PENDAHULUAN
1
2
2
3
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 64 tahun
Alamat : Sarwogadung RT05/RW02, Kab. Kebumen
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Petani
Masuk RS : 11 Juni 2020 Pukul 21.37 WIB
No. CM : 389551
3
4
B. DATA OBYEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 Juni 2020
Keadaan Umum
Kesadaran : Composmentis (E4M6V5)
Keadaan Umum : Tampak Sesak
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 232/108 mmHg
Nadi : 89x/menit reguler
Frekuensi nafas : 32x/menit
Suhu : 36,3°C
4
5
Status Gizi
Tinggi Badan : 165 cm
BB : 60 kg
BMI : 22,03 (Normal)
Pemeriksaan Sistem
Kulit
Warna coklat, turgor menurun (-), kering (-), ikterik (-)
Kepala
Bentuk mesocephal,
Mata
CA (+/+), SI (-), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm),
reflex cahaya (+/+), edema palpebral (-/-)
Telinga
Sekret (-), darah (-) deformitas (-)
Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut
Sianosis (-), stomatitis (-)
Leher
JVP R+2cm (tidak meningkat), deviasi trakea (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-)
Pulmo
Inspeksi Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-),
ketinggalan gerak (-), jejas (-)
Palpasi Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan
hemitoraks kiri
Perkusi Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi Suara Dasar Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+)
Wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
5
6
2. INTERVENSI DI IGD
Tatalaksana Farmakologi
1) O2 5 lpm NK
2) IVFD Asering 10 tpm
3) Inj Lasix 6 Amp/24 jam syringe pump
Tatalaksana Non Farmakologi
1) Posisi semi fowler
2) Edukasi pembatasan asupan cairan dan diet rendah protein
6
7
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (11/05/2016):
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 6,8 g/dL (↓) 13,2 – 17,3 gr/dl
Leukosit 7.200 /uL 3.800 –10.600/µL
Hematokrit 22 % (↓) 40 - 52%
Eritrosit 2,3 x 10ˆ6/uL (↓) 4.4 – 5.9 juta/µL
Trombosit 297.000 /uL 150.000 -440.000/µL
MCV 94 fL 80 – 100 fL
MCH 29 pg 26 – 34 pg
MCHC 31 % (↓) 32 – 36 gr/dL
Hitung Jenis
Basofil 0,30 % 0–1%
Eosinofil 3,60 % 2–4%
Netrofil 66,20 % 50 – 70 %
Limfosit 24,70 % 22 – 40 %
Monosit 5,20 % 2 -8 %
Kimia Rutin
Ureum Darah 165 mg/dl (↑) 10 – 50 mg/dl
Kreatinin Darah 11,42 mg/dl (↑) 0,8 – 1,3 mg/dl
GDS 103 mg/dl < 100 mg/dl
SGOT 15 U/L < 37 U/L
SGPT 13 U/L < 42 U/L
Sero Imunologi
HBsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif
= (140 – 64) X 60
72 x 11,42
= 5,49 mL/min/1,73m2
7
8
C. RESUME
Pasien Tn. S usia 64 tahun datang ke IGD RSDS Kebumen
dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit, dan memberat 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengatakan sesak nafas terjadi terus-menerus setiap hari. Sesak
terasa semakin memberat jika pasien melakukan aktivitas dan saat
berbaring, dan terasa lebih ringan dengan posisi duduk. Pasien juga
mengeluh lemas, mual dan BAK sedikit. Pasien memiliki riwayat CKD
sejak 2 tahun dan rutin menjalani Hemodialisis ssatu kali seminggu (hari
Sabtu). Pasien juga mengatakan bahwa sebelum didiagnosis CKD, pasien
memiliki riwayat hipertensi namun tidak pernah berobat rutin.
Pasien datang dengan kesadaran composmentis dan tampak sesak.
Tekanan darah pasien 232/108 mmHg dan frekuensi nafas 32x/menit.
Tanda vital lainnya dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan conjungtiva anemis, Ronchi di kedua lapang paru, dan edem
pitting pada ekstremitas inferior.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan data
Hemoglobin pasien 6,8 g/dL, hematokrit 22%, ureum165 mg/dl, dan
creatinin 11,42 mg/dl. Sehingga jika dihitung pasien memiliki LFG 5,49
mL/min/1,73m2. Sedangkan pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil
irama sinus heart rate 89x/menit dengan LVH.
