Anda di halaman 1dari 47

PRESENTASI KASUS

CKD DEJARAT V & ANEMIA GRAVIS

Disusun oleh : dr. Afra Bryges Tamia


Pembimbing : dr. Imbar Sudarsono, Sp.PD
Pendamping : dr. Agung Nugroho
dr. Dhanis Ardian Prasetyo

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD DR SOEDIRMAN KEBUMEN
2020
1

PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau


Glomerulus Filtrate Rate <60 ml/minute/1,73 selama 3 bulan atau lebih dan
dikatakan sudah mencapai tahap akhir jika GFR mencapai <15 ml/minute/1,73
dengan atau tidak dialisis.1 Berdasarkan data yang didapatkan dari Riskesdas
Kemenkes RI, prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia mengalami
peningkatan. Pada tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis sebesar 2%.
Sedangkan pada tahun 2018, prevalensi penyakit ginjal kronis meningkat menjadi
3,8% (Kemenkes RI, 2018).
Penyakit ginjal kronis dapat disebabkan oleh berbagai penyakit yang
mendasari. Menurut 7th Report Of Indonesian Renal Registry penyebab penyakit
ginjal kronis terbanyak di Indonesia disebabkan oleh Nefropati Diabetik (52%)
dan nomer dua terbanyak disebabkan oleh penyakit hipertensi (24%) sedangkan
penyebab lainnya bisa disebabkan oleh Primary Glomerulopathy or congenital
disorder (6%), Nefropathy Obstructuon (4%), Chronic Pyelonephritis (3%), SLE
(1%), Asam Urat(%), dan lain lain (6%) PENEFRI (2016)
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan
bahwa prevalensi PGK di Indonesia sekitar 0,2%, meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%),
diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada
kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Selain itu, diketahui prevalensi pada jenis
kelamin laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%) (Kemenkes RI, 2013)
Secara umum fungsi ginjal diketahui adalah sebagai alat untuk
membersihkan tubuh dari bahan-bahan sisa metabolisme baik yang dari hasil
pencernaan maupun dari hasil metabolisme. Selain fungsi tersebut diatas ginjal
memiliki fungsi yang lebih banyak lagi untuk mempertahankan homeostasis tubuh
manusia, seperti: 1) Ekskresi produk sisa metabolic dan bahan kimia asing, 2)
Pengaturan Keseimbangan air dan elektrolit, 3) Pengaturan osmolalitas cairan
tubuh dan konsentrasi elektrolit, 4) Pengaturan tekanan arteri, 5) pengaturan
keseimbangan asam-basa, 6) Pengaturan Produksi Eritrosit, 7) Sekresi,
metabolism, dan ekskresi hormone, 8) Glukoneogenesis. (Sudoyo et al., 2014)

1
2

Pada penyakit ginjal kronik, terjadi kerusakan pada jaringan ginjal


sehingga lama kelamaan fungsi diatas mulai terganggu. Penyakit ginjal kronik
secara garis besar adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fugsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Anemia terjadi pada 80-90% pasien
penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoietin, hal lain yang dapat berperan dalam terjadinya anemia
pada pasien gagal ginjal kronik adalah defisiensi Fe, kehilangan darah, masa
hidup eritrosit yang memendek, defisiensi asam folat, serta proses inflamasi akut
dan kronik. (Sukandar, 2013)
Penelitian National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
mendapatkan insiden anemia pada PGK stadium 1 dan 2 adalah kurang dari 10%,
pada stadium 3 adalah 50% , pada stadium 4 mencapai 60% dan 70% pasien PGK
stadium 5 mengalami anemia sedangkan pada pasien yang menjalani hemodialisis
didapatkan 100% pasien mengalami anemia (Bakris et al., 2008) Pada pasien
penyakit ginjal kronik, anemia dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti
jantung berdebar tidak beraturan saat beraktivitas, pembesaran otot jantung, dan
gagal jantung dimana jantung tidak dapat memompa cukup darah ke seluruh
tubuh. Anemia juga meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas secara
bermakna dari penyakit ginjal kronik. Adanya anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik dapat digunakan sebagai prediktor risiko terjadinya kejadian
kardiovaskular dan prognosis PGK sendiri (Sanjaya et al., 2019)

2
3

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 64 tahun
Alamat : Sarwogadung RT05/RW02, Kab. Kebumen
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Petani
Masuk RS : 11 Juni 2020 Pukul 21.37 WIB
No. CM : 389551

II. DATA DASAR


A. DATA SUBYEKTIF
ANAMNESIS
Autoanamnesis
Keluhan Utama: Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Tn. S usia 64 tahun datang ke IGD RSDS Kebumen pada
tanggal 11 Juni 2020 diantar oleh keluarga dengan keluhan sesak nafas.
Sesak nafas dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, dan
memberat 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan sesak
nafas terjadi terus-menerus setiap hari. Sesak terasa semakin memberat
jika pasien melakukan aktivitas dan saat berbaring, dan terasa lebih ringan
dengan posisi duduk. Pasien juga mengeluh lemas, dan mual. BAK sedikit.
Muntah(-), demam(-), nyeri dada disangkal. BAB tidak ada keluhan.
Pasien mengatakan bahwa pasien rutin menjalani Hemodialisis setiap
seminggu sekali, yaitu di hari Sabtu.

3
4

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol
- Riwayat CKD Rutin Hemodialisis sejak 2 tahun yang lalu
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat penyakit stroke disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat DM disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat kebiasaan & sosial ekonomi :


Pasien seorang petani. Pasien tinggal bersama dengan istri dan
anaknya. Pola makan pasien teratur. Pasien mengaku sebelumnya
memiliki kebiasaan merokok dan meminum minumam beralkohol. Selain
itu pasien mengaku sering mengkonsumsi jamu gendong, namun
menyangkal meminum jamu pegal linu/minuman berenergi.

B. DATA OBYEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 Juni 2020
Keadaan Umum
Kesadaran : Composmentis (E4M6V5)
Keadaan Umum : Tampak Sesak
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 232/108 mmHg
Nadi : 89x/menit reguler
Frekuensi nafas : 32x/menit
Suhu : 36,3°C

4
5

Status Gizi
Tinggi Badan : 165 cm
BB : 60 kg
BMI : 22,03 (Normal)

Pemeriksaan Sistem
 Kulit
Warna coklat, turgor menurun (-), kering (-), ikterik (-)
 Kepala
Bentuk mesocephal,
 Mata
CA (+/+), SI (-), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm),
reflex cahaya (+/+), edema palpebral (-/-)
 Telinga
Sekret (-), darah (-) deformitas (-)
 Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
 Mulut
Sianosis (-), stomatitis (-)
 Leher
JVP R+2cm (tidak meningkat), deviasi trakea (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-)
 Pulmo
Inspeksi Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-),
ketinggalan gerak (-), jejas (-)
Palpasi Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan
hemitoraks kiri
Perkusi Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi Suara Dasar Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+)
Wheezing (-/-)
 Cor
Inspeksi  Ictus cordis tidak tampak

5
6

Palpasi  Ictus cordis teraba pada SIC V 2 LMCS, tidak kuat


angkat
Perkusi  Batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi  S1 > S2, regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi Datar
Auskultasi  Bising usus (+) Normal
Perkusi  Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi  Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
 Hepar
Tidak teraba
 Lien
Tidak teraba
 Ekstremitas
Superior: Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ptekie(-/-)
Inferior : Edema (+/+), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ptekie (-/-)

2. INTERVENSI DI IGD
Tatalaksana Farmakologi
1) O2 5 lpm NK
2) IVFD Asering 10 tpm
3) Inj Lasix 6 Amp/24 jam syringe pump
Tatalaksana Non Farmakologi
1) Posisi semi fowler
2) Edukasi pembatasan asupan cairan dan diet rendah protein

6
7

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (11/05/2016):
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 6,8 g/dL (↓) 13,2 – 17,3 gr/dl
Leukosit 7.200 /uL 3.800 –10.600/µL
Hematokrit 22 % (↓) 40 - 52%
Eritrosit 2,3 x 10ˆ6/uL (↓) 4.4 – 5.9 juta/µL
Trombosit 297.000 /uL 150.000 -440.000/µL
MCV 94 fL 80 – 100 fL
MCH 29 pg 26 – 34 pg
MCHC 31 % (↓) 32 – 36 gr/dL

