
gerak
- Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (-), nafsu makan
menurun (+), diare (-), BAB (+),
penurunan berat badan (-)
- Sistem urogenital : BAK (+), warna kuning pekat
- Sistem integumentum : turgor kulit menurun, pucat (+), ikterik (+)
- Sistem muskuloskeletal : tremor (-) pada keempat ekstremitas
edema (-) pada keempat ekstremitas

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : komposmentis
Vital Sign : GCS 4-5-6
TD : 100/60mmHg
HR : 96x/menit, reguler, kuat angkat
RR : 28 x/menit
Tax : 36,5oC
Pernapasan : sesak (+), batuk (-), mengi (-)
Kulit : turgor kulit menurun, edema (-), sianosis (-), ikterik
(+), anemis (+)
Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Otot : tremor (-) pada keempat ekstremitas, edema (-) pada
keempat ekstremitas
Tulang : tidak ada deformitas dan krepitasi
Status gizi : BB : 58 kg
TB : 160 cm
IMT : 22,65 (berat badan cukup)

6
2.3.2 Pemeriksaan Khusus
a. Kepala
- Bentuk : oval, simetris
- Rambut : hitam sebagian beruban, lurus, tipis, tidak mudah dicabut
- Mata : konjungtiva anemis : +/+
sklera ikterus : +/+
eksoftalmus : -/-
refleks cahaya : +/+
mata berkunang : -/-
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), bau (-)
b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : normal

c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S
- Auskultasi : S1S2 (+) tunggal reguler, suara tambahan (-) murmur (-)

2. Pulmo :
DEKSTRA SINISTRA
Inspeksi: Inspeksi:
Retraksi (-) Retraksi (-)
Gerak nafas tertinggal (-) Gerak nafas tertinggal (-)

7
Palpasi: Palpasi:
Fremitus raba (n) Fremitus raba (n)
Deviasi trakea (-) Deviasi trakea (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Perkusi: Perkusi:
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi: Auskultasi:
Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Ronkhi (-) Ronkhi (-)
Wheezing (-) Wheezing(-)

d. Abdomen
- Inspeksi : massa (+) di kuadran kanan atas
- Auskultasi : bising usus (+) menurun
- Perkusi : timpani, hepatomegali (+)
- Palpasi : hepatomegali (+)

e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Laboratorium

Pemeriksaan 20/09/18 Nilai Normal


HLT

8
Hemoglobin 9,7 ↓ 13,5-17,5 gr/dl

Leukosit 31,8 ↑ 4,5-11,0 x 109/L

Hematokrit 26,2 ↓ 41-53%

Trombosit 501 ↑ 150-450 mg/dl

FAAL HATI

Bil. Direk 12,10 ↑ 0,2-0,4 mg/dL

Bil. Total 17,44 ↑ <1,2 mg/dL

SGOT 41 ↑ 10-35 U/L(37°C)

SGPT 48 ↑ 9-43 U/L(37°C)

Gula Darah

GDA 70 <200 mg/dL

FAAL GINJAL

Kreatinin Serum 4,9 0,6-1,3 mg/dL

BUN 122 6-20 mg/dL

2.5 Resume
Anamnesis  Pasien awalnya rawat inap di Rumah Sakit Bayangkara
Bondowoso dengan keluhan BAB berwarna hitam, lemas, nyeri perut, dan
penurunan nafsu makan. Pada tanggal 20 September 2018, pasien dirujuk
ke RSD Soebandi Jember karena dari hasil USG Abdomen yang dilakukan
pada tanggal 19 September 2018 menunjukkan suspek hepatoma dd Abses
Hepar. Saat datang, pasien lemas, tampak kuning, mual, nyeri perut, dan
tidak mau makan 1 minggu terakhir.

9
 Pemeriksaan fisik  Tekanan darah rendah, denyut nadi normal, suhu
aksila normal, pernapasan di atas normal (dyspneu), pembesaran hepar
(hepatomegaly)

 Pemeriksaan penunjang 
 Lab: SGOT ↑, SGPT ↑, BUN ↑, urea ↑, bilirubin direk ↑, bilirubin
total ↑, leukosit ↑.
 Lab: HB ↓, HCT ↓.