D. DIAGNOSIS
8
9
1) CKD Derajat V
2) Anemia Gravis
F. FOLLOW UP
Tanggal Keadaan klinis Program terapi/tindakan
12/06/2020 S: P:
07.30 - Mual (+) - Terapi Lanjut
- Muntah (-) - HD Cito (Tanpa transfusi
- Lemas (+) PRC, karena belum ada
- Sesak nafas (+) stock darah)
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD :158/93 mmHg
Nadi :100x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
9
10
Frekuensi respirasi :
24x/menit
Suhu : 36,5°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh +/+
A : Anemia
CKD derajat V
13/6/2020 S: P:
08.00 WIB - Sesak nafas (+) - Nicardipin Stop
Arumbinang - Lemas (+) - Paracetamol 3x500 mg
- Mual (+) - Terapi lain lanjut
- Muntah (-)
- Demam (+)
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 159/89 mmHg
Nadi : 91x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
24x/menit
Suhu : 37,7°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
A :CKD derajat V, Anemia
Gravis
13/6/2020 S: P:
Jam 16.00 - Sesak nafas (+) - Terapi Lanjut
Arumbinang - Lemas (+) - Persiapan HD ke 2 (dengan
- Mual (+) transfuse 1 Kolf PRC)
- Muntah (-) - Cek Hemoglobin post
- Demam ↓ transfuse
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 170/104 mmHg
Nadi : 92x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
24x/menit
10
11
Suhu : 37,4°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
A : CKD derajat V, Anemia
Gravis
14/6/2020 S: P:
10.00 WIB - Sesak nafas (+) tapi - Terapi lanjut
Arumbinang berkurang, tidak terlalu
sesak
- Lemas (+)
- Mual (-)
- Muntah (-)
- Demam naik turun
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 179/111 mmHg
Nadi : 86x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
22x/menit
Suhu : 37,7°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh +/+
PP:
Hasil Lab
Hemoglobin: 7,2 (↓)
Leukosit: 5,8
Hematokrit: 22 (↓)
Eritrosit: 2,5 (↓)
Trombosit:169
MCH: 29
MCHC: 31 (↓)
MCV: 93
Eosinofil: 3,00
Basofil: 0,30
Netrofil: 72,70 (↓)
Limfosit: 18,40 (↓)
11
12
Monosit: 5,60
Ureum: 99 (↑)
Creatinin:6,95 (↑)
A : CKD derajat V, Anemia
Gravis
15/6/2020 S: P:
- Lemas (-) - Furosemid syringe pump
- Sesak nafas (+) stop Inj Furosemid 1x2 A
- Mual (-) - Persiapan Hemodialisis ke 3
- Muntah (-) - Foto Ro Thorax
- Demam ↓
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 160/70 mmHg
Nadi : 80x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
22x/menit
Suhu : 36,7°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
A : CKD derajat V, Anemia
Gravis, Edem Pulmo. Susp.
Pneumonia
16/06/2020 S: P:
- Lemas (-) - IVFD Asering 10 tpm + 1
- Sesak nafas (+) ampul Cenervit
- Mual (-) - Inj Sharox 2x 0,75
- Muntah (-) - Inj Lansoprazole 1 amp/hari
- Demam (-) - Inj RESFAR 1 fl/hari
O: - CaCO 3x1
KU : compos mentis - Nocid 3x1
Vital sign : - Etabion 2x1
TD : 148/88 mmHg - Irbesartan1x1 (1-0-0)
Nadi : 91x/menit regular, isi - Amlodipin 1x1 (0-0-1)
dan tegangan cukup - Persiapan Hemodilasa ke 4
Frekuensi respirasi :
20x/menit
Suhu : 36,5°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA +/+, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
12
13
PP
Hasil Radiologi:
Kesan:
- Edem Pulmo
- Cardiomegali
- Efusi pleura dextra
- Infiltrat di intrahiller
suspek Pneumonia
13
14
Pneumonia
18/06/2020 S: P:
08.25 - Lemas (-) - Terapi lanjut
- Sesak nafas (+) - Pro Hemodialisis Ulang
- Mual (-)
- Muntah (-)
- Pusing (+)
O:
KU : compos mentis
Vital sign :
TD : 160/93 mmHg
Nadi : 69x/menit regular, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi respirasi :
22x/menit
Suhu : 37°C
Pemeriksaan Fisik :
Mata : CA -/-, SI -/-
Thorax:
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
PP:
Hasil Lab
Hemoglobin: 8,1 (↓)
Leukosit: 5,1
Hematokrit: 25 (↓)
Eritrosit: 2,9 (↓)
Trombosit:156
MCH: 28
MCHC: 32
MCV: 89
Eosinofil: 3,10
Basofil: 0,00
Netrofil: 67,70
Limfosit: 20,30 (↓)
Monosit: 8,90 (↑)
18/06/2020 S: P:
16.00 - Post Hemodialisis - Pasien boleh pulang
Arumbinang - Lemas (-)