Hitung Jenis
Basofil 0,30 % 0–1%
Eosinofil 3,60 % 2–4%
Netrofil 66,20 % 50 – 70 %
Limfosit 24,70 % 22 – 40 %
Monosit 5,20 % 2 -8 %

Golongan darah AB A/B/O/AB

Kimia Rutin
Ureum Darah 165 mg/dl (↑) 10 – 50 mg/dl
Kreatinin Darah 11,42 mg/dl (↑) 0,8 – 1,3 mg/dl
GDS 103 mg/dl < 100 mg/dl
SGOT 15 U/L < 37 U/L
SGPT 13 U/L < 42 U/L

Sero Imunologi
HBsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif

LFG (ml/mnt/1,73m2)= (140 – umur) X berat badan


72 x Kreatinin Plasma

= (140 – 64) X 60
72 x 11,42
= 5,49 mL/min/1,73m2

Pemeriksaan EKG (11/05/2016):

7
8

Irama Sinus HR 89x.menit dengan LVH

C. RESUME
Pasien Tn. S usia 64 tahun datang ke IGD RSDS Kebumen
dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit, dan memberat 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengatakan sesak nafas terjadi terus-menerus setiap hari. Sesak
terasa semakin memberat jika pasien melakukan aktivitas dan saat
berbaring, dan terasa lebih ringan dengan posisi duduk. Pasien juga
mengeluh lemas, mual dan BAK sedikit. Pasien memiliki riwayat CKD
sejak 2 tahun dan rutin menjalani Hemodialisis ssatu kali seminggu (hari
Sabtu). Pasien juga mengatakan bahwa sebelum didiagnosis CKD, pasien
memiliki riwayat hipertensi namun tidak pernah berobat rutin.
Pasien datang dengan kesadaran composmentis dan tampak sesak.
Tekanan darah pasien 232/108 mmHg dan frekuensi nafas 32x/menit.
Tanda vital lainnya dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan conjungtiva anemis, Ronchi di kedua lapang paru, dan edem
pitting pada ekstremitas inferior.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan data
Hemoglobin pasien 6,8 g/dL, hematokrit 22%, ureum165 mg/dl, dan
creatinin 11,42 mg/dl. Sehingga jika dihitung pasien memiliki LFG 5,49
mL/min/1,73m2. Sedangkan pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil
irama sinus heart rate 89x/menit dengan LVH.

D. DIAGNOSIS

8
9

1) CKD Derajat V
2) Anemia Gravis

E. RENCANA & INSTRUKSI TINDAK LANJUT


Tatalaksana Farmakologi
- O2 5 lpm
- IVFD Asering 10 tpm
- Lasix 6 Amp/24 jam syringe pump
- Inj Nicardpin 15mg/jam syringe pump
- Inj RESFAR 1 fl/24 jam
- Inj sharox 2 x 0,75 mg
- Inj lansoprazole 1 amp/hari
- CaCO3 3x1
- Nocid 3x1
- Etabion 2x1
- HD Cito (12/6/2020 pagi) transfuse PRC 2 kolf
Tatalaksana Non Farmakologi
- Posisi semi fowler
- Edukasi asupan cairan dan diet rendah protein

F. FOLLOW UP
Tanggal Keadaan klinis Program terapi/tindakan
12/06/2020 S: P:
07.30 - Mual (+) - Terapi Lanjut
- Muntah (-) - HD Cito (Tanpa transfusi
- Lemas (+) PRC, karena belum ada
- Sesak nafas (+) stock darah)
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD :158/93 mmHg
Nadi :100x/menit regular, isi
dan tegangan cukup

9
10

Frekuensi respirasi :
24x/menit
Suhu : 36,5°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh +/+
A : Anemia
CKD derajat V
13/6/2020 S: P:
08.00 WIB - Sesak nafas (+) - Nicardipin Stop
Arumbinang - Lemas (+) - Paracetamol 3x500 mg
- Mual (+) - Terapi lain lanjut
- Muntah (-)
- Demam (+)
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 159/89 mmHg
Nadi : 91x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
24x/menit
Suhu : 37,7°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
A :CKD derajat V, Anemia
Gravis

13/6/2020 S: P:
Jam 16.00 - Sesak nafas (+) - Terapi Lanjut
Arumbinang - Lemas (+) - Persiapan HD ke 2 (dengan
- Mual (+) transfuse 1 Kolf PRC)
- Muntah (-) - Cek Hemoglobin post
- Demam ↓ transfuse
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 170/104 mmHg
Nadi : 92x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
24x/menit

10
11

Suhu : 37,4°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
A : CKD derajat V, Anemia
Gravis
14/6/2020 S: P:
10.00 WIB - Sesak nafas (+) tapi - Terapi lanjut
Arumbinang berkurang, tidak terlalu
sesak
- Lemas (+)
- Mual (-)
- Muntah (-)
- Demam naik turun

O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 179/111 mmHg
Nadi : 86x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
22x/menit
Suhu : 37,7°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh +/+

PP:
Hasil Lab
Hemoglobin: 7,2 (↓)
Leukosit: 5,8
Hematokrit: 22 (↓)
Eritrosit: 2,5 (↓)
Trombosit:169
MCH: 29
MCHC: 31 (↓)
MCV: 93
Eosinofil: 3,00
Basofil: 0,30
Netrofil: 72,70 (↓)
Limfosit: 18,40 (↓)

11
12

Monosit: 5,60
Ureum: 99 (↑)
Creatinin:6,95 (↑)
A : CKD derajat V, Anemia
Gravis
15/6/2020 S: P:
- Lemas (-) - Furosemid syringe pump
- Sesak nafas (+) stop  Inj Furosemid 1x2 A
- Mual (-) - Persiapan Hemodialisis ke 3
- Muntah (-) - Foto Ro Thorax
- Demam ↓
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 160/70 mmHg
Nadi : 80x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
22x/menit
Suhu : 36,7°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
A : CKD derajat V, Anemia
Gravis, Edem Pulmo. Susp.
Pneumonia
16/06/2020 S: P:
- Lemas (-) - IVFD Asering 10 tpm + 1
- Sesak nafas (+) ampul Cenervit
- Mual (-) - Inj Sharox 2x 0,75
- Muntah (-) - Inj Lansoprazole 1 amp/hari
- Demam (-) - Inj RESFAR 1 fl/hari
O: - CaCO 3x1
KU : compos mentis - Nocid 3x1
Vital sign : - Etabion 2x1
TD : 148/88 mmHg - Irbesartan1x1 (1-0-0)
Nadi : 91x/menit regular, isi - Amlodipin 1x1 (0-0-1)
dan tegangan cukup - Persiapan Hemodilasa ke 4
Frekuensi respirasi :
20x/menit
Suhu : 36,5°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+

12
13

PP
Hasil Radiologi:

Kesan:
- Edem Pulmo
- Cardiomegali
- Efusi pleura dextra
- Infiltrat di intrahiller
suspek Pneumonia

A : CKD derajat V, Anemia,


Gravis, Edem Pulmo, Susp.
Pneumonia
17/06/2020 S: P:
- Lemas (-) - Terapi lanjut
- Sesak nafas (+) - Hemodialisis ulang + PRC 1
- Mual (-) kolf on HD
- Muntah (-) - Cek Hemoglobin post
O: transfusi
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 153/90 mmHg
Nadi : 76x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
24x/menit
Suhu : 37,4°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
A : CKD derajat V, Anemia
Gravis, Edem Pulmo, Susp.