2.6 Diagnosis Kerja


Hepatoma + Melena + Ikterik

2.7 Penatalaksanaan
Planing monitoring
 Observasi vital sign pasien
Planing diagnostik
 Pemeriksaan GDA Rutin
 Foto USG abdomen
Planning Terapi
 Inf Comafusin Hepar 7 tpm
 UDCA 3 x 1
 Squash 2 x 1
 Ondansentron 3 x 8 mg
 Meprazol 2 x 1
 Santagesic 2 x 1

Planing edukasi
 Istirahat yang cukup
 Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga 
penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi

10
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam

11
BAB III
PEMBAHASAN
Teori Kasus

Prevalensi usia rata-rata 50-60 tahun Pasien berusia 58 tahun

Laki-laki:perempuan 4:1 Penderita seorang laki-laki

Keluhan:
Nyeri perut kuadran kanan atas +
Penurunan berat badan +
Anoreksia +
Tanda Klinis:
Konjungtiva anemis +
Sklera ikterik +
Hepatomegali +

3.1 HEPATOMA
3.1.1 DEFINISI
Karsinoma hepatoseluler (hepatoma) merupakan tumor ganas primer hati
yang berasal dari hepatosit.(1)

3.2 EPIDEMIOLOGI
Hepatoma meliputi 5,6% dari seluruh kasus keganasan pada manusia.
Hepatoma menempati urutan ketiga mortalitas akibat keganasan di seluruh dunia.
Sekitar 80% kasus hepatoma terjadi pada negara berkembang dengan prevalensi
hepatitis yang tinggi, termasuk Indonesia.(1)

3.3 PATOGENESIS
Mekanisme karsinogenesis Hepatoma belum sepenuhnya diketahui.
Diduga HCV menyebabkan turnover sel yang cepat dan kondisi radang kronis.

12
USA: sepertiga kasus hepatoma berhubungan dengan HCV. Hepatoma hampir
selalu terjadi pada sirosis hati atau infeksi HCV kronis dengan derajat fibrosis yg
tinggi, sedangkan Hepatoma pada HBC bisa terjadi pada semua kondisi.
Hepatocarcinogenesis bisa memakan waktu 30 tahun setelah infeksi HBV / HCV.
Sitokin dari sel–sel inflamasi, proses regenerasi sel dan transaktivasi virus
hepatitis merangsang peningkatan ekspresi Transforming Growth Factor α
(TGFα) dan Insulin Growth Factor-2 (IGF-2) melalui mekanisme epigenetik
sehingga dapat meningkatkan proliferasi hepatocyte.(1)

3.5 MANIFESTASI KLINIS


3.5.1 Hepatoma
Manifestasi klinik dari Hepatoma yaitu:
• Nyeri perut kuadran kanan atas
• Penurunan berat badan
• Anoreksia
• Peningkatan enzim transaminase
• Dapat juga terjadi sindrom paraneoplastik, yaitu: eritrositosis,
hipoglikemia, hiperkalsemia, hiperkolesterolemia, porfiria,
disfibrinogenemia, dan kriofibrinogenemia.(1)

3.6 DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis karsinoma hati diperlukan beberapa
pemeriksaan seperti misalnya pemeriksaan radiologi, ultrasonografi, computerized
tomography (CT) scan, peritoneoskopi dan pemeriksaan laboratorium. Deteksi
lesi noduler hati dengan imaging tergantung pada perbedaan yang kontras antara
parenkim hati normal dan lesi noduler. Adanya fibrosis dapat mempengaruhi
sensitivitas dari modalitas imaging sehingga dapat mengganggu deteksi dan
karakterisasi tumor hati.
 Ultrasonografi
Dengan ultrasonografi, gambaran khas dari KHS adalah pola mosaik,
sonolusensi perifer, bayangan lateral yang disebabkan pseudokapsul

13
fibrotik, dan peningkatan akustik posterior.(5) KHS yang masih berupa
nodul kecil cenderung bersifat homogen dan hipoekoik, sedangkan nodul
yang besar biasanya heterogen. Penggunaan ultrasonografi sebagai sarana
screening untuk mendeteksi tumor hati pada penderita dengan sirosis yang
lanjut memberikan hasil bahwa 34 dari 80 penderita yang diperiksa
menunjukkan tanda-tanda tumor ganas dan 28 di antaranya adalah
KHS.(5) Ultrasonografi memberikan sensitivitas sebesar 45% dan
spesifisitas 98%.(5) Oleh karena sensitivitas tes ini maka setiap massa
yang terdeteksi oleh harus dianggap sebagai keganasan. Karsinoma hati
sekunder memberikan gambaran berupa nodul yang diameternya kecil
mempunyai densitas tinggi dan dikelilingi oleh gema berdensitas rendah.
Gambaran ini berbentuk seperti mata sapi.