- Sesak nafas berkurang Obat rawat jalan:
- Mual (-) - Calos 2x1
- Muntah (-) - L-acys 2x1
14
15
- Etabion 2x1
O: - Epodion 3000U
KU : compos mentis - Amlodipin 10 mg 1x1
Vital sign : - Irbesartan 150 mg 1x1
TD : 152/75 mmHg
Nadi : 80x/menit regular, isi Edukasi:
dan tegangan cukup - Edukasi pasien untuk rutin
Frekuensi respirasi : kontrol ke poli penyakit
20x/menit dalam dan rutin HD 1 kali
Suhu : 36,5°C seminggu setiap hari Sabtu
Pemeriksaan Fisik : - Edukasi pasien untuk
Mata : CA -/-, SI -/- mengontrol asupan cairan
Thorax: dan protein
C: S1>S2 reg M(-) G(-)
P: Sd Ves +/+ Rh+/+
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
15
16
16
17
17
18
18
19
EPO ↓ anemia
Blood flow <<
Uremia Hiperfosfatemia
Kalium↑
Fosfat berikatan dengan kalsium Proteiunuria hipoalbumin
Mual, anoreksi
Aritmia
Tek Osmotik <<
Ca+ tulang <<
19
20
20
21
Pemeriksaan Diagnostik
- EKG
Pada pasien CKD dapat terjadi ketidaknormalan akibat
gangguan keseimbangan asam basa
- USG Renal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat apakah ada
hiperfiltrasi pada ginjal, obstruksi pada sistem perkemihan,
atau ada massa
- X-Ray abdomen
Pemeriksaan ini berfungsi untuk melihat ukuran dan struktur
organ ginjal, ureter, dan kandung kemih
- CT scan
21
22
22
23
Bagan 2.2 Tatalaksana Hipertensi pada Pasien CKD (Adrian & Tomy, 2019)
23
24
24
25
25
26
- Sindrom hepatorenal
- Sirosis hati lanjut dengan esefalopati
(PERNEFRI,2003)
2) Terapi Pengganti Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
untuk pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan
transplantasi ginjal jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang
ada dan biasanya ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang
memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal ini
membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih
oleh pasien. Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup karena
ginjal yang berasal dari kadaver tidak sepenuhnya diterima.
Transplantasi ginjal memerlukan dana dan peralatan yang mahal
serta sumber daya manusia yang memadai. Transplantasi ginjal ini
juga dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan atau
reaksi penolakan tubuh. (Haryanti & Nisa, 2014)
26
27
atau hitung eritrosit. Tetapi yang lazim dipakai adalah kadar hemoglobin
kemudian hematokrit. (Sudoyo et al., 2014)
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang
rendah dalam darah. (WHO, 2011). Berikut ini adalah kriteria anemia
menurut WHO:
Tabel 2.3 Kriteria Anemia menurut WHO (WHO, 2011)
Kelompok Kriteria Anemia
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
Anemia pada penyakit ginjal atau yang dikenal dengan anemia
renal merupakan komplikasi dari PGK (Penyakit Ginjal Kronis) yang
penting karena memberikan kontribusi yang bermakna terhadap gejala,
progresivitas serta komplikasi kardiovaskuler pasien PGK Insiden anemia
pada PGK meningkat seiring dengan menurunnya LFG. (PERNEFRI,
2011).
Anemia pada PGK mulai muncul pada stadium awal dari PGK dan
memberat seiring dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG).
Penelitian National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
mendapatkan insiden anemia pada PGK stadium 1 dan 2 adalah kurang
dari 10%, pada stadium 3 adalah 50% , pada stadium 4 mencapai 60% dan
70% pasien PGK stadium 5 mengalami anemia sedangkan pada pasien
yang menjalani hemodialisis didapatkan 100% pasien mengalami anemia.
(Wish ,2014)
2. Etiologi Anemia
Anemia pada pasien dengan GGK utamanya disebabkan kurangnya
produksi eritropoetin (EPO) oleh karena penyakit ginjalnya. Faktor
tambahan lainnya yang mempermudah terjadinya anemia antara lain
defisiensi zat besi, inflamasi akut maupun kronik, inhibisi pada sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup eritrosit. Selain itu, kondisi komorbid
seperti hemoglobinopati. Berikut ini adalah tabel terkait etiologi anemia
pada pasien PGK. (PERNEFRI, 2011).