13
14

Pneumonia
18/06/2020 S: P:
08.25 - Lemas (-) - Terapi lanjut
- Sesak nafas (+) - Pro Hemodialisis Ulang
- Mual (-)
- Muntah (-)
- Pusing (+)
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 160/93 mmHg
Nadi : 69x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
22x/menit
Suhu : 37°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA -/-, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+

PP:
Hasil Lab
Hemoglobin: 8,1 (↓)
Leukosit: 5,1
Hematokrit: 25 (↓)
Eritrosit: 2,9 (↓)
Trombosit:156
MCH: 28
MCHC: 32
MCV: 89
Eosinofil: 3,10
Basofil: 0,00
Netrofil: 67,70
Limfosit: 20,30 (↓)
Monosit: 8,90 (↑)

A: CKD derajat V, Anemia,


Edem Pulmo, Susp.
Pneumonia

18/06/2020 S: P:
16.00 - Post Hemodialisis - Pasien boleh pulang
Arumbinang - Lemas (-)
- Sesak nafas berkurang Obat rawat jalan:
- Mual (-) - Calos 2x1
- Muntah (-) - L-acys 2x1

14
15

- Etabion 2x1
O: - Epodion 3000U
KU : compos mentis - Amlodipin 10 mg 1x1
Vital sign : - Irbesartan 150 mg 1x1
TD : 152/75 mmHg
Nadi : 80x/menit regular, isi Edukasi:
dan tegangan cukup - Edukasi pasien untuk rutin
Frekuensi respirasi : kontrol ke poli penyakit
20x/menit dalam dan rutin HD 1 kali
Suhu : 36,5°C seminggu setiap hari Sabtu
Pemeriksaan Fisik : - Edukasi pasien untuk
Mata : CA -/-, SI -/- mengontrol asupan cairan
Thorax: dan protein
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+

A: CKD derajat V, Anemia,


Edem Pulmo, Susp.
Pneumonia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT GINJAL KRONIS


1. Definisi Penyakit Ginjal Kronis
Penyakit gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

15
16

penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang


memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Tjokroprawiro et al., 2015)
Definisi Penyakit Ginjal Kronis menurut The National Kidney
Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI)
kriteria penyakit ginjal kronik adalah:
a) Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional
dari ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan
laboratorik pada darah, urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi.
b) LFG <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronis


Berdasarkan etiologinya, penyakit gagal ginjal kronik dapat dibedakan atas
3 kelompok, yaitu:
Tabel 2.1 Etiologi Penyakit Ginjal Kronis (KDIGO, 2012)

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Etiologi


Penyakit Tipe Mayor
Penyakit ginjal Diabetes Tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal  Penyakit Glomerular
non diabetes (Autoimun, infeksi sistemik, obat-obatan)
 Penyakit Vaskuler
(Pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
 Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
 Penyakit kistik
(Ginjal polikistik)
Penyakit pada  Rejeksi kronik
transplantasi  Keracunan obat (Siklosporin/takrolimus)
 Penyakit recurrent
 Transplant glomerulopati

3. Stadium Penyakit Ginjal Kronis


Berdasarkan penurunan LFG, NKF KDOQI membagi Penyakit Ginjal
Kronis menjadi 5 stadium. Pembagian stadium itu dibuat berdasarkan

16
17

LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault


sebagai berikut (Verdiansyah, 2016).
LFG (ml/mnt/1,73m2)= 140 – umur X berat badan
72 x Kreatinin Plasma
Tabel 2.2 Klasifikasi dan Derajat Penyakit Ginjal Kronis (Johnson et al., 2013)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik dan Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (mL/menit/1.73
m²)
1 Kerusakan ginjal disertai LFG ≥ 90
normal atau meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

4. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis


Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Ginjal normal memiliki sekitar satu juta nefron yang
memberikan kontribusi terhadap nilai LFG. Terjadinya suatu cedera
ataupun kerusakan ginjal masih dapat dipertahankan proses pembersihan
zat plasma terlarut oleh ginjal dengan adanya kompensasi berupa hipertrofi
yang diperentarai oleh molekul seperti sitokin dan growth factor.
Hipertrofi nefron akan diikuti oleh proses hiperfiltrasi glomerulus yang
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan akan diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa sehingga
menyebabkan penurunan progresif fungsi nefron, meskipun penyakit yang
mendasari sudah tidak aktif lagi (Sherwood, 2014).
Peningkatan tekanan kapiler glomerulus akan merusak kapiler dan
menyebabkan Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS) yang dapat
berlanjut menjadi kerusakan glomerulosklerosis secara global.
Hiperfiltrasi akan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosteron System
(RAAS) yang diperantarai oleh transforming growth factor β (TGF-β).
Peningkatan RAAS berperan dalam terjadinya hipertensi dan peningkatan

17
18

permeabilitas glomerulus berperan dalam terjadinya proteinuria (Wilson,


2012).
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan penurunan LFG dan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Penurunan LFG sebesar 60%
atau PGK stadium 1-3 dengan kadar urea dan kreatinin serum normal atau
sedikit meningkat biasanya belum menimbulkan gejala klinis
(asimtomatik). Akan tetapi, penurunan LFG < 30 mL/min/1,73m2 (PGK
stadium 4-5) mulai menimbulkan keluhan berupa nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan hingga
menimbulkan tanda uremia seperti anemia, hipertensi, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus dan sebagainya. Pada LFG <15
% akan terjadi gagal ginjal dan memerlukan terapi pengganti ginjal
(Sudoyo et al., 2014)
Penurunan LFG akan menimbulkan manifestasi seperti anemia,
hipertensi, proteinuria, asidosis, hiperfosfatemia, hiponatremi, uremia,
hiperkalemia, hipokalsemia dan lain-lain. Kerusakan ginjal akan
menurunkan produksi eritropoetin sehingga tidak terbentuknya eritrosit
yang menimbulkan anemia dengan gejala pucat, kelelahan dan aktivitas
fisik bekurang. Proteinuria merupakan tanda terjadinya kerusakan ginjal.
Penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan permeabilitas glomerulus
meningkat sehingga molekul protein seperti albumin akan bebas melewati
membran filtrasi. Selain itu, fungsi filtrasi yang terganggu akan
menyebabkan akumulasi urea dalam darah (uremia). Hipertensi timbul
akibat kerusakan fungsional ginjal yang mengaktifkan pelepasan renin
yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I dan oleh
converting enzyme diubah menjadi angiotensin II. Kemudian timbul efek
vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. Hiperfosfatemia terjadi
karena penurunan LFG menyebabkan ekskresi fosfat meningkat dan fosfat
akan berikatan dengan Ca2+ yang membentuk kalsium fosfat. Kalsium
fosfat yang terpresipitasi akan mengendap dan menyebabkan nyeri sendi
dan pruritus. Pada PGK dapat terjadi asidosis metabolik yang
menyebabkan rasa mual, muntah, anoreksia dan lelah.Asidosis metabolik

18
19

meningkatkan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal sehingga meningkatkan


sekresi hidrogen sedangkan sekresi kalium berkurang. Hal ini
menyebabkan hiperkalemia yang menyebabkan kelemahan otot.
(Sukandar, 2013).
Bagan 2.1 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis akibat Hipertensi

Hipertesi Penebalan dinding PD Lumen pembuluh darah sempit

EPO ↓ anemia
Blood flow <<

LFG ↓ Aktivasi RAAS TD ↑


Fungsi filtrasi ginjal terganggu

Permeabilitas glomerulus >>

Uremia Hiperfosfatemia

Kalium↑
Fosfat berikatan dengan kalsium Proteiunuria hipoalbumin
Mual, anoreksi

Aritmia
Tek Osmotik <<
Ca+ tulang <<

5. Kriteria Diagnosis Penyakit Ginjal Kronis


Retensi Na
Renal osteodistrofi
a) Gejala Klinis
Keluhan dan gejala klinis yang timbul pada PGK hampir mengenai
edema
seluruh sistem, yaitu:
- Umum : lemah, malaise, edema
- Kulit : pucat, gatal, brushing
- Kepala & leher : foetor uremi
- Mata : fundus hipertensi, mata merah
- Jantung&vaskuler : hipertensi, sindrom overload, payah
jantung
- Respirasi : Efusi pleura, edem paru, nafas kusmaul
- Gastrointestinal : anorexia, mual, muntah, gastritis, ulkus
- Ginjal : proteinuria, hematuria