 CT-scan dan angiografi


KHS dapat bermanifestasi sebagai massa yang soliter, massa yang
dominan dengan lesi satelit di sekelilingnya, massa multifokal, atau suatu
infltrasi neoplasma yang sifatnya difus. CT-scan telah banyak digunakan
untuk melakukan karakterisasi lebih lanjut dari tumor hati yang dideteksi
melalui ultrasonografi. CT-scan dan angiografi dapat mendeteksi tumor
hati yang berdiameter 2 cm. Walaupun ultrasonografi lebih sensitif dari
angiografi dalam mendeteksi karsinoma hati, tetapi angiografi dapat lebih
memberikan kepastian diagnostik oleh karena adanya hipervaskularisasi
tumor yang tampak pada angiografi. Dengan media kontras lipoidol yang
disuntikkan ke dalam arteria hepatika, zat kontras ini dapat masuk ke
dalam nodul tumor hati. Dengan melakukan arteriografi yang dilanjutkan
dengan CT-scan, ketepatan diagnostik tumor akan menjadi lebih tinggi.

 MR imaging Magnetic resonance


(MR) imaging umum digunakan secara rutin untuk screening
penderita-penderita dengan sirosis. Pada studi yang dilakukan oleh
Krinsky dkk(8) menguji sensitivitas dan spesifisitas dari sarana tes ini

14
untuk KHS dan nodul displastik pada sirosis hati. Hasil studi menunjukkan
sensitivitas untuk diagnosis KHS dilaporkan hanya sebesar 53% saja. Hal
ini disebabkan karena lesi-lesi yang tidak terdeteksi tersebut kebanyakan
mempunyai diameter kecil yaitu rata-rata 1,3 cm. Sebaliknya, nodul
displastik derajat tinggi meskipun dapat dideteksi namun terdiagnosis
sebagai KHS karena adanya arterial phase enhancement. Dengan
demikian, diperlukan kriteria lain selain arterial phase enhancement untuk
membedakan nodul displastik dari KHS yang kecil.

 Biopsi
Untuk pemastian diagnosis karsinoma hati, diperlukan biopsi dan
pemeriksaan histopatologi. Biopasi dilakukan terhadap massa yang terlihat
pada ultrasonografi, CTscan atau melalui angiografi. Biopsi aspirasi jarum
halus dapat dilakukan secara buta (blind). Ada kalanya dibutuhkan
tindakan laparoskopi atau laparatomi untuk melakukan biopsi.

 Uji faal hati


Karsinoma hati dapat menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
empedu atau merusak sel-sel hati oleh karena penekanan massa tumor atau
karena invasi sel tumor hingga terjadi gangguan hati yang tampak pada
kelainan SGOT, SGPT, alkali fosfatase, laktat dehidrogenase. Gangguan
faal hati ini tidak spesifik sebagai petanda tumor. Alfafetoprotein (AFP)
adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul sebesar 70,000. AFP
disintesis oleh hati, usus dan yolk sac janin. Pada manusia, AFP mulai
terdeteksi pada fetus umur 6-7 minggu kehamilan dan mencapai
puncaknya pada minggu ke-13. Pada bayi yang baru lahir, kadarnya adalah
sebesar 10,000 - 100,000 ng/ml, kemudian menurun dan pada usia 250-
300 hari kelahiran kadarnya sama dengan kadar pada orang dewasa.
Adanya peningkatan kadar AFP diduga karena sel-sel hati mengalami
diferensiasi menyerupai sel hati pada janin. AFP merupakan petanda
karsinoma hati