Tabel 2.4 Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis
Etiologi Penjabaran etiologi
27
28
3. Dejarat Anemia
Berikut adalah derajat keparahan anemia:
Tabel 2.5 Derajat Anemia (Chaparro & Suchdev, 2019)
28
29
29
30
30
31
Berikut ini adalah algoritma terapi status besi pada anemia renal
Bagan 2.3 Algoritma terapi Besi (PENEFRI, 2011)
31
32
32
33
33
34
e. Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi
darah adalah:
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL
- Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
- Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat,
sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan
transfusi darah dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak
sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara
bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik
(asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan
dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat,
walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok
pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi
darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko
34
35
35
36
BAB III
PEMBAHASAN
36
37
penurunan laju filtrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus inilah yang
nantinya akan menimbulkan berbagai gejala klinis pada pasien.
Berdasarkan hasil anamnesis, didapatkan bahwa pasien mengeluh sesak nafas. Hal
ini terjadi akibat penyakit ginjal kronis yang diderita pasien. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akan meningkatkan permeabilitas glomerulus, sehingga terjadi
proteinuria dan hipoalbumin. Jika kadar albumin dalam darah menurun, maka
tekanan onkotik plasma akan berkurang. Penurunan tekanan onkotik plasma akan
mendorong pergerakan cairan dari kapiler paru ke ruang interstitial. Jika
perpindahan cairan dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli melebihi jumlah
pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan ke pembuluh limfe, maka
terjadilah penumpukan cairan diparu yang disebut sebagai edem pulmo. Sehingga
sesak nafas yang dialami pasien kemungkinan terjadi akibat adanya edem pulmo.
Hal ini didukung dengan gambaran foto Rontgen Thorax pada tanggal 16 Juni
2020 yang menunjukan adanya Edem Pulmo, Effusi Pleura Dextra dan
Cardiomegaly.
Selain itu, gejala mual dan muntah yang dialami pasien merupakan
gejala sindrom uremia yang terjadi akibat penurunan LFG. Menurunnya laju
filtrasi glomerulus (LFG) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan
peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme
protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus
(Sukandar, 2013).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tekanan darah tinggi, ronchi
pada kedua lapang paru dan edema tungkai. Tekanan darah tinggi ini terjadi
keluarnya hormone Renin pada RAA sistem sebagai respon tubuh akibat
penurunan LFG. Sedangkan ronchi dan edem tungkai merupakan pertanda adanya
retensi cairan diruang interstitial tubuh. Pemeriksaan laboratorium lain yang
menunjang adalah penurunan hemoglobin (6,8 g/dL ), MCV (94 fL), MCH (29
pg), MCHC (31%). Derajat anemia pada pasien ini adalah anemia berat, sesuai
dengan klasifikasi derajat anemia berat yaitu Hb <8 g/dl. Klasifikasi anemia pada
pasien ini didasarkan atas morfologik dan etiopatogenesis yaitu anemia
normokromik normositer ec. CKD. Penurunan hemoglobin merupakan
manifestasi CKD dalam bidang hemopoiesis. Pada CKD, fungsi ginjal menurun,
37
38
38
39
otot polos pembuluh darah dibandingkan otot mikoard, tidak mendepeprsi kerja
otot miokard, tidak bersifat inotropik negative,memiliki efek antihipertensi yang
cepat dan stabil serta efek minimal terdapat frekuensi denyut jantung dan dapat
meningkatkan aliran darah menuju jantung&ginjal (Lubis, 2013).
Infus RESFAR diberikan satu kali dalam 24 jam. RESFAR memiliki
kandungan acetylcysteine, yang merupakan agen mukolitik. Acetylcysteine
bekerja dengan cara memecah serat asam mukopolisakarida yang membuat dahak
lebih encer dan mengurangi adhesi lendir pada dinding tenggorokan sehingga
mempermudah pengeluaran lendir pada saat batuk. Selain itu, acetycysteine juga
memiliki anti inflamasi dan antioksidan. Pada pasien penyakit ginjal kronis akan
terjadi stress oksidatif dan inflamasi kronis. Terlebih pada pasien yang menjalani
hemodialisa, terdapat beberapa produk metabolisme seperti Homocystein dan
Advanced Glycation End Product (AGEP) yang akan meningkatkan stress
oksidatif. Studi menemukan bahwa N-Acetylcystein sebagai antioksidan dan
antiinfalamsi mampu menurunkan kadar IL-6. (Dewi et al., 2015) Oleh karena itu,
pemberian N-acetylcystein diharapkan mampu menurunkan kejadian
kadiovaskuler pada pasien-pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis.