19
20

- Reproduksi : penurunan libido, impotensi, amenorrhea


- Saraf : letargi, tremor, kejang, penurunan
kesadaran
- Darah : anemia, kecenderungan berdarah akibat
penurunan fungsi trombosit
- Endokrin : intolerasi glukosa, resistensi insulin
(Tjokroprawiro, 2015)
b) Pemeriksaan Penunjang
Berikut ini beberapa pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk
diagnosis penyakit ginjal kronis (Rahwmawati, 2018):
- BUN
BUN atau Blood Urea Nitrogen ialah sisa metabolisme protein
di hati dan sebagai salah satu komponen penting yang perlu
diperiksa untuk menilai fungsi ginjal. Nilai normal dari BUN
ialah 10-20mg/dL. Namun, pada klien CKD nilai BUN dapat
meningkat hingga lebih dari 200mg/dL.
- Creatinin
Creatinin juga dinilai sebagai indikator untuk fungsi ginjal
seperti BUN. Pada pasien CKD dapat terjadi peningkatan Cr
akibat penurunan fungsi ginjal yang membuat Cr gagal
diekskresikan
- CBC (Complete Blood Count)
CBC mencakup perhitungan Hb, Ht, jumlah sel darah merah,
jumlah trombosit, dan sel darah. Pemeriksaan CBC sangat
penting untuk dilakukan karena penderita CKD dapat
menderita anemia terutama pada penderita yang sudah
mencapai stage V
- ABGs (Arterial Blood Gases)
ABGs dilakukan untuk mengetahui pH, PaO2, PaCO2, dan
bikarbonat di dalam arteri. Pada pasien dengan CKD, pH
arterinya akan menjadi asidosis metabolik (dibawah 7,35)
akibat ginjal yang kehilangan kemampuan untuk ekskresi

20
21

hidrogen dan amonia dan terdapat penurunan nilai pada PCO2


dan Bikarbonat.
- Elektrolit
Terdapat 4 elektrolit yang penting untuk diperiksa pada klien
CKD yaitu sodium, potasium, phospat, dan kalsium. Pada
pasien dengan CKD, akan terjadi peningkatan sodium,
potassium dan phosphat dan terjadi penurunan kalsium.
- Albumin
Pada kasus CKD terjadi penurunan nilai albumin serum karena
albumin secara masiv di ekskresikan melalui urin.
- Sampel urin
Pada klien dengan CKD umumnya ditemukan volume urin
yang kurang dari 400mL/24 jam (oliguria) hingga anuria (urin
kurang dari 100mL/24 jam). Warna urin yang ditemukan pada
klien CKD juga cenderung tidak normal dan cloudy akibat
adanya bakteri, lemak, atau pus. Selain itu, berat jenisnya pun
lebih rendah dan biasanya terdapat proteinuria

Pemeriksaan Diagnostik
- EKG
Pada pasien CKD dapat terjadi ketidaknormalan akibat
gangguan keseimbangan asam basa
- USG Renal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat apakah ada
hiperfiltrasi pada ginjal, obstruksi pada sistem perkemihan,
atau ada massa
- X-Ray abdomen
Pemeriksaan ini berfungsi untuk melihat ukuran dan struktur
organ ginjal, ureter, dan kandung kemih
- CT scan

21
22

CT scan berfungsi untuk melihat gangguan pada pembuluh


darah ginjal dan adanya massa pada ginjal
- Renal biopsy
Indikasi dari tindakan ini ialah adanya kerusakan pada ginjal,
ditemukannya proteinuria

6. Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronis


a) Pengobatan untuk initiation factors
Initiation factors adalah factor-faktor yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal secara langsung, seperti DM, Hipertensi, ISK, BSK,
mekanisme yang diperantarai imun dan toksisitas obat secara
langsung. Pengobatan terhdap berbagai faktor inisiasi yang masih
dapat dikoreksi, mutlak harus dilakukan.
b) Pengendalian keseimbangan air dan garam
Pemberian cairan per 24 jam disesuaikan dengan produksi urin, yaitu
produksi urin 24 jam ditambah 500 ml. Furosemid dosis tinggi masih
dapat dipakai pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi
bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontraindikasi. KDIGO
2012 merekomendasikan untuk membatasi asupan sodiaum < 2 g/hari
(setara dengan NaCl 5 g) pada orang dewasa. (KDIGO, 2012)
c) Diet rendah protein dan tinggi kalori
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Diet rendah protein
dan tinggi kalori diharapkan mampu memperbaiki keluhan mual,
menurunkan BUN dan dapat memperbaiki gejala uremik.
(Tjokroprawiro, 2015)
d) Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
Gangguan keseimbangan elektrolit yang paling sering dijumpai pada
PGK adalah hiperkalemia. Tatalaksana konservatif hiperkalemia
adalah:
- Tahap pertama adalah menstabilkan miokardium dengan
pemberian Ca Gluconas10% sebanyak 10 ml dalam waktu lebih
dari dua menit

22
23

- Tahap kedua adalah usaha untuk mendorong perpindahan K dari


CES masuk ke CIS, sehingga K serum dapat segera diturukan.
Insulin diberikan 5-10 Unit IV. Untuk mencegah terjadinya
hipoglikemi secara stimultan diberikanDkstrosa 50% sebanyak
50ml secara iv pelan lebih dari 5 menit. Pada pasien DM, jika
gula darah tinggi cukup diberikan insulin tanpa dekstrosa.
- Mengeluarkan K dari tubuh dengan tindakan pemberian diuretik
atau hemodialisis
Pada kondisi asidosis metabolik yang berat dapat diberikan NaHCO3
intravena, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan per oral.
(Tjokroprawiro, 2015)
e) Pengelolaan hipertensi
Pilihan terapi hipertensi dimulai dengan modifikasi gaya hidup.
Kemudian pemberian obat disesuaikan dengan stadium hipertensi dan
indikasi yang mendukung lainnya seperti gagal jantung, riwayat infark
miokardium, risiko tinggi penyakit koroner, diabetes, penyakit ginjal
kronis, dan riwayat stroke berulang. Berikut ini adalah bagan mengenai
tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis:

Bagan 2.2 Tatalaksana Hipertensi pada Pasien CKD (Adrian & Tomy, 2019)

23
24

Pada krisis hipertensi, perlu dibedakan antara hipertensi


urgensi dan hipertensi emergensi. Pada hipertensi emergensi perlu
dipertimbangkan penggunaan obat parenteral untuk mengatasi dampak
hipertensi terhadap kerusakan organ sasaran. Dalam kondisi akut,
target terapi adalah penurunan tekanan darah < 25% dari kondisi awal
dalam satu jam pertama. Kemudian, apabila kondisi hemodinamik
stabil, penurunan ini dapat dilanjutkan hingga 160/100-110 mmHg
dalam 2-6 jam berikutnya. Pemilihan jenis obat yang dipakai
sebaiknya disesuaikan dengan sindroma atau kerusakan organ target
yang ditemukan (Lubis, 2013).
Nicardipin yang termasuk golongan antagonis calsium
merupakan salah satu jenis obat yang pemakaiannya cukup luas Obat
ini diduga meningkatkan aliran darah koroner dan memiliki
kemampuan vasodilator yang lebih selektif pada arteri koroner
dibandingkan arteri perifer sehingga penggunaannya secara intravena
terbukti menurunkan angka kejadian iskemia jantung dan serebral.
Dosis nikardipin tidak tergantung berat badan, dapat dimulai dengan
kecepatan infuse 5 mg/jam, boleh dititrasi 2,5 mg/jam tiap 5 menit
hingga dosis maksimum 15 mg/jam sampai target tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Selain nicardipin, pilihan lain terapi hipertensi
emergensi pada pasien dengan gagal ginjal bisa berupa Fenoldopam,
Clevidipin dan Labetalol (Pollack & Rees, 2008).
f) Pengelolaan anemia
Anemia terjadi pada mayoritas pasien yang mengalami penurunan
fungsi ginjal, dengan penyebab defisiensi eritropoietin, defisiensi besi
funsgional maupun absolute, kehilangan darah, umur sel darah merah