15
3.7 PENATALAKSANAAN
Banyak faktor memegang peranan dalam penanganan KHS. Pertama,
adanya sirosis hati dalam berbagai tingkatan yang mengikuti KHS sedikit banyak
mempengaruhi pilihanpilihan pengobatan. Fungsi hati pada penderita-penderita
KHS dapat sangat bervariasi dari normal sampai dekompensasi. Sirosis dapat
dijumpai pada sekitar 90% dari semua kasus KHS. Kedua, KHS menunjukkan
perangai biologis yang sangat bervariasi dari satu daerah dan daerah yang lain.
Misalnya, di daerah pedesaan Afrika Selatan, KHS mengenai penderita-penderita
dalam usia yang lebih muda dan sering baru terdiagnosis setelah tahap lanjut dan
mempunyai durasi gejala-gejala yang lebih singkat dibanding kasus-kasus di
Amerika Utara. Manifestasi klinis pada penderitapenderita ini didominasi oleh
gejala-gejala yang disebabkan oleh tumornya sedangkan di Amerika Utara gejala-
gejala sirosis tampil secara dominan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu,
protokol pengobatan yang dikembangkan di suatu daerah atau negara mungkin
tidak sesuai dan tidak optimal untuk daerah lainnya.
Secara umum, tatalaksana bedah (surgical management) seperti reseksi
dan transplantasi dianggap pengobatan yang ideal untuk KHS. Kemajuan teknik
bedah dan perawatan perioperatif telah mampu untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat operasi, bahkan pada penderita-penderita sirosis. Dengan seleksi
yang baik terhadap penderita-penderita, 5-year survival rate pasca-reseksi
dilaporkan dapat mencapai sedikitnya 35%. Namun demikian, 70% dari
penderita-penderita ini mengalami rekurensi setelah reseksi “kuratif” ini, biasanya
antara 18-24 bulan.
Meskipun penanganan terhadap karsinoma hepatoseluler secara operatif
dianggap ideal, tetapi banyak kesulitan dijumpai karena penderita-penderita
umumnya datang pada stadium yang sudah lanjut sehingga tidak dapat dilakukan
reseksi dan transplantasi. Selain itu, biaya operasi yang mahal, pemberian
imunosupresi sepanjang hidup serta sulitnya mendapatkan donor transplantasi
merupakan suatu kendala yang besar terutama di negara-negara berkembang. Oleh
karena itu, yang paling baik adalah melakukan usaha-usaha pencegahan, terutama
pencegahan terhadap penularan virus hepatitis dan bila telah terjadi infeksi,

16
mencegah kemungkinan terjadinya sirosis postnecrotic sehingga dapat dicegah
terjadinya karsinoma hati.

Pengobatan non-bedah
Meskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat meningkatkan
hasil reseksi dan orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan penderita
tidak memenuhi persyaratan untuk terapi operasi karena stadium tumor yang telah
lanjut, derajat sirosis yang berat, atau keduanya. Oleh karena itu, terapi non-bedah
merupakan pilihan untuk pengobatan penyakit ini. Beberapa alternatif pengobatan
non-bedah karsinoma hati meliputi:
a. Percutaneous ethanol injection (PEI)
PEI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1986.(11) Teknik terapi PEI
dilaporkan memberikan hasil sebaik reseksi untuk KHS yang kecil. Kerugian dari
cara ini adalah tingkat rekurensi lokal yang tinggi dan kebutuhan akan sesi terapi
berulang kali (multipel) agar didapatkan ablasi lengkap dari lesi.(10) PEI
dilakukan dengan cara menyuntikkan per kutan etanol murni (95%) ke dalam
tumor dengan panduan radiologis untuk mendapatkan efek nekrosis dari tumor.
Tindakan ini efektif untuk tumor berukuran kecil (<3 cm). Untuk penderita-
penderita dengan asites, koagulopati sedang atau berat dan lesi permukaan, PEI
tidak dianjurkan. Efek PEI adalah demam, sakit di daerah suntikan, perdarahan
intrahepatik dan perdarahan peritoneal.

b. Chemoembolism Transcatheter arterial


Chemoembolism dapat digunakan sebagai terapi lokal (targeted
chemoembolism) atau regional (segmental, lobar chemoembolism) tergantung
dari ukuran, jumlah dan distribusi lesi. Kemoembolisme dianggap terapi baku
untuk KHS yang tidak dapat dilakukan reseksi. Lipoidol diberikan dengan obat
kemoterapi yang kemudian akan terkonsentrasi di dalam sel tumor tetapi secara
aktif dibersihkan dari sel-sel yang non-maligna. Pada cara ini, terjadi
devaskularisasi terhadap tumor sehingga menghentikan suplai nutrisi dan oksigen