Injeksi Sharox diberikan dua kali sehari dengan dosis 0,75 mg. Sharox
mengandung cefuroxime yang merupakan antibiotik golongan cephalosporin.
Cephalosporin memiliki sifat bakterisida dengan mekanisme kerja menghambat
sintesis dinding sel. (Indijah & Fajri, 2016) Pemberian antibiotik pada pasien
penyakit ginjal kronis bertujuan untuk menurunkan resiko infeksi. Penderita PGK,
terutama stadium akhir rentan terhadap infeksi karena adanya disfungsi sistem
imun yang disebabkan oleh uremia. Penyebab tingginya infeksi pada pasien PGK
selain menurunnya sistem imun, juga disebabkan oleh adanya penyebab sekunder
seperti adanya diabetes dan penyakit jantung paru pada PGK yang akan
memperberat resiko infeksi. Infeksi pada pasien PGK dapat berupa infeksi saluran
kemih dan pneumonia yang semuanya dapat mengarah kepada sepsis. (Sinaga et
al., 2017).
Pasien juga mendapatkan terapi CaCO3 sebanyak 3x1tablet. CaCO3
mengandung calcium carbonat yang bermanfaat untuk mengatasi hiperfosfatemia
39
40
pada pasien penyakit ginjal kronis. (Medidata, 2016) Pada pasien gagal ginjal,
terjadi gangguan filtrasi pada glomerulus yang berakibat pada penumpukan fosfat
dalam darah. Fosfat akan berikatan pada calcium, sehingga akan menurunkan
kadar calcium pada tulang yang bisa berakibat pada terjadinya osteodistrofi. Oleh
karena itu, pemberian CaCO3 pada pasien diharapkan mampu menurunkan jumlah
fosfat dalam darah dan mencegah terjadinya renal osteodistorfi. Nocid diberikan
kepada pasien sebagai suplemen untuk memenuhi kebutuhan asam amino pada
kondisi dimana dibutuhkan pembatasan protein hingga 40gr/hari. Selain CaCO3,
dan Nocid, pasien juga diberikan suplemen Etabion. Etabion adalah obat yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral, serta mencegah dan
mengobati anemia yang disebabkan oleh kadar zat besi yang rendah. Walaupun
pada pasien tidak diperiksa status besi, akan tetapi obat ini tetap diberikan untuk
membantu mengatasi anemia. Karena penyebab anemia tersering pada gagal
ginjal kronis selain karena defisiensi eritropoetin juga terjadi akibat kekurangan
zat besi (PERNEFRI, 2011).
Hemodialisa Cito dan transfusi 2 kolf PRC juga dijadwalkan pada pasien
pada tanggal 12 Juni 2020. Hemodialisa Cito dilakukan karena adanya overload
cairan dan uremia. Karena pasien memiliki Hb < 7 g/dL, maka pasien juga
mendapatkan transfusi durante HD. Target hemoglobin post transfusi pada pasien
HD adalah 7-9 g/dl, Sehingga pasien diberikan PRC sebanyak 2 kolf karena pada
orang dewasa 1 kolf PRC dapat meningkatkan 1 g/dL Hemoglobin. (Setyati &
Soemantri, 2010).
Pasien mendapatkan perawatan di bangsal Arumbinang RSUD dr.
Soedirman Kebumen selama 7 hari. Selama perawatan pasien mendapatkan
hemodialisa sebanyak kali, dan transfusi PRC 2 Kolf. Setelah 7 hari perawatan,
kondisi pasien mulai membaik. Sesak sudah tidak lagi dirasakan oleh pasien,
Tekanan darah sudah turun menjadi 152/75mmHg, dan Hemoglobin post transfusi
8,1 g/dL. Karena perbaikan kondisi tersebut, pasien boleh pulang dan
mendapatkan terapi pulang berupa Calos 2x1, L-acys 2x1, Etabion 2x1, Epodion
3000U, Amlodipin 10 mg 1x1, Irbesartan 150 mg 1x1.
Pasien mendapatkan terapi hipertensi oral amlodipin dan irbesartan.