24
25

memendek, defisiensi asam folat dan vi B12 atau kombinasi berbagai


faktor penyebab tersebut. Evaluasi anemia dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan darah lengkap, SI, TIBC dan feritin serum.
Terapi eritopoetin rekombinan bisa diberikan pada penderita yang
menjalani HD maupun pada penderita PGK pra-HD (Somvanshi et al.,
2012)
g) Perisapan dialisis dan transplantasi
Pembuatan akses vaskuar sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens
kreatiin dibawah 15ml/menit. Perlu membatasi punksi pembuluh darah
daerah ekstremitas yang akan dipakai untuk akses-vaskuler.
h) Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal
1) Dialisis
Indikasi Hemodialisa
Secara Ideal semua pasien dengan GFR < 15 mL/menit dapat mulai
menjalani dialisis. Namun dalam pelaksanan klinis pedoman yang
dipakai sebagai berikut:
 GFR < 10mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi
 GFR < 5 mL/menit walaupun tanpa gejala
 Indikasi khusus, terdpaat kmplikasi akut seperti Asidosis
metabolik yang sulit dikoreksi, hiperkalemi > 7mEq/L, Uremia
> 200mg/dl, Sindrom Overload, Encephalopati uremikum,
perikarditis uremikum.
Kontraindikasi Hemodialisa
 Tidak mungkin didapatkan akses vaskular pada HD atau
terdapat gangguan di rongga peritoneum pada CAPD
 Dialisis tidak dapat dilakukan pada keadaan:
- Akses vaskular sulit
- Instabilitas hemodinamik
- Koagulopati
- Penyakit Alzheimer
- Demensia multiinfark

25
26

- Sindrom hepatorenal
- Sirosis hati lanjut dengan esefalopati
(PERNEFRI,2003)
2) Terapi Pengganti Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
untuk pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan
transplantasi ginjal jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang
ada dan biasanya ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang
memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal ini
membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih
oleh pasien. Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup karena
ginjal yang berasal dari kadaver tidak sepenuhnya diterima.
Transplantasi ginjal memerlukan dana dan peralatan yang mahal
serta sumber daya manusia yang memadai. Transplantasi ginjal ini
juga dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan atau
reaksi penolakan tubuh. (Haryanti & Nisa, 2014)

7. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronis


Komplikasi Penyakit Ginjal Kronis
- Anemia
- Asidosis metabolik
- Osteodistorfi renal
- Hiperkalemia
- Overload cairan dan retensi sodium (Bello et al., 2017)

B. ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS


1. Definisi Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan massa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke caringan perifer. Secara praktis
anemia juga ditunjukan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit

26
27

atau hitung eritrosit. Tetapi yang lazim dipakai adalah kadar hemoglobin
kemudian hematokrit. (Sudoyo et al., 2014)
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang
rendah dalam darah. (WHO, 2011). Berikut ini adalah kriteria anemia
menurut WHO:
Tabel 2.3 Kriteria Anemia menurut WHO (WHO, 2011)
Kelompok Kriteria Anemia
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
Anemia pada penyakit ginjal atau yang dikenal dengan anemia
renal merupakan komplikasi dari PGK (Penyakit Ginjal Kronis) yang
penting karena memberikan kontribusi yang bermakna terhadap gejala,
progresivitas serta komplikasi kardiovaskuler pasien PGK Insiden anemia
pada PGK meningkat seiring dengan menurunnya LFG. (PERNEFRI,
2011).
Anemia pada PGK mulai muncul pada stadium awal dari PGK dan
memberat seiring dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG).
Penelitian National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
mendapatkan insiden anemia pada PGK stadium 1 dan 2 adalah kurang
dari 10%, pada stadium 3 adalah 50% , pada stadium 4 mencapai 60% dan
70% pasien PGK stadium 5 mengalami anemia sedangkan pada pasien
yang menjalani hemodialisis didapatkan 100% pasien mengalami anemia.
(Wish ,2014)
2. Etiologi Anemia
Anemia pada pasien dengan GGK utamanya disebabkan kurangnya
produksi eritropoetin (EPO) oleh karena penyakit ginjalnya. Faktor
tambahan lainnya yang mempermudah terjadinya anemia antara lain
defisiensi zat besi, inflamasi akut maupun kronik, inhibisi pada sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup eritrosit. Selain itu, kondisi komorbid
seperti hemoglobinopati. Berikut ini adalah tabel terkait etiologi anemia
pada pasien PGK. (PERNEFRI, 2011).
Tabel 2.4 Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis
Etiologi Penjabaran etiologi

27
28

Penyebab utama Defisiensi relatif dari eritropetin


Penyebab tambahan Kekurangan zat besi
Inflamasi akut dan kronis
Pendeknya masa hidup eritrosit
Bleeding diathesis
Hiperparatiroidisme/fibrosis
sumsum tulang
Kondisi komorbiditas Hemoglobinopati, hipertiroid,
hipotiroid, kehamilan, HIV,
autoimun, obat imunosupresif

3. Dejarat Anemia
Berikut adalah derajat keparahan anemia:
Tabel 2.5 Derajat Anemia (Chaparro & Suchdev, 2019)

4. Patofisiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis


Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka fungsi ginjal pun
terganggu, termasuk fungsi endokrinnya. Anemia pada penyakit ginjal
kronik dikaitkan dengan konsekuensi patofisiologik yang merugikan,
termasuk berkurangnya transfer oksigen ke jaringan dan penggunaannya,
peningkatan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor
lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon
eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal
terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan

28
29

produksi eritropoetin pada pasien dengan penyakit ginjal yang berat.


(Longo et al., 2012).
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada
pasien-pasien penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis sering didapatkan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan
eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas
penyakit ginjalnya. Defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal
kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus. Selain itu,
telah terbukti juga bahwa racun uremik juga dapat menginaktifkan
eritopoietin atau menekan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin.
Anemia pada pasien penyakit ginjal kronis juga bisa disebabkan
oleh karena adanya kekurangan besi dan inflamasi akut atau kronis.
Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah dan
absorbsi saluran cerna yang buruk (antasida yang diberikan pada
hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam usus). Selain itu, proses
hemodialisis dapat menyebabkan kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.
Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari, sehingga kehilangan
besi pada pasienpasien dialisis 10-20 kali lebih banyak. Homeostasis besi
tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang
masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin
pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal,
menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian
mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari
makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik. Masa hidup eritrosit
pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup eritrosit
normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh
kelainan lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah
itu sendiri. (Singh, 2008).
Inflamasi dan respon fase akut juga berkaitan dengan sistem
hematopoetik. Selama periode awal respon fase akut, konsentrasi
hemoglobin selalu menurun secara drastis. Hal ini disebabkan oleh
pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh makrofag retikuloendotelial.

29
30

Inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari eritrosit yang


dilapisi dengan imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasien-pasien
dengan fungsi ginjal yang normal, penurunan hemoglobin yang tiba-tiba
merangsang sekresi eritropoetin selama 4-10 hari. Ternyata, sekresi
eritropoetin yang meningkat ini dihambat oleh sitokin-sitokin
proinflamasi pada pasien-pasien yang mengalami respon fase akut.
(International Society of Nephrology, 2012)

5. Tatalaksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis


Tahap penatalaksaan Anemia Renal adalah sebagai berikut
(PERNEFRI, 2011):
a. Pengkajian Anemia
Skrining Hb pada pasien PGK dilakukan minimal satu kali dalam satu
tahun. Jika didapatkan anemia, maka dilanjutkan dengan:
1) Pemeriksaan darah lengkap
- Hemoglobin, hematokrit
- Indeks eritrosit (MCH, MCV, MCHC)
- Leukosit dan hitung jenis
- Hitung trombosit
2) Apusan darah tepi
3) Hitung retikulosit
4) Uji samar darah feses
5) Evaluasi status besi
b. Pengkajian status besi
Sebelum terapi ESA harus dilakukan pemeriksaan status besi terlebih
dahulu. Agar respon eritropoesis optimal, maka status besi harus
cukup. Status besi yang diperiksa meliputi, SI, TIBC, ST Dan FS.
SI = SI /TIBC x 100 %
Tabel 2.6 Defiensii Besi pada Anemia Renal (PERNEFRI, 2011)

30
31

c. Terapi besi (bila ada defisiensi besi)


Indikasi Terapi besi:
- Anemia defisiensi besi absolute
- Anemia defisiensi besi fungsional
- Tahap pemeliharaan status besi
Kontraindikasi terapi besi:
- Hipersenssitifitas terhadap besi
- Gangguan fungsi hati berat
- Kandungan besi tubuh berlebih
Sediaan besi:
- Parenteral: Iron sucrose, Iron dextran
- Oral: Ferrous gluconate, ferrous sulphate, ferrous fumarate, iron
polusaccharide

Berikut ini adalah algoritma terapi status besi pada anemia renal
Bagan 2.3 Algoritma terapi Besi (PENEFRI, 2011)

31
32

d. Terapi ESA (Eritropoetin Stimulating Agent)


Terapi ESA dimulai setelah identifikasi dan koreksi faktor lain yang
memperberat anemia, dan pastikan bahwa status besi cukup. Dalam
pemberian ESA hendaknya dipertimbangkan antara potensi manfaat
pemberian ESA untuk mengurangi kebutuhan transfusi dan memperbaiki
simtom anemia dengan potensi risiko seperti stroke, trombosis akses
vaskuler dan hipertensi.
Indikasi Terapi ESA Bila Hb <10 g/dl dan penyebab lain anemia sudah
disingkirkan dengan syarat pemberian tidak ada anemia defisiensi besi
absolut dan juga tidak ada infeksi yang berat. Kontraindikasi terapi ESA
bila hipersensitivitas terhadap ESA. Perlu diperhatikan pada terapi ESA
adalah tekanan darah tinggi dan hiperkoagulasi. Pada bagan 2.3 terdapat
panduan mengenai terapi ESA pada pasien yang menjalani hemodialisa.
Efek Samping Terapi ESA adalah hipertensi, trombosis, kejang dan
terjadinya PRCA. Terapi ESA berpotensi meningkatkan tekanan darah
terutama bila kenaikan Hb terlalu cepat atau menggunakan ESA dosis
tinggi. Selama terapi ESA perlu perhatian khusus terhadap tekanan darah
terutama pada fase koreksi. Trombosis dapat terjadi jika Hb meningkat
secara cepat melebihi target. Kejang walaupun sangat jarang dijumpai
perlu dipertimbangkan bila terjadi peningkatan yang cepat Hb >10 g
disertai tekanan darah yang tidak terkontrol. Terutama terjadi pada terapi
ESA fase koreksi. Pure red cell aplasia dicurigai bila pasien dalam terapi

32
33

ESA >4 minggu ditemukan semua gejala berikut: penurunan Hb


mendadak 0.5-1 g/dl/minggu atau membutuhkan transfusi 1-2
kali/minggu, Hitung leukosit dan trombosit normal, Hitung retikulosit
absolut <10.000/μL.

Bagan 2.4 Algortime Terapi ESA (PERNEFRI, 2011)

33
34

e. Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi
darah adalah:
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL
- Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
- Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat,
sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan
transfusi darah dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak
sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara
bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik
(asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan
dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat,
walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok
pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi
darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko

34
35

penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya


reaksi transfusi. (International Society of Nephrology, 2012)

35
36

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien Tn. S usia 64 tahun datang ke IGD RSDS Kebumen dengan


keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit, dan memberat 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan sesak
nafas terjadi terus-menerus setiap hari. Sesak terasa semakin memberat jika pasien
melakukan aktivitas dan saat berbaring, dan terasa lebih ringan dengan posisi
duduk. Pasien juga mengeluh lemas, mual dan BAK sedikit. Pasien memiliki
riwayat CKD sejak 2 tahun dan rutin menjalani Hemodialisis ssatu kali seminggu
(hari Sabtu). Pasien juga mengatakan bahwa sebelum didiagnosis CKD, pasien
memiliki riwayat hipertensi namun tidak pernah berobat rutin.
Pasien datang dengan kesadaran composmentis dan tampak
sesak.Tekanan darah pasien 232/108 mmHg dan frekuensi nafas 32x/menit. Tanda
vital lainnya dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan
conjungtiva anemis, Ronchi di kedua lapang paru, dan edem pitting pada
ekstremitas inferior. Pada hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan data
Hemoglobin pasien 6,8 g/dL, hematokrit 22%, ureum165 mg/dl, dan creatinin
11,42 mg/dl. Sedangkan pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil irama sinus
heart rate 89x/menit dengan LVH.
Berdasarkan hasil penghitungan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan
menggunakan rumus Kockcroft – Gault, didapatkan nilai LFG pasien adalah 5,49
mL/min/1,73m2 artinya nilai tersebut kurang dari 15. Nilai LFG kurang dari 15
termasuk dalam CKD derajat V. Penyebab dari gagal ginjal pada pasien ini
kemungkinan disebabkan karena Hipertensi. Hal ini didukung dari anamnesis
bahwa pasien telah mengidap hipertensi dengan kontrol yang tidak teratur.
Hipertensi merupakan penyebab penyakit ginjal kronis terbanyak
setelah penyakit diabetes mellitus. Seseorang yang memiliki penyakit hipertensi
akan mengalami penebalan dinding pembuluh darah, termasuk pembuluh darah
yang terdapat diginjal. Hal ini akan membuat lumen pembuluh darah menjadi
sempit, sehingga akan menurunkan jumlah aliran darah ke ginjal. Jika pasukan
darah ke ginjal terus menerus berkurang, maka hal ini akan menimbulkan

36
37

penurunan laju filtrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus inilah yang
nantinya akan menimbulkan berbagai gejala klinis pada pasien.
Berdasarkan hasil anamnesis, didapatkan bahwa pasien mengeluh sesak nafas. Hal
ini terjadi akibat penyakit ginjal kronis yang diderita pasien. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akan meningkatkan permeabilitas glomerulus, sehingga terjadi
proteinuria dan hipoalbumin. Jika kadar albumin dalam darah menurun, maka
tekanan onkotik plasma akan berkurang. Penurunan tekanan onkotik plasma akan
mendorong pergerakan cairan dari kapiler paru ke ruang interstitial. Jika
perpindahan cairan dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli melebihi jumlah
pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan ke pembuluh limfe, maka
terjadilah penumpukan cairan diparu yang disebut sebagai edem pulmo. Sehingga
sesak nafas yang dialami pasien kemungkinan terjadi akibat adanya edem pulmo.
Hal ini didukung dengan gambaran foto Rontgen Thorax pada tanggal 16 Juni
2020 yang menunjukan adanya Edem Pulmo, Effusi Pleura Dextra dan
Cardiomegaly.
Selain itu, gejala mual dan muntah yang dialami pasien merupakan
gejala sindrom uremia yang terjadi akibat penurunan LFG. Menurunnya laju
filtrasi glomerulus (LFG) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan
peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme
protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus
(Sukandar, 2013).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tekanan darah tinggi, ronchi
pada kedua lapang paru dan edema tungkai. Tekanan darah tinggi ini terjadi
keluarnya hormone Renin pada RAA sistem sebagai respon tubuh akibat
penurunan LFG. Sedangkan ronchi dan edem tungkai merupakan pertanda adanya
retensi cairan diruang interstitial tubuh. Pemeriksaan laboratorium lain yang
menunjang adalah penurunan hemoglobin (6,8 g/dL ), MCV (94 fL), MCH (29
pg), MCHC (31%). Derajat anemia pada pasien ini adalah anemia berat, sesuai
dengan klasifikasi derajat anemia berat yaitu Hb <8 g/dl. Klasifikasi anemia pada
pasien ini didasarkan atas morfologik dan etiopatogenesis yaitu anemia
normokromik normositer ec. CKD. Penurunan hemoglobin merupakan
manifestasi CKD dalam bidang hemopoiesis. Pada CKD, fungsi ginjal menurun,

37
38

sehingga produksi eritropoietin akan menurun. Eritropoietin adalah zat yang


digunakan dalam pembentukan sel darah merah. Akibatnya, apabila produksi
eritropietin menurun, makan sel darah merah menurun dan hemoglobin akan
menurun, Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan
kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. (Sudoyo et
al., 2014)
Oleh karena itu diagnosis Penyakit ginjal kronik dapat ditegakkan karena
adanya trias Penyakit Ginjal Kronis berupa anemia, hipertensi dan azotemia.
Karena Hb pasien termasuk kedalam anemia berat yang memerlukan penanganan
segera, maka diagnosis anemia gravis juga ditegakan pada pasien ini akibat
komplikasi dari penyakit ginjal kronis itu sendiri (Wilson, 2012).
Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada pasien ini yaitu dengan pemberian
oksigenasi O2 4 lpm NK untuk mempertahankan pernafasan pasien. Pasien juga
diberikan Infus Asering 10 tpm, dan Injeksi Lasix 6 Amp/24 jam syringe pump.
Pemeberian Infus Asering dengan tetes pelan diberikan dengan tujuan agar tidak
terjadi overload cairan pada pasien. Kemudian diberikan diuretik dimaksudkan
untuk mengurangi retensi cairan pada pasien. Diuretik diberikan dengan tujuan
mengurangi volume plasma dan pengisian atrium kiri, juga untuk meningkatkan
tekanan koloid osmotik. Mekanisme kerja diuretik dalam mengatasi edema paru
adalah dengan meningkatkan kapasitas vena, dan meningkatkan eksresi garam dan
air sehingga mengurangi pengeluaran cairan dari mikrovaskular paru. Pada edema
berat, furosemid dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1−2 mg/kgBB.
Dosis ini biasanya menghasilkan diuresis nyata yang menurunkan tekanan
mikrovaskular paru dan meningkatkan konsentrasi protein di dalam plasma
Setelah hasil pemeriksaan laboratorium keluar, kemudian pasien
dikonsultasikan kepada dr. Imbar, Sp.PD dan pasien mendapatkan terapi
tambahan dibangsal berupa Inj Nicardpin 15mg/jam syringe pump, Inj RESFAR 1
fl/24 jam, Inj sharox 2 x 0,75 mg, Inj lansoprazole 1 amp/hari, CaCO3 3x1, Nocid
3x1, Etabion 2x1, HD Cito (12/6/2020 pagi) transfusi PRC 2 kolf.
Nicardipidin diberikan kepada pasien untuk menurunkan tekanan darah.
Nicardipin merupakan antihipertensi golongan CCB. Nicardipin dipilih karena
obat ini memiliki karakteristik vasoselektif yakni lebih banyak bekerja pada sel

38
39

otot polos pembuluh darah dibandingkan otot mikoard, tidak mendepeprsi kerja
otot miokard, tidak bersifat inotropik negative,memiliki efek antihipertensi yang
cepat dan stabil serta efek minimal terdapat frekuensi denyut jantung dan dapat
meningkatkan aliran darah menuju jantung&ginjal (Lubis, 2013).
Infus RESFAR diberikan satu kali dalam 24 jam. RESFAR memiliki
kandungan acetylcysteine, yang merupakan agen mukolitik. Acetylcysteine
bekerja dengan cara memecah serat asam mukopolisakarida yang membuat dahak
lebih encer dan mengurangi adhesi lendir pada dinding tenggorokan sehingga
mempermudah pengeluaran lendir pada saat batuk. Selain itu, acetycysteine juga
memiliki anti inflamasi dan antioksidan. Pada pasien penyakit ginjal kronis akan
terjadi stress oksidatif dan inflamasi kronis. Terlebih pada pasien yang menjalani
hemodialisa, terdapat beberapa produk metabolisme seperti Homocystein dan
Advanced Glycation End Product (AGEP) yang akan meningkatkan stress
oksidatif. Studi menemukan bahwa N-Acetylcystein sebagai antioksidan dan
antiinfalamsi mampu menurunkan kadar IL-6. (Dewi et al., 2015) Oleh karena itu,
pemberian N-acetylcystein diharapkan mampu menurunkan kejadian
kadiovaskuler pada pasien-pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis.
Injeksi Sharox diberikan dua kali sehari dengan dosis 0,75 mg. Sharox
mengandung cefuroxime yang merupakan antibiotik golongan cephalosporin.
Cephalosporin memiliki sifat bakterisida dengan mekanisme kerja menghambat
sintesis dinding sel. (Indijah & Fajri, 2016) Pemberian antibiotik pada pasien
penyakit ginjal kronis bertujuan untuk menurunkan resiko infeksi. Penderita PGK,
terutama stadium akhir rentan terhadap infeksi karena adanya disfungsi sistem
imun yang disebabkan oleh uremia. Penyebab tingginya infeksi pada pasien PGK
selain menurunnya sistem imun, juga disebabkan oleh adanya penyebab sekunder
seperti adanya diabetes dan penyakit jantung paru pada PGK yang akan
memperberat resiko infeksi. Infeksi pada pasien PGK dapat berupa infeksi saluran
kemih dan pneumonia yang semuanya dapat mengarah kepada sepsis. (Sinaga et
al., 2017).
Pasien juga mendapatkan terapi CaCO3 sebanyak 3x1tablet. CaCO3
mengandung calcium carbonat yang bermanfaat untuk mengatasi hiperfosfatemia

39
40

pada pasien penyakit ginjal kronis. (Medidata, 2016) Pada pasien gagal ginjal,
terjadi gangguan filtrasi pada glomerulus yang berakibat pada penumpukan fosfat
dalam darah. Fosfat akan berikatan pada calcium, sehingga akan menurunkan
kadar calcium pada tulang yang bisa berakibat pada terjadinya osteodistrofi. Oleh
karena itu, pemberian CaCO3 pada pasien diharapkan mampu menurunkan jumlah
fosfat dalam darah dan mencegah terjadinya renal osteodistorfi. Nocid diberikan
kepada pasien sebagai suplemen untuk memenuhi kebutuhan asam amino pada
kondisi dimana dibutuhkan pembatasan protein hingga 40gr/hari. Selain CaCO3,
dan Nocid, pasien juga diberikan suplemen Etabion. Etabion adalah obat yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral, serta mencegah dan
mengobati anemia yang disebabkan oleh kadar zat besi yang rendah. Walaupun
pada pasien tidak diperiksa status besi, akan tetapi obat ini tetap diberikan untuk
membantu mengatasi anemia. Karena penyebab anemia tersering pada gagal
ginjal kronis selain karena defisiensi eritropoetin juga terjadi akibat kekurangan
zat besi (PERNEFRI, 2011).
Hemodialisa Cito dan transfusi 2 kolf PRC juga dijadwalkan pada pasien
pada tanggal 12 Juni 2020. Hemodialisa Cito dilakukan karena adanya overload
cairan dan uremia. Karena pasien memiliki Hb < 7 g/dL, maka pasien juga
mendapatkan transfusi durante HD. Target hemoglobin post transfusi pada pasien
HD adalah 7-9 g/dl, Sehingga pasien diberikan PRC sebanyak 2 kolf karena pada
orang dewasa 1 kolf PRC dapat meningkatkan 1 g/dL Hemoglobin. (Setyati &
Soemantri, 2010).
Pasien mendapatkan perawatan di bangsal Arumbinang RSUD dr.
Soedirman Kebumen selama 7 hari. Selama perawatan pasien mendapatkan
hemodialisa sebanyak kali, dan transfusi PRC 2 Kolf. Setelah 7 hari perawatan,
kondisi pasien mulai membaik. Sesak sudah tidak lagi dirasakan oleh pasien,
Tekanan darah sudah turun menjadi 152/75mmHg, dan Hemoglobin post transfusi
8,1 g/dL. Karena perbaikan kondisi tersebut, pasien boleh pulang dan
mendapatkan terapi pulang berupa Calos 2x1, L-acys 2x1, Etabion 2x1, Epodion
3000U, Amlodipin 10 mg 1x1, Irbesartan 150 mg 1x1.
Pasien mendapatkan terapi hipertensi oral amlodipin dan irbesartan.
Amlodipin merupakan golongan CCB dan dikombinasikan dengan Irbesartan

40
41

yang merupakan golongan ARB. Obat golongan CCB bekerja dengan cara
menghambat ion kalsium masuk kedalam vaskularisasi otot polos dan otot
jantung. Sedangkan ARB bekerja spesifik menghambat ikatan angiotensin II.
ARB mempunyai efek natriuretik sehingga akan mencegah retensi garam dan air.
Selain itu juga mengurangi afterload karena penghambatan terhadap terjadinya
vasokonstriksi. Sehingga akan menurunkan tekanan darah dan menurunkan beban
jantung (PERKI, 2015).
Selain itu pasien juga diberikan edukasi agar membatasi asupan cairan, serta
menjalani hemodialisa dan kontrol rutin ke poli penyakit dalam. Epodion 3000U
diresepkan kepada pasien untuk nantinya digunakan di ruang hemodialisa sebelum
pasien mendapatkan terapi Hemodialisa. Epodion merupakan Eritropoetin
Stimulating Agent yang mampu meningkatkan eritropoesis sehingga diharapkan
bisa mengobati anemia dan mengurangi kebutuhan transfusi darah. Epodion bisa
diberikan secara intravena maupun secara subkutan. Pengobatan dengan Epodion
terdiri dari dua fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Dosis fase koreksi
sebesar 50 IU/kg 3 kali seminggu, sedangkan untuk fase pemeliharaan dosis total
perminggu yang dianjurkan adalah antara 75 IU/kg hingga 300 IU/kg (BPOM RI,
2008). Target respon yang diharapkan, hemoglobin naik sebanyak 0,5-1,5 gr/dL
dalam 4 minggu (PERNEFRI, 2011).

41
42

BAB IV
PENUTUP

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi


yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Etiologi Penyakit ginjal kronik beranekaragam
teragntung faktor pencetusnya. Faktor pencetusnya dapat berupa diabetes, non-
diabetes seperti hipertensi, batu saluran kencing, dan juga bisa disebabkan karena
keracunan obat. Derajat Penyakit ginjal kronik dibedakan berdasarkan LFG nya.
Penegakan diagnosis Penyakit ginjal kronik terdiri dari 3 gejala atau yang disebut
sebagai Trias Penyakit ginjal kronik. Trias tersebut terdiri dari anemia, hipertensi
dan azotemia. Tatalaksana Penyakit ginjal kronik terdiri dari terapi faktor inisiasi,
pengelolaan hipertensi dan anemia, menjaga keseimbangan garam dan cairan,
mencegah adanya asidosis metabolik serta diet rendah protein.
Komplikasi tersering pada Penyakit ginjal kronik adalah Anemia.
Anemia disebabkan karena adanya gangguan pada eritropoetin sehingga
mengahmabat pembentukan sel darah merah. Tatalaksana anemia pada Penyakit
ginjal kronik harus diawali dengan pengkajian anemia, pengkajian status besi,
terapi besi, terapi dengan menggunakan ESA, hingga transfusi darah. Semuanya
diberikan sesuai dengan indikasi masing-masing sesuai keadaan pasien

42
43

DAFTAR PUSTAKA

Adrian, S., Tomy (2019) Hipertensi Esensial: Diagnosis dan Tatalaksana Terbaru
pada Dewasa. CDK-274; 46 (3): 172-178

Bakris, George, et al. (2008) Prevalence and associations of anemia of CKD:


Kidney Early Evaluation Program (KEEP) and National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES) 1999-2004. American Journal
of Kidney Diseases, volume 5: S46-S55.

Bello, A. K., Alrukhaimi, M., Ashuntantang, G. E, et al. (2017) Complications of


Chronic Kidney Disease: Current state, Knowledge Gaps, and Strategy
for Action. Kidney Int Suppl ;7(2):122-129.
doi:10.1016/j.kisu.2017.07.007

BPOM RI. (2008) Informatorium Obat Nasional Indonesia (ION). Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. URL:
http://pionas.pom.go.id/ioni/pedoman-umum. Accessed July 11, 2020

Chaparro ,C. M, Suchdev, P. S. (2019) Anemia Epidemiology, Pathophysiology,


and Etiology in Low- and Middle-Income Countries. Ann N Y Acad
Sci.;1450(1):15-31. doi:10.1111/nyas.14092

Dewi, R. T., Siregar, P., Alwi, I., Rumeden., C. M. (2015) Pengaruh Pemberian
H-Acetylcysteine Oral Terhadap high Sensitive C Reactive Protein (hs-
CRP) pada Pasien Hemodialisis Kronis. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia; 2 (4)p;228-232

Haryanti, I., dan Nisa, K. (2015) Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal
sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik. Majority; 4(7): 1-5

Indijah, S. W., Fajri, P. (2016) Farmakologi. Jakarta: Kemenkes RI

International Society of Nephrology. (2012) Kindey disease improving global


outcome: Clinical practice guideline for anemia in chronic kidney
disease. Kidney International Supplements; 2: 283-335

43
44

Johnson, D. W., Atai, E., Chan, M., Phon, R. K., Scott, C., Toussaint, N., et al.
(2013) KHA-CARI Guideline: Early Chronic Kidney Disease:
Detection, Prevention, and Management. Nephrology (Carlton) ;
18(5):340-350. doi:10.1111/nep.12052

KDIGO. (2012) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management
of Chronic Kidney Disease. Journal of the International Society of
Nephrology Vol. 3.

Kementerian Kesehatan RI. (2013) Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Available fromL URL:
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-
riskesdas-2013.pdf. Accessed July 04, 2020

Kementerian Kesehatan RI. (2018) Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Available from URL:
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-
riskesdas-2018.pdf. Accessed July 04, 2020

Longo, D. L, Kasper, D. L, Jameson, J. L., Fauci, A. S., Hauser, A. L., Loscalzo,


J. (2012) Harrison’s Principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Lubis, L. (2013) Penatalaksanaan Terkini Krisis Hipertensi Preoperatif. CDK-209;


40 (10); 733-737

Medidata (2016). MIMS Petunjuk Konsultasi, Edisi 16. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu

PENEFRI (2016) 9th Report Of Indonesian Renal Registry. Available from: URL:
https://www.indonesianrenalregistry.org/ Accessed July 04, 2020

PERKI. (2015) Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular.


Jakarta: PERKI

PERNEFRI (2003) Konsensus Dialisis. Jakarta: PERNEFRI

44
45

PERNEFRI, (2011). Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal


Kronik. Jakarta; PB PERNEFRI

Pollack, C. V, & Rees, C. J. (2008). Hypertensive Emergencies : Acute Care


Evaluation and Management. Emergency Medicine Cardiac Research
and Education Group Vol 3.

Rahmawati, F. (2018) Aspek Laboratorium Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Ilmiah


Kedokteran Wijaya Kusuma 6 (1): 14-22

Sanjaya, B. A. A., Santhi, D., Lestari, W. (2019) Gambaran Anemia Pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Sanglah pada Tahun 2016. E-Jurnal
Medika Udayana, volume 8, ISSN 2303-1395. Available at:
<https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/51116 >. Accessed July
04, 2020

Setyati , J., Soemantri, A. (2010) Transfusi Darah yang Rasional. Semarang,


Penerbit Pelita Insani; 42–3

Sherwood, L. (2014) Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem (Edisi ke-6). Jakarta:
EGC, 412-441.

Sinaga, C., Tjitrosantoso, H., Fatmwali. (2017) Evaluasi Kerasionalan


Penggunaan Antibiotik pada Pasien Gagal Ginjal di RSUP Prof. DR. R.
D. Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Faramasi- UNSRAT; 6(3)

Singh, A. K. (2008) Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am; 2 (3): 3-6.

Somvanshi, S., Khan, N. Z., Ahmad, M. (2012) Anemia in Chronic Kidney


Disease Patients. Clin Queries Nephrol;1(3):h.198–204.

Sudoyo, A. W, Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati S (2014) Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6nd ed. Jakarta: Interna Publishing;p.2159-
65.

Sukandar E. Nefrologi klinik. (2013) Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas


Padjadjaran

45
46

Tjokroprawiro, A., Setiawan, P.B., Santoso, D., Soegiarto, G., dan Rahmawati,
L.D. (2015) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press: 484-492

Verdiansyah (2016) CDK Journal; 42 (2)

Wilson, L. M. (2012) Penyakit ginjal kronik. In: Hartanto, H., Susi, N.,
Wulansari, P., Mahanani, D. A. editors: Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit. 6nd ed. Jakarta: EGC;.p. 912- 45.

Wish, J. B. (2014) Anemia and Other Hematologic Complications of Chronic


Kidney Disease in Gilbert, S. J, Weiner, D. E, Gipson DS et al. ed.
National Kidney Foundations Primer on Kidney Deseases. 6 th ed.
Elsevier saunders; 57:497-505.

World Health Organization. (2011). Haemoglobin Concentrations for The


Diagnosis of Anaemia and Assessment of Severity. Accessed July 05,
2020 http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf .

46

Anda mungkin juga menyukai