17
ke jaringan tumor dan mengakibatkan terjadinya nekrosis tumor akibat
vasokonstriksi arteri hepatika.
Dengan teknik ini didapatkan respon yang lebih baik dibandingkan
kemoterapi arterial atau sistemik. Selain lipoidol dapat juga digunakan gelfoam
dan kolagen. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah demam, nausea,
vomitus, sakit di daerah abdominal. Kemoembolisasi pada penderita-penderita
dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak dapat direseksi dilaporkan
menunjukkan reduksi dari pertumbuhan tumor tetapi tidak memberikan
peningkatan survival. Efikasi yang terbatas dari kemoembolisasi pada penderita
KHS dengan tumor yang besar dan tidak dapat direseksi dapat dijelaskan oleh
adanya sel-sel tumor yang tetap hidup setelah terapi, terutama dengan adanya
invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-kecil, dan adanya trombi tumor.
Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan hipervaskularisasi.
Respons yang lebih besar dan derajat survival yang lebih tinggi diperoleh
bilamana kemoembolism diikuti dengan PEI.

c. Kemoterapi sistemik
Pemberian terapi dengan anti-tumor ternyata dapat memperpanjang hidup
penderita. Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil (5-
FU). Zat ini dapat diberikan secara sistematik atau secara lokal (intra-arteri).
Sitostatika lain yang sering digunakan adalah adriamisin (doxorubicin HCl) atau
adriblastina. Dosis yang diberikan adalah 60-70 mg/m2 luas badan yang diberikan
secara intra-vena setiap 3 minggu sekali atau dapat juga diberikan dengan dosis
20-25 mg/m2 luas badan selama 3 hari berturut-turut dan diberikan setiap 3
minggu sekali. Adriamisin sebagai obat tunggal sangat efektif dengan peningkatan
survival rate sebesar 25% dibandingkan bila tidak diberi terapi.
Penggunaan kombinasi sisplatin, IFN-∝2B, adriamisin dan 5-FU yang
diberikan secara sistematik pada penderita KHS memberikan rerspon yang sangat
baik untuk tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan rejimen seperti ini ternyata 18%
penderita yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat direseksi dan 50%

18
menunjukkan remisi histologis yang sempurna. Namun demikian, kombinasi di
atas tidak dapat ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.

d. Kemoterapi intra-arterial (transcatheter arterial chemotherapy)


Pengobatan karsinoma hati dengan sitostatika ternyata kurang memberikan
manfaat yang diharapkan. Respon parsial hanya mencapai 25% saja. Pemberian 5-
FU ternyata tidak memperpanjang usia penderita. Oleh karenanya diberikan
sitostatika secara intra-arterial dengan beberapa keuntungan seperti misalnya,
konsentrasi sitostatika lebih tinggi pada target (tumor), mengurangi toksisitas
sistemik dan kontak antara obat dengan tumor berlangsung lebih lama. Pada
teknik ini kateter dimasukkan per kutaneus ke dalam arteri brachialis atau a.
femoralis atau melalui laparotomi ke arteri hepatika, kemudian obat sitostatika
disuntikkan secara perlahan-lahan selama 10-30 menit.
Sitostatika yang disuntikkan adalah mitomisin C 10-20 mg
dikombinasikan dengan adriablastiina 10-20 mg dicampur dengan 100200 ml
larutan garam faal. Pemberian sitostatika diulang satu bulan kemudian sambil
mengevaluasi hasil pengobatan sebelumnya. Efek samping dari cara pengobatan
di atas tersebut dapat berupa demam, septikemia, perdarahan, trombosis, emboli
udara. Kontraindikasi dari kemoterapi intra-arterial adalah kaheksia, asites yang
intraktabel, dan gangguan faal hati berat.

e. Radiasi
Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak
perannya sebab karsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel hati yang
normal sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan menggunakan 50 Gy
untuk membunuh sel-sel kanker hati dapat menyebabkan radiation induced
hepatitis. Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 30-35 Gy dan diberikan
selama 3-4 minggu. Meskipun demikian, penderita biasanya meninggal dalam
kurun waktu 6 bulan. karena survival-nya pendek.
Teknik baru yang dengan proton therapy adalah teknik yang menggunakan
partikel bermuatan positif untuk menghantar energi membunuh sel-sel tumor

19
dengan cedera minimal pada jaringan hati yang nonneoplastik. Dengan proton
therapy dosis 70 Gy sangat aman karena sel target adalah hanya sel tumor. Ukuran
tumor dapat berkurang sampai 50% dari sebelumnya, dan efek samping yang
terjadi sangat minimal sehingga memberikan kualitas hidup yang lebih baik.

f. Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderitapenderita KHS dengan sirosis lanjut,
tetapi tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan dengan
etoposide dan menunjukkan perbaikan serta memberikan toksisitas rendah dan
bermanfaat sebagai terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen bermakna
meningkatkan efek sitotoksik doxorubisin pada KHS. Kombinasi antara
tamofixen dengan doxorubisin ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan tamofixen tunggal.

g. Injeksi asam asetat perkutaneus


Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan,
hanya saja zat yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%. Pemberian
pada penderita KHS dengan tumor yang berdiameter <3 cm menunjukkan survival
rate 1 tahun sebesar 93%, 2 tahun sebesar 86%, 3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun
sebesar 64%. Efek samping tidak dijumpai

3.8 PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah jelek. Tanpa pengobatan,
kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan pertama.
Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 1112 bulan. Bila
karsinoma hati dapat dideteksi secara dini, usaha-usaha pengobatan seperti
pembedahan dapat segera dilakukan misalnya dengan cara sub-segmenektomi,
maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi. Sebaliknya,
penderita karsinoma hati fase lanjut mempunyai masa hidup yang lebih singkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik, hematemesis dan
melena, syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit hebat karena pecahnya

20
karsinoma hati. Oleh karena itu langkahlangkah terhadap pencegahan karsinoma
hati haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan
infeksi terhadap HBV dan HCV serta menghindari konsumsi alkohol untuk
mencegah terjadinya sirosis

IKTERIK
Definisi
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di
sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl
(34-43 umol/L). Kadar bilirubin serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3
mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9 mg/dL.

Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang
berlangsung dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih
relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor
plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh
gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut

Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh
hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)
a. Pembentukan Bilirubin.
Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat
badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari
protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan

21
hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab
utama peningkatan pembentukan bilirubin.
b. Transport plasma.
Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat
melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati
yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
c. Liver uptake.
Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin.
d. Konjugasi.
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida
/ bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi
merupakan bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis
bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti
albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus
dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum
diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh
konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin
glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.

Fase Pascahepatik
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati
oleh batu empedu atau tumor
e. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang

22
memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam
empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap khas pada
gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatic.

Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari


keempat mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan
konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi
intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik).

A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek


1. Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang
sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat
hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya
bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut
dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi
bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan
peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab icterus
hemolitik : hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit
(sferositosis heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan
malaria tropika berat.
2. Penurunan ambilan hepatik
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya

23
dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan
seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Penurunan konjugasi hepatik
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil
transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I,
Sindroma Crigler Najjar II.

B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi
bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat
berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat
(CPZ), zat yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati
multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma
Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran
bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja
yang akolik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :
 Obstruksi sal.empedu didalam hepar
Sirosis hepatis, abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan
sekunder.
 Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris.
 Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik,
tumor saluran empedu.
 Tekanan dari luar saluran empedu :
Tumor caput pancreas, tumor Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis
tumor di lig.hepatoduodenale

24
Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk
menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan
mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung
kepada apakah hiperbilirubinemia bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika
ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap harus difikirkan kemungkinan
adanya hiperbilirubinemia indirect yang mungkin disebabkan oleh hemolisis,
sindroma Gilbert atau sindroma Crigler Najjar, dan bukan karena penyakit
hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin yang
gelap menandakan penyakit hati atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif
perlu difikirkan segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan
ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganasan kaput pankreas).
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui
penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi
hepar serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang
disertai demam, dan terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise, dan nyeri
tekan hepar menandakan hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan
kemungkinan adanya suatu penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary
primer. Ikterus dan anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik.

Pemeriksaan Penunjang
 Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu anemia dan juga
keadaan infeksi
 Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan
melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.
 Bilirubin
Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan menyebabkan
peningkatan bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubin
indirek maupun direk. Kelainan posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk.

25
 Aminotransferase dan alkali fosfatase
 Tes serologi hepatitis virus
IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut.
Hepatitis B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.
 Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler
dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis
intrahepatik akibat obat-obatan (drug induced)
 Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk mendiagnosis penyakit infiltratif
dan kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis
dan penyakit fokal pada hati.
 Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP) dan PTC
(Percutans Transhepatic Colangiography).
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan
radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris (kolangiogram)
dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). ERCP merupakan modalitas
yang sangat bermanfaat dalam membantu diagnosis ikterus bedah dan juga dalam
terapi sejumlah kasus ikterus bedah yang inoperabel.2 Indikasi ERCP diagnostik
pada ikterus bedah meliputi:
• Kolestasis ekstra hepatik
• Keluhan pasca operasi bilier
• Keluhan pasca kolesistektomi
• Kolangitis akut
• Pankreatitis bilier akut.
Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted stone)
yang juga sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat terlihat jelas dengan
teknik endoskopi ini.

26
Pengobatan
Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika
penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice
akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang
cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,
pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi.
Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya
membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, atau
insersi stent, dan drainase via kateter untuk striktura (sering keganasan) atau
daerah penyempitan sebagian. Untuk sumbatan maligna yang non-operabel,
drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui
hati (transhepatik) atau secara endoskopik (ERCP).
Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang mempunyai risiko tinggi dapat
dilakukan "ERCP terapeutik". Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong
sfingter papila Vateri dengan kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila
menjadi besar (spingterotomi endoskopik). Kebanyakan tumor ganas yang
menyebabkan obstruksi biliaris sering sekali inoperabel pada saat diagnosis
ditegakkan. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan
laparatomi pada pasien dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di
saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengeluaran batu di saluran
empedu.

MELENA
Melena atau berak darah merupakan keadaan yang diakibatkan oleh
prdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA). Perdarahan akut saluran cerna
bagian atas (SCBA) sering dijumpai di bagian gawat darurat. Sebagian besar
pasien dalam keadaan stabil, sebagian lainnya dalam keadaan gawat darurat yang
memerlukan tindakan cepat dan tepat.

27
Etiologi
Lebih dari 60% perdarahan SCBA disebabkan oleh perdarahan ulkus
peptikum, perdarahan varises esofagus hanya sekitar 6%. Etiologi lain adalah
malformasi arteriovenosa, MalloryWeiss tear, gastritis, dan duodenitis. Di
Indonesia, sekitar 70% penyebab SCBA adalah ruptur varises esofagus. Namun,
dengan perbaikan manajemen penyakit hepar kronik dan peningkatan populasi
lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus peptikum diperkirakan bertambah.
Infeksi H. pylori berperan penting dalam perkembangan ulkus peptikum,
baik ulkus duodenal maupun gaster. Di negara berkembang peranan H. pylori
mungkin lebih besar.2 H. pylori menempel pada epitel lambung, memproduksi
enzim dan toksin yang membuat mukosa mudah rusak. H. pylori juga
mempengaruhi kadar gastrin dan produksi asam lambung.
Hal lain yang meningkatkan kejadian ulkus peptikum adalah penggunaan
obat antiinflamasi non-steroid (OAINS). Dalam suatu metanalisis 16 studi atas
1633 pengguna OAINS, penggunaan OAINS meningkatkan risiko perdarahan
SCBA (odds ratio [OR]= 4,8) dan risiko meningkat (OR= 6,1) apabila disertai
dengan infeksi H. pylori.5 Ulkus duodenal lebih sering mengerosi pembuluh
darah besar, menghasilkan perdarahan yang lebih berat.

Diagnosis
Presentasi klinis terbanyak perdarahan SCBA adalah hematemesis
(muntah darah), emesis hitam seperti bubuk kopi, dan melena (feses hitam seperti
aspal). Sekitar 30% pasien perdarahan ulkus mengalami hematemesis, 20%
melena, dan 50% keduanya. Sekitar 5% pasien mengalami hematokezia (buang air
besar berwarna merah marun),1-2 biasanya jika perdarahan lebih dari 1000 mL.
Pasien dengan hematokezia dan tanda hemodinamik tidak stabil perlu dicurigai
mengalami perdarahan SCBA.
Presentasi klinis non-spesifik adalah nausea, muntah, nyeri epigastrium,
fenomena vasovagal, sinkop, dan tanda komorbid pasien (seperti diabetes melitus,
penyakit jantung koroner, stroke, penyakit ginjal kronik, dan artritis). Riwayat
konsumsi obat perlu diketahui.

28
Pemeriksaan Fisik
Evaluasi status hemodinamik (denyut nadi dan tekanan darah), laju
respirasi, kesadaran, konjungtiva pucat, waktu pengisian kapiler melambat, dan
stigmata sirosis hepatis, merupakan tanda utama yang harus segera diketahui.
Takikardi saat istirahat dan hipotensi ortostatik menandakan banyaknya
darah yang hilang. Perhatikan adanya keluaran urin yang rendah, bibir kering, dan
vena jugular kolaps.
Pemeriksaan fisik harus menilai adanya defans muskuler, nyeri tekan
lepas, skar bekas operasi, dan stigmata penyakit hepar kronik. Pemeriksaan
rektum dilakukan untuk menilai warna feses. Spesimen feses perlu diambil untuk
tes darah samar.

Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium yang perlu adalah hemoglobin, hematokrit, ureum darah,
kreatinin, hitung trombosit, prothrombin time (PT), partial thromboplastin time
(PTT), international normalized ratio (INR), tes fungsi hepar, serta tes golongan
darah dan crossmatch. Endoskopi merupakan gold standard diagnosis perdarahan
SCBA, bukan hanya menentukan diagnosis dan menentukan stigmata perdarahan,
tetapi juga untuk tindakan hemostasis. Stigmata penting diketahui karena dapat
menentukan risiko perdarahan ulang.

Tatalaksana
Penilaian status hemodinamik dan resusitasi dilakukan paling awal.
Resusitasi meliputi pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, koreksi
koagulopati, dan transfusi darah bila dibutuhkan. Batas transfusi darah adalah jika
Hb ≤7,0 g/dL, lebih tinggi apabila perdarahan masih berlanjut atau perdarahan
masif atau adanya komorbid seperti penyakit jantung koroner, hemodinamik tidak
stabil, dan lanjut usia. Hemoglobin minimal untuk endoskopi adalah 8 g/dL,
namun jika akan dilakukan terapi endoskopi, hemoglobin minimal 10 g/dL dan
hemodinamik stabil.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Almi, D. U. 2013. Hematemesin melena et causa gastritis erosif dengan


riwayat penggunaaan obat nsaid pada pasien laki-laki lanjut usia. Medula
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 1(1): 72-78.
2. Bruix, J. dan M. Sherman. 2011. Management of hepatocellular carcinoma :
an update. AASLD Practice Guideline. 53(3): 1020-1022.
3. Chedid, M. F. C. R. P. Kruel, M. A. Pinto, T. J. M. Grezzana-Filho, I.
Leipinitz, C. D. P Kruel, L. A. Scaffaro, dan A. D. Chedid. 2017.
Hepatocellular carcinoma : diagnosis and operative management. Review
Article. 30(4): 272-278.
4. Fadila, M. N. 2015. Hematemesis melena dikarenakan gastritis erosif dengan
anemia dan riwayat gout arthritis. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung. 1-5.
5. Feun, L. G., Y. Y. Li, M. Wangpaichitr, C. J. Wu, dan N. Savaraj. 2017.
Immunotherapy for hepatocellular carcinoma : the force awakens in HCC?.
Hepatoma Research. 3: 43-51.
6. Hamza, H. A., H. M. Abdulfattah, R. H. Mahmoud, W. K. B. Khalil, dan H.
H. Ahmed. 2015. Current concepts in pathophysiology and management of
hepatocellular carcinoma. Regular Paper of Biochemistry Department King
Abdulaziz University Jeddah. 62(3) : 573-580.
7. Irwana, Olva. 2009. Ikterus. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
8. Nugraha, D. A. 2017. Diagnosis dan tatalaksana perdarahan saluran cerna
bagian atas non-variseal. CDK-252. 44(5): 323-327.
9. Prasetyo, Dwi. 2015. Update Diagnostik dan Tatalaksana Ikterik pada Bayi.
Pediatric update. 1-13.
10. Tiwari, H. A., B. Kalb, S. Chundru, P. Sharma, J. Costello, R. W. Guessner,
dan D. R. Martin. 2014. MRI of hepatocellular carcinoma : an update of
current practices. Diagnostic and Interventional Radiology. 20: 209-221.

30

Anda mungkin juga menyukai