Amlodipin merupakan golongan CCB dan dikombinasikan dengan Irbesartan
40
41
yang merupakan golongan ARB. Obat golongan CCB bekerja dengan cara
menghambat ion kalsium masuk kedalam vaskularisasi otot polos dan otot
jantung. Sedangkan ARB bekerja spesifik menghambat ikatan angiotensin II.
ARB mempunyai efek natriuretik sehingga akan mencegah retensi garam dan air.
Selain itu juga mengurangi afterload karena penghambatan terhadap terjadinya
vasokonstriksi. Sehingga akan menurunkan tekanan darah dan menurunkan beban
jantung (PERKI, 2015).
Selain itu pasien juga diberikan edukasi agar membatasi asupan cairan, serta
menjalani hemodialisa dan kontrol rutin ke poli penyakit dalam. Epodion 3000U
diresepkan kepada pasien untuk nantinya digunakan di ruang hemodialisa sebelum
pasien mendapatkan terapi Hemodialisa. Epodion merupakan Eritropoetin
Stimulating Agent yang mampu meningkatkan eritropoesis sehingga diharapkan
bisa mengobati anemia dan mengurangi kebutuhan transfusi darah. Epodion bisa
diberikan secara intravena maupun secara subkutan. Pengobatan dengan Epodion
terdiri dari dua fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Dosis fase koreksi
sebesar 50 IU/kg 3 kali seminggu, sedangkan untuk fase pemeliharaan dosis total
perminggu yang dianjurkan adalah antara 75 IU/kg hingga 300 IU/kg (BPOM RI,
2008). Target respon yang diharapkan, hemoglobin naik sebanyak 0,5-1,5 gr/dL
dalam 4 minggu (PERNEFRI, 2011).
41
42
BAB IV
PENUTUP
42
43
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, S., Tomy (2019) Hipertensi Esensial: Diagnosis dan Tatalaksana Terbaru
pada Dewasa. CDK-274; 46 (3): 172-178
BPOM RI. (2008) Informatorium Obat Nasional Indonesia (ION). Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. URL:
http://pionas.pom.go.id/ioni/pedoman-umum. Accessed July 11, 2020
Dewi, R. T., Siregar, P., Alwi, I., Rumeden., C. M. (2015) Pengaruh Pemberian
H-Acetylcysteine Oral Terhadap high Sensitive C Reactive Protein (hs-
CRP) pada Pasien Hemodialisis Kronis. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia; 2 (4)p;228-232
Haryanti, I., dan Nisa, K. (2015) Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal
sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik. Majority; 4(7): 1-5
43
44
Johnson, D. W., Atai, E., Chan, M., Phon, R. K., Scott, C., Toussaint, N., et al.
(2013) KHA-CARI Guideline: Early Chronic Kidney Disease:
Detection, Prevention, and Management. Nephrology (Carlton) ;
18(5):340-350. doi:10.1111/nep.12052
KDIGO. (2012) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management
of Chronic Kidney Disease. Journal of the International Society of
Nephrology Vol. 3.
Kementerian Kesehatan RI. (2013) Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Available fromL URL:
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-
riskesdas-2013.pdf. Accessed July 04, 2020
Kementerian Kesehatan RI. (2018) Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Available from URL:
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-
riskesdas-2018.pdf. Accessed July 04, 2020
Medidata (2016). MIMS Petunjuk Konsultasi, Edisi 16. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
PENEFRI (2016) 9th Report Of Indonesian Renal Registry. Available from: URL:
https://www.indonesianrenalregistry.org/ Accessed July 04, 2020
44
45
Sanjaya, B. A. A., Santhi, D., Lestari, W. (2019) Gambaran Anemia Pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Sanglah pada Tahun 2016. E-Jurnal
Medika Udayana, volume 8, ISSN 2303-1395. Available at:
<https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/51116 >. Accessed July
04, 2020
Sherwood, L. (2014) Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem (Edisi ke-6). Jakarta:
EGC, 412-441.
Singh, A. K. (2008) Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am; 2 (3): 3-6.
Sudoyo, A. W, Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati S (2014) Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6nd ed. Jakarta: Interna Publishing;p.2159-
65.
45
46
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P.B., Santoso, D., Soegiarto, G., dan Rahmawati,
L.D. (2015) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press: 484-492
Wilson, L. M. (2012) Penyakit ginjal kronik. In: Hartanto, H., Susi, N.,
Wulansari, P., Mahanani, D. A. editors: Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit. 6nd ed. Jakarta: EGC;.p. 912- 45.